URGENSI PENTEPAN FATWA MAJELIS ULAMA IND

URGENSI PENTEPAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
TENTANG ETIKA KAMPANYE DALAM PEMILIHAN UMUM1
Oleh: Labib Muttaqin, SH.
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pendahuluan
Sebagaimana sudah diketahui oleh khalayak umum, Indonesia adalah
negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar NRI 1945 ditegaskan bahwa kedaulatan (negara Indonesia) berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Frasa
“kedaulatan rakyat” dalam pasal tersebut memiliki makna bahwa kekuasaan
tertinggi dipegang oleh rakyat, meskipun kekuasaan tersebut dibatasai oleh hukum
yakni Undang-Undang Dasar, namun pembatasan tersebut semata-mata
diorientasikan untuk mentertibkan kekuasaan rakyat tersebut. Sedangkan makna
dari demokrasi itu sendiri adalah keadaan negara dimana dalam sistem
pemerintahanya keadulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan
oleh rakyat, mengingat secara etimologi demokrasi berasal dari kata “demos” yang
artinya rakyat dan “cratein” yang berarti pemerintahan atau kekuasaan.2 Dengan
demikian status Indonesia sebagai negara demokrasi sudah tidak perlu diragukan
lagi.
Gaffar mengutip pendapat dari Robert Dahl dan Samuel Huntington,
mengatakan bahwa salah satau parameter untuk mengamati kualitas demokrasi

dalam suatu negara adalah dengan mengamati kualitas pemilihan umum (pemilu)
yang sudah dilaksanakan dinegara tersebut. Dengan diberlakukanya pemilu maka
setiap rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan
umum (pemilu)3 dimana rakyat diberikan kebebasan untuk memilih sendiri
berdasarkan hati nuraninya dan pemilu harus diselenggarakan secara teratur,
dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil.4 Semakin tinggi
kualitas dari pemilu maka semakin tinggi pula kualitas demokrasi dinegara tersebut.
Alasan pemilu menjadi salah satu kriteria yang sangat penting dalam
menentukan proses demokratisasi karena pemilu dipandang relevan untuk
mewujudkan partisipasi politik yang luas dan otonom. Pembatasan partisipasi
adalah sebuah praktik antidemokrasi. Praktik politik demokrasi juga mensyaratkan
adanya partisipasi poltik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan dan

1

Tulisan ini di sampaikan pada Islamic Connference On MUI Studies dan dimuat dalam buku
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Pandangan Akademisi”
2
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN
Jakarta, 2000), h. 110.

3
Dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden
dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
4
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem Dan Problema
Penerapan Di Indonesia . (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005) h. 35-36.

1

eksklusivitas dalam penentuan sumber-sumber rekrutmen politik dan tidak ada pula
eksklusivitas dalam formulasi kebijakan-kebijakan politik.5
Namun , pemilu sebagai salah satu mekanisme dari demokrasi bisa sangat
mengecewakan hasilnya jika elit politik khususnya kandidat (pasang calon dalam
pemilu) hanya memikirkan diri dan kelompoknya, sehingga yang terjadi adalah
manipulasi dan mobilisasi massa yang naïf. Lebih mengecewakan lagi, jika
kemiskinan rakyat itu dimanipulasi melalui politik uang sehingga hak dan
kedaulatan rakyat yang merupakan roh demokrasi telah dibajak, dirampas, dan
dibunuh oleh para elit politisi dengan senjata uang.6
Dalam konteks Indonesia, penyelenggaraan pemilu yang selama ini sudah

dilaksanakan belum menunjukan trend yang positif, salah satu penyebab utamanya
adalah berbagai aktivitas kampanye yang dilakukan oleh elit politik jauh dari nilainilai etika dan moralitas. Money politic (politik uang) dan black campaign
(kampanye hitam) seakan sudah menjadi kewajaran dalam setiap penyelenggaraan
pemilu di Indonesia. Selain menjamurnya money politic dan black campaign, nyaris
dalam setiap kamapanye yang sebenarnya terjadi adalah pembodohan rakyat secara
kolektif, dimana para kandidat (kontenstan dalam pemilu) mengumbar janji-janji
tanpa menghadirkan argumentasi dan analisis yang jelas yang sebenarnya janji
tersebut sulit untuk dipenuhi, janji hanya untuk untuk mendongkrak probabilitas
supaya menang dalam pemilu.
Berbagai fenomena diatas tentu dapat mengundang sejumlah pertanyaan,
apakah para kandidat tersebut benar-benar memahami etika berpolitik dalam
berkampanye di pemilihan umum ? ataukah memang tujuan mereka berpolitik
sebenarnya hanyalah untuk mecari keuntungan semata, terutama yang bersifat
material, tanpa memperdulikan nilai-nilai etis dari politik ? lalu bagaimanakah bila
para kandidat yang memiliki perilaku-perilaku diatas terpilih menjadi pejabat
publik ?
Pertanyaan-pertanyaan diatas menunjukan bahwa, Etika dalam berpolitik
dan kampanye benar-benar perlu diperhatikan, etika pada dasarnya berimplikasi
luas, ia menyangkut prinsip dasar baik-buruk, benar-salah, dan pantas-tidaknya
sesuatu untuk ditonjolkan. Pada tingkat yang lebih tegas etika adalah jiwanya

hukum menurut Immanuel Kant.7 Hukum tidak perlu manakala tuntutan etika
terpenuhi dan tidak dilanggar. Etika menjadi hukum, ketika kebenaran dilanggar.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, tidak
mengherankan jika para kandidat yang berkampanye dalam pemilu di Indonesia
mayoritas beragama Islam. Oleh karenanya para kandidat dituntut untuk memahami
praktek-praktek kampanye yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan etika Islam,
karena pada prinsipnya hal terpenting yang harus dilakukan oleh seorang muslim
adalah menjalankan ajaran agama Islam.
Disinilah keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi sangat
dibutuhkan, mengingat dalam khittah pengabdianya, MUI memiliki lima fungsi dan
peran utama, yaitu; (1) sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi; (2) sebagai pemberi
5

R. Eep Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indah,
1994), h. 12.
6
Komarudin Hdaiayat, Politik Panjat Pinang , (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2006), h. 44.
7
Zubaedi, dkk, Filsafat Barat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 70.


2

fatwa; (3) sebagai pembimbing dan pelayan umat; (4) sebagai perbaikan (islah) dan
pembaharuan (tajdid); dan (5) sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar.8 Dari
kelima fungsi dan peran diatas jelas bahwa MUI memiliki posisi yang sangat
strategis untuk mengedukasi masyarakat tentang ajaran-ajaran agama Islam,
termasuk peran MUI untuk memberikan pemahaman kepada para kandidat pemilu
tentang etika berkampanye yang sesuai dengan ajaran Islam.
Mengingat MUI memiliki fungsi dan peran sebagai pemberi fatwa, cara
yang dipandang efektif untuk memberikan pemahaman kepada para kandidat
adalah dengan cara MUI mengeluarkan fatwa tentang etika kampanye dalam
pemilihan umum. Lahirnya fatwa ini semakin dirasa urgen mengingat saat ini
banyak ditemukanya praktek-praktek kampanye yang jauh dari nilai-nilai agama,
moral dan etika. Dari berbagai uraian diatas, maka akan memuncul pertanyaan
seperti; apakah praktek-praktek kampanye yang terjadi di Indonesia sudah ideal ?
bagaimanakah konsep kampanye yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, moral dan
etika ? apakah dengan dikeluarkanya fatwa MUI tentang etika kampanye dalam
pemilihan umum bisa mengatasi praktek-praktek pemilu yang menyimpang
sehingga lahirnya fatwa ini dianggap penting ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah
yang akan berusaha dijawab dalam tulisan ini.

Kampanye Politik
Politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam sebuah sistem
kekuasaan atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem
politik dan menjalankan tujuan-tujuan tersebut. Politik mengandung aspek
pengambilan kebijakan (decision making) mengenai tujuan utama dari sistem
politik tersebut dan penyusunan skala prioritas dan seleksi terhadap berbagai tujuan
yang ada dalam sistem politik tersebut. Kebijakan umum (public policies)
dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan politik, yang di dalamnya terkait dengan
pengaturan dan pembagian atau alokasi dari berbagai sumber daya yang ada.9
Nilai dominan dari istilah politik adalah kepemilikan terhadap kekuasaan
(power ) dan kewenangan (authority) yang keduanya digunakan untuk membina
kerja sama, menyelesaikan konflik dan melakukan tindakan lain yang akan timbul
dan diperlukan pada perjalanan proses pencapaian tujuan politik. Pencapaian
terhadap kepemilikan kekuasaan dan kewenangan dalam politik dilakukan melalui
langkah persuasi (meyakinkan) atau koersi (paksaan) terhadap masyarakat. Politik
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan keberadaan masyarakat adalah
hal utama dalam politik. Masyarakat merupakan objek sekaligus subjek politik.
Tujuan dari politik merupakan manifesto dari tujuan hidup dan harapan masyarakat,
sehingga inti dari adanya politik dan beragam elemen di dalamnya adalah
mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat untuk mencapai kekuasaan

dalam pemerintahan agar dapat mencapai cita-cita politik dan masyarakat. Rakyat

8

Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi Tentang
PemikiranHukum Islam di Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993). h, 63.
9
Diyan Nur Rkhmah Wisudawati, “Isu Pendidikan Dalam Kapanye Politik”, Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Vol. 20, No 4 (Desember 2014), h. 581.

3

mengharapkan para elit pemerintahan yang terbentuk dari jalannya sistem politik
untuk dapat mengatur dan menyediakan seluruh kebutuhan rakyat.10
Kampanye merupakan salah satu budaya politik demokratis yang
melibatkan partai politik, masyarakat, dan berbagai aktor politik. Kampanye
merupakan sarana memobilisasi pemilih yang di dalamnya terdapat proses
penyampaian visi, misi, dan program politik yang bertujuan untuk memberikan
keyakinan kepada masyarakat sebagai vote getter. Politik tanpa kampanye
dipastikan tidak mungkin, karena kampanye juga merupakan sarana masyarakat

mendapatkan gambaran terhadap fungsi sistem politik sekaligus menempatkan
masyarakat sebagai evaluator sistem politik.11
Rogers dan Storey mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan
komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah
besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu. Dan
Nimmo dalam bukunya The Political Persuaders mendefinisikan kampanye
sebagai: “One form of persuasive communication designed to influence the action
of people.” Sedangkan menurut Roger kampanye adalah Serangkaian kegiatan
komunikasi yang direncanakan sebelumnya yang dirancang untuk menjangkau dan
memotivasi orang banyak dengan menggunakan suatu jenis pesan terentu. Kegiatan
kampanye dilaksanakan untuk waktu yang singkat dengan sasaran-sasaran yang
spesifik berkenaan dengan sikap dan perilaku dan hampir selalu menggunakan
suatu pendekatan multimedia.12
Hal yang perlu diperhatikan adalah Politik Marketing Kampanye yang
menyangkut mengenai bagaimana seorang kandidat mengkampanyekan dirinya.
Dalam Politik Marketing maka yang hendak dipasarkan adalah kandidat yang
bertarung dalam pemilu. Bagaimana pasar tahu dan mengenal seorang kandidat
(calon) kepala daerahnya jika pasar sendiri tidak mengenalnya. Dalam Konsep
marketing yang dikembangkan oleh Newmann dan Sheth yang dikenal juga dengan
pengertian Pendekatan Domain Kognitif, ada tujuh hal harus diperhatikan dalam

kampanye:13
1. Isu dan Kebijakan Politik (issues and politicies), merupakan presentasi dari
kebijakan atau program yang akan dilaksanakan oleh para kandidat (calon)
kepala daerah jika mereka memenangkan Pilkada. Sebagai platform dasar
yang ditawarkan dari sini para pemilih dapat mengetahui apa yang akan
dikerjakan kandidat tersebut.
2. Citra Sosial, menunjuk stereotip (citra) kandidat dalam menarik pemilih
dengan menciptakan asosiasi-asosiasi tertentu. Disinilah muncul
segmentasi (pengelompokan) dari kelompok pemilih tertentu dimana
kandidat tersebut dapat diterima. Misalnya kandidat yang berasal dari
kelompok enterpreneurship akan mudah diterima dalam kelompok
usahawan.
10

Ibid., h. 582.
Ibid.,
12
Betty Gama dan Nunun Tri Widarwati, “Hubungan Antara Kampanye Kandidat Kepala Daerah
dan Perilaku Pemilih Petisipasi Politik Wanita”, Jurnal Ilmiah Scriptura, Vol. 1, No. 1 (Januari
2008), h. 65-66.

13
Ibid., 67
11

4

3. Perasaan Emosional, yaitu berkaitan dengan platform yang ditawarkan oleh
kandidat kepada pemilihnya.
4. Citra Kandidat, konsistensi citra diri sangat diperlukan oleh seorang
kandidat. Ketegasan, emosional yang, stabil, enerjik jujur dan sebagaimana
akan menjadi acuan bagi pemilih.
5. Peristiwa Mutakhir, merupakan isu atau peristiwa yang berkembang
menjelang dan selama kampanye.
6. Peristiwa, lebih mengacu kepada kehidupan pribadi seorang pribadi
kandidat, missal skandal keuangan, skandal seksual dan sebagainya.
7. Faktor-Faktor Epistemik adalah isu-isu pemilihan yang spesifik serta
memicu keingintahuan para pemilih.
Selain unsur marketing, kredibilitas juga merupakan unsur penting dalam
kampanye untuk memperoleh kepercayaan khalayak. Penelitian yang dilakukan
Hovland, Janis dan Kelley menemukan tiga aspek yang mempengaruhi kredibilitas

sumber yaitu; keterpercayaan (trustworthiness), keahlian (expertise), dan daya tarik
(attractiveness). Menurut Antar Venus ketiga hal tersebut masih ditambah
kedinamisan (dynamism). Faktor pendukung yang mempengaruhi kredibilitas
sumber yaitu keterbukaan (extroversion), ketenangan (composure), kemampuan
bersosialisasi (sociability) dan karisma. Extroversion, juga disebut dinamisme,
merupakan pertimbangan khalayak di mana sumber dianggap sebagai seorang yang
kuat, berani, aktif, berkuasa, sehat, energik, tegas, progresif dan mendukung
terhadap perubahan. Sosiabilitas, mengacu pada anggapan khalayk bahwa sumber
dipandang baik hati, ramah dan pandai bergaul. Ketenangan atau composure
berhubungan dengan bagaimana khalayak menganggap sumbernya sebagai
seseorang yang percaya diri, pandai mengungkapkan gagasan dengan tenang dan
tepat, dan dapat mengontrol perkataannya sehingga tidak terbata-bata atau gagap
saat menyampaikan pesan. Sedangkan karisma diartikan sebagai kualitas
kepribadian seseorang atau pemimpin yang mampu memikat dan mengikat orangorang disekiarnya.14
Kampanye sebagai media memperkenalkan program politik juga
diharapkan dapat mengakomodir aspirasi masyarakat, sehingga dapat
memaksimalkan perolehan suara seorang kandidat. Kandaidat dan partai politik
menilai bahwa kampanye merupakan sarana pembentukan keyakinan politik dalam
lingkungan masyarakat yang memiliki pilihan beragam (multioption society),
sehingga kampanye tidak jarang didefinisikan sebagai perjuangan kekuasaan.
Proses pembentukan keyakinan politik melalui kampanye membuat kandidat dan
partai politik berlomba untuk memasukkan isu strategis ke dalam agenda politiknya
agar menarik dukungan maksimal dari masyarakat sebagai pemilih. Isu-isu terkait
kebutuhan dasar, pemenuhan hak-hak asasi manusia dan berbagai isu strategis lain
menjadi masalah utama yang ditawarkan kandidat kepada masyarakat.
Kampanye, Pemilu Dan Demokrasi
Sampai pertengahan abad ke-20, menurut Amos J. Peslee, lebih dari 90%
negara di dunia mengaku menganut paham demokrasi atau kedaulatan rakyat.
14

Ibid., h. 68.

5

Artinya, wacana tentang demokrasi itu sudah demikian luas diterima di seluruh
penjuru dunia, terlepas dari apa yang dipraktekkan di lapangan. Sebab nyatanya,
spektrum praktik demokrasi yang diterapkan oleh semua negara yang mengaku
demokrasi itu sangat beraneka-ragam mulai dari Amerika Serikat sampai ke Uni
Soviet yang sekarang sudah tiada, Kuba, dan negara-negara komunis lainnya yang
mempunyai penafsiran berbeda satu sama lain.15 Namun terlepas dari perbedaan
penafsiran terhadap demokrasi sebagai suatu sistem kedaulatan, demokrasi sudah
mendapatkan pengakuan yang luas sebagai suatu sistem yang mampu
mensejahterakan rakyat.
Pemilu merupakan mekanisme terpenting untuk keberlangsungan
demokrasi perwakilan karena rakyat bisa memilih wakilnya, selain itu pemilu juga
menjadi indikator negara demokrasi. Pemilu merupakan arena kompetisi untuk
mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan
formal warga negara yang memenuhi syarat.16 Pemilu menjadi ajang untuk
melakukan pesta demokrasi yang mewujudkan tatanan kehidupan negara dan
masyarakat yang berkedaulatan rakyat, pemerintahan dari dan untuk rakyat.
Richard R. Lau, Andersen dan David P. Redlawsk menjelaskan bahwa “Democracy
works best when citizens are interested in politics, able to place current events in
proper historical context, attentive to the actions of representatives in government,
and engaged in the governing process to the extent they vote for the candidates they
believe best represent their interests”.17 Demokrasi akan berjalan dengan baik
apabila warga tertarik pada politik, serta memperhatikan tindakan perwakilan di
pemerintahan, menyadari aturan kelembagaan sehingga dapat memahami tindakan
yang diambil oleh pemerintah, dan dapat memilih calon yang mereka percaya
paling mewakili kepentingan mereka.
Namun, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa dua penumbuh filsafat
barat yang sering dianggap sebagai konseptor demokrasi yakni Plato dan
Aristoteles, justru menolak sistem politik demokrasi. Dua filosof besar yunani itu
mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang berbahaya dan tidak
praktis. Plato mengunggulkan sistem politik aristokrasi yang dimpin oleh seorang
raja-filosof yang mempunyai berbagai kelebihan dan visioner. Sedangkan
Aristoteles mengatakan bahwa demokrasi berbahaya karena pada kenyataanya
(pengalaman Aristoteles di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam
sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essense demokrasi
ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal
prosedurnya tetap, seolah-olah demokrasi.18
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demagog adalah
penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan
15

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Lingkungan: Demokrasi Versus Ekokrasi.
http://www.jimly.com/ makalah/namafile /179/Jurnal_MIPI_ttg_Kedaultan.pdf
16
Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, (Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol
Universitas Gadjah Mada, 2009), h. 3
17
Richard R. Lau, Andersen dan David P. Redlawsk. “An Exploration of Correct Voting in Recent
U.S. Presidential Elections”, American Journal of Political Science, Vol. 52, Issue 2 (2008), h. 395.
18
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: PT. Raja Grafinfo
Persada, 2010), h. 377

6

semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Demagog adalah agitator-penipu
yang seakan-akan meperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi
kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis
agar dipilih menjadi pejabat tapi setelah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan
dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk
keuntungan.19 Dalam pembacaan Moh. Mahfud MD, tampaknya apa yang
dikhawatirkan Plato dan Aristoteles dikonfirmasi oleh demokrasi di Indonesia.
Pada setiap penyelenggaraan pemilu yang berlangsung di Indonesia, banyak
muncul para demagog yang tampil untuk bertarung sebagai calon lembaga anggota
legislatif (caleg) bahkan dalam pencalonan presiden. Dalam setiap kampanye
mereka mengumbar janji jika dirinya menang dalam pemilu maka negara akan
maju, rakyat sejahtera, pendidikan gratis, rumah sakit gratis, harga kebutuhan
pokok murah dll. Padahal ketika menduduki jabatan penting setelah terpilih
ternyata tak memperbaiki apa pun.20
Kampanye dan pemilu sebagai manifestasi dari demokrasi ternyata telah
melahirkan para demagog. Jika memang demikian adanya, apakah demokrasi
adalah suatu sistem yang buruk ?. Dalam artikel berjudul “Demokrasi Pilihan
Terpaksa”, Moh. Mahfud MD manyatakan bahwa demokrasi bukanlah pilihan ideal
karena sering membiarkan rakyat dan negara di eksploitasi oleh para demagog.
Lanjut Mahfud MD, meskipun demikian, dalam praktik politik, demokrasi itu
dipilih sebagai sistem politik oleh lebih dari dua pertiga negara yang ada di dunia.
Alasanya, demokrasi “terpaksa” dipilih karena ia merupakan yang paling sedikit
jeleknya diantara sistem-sistem lain yang sama-sama jelek.21
Demokrasi merupakan “pilihan jelek yang terbaik” diantara pilihan-pilihan
lain yang juga tidak baik seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, ologarki,
okhlokrasi, dan terutama tirani. Demokrasi dianggap yang terbaik dari sistemsistem lain yang juga jelek karena demokrasi menghargai hak-hak dan pilihanpilihan rakyat meskipun dengan segala kekuranganya.22
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang
menghambat proses demokratiasi adalah selalu munculnya para demagog dalam
setiap kali penyelenggearaan kampanye dalam pemilihan pemilihan, kampanye
dijadikan ajang obral janji, black campaign dan money politic, dengan kata lain
buruknya kualitas pelaksanaan kampanye adalah penyebab buruknya kualitas
demokrasi. Oleh karena itu, perbaikan pelaksanaan kampanye yang sesuai dengan
nilai-nilai etika harus segera diagendakan.
Wacana Kampanye dalam Fikih Siyasah
Di dalam fikih siyasah sendiri memang belum ada pengertian kampanye
secara baku. Namun ada beberapa unsur-unsur perilaku didalam Islam yang
mengindikasikan apabila peerbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang
memiliki makna yang sama dengan kampanye. Perilaku itu yakni menawarkan diri
19

Ibid., h. 378.
Ibid., h. 411
21
Moh. Mahfud MD, Demokrasi Pilihan Terpaksa, Artikel di harian Seputar Indonesia, 13 April
2009.
22
Ibid.,
20

7

untuk menjadi pemimpin dan ajakan kepada masyarakat untuk memilih dirinya
sebagai pemimpin.23
Pelaksanaan kampanye merupakan salah satu bagian dalam rangkaian
pelaksanaan pemilihan umum. Di dalam fikih siyasah, istilah pemilihan umum
dikenal dengan Intikhabah al-ammah. Intikhabah merupakan jama’ muannas salim
yang berasal dari kata ittakhoba-yattakhibu yang artinya memilih.24 Adapun pihakpihak yang melaksanakan kegiatan kampanye ini adalah sekelompok tim kampanye
yang di bentuk dari partai politik atau gabungan partai politik tertentu. Di dalam
fikih siyasah, partai politik di sebut dengan istilah al-Hizb al-Siyasi yang dipahami
sebagai sebuah organisasi publik yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam
konteks yang berbeda-beda melalui penguasaan struktur kelembagaan pemerintah
baik pada level legislatif, maupun eksekutif yang diperoleh melalui keikutsertaan
dalam pemilihan umum serta melakukan kampanye dengan menjual isu dan
program-program yang tidak terlepas dari nilai-nilai ideologis Islam.25
Pada masa dimana Nabi Muhammad masih hidup tentu tidak ada pemilihan
umum apalagi kampanye, karena pada saat itu Rasulullah merupakan pemimin
umat muslim seumur hidup. Namun, apabila di qiyas kan dengan peristiwa setelah
masa Rasulullah wafat, yakni masa Khulafaur Rasyidin dan para sahabat tentang
pemilihan pemimpin, maka dapat ditemukan rujukan melalui ijtihadnya dalam
mengeluarkan hukum-hukum shar’i yang memuat prinsip-prinsip sistem politik
dan sistem pemerintahan.26 Mengingat, dalam sejarahnya, pada setiap masa
peralihan kepemimpinan yang mengacu pada masa Khulafaur Rasyidin, memang
belum ada ketentuan yang baku dan berbeda-beda pula prosedurnya dalam hal
proses pemilihan pemimpin.
Di dalam sejarah Khulafaur Rasyidin, ada beberapa metode untuk
mengangkat kepala negara. Salah satu diantaranya adalah sebuah metode yang
mengajak umat untuk memilih dirinya menjadi pemimpin. Tindakan untuk
mengajak umat untuk memilih dan menawarkan dirinya, merupakan hal yang sama
esensinya dengan mengkampanyekan diri sendiri. Peristiwa ini terjadi seperti yang
dilakukan Ali bin Abi Thalib setelah khalifah Utsman bin ‘Affan terbunuh.27
Seorang ulama bernama Ibnu Hazm (w. 465 H) mengatakan bahwa, apabila
seorang khalifah wafat dan tidak menunjuk seseorang tertentu yang akan
menggantikannya, demikian pula Ahlul Halli wal Aqdi belum memilih khalifah bagi
kaum muslimin, dan pada saat itu ada seseorang yang terpenuhi padanya syaratsyarat untuk menjadi pemimpin, maka seseorang tersebut boleh maju mencalonkan
dirinya.28 Dalam agama Islam, dasar hukum menawarkan diri untuk menjadi
pemimpin atau berkampanye, telah dijelaskan dalam firman Allah tentang
perkataan Nabi Yusuf as. Dalam Q.S. Yusuf ayat 55, yang memiliki arti: “berkata
23

Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliriuan Pandangan Haramnya Umat Terlibat
Pemilu dan Politik, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 128.
24
Muhammad Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid I, (Beirut: Dar Shadir, t.t), h. 751.
25
Ridho al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013), h. 9.
26
Imam Al-Mawardi, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam, Terj Fadli
Bahri dalam Al-Ahkam As-Shulthaniyah, (Jakarta: Darul Falah, 2006), h. 1.
27
Rapung Samuddin, Op.Cit, h. 128.
28
Ibid.,

8

yusuf”: jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.29
Dari ayat diatas, menurut tafsir Al-Alusi (w. 1270 H), ayat diatas
merupakan dalil kebolehan seseorang untuk memuji dirinya sebanar-benarnya jika
memang ia tidak dikenal. Demikian pula kebolehan untuk meminta kekuasaan
(Jabatan).30 Kekuasaan (jabatan) dapat diminta apabila ada orang yang kafir dan
zalim yang juga ingin menguasainya. Oleh karena itu, seseorang yang didalam
dirinya telah terpenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemimpin dan sanggup untuk
bersikap adil serta menjalankan hukum-hukum syariat, maka calon pemimpin
tersebut boleh saja untuk menawarkan diri untuk menjadi pemimpin dan meminta
jabatan tersebut.31
Jika seseorang mengetahui bahwa dirinya sanggup menegakkan kebenaran dan
keadilan, sedangkan ketika itu tidak ada yang dapat melaksanakannya, maka
meminta jabatan menjadi wajib ‘ain atasnya. Wajib atasnya memintanya dengan
cara mengabarkan tentang perihal diri dan sifat-sifatnya yang layak untuk jabatan
tersebut, baik berupa ilmu, kemampuan, syarat-syarat kelayakan untuk menjadi
pemimpin dan lain sebagainya sebagaimana yang dilakukan oleh Yusuf a.s.32
Kemudian, sifat-sifat seorang calon pemimpin tersebut juga mengandung
Basthatan fi al-‘Ilm wa al-Jism (Keunggulan pada kekuatan ilmu dan fisik). Ibnu
Khaldun memiliki gagasan penting mengenai kriteria yang harus dimiliki seorang
pemimpin. Pertama, seorang pemimpin itu harus memiliki ilmu pengetahuan;
kedua, pemimpin itu harus berlaku adil dalam setiap keputusannya; ketiga, sehat
fisik dan jiwanya serta kemampuan lain yang memadai. Hal tersebut dibenarkan
oleh Ibnu Qayyim bahwa dengan menyempurnakan ilmu, maka kepemimpinan
dalam agama akan didapatkan. Kepemimpinan dalam agama adalah kekuasaan
yang alatnya adalah ilmu.33
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa menawarkan diri sebagai seorang
pemimpin dalam hal ini adalah kampanye politik diperbolehlan dalam Islam, hanya
saja ada hal-hal etis yang harus diperhatikan terlebih dahulu oleh kandidat sebelum
Melakukan kampanye. Sebelum dinilai oleh orang lain, seorang kandidat terlebih
dahulu harus mampu menilai kecakapan diri sebagai sorang pemimpin, apakah
ketika menjadi pemimpin dirinya mampu menegekan kebenaran, keadilan dan
menjalankan syariat Islam, apakah seorang kandidat tersebut merasa yakin
memiliki pengetahuan baik untuk menjadi pemimpin, dan yang tidak kalah pentinya
apakah kandidat sanggup untuk tidak melakukan money politic, black campaign
dan kecurangan lainya saat melakukan proses kampanye politiknya. Jika sang
kandidat merasa sanggup melaksankan itu semua maka ia boleh saja menawarkan
diri menjadi seorang pemimpin. Namun jika ia tidak sanggup melaksanakanya
namun tetap melakukan kampanye politik atau mencalonkan diri menjadi

29

Q.S. Yusuf: 55.
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, Terj. M. Abdul Ghofar dalam alIslam wa al-Dimuqratiyah, (Bandaung: Mizan, 1996), h. 263.
31
Ibid., h. 130.
32
Ibid.,
33
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Buah Ilmu, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1993), h. 76.
30

9

pemimpin, maka proses kampanyenya telah bertentangan dengan nilai-nilai etis
dalam Islam.
Fatwa MUI dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat.
Sebelum membahas tentang relasi antara fatwa MUI dan pengaruhnya
terhadap masyarakat, terlebih dahulu akan dipaparkan sekilas tentang MUI. Majelis
Ulama Indonesia atau disingkat MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan
langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, di mana sebelumnya telah berdiri majelis ulama di
Jawa Barat yang secara ex officio diketuai oleh Panglima Militer Daerah.34
Sejak terbentuknya, ia memiliki tugas utama: pertama , memberi fatwa dan
nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
umat Islam umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi munkar; Kedua , memperkuat
ukhuwah (kerukunan) Islamiah dan memelihara serta meningkatkan suasana
kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa; ketiga , mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama; dan
keempat, Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pejabat pemerintah), serta
menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat beragama guna
menyukseskan pembangunan nasional. MUI memiliki satu komisi utama yang
disebut dengan Komisi Fatwa yang bertugas memberikan fatwa dan nasehat baik
kepada masyarakat maupun kepada pemerintah, apakah diminta atau tidak. Dalam
kaitannya dengan tugas memberikan fatwa, MUI membagi fatwa-fatwa tersebut
menurut bidangnya masing-masing, mulai dari soal ibadah hingga masalah
IPTEK.35
Dalam konteks tradisi yang berlaku di Indonesia, sulit untuk menemukan
seseorang yang diyakini oleh masyarakat memiliki kemampuan individu untuk
menjadi mufti atau imam. Hal ini berbeda dengan tradisi yang terdapat di sebagian
negara muslim lain seperti Mesir, Arab Saudi maupun Iran yang masyarakatnya
masih memberikan pengakuan terhadap seorang mufti secara individual. Namun di
negara seperti Indonesia pihak yang dianggap mempunyai kemampuan untuk
menjadi mufti saat ini adalah berupa lembaga (organisasi) keagamaan, misalnya
Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah dengan tradisi tarjih nya, Nahdhatul
Ulama (NU) melalui tradisi Bahtsul Masail nya, maupun MUI (Majelis Ulama
Indonesia) melalui komisi fatwanya.
Diantara lembaga-lembaga keagamaan di atas salah satu yang mempunyai
pengaruh besar bagi masyarakat indonesia (khususnya masyarakat muslim) adalah
MUI. Sebagai sebuah lembaga fatwa, sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Atho
Mudzhar, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan salah satu lembaga
keagamaan di Indonesia sebagai pemegang otoritas yang mengeluarkan dan
menetapkan fatwa-fatwa keagamaan (mufti) sebagai tempat rujukan bagi
34

Bahrul Ulum, Golongan Putih: Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dalam Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan Undang-Undang, (Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012) h. 168.
35
Ibid., h. 167.

10

masyarakat muslim Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Siti Musdah Mulia, yang menyatakan, bahwa fatwa-fatwa MUI memiliki makna
penting dalam masyarakat muslim Indonesia. Kenyataan selama ini menunjukkan
meskipun fatwa MUI tidak mengikat secara hukum, tetapi dalam prakteknya selalu
dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah dalam berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.36
Dari sini diperoleh fakta bahwa fatwa MUI memberikan pengaruh bagi
tatanan sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia yang secara keseluruhan
menunjukkan dua hal penting: Pertama, fatwa-fatwa MUI memiliki makna penting
dalam masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Kenyataan selama ini
menunjukkan meskipun fatwa MUI tidak mengikat secara hukum, tetapi dalam
prakteknya sering dijadikan rujukan berperilaku oleh masyarakat dan pemerintah
dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, karena
mempunyai efek dan pengaruh ke masyarakat demikian kuat, meniscayakan MUI
untuk responsif atas dinamika dan kecenderungan di masyarakat, sehingga fatwa
yang dikeluarkan diharapkan sejalan dengan kemaslahatan mereka.37
Mungkin masih segar dalam ingatan, ketika pada tanggal 11 Oktober MUI
mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan38 yang menyatakan bahwa Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok telah menghina Al-Qur’an dan menghina ulama.
Pernyataan tersebut mendapat respon yang begitu besar dari masyarakat muslim
yang akhirnya memunculkan rangkaian aksi unjuk rasa yang disebut aksi bela
islam, aksi ini di komandoi oleh Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPF-MUI). Aksi bela Islam dianggap sebagai aksi yang sukses karena
diikuti oleh jutaan umat muslin, selain itu aksi ini juga berhasil mendasak Polri
untuk mengusut kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok. Setelah kasus ini
diproses dipengadilan, pada tanggal 9 Mei 2017 Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara pada Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaja Purna alias Ahok.
Fatwa-fatwa MUI lainya yang memiliki pengaruh besar terhadap
masyarakat misalnya seperti Fatwa MUI tentang wakaf uang. Pada tanggal 11 Mei
2002, komisi fatwa MUI menetapkan fatwa tentang kebolehan berwakaf dengan
uang tunai, Dalam ketetapan ini, yang dimaksud dengan wakaf uang adalah wakaf
yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai yang didalamnya termasuk juga surat-surat berharga. Menurut
Majelis Ulama Indonesia (MUI) wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan

36

Qamarul Huda, Otoritas Fatwa dalam Konteks Masyarakat Demokratis (Sebuah Tinjauan
Terhadap Fatwa MUI Pasca Orde Baru, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam
Perspektif Hukum dan Undang-Undang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012) h. 76-77.
37
Bahrul Ulum, Op.Cit., h. 167.
38
Meskipun dari kalangan MUI menyatakan bahwa pendapat dan sikap keagmaan itu bukanlah
fatwa, namun dalam tataran praktis masyarakat memahaminya sebagai fatwa, terbukti didirikanya
Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI) bertujuan untuk membela pendapat dan sikap
keagamaan MUI tersebut.

11

untuk hal-hal yang dibolehkan secara shar’i dan nilai pokok wakaf ini harus dijamin
kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.39
Fatwa MUI tentang wakaf uang memiliki kontribusi yang besar dalam
perkembangan hukum dan sosial di Indonesia, terbukti fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ini berlanjut pada prakarsa dan pembahasan Rancangan Undang
Undang Wakaf hingga dua tahun kemudian berhasil disahkan Undang-Undang
nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disusul peraturan-peraturan pelaksana dan
teknis lainnya.40 Suatu produk hukum pasti memiliki pengaruh yang besar kepada
masyarakat sebagaimana yang utarakan oleh Roscou Pound “law is a tool of social
enginering” atau hukum adalah alat untuk melakukan rekayasa sosial, termasuk
didalamnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 yang lahir karena terinspirasi oleh
Fatwa MUI tentang wakaf uang. Dengan lahirnya Undang-undang ini msayarakt
yang ingin melakukan wakaf uang sudah memiliki landasan teologis yang jelas
karena sudah adanya fatwa MUI dan juga memiliki landasan yuridis yang jelas juga
karena adanya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Paling tidak dari kedua fatwa tersebut dapat memberikan gambaran bahwa
fatwa MUI memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat, meskipun harus
diakui juga tidak semua fatwa MUI diindahkan oleh seluruh masyarakat Indonesia,
seperti ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput (golongan putih)
pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III tahun 2009 di padangpanjang.41
Ternyata fatwa tersebut tidak memberikan dampat yang positif di masyarakat,
karana angka golput pada pemilu tahun 2009 mencapai angka 39,1 persen, angka
ini lebih tinggi dari pada angka golput dalam pemilu tahun 2004 yang hanya 23,34
persen.42 Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa fatwa MUI memiliki
potensi yang besar dalam mempengaruhi presepsi masyarakat tentang baik-buruk,
hal ini bisa dilihat dari pendapat dan sikap keagamaan tentang ahok dan wakaf uang.
Fatwa MUI Tentang Kampanye: Menuju Masyarakat Demokratis dan
Religius
Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa
dinegara demokratis seperti di Indonesia, diselenggarakanya pemilihan umum
untuk menentukan pemimpin negara (dalam konteks indonesia, pemilihan umum
diselenggerakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota
DPD, dan anggota DPRD) adalah suatu keniscayaan, karena pemilu merupakan
manifestasi dari kedaulatan, dimana rakyatlah yang menentukan pemimpinya.
Dalam proses pemilu, para kandidat (pihak yang dipilih dalam pemilu)
berkontestasi untuk untuk mendapatkan simpati rakyat dengan tujuan mendapatkan

39

Miftahul Huda, MUI dan Agen of Change (Sumbangsih Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang
Terhadap Sisi Kebijakan dan Kualitas Produk Undang-undangan No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan UndangUndang, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2012) h. 110.
40
Ibid., h. 111.
41
Bahrul Ulum, Op.Cit., h. 165.
42
Ibid., h. 183.

12

sebanyak mungkin suara rakyat guna menang dalam pemilu. Proses kontestasi
tersebut diwadahi dalam suatu mekanisme yang disebut kampanye politik.
Namun, mengutip Mahfud MD, proses kampanye yang selama ini terjadi di
Indonesia berdampak buruk pada pembangunan demokrasi di negeri ini, pasalnya
dalam setiap penyelenggaraan kampanye yang terjadi adalah pembodohan publik
secara masal, dimana seharusnya para kandidat memberikan pendidikan politik
kepada rakyat melalui kampanye, sebaliknya, yang terjadi justru banyak kandidat
menjelma menjadi demagog. Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan
meperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya.
Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih menjadi pejabat
tapi setelah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan
politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.43
Menjadi sangat ironis, jika melihat bahwa kebnyakan dari para demagog
tersebut beragama Islam. Sebagai suatu ajaran agama yang sarat akan nilai-nilai etis
dan moralitas, Agama Islam dengan tegas melarang umatnya untuk menjadi
seorang penipu. Dalam salah satu disiplin ilmu Islam yakni fikih sisayah, sudah
dijelaskan bahwa kampanye politik atau menawarkan diri menjadi seorang
pemimpin diperbolehkan dalam Islam namun ada syaratnya yakni, Pertama, dalam
proses kampanye para kandidat harus menjalankan syariat Islam, jika demikian
kandidat tersebut tidak boleh melakukan money politic, black campaign¸ dan
membohongi rakyat. Kedua, sebelum ikut dalam kontestasi kampanye, para
kandidat terlebih dahulu harus memiliki keyakinan bahwa ketika nantinya ia
terpilih menjadi pemimpin, ia memiliki kemampuan intelektual, mental, dan fisik
yang memadai untuk menjalankan amanahnya sebagai pemimpin. Ketiga, kadidat
harus berlaku adil dalam menetapkan setiap keputusan yang ditetapkanya. Dengan
mencermati ajaran Islam tentang etika kampanye, tidak seharusnya di Indonesia
banyak muncul para demagog, mengingat kebnyakan para kandidat dalam
kampanye mayoritas beragama Islam
Namun sayangnya, antara ajaran (Islam) dan praktek (muslim) tidak
berjalan selaras. Tentu hal ini sangat menyedihkan mengingat Indonesia merupakan
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia. Nampaknya pernyataan
Muhammad Abduh bahwa “Al-Islamu Mahjubun Bil Muslimin” atau orang-orang
Islam lah (muslim) yang menutup keindahan Islam itu benar-benar terjadi di
Indonesia, khususnya dalam ranah politik.
Pada titik inilah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dituntut hadir untuk
memberikan pemehaman dan pencerahan kepada umat Islam yang akan mengikuti
kotestasi kampanye politik dalam pemilu untuk memperhatikan etika kampanye
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dalam usaha mensosialisasikan dan
memahamkan tentang etika kampanye tersebut MUI dapat mengeluarkan “fatwa
tentang etika kampanye dalam pemilihan umum”. Hadirnya fatwa ini dirasa
relevan, mengingat MUI memiliki legitimasi sosial yang cukup kuat di kalangan
masyarakat muslim Indonesia, mengingat sudah ada fatwa-fatwa dari MUI yang
memiliki pengaruh yang besar dalam menentukah arah gerak mayarakat muslim.

43

Moh. Mahfud MD, Op.Cit, h. 378.

13

Menurut hemat penulis, substansi diktum dari fatwa tentang etika kampanye
dalam pemilu bisa berisi empat hal:
a. Bagi setiap umat muslim Indonesia yang akan melakukan kampanye
politik, dalam pelaksanaanya harus betul-betul memperhatikan pinsipprinsip ajaran Islam. Hal ini sangat penting, mengingat umat muslim
harus memiliki pemahaman bahwa orientasi melakukan kampanye
adalah untuk mendapatkan ridha Allah dan bukan kekuasaan semata.
b. Susunan materi kampanye harus bersifat rasional, dalam artian susunan
materi kampanye harus berisi hal-hal yang bisa diwujudkan ketika
kandidat terpilih menjadi pejabat nantinya. Hal ini sangat penting,
mengingat selama ini banyak kandidat menjajikan hal-hal yang di luar
nalar seperti sembako gratis, pendidikan gratis, rumah sakit gratis,
membuka ribuan lapangan kerja, menghilangkan kemiskinan dll.
Akibatnya janji-janji tersebut tidak bisa ditepati, sehingga rakyatpun
marah karena merasa dibohongi.
c. Para kandidat dilarang keras melakukan black campaign. Black
campaign adalah suatu model atau perilaku atau cara berkampanye yang
dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut
atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau
sekelompok orang atau partai politik terhadap lawan atau calon lainya.44
d. Para kandidat dilarang keras melakukan money politic. Money politic
adalah upaya untuk mempengaruhi perilaku orang dengan
menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan money politic
sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan
kekuasaan.45
Meskipun ada beberapa poin dari diktum diatas yang sudah ada instrumen
hukumnya, misalnya pasal 86 UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu yang
melarang tentang black campaign dan pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang
Pilkada yang melarang tentang money politic, namun pada kenyataanya praktekpraktek black campaign dan money politic masih saja terjadi. Dengan hadirnya
fatwa MUI tentang etika kampanye dalam pemilu ini, harapanya dapat memberikan
kesadaran kepada seluruh umat muslim Indonesia tentang pentingnya etika
kampanye dalam pemilu. Seorang kandidat tidak melakukan hal-hal yang buruk
dalam kampanye bukan hanya karena takut akan sanksi yang ada dalam hukum
positif saja, namun juga adanya kesadaran bahwa perbuatan tersebut tidak di ridhai
oleh Allah, sehingga para kandidat tidak melakukanya.
Dengan demikian, urgensi dari fatwa ini bukan hanya untuk mewujudkan
demokrasi substansial saja, namum fatwa ini juga memiliki urgensi untuk
mewujudkan masyarakat yang lebih religius, karena politik tidak hanya dimaknai
sebagai perebutan kekuasaan semata, namun politik juga dimaknai sebagai jalan
untuk meraih ridha Allah.
44

Agung Nugroho, Black Campaign= Hukum Kekalahan Momentum, http://www.kompasiana.com
/agungno/black-campaign-hukum-kekekalan-momentum_55108339813311d538bc676f.
Diakses
Pada Tanggal 4 Juli 2017, Pukul 06:24.
45
Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta: Media Presindo,
1999), h. 4.

14

Penutup
Disatu sisi kampanye politik adalah suatu keniscayaan dari demokrasi,
namun disisi lain ada kecenderungan kampanye politik membawa dampak buruk
bagi proses demokratisasi, khusunya di Indonesia. Kampanye yang harusnya
dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
justru di seringkali dijadikan ajang pembodohan rakyat secara kolektif, dimana para
kandidat dan partai politiknya mengumbar janji-janji untuk mendongkrak
probabilitas diri atau partainya agar terpilih menjadi wakil rakyat. Tanpa
menghadirkan argumentasi dan analisis yang jelas. Tak pelak lagi, kampanye
sekadar menjadi ajang obral janji yang me“ninabobo”kan rakyat luas, membual
ditengah krisis. Politik hitam (black campaign) dan politik uang pun (money politic)
seakan sudah menjadi tradisi yang terpisahkan dari proses kampanye politik di
Indonesia.
Ironisnye, mayoritas dari para kadidat tersebut beragama Islam. Jika sudah
demikian, keindahan ajaran Islam sulit tercermin dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Sebagai organisasi yang memiliki peran sebagai pewaris
pra Nabi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki tanggung jawab besar untuk
menyadarkan umat tentang etika politik yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai
organisasi yang memiliki peran sebagai pemberi fatwa, maka MUI memiliki
relevansi untuk mengeluarkan fatwa tentang etika kampanye dalam pemilihan
umum.
Mengingat MUI memiliki pengaruh yang besar dikalangan umat Islam,
lahirnya fatwa kampanye ini dapat menjadi harapan untuk mewujudkan
demokrastisasi yang lebih subtansial dan mewujudkan masyarakat yang lebih
religius, karena masyarakat sudah memiliki pemahaman bahwa politik bukan hanya
bermakna kekuasaan namun juga memiliki makna sebagai usaha untuk meraih
ridha Allah SWT.

15

DAFTAR PUSTAKA

al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Buah Ilmu. Jakarta: Pustaka Azzam, 1993.
Al-Mawardi, Imam. Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syari’at
Islam, Terj Fadli Bahri dalam Al-Ahkam As-Shulthaniyah. Jakarta: Darul

Falah, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Lingkungan: Demokrasi Versus
Ekokrasi.http://www.jimly.com/makalah/namafile/179/Jurnal_MIPI_ttg
_Kedaultan.pdf

Azra, Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta:
ICCE UIN Jakarta, 2000.
Fatah, R. Eep Saefullah. Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indah, 1994.
Hidayat, Komarudin. Politik Panjat Pinang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2006.
Huda, Miftahul. MUI dan Agen of Change (Sumbangsih Fatwa MUI Tentang Wakaf
Uang Terhadap Sisi Kebijakan dan Kualitas Produk Undang-undangan
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dalam Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan Undang-Undang.
Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Huda, Qamarul, Otoritas Fatwa dalam Konteks Masyarakat Demokratis (Sebuah
Tinjauan Terhadap Fatwa MUI Pasca Orde Baru, dalam Fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan Undang-Undang.
Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, Terj. M. Abdul
Ghofar dalam al-Islam wa al-Dimuqratiyah. Bandaung: Mizan, 1996.

16

Ismawan, Indra. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu, (Yogyakarta:
Media Presindo, 1999), h. 4.
Lau, Richard R. Andersen dan David P. Redlawsk. “An Exploration of Correct
Voting in Recent U.S. Presidential Elections”, American Journal of
Political Science, Vol. 52, Issue 2. 2008.

Manzur, Muhammad Ibnu. Lisan Al-Arab, Jilid I. Beirut: Dar Shadir, t.t.
MD, Moh. Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: PT. Raja
Grafinfo Persada, 2010.
__________, Demokrasi Pilihan Terpaksa, Artikel di harian Seputar Indonesia, 13
April 2009.
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi
Tentang PemikiranHukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS,

1993.
Nugroho, Agung. Black Campaign= Hukum Kekalahan Momentum, http://www.
kompasiana.com/agungno/black-campaign-hukumkekekalan

momentu

m_55108339813311d538bc676f. Diakses Pada Tanggal 4 Juli 2017,

Pukul 06:24.
Pamungkas, Sigit. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada, 2009.
Prihatmoko, Joko J. Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Filosofi, Sistem Dan
Problema Penerapan Di Indonesia . Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.

Samuddin, Rapung. Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliriuan Pandangan
Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik. Jakarta: Gozian Press,

2013.
Ulum, Bahrul. Golongan Putih: Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia, dalam
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum dan
Undang-Undang. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Widarwati, Betty Gama dan Nunun Tri. “Hubungan Antara Kampanye Kandidat
Kepala Daerah dan Perilaku Pemilih Petisipasi Politik Wanita”, Jurnal
Ilmiah Scriptura, Vol. 1, No. 1 Januari 2008.

17

Wisudawati, Diyan Nur Rkhmah. “Isu Pendidikan Dalam Kapanye Politik”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 20, No 4 Desember 2014.

Zubaedi, dkk. Filsafat Barat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.

18