PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI PENERAPAN METODE SOSIODRAMA DI KELAS V SD NEGERI CILUMPING - repository perpustakaan

  1) Bahasa sebagai simbol Simbol atau lambang adalah suatu yang dapat melambangkan mewakili ide, perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbiter konversional dan representatif- interpretatif. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang menyimbolkan dengan yang disimbolkan. Untuk itu baik yang batiniah (linier) seperti perasaan, pikiran, ide, maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.

  Manusia senantisa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang, memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri merupakan kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam simbol terkandung ide, dan perasaan, serta tindakan manusia.

  Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi.

  Kata adalah bagian dari simbol yang hidup dan digunakan oleh kelompok msyarakat tertentu. Kata bersifat simbolis karena tidak memiliki hubungan langsung atau hubungan intrinsik dengan kenyataan yang diacunya, tetapi hanya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya kata /b-u-k-u/ tidak ada hubungannya dengan benda yang dirujuk yaitu lembaran lembaran kertas yang ditulis dan dibaca. Kata / a-p-i / tidak ada hubungannya dengan sifat kepanasan yang diacunya sehingga walaupun kita mengucapkan kata api berkali-kali, maka mulut kita tidak akan terbakar. Hal itu hanya bersifat arbiterer dan kemudian disepakati menjadi konvensi oleh pemakai bahasa.

  Sebuah wacana secara totalitas dapat juga berupa simbol. Dalam masayarakat batak dikenal wacana berupa ragam bahasa rataan (wailing language). Bahasa ratapan adalah syair yang diucapkan oleh seseorang ketika dia menagisi orang yang meninggal. Bahasa ratapan melambangkan dan mewakili perasaan siperatap. Bahasa ratapan itu sebagai symbol secara totalitas, tetapi wacana bahasa ratapan itu juga terdiri dari simbol-simbol yang lebih kecil seperti kata, frase, dan kalimat. 2) Bahasa Sebagai Bunyi Ujaran

  Telinga selalu mendengar bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh benda benda tertentu. Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Human Organ of Speech) yang disebut sebagai bahasa.

  Bunyi ujaran merupakan sifat kesemestaan atau keunivesalan bahasa. Tidak satupun bahasa di dunia ini yang tidak terjadi dari bunyi. Bahasa sebagai ujaran, mengimplikasikan bahwa media komunikasi yang paling penting adalah bunyi ujaran. Jika kita mempelajari sesuatu bahasa kita harus belajar menghasilkan bunyi-bunyi suara.

  Pada hakikatnya, bunyi adalah kesan pada pusat syaraf sehingga akibat getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubhan dalam tekanan udara. Bunyi ujaran (speech

  

sound ) adalah suatu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan

  diamati dalam fonemik sebagai fon atau dalam fonologi sebgai fonem.

  3) Bahasa Bersifat Arbitrer Pengertian arbitrer dalam studi bahasa adalah mana suka, asal bunyi atau tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan. Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan sehingga ciri khusus bahasa tidak dapat diramalkan secara tepat.

  Secara leksis, dapat dilihat kearbitreran bahasa. Kata

  

anjing digunakan dalam Bahasa Indonesia, biang dalam bahasa

  Batak, dog dalam bahasa Inggris. Hal ini memiliki kata yang berbeda untuk menyatakan konsep yang sama. Kearbitreran bahasa di dunia ini menyebkan adanya kedinamisan bahasa.

  4) Bahasa Besifat Konvensional Konvensional dapat diartikan sebagai suatu pandangan atau anggapan bahwa kata-kata sebgai penanda tidak memiliki hubungan intrisik atau inhern dengan objek, tetapi berdasarkan kebiasaan, kesepakatan atau persetujuan masayarakat yang didahului pembentukan secara arbitrer. Tahapan awal adalah manasuka/arbitrer, hasilnya disepakati/dikonvensionalkan, sehingga menjadi konsep yang terbagi bersama (sicialy cocept). Setip bicara terlibat dalam konvensi. Jika sorang melihat kata

  

kursi atau mendengar bunyi kursi, secara langsung dapat

  mengetahui bahwa kata itu merujuk sesuatu yang lain. Jika tahu bahwa tidak ada hubungan yang ihern antar kata kursi dengan benda kursi. Kata itu merujuk pada benda karena ada konvensi penamaan atau penyebutan benda tertentu dengan suatu nama tertentu.

  Konvensi/kesepakatan akan menentukan kata yang dibentuk secara arbitrer dapat terus berlangsung dalam pemakaian bahasa makna menjadi pembicaraan orang.

  a) Makna Kontekstual Makna unsur bahasa yang didasarkan pada hubungan antara ujaran dengan situasi ketika ujaran itu dipergunakan.

  Misalnya kata bagus dapat berati jelek ketika seorang ayah mengejek anaknya yang malas belajar, kalimat yang patutlah

  nilaimu sangat bagus.

  b) Makna Gramatis Makna yang diperoleh berdasarkan hubungan antar unsur- unsur bahasa dalam satuan satuan yang lebih besar. Misalnya pada kata dia mencintai ibunya, bermakna sebutan atau perbuatan aktif.

  5) Bahasa Bersifat Produktif

  Hal ini diartikan sebagai kemampuan unsur bahasa untuk menghasilkan terus-menerus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru. Prefik / men / dan / di/, misalnya dapat melekat pada setiap kata kerja dan fungsinya masing- masing membentuk kata kerja aktif dan kata kerja pasif dalam Bahasa Indonesia.

  6) Bahasa Bersifat Universal Bahasa merupakan suatu yang berlaku umum dan dimiliki setiap orang. Pada sifat internal bahasa, universal adalah katagori linguistik yang berlaku umum untuk semua bahasa. 7) Bahasa Bersifat Unik

  Hal ini terlihat dari studi bahasa yang tersendiri bentuk dan jenisnya dari bahasa lain. Setiap bahasa ada perbedaan dengan bahasa lain meskipun termasuk dalam bahasa serumpun. 8) Bahasa Sebagai Komunikasi

  Menjadi penyampai pesan dari penyapa kepada pesapa (penerima). Komunikasi harus bermakna atau berarti baik bagi penyapa atau pesapa. Komunikasi dapat bermakna jika sistem tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi dapat informative.

c. Hakikat Berbicara

  1) Pengertian Berbicara Berbicara merupakan kegiatan komunikasi lisan. Berbicara dapat diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekpresikan atau menyampaikan pikiran gagasan atau perasaan secara lisan (Brown dan Yule,1983). Kaitan antara antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampain sangat erat. Pesan yang diterima oleh pendengar tidaklah dalam wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa itu menjadi bentuk semula. Kareana itulah maka sering kita dengar dengan ungkapan “medium is message”.

  Keterampilan berbicara pada dasarnya harus dimiliki oleh semua orang yang di dalam kegiatannya membutuhkan komunikasi, baik yang sifatnya satu arah maupun yang timbal balik antar keduanya. Seseorang yang memiliki keterampilan berbicara yang baik, akan memiliki kemudahan di dalam pergaulan, baik di rumah, maupun di tempat lain.

  Konsep dasar berbicara sebagai sarana komunikasi mencakup sembilan hal, yakni: a) Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal

  b) Berbicara adalah proses individu berkomunikasi

  c) Berbicara adalah ekspresi kreatif

  d) Berbicara adalah tingkah laku

  e) Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari

  f) Berbica dipengaruhi kekayaan pengalaman

  g) Berbicara saran memperluas cakrawala

  h) Kemampuan linguistik berkaitan erat i) Berbicara adalah pancara pribadi (Logan dan Gumawang,1972: 104-105).

  2) Tujuan berbicara Tujuan bebicara adalah untuk berkomunikasi, agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif (Tarigan, 1987: 5). Tujuan berbicara biasanya dapat dibedakn atas lima golongan, yakni:

  a) menghibur;

  b) menginformasikan;

  c) menstimulasi; d) meyakinkan; e) menggerakan.

  Berbicara untuk menghibur, pembicara menarik perhatian dengan berbagai cara seperti humor, spontanitas, menggairahkan, kisah-kisah jenaka, dan sebagainya. Humor yang orisinil baik dalam gerak-gerik cara berbicara cara mengunakan kata atau kalimat akan menawan pembicara. Suasana pembicara biasanya santai, rileks, penuh canda, dan menyenangkan.

  Berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan bila seseorang ingin: a) menjelaskan suatu proses;

  b) menguraikan, menafsirkan, atau menginterprestasikan sesuatu hal; c) memberi, menyebarkan, atau menanamkan pengetahuan; d) menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antar benda, hal atau peristiwa.

  Berbicara untuk tujuan meyakinkan ialah meyakinkan pendengar akan seusuatu. Melalui sikap pembicara yang meyakinkan sikap pendengar akan dapat diubah dari yang tadinya menolak menjadi menerima. Misalnya bila seseorang atau kelompok orang tidak menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa sikap mereka tidak benar. Melalui pembicara yang terampil dan disertai bukti, fakta, contoh dan ilustrasi yang mengena.

  Berbicara untuk tujuan mengerakan diperlukan pembicara yang berwibawa, panutan, atau tokoh idola masyarakat. Melaui kepintaran berbicara, kelihatan membakar emosi, kecakapan memanfaatkan situasi, ditambaha dengan penguasaan terhadap ilmu jiwa massa, pembicara akan dapat menggerakan pendengarnya.

  Pembicara yang baik selalu berusaha meyakinkan kebenaran isi ungkapan; sesuatu yang direncanakan hasilnya lebih baik dari yang tidak direncanakan. Makna ungkapan tersebut dapat diterapakan dalam mempersiapakan pembicaraan mulai dari: a) memilih topik;

  b) memahami dan menguji topik;

  c) menganalisis pendengar dan situasi; d) menyusun rencana kerangka pembicaraan; e) mengujicobakan; f) meyakinkan.

  3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara.

  Keterampilan berbicara seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penunjang yaitu internal dan ekternal. Faktor internal adalah segala sesuatu potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun non fisik, faktor fisik adalah menyangkut dengan kesempurnaan organ-organ tubuh yang digunakan di dalam berbicara misal pita suara, lidah, gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian (kharisma), karakter, tempramen, bakat, (talenta), cara berfikir, dan tingkat intelegensi.

  Sedangkan faktor ekternal misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan pergaulan.

  Faktor penunjang keefektifan berbicara menurut (Asjad 2005: 17-22) diklasifikasikan sebagai berikut:

  a. Faktor-faktor kebahasaan sebagai penunjang keefektifan berbicara: 1) Ketepatan ucapan

  Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar.

  2) Penenempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi akan merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu keberhasilan berbicara. 3) Pemilihan kata (diksi) Pemilihan kata hendaknya tepat, jelas, dan bervariasi.

  Jelas maksudnya mudah dimengerti oleh pendengar yang menjadi sasaran. Pemilihan kata harus kita sesuaikan dengan pokok pembicaraan dan dengan siapa berbicara. 4) Ketepatan sasaran pembicara

  Hal ini menyangkut pemakaian kalimat efektif. Kalimat yang mengenai sasaran, sehingga mampu meningalkan kesan, menimbulkan pengaruh atau menimbulkan akibat.

  b. Faktor-faktor non kebahasaan sebagai penunjang keefektifan berbicara.

  Berikui ini yang termasuk faktor non kebahasaan antara lain: 1) Sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku

  Dengan sikap yang wajar sebenarnya pembicara sudah dapat menunjukan otoritas dan integritas dirinya sebaiknya latihan sikap ini ditanamkan lebih awal karena sikap ini merupakan modal utama untuk kesuksesan berbicara.

  2) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara Dengan sikap ini pembicara melibatkan pada semua pendengar. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah, akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan sehinga pendengar tiadak dapat merespon apa yang disampaikan pembicara akibatanya materi yang disampaikan akan menjadi sia-sia.

  3) Kesediaan menghargai pendapat orang lain Seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka, mau menerima paendapat orang lain dan bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau memang keliru. 4) Gerak - gerik

  Sikap ini dapat pula menunjang keefektifan berbicara, selain itu juga menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. 5) Mimik yang tepat

  Mimik atau ekspresi muka merupakan salah satu faktor yang sangat mendukung dalam melakukan berbicara dengan ekspresi yang sesuai akan dapat meyakin kan pendengar.

  6) Kenyaringan suara Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat dan jumlah pendengar. Dengan pengaturan kenyaringan yang tepat pendengar akan dapat mendengar dengan jelas isi pembicara.

  7) Kelancaran Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan menagkap isi pembicaraannya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraannya. Oleh karena itu, pembicara diharapkan dapat mengatur tempo kata - kata atau kalimat.

  8) Relevansi atau penalaran

  Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.

  9) Penguasaan topik Penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi penguasaan topik sangat penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara. Banyaknya faktor yang terlihat di dalamnya, menyebabkan orang beranggapan bahwa berbicara merupakan kegiatan yang kompleks. Faktor- faktor tersebut merupakan indikator keberhasilan berbicara sehingga harus diperhatikan pada saat menentukan mampu tidaknya seseorang berbicara. Jadi, tingkat kemampuan berbicara seseorang atau siswa tidak hanya ditentukan dengan mengukur penguasaan faktor linguistik saja atau faktor psikologis saja, tetapi dengan mengukur penguasaan semua faktor tersebut secara menyeluruh.

  Seseorang dapat membaca atau menulis secara mandiri, dapat menyimak siaran radio tetapi sangatlah jarang orang melakukan kegiatan berbicara tanpa hadirnya orang kedua sebagai pemerhati atau penyimak. Oleh sebab itu, Valette (1977) berpendapat bahwa berbicara merupakan kemampuan berbahasa yang bersifat sosial. Perhatikan contoh kegitan berbicara berikut ini. Bu Tina : “Saya dengar Andi mengalami kecelakaan. Oleh karena itu, saya langsung datang kesini.” Bu Susi : “ Benar. Kalau saja dia mau mendengarkan omongan saya, tidak naik motor ke sekolah, mungkin saat ini dia tidak berbaring di sini .”

  Bu tina : “Sudahlah, Bu. Jangan terlalu disesali. Mudah-mudahan kejadian ini membawa hikmah bagi kita, terutama bagi Andi. Kita berdoa saja, mudah-mudahan luka-luka Andi cepat sembuh dan Andi bisa kembali ke sekolah seperti biasa.”

  Bu Susi : “Ya, Bu. Terimakasih atas kedatangan Ibu.” Pemirsa, saat ini kita berada di lokasi banjir di kota

  Semarang. Banjir yang terjadi sejak hari Senin kemarin masih menggenangi rumah-rumah dan sekolah - sekolah di kota ini. Para penghuni rumah yang terkena banjir berusaha menyelamatkan barang-barang mereka ke tempat yang lebih aman. Anak-anak sekolah terpaksa libur karena sekolah tempat menimba ilmu tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Banjir di kota ini baru pertama kali terjadi. Sebaiknya kita harus waspada mengingat musim hujan masih panjang. Kita harus menjaga lingkungan agar banjir seperti ini tidak terulang lagi. Demikian laporan dari Atika

  Suri. Kita kembali ke studio 5. Silahkan Adolf. Kegiatan yang dilakukan pada uraian di atas merupakan salah satu kegiatan berbicara 3.

   Metode sosiodrama

  Sosisodrama adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak melibatkan siswa dan membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai nilai tambah yaitu: a) dapat menjamin partisipasi seluruh siswa dan memberi kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga berhasil; b) permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa. Pembelajaran dengan sosiodrama merupakan suatu aktivitas yang dramatik, biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil siswa, bertujuan mengeksploitasi beberapa mesalah yang ditemukan untuk melengkapi partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat meningkatkan pemahaman.

  Menurut Mulyasa (2005) pembelajaran dengan Sosiodrama ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah, pemilihan peran, menyusun tahap- tahap bermain peran, menyiapkan pengamat, tahap pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Pada tahap pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. Tahap pemilihan peran memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan yang harus dikerjakan oleh para pemain. Selanjutnya menyusun tahap- tahap bermain peran. Dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa bisa menambah dialog sendiri.

  Tahap berikutnya adalah menyiapkan pengamat. Pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.

  Setelah semuanya siap maka dilakukan kegiatan pemeranan. Pada tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing sesuai yang terdapat pada skenario bermain peran. Dalam hal ini guru menghentikan permainan pada saat terjadi pertentangan agar memancing permasalahan agar didiskusikan. Masalah yang muncul dari bermain peran, dibahas pada tahap diskusi dan evaluasi. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial (Djamarah dan Zain, 2002). Sosisodrama menurut (Djamarah dan Zain 2002) mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut: a. Kelebihan Metode sosiodrama

1) Siswa melatih dirinya untuk memahami dan mengingat isi bahan

  yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahami, menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.

  • – 2) Siswa lebih tertarik perhatian pada pelajaran, karena masalah masalah sosial berguna bagi mereka.

  3) Karena bermain peran adalah bermain peran sendiri maka mudah memahami masalah

  • –masalah sosial . 4) Bagi siswa yang memerankan seperti orang lain, maka ia dapat menempatkan diri seperti watak orang lain, sehingga ia dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian toleransi dan tenggang rasa .

  5)

  Siswa akan berlatih untuk berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran para pemain dituntut untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.

  6) Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga

  dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.

  7) Kerjasama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaikbaiknya.

  8) Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.

  9)

  Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain. b. Kelemahan metode sosiodrama 1) Sebagian siswa yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang kreatif.

  2) Banyak memakan waktu, baik waktu untuk persiapan maupun pelaksanaan pertunjukan.

  3) Memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit anak menjadi kurang bebas.

  4) Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya.

  c. Proses pelaksanaan metode sosiodrama 1) Pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupanpeserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari penyelesaiannya. 2) Pemilihan peran, memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain. 3) Menyusun tahap-tahap bermain peran, dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa dapat juga menambahkan dialog sendiri. 4) Menyiapkan pengamat, pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.

  5) Pemeranan, dalam tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.

  6) Diskusi dan evaluasi, mendiskusikan masalah-masalah serta pertanyaan yang muncul dari siswa.

  7) Pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang telah dilakukan.

  Jadi pembelajaran dengan sosiodrama merupakan cara belajar yang dilakukan dengan cara membagi siswa mnjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok memerankan karakter sesuai dengan naskah yang telah dibuat dan materi yang telah ditentukan oleh guru, sehingga siswa lebih mudah memahami dan mengingat materi yang telah diperankan tersebut.

B. Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang dilakukan oleh (Kasmiati 2004) FKIP yang berjudul Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Sosiodrama Pada Siswa Kelas II di SD Negeri 3 Pakikiran. Menunjukkan adanya peningkatan pada aspek minat, sikap, prestasi belajar dan kemampuan berbicara siswa dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil observasi dan evaluasi pada setiap siklus. Rata-rata anak didik berpredikat sangat baik pada aspek minat dan berbicara. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode sosiodrama dapat meningkatkan kemampuan berbicara anak didik pada pembelajara Bahasa Indonesia di kelas II SD Negeri 3 Pakikiran Tahun Pelajaran 2004.

  Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Pada dasarnya setiap siswa mau dan mampu untuk belajar tergantung pada minat masing-masing untuk mempelajari sesuatu. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar siswa, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik- baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan siswa enggan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini juga dapat berakibat pada prestasi belajar Bahasa Indonesia yang juga menurun.

  Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan kamampuan berbicara siswa yaitu dengan menggunakan penerapan sosiodrama. Penerapan sosisodrama diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dengan penerapan model sosiodrama diharapkan kemampuan berbicara siswa dapat meningkat, dengan ditandai adanya peningkatan prestasi belajar Bahasa Indonesia.

C. Kerangaka Berpikir

  Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Pada dasarnya setiap siswa mau dan mampu untuk belajar tergantung pada minat masing-masing untuk mempelajari sesuatu. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar siswa, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik- baiknya. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan siswa enggan dan kurang bergairah dalam mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini juga dapat berakibat pada prestasi belajar Bahasa Indonesia yang juga menurun.

  Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang guru untuk dapat meningkatkan minat belajar siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan minat belajar siswa yaitu dengan menggunakan penerapan metode sosidrama.

  Penerapan metode sosiodrama diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalaminya. Dengan penerapan metode sosiodrama diharapkan minat belajar siswa dapat meningkat, dengan ditandai adanya peningkatan kemampuan berbicara dan prestasi belajar Bahasa Indonesia.

D. Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan analisis teoritik dapatlah dirumuskan hipotesis tindakan sebagai berikut : “Jika pembelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi dasar memerankan tokoh drama dengan lafal dan intonasi yang tepat di kelas V SD Negeri Cilumping Kabupaten Cilacap menggunakan metode sosiodrama maka kemampuan berbicara siswa akan meningkat belajar siswa akan meningkat”.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Setting Penelitian

  1. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Februari tahun 2012 dengan menggunakan 2 siklus. Setiap siklusnya dilaksanakan

  2 kali pertemuan. Pelaksanaan siklus I pertemuan pertama hari Selasa, tanggal 3 Januari 2012 dan pertemuan kedua hari Kamis, tanggal 5 Januari 2012. Siklus II pertemuan pertama hari Selasa, tanggal 10 Januari 2012 dan pertemuan kedua hari Kamis, tanggal 12 Januari 2012.

  2. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kelas V SD Negeri Cilumping Kabupaten Cilacap Tahun ajaran 2011/2012.

  B. Subjek Penelitian

  Penelitian ini dilaksanakan di kelas V SD Negeri Cilumping Kabupaten Cilacap Tahun ajaran 2011/2012. Jumlah siswa yang diteliti ada 20 siswa yang terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan.

  C. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

  1. Observasi Adapun teknik dan pengumpulan data adalah dengan cara observasi, observasi Menurut Sudijono (2006 : 76), observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap

  31 fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan. Observasi sebagai alat evaluasi banyak digunakan untuk menilai tingkah laku individu atau proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan data aktivitas guru dan aktivitas siswa pada pembelajaran dengan menggunakan metode sosiodrama antara lain: a. Aktivitas guru

  Observasi aktivitas guru dilakukan dengan mengamati kegiatan guru pada saat proses pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi aktivitas guru yang sudah disiapkan. Adapun aktivitas guru yang diamati adalah : 1) mempersiapkan perencanaan; 2) mempersiapkan materi pembelajaran; 3) menyediakan lembar penilaian; 4) mengkondisikan siswa; 5) menginformasikan materi pembelajaran; 6) menyampaikan tujuan pembelajaran; 7) melakukan apresiasi sebagai pengantar menuju materi; 8) pemilihan masalah; 9) pemilihan peran; 10) menyusun tahap

  • – tahap bermain peran; 11) menyiapkan pengamat; 12) pemeranan; 13) diskusi dan evaluasi; 14) pengambilan kesimpulan dari bermain peran yang di hadapi; 15) melakukan refleksi; 16) menindak lanjuti hasil penilaiandengan memberi arahan, atau tugas sebagai pengayaan.

  b. Aktivitas siswa Observasi aktivitas siswa dilakukan dengan mengamati kegiatan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung menggunakan

  • – lembar observasi aktivitas siswa yang sudah disiapkan. Adapun hal hal yang diamati antara lain: 1) sikap; 2) pandangan; 3) menghargai pendapat; 4) gerak
  • – gerik; 5) mimik; 6) kenyaringan suara; 7) kelancaran; 8) relevansi atau penalaran; 9) penguasaan topik.

  2. Tes Tes terbagi menjadi beberapa macam namun peneliti melakukan du tes antara lain: a. Tes Awal

  Menurut Sudijono (2006 : 69) tes awal sering dikenal dengan pre-

  

test . Tes jenis ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui

  sejauh manakah materi atau bahan pelajaran yang akan diajarkan telah dapat dikuasai oleh para peserta didik. Isi atau materi tes awal pada umumnya ditekankan pada bahan-bahan penting yang seharusnya sudah diketahui atau dikuasai oleh peserta didik sebelum pelajaran diberikan kepada mereka.

  b. Tes Sumatif Menurut Sudijono (2006 : 72), tes sumatif adalah tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan program pengajaran selesai diberikan. Tes sumatif dilaksanakan secara tertulis, agar semua siswa memperoleh soal yang sama. Butir- butir soal yang dikemukakan dalam tes sumatif biasanya berupa pilihan ganda, isian singkat, dan uraian.

D. Validasi Data

  1. Hasil Observasi/ Pengamatan Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkatan kevalidan dan kesahihan suatu instrument (Suharsimi Arikunto, 1999:

  158). Instrumen atau alat ukur yang baik akan mampu mengukur dengan tepat dan mampu memberikan reading score, (biji), yang akurat dan teliti yaitu mampu secara cermat menunjukkan besar kecilnya dan gradasi suatu gejala sosial tertentu.

  Validasi hasil lembar pengamatan dalam penelitian ini menggunakan

  triangulation (triangulasi) yaitu mengambil pengamatan dari tiga pengamat

  yaitu guru kelas sebagai peneliti dan dari dua orang teman guru sejawat (kolaborator/ observer) yang ikut mengamati dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran tetapi tidak berpartisipasi dalam pembelajaran atau kolaborator/

  observer teman guru adalah pengamat langsung bukan partisipator.

  Hasil pengamatan dari tiga sumber ini tersaji pada bagian pembahasan laporan ini.

  2. Hasil Tes Dua aspek validitas yang penting adalah ketepatan dan penelitian.

  (M. Toha Anggoro, 2007 : 5.29). Dalam penelitian ini karena yang akan diukur adalah jenis tes lisan dan hasil tes tertulis dapat dilihat, maka validasi data yang digunakan adalah validitas permukaan.

  Validitas permukaan adalah validitas yang dibuat berdasarkan pesan ilmiah peneliti terhadap alat ukurannya; yakni apakah kelihatannya alat ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak diukur, M. Toha Anggoro (2007 : 5-9). Validitas permukaan merupakan jenis alat ukur yang mudah karena biasanya digunakan untuk mengukur konsep sederhana yang dapat langsung dirujuk dengan indikator empiris di lapangan. Misalnya beberapa kalimat yang dapat disampaikan pada saat memberikan tanggapan.

E. Teknik Analisis Data

  Metode analisis data pada penelitian ini adalah menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berupa angka hasil belajar siswa, sedangkan data kualitatif berupa persentase hasil observasi yang juga dideskripsikan dengan kata-kata.

  1. Data Keterampilan Menyusun RPP Untuk skala dan kriteria penilaian menyusun RPP adalah sebagai berikut:

  Nilai 5 guru menyusun RPP dengan “ Sangat Baik” Nilai 4 guru menyusun RPP dengan “ Baik” Nilai 3 guru meny usun RPP dengan “ Cukup ” Nilai 2 guru menyusun RPP dengan “ Kurang ” Nilai 1 guru menyusun RPP dengan “ Sangat Kurang” Nilai akhir = Keterangan:

  = Jumlah keseluruhan yang diperoleh = Jumlah keseluruhan skor maksimal

  (Sumber: Usman, 2006:331)

  2. Data Pengamatan Kinerja Guru Untuk mengamati aktivitas guru dalam proses pembelajaran maka dilakukan pengamatan. Untuk skala penilaian dan kriteria yang digunakan pada lembar observasi aktivitas guru dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Nilai 5 guru mengelola proses pembelajaran dengan “ Sangat Baik” Nilai 4 guru mengelola proses pembelajaran dengan “ Baik” Nilai 3 guru mengelola proses pembelajaran dengan “ Cukup ” Nilai 2 guru mengelola proses pembelajaran dengan “ Kurang ” Nilai 1 guru mengelola proses pembelajaran dengan “ Sangat Kurang” Nilai akhir kinerja = Keterangan:

  = Jumlah keseluruhan yang diperoleh = Jumlah keseluruhan skor maksimal

  (Sumber: Usman, 2006:331)

  3. Data Hasil Pembelajaran Siswa

  a. Nilai Kemampuan Berbicara Nilai = (Sumber: Kurniawan dan Mutaqimah, 2009:29) Keterangan :

  = Skor yang diperoleh tiap siswa = Jumlah seluruh skor b. Menentukan rata-rata kelas Menurut Sudjana (1992:66-67), rata-rata atau lengkapnya rata- rata hitung untuk data kuantitatif yang terdapat dalam sebuah sampel dihitung dengan jalan membagi jumlah nilai oleh banyaknya data.

  ∑ xi X = n Keterangan : X = Nilai rata-rata (mean)

  = Jumlah nilai seluruh siswa ∑ xi n = Banyaknya siswa yang mengikuti test

  Kriteria penilaian: Nilai Angka Kriteria 80 ke atas Baik sekali

  66 Baik

  • – 79

  56 Cukup

  • – 65

  46 Kurang

  • – 55 45 ke bawah Gagal (Sumber: Sudijono, 2008:35)

  4. Menentukan ketuntasan belajar secara individual Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan tiap indikator dan kompetensi dasar dari tes yang diujikan. Rumus yang digunakan deskriptif persentase yang menggambarkan besarnya tingkat penguasaan materi, yaitu:

  n

  P = x 100% N Keterangan : P = Persentase penguasaan materi

  n = Skor yang diperoleh responden

  N = Skor maksimal F.

   Prosedur Penelitian

  Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bersifat kolaboratif yang didasarkan pada permasalahan yang muncul dalam proses belajar mengajar kelas V mata pelajaran bahasa Indonesia di SD Negeri Cilumping Kabupaten Cilacap.

  Prosedur penelitian tindakan kelas ini terbagi dalam 2 siklus. Tiap-tiap siklus terdiri dari dua kali pertemuan dan dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang dicapai, sesuai dengan desain dari faktor-faktor yang diselidiki pada tiap siklus.

  Prosedur pelaksanaan tindakan kelas pada setiap siklusnya meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Adapun model dan penjelasan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut

  Perencanaan Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan Pengamatan SIKLUS II

  Perencanaan Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan Pengamatan ?

Gambar 3.1 Daur Penelitian Tindakan Kelas

  (Dimodifikasi dari Zainal Aqib, 2009 : 31)

  1. Perencanaan Tindakan Kegiatan ini meliputi:

  a. Membuat perangkat pembelajaran berupa rencana pembelajaran

  b. Membuat LKS ( berupa teks drama )

  c. Membuat instrumen penelitian berupa lembar observasi siswa dan lembar observasi guru.

  d. Membuat soal evaluasi berupa tes tertulis dan kunci jawaban.

  2. Pelaksanaan Tindakan Guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada rencana pembelajaran yang telah dibuat dengan menggunakan penerapan metode sosiodrama.

Tabel 3.1 Langkah-langkah dalam proses pembelajaran

  No Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Keterangan

  1. Kegiatan Awal

   Menyampaikan tujuan  Mendengarkan  Memotivasi siswa penjelasan dari guru  Melakukan apersepsi

  2. Kegiatan Inti

   Mengelompokkan  Membentuk kelompok Masyarakat siswa menjadi 4 orang masing-masing yang belajar tiap kelompoknya, terdiri dari 4 orang untuk kelompok belajar dan diskusi.

   Membagikan LKS  Memperhatikan Kontruktivis kemudian diberi penjelasan dari guru,. me penjelasan untuk mengisinya.

   Guru membimbing  Memerankan drama siswa untuk yang diberikan guru. memerankan sebuah drama.

   Guru merintahkan  Mengerjakan diskusi Menemukan siswa untuk berdiskusi kelompok dan membahas isi drama mengerjkan LKS. sambil mengerjakan LKS.

   Guru menunjuk  Perwakilan kelompok perwakilan kelompok membacakan hasil untuk membacakan diskusinya. hasil diskusinya.

   Memberi kesempatan  Melakukan tanya jawab Bertanya pada siswa untuk pada kelompok yang bertanya pada maju. kelompok yang maju.

   Memberi kesempatan  Siswa memikirkan Refleksi pada siswa untuk tentang apa yang baru berfikir tentang apa dipelajari dan yang baru dipelajari menyimpulkan materi dan menyimpulkan dengan dibantu guru. materi.

3. Kegiatan Akhir

   Memberikan pekerjaan  Mencatat pekerjaan rumah pada siswa rumah

  3. Pengamatan (Observasi) Kegiatan observasi dilakukan dengan tujuan untuk mengamati aktivitas siswa dalam melaksanakan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual apakah sudah sesuai dengan skenario pembelajaran. Peneliti juga telah menyiapkan lembar observasi aktivitas guru dan siswa. Peneliti dibantu observer melakukan pengamatan terhadap jalannya pembelajaran dan mencatat semua hasil pengamatan pada lembar observasi guru dan siswa tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan selama pelaksanaan tindakan pada setiap siklus agar tidak terulang lagi di siklus berikutnya.

  4. Refleksi Kegiatan yang dilakukan adalah merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan siswa selama pelaksanaan pembelajaran apakah siswa mampu berperan secara aktif dalam pembelajaran, apakah siswa mampu memahami materi yang diberikan oleh guru, apakah terjadi kenaikan prestasi belajar siswa terhadap pelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan metode sosisodrama. Hal ini dimaksudkan agar hasil refleksi ini dapat berguna bagi siswa maupun guru pada siklus berikutnya.

G. Indikator Keberhasilan

  Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adanya peningkatan kemampuan berbicara dari siklus I ke siklus II yang ditandai secara klasikal 85% dengan ketuntasan belajar siswa mencapai

  ≥ 66