ISLAM DAN REVISI NASIONALISME

ISLAM DAN REVISI NASIONALISME
Seorang budayawan, pada tahun 1990an pernah mengatakan bahwa kita
sesungguhnya telah bergerak meninggalkan nasionalisme. Kita akan sampai pada
zaman yang disebut pasca nasionalisme. Zaman yang seperti apa, sangat sulit
diduga. Yang jelas nasionalisme sekarang ini sedang dalam ujian. Lebih-lebih
‘nasionalisme romantik’, yaitu nasionalisme yang hanya mengandalkan
romantisme sejarah atau romantisme masa silam.
‘Nasionalisme Romantik’ yang selama ini masih banyak dipegang sebagai
ideologi sepertinya makin kedodoran menghadapi perkembangan di abad-21,
dimana batas-batas nasionalitas menghilang oleh intervensi teknologi komunikasi,
intervensi pasar global dan intervensi budaya global. Ditambah oleh intervensi
berbagai jaringan global yang menggedorkan berbagai aspirasi terkini setiap detik.
Jawaban yang diberikan oleh nasionalisme romantik, misalnya lewat yargon
persatuan dan kesatuan, atau yargon integralisme nasional sepertinya tidak bunyi
menghadapi berbagai intervensi global di atas. Pernah terjadi, di masa Demokrasi
Terpimpin (Orde Lama) dan Demokrasi Pancasila (Ode Baru) nasionalisme
romantik dalam konteks kesatuan dan persatuan itu dipaksakan oleh negara
dengan mensubordinasi ketuhanan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan.
Hasilnya adalah malapetaka dan krisis berkepanjangan yang membuat rakyat
menderita. Meski para elite politik dan para pemimpin politik bisa hidup mewah,
berdansa-dansi, menambah koleksi wanita atau menimbun kekayaan untuk

sepuluh turunan, tetapi kenyataan yang terlihat pada dua rezim itu hanya
menghasilkan penderitaan rakyat, baik karena hutang atau bukan karena hutang,
sampai hari ini.
Yang menyedihkan, nasonalisme romantik itu kemudian juga mengalami
‘perapuhan tulang’ dan melemah ketika menghadapi gejala yang paradoks dari
proses globalisasi. Yaitu munculnya komunalisme, lokalisme, etnisitas yang
berlebihan sampai membentuk frame national etnic atau nasionalisme berdasar
etnik. Jawaban yang klise, rutin, dan miskin wacana dari nasionalisme romantik,
misalnya dengan mengusung kembali Pancasila dan UUD 45 juga tidak mempan
untuk menyembuhkan gejala ‘perapuhan tulang’ kebangsaan itu. ‘Perapuhan
tulang’ nasionalisme ini makin lama makin terasa di mana-mana. Mengapa?
Karena Pancasila dan UUD ’45 pernah mengalami proses over polititisasi yang
sangat berlebihan, sampai dijadikan alat penggebuk oleh penguasa bagi suara
kritis rakyat. Luka dan trauma rakyat yang pernah kena gebuk oleh penguasa ini
sampai hari ini masih terasa. Nasib rakyat sungguh tragis. Mereka ikhlas berjuang
untuk mencari kemerdekaan dan mempertahankan dengan pengorbanan besar.
Tetapi setelah kemerdekaan tercapai yang panen kesejahteraan dan kemakmuran
justru para pemimpinnya, baik yang di Jakarta maupun yang berada di daerahdaerah. Sementara posisi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetap berada di
titik nol. Sampai hati ini, buktinya, masih banyak desa, di Jawa, yang masih
belum tersentuh pembangunan. Mereka justru sering tersentuh bencana alam,baik

berupa kekeringan atau banjir bandang. Sementara para pemimpin nasional, para
politisi nasional, para pejabat nasional dan daerah justru sering mengalami banjir

uang sehingga mereka sempat mengadakan pesta-pesta mewah atau rekreasi ke
tepat wisata atau keluar negeri, dengan melupakan nasib rakyatnya.
Melihat kenyataan di atas bangsa Indonesia sepertinya membutuhkan
nasionalisme baru, yaitu nasionalisme yang rasional, nasionalisme yang konkret,
bukan dalam bentuk wacana dan semangat yang romantik, tetapi dalam bentuk
arah yang jelas, sampai ke tingkat kebijakan politik dan kebijakan ekonomi
nasional yang jelas-jelas memihak rakyat dan bangsa Indonesia.
Bagaimana revisi nasionlaisme itu mesti dilakukan?
Dalam kaitan ini apakah Islam sebagai ajaran yang universal dan agama yang
rasional dapat ikut menyumbangkan ide segar bagi upaya revisi nasionalisme ini?
Konsep Islam yang mana yang dapat dijadikan pilar nasionalisme rasional?
Kemudian, nasionalisme ekonomi yang rasional sebagaimana dilontarkan oleh
Mohammad Hatta pun perlu digali kembali. Sisi-sisi mana dari pemikiran Hatta
yang makin relevan dengan kebutuhan abad-21 ini? Mungkinkah pemikiran Hatta
diaktualisasikan kembali? Bagaimana caranya? Apakah hanya cukup dengan
membuat Peringatan 100 Tahun Bung Hatta? Tentu saja belum memadai. (Bahan
dan tulisan: tof)

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002