ANALISIS PUTUSAN BEBAS OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)

(1)

ANALISIS PUTUSAN BEBAS OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN

(Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)

(Tesis)

Oleh

M

.

ANDRI MIRMASKA

NPM 1322011082

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(2)

ABSTRACT

ANALYSIS OF FREE DECISION BY JUDGE IN CORRUPTION CASE OF VEHICLES PROCUREMENT ON PESAWARAN REGENCY

(Study of Decision Number: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK) By

M. ANDRI MIRMASKA

Corruption is an act of unlawful state financial harm, so that the perpetrators should be convicted the maximum, but in reality the judges dropped the acquittal of the accused in the Decision No. 25/Pid.TPK/2013/PN.TK. The problems of this study is: How is a basic consideration of free decision by judge in corruption case of vehicles procurement on Pesawaran Regency? Does the acquittal by a panel in corruption case of vehicles procurement on Pesawaran Regency suitable with society's sense of justice?

This study uses normative juridical approach and empirical jurisdiction. Speakers composed of prosecutors, judges and academics. Data collected by library research and field study. The data were analyzed qualitatively.

Based on the results of research and discussion, can conclude: basic consideration of free decision by judge in corruption case of vehicles procurement on Pesawaran Regency in Decision Number: Number: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK. is the defendant not guilty of the offense corruption as charged by the Prosecution, both the primary and secondary are Article 2 and Article 3 of the Law on Corruption Eradication. In addition the defendant declared not involved in the procurement official vehicles Regent Pesawaran and does not accept the result or gain on the purchase of official vehicles. Acquittal by the assembly in basic consideration of free decision by judge in corruption case of vehicles procurement on Pesawaran Regency not meet society's sense of justice because corruption is an extraordinary crime that should be handling his case performed extraordinarily well, and the parties involved either directly or indirectly the occurrence or facilitate the implementation of such offenses, should be convicted according to the lightness or heaviness of the mistakes made, so as not to injure the sense of justice.

Suggestion of this research are: The judges should be more careful verdict against the parties involved in corruption. Supervision of procurement of goods and services local government agencies should be optimized.


(3)

ANALISIS PUTUSAN BEBAS OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN

DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)

Oleh

M. ANDRI MIRMASKA

Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum yang merugikan keuangan negara, sehingga pelakunya harus dipidana maksimal, tetapi pada kenyataannya Majelis Hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa pada Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran? Apakah putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran memenuhi rasa keadilan masyarakat?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari jaksa, hakim dan akademisi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan: Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran pada Putusan Nomor: Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK adalah Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder yaitu Pasal 2 maupun Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu Terdakwa dinyatakan tidak terlibat dalam kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati Pesawaran dan tidak menerima hasil atau keuntungan atas pembelian kendaraan dinas tersebut. Putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak menciderai rasa keadilan.

Saran penelitian ini adalah: Majelis hakim hendaknya lebih cermat menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat tindak pidana korupsi. Pengawasan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah daerah hendaknya dioptimalkan. Kata kunci: Putusan Bebas, Korupsi, Kendaraan Dinas.


(4)

ANALISIS PUTUSAN BEBAS OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN

(Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)

Oleh

M. ANDRI MIRMASKA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

(8)

Penulis dilahirkan di Kota Palembang pada tanggal 20 Juli 1991, yang merupakan putra pertama, anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Miryan Mirza.S.E., dan Ibu Dra. Rohima

Penulis menempuh pendidikan TK Al Qur’an Kota Metro selesai pada tahun 1996, Sekolah Dasar (SD) Al Qur’an Kota Metro diselesaikan pada Tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Metro diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 3 Kota Metro diselesaikan pada Tahun 2009. Penulis meraih gerlar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2013 dan pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai Mahasiswa Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(9)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT

atas Rahmat dan Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah

Muhammad SAW

Kupersembahkan Tesis ini kepada :

Ayah dan Ibu,

sebagai Orang tua tercinta penulis yang telah mendidik, membesarkan

dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan

kasih sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus

untuk setiap langkah yang penulis lewati

serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Kakak tercinta Yuni Mirmasatika,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju

memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi

dari sekarang.

Adik tersayang Adha Mirmaska

Yang selalau menjadi support agar menjadi pribadi yang baik

Almamaterku Tercinta

Universitas Lampung


(10)

MOTO

Kesuksesan bukan merupakan suatu tujuan

Tapi merupakan suatu perjalan

(A.a Gym)

Kemarin Adalah Kemarin Besok Adalah Perubahan

(Mario Teguh)

Kalau Hari Ini Kita Menjadi Penonton,

Bersabarlah Menjadi Pemain Esok Hari


(11)

i

Alhamdulillahirobbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya dengan kehendak dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: “Analisis Putusan Bebas oleh Majelis Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran (Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)”,

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Lampung. Dalam penulisan tesis ini penulis mendapatkan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, SH., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, atas bimbingan, masukan, motivasi dan saran yang diberikan dalam penyusunan sampai dengan selesainya Tesis ini.

5. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, atas bimbingan, masukan, motivasi dan saran yang diberikan dalam penyusunan sampai selesainya Tesis ini.


(12)

ii

7. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.

8. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Penguji, atas masukan dan saran yang diberikan dalam proses perbaikan Tesis ini.

9. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis

10.Sdri. Khumaira yang selalu mendukung dan memberikan motivasi dalam keadaan apapun pada penulis dalam penyelesaian Tesis dan menempuh studi.

11.Seluruh staf Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan pada penulis selama menempuh studi. 12.Rekan-rekan Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas

Lampung, atas persahabatan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian Tesis dan menempuh studi.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan akan mendapatkan balasan kebaikan dari sisi Allah SWT. Akhirnys semoga Tesis ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual ... 9

E. Metode Penelitian ... 18

F. Sistematika Penulisan ... 22

II . TINJAUAN PUSTAKA ... 24

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 24

B. Putusan Hakim ... 30

C. Tindak Pidana Korupsi ... 42

D. Pengadaan Barang dan Jasa ... 46

E. Pelaku Tindak Pidana ... 50

F. Pertanggungjawaban Pidana ... 53

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Gambaran Umum Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK ... 61

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran ... 63

C. Putusan Bebas oleh Majelis Hakim pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran dalam Perspektif Rasa Keadilan Masyarakat ... 92

IV. PENUTUP ... 109

A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan otonomi daerah secara faktual memberikan dampak yang positif, khususnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan pembangunan di daerah, akan tetapi pada kenyataannya otonomi belum mampu untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Disisi lain otonomi daerah juga menjadi sumber rasa ketidak adilan rakyat karena perilaku koruptif aparatur pemerintahan daerah.

Perilaku koruptif aparatur pemerintahan daerah salah satunya terjadi pada proses pengadaan barang dan jasa, meskipun pada dasarnya pemerintah telah menempuh upaya untuk menekan tindak pidana korupsi dalam proses ini melalui Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pengadaan barang dan jasa seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tetapi pada kenyataannya hal tersebut seringkali diabaikan dan terjadi tindak pidana korupsi. Pengadaan barang dan jasa merupakan hal yang penting, karena akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pembangunan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pembangunan dalam mencapaiberbagai sasaran dan tujuan pembangunan. Pembangunan diterjemahkan dalam berbagai kebijakan, program, dan proyek-proyek. Proyek adalah satuan investasi terkecil yang terdiri dari sejumlah bagian


(15)

ataupun kegiatan yang bersifat operasional, termasuk kegiatan pengadaan barang dan jasa, karena itu sistem dan proses pengelolaannya akan secara langsung dan signifikan mempengaruhi tingkat kesuksesan maupun kegagalan pembangunan.

Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa:

“setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.


(16)

Pengaturan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus mengacu pada Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali bila oleh undang-undang ditentukan lain.

Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Peningkatan tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah atau pejabat daerah. Salah satu perkara tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan barang


(17)

dan jasa adalah Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK, dengan terdakwa yaitu R. Doddy Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini, yang didakwa melanggar Pasal 3 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.1

Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada

1

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3.


(18)

beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 2

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan

2

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 22.


(19)

oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.3

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi pada kenyataannya dalam Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang memvonis bebas R. Doddy Anugerah Putra Bin Abdurrahman Sarbini, yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.127.311.364.,- (Seratus duapuluh juta tigaratus sebelas ribu tigaratus enam puluh empat rupiah).

Putusan pengadilan tersebut tidak relevan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan Agar Setimpal dengan Berat dan Sifat Kejahatannya, yang menyatakan bahwa kecenderungan meningkatnya kualitas dan kuantitas tindak pidana terutama di bidang ekonomi memerlukan penanganan serta kebijakan pemidanaan secara khusus. Oleh karena itu terhadap tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung mengharapkan supaya pengadilan menjatuhkan pidana yang sungguh-sungguh setimpal beratnya dan sifat tindak pidana tersebut jangan sampai menjatuhkan pidana yang menyinggung rasa keadilan di dalam masyarakat.

3


(20)

Putusan bebas yang dijatuhkan majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran bertolak belakang dengan semangat dan maksud Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000, karena terdakwa justru divonis bebas sehingga menimbulkan pandangan negatif masyarakat terhadap proses penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya.4

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan kajian dan penelitian yang berjudul: Analisis Putusan Bebas oleh Majelis Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Kendaraan Dinas di Kabupaten Pesawaran (Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK).

4

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 155.


(21)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas

dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran?

b. Apakah putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran memenuhi rasa keadilan masyarakat?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan kajian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran serta putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran memenuhi rasa keadilan masyarakat. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang dan waktu penelitian dilaksanakan Tahun 2014-2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran


(22)

b. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran dengan keadilan subtantif

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan putusan bebas oleh majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana korupsi

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang relevan dengan keadilan substantif.

D. Kerangka Pemikiran dan Konseptual 1. Alur Pikir

Alur pikir penelitian mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran adalah sebagai berikut:


(23)

Gambar 1 Alur Pikir Penelitian

2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran merupakan adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

Pengadaan Kendaraan Dinas Bupati Kabupaten Pesawaran Pengadaan Kendaraan

Dinas Bupati Kabupaten Pesawaran

Mark Up

Tindak Pidana Korupsi

Proses Penyidikan

Tahapan P4

Pengadilan Negeri Putusan Nomor:

25/Pid.TPK/2013/ PN.TK

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Bebas (Tidak Memenuhi Unsur

Tindak Pidana)

Relevansi Putusan Bebas dengan keadilan


(24)

a. Teori Pembuktian

Setiap warga negara wajib menjunjung hukum. Dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut

“melanggar hukum” karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh pengadilan

dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung. Sebelum seseorang diadili oleh pengadilan maka orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah. Hal ini dikenal dengan asas praduga tidak bersalah (presumption innonsence). Untuk menyatakan seseorang melanggar hukum maka pengadilan harus dapat menemukan kebenaran akan hal tesebut. Untuk menentukan kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal inilah yang melandasi adanya asas pembuktian dalam suatu tindak pidana5

Tersangka/terdakwa dianggap tidak bersalah “sampai adanya putusan yang

berkekuatan hukum tetap yang menyatakan kesalahannya. Kesalahan tersangka/ terdakwa berdasarkan pendapat pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 193 Ayat (1) KUHAP yaitu: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”

Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang, kecuali bila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

5

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra. Aditya Bakti. Bandung. 2003.hlm. 41.


(25)

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah diperoleh berdasarkan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedang pemeriksaan di persidangan di dasarkan atas surat dakwaan yang dirumuskan Penuntut Umum yang dilimpahkan ke pengadilan. Hal tersebut di atas berdasarkan Pasal 143 Ayat (1) KUHAP yaitu: “Penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segara

mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”

Salah satu asas umum peradilan adalah asas praduga tidak bersalah (presumption innonsence) yang dirumuskan pada butir c Penjelasan Umum KUHAP bahwa setiap orang yang disangka atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.6

Perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan Negeri adalah yang menurut pendapat Penuntut Umum memenuhi syarat. Hal ini berarti bahwa menurut pendapat Penuntut Umum, perbuatan/delik yang didakwakan kepada terdakwa telah didukung oleh alat bukti yang cukup. Secara logika, karena Penuntut Umum yang mendakwakan maka Penuntut Umum harus dapat membuktikan perbuatan terdakwa yang didakwakannya, tetapi secara kenyataan karena alat bukti sah yang tercantum pada berkas perkara bukan ia yang mempersiapkan (dipersiapkan

6


(26)

penyidik), jika pada pemeriksaan di persidangan ada perubahan tentang nilai pembuktian adalah hal yang tidak wajar jika dipertanggung jawabkan kepadanya

Menurut Pasal 66 KUHAP menyatakan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Demikian juga dengan Penuntut Umum, menurut Pasal 129 KUHAP, setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 183 Ayat (2) KUHAP menyatakan dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Berdasarkan kedua rumusan Pasal 139 dan Pasal 138 Ayat (2) KUHAP maka dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh penyidik yang berusaha maksimal untuk mengumpulkan alat bukti sah yang selanjutnya diteliti oleh Penuntut Umum yang akan menentukan kelanjutan proses perkara tersebut apakah ditutup demi kepentingan hukum atau dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau dilakukan sendiri pemeriksaan tambahan.

Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP mengatur putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan


(27)

tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa putusan bebeas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana.Berbeda halnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.7 Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada dua hal, yaitu:

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.8

b. Teori Keadilan Substantif

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek

prsedural akan di „nomorduakan‟. Secara teritik, kedalilan substantif dibagi ke

7

M.Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 347

8


(28)

dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, keadilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat kesempatan sama untuk memperoleh keadilan. 9

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil10

Pemaknaan keadilan dalam praktik penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih dapat diperdebatkan. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim semestinya mampu menjadi seorang interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar pelaksana undang-undang. Artinya, hakim dituntut

9

Mahfud M.D., Penegakan Keadilan di Pengadilan,http://mahfudmd.com

10


(29)

untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.

Keadilan substantif dimaknai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan ketentuan undang-undang, melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

3. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.11 Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Putusan bebas adalah tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum

dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut

11


(30)

hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim12

b. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum13

c. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).14

d. Tujuan tindak pidana korupsi adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut. 15

12

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 152-153Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25

13

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 25

14

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)

15

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)


(31)

e. Keadilan substantif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat16

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus

2. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, yaitu sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat dengan cara melakukan penelitian langsung terhadap objek penelitian dengan melakukan tanya jawab atau wawancara terhadap narasumber.

16


(32)

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bahan hukum yaitu sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer, bersumber dari:

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

b) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

d) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

e) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

f) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

2) Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang bersifat menjelaskan bahan hukum primer, yang meliputi:


(33)

a) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

b) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

c) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK

3) Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum tambahan dari berbagai sumber seperti literatur, arsip/dokumentasi, makalah atau jurnal penelitian yang sesuai dengan pembahasan dalam penelitian ini.

3. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini adalah dua orang Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, yaitu F.X. Supriyadi dan Sutaji.

4. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan

data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview),


(34)

yaitu mengajukan tanya jawab kepada nasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik simpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik


(35)

kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tesis ini disajikan dalam beberapa bab yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, Bab ini berisi pendahuluan penyusunan Tesis yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran dan Konseptual, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tinjauan pustaka yang meliputi pengertian dasar pertimbangan hakim, pengertian tindak pidana korupsi, pengertian pertanggungjawaban pidana dan pengertian pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintahan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari análisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran serta putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran memenuhi rasa keadilan masyarakat.


(36)

BAB IV PENUTUP, Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta saran direkomendasikan kepada berbagai pihak yang terkait dengan penelitian.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)1

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis).2

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling

1

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

2


(38)

berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.3

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

3

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika,.2010, hlm.103.


(39)

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 4

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

4


(40)

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam


(41)

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsnya.5

Selain itu Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

5


(42)

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(5) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,


(43)

memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.6

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di siding pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.7

B. Putusan Hakim

Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Ayat (2) menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau

6

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 77

7

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.2010. hlm.112


(44)

pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Putusan Hakim

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan8

Secara umum produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada tiga macam yaitu putusan, penetapan, dan akta perdamaian. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah

8


(45)

antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.9

Putusan Hakim dalam pengadilan berdasarkan fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut:

a. Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu: putusan gugur, putusan Verstek yang tidak diajukan verzet, putusan tidak menerima, dan putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa. Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang menentukan lain

b. Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetaoi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang dan selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya

9


(46)

dipertimbangkan pula pada putusan akhir. Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan itu dengan biaya sendiri10

Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, putusan dibagi sebagai berikut :

a. Putusan gugur

Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan. Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan dan apabila telah dipenuhi syarat:

1) penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu

2) penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah

3) Tergugat/termohon hadir dalam sidang 4) Tergugat/termohon mohon keputusan

Dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus gugur dan dalam putusan gugur, penggugat/pemohon

10

M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. hlm. 77-79


(47)

dihukum membayar biaya perkara. Tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi

b. Putusan Verstek

Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Verstek artinya tergugat tidak hadir dan putusan Verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat, sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal telah dipanggil dengan resmi dan patut. Putusan Verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :

1) Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu 2) Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula

mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang sah

3) Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan 4) Penggugat hadir dalam sidang

5) Penggugat mohon keputusan

Dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula diputus Verstek. Putusan Verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat. Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan Verstek berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali


(48)

dalam perkara perceraian, sedangkan apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan Verstek dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan Verstek.

Terhadap putusan Verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan (verzet). Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding. Terhadap putusan Verstek maka penggugat dapat mengajukan banding, dan apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding

c. Putusan kontradiktoir

Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihak. Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.11

Selanjutnya apabila dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut:

a. Putusan tidak menerima

Putusan tidak menerima adalah putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena

11


(49)

gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil. Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak menerima gugatan penggugat dan meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi.

b. Putusan menolak gugatan penggugat

Putusan menolak gugatan penggugat adalah putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan di mana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti. Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan dapat diperiksa dan diadili

c. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya

Putusan ini merupakan putusan akhir dan dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat sehingga dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan, dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak dan Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima.

d. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya

Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti. Untuk


(50)

mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti. 12

Menurut Lilik Mulyadi, dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus memperhatikan apa yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 KUHAP. Sistematikan putusan hakim adalah:

(1) Nomor Putusan

(2) Kepala Putusan/Irah-irah (Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)

(3) Identitas Terdakwa

(4) Tahapan penahanan (kalau ditahan) (5) Surat Dakwaan

(6) Tuntutan Pidana (7) Pledooi

(8) Fakta Hukum

(9) Pertimbangan Hukum

(10) Peraturan perundangan yang menjadi dasar pertimbangan (11) Terpenuhinya Unsur-unsur tindak pidana

(12) Pernyataan kesalahan terdakwa

(13) Alasan yang memberatkan atau meringankan hukuman (14) Kualifikasi dan pemidanaan

(15) Penentuan status barang bukti (16) Biaya perkara

(17) Hari dan tanggal musyawarah serta putusan

(18) Nama Hakim, Penuntut Umum, Panitera Pengganti, terdakwa dan Penasehat Hukumnya13

proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu sebagaimana berikut:

12

Ibid. hlm. 82-83

13


(51)

Hakim pada saat menganalisis apakah terdakwa melakukan perbuatan atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya kepada diri sendiri, jujurkah ia dalam mengambil keputusan ini, atau sudah tepatkah putusan yang diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini, atau seberapa jauh manfaat yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.

2. Pengertian Putusan Bebas

Pasal 191 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP mengatur putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Penjelasan Pasal 191 Ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Perbedaan antara putusan bebas dan lepas dapat ditinjau dari segi hukum pembuktian, yaitu pada putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana yang


(52)

didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim (Vide Pasal 183 KUHAP). Sedangkan, pada putusan lepas (onslag van recht vervolging), segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.14

Penjatuhan Putusan Bebas dan Putusan Lepas oleh seorang hakim atas pelaku suatu tindak pidana (yang unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti), dapat dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgronden), baik yang ada dalam undang-undang, misalnya alasan pembenar (contohnya Pasal 50 KUHP) atau alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP), maupun yang ada di luar undang-undang (contoh: adanya izin).

M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa putusan bebeas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atau acquittal, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana.Berbeda halnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

14


(53)

tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 Ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.15 Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada dua hal, yaitu:

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim.

b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian

Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.16

Bertitik tolak pada kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas dan dihubungkan dengan Pasal 191 Ayat (1) tentang putusan bebas, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim:

a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua

15

M.Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 347

16


(54)

alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesahan yang didakwakan

b. Secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minimum batas pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 Ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi

c. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim17

KUHAP pada dasarnya tidak membagi bentuk putusan bebas. Bentuk-bentuk putusan pengadilan yang dikenal dalam KUHAP yaitu: putusan bebas, putusan lepas, putusan pemidanaan, penetapan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, dan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Namun dalam praktiknya, kemudian dikenal ada putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni yangdikenalkan dalam yurisprudensi pertama kali lewat Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/1983, yakni kasus vonis bebas Natalegawa yang dikasasi jaksa. Mahkamah

17


(55)

Agung menerima kasasi jaksa berdasarkan argumentasi murni tidaknya putusan bebas. Maklum, saat itu Pasal 244 KUHAP tegas melarang upaya kasasi atas putusan bebas. Akhirnya sejak saat itu, praktek hukum acara di Indonesia mengenal istilah putusan bebas murni atau tidak murni. Pihak jaksa penuntut umum biasanya selalu menggunakan dalil ketika mengajukan kasasi bahwa hakim dalam tingkat persidangan sebelumnya telah menjatuhkan putusan bebas tidak murni. 18

Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

C. Tindak Pidana Korupsi

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).19

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:

a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

18

Ibid. hlm. 350 19

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 12.


(56)

b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban c) Penyembunyian pelanggaran. 20

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa

20

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 56.


(1)

59

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman34

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

34


(2)

60

kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.


(3)

109

IV.PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran pada Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK adalah pertimbangan bahwa tidak terbukti Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik primair maupun sekunder yaitu Pasal 2 maupun Pasal 3 Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu Terdakwa dinyatakan tidak terlibat dalam kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati Pesawaran dan tidak menerima hasil atau keuntungan atas pembelian kendaraan dinas tersebut.

2. Putusan bebas oleh majelis dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan kendaraan dinas di Kabupaten Pesawaran tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya penanganan perkaranya dilakukan secara luar biasa pula, dan pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung


(4)

110

maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut, seharusnya dipidana sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan, sehingga tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat yang mengharapkan pemberantasan tindak pidana korupsi.

B.Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan cara lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana tersebut sesuai dengan berat atau ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku.

2. Pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah daerah hendaknya dioptimalkan dengan cara mentaati semua prosedur dan ketentuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting dilakukan dalam rangka meminimalisasi terjadinya korupsi yang dapat merugikan keuangan negara/keuangan pemerintah daerah.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung. Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang.

Nawawi Arief, Badra. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:Alumni. ---, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Raharjo, Satjipto. 1996. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali. Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Fakutas Hukum Universitas Pakuan.


(6)

Sudarto. 1983. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

---,1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta. ---,2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Grafindo Press. Jakarta. Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia.

Pradya Paramitha. Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 25/Pid.TPK/2013/ PN.TK


Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

0 4 16

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST (HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)

1 13 63

ANALISIS PERTANGGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOPERASI SINDANG JAYA DI LAMPUNG BARAT (Studi Putusan Nomor: 99/Pidana B/2006/PN. LW)

0 3 26

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan No.14/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Gns)

0 3 56

ANALISIS PUTUSAN BEBAS OLEH MAJELIS HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Putusan Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK)

0 11 77

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Perkara Nomor: 25/Pid.TPK/2013/PN.TK dan 26/Pid.TPK/2013/PN.TK)

0 8 58

DISPARITAS PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN KENDARAAN DINAS DI KABUPATEN PESAWARAN (Studi Perkara Nomor: 25Pid.TPK2013PN.TK dan 26Pid.TPK2013PN.TK) Oleh Muhammad Reynaldy F., Diah Gustiniati, Firganefi. Email: muhammadreynaldy0gmail.

0 0 11

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

0 3 14

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN (Studi Perkara Nomor: 892/Pid.B/2014/PN.Tjk.)

0 1 15

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PAJAK KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Nomor: 18/Pid.Sus-TPK/2016/PN.Tjk)

0 1 15