Nilai nilai Nasionalisme dalam Islam Tra

PROPOSAL PENELITIAN
Pengaruh Kearifan Lokal Islam Tradisional (NU) Terhadap Nilai-Nilai
Nasionalisme di Indonesia
Oleh: Siti Rodiah

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016

DAFTAR ISI
BAB I PERTEMUAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
A.

Islamisasi Masyarakat Indonesia
……………………………………... 3

B.

Perpaduan Islam dengan Budaya Lokal

………………………….


….. 6
C.

Penghargaan Organisasi Islam Tradisional Terhadap Budaya Lokal
Indonesia
…………………………………....................................................... 8

BAB II MUSLIM INDONESIA YANG ANTI-KEKERASAN
A. Kerukunan Umat Islam Di Indonesia …………………………............... . 12
B. Bentuk Penanganan Konflik Umat Islam di Indonesia

…………..... 15

BAB III KETERBUKAAN UMAT ISLAM DI INDONESIA TERHADAP
PENGARUH BUDAYA ASING
A. Modernisasi dalam Budaya Asing

......................................................... 18

B. Upaya Masyarakat Indonesia Dalam Menanggapi Pengaruh Budaya Asing

..................................................................................................................... 19

BAB IV KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA
A. Kondisi Sosial-Masyarakat Indonesia

………………………......... 22

B. Pesan Persatuan dalam Keberagaman Masyarakat Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

…..... 23

………………………………………………......... 29

2

BAB I
PERTEMUAN ISLAM DENGAN BUDAYA LOKAL
A. Islamisasi Masyarakat Indonesia
Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di

Indonesia.1 Banyak teori mengenai proses Islamisasi di Indonesia. Paling tidak, ada
empat teori yang dimunculkan: “teori India”, “teori Arab”, “teori Persia”, dan “teori
China”. Salah satu pemegang “teori India” adalah Pijnappel, seorang professor
Bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Dia mengatakan bahwa Islam datang
ke Indonesia (Nusantara) bukan berasal dari Arab atau Persia secara langsung, tetapi
berasal dari India, terutama dari pantai barat (Gujarat dan Malabar). Sebelum Islam
sampai di Nusantara, banyak orang Arab bermazhab Syafi’I yang berimigrasi dan
menetap di wilayah India. Dari sanalah kemudian Islam menyebar ke Nusantara.2
Dalam “teori Arab” Crawfurd mengemukakan bahwa Islam dikenalkan pada
masyarakat di Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa
Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor
penting. Teori ini didasarkan pada persamaan mazhab Syafi’i yang dominan di
Indonesia. Sementara itu, P.J. Veth berpandangan bahwa hanya orang-orang Arab
yang melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam
penyebaran Islam di Nusantara.3
“teori Persia” menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara berasal dari
Persia, bukan dari India atau Arab. Teori ini disarkan pada beberapa unsur
kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada dalam sebagian kebudayaan Islam di
1 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1990), hlm. 3

2 Lihat G.W.J. Drewes, “New Light on the coming of Islam to Indonesia?”, dalam Reading on Islam in
Southeast asia, disusun dan diedit oleh Ahmad Ibrahim, Sharon Shiddique dan Yasmin Hussain
(Singapore: Institute of Southeast Asean Studies, 1983), hlm. 8.
3` Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 36

3

Nusantara. P.A. Hoesein Djajadiningrat mendukung teori ini dengan mendasarkan
analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran mistik Islam
(sufisme) Indonesia.
Istilah bahasa persia dalam sistem pengejaan huruf Arab juga terlihat dalam
kebiasaan masyarakat Indonesia, terutama untuk tanda bunyi harakat seperti Jabar
(Arab: Fathah); Jer (Arab: kasrah); Pes (Arab: Dhammah). Peringatan Asyura atau
10 Muharram sebagai salah satu hari yang diperingati kaum Syi’ah, yakni hari
wafatnya Hussain bin Ali bin Abi Thalib di padang Karbala juga dapat terlihat di
Jawa dengan adanya pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau, bulan Muharram
disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera tengah sebelah Barat ada upacara
Tabut, yaitu mengarak “keranda Husain” untuk dilemparkan ke dalam sungai.4
“teori China” dalam Islamisasi Indonesia juga tidak bisa diabaikan. H.J. de

Graaf, misalnya telah menyunting beberapa literatur Jawa klasik (Catatan Tahunan
Melayu) yang memperlihatkan peranan orang-orang China dalam pengembangan
Islam di Indonesia.5 Dalam tulisan itu disebutkan bahwa tokoh-tokoh besar seperti
Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak (Raden Fatah/Jin
Bun) merupakan orang-orang keturunan China.
Dari beberapa perbedaan mengenai proses Islamisasi di Indonesia tersebut,
haruslah diupayakan sintesis dari beberapa pendapat yang ada. Diantaranya adalah
upaya dalam membuat fase-fase Islamisasi di Indonesia, seperti: tahap permulaan,
yaitu datangnya Islam ke Nusantara pada abad ke-7 M.6Adapun pada abad ke-13 M
dipandang sebagai proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat Islam di
Nusantara. Sementara itu, proses Islamisasi yang cepat dapat dilihat di pulau Jawa.
hal ini merupakan hasil dari dakwah para wali sebagai perintis dan penyebar agama
Islam di Jawa.7

4 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam Indonesia (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 90
5 H.J. de Graaf, dkk. China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos, terj.
Alfajri (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998).
6 Marwati Djoned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 181.

7 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1992), hlm. 26.

4

Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa Islam di Indonesia
disebarluaskan melalui jalan damai. Tidak ada misi khusus untuk menyebarkan Islam
di Indonesia seperti yang terlihat dalam agama protestan dan katolik, 8 paling tidak
pada masa awal. Perkembangan Islamisasi di Indonesia pada dasarnya menggunakan
tiga metode: 1) disebarkan oleh para pedagang muslim yang datang dari luar
Indonesia dalam suasana damai, 2) disebarkan oleh para juru dakwah dan para wali
khusus dari India dan Arab untuk mengislamkan penduduk, dan 3) disebarkan dengan
kekuatan untuk berperang melawan pemerintahan kafir.9
Proses Islamisasi di Indonesia terjadi dengan proses yang sangat pelik dan
panjang. Diterimanya Islam oleh penduduk pribumi, secara bertahap mebuat Islam
terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian penduduk lokal. Hal ini,
menurut andi Faisal Bakti, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sudah menerima
nilai-nilai dari luar dan menjadi bukti akan keterbukaan sikap mereka.10
Kini Islam telah menjadi agama mayoritas di Indonesia dan telah memberi
warna atau corak peradaban yang khas di negeri ini. Sebagai agama yang universal,

Islam telah membawa peradabannya sendiri yang berakar kuat pada tradisi yang
sangat panjang sejak masa Rasulullah. Ketika bersentuhan dengan situasi lokal dan
partikular, peradaban Islam itu tetap mempertahankan esensinya yang sejati,
walaupun secara instrumental menampakkan bentuk-bentuk yang kondisional.11
Menurut Hasan Mu’arif Ambary, masa-masa datang, tumbuh, dan
berkembangnya Islam serta unsur-unsur budaya Islam di Nusantara, menghasilkan
dan meninggalkan peradaban yang secara ideologis bersumber pada kitabullah dan
sunah Rasul. Sementara

itu,

secara fisikal, memperlihatkan

anasir yang

berkesinambungan dengan unsur kebudayaan pra-Islam.12 Oleh karena itu,

8 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, hlm. 93-94.
9 H.J. de Graaf, “South-East Asian Islam to Eighteenth Century”, dalam The Cambridge History of
Islam, Volume 2A, diedit oleh P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (Cambridge:

Cambridge University Press, 1987), hlm. 123.
10 Lihat Andi Faisal Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia: From Communitarian to
Organizational Communications (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 17-18.
11 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 82.
12 Lihat Hasan Mua’rif Ambary, “Makam-makam Kesultanan dan Para Wali Penyebar Islam di Pulau
Jawa”, dalam Aspect of Indonesia Archeology, No. 12 (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
1991), hlm. 1

5

kebudayaan Islam di Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda
dengan negara-negara Islam lainnya.13
B. Perpaduan Islam dengan Budaya Lokal
Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Namun
keberadaannya secara nyata dalam wujud komunitas masyarakat muslim yang
menempati suatu wilayah baru pada abad ke-13 M. Komunitas itu terdiri dari para
pedagang yang datang dari berbagai daerah: Gujarat, Cina, Persia, dan Arab. Mereka
singgah untuk menjual barang dagangan ataupun untuk membelinya yang kemudian
dibawa kembali ke daerah asalnya. Sebagai kelompok masyarakat musiman yang
berinteraksi dengan pribumi, mereka menempati starata sosial yang lebih tinggi

dibanding warga pribumi. Oleh karena itu, diantara mereka kemudian ada yang
tinggal dan menetap menjadi warga pribumi karena hubungan pernikahan.14
Komunitas itulah yang menjadi cikal bakal penyebaran Islam di seluruh
kepulauan Nusantara yang makin lama makin cepat meluas perkembangannya. Hal
itu terjadi terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Selanjutnya,
unsur mistik ini mendapat lahan subur di tanah jawa. 15 Unsur mistik Islam dalam hal
ini dianggap oleh masyarakat jawa sebagai ajaran sesuai dengan ajaran mereka. Tidak
dapat dipungkiri bahwa sejak zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi
kebudayaan Hindu-Budha yang dianut mayoritas masyarakat memang didominasi
oleh unsur-unsur mistik.16
Para pengamat dan peneliti telah membuktikan bahwa Orang Jawa memang
memiliki kepercayaan yang beragam dan campur aduk. Praktik keagamaan orang
Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan lama: Animisme, Hindu, Budha maupun
kepercayaan kepada alam, dinamisme.17
Agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia dan diintegrasikan
kedalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah mapan. Demikian juga, para
13 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 43
14 Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 192-193.
15 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,

2008) Cet. Ke-1, hlm. 25
16 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 53
17 Simuh, Sufisme Jawa (yogyakarta: Bentang Budaya, 2002) hlm. 161.

6

penyeru (da’i) tidak mengusik kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat. 18
Mereka menggunakan metode dakwah yang kompromi, hal ini bisa dilihat melalui
perkembangan Islam di Jawa, dimana ia mengalami proses yang cukup unik karena
Islam berhadapan dengan kekuatan tradisi budaya Hindu-Budha yang telah mengakar
kuat dalam masyarakat.19 Dengan pengaruh Hindu-Budha yang kuat itu, tidak ada
jalan lain untuk mengajak kepada Islam selain dengan pendekatan yang kompromi
dan penuh toleransi.
Warna-warni Islam di segala aspek kehidupan sosial, budaya dan politik
semakin beragam mengiringi perjalanan peradaban manusia, terlebih setelah Islam
keluar dari jazirah Arab dan masuk masuk ke wilayah luar seperti Afrika, Eropa,
Cina, India, Eropa, Melayu dan Indonesia.
Corak kedaerahaan pasti ada tanpa menurangi karakter dasar yang menjadi
pembeda antara yang Islam dan non-Islam. Bukan hanya pada aspek ritual seremonial
perbedaan itu terjadi, tetapi juga masuk ke ranah teologis yang menjadi pijakan ritual

keagamaan tersebut. Dalam aspek ritual-mistik, Islam memiliki corak yang khas
setelah bersentuhan dengan tradisi persia yang kental dengan mistik ke-Hinduannya.20
Bentuk perpaduan budaya dan Islam salah satunya dapat dilihat melalui
proses Islamisasi Jawa melalui jalur kesenian wayang yang diperkenalkan oleh Sunan
Kalijaga yang dikenal memiliki keterampilan mementaskan wayang dengan amat
memikat, hingga ia berhasil merubah cerita Ramayana dan Mahabarata dari India
yang penuh ajaran Hindu-Budha ke dalam Islam. Sunan kalijaga ketika mementaskan
wayang tidak pernah memungut upah. Ia hanya meminta para penonton mengucapkan
“syahadah”sebelum menonton wayangnya.21
18 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,
2008) Cet. Ke-1, hlm. 56
19 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,
2008) Cet. Ke-1, hlm. 14
20
21 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,
2008) Cet. Ke-1, hlm. 77

7

Dalam hal kesenian tari, musik, dan seni sastra dapat terlihat pada upacaraupacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukkan sani tari atau seni
musik tradisional, misalnya sekaten yang terdapat di Keraton Yogyakarta dan
Surakarta, sedangkan di Cirebon seni musik dapat terlihat pada acara Gerebeg
Maulud. Dalam bidang sastra banyak cerita babad dan hikayat yang ditulis dalam
huruf jawi, pegon, dan Arab. Dimana bentuk huruf jawi dalam sastra Melayu
merupakan adaptasi dari huruf Arab.22
Perpaduan antara Islam dan budaya lokal juga dapat terlihat pada bentuk
bangunan Masjid kuno yang mengadaptasi pola-pola bangunan Hindu. Selain itu, Di
kudus misalnya, masyarakat juga memandang tabu terhadap penyembelihan sapi,
karena merupakan binatang yang disucikan oleh umat Hindu. Ini membuktikan
tingginya tenggang rasa dan toleransi antar umat beragama di Indonesia khususnya
karena Islam datang dengan membawa misi perdamaian.23
C. Penghargaan Organisasi Islam Tradisional Terhadap Budaya Lokal Indonesia
Pada abad ke-20 dapat disebut abad Nasionalisme yaitu timbulnya kesadaran
berbangsa. Dimana peta pemikiran, pergerakan nasionalisme dan Islam mengalami
kebangkitan di masa ini.
Kesadaran dan bangkitnya rasa nasionalisme dalam masyarakat Islam
Indonesia dipengaruhi oleh gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah, terutama
yang dikembangkan oleh Wahabi. Sehingga banyak organisasi Islam puritan yang
terbentuk, seperti: Muhammadiyah, Persis, SI, dan lain-lain. Yang cenderung melihat
setiap persoalan dengan menggunakan palu bid’ah, sesat, dan menyimpang.24
Noorhaidi Hassan (2009) dalam Transnasional Islam in South and Southeast
Asia: Movements, Networks, and Conflict Dynamics menegaskan maraknya gerakan
Islam yang mengusung ide-ide transnasional, khususnya dari Timur Tengah, Pakistan,
dan Afganistan. Ironisnya, gerakan-gerakan tersebut justru subur dalam ruang publik
yang demokratis setelah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto.

22 Ibid.,
23 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 49
24 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 14

8

Kemudian NU lahir sebagai bentuk keprihatinan yang mendalam terhadap
munculnya gerakan puritan yang kerap kali mereduksi paham keagamaan dalam
pandangan yang sempit.
Nahdlatul Ulama didirikan tanggal 31 Maret 1926 di Surabaya oleh K. H.
Hasyim Asy’ari dan K. H. Abdul Wahab Hasbullah sebagai reaksi terhadap gerakan
pemurnian ajaran Islam yang dilakukan oleh kaum modernis yang dinilainya
mengancam eksistensi kelompok Islam tradisional.25
K.H. Hasyim Asy’ari merupakan sosok penting karena menjadi salah satu
pendiri NU yang merupakan organisasi sosial-keagamaan terbesar di tanah air,
bahkan di Asia Tenggara dan dunia Islam pada umumnya. Peran NU dicatat dengan
tinta emas dalam sejarah republik Indonesia, karena tidak hanya mencerdaskan umat
dari belenggu literasi keagamaan, tetapi juga mendorong akselerasi kemerdekaan
bangsa dari belenggu penjajah.
Kiai Hasyim menegaskan bahwa antara keislaman dan ke-Indonesiaan tidak
boleh dipertentangkan. Keduanya harus berada dalam satu napas. Islam adalah nilainilai adiluhung yang bersifat universal, sedangkan keindonesiaan adalah realitas
sosial yang harus diisi dengan nilai-nilai itu tanpa harus menafikannya. Artinya,
keislaman harus hadir dalam kebudayaan dan kebinekaan yang sudah mengakar kuat
dalam jati diri dan memori kolektif bangsa ini. Sebagaimana Islam datang ke
Nusantara melalui para saudagar Gujarat yang bersifat toleran dan damai, maka NU
harus memainkan peran tersebut. Yaitu dengan melindungi kebinekaan dan
membangun solidaritas kebangsaan yang kuat.26
Nahdlatul Ulama adalah kelompok terbesar dari kalangan Muslim Jawa.
Mereka mempunyai karakter yang memadukan tradisi ulama salaf dengan tradisi
kebudayaan lokal. Mereka berpegang teguh pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah,
tetapi disisi lain mereka mempunyai sejumlah tradisi yang khas, seperti tahlilan,
diba’an, dan ziarah kubur, yang umumnya dilarang oleh kelompok muslim lain.
Ali Haidar mencatat bahwa ada empat motif pembentukan organisasi
Nahdlatul Ulama. Motif utama yang mendasari gerakan para ulama pesantren
membentuk NU ialah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah. Motif kedua adalah
25 Ida, 1996: 1
26 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 6

9

tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan upaya
pelestarian ajaran mazhab ahlussunah wal jama’ah. motif ketiga adalah dorongan
untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Ini ditandai dengan pembentukan Nahdlatul Wathan, Tasywirul Afkar dan Ta’mirul
Masajid. Motif keempat adalah motif politik yang ditandai dengan semangat
nasionalisme.27
Setidaknya ada tiga hal yang menonjol dari rumusan Ahlussunnah wal
Jama’ah yang dilakukan kalangan muda PWNU di Jawa Timur. Pertama, apresiasi
yang sangat baik terhadap paradigma yang dikukuhkan oleh Kiai Hasyim. Kedua,
apresiasi terhadap tradisi dan budaya. Salah satu kaidah yang digunakan adalah
kaidah-kaidah fikih yang sangat familiar di lingkungan pesantren, yaitu al-‘addah
muhakkamah (Adat dapat dijadikan sebagai pertimbangan hukum). Selain itu juga
terdapat kaidah yang berbunyi ma la yudraku kulluhu, la yudraku kulluhu (Jika tidak
dicapai kebaikan semuanya, tidak harus ditinggalkan semuanya).
Budaya, menurut kalangan muda PWNU Jawa Timur, merupakan kreasi
manusia yang mempunyai nilai-nilai positif dan berguna untuk kebaikan manusia,
baik secara personal maupun sosial. Lebih dari itu, yang dilihat bukanlah simbolnya,
melainkan substansi yang dikandung dalam kebudayaan. Jika di dalamnya terdapat
nilai-nilai positif yang tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam, hal itu
bukanlah sebuah halangan dan rintangan.
Meskipun faktannya, tradisi yang sekarang mengakar di masyarakat luas
khususnya pulau jawa tidak pernah dilaksanakan oleh Nabi, akan tetapi terdapat nilainilai positif yang bisa diambil, seperti memperkuat silaturahmi, mentradisikan
sedekah, dan turut mendo’akan orang yang sudah meninggal.28
Kiai Hasyim merupakan sosok penting yang telah menyelamatkan bangsa ini
dari ancaman puritanisme yang cenderung menginstitusionalisasi kekalahan dan
kegagalan dalam paham keagamaan yang bersifat ekstrem. Pilihan untuk
mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang sangat identik dengan
27 M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 315-316.
28 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 148

10

pergulatan intelektualisme dan penghargaan terhadap kemajemukan pemikiran yang
sudah berkembang sejak dahulu kala.29
Kompabilitas antara nilai-nilai universal Islam dan kearifan lokal merupakan
perpaduan yang menjadikan corak Islam menjadi semakin ramah, sejuk, dan toleran.
Yang terpenting dari itu semua, pemahaman keislaman tidak kehilangan corak
kedalaman akademis dan rasionalitasnya. Sebab pada akhirnya, setiap pemahaman
harus mempunyai rujukan yang kuat dari para Ulama terdahulu, yang telah
menelurkan metodologi hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai parameter dalam
menentukan hukum.30

BAB II
Muslim Indonesia Yang Anti-Kekerasan
A. Kerukunan Umat Islam Di Indonesia
Tak bisa dipungkiri, bahwa manusia merupakan makhluk berbudaya. Dengan
daya cipta, rasa, dan karsa, manusia memproduksi kebudayaannya.31 Manusia lahir
dalam pluralitas ruang budaya yang diproduksinya agar saling kenal mengenal, saling
menghargai eksistensi masing-masing. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS.
Al-Hujurat [49]: 13.

29 Ibid., hlm. 13
30 Ibid., hlm. 131
31 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), cet. Ke-8, 193;
Koentjaningrat, kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004),
5-6.

11

‫قن ننناَك كم ٰمننن ٰذنك نننر ٰ ك‬
‫ن‬
‫خل ن م‬
‫م‬
‫س ٰإ من ننناَ ٰ ن‬
‫ج ن‬
‫و ن‬
‫نياَ ٰأي ي ن‬
‫م م م‬
‫عل من ننناَك ك م‬
‫هاَ ٰالنناَ ك‬
‫ى ٰ ن‬
‫ر ن‬
‫وأن مث ننن ى‬
‫ن‬
‫ه ٰأ نت م ن‬
‫و ن‬
‫قنباَئ م ن‬
‫ك‬
ٰۚ ‫م‬
ۚ ‫عاَنر ك‬
‫م ٰ م‬
‫د ٰالل ننن م‬
‫فوُا ٰ ٰإ م ن‬
‫عن منن ن‬
‫ل ٰل مت ن ن‬
‫ش ك‬
‫قنناَك ك م‬
‫مك ك م‬
‫ن ٰأك منر ن‬
‫عوُبباَ ٰ ن‬
‫خمبيِرر‬
‫م ٰ ن‬
‫ه ٰ ن‬
‫إم ن‬
‫عمليِ ر‬
‫ن ٰالل ن ن‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS:Al-Hujuraat |
Ayat: 13
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan keberagaman, adat isdtiadat dan
budaya masyarakatnya yang bermacam-macam. Namun, perbedaan ini tidak
menimbulkan ketegangan-ketegangan yang memuncak di Indonesia. Kedamaian ini
tercipta karena masyarakat masih berpegang teguh pada prinsip toleransi (altasamuh). Langkah ini juga telah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat mendamaikan
antara kalangan Muhajirin dan Anshar.32
Namun, fakta yang terjadi saat ini adalah Islam yang dikenal oleh bangsa
asing

merupakan

agama

teroris

yang

seringkali

melakukan

pembunuhan,

pembantaian, dan pengrusakan secara membabi buta. Timur tengah yang menjadi
pusat peradaban Islam, kini menjadi terpecah belah akibat konflik politik yang
berkepanjangan oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang di
jalan Allah untuk menegakkan kebenaran Islam.
Mereka biasanya menggunakan term atau dalil amar ma’ruf nahi munkar,
yaitu menegakkan kebajikan dan menumpas kemungkaran dengan menggunakan
kekerasan sebagai ide utamanya.33
32 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 142
33 Ibid., hlm. 104

12

Dalam hal ini, seorang Muslim mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk
menciptakan suasana damai. Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa kaum muslim
adalah orang yang senantiasa menggunakan lisan dan tangannya untuk membangun
kedamaian. Maka, seorang muslim sejatinya harus senantiasa menjadi juru damai
dalam suasana konfliktual.
Sosok Kiai Hasyim merupakan Ulama besar Indonesia, yang menjadi figur
dan penginspirasi banyak pihak agar berjihad dalam konteks menuntut ilmu di dunia
pendidikan dan menjadikan paham ahlussunnah wal Jama’ah sebagai salah satu
fondasi untuk pengembangan umat. Paham tersebut terbukti menjadikan Islam
sebagai sebuah kekuatan konstruktif, yang salah satunya adalah setiap Muslim tidak
menganggap dirinya sebagai umat yang paling benar dan tidak mudah terjebak dalam
klaim kebenaran.34
Fakta radikalisme dam ekstremisme yang seringkali muncul belakangan ini
pada hakikatnya karena mereka melihat sejarah secara parsial, sepotong-sepotong,
terutama sejarah umat pasca tahun 1924 dan 1948, yang telah menciptakan “psikologi
kegagalan” dan “psikologi kekalahan”, yang kemudian membentuk nalar kekerasan
terhadap pihak-pihak yang dianggap biang keladi dari hal tersebut.
Kiai Hasyim mengajak Umat Islam untuk melihat sejarah secara holistis, tidak
hanya pada petikan sejarah mutakhir, tetapi juga pada masa kejayaan intelektualisme
Islam yang telah menjadikan Islam sebagai agama ilmu, dan kemajuan, agama
peradaban dan keadaban. Istimewanya, Kiai Hasyim melihat fakta tersebut justru
dalam rangka membangkitkan semangat untuk memberdayakan umat. Karena itu,
setelah pulang dari menuntut ilmu di mekkah, ia langsung mengajar di pesantren,
kemudian mendirikan pesantren Tebuireng sebagai upaya mencetak kader-kader
Muslim unggulan yang siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal keilmuan
dan tradisi keagamaan yang kuat.35

34 Ibid., hlm. 9
35 Ibid., hlm. 11

13

Kiai Hasyim menegaskan bahwa Peran pesantren harus dikembalikan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan yang diharapkan dapat memainkan peran
pencerdasan dan kebangkitan moralitas umat. Pesantren harus menjadikan kaderkader muda semakin mengerti agama dan elan transformasi sosial serta keadaban
publik.
Disamping itu, faktor lain yang menjadi alasan kecilnya potensi peperangan
antar golongan di Indonesia adalah karena dinaungi oleh Pancasila sebagai ideologi
negara yang diakui dan disepakati oleh keberagaman masyarakat Indonesia. Negara
kita juga berpegang pada ungkapan Empu Tantular, yaitu slogan yang telah mendarah
daging dalam tubuh rakyat Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Kaum Muslim di negeri
ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam karena ia
dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi, patutlah hal ini
dipertahankan.36

NU merupakan pemahaman yang ideal bagi masayarakat Indonesia, untuk
tetap mempertahankan kesatuan umat dan bangsa ini, karena NU telah merumuskan
Islam sebagai moralitas pendidikan dan ajaran/hukum agama. Dengan demikian NU
tidak dapat menerima Islam sebagai sesuatu yang ideologis dalam kiprahnya.37
Gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual dan tidak diikuti
mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang saja, yang
terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka.
NU tidak memandang perlu adanya Negara Islam. Pada tanggal 22 Oktober
1945, pengurus besar NU (hoofbestrur NU), yang saat itu berkedudukan di Surabaya,
mengeluarkan “Resolusi Jihad”, untuk mempertahankan dan memperjuangkan
Republik Indonesia adalah kewajiban agama atau disebut jihad, meski NKRI bukan
36 K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007) cet. Ke-2, hlm. 28
37 K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007) cet. Ke-2, hlm. 108

14

sebuah Negara Islam. karena negeri ini adalah sebuah Negara Pancasila dengan nama
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini, dan
kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.
Terlepas dari perbedaan latar belakang suku, agama dan budaya, rakyat harus
tetap bersatu untuk mempertahankan Indonesia yang telah diperjuangkan dengan
susah payah. Dengan demikian, pluralitas budaya, baik berupa eksistensi secara etnis,
ras, bahasa, bahkan agama harus disadari dan diterima. Karena penerimaan akan
pluralitas budaya ini lah, meskipun kaum muslim menganggap kesatuan umat Islam
(Ummah Wahidah) sebagai identitas bersama, umumnya akan tetap memegang erat
kesukuan atau etnis.38
B. Bentuk Penanganan Konflik Umat Islam di Indonesia
Perdamaian dalam keberagaman yang ada pada masyarakat Indonesia bukan
berarti tak pernah menimbulkan sebuah konflik. Perbedaan perspektif dalam agama
juga sempat menimbulkan ancaman ideologi di negeri ini. Tidakan terorisme yang
seringkali mengatasnamakan agama Islam dibalik kedok kebejatannya juga kerap kali
terjadi di negeri ini. Hanya saja, berbeda dengan timur tengah, di Indonesia jumlah
orang-orang yang memiliki pemahaman radikal jauh lebih sedikit jika dibandingkan
dengan Umat Islam yang memiliki semangat nasionalis. Sehingga, keteganganketegangan yang pernah terjadi di negeri ini tidak pernah memuncak atau sampai
menimbulkan peperangan secara besar-besaran.
Disamping itu, Negara kita memiliki dasar hukum dan ulama yang membantu
cepatnya penyelesaian masalah yang terjadi. Sebut saja, kasus Bom Bali, Bom di
Hotel JW Marriot, kasus Sampang di Madura dan yang terbaru adalah kasus Bom dan
tindak terorisme di Sarinah yang terjadi minggu lalu, merupakan beberapa contoh
tindak kriminal dengan kedok agama yang sempat terjadi di Indonesia.
Suatu keharusan bagi kita untuk merefleksikan respons Abdurrahman Wahid
terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia. Dimana ia secara konsisten
memberi sumbangan yang sangat berarti untuk meredakan ketegangan di lapangan
38 Irene Schneider “Legal and Ethno-Religious”, dalam Richard C. Martin, Encyclopaedia Of Islam
and the Muslim World Vol. 2, (New York: Macmillan, 2004), 533.

15

dan mendorong masyarakat untuk menyelenggarakan dialog dan penguatan hubungan
sehingga kekerasan dapat dihentikan dan tidak muncul kembali.39
Sebagai bukti dalam peristiwa pembunuhan besar-besaran di Banyuwangi,
jawa Timur pada tahun 1998. Pembunuhan ini telah memakan korban kurang lebih
200 orang. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan ini mempunyai latar
belakang pendidikan militer yang terorganisir dengan baik. Lebih dari itu, ada bukti
kuat bahwa siapa pun yang berada dibalik dibalik pembunuhan ini pasti
menginginkan kerusuhan sosial di masyarakat. Respon Abdurrahman terhadap kasus
ini adalah dengan mengunjungi banyuwangi dan mendorong para tokoh agama lokal
untuk menahan diri agar tidak merespons kekerasan dengan kekerasan. Gus Dur
kemudian menegaskan bahwa “kita harus menahan provokasi ini dengan tetap
mengkampanyekan perdamaian.”
Inilah contoh penanganan masalah yang sangat sederhana, namun
memberikan dampak yang tidak biasa. Peristiwa Bom Bunuh Diri dan Terorisme
yang terjadi di Sarinah baru-baru ini, juga ditanggapi dengan tenang oleh masyarakat.
Walaupun sempat terjadi kepanikan, namun masyarakat kembali saling menguatkan
satu sama lain baik melalui pesan di sosial media maupun himbauan di televisi.
Disamping itu, pasca perstiwa tersebut tokoh-tokoh agama dan aparatur negara segera
melakukan diskusi untuk pencegahan terjadinya kembali peristiwa tersebut. PBNU
dan Muhammadiyah pun menegaskan bahwa dalam situasi seperti ini, kita semua
harus bersatu dan jangan mudah tergoyahkan oleh ancaman yang terjadi. Hal ini
menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia tidak mudah digoyahkan oleh ancaman
terorisme atau pun tidakan ekstremisme lainnya.
Ekstremisme pada hakikatnya merupakan sebuah sebuah tindakan yang tidak
bisa ditoleransi karena hanya akan melahirkan kejahatan yang lain. Diantaranya,
psikologi keterancaman, yang menyebabkan lahirnya tindak kekerasan balik.40
39 Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2000), Cet. Ke-1,
hlm. 96
40 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 240

16

Salah satu kekuatan bangsa ini yang tidak mudah digoyahkan oleh ancaman
terorisme adalah pancasila dan UUD 1945 yang menjamin perlindungan terhadap
setiap warga Negara, mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta
mewujudkan perdamaian dan ketertiban umum pada pentas global.41

BAB III
KETERBUKAAN UMAT ISLAM DI INDONESIA TERHADAP PENGARUH
BUDAYA ASING
A. Modernisasi dalam Budaya Asing
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa
kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul ke permukaan adalah
manisfestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabung dengan semangat
nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau , keduanya menampilkan
kecenderungan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, anti-penuhnya rasionalisme
dan penghormatan berlebihan terhadap masa lampau. Bila hal ini diingat dengan
benar, dengan sendirinya kita melihat kedangkalan dalam pendekatan tradisional.
Rasionalitas kehidupan beragama yang diperlukan bukanlah sesuatu yang
harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena
elemen-elemen positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita
teruskan. Tetapi, unsur-unsur irasional yang akan menghambat fungsi tradisionalisme
41 Ibid., hlm. 285

17

itu sendiri harus diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin
kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri.
Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama amat diperlukan, dalam
bentuk memasukkan unsur-unsur rasional kedalamnya, hingga tradisionalisme agama
dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para
cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama
populis.42
Perpaduan banyak budaya dan kultur dalam tradisi masyarakat Islam
tradisional menandakan adanya unsur-unsur rasional dan kultur asing yang telah
diterima masyarakat sejak lama. Sebagai bukti, Masjid Sunan Gunung Djati yang
berada di Cirebon memadukan antara corak kebudayaan China dengan menggunakan
piring-piring antik China yang ditempelkan pada setiap dinding.
Bahasa Arab banyak yang menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia
sebagai dampak dari interaksi mereka dalam jual beli pada masa awal penyebaran
agama Islam. Bentuk huruf jawi dalam sastra Melayu pun merupakan adaptasi dari
huruf Arab.
Penerimaan masyarakat Indonesia bermula dari adanya proses Islamisasi di
Indonesia. Penduduk pribumi menerima Islam secara bertahap, Islam pun masuk
kedalam lingkungan masyarakat secara hati-hati dan penuh dengan nuansa damai.
Sehingga Islam terintegrasi dengan tradisi, norma, dan cara hidup keseharian
penduduk lokal itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sudah
menerima nilai-nilai dari luar (asing) dan menjadi bukti akan keterbukaan sikap
mereka.43
B. Upaya Masyarakat Indonesia Dalam Menanggapi Pengaruh Budaya Barat
Saat ini kaum muslim di Indonesia dan umat manusia seluruh dunia dilanda
kegalauan yang luar biasa akibat propaganda barat dengan klaim kemajuan
42 K.H. Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007) cet. Ke-2, hlm. 14-16
43 Lihat Andi Faisal Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia: From Communitarian to
Organizational Communications (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 17-18.

18

kebudayaannya. Proses globalisasi yang mendunia membuat masyarakat tidak
mampu mengasingkan diri dan menghindar dari pengaruh dan kemajuan tersebut.
Karena hal itu memang sunnatullah yang pasti terjadi pada setiap zaman. Namun,
terlalu masuk kedalam pengaruh tersebut juga bukan tindakan yang tepat, Karena
kebudayaan kita sendiri talah ada dan eksis sebelum kemajuan itu terjadi.
Abdurrahman secara umum berpandangan positif mengenai Barat. Kendati
demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak kritis dalam analisisnya mengenai
negara-negara Barat. Sebagai contoh, ketika beliau diundang untuk berbicara pada
peluncuran buku mengenai hubungan Australia dengan tetangga Asia-nya pada tahun
1992, Abdurrahman menawarkan penilaian yang tajam bahwa dalam hubungannya
dengan Indonesia, Australia hanya akan mencapai hubungan pada tingkat sosial dan
kultural saja. Terbukti bahwa pemikiran Abdurrahman terhadap budaya barat penuh
nuansa hati-hati.44
Akan tetapi, kebudayaan barat bukanlah kebudayaan yang sempurna dan
selalu positif. Faktanya, ia juga mengandung unsur negatif yang merusak dan
meracuni kehidupan karena menawarkan filsafat materialisme dan sekularisme,
sementara kita telah memiliki filsafat dan nilai-nilai budaya sendiri.
Masyarakat Indonesia hidup di tengah budaya yang menjunjung tinggi agama
dan filsafat ketuhanan, lalu haruskan hal itu dihapus demi mendapatkan label
“berkebudayaan maju” di zaman yang modern. Jati diri dan kebudayaan Indonesia
harus dipertahankan, dan tidak boleh ditenggelamkan karena adanya pengaruh
budaya barat. Jati diri tersebut dapat digali dan ditempa dari warisan budaya luhur
nenek moyang sebagai cikal bakal eksistensi kita saat ini. Dan sebagai umat Islam
tentunya sumber jati diri tersebut harus ditambah dengan nilai-nilai Islam.45

44 Gus Dur, Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2000), Cet. Ke-1,
hlm. 94
45 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,
2008) Cet. Ke-1, hlm. 12-13

19

Upaya pencarian jati diri ini harus dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai
budaya tradisional yang luhur untuk dijadikan tiang peyangga yang menopang
tegaknya peradaban yang berdiri di atas kaki sendiri. Namun demikian, karena
kebudayaan Barat juga telah maju dan terbukti memberikan sebagian dampak positif,
unsur ini yang harus mampu diserap untuk mencapai tatanan sosial dan peradaban
yang sesuai zaman. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia saat ini menghadapi
kewajiban ganda, yaitu melestarikan warisan budaya bangsa yang luhur dan
membangun sebuah kebudayaan yang lebih modern.46
Upaya tersebut bertujuan untuk menemukan identitas diri yang mencirikan
kekhususan tertentu dalam berbudaya. Keyakinan semacam ini tidak hanya akan
memberikan kebanggaan psikologis, tetapi juga akan menjadi sebuah semangat untuk
setia memelihara nilai-nilai luhur tradisi besar bangsa. Dengan demikian, kebudayaan
yang dibangun berfungsi sebagai instrumen untuk mengakomodasi masa kini dan
membuka pintu untuk dinamika masa depan.47

46 Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya,
2002) hlm. 2.
47 Ahmad Khalil, Islam Jawa: Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN Malang Press,
2008) Cet. Ke-1, hlm. 5-6

20

BAB IV
KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA

A. Kondisi Sosial-Masyarakat Indonesia
Pada negeri jajahan ini telah dipaksakan unsur perubahan yang bersumber dari
luar, bukannya yang bermula dari dalam dan tidak pula yang bertolak dari keharusan
memasukkan unsur luar, demi pemecahan masalah interen. Maka tidaklah terlalu
mengherankan kalau sekiranya perubahan yang diperkenalkan kolonialisme dapat
menimbulkan akibat yang berbeda-beda pada lokalitas yang berlainan serta
memunculkan realitas yang lain daripada yang direncanakan.48
Pelaksanaan “Politik Islam” yang didasarkan atas strategi bagi keperluan
keutuhan Hindia Belanda pada berbagai dunia sosial di kepulauan Indonesia, di satu
pihak menimbulkan dikotomi Islam dan penguasa, yang kadang-kadang cukup keras.
Sednagkan di pihak lain, hal ini juga mempercepat proses pelebaran jangkauan agama
dalam kehidupan politik. Yang bersifat struktural, yaitu makin merenggangnya wakil
kekuasaan, sebagai penjaga ketentraman masyarakat, dengan wakil agama (ulama),
48 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987) cet.
Ke-1, hlm. 19

21

sebagai unsur pengingat akan adanya batas yang mutlak antara haq dan bathil.
Sedangkan yang kedua bersifat konseptual ideologis, yaitu makin kuatnya
kecenderungan untuk memakaikan kerangka agama dalam menilai realitas.
Di saat gerakan pembaharuan Islam bermula sebagai gejala kekotaan, yang
serta merta menimbulkan konflik agama yang cukup serius, di daerah pedesaan para
ulama tradisionalis, baik yang heterodoks (terutama dari kalangan tarekat), maupun
yang ortodoks, masih sangat berpengaruh. Para ulama tradisionalis inilah yang
dijauhkan dari sistem kekuasaan, baik yang bersifat pribumi, apalagi yang merupakan
bagian dari birokrasi pemerintahan di saat dominasi politik kolonial makin kuat. Jadi
di daerah pedesaan ini dikotomi antara wakil kekuasaan dengan wakil agama (ulama)
dipertajam.
Dalam keadaan seperti ini, usaha ke arah domestikasi ulama dan pesantren
tradisionalis lebih digiatkan pemerintah kolonial. Mereka yang dari sudut kategorisasi
kepemimpinan Islam ini dapat disebut sebagai ulama ulama-bebas kini makin
diusahakan untuk lebih bersifat akomodatif, baik dari sudut pengaturan kelembagaan,
maupun

dengan

berbagai

corak

kebijaksanaan

persuasif.

Kecenderungan

tradisionalisme ini bertambah merata dengan tergabungnya sebagian besar ulamaulama atau para guru di pesantren, ke dalam organisasi formal seperti Nahdhatul
Ulama/ NU (di jawa).49
B. Pesan Persatuan dalam Keberagaman Masyarakat Indonesia
Jika demokrasi menjadikan kediktatoran sebagai musuh bebuyutan, maka
lawan dari moderasi adalah intoleransi dan ekstremisme. Karena itu, jalan terbaik
yang harus dibangun dalam masyarakat yang plural adalah rekonsiliasi antara
demokrasi dan moderasi, demokrasi dan toleransi untuk menggempur kediktatoran
dan ekstremisme.

49 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987) cet.
Ke-1, hlm. 29

22

Demokrasi dan moderasi atau demokrasi dan toleransi ibarat ibarat dua mata
uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan
tatanan politik yang otoritarianistis. Sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan
melahirkan toleransi yang rentan menimbulkan konflik-konflik komunal. Karena itu,
demokrasi dan toleransi harus berkait kelindan, baik dalam komunitas masyarakat
politik maupun masyarakat sipil.
Oleh karena itu, dalam hubungan sesama manusia diperlukan sebuah ikatan
sosial dalam rangka menjaga keberlangsungan hidup yang damai dan toleran.
Persaudaraan dan toleransi merupakan prasyarat untuk melahirkan sikap-sikap
keberagaman yang moderat. Begitu pula dalam konteks Negara yang menganut
kebinekaan, yang diperkuat oleh sistem demokrasi, sikap moderasi merupakan suatu
keniscayaan.
Paham dan sikap keberagaman yang harus bernuansa kedamaian, keadilan,
dan berkeadaban harus dijadikan sebagai tuntunan dan tuntutan hidup. Kalangan
muslim harus berupaya melahirkan pandangan tersebut ditengah arus radikalisasi dan
ekstremisme, baik lahir akibat keyakinan teologis maupun sebagai sikap perlawanan
terhadap modernitas.
Kiai Hasyim merupakan tokoh ulama yang memberikan inspirasi mengenai
sikap moderat yang didalamnya memiliki nuansa persaudaraan dan toleransi agar
senantiasa disemai untuk hari esok yang lebih baik, dan terdapat sikap saling
menghargai serta hidup berdampingan dengan damai.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid yang sering disapa Gus Dur menegaskan
keharusan

Islam

untuk

menerima

pluralitas

situasi-situasi

lokal,

dan

mengakomodasikannya. Dalam konteks agendanya untuk mempertimbangkan situasi
lokal tersebut, Gus Dur menyuarakan gagasan tentang: (1) Islam sebagai

23

komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik Indonesia; (2) “Pribumisasi
Islam”.50
Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam formasi tatanan
sosial, kultural, dan politik negeri ini. Dengan adanya corak sosial, kultural dan
masyarakat politik kepulauan Nusantara yang beragam, menurut Gus Dur, maka
upaya menjadikan Islam sebagai ideology alternative atau “pemberi warna tunggal”
hanya akan membawa perpecahan ke dalam masyarakat secara keseluruhan.51
Pandangan Gus Dur tersebut, bukan berarti dia menentang peran Islam dalam
Negara. Yang menjadi titik tekannya adalah bahwa semua komponen masyarakat
sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di dalam Negara-bangsa
Indonesia. Dengan Pancasila sebagai kompromi ideologi bangsa ini, masing-masing
kelompok sosial-keagamaan mempunyai hak yang sama untuk memberi sumbangan
nilai-nilai mereka kepada Negara-bangsa Indonesia.52
Beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh kita untuk tetap menguatkan tali
persatuan diatas kemajemukan bangsa Indonesia adalah: pertama, meningkatkan tali
persaudaraan. Kedudukan persaudaraan dalam Islam adalah penting karena hal
tersebut akan menjadi penyangga bagi tatanan yang kukuh dalam sebuah
masyarakat.53
Adapun landasan teologi yang digunakan oleh Kiai Hasyim yang membangun
spirit persaudaraan dan toleransi adalah tiga ayat al-Qur’an sebagai berikut:

‫ن‬
‫ن ٰ ن ن م‬
‫خل ن ن‬
‫س ٰات ن ك‬
‫ة‬
‫ذيِ ٰ ن‬
‫وا م‬
‫حد ن ر‬
‫م ٰ م‬
‫م ٰال ن م‬
‫نياَ ٰ أي ي ن‬
‫م م‬
‫قك ك م‬
‫قوُا ٰ نرب نك ك ك‬
‫هاَ ٰالنناَ ك‬
‫س ٰ ن‬
‫ف ر‬
ٰ ‫ء‬
‫وب ننن ن‬
‫و ن‬
‫سنناَ ب‬
‫ث ٰ م‬
‫ق ٰ م‬
‫ر ن‬
‫و ن‬
‫ون م ن‬
‫من م ك‬
‫ج ن‬
‫من م ن‬
‫ه ن‬
‫خل ننن ن‬
‫جنناَبل ٰك نث ميِننبرا ٰ ن‬
‫هنناَ ٰ ن‬
‫هنناَ ٰنز م‬
‫ن‬
‫منناَ ٰ م‬
50 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz
Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 440-441
51 Bakhtiar Effendy, “Islam dan Negara”, dalam Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial
Intelektual Islam di Indonesia, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), cet. Ke-1, hlm. 441
52 Ibid., hlm. 441
53 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010), cet. Ke-2, hlm. 238-241

24

‫وات ن ك‬
‫ن‬
‫ن ٰب منن م‬
‫ه ٰال ن م‬
‫ه ٰك ننناَ ن‬
‫م ٰۚ ٰإ م ن‬
‫سنناَءنكلوُ ن‬
‫وامل نمر ن‬
‫حنناَ ن‬
‫ذيِ ٰت ن ن‬
‫ن ٰالل ننن ن‬
‫قوُا ٰالل ن ن‬
‫ه ٰ ن‬
‫ن‬
‫ن‬
َ‫قيِببا‬
‫ن‬
‫م ٰنر م‬
‫عليِ مك ك م‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS:An-Nisaa | Ayat: 1

,Adapun ayat yang kedua

‫ن‬
‫م ن‬
‫ن ٰت ك م‬
‫ن‬
‫هننن م‬
‫ض‬
‫ل ٰ ن‬
‫دوا ٰ م‬
‫ف م‬
‫م ٰأ م‬
‫م ٰإ م م‬
‫سننن ك‬
‫ع ن‬
‫ف ن‬
‫وُل نيِ مت ك م‬
‫سنننيِ مت ك م‬
‫ن ٰنتننن ن‬
‫فنننيِ ٰالمر م‬
‫ن‬
‫وت ك ن‬
‫م‬
‫عوُا ٰأمر ن‬
‫قط ط ك‬
‫مك ك م‬
‫حاَ ن‬
‫ن‬
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” QS:Muhammad | Ayat: 22

‫ن‬
‫ك ٰال نذين ٰل نعن نهم ٰالل نه ٰ ن ن‬
‫كأول ىنئ م ن‬
‫م‬
‫وأ ن م‬
‫صاَنر ك‬
‫م ك‬
‫ه م‬
‫ع ن‬
‫ه م‬
‫ص ن‬
‫ك‬
‫م ن ن ك ك‬
‫ى ٰأب م ن‬
‫فأ ن‬
‫م ٰ ن‬
‫م ى‬

“Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka
dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” QS:Muhammad | Ayat: 23

Ayat yang ketiga,

‫وي ن م‬
‫ن ٰي نن م ك‬
َ‫منا‬
‫ن ٰ ن‬
‫ميِنثناَ م‬
‫ق ك‬
‫ق م‬
‫د ٰ م‬
‫ع م‬
‫ه ٰ م‬
‫د ٰالل ن م‬
‫ال ن م‬
‫عنوُ ن‬
‫ضوُ ن‬
‫قط ن ك‬
‫ن ٰب ن م‬
‫ه ن‬
‫ع م‬
‫م م‬
‫ذي ن‬
‫ن ٰ ن‬
‫ه ٰ ن‬
‫أ نمر ٰالل نه ٰب ن‬
‫ض ٰ ٰكأول ىنئ م ن‬
‫وي ك م‬
‫ص ن‬
‫م‬
ۚ ‫فيِ ٰامل نمر م‬
‫ك ٰ ك‬
‫ن ٰ م‬
‫ف م‬
‫ك م م‬
‫دو ن‬
‫ه ٰأ م‬
‫س ك‬
‫هنن ك‬
‫ن ٰكيوُ ن‬
‫ل ٰ ن‬
‫ن ن‬
‫ن‬
‫ال م ن‬
‫خاَ م‬
‫سكرو ن‬
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh,
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orangorang yang rugi.” QS:Al-Baqarah | Ayat: 27

25

Kiai Hasyim bermaksud dari elaborasi ayat tersebut ingin ditekankan dimensi
pentingnya silaturahmi. Dalam tradisi Islam, silaturahmi merupakan salah satu
dimensi yang paling fundamental dalam membangun persaudaraan toleran. Sebab,
silaturahmi merupakan perintah yang dapat membangun sikap keterbukaan dan
dialog, serta yang terpenting adalah dalam rangka menghindar dari upaya-upaya
melakukan kerusakan di muka bumi.54 Bahkan Bung Karno pernah mempopulerkan
gotong royong sebagai bentuk persaudaraan antarsesama anak bangsa yang
menghendaki kemerdekaan dan kemajuan.55
Nilai-nilai tersebut terasa makin mendesak untuk dihidupkan kembali,
terutama dalam konteks mendorong agama agar mempunyai korelasi positif dengan
spirit kebangsaan dan keharmonisan. Agama harus menjadikan seseorang semakin
mengerti betapa pentingnya persaudaraan sebagai salah satu prasyarat terciptanya
ikata-ikatan sosial yang kuat, kreatif, dan produktif.
Solusi yang kedua adalah Toleransi yang merupakan sebuah keniscayaan bagi
masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa. Toleransi
sudah menjadi konsensus global dan fondasi untuk tatanan masyarakat yang damai
dan berkeadaban.
Setidaknya ada dua modal yang dibutuhkan untuk membangun toleransi.
Pertama, toleransi membutuhkan interaksi sosial melalui percakapan dan pergaulan
intensif. Kedua, membangun rasa saling percaya diri dalam pelbagai kelompok dan
aliran.
Kiai Hasyim menegaskan, manusia adalah makhluk yang senantiasa
berinteraksi antara satu sama lain. Untuk itu, Kiai Hasyim memberikan arahan
pentingnya perkumpulan, persatuan, kebersamaan, dan kasih sayang. Nilai-nilai
tersebut merupakan sebuah keniscayaan untuk membangun toleransi diantara sesama
umat.
54 Zuhairi Misrawi, HadratusSyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta: Kompas, 2010),