Titik Beranjak Nurcholish Madjid Dari Ma
Titik Beranjak Nurcholish Madjid:
Dari Masa Kanak-kanak
Sampai Tradisi Pesantren
Ahm ad Gaus AF 1
ABSTRACT:
N urcholish Madjid w as a prom inent Indonesian Muslim intellectual. Early
in his academ ic career, Nurcholish w as a leader in various student
organizations. He soon becam e w ell know n as a proponent for
m odernization w ithin Islam . Throughout his career he continued to argue
that for Islam to be victorious in the global struggle of ideas, it needs to
em brace the concepts of tolerance, dem ocracy and pluralism .
Kata Ku n ci: Nurcholish Madjid, Pesantren
Nam a pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah
kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “ham ba Allah”
(Malik m erupakan nam a sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asm aul
Husna, nama-nam a Allah yang Indah). Perubahan nam a m enjadi
Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil sering
sakit-sakitan. Dalam tradisi J awa, anak yang sering m enderita sakit
dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nam a), dan karena itu perlu ganti
nam a. Alasan lain perubahan nama itu adalah keinginan dari Abdul Malik
sendiri. Sewaktu m ulai diajari m engaji oleh ibunya, dan membaca surat alFatihah, ia selalu m inta agar kata ‘m aliki’ (y aw m iddin) dalam surat itu
diloncati saja: “Mak, nggak atik m aliki-m aliki Mak!” (Mak, tidak usah pakai
‘m aliki-m aliki’ Mak). Pemberian nam a Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas
asal-m uasalnya, kecuali bahwa nam a itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya”
dan cholish berarti “m urni” atau “bersih”. Sem entara itu nam a belakangnya,
Madjid, diambil dari nam a belakang sang ayah.
Nurcholish lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul
Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulam a), Hadratusy
Syaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebu Ireng, J om bang. Lebih dari
sekadar santri, Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercaya oleh Kiai
Hasyim lantaran prestasi belajarnya, terutam a di bidang tata bahasa Arab
(nahw u-sharaf) dan ilmu hisab atau ilm u hitung. Ketika m enjadi santri
1
40 I
Anggota Nurcholish Madjid Society dan mantan aktivis GMNI.
Konfrontasi
Tebu Ireng, Kiai Hasyim m emberinya nam a Muham m ad Thahir. Nam a
Abdul Madjid digunakan setelah pulang m enunaikan ibadah haji pada 1927.
Hubungan keduanya mem ang seperti anak dan bapak. Abdul Madjid,
m isalnya, kerap dim inta oleh Kiai Hasyim untuk m engambilkan uang dari
kantung jas di kam ar sang Kiai. Ini hal yang tidak biasa, terutam a bagi orang
J awa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi. Di lain waktu, Abdul
Madjid juga sering terlihat sedang m em ijat tubuh sang Kiai.
Karena kedekatan pribadi itu pula, Kiai Hasyim m enjodohkan Abdul Madjid
dengan cucunya sendiri, Halim ah. Ikatan perkawinan itu berlangsung
selam a dua belas tahun, nam un tidak dikaruniai anak. Akhirnya m ereka
berpisah. Kiai Hasyim lalu m enjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonah,
putri Kiai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri, J awa Tim ur.
Fathonah adalah adik dari Im am Bahri, santri Kiai Hasyim di Pesantren
Tebu Ireng. Melalui Im am Bahri inilah Kiai Hasyim m engatur perjodohan
Abdul Madjid dan Fathonah.
Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah
Nurcholish, pada J um at Legi, tanggal 17 Maret 1939. Belum genap berusia
dua tahun Nurcholish mem iliki adik perem puan yang bernam a Radliyah
atau Mukhlishah. Setelah itu menyusul adik perem puannya yang lain yang
bernam a Qoni’ah (m eninggal pada usia 15 tahun akibat penyakit m alaria
tropika), kem udian berturut-turut lahir Saifullah Madjid dan Muham m ad
Adnan. Seperti halnya
Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini juga
disekolahkan di pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish
yang m enapaki jalur keilm uwan, atau Mukhlisah yang menjadi guru,
Saifullah Madjid dan Muham m ad Adnan m emilih jalur bisnis setelah lulus
kuliah.
Lin gku n gan So s ial
Meski terdidik secara santri, keluarga H. Abdul Madjid tidak tinggal di
lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecam atan
Bareng, Kabupaten J om bang, kawasan ini m asih didom inasi kaum abangan
(kaum Muslim yang tidak m enjalankan syariat Islam). Pada 1946, H. Abdul
Madjid m endirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah—sekolah Islam
pertam a di desa ini. Al-Wathaniyah secara harfiah berarti “patriotism e”,
karena didirikan pada m asa revolusi. Madrasah inilah yang m engawali
terbentuknya tradisi pendidikan Islam di Kecam atan Bareng.
Di daerah-daerah lain di J om bang, tradisi pendidikan Islam saat itu telah
tum buh subur dengan adanya em pat pesantren besar: Pesantren Bahrul
Ulum di Tam bak Besar, Kecam atan J om bang (didirikan pada 1838),
Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Kecam atan Peterongan (didirikan pada
1885), Pesantren Tebuireng di Tebu Ireng, Kecam atan Diwek (didirikan
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 41
pada 1899), dan Pesantren Manbaul Maarif di Denany ar, Kecam atan
J om bang (didirikan pada 1917). Keterlam batan wilayah Bareng dalam
m engadopsi sistem pendidikan Islam disebabkan oleh kenyataan bahwa
kultul keislam an di wilayah ini—dan sebenarnya juga di seluruh daerah
J om bang—pada m asa lalu tidak terlalu dom inan. Kendatipun Islam dipeluk
oleh m ayoritas penduduk Bareng, nam un sebagian besar m ereka adalah
abangan. Selain itu, agama-agam a Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu
juga m endapatkan tem pat setara di Bareng dan, secara lebih luas, J om bang,
dengan latar belakang sejarah yang panjang, yaitu kolonialism e (Kristen),
kerajaan Majapahit (Hindu-Budha), dan gelombang kedatangan orangorang dari daratan China pada abad ke-16 (Konghucu).
Dengan latar belakang seperti itu, kehidupan keagamaan di J om bang secara
keseluruhan tum buh dalam suasana kem ajem ukan. Dalam sejarah J om bang
tidak pernah tercatat kekerasan atas nam a agam a yang m elibatkan m assa. Di
kalangan pem eluk Islam sendiri yang m erupakan m ayoritas penduduk
J om bang, polarisasi antara kaum santri dan abangan tidak pernah
m enim bulkan m asalah. Orang J ombang pada umumnya percaya bahwa kata
J om bang berasal dari istilah J awa, ijo dan abang; ijo atau hijau m ewakili
kaum santri, dan abang atau merah m ewakili kaum abangan. Untuk
m enghindari pengertian negatif dari “abangan”, kata ini juga kerap
diasosiasikan dengan kaum nasionalis. Warna hijau (santri) dan m erah
(nasionalis) kem udian menjadi warna dasar lam bang Kabupaten J om bang,
hingga sekarang.
Kelom pok “hijau” yang m enyebar di kantong-kantong pesantren yang
tum buh kian subur m em bentuk citra J om bang sebagai kota santri.
Penyebaran pengaruhnya pun sangat luas jika dilihat dari kenyataan bahwa
sem ua pendiri pesantren di J awa pernah m enuntut ilm u di kota ini.
Sementara itu, kelom pok “m erah” juga tidak selalu identik dengan citra yang
buruk. Dari tangan m erekalah, m isalnya, lahir kesenian rakyat yang disebut
besutan (atau teater jalanan), yang kem udian lebih dikenal dengan nam a
ludruk.
J om bang pada m asa lalu adalah pintu m asuk m enuju Kerajaan Majapahit
(1293-150 0 M). Tidak heran banyak desa/ kota di J om bang dimulai dengan
awalan m ojo, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah,
Mojongapit, term asuk Mojoanyar, kecam atan Bareng, tem pat kelahiran
Nurcholish Madjid. Bahkan di Bareng terdapat sebuah candi peninggalan
Majapahit, yaitu candi Arim bi.
Islam isasi J om bang m erupakan pengaruh dari perluasan Kerajaan Mataram
Islam yang berpusat di Kotagede, yang berdiri pada abad ke-16, m enyusul
runtuhnya Majapahit. Meskipun proses Islam isasi berlangsung nyaris tuntas
42 I
Konfrontasi
(98% penduduk J om bang m em eluk Islam ), nam un tidak seluruh
penduduknya tersantrikan. Sebagian di antara mereka m asih mem egang
filosofi J awa atau Kejawen, yang dikawinkan dengan ajaran Islam sehingga
disebut Islam-Kejawen atau Islam J awa. Kelom pok inilah yang disebut oleh
antropolog Clifford Geertz sebagai Islam abangan itu.
Nam un demikian, dikotom i Islam santri dan Islam abangan sebenarnya
hanya ada dalam tataran konseptual. Dalam kenyataannya, keduanya
berinteraksi secara luwes dan dikondisikan untuk bersikap m oderat. Yang
tidak ditolerir oleh kaum santri adalah subkultur kaum abangan yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti perjudian, m inum an keras, dan
pelacuran yang terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu yang kem udian
disebut “daerah hitam ”. Bentuk perlawanan kaum santri terhadap subkultur
ini adalah m engubah daerah hitam m enjadi kawasan religius. Itulah
alasannya mengapa pesantren-pesantren di J ombang berdiri di kawasan
yang dulunya m erupakan daerah hitam .
Secara sosio-kultural, pengaruh Mataram tidak hanya m uncul dalam bentuk
penyebaran Islam , tapi juga dalam tutur kata. Bahasa orang J om bang
sebagian dipengaruhi oleh dialek Mataram an yang berakar pada bahasa
J awa Pertengahan dengan ciri utam a adanya tingkatan atau hirarki yang
m engindikasikan feodalism e. Sem entara sebagian yang lain sangat kental
dengan dialek Surabaya yang lebih egaliter. Penyebutan “Mas” kepada orang
yang lebih tua, dalam dialek Surabaya diganti dengan “Cak”, sehingga lebih
m engesankan kesetaraan. Keluarga Nurcholish hidup dalam kultur
Surabayaan ini. Ayahnya, m isalnya, lebih senang berdialog dengan anakanaknya ketim bang m emaksakan kehendak sebagaim ana menjadi obsesi
orang-orang tua feodal. Karena itu, ia tenang-tenang saja ketika anak
perem puannya, Mukhlishah, m enolak untuk dijodohkan. Dalam soal
pem bagian waris, ia m alah m elam paui ide kesetaraan. Anak perem puannya
justru mendapatkan lebih banyak dari anak laki-laki. Adik-adik Nurcholish
juga m em anggil dirinya dengan sebutan Cak, bukan Mas.
Cita-cita Mas a Ke cil
Madrasah al-Wathaniyah didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk
m engim bangi pendidikan sekular (Sekolah Rakyat/ SR). Ketiadaan lem baga
pendidikan agam a m enjadi alasan anak-anak m uda di sini m ewarisi
kebiasaan m abuk dan berjudi. H. Abdul Madjid mengam bil tanggung jawab
pendidikan anak-anak Islam ke pundaknya. Mula-mula, pendidikan agam a
dilakukan secara sem i form al di dalam m ushala yang m asih berupa papan
dan anyam an bam bu. Baru pada 1947 ia mendirikan bangunan alWathaniyah di atas lahan kosong m iliknya, di bawah naungan Yayasan
Wakaf Um at Sejahtera yang juga ia didirikan bersam a Kyai Abdul Mukti.
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 43
Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya m erupakan sekolah pelengkap
untuk m em bekali anak-anak dengan pendidikan agam a yang m em adai, yang
tidak didapat di SR. Untuk tujuan itu, Nurcholish m engenyam pendidikan
rangkap. Pagi hari ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di Madrasah alWathaniyah. Guru-guru di SR sem uanya beragam a Kristen. Karena itu salah
seorang pamannya pernah m elarang Nurcholish belajar di SR. Tapi itu tidak
m em berikan solusi. Arus pendidikan sekular berusaha diim bangi dengan
m endirikan Al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk m enyainginya.
Atas pertimbangan itu, H. Abdul Madjid tetap m em biarkan Nurcholish
belajar di SR. Bagaim anapun, ia m enganggap pengetahuan um um tetap
penting. Ia juga tidak m elihat anaknya kesulitan menerim a pelajaran pagi
dan sore hari. Ini terlihat dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutam a
ilm u hitung atau aljabar yang selalu m endapat nilai tinggi. Pada saat yang
sam a, Nurcholish juga m am pu dengan m udah m enguasai pelajaran di
m adrasah seperti tata bahasa Arab (nahw dan sharaf). Di SR Nurcholish
diajari ilm u bum i, dan ia m am pu m enggambar peta J awa Timur lengkap
dengan letak kota-kotanya tanpa melihat atlas. Dan pada saat yang sam a, ia
juga tidak kesulitan m enghapal beberapa kitab berbahasa Arab seperti
` Aqîdah al-` Aw w âm dan ` Im rîthî.
H. Abdul Madjid praktis tidak punya alasan untuk m em ilihkan salah satu
dari dua sekolah tersebut untuk Nurcholish. Ia juga tidak pernah mengekang
anaknya untuk bergaul dan berm ain sebagaim ana layaknya anak-anak
sebaya dia. Tem an m asa kecil Nurcholish, Ahm ad Kholil, menuturkan,
perm ainan yang sangat disukai Nurcholish ialah m em buat saluran-saluran
air di sawah, m enyusuri rel kereta, dan berm ain kapal-kapalan terbang. Saat
berm ain kapal terbang, Nurcholish m em bedakan konstruksi pesawat dari
m asing-m asing negara. Kapal terbang Inggris dibuat dalam ukuran sedang
dan diberi warna m erah; kapal terbang J epang dibuat dalam ukuran lebih
kecil, sementara kapal terbang Amerika dibuat dalam ukuran lebih besar
dan dilum urinya dengan kapur putih. Di hari lain, ketika lelah m enyusuri
rel-rel kereta, ia berhenti di stasiun. Kekagum annya tertuju pada sang
m asinis kereta karena sanggup m enggerakkan rangkaian gerbong yang
begitu panjang. Ketika ditanya oleh gurunya di SR apa cita-citanya,
Nurcholish m enjawab ingin menjadi m asinis kereta—suatu cita-cita yang
tidak lazim karena pada masa itu um um nya anak-anak bercita-cita m enjadi
guru atau tentara.
Nurcholish kecil adalah pribadi pendiam . J ika tidak sedang berhasrat untuk
berm ain, ia duduk di bawah pohon dan m engeluarkan secarik kertas
berisikan catatan pelajaran. Ketika tem an-tem annya satu persatu
m engerubunginya, ia m enciptakan suasana belajar dengan menanyakan
44 I
Konfrontasi
kepada m ereka satu orang satu pertanyaan, dan mem betulkannya jika ada
yang salah. Setelah itu m ereka berlarian ke tepi sungai untuk m enabur
dedak di sekitar w uw u (alat penjaring ikan yang terbuat dari bam bu). Esok
harinya, sehabis subuh, mereka kem bali ke tepi sungai untuk mengangkut
ikan yang tersangkut pada w uw u.
Pu s at Pe n d id ikan Is lam
Nurcholish adalah m urid pertam a di Madrasah al-Wathaniyah yang
didirikan oleh ayahnya. Di angkatannya, hanya tercatat tujuh orang siswa
yang mendaftar pada tahun pertam a. Nam un perkem bangan madrasah ini
terbilang pesat. Hanya dalam waktu tiga tahun, tercatat seratusan orang
siswa belajar di sini. Meski pendidikan Islam yang dikembangkan oleh H.
Abdul Madjid di sini bercorak NU, ditandai dengan pendidikan kitab kuning
(kitab klasik), dan dia sendiri lulusan pesantren NU (Tebu Ireng), nam un dia
tidak m em asang papan nam a NU. Banyak anak-anak dari orang tua yang
bersim pati kepada Muham m adiyah belajar di sini.
Ibunda Nurcholish, Hj. Fathonah, juga tidak berdiam diri. Ia m engam bil alih
tugas m endidik kaum perem puan di Mojoanyar. Awalnya ia m endengar
laporan bahwa anak-anak perem puan di dusun ini tidak bisa m em baca
Alquran dan tidak m engerti tata cara wudlu dan salat. J adilah ia kem udian
turun tangan dan langsung m engajari m ereka. Pengajaran itu berkem bang
ke bidang-bidang lain yang lebih luas, terutam a ketentuan-ketentuan fikih
yang terkait dengan kaum perem puan.
Pada saat lem baga pendidikan keagam aan di J om bang Selatan m asih
langka, dan m ayoritas kaum Muslim adalah abangan dan pengikut Kejawen,
keberadaan al-Wathaniyah bagaikan oase yang m engalirkan air ke tanahtanah kering. Tidak berbilang tahun, m adrasah ini m enjadi pusat
pendidikan Islam yang berwibawa. Partisipasi m asyarakat tum buh didorong
oleh rasa m em iliki yang kuat, lantaran keberadaan al-Wathaniyah
berdam pak nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat ketika jalannya roda
pendidikan m ulai terseok karena salah satu penyokong dananya, Kyai Ilyas
(kakak dari H. Abdul Madjid) m eninggal dunia, dan H. Abdul Madjid
m enjadi satu-satunya penanggung biaya operasional pendidikan. Dengan
segera m asyarakat sekitar—yang kondisi perekonomiannya sebenarnya jauh
dari cukup—m engulurkan tangan secara bergotong royong untuk
m enyelam atkan lembaga pendidikan tersebut.
Nurcholish tam at dari SR ketika usianya sudah m encapai rem aja, 14 tahun.
Tapi ia tidak sendirian. Tem an-teman sekam pungnya seperti Muhid,
Muksin, Anam , Mucham ad Salim, Mocham m ad Iksan, Mian, dan Sanuji,
juga menam atkan SR pada usia tersebut. Mereka pada um umnya terpaksa
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 45
m enunda sekolah karena suasana perang. Pertempuran antara Belanda
m elawan J epang menjelang kem erdekaan RI pada 1945 tak jarang terjadi di
desa mereka, m enyebabkan warga mengungsi ke tem pat-tempat am an.
Kehidupan tidak m enentu, dan anak-anak m enjadi korbannya karena harus
ikut keluarga m engungsi. Begitu juga keluarga H. Abdul Madjid. Walhasil,
Nurcholish baru m asuk sekolah pada usia 9 tahun.
Trad is i Pe s an tre n
Tam at dari SR pada 1953, Nurcholish dim asukkan oleh ayahnya ke
Pesantren Darul Ulum , yang lebih dikenal dengan nam a Pesantren Rejoso,
karena terletak di Desa Rejoso, Kecam atan Peterongan. Ia tidak dikirim ke
Pesantren Tebu Ireng, almam ater ayahnya dulu, karena pengasuh pesantren
tersebut, KH Hasyim Asy’ari, telah wafat. Pesantren Rejoso saat itu diasuh
oleh Kiai Rom li Tam im dan KH Dahlan Cholil. Kiai Rom li tidak lain adalah
kawan dekat ayah Nurcholish, H. Abdul Madjid, ketika keduanya sam a-sam a
m enjadi santri KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Dengan m em asukkan
Nurcholish ke Pesantren Rejoso, sebenarnya H. Abdul Madjid m enitipkan
anaknya itu kepada tem annya sendiri, Kiai Rom li.
Adapun KH Dahlan Cholil ialah putra KH Cholil, salah satu pendiri
Pesantren Rejoso. Ia juga pernah belajar kepada KH Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebu Ireng. Setelah lulus ia m elanjutkan sekolah ke Mekah. Pada
1932 ia pulang ke Rejoso dan m enjadi penerus pesantren yang didirikan
ayahnya tersebut. Pada 1933 ia m em beri nam a pesantren itu
Pesantren/ Madrasah Darul Ulum , nam a yang sam a dengan m adrasah di
Mekah di m ana ia m enjadi salah satu perintisnya.
Ketika m asuk ke Pesantren Rejoso atau Darul Ulum , Nurcholish diterim a di
kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia m elom pati kelas lim a karena sem ua m ata
pelajarannya telah ia kuasai sem enjak duduk di bangku m adrasah m ilik
ayahnya, al-Wathaniyah. Pelajaran di kelas enam pun pada dasarnya hanya
m engulang pelajaran di al-Wathaniyah, sehingga ia dengan m udah
m enam atkan belajarnya, dan kem udian m elanjutkan ke tingkat Tsanawiyah
pada 1954, di pesantren yang sam a. Hal yang baru bagi Nurcholish ialah
bahwa ia m enetap di asrama dan m enghirup tradisi pesantren secara penuh.
Sebagai lembaga pendidikan yang berum ur cukup tua (berdiri sejak 1885
M), Pesantren Rejoso telah mem iliki tradisi yang m apan, terutam a
dipengaruhi oleh otoritas keilm uan para pengasuhnya. Kiai Romli dikenal
sebagai ahli tasawuf dan m ursyid tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Sedangkan Kiai Dahlan dikenal sebagai ahli tafsir sekaligus hafidz
(penghafal) Alquran. Dengan m enggabungkan keduanya, para santri alum ni
pesantren ini diharapkan akan m enjadi salikin (praktisi tarekat) dan hafidz
46 I
Konfrontasi
sekaligus m ufasir Alquran.
Selain berada di pundak para kiai, sum ber tradisi Pesantren Rejoso juga
berpusat di m asjid. Waktu-waktu salat m erupakan saat dimana para santri
bertatap m uka secara akrab dengan para kiai. Santri diwajibkan m elakukan
salat lim a waktu di m asjid. Para kiai bergiliran m enjadi im am , dan setelah
itu m enyam paikan taushiy ah (nasihat agam a) sesuai bidang keahlian. Kiai
Rom li yang m ursyid tarekat dan bertugas m enjadi im am salat Subuh,
m enyam paikan pengajian tasawuf bakda salat. Begitu pula Kiai Dahlan yang
ahli tafsir dan m endapat giliran menjadi im am salat Isya, m enyam paikan
pengajian tafsir seusai salat. Kedekatan kiai dan santri terjalin sangat akrab.
Dan menurut Nurcholish, m om en-m omen seperti ini sangat berkesan di hati
para santri, term asuk dirinya, sehingga nasihat para kiai pun m enjadi
m udah diterim a. Sam pai dewasa ia mengaku m asih m engingat dengan jelas
ajaran-ajaran kiai yang disam paikan di m asjid usai salat.
Pada tahun pertam a, Nurcholish sangat menikm ati kegiatan belajar.
Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah alWathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti Jurum iy ah, Im rithi,
Tuhfatul Athfal, dan Aqidatu Aw w am . Karena itu ia relatif tidak m endapat
kesulitan ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti
Alfiy ah, Bad’ul Mal, Jauharatut Tauhid, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif
dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, bahkan pernah m enjadi juara satu
lom ba pidato bahasa Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah.
Pergaulan dengan tem an-tem an baru pada um um nya tidah ada m asalah.
Yang sangat m engganggunya ialah kondisi kam ar. Ia tidak cukup kerasan
untuk tidur di kam ar pondokan yang kecil, yang satu kam arnya diisi sam pai
lim a belas orang santri. Maka, ham pir setiap m alam ia m embawa bantal dan
selim ut ke masjid untuk tidur karena di kam ar tidak kebagian tem pat.
N U ve rs u s Mas yu m i
Suasana politik m enjelang pem ilu 1955 sangat terasa di desa-desa. Partaipartai kaum santri yang diwakili oleh NU dan Masyum i berusaha m enarik
dukungan dari kantong-kantong Islam di J om bang. NU telah keluar dari
Masyum i dalam Muktam ar Palembang (1952) dengan arom a konflik yang
tidak bisa ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, persaingan NU dan Masyum i di
tingkat pusat m erem bes ke desa-desa tem pat kedua partai ini m em bangun
basis dukungan.
Pesantren Rejoso yang berorientasi NU tidak im un dari kepentingan politik
untuk m em bentengi pengaruh Masyum i yang cukup kuat di desa-desa.
Dalam menghadapi persaingan dengan NU, Masyum i cukup diuntungkan
karena KH Hasyim Asy’ari pernah m enjadi Rais Akbarnya, sehingga
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 47
legitim asi politik dari pendiri NU tersebut terus diekspose kalangan
Masyum i untuk m eraih suara kaum Nahdliyin. Ayah Nurcholish sendiri, H.
Abdul Madjid, adalah pendukung Masyum i yang setia, karena berpegang
pada apa yang diyakininya sebagai “fatwa” dari KH Hasyim Asy’ari bahwa
Masyum i merupakan satu-satunya partai Islam . Sam pai wafatnya pada 1947,
ia tidak pernah m endengar Kiai Hasyim m encabut “fatwa” tersebut,
sehingga ia tetap m endukung Masyum i. Masjid di kam pungnya pun diklaim
sebagai m asjid Masyum i. Bahkan Ibunda Nurcholish, Hj, Fathonah, aktif
m enjadi juru kam panye partai tersebut m enjelang pem ilu 1955. Akan tetapi,
dam pak dari sikap politik orangtuanya itu segera terasa oleh Nurcholish.
Saat belajar, ia sering disindir oleh para pengajar sebagai anak Masyum i
yang kesasar (di sarang NU).
Mendekati pelaksanaan pem ilu, pertentangan politik antara NU dan
Masyum i kian m em anas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kam panye
m uncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum -forum keagam aan
dim anfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk m enyerang Masyum i. Begitu
juga sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun m akin sering dilakukan
oleh anak-anak NU di Pesantren Rejoso, sehingga ia m ulai merasa tidak
betah. Suatu ketika ia pulang kam pun g, dan menceritakan sem ua kejadian
itu kepada ayahnya.
H. Abdul Madjid menanggapi apa yang dialam i Nurcholish sebagai sesuatu
yang serius, sehingga ia mem utuskan untuk m enarik anaknya dari Pesantren
Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu m emindahkan
Nurcholish ke Pesantren Gontor, Ponorogo, J awa Tim ur. Keputusan H.
Abdul Madjid itu m embuat heran banyak orang di kam pungnya, sebab di
m ata mereka (dan di m ata kaum Nahdliyin J om bang pada um um nya) saat
itu Pesantren Gontor m em iliki citra “setengah kafir”. Setidaknya, ia
dianggap bukan pesantren NU, m elainkan pesantren Masyum i. Belakangan,
setelah belajar dan tinggal di Gontor, Nurcholish tahu bahwa pesantren ini
bukan pesantren Masyumi. Para guru dan siswanya datang dari berbagai
latar belakang kultur keagam aan. Bahkan para pendirinya pun (K.H. Ahm ad
Sahal, K.H. Im am Zarkasyi, dan K.H. Zainuddin Fanani) bukan orang-orang
Masyum i.
Fals afah Pe n d id ikan Go n to r
Pesantren Gontor (didirikan pada 1926) adalah pesantren bercorak m odern.
Salah satu indikasinya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab
yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. Bahkan di m asa kolonial, bahasa
Belanda dan J epang juga m enjadi m ata pelajaran wajib. Kiai Zarkasyi
48 I
Konfrontasi
sendiri, salah seorang pendiri Pesantren Gontor, pernah belajar di Pesantren
Tegalsari, Ponorogo, yang m elahirkan pujangga kenam aan Ronggowarsito.
Nam un, pandangan-pandangan Kiai Zarkasyi lebih banyak dibentuk ketika
ia belajar kepada Mahm ud Yunus di Sekolah Noorm al Islam , Padang
Panjang, Sum atera Barat.
Mahm ud Yunus adalah lulusan al-Azhar dan Darul Ulum (keduanya di
Mesir), dengan spesialisasi bidang ilm u kependidikan. Sepulang dari Mesir
pada 1929 ia m endirikan KMI (Kuliy y at-u ‘l-Mu` allim în al-Islâm iy y ah) di
Padang Panjang. Di sinilah Im am Zarkasyi belajar sam pai tahun 1935.
Ketika pulang ke Pesantren Gontor ia m elakukan perom bakan kurikulum
dan m etode pengajaran pesantren ini m enjadi lebih m odern, disam akan
dengan yang didapatkannya di Padang Panjang. Ia mem buka dan
m enangani sendiri program pendidikan baru tingkat m enengah pertam a dan
m enengah atas yang dinam akan Kulliyatul Mu’allimin al-Islam iyyah (KMI)
atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Dalam program
ini kurikulum agam a dan um um diberikan secara seim bang selam a 6 tahun
(gabungan tingkat SMP dan SMA yang m asing-m asing 3 tahun). Selain itu,
juga diberikan pendidikan ekstra kurikuler untuk mem bekali pengalam an
siswa seperti pendidikan ketram pilan, kesenian, olahraga, organisasi,
pram uka, latihan berpidato, dan lain-lain.
Citra pesantren “setengah kafir” yang dituduhkan kepada Gontor berm ula
dari pengajaran bahasa Belanda dan bahasa Inggris yang mem ang m asih
dianggap sebagai bahasa orang kafir. Mata pelajaran um um dan sistem kelas
yang diterapkan di pesantren ini juga m enjadi cem ooh m asyarakat ketika
itu. Terlebih lagi para santri m em akai celana panjang dan dasi, berbeda
dengan santri ketika itu yang lazim nya m em akai sarung dan peci. Tidak
heran jika pem bukaan program ini kurang m endapat sam butan, bahkan
jum lah santri Gontor saat itu sem pat merosot tajam dari ratusan m enjadi
beberapa belas orang saja. Nam un para pengasuh pesantren tidak patah
sem angat. “Biarpun tinggal satu orang santri, program ini akan tetap akan
kam i jalankan sam pai selesai,” ujar Kiai Zarkasyi. Dan ia telah mem buktikan
bahwa tekadnya benar.
Pembaruan juga dilakukan dalam pengajaran bahasa. Seperti halnya KMI
Padang Panjang, Pesantren Gontor tak hanya m enekankan penguasaan
bahasa Arab, nam un juga m enunjukkan bagaim ana secara didaktis-m etodis
m odern para siswa m enguasai bahasa tersebut dengan cepat dan m udah.
Begitu juga pengajaran bahasa Inggris yang m enggunakan buku Berlitz, yang
berarti “katakan”, dim ana para siswa didorong untuk aktif berbahasa
sehingga mereka cepat menguasai bahasa tersebut. “Belajar di Gontor itu
m em ang seperti terbang, cepat sekali,” ujar Nurcholish. Diduga bahwa
sistem Berlirz ini diadopsi oleh Mahm ud Yunus dari Mesir juga yang saat ia
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 49
belajar di sana sedang m usim kursus bahasa dengan sistem Berlitz.
Di Gontor tidak pernah ada isu pertentangan NU-Masyum i. Pilihan-pilihan
m ateri pengajaran pada kitab-kitab yang tidak m onolitik m erupakan salah
satu alasannya. Di sini, m isalnya, diajarkan kitab karya filsuf dari Spanyol,
Ibn Rusyd, Bidây ah al-Mujtahid. Kitab fikih klasik ini berwawasan
perbandingan m azhab, sehingga m endorong para santri bersikap terbuka
dan berjiwa bebas. Salah satu santri kebanggaan Kiai Zarkasyi ialah Idham
Chalid yang kelak m enjadi Ketua PB NU dan Ketua MPR. Suatu ketika saat
ditanya wartawan darim ana ia m endasarkan sum ber pandangan
keislam annya yang terbuka, ia m enjawab, dari kitab Bidây ah al-Mujtahid.
Nurcholish sendiri membentuk pandangan-pandangannya dari kitab yang
m ulai dipelajarinya di kelas lim a itu. Ia juga sangat m enyukai pelajaran
Mahfudzat (ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab yang m engandung
kearifan), Muthala’ah (cerita-cerita dalam bahasa Arab yang mengandung
pelajaran hidup), al-Dinay ah (agam a-agam a), dan Mantiq (Logika).
Tradisi Pesantren Gontor dibentuk oleh apa yang disebut Panca J iwa
Pondok yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islam iyah,
dan jiwa bebas. Kelim anya m enjadi sendi kehidupan para santri. Selain itu,
pondok juga m em iliki m otto yang m enjadi falsafah pendidikan dan
pengajarannya, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas,
dan berpikiran bebas. Keem pat unsur itu saling terkait satu sam a lain. Unsur
yang pertam a m enjadi dasar bagi unsur-unsur lainnya. Karena itu, m isalnya,
pengetahuan luas harus selalu dikaitkan dengan budi yang tinggi, dengan
begitu para santri akan m engerti bahwa ilm u yang mereka m iliki harus
dim anfaatkan untuk tujuan kem aslahatan. Begitu juga m otto “berpikiran
bebas”, harus didahului oleh pengetahuan yang luas, sehingga kebebasan
berpikir itu benar-benar mencerm inkan kem atangan dan tidak m enjurus ke
arah pem ujaan pada akal pikiran.
Salah satu wujud dari kebebasan berpikir itu ialah pilihan-pilihan pada
m azhab (fikih). Dengan m em biarkan para santri (dewasa) menentukan
pilihan m ereka sendiri dalam berm azhab, para pengasuh pesantren
m endidik mereka untuk m enghargai prinsip kebebasan. Para pengasuh
pesantren, menurut Nurcholish, m em ang tidak m enginginkan santri-santri
m ereka disibukkan oleh urusan-urusan khilafiyah dalam agama. Gontor,
lanjutnya, ingin m encetak lulusan para calon pem im pin yang m am pu
m engatasi perbedaan-perbedaan dan sekaligus m enjadi perekat dari
perbedaan tersebut. Karena itu, sikap terbuka dan jiwa yang bebas,
m endidik lulusan Gontor untuk bersikap lentur dalam m enghadapi berbagai
perbedaan.
50 I
Konfrontasi
Be lajar Me n garan g
Ketika m asuk Pesantren Gontor, Nurcholish sebenarnya tertarik untuk
belajar bahasa Arab dan Inggris. Tapi ia dim asukkan ke kelas ilm u pasti,
m eski tetap diajarkan bahasa. Kendati dem ikian ia m enyukai sem ua
pelajaran. Bahkan nilai ujian untuk pelajaran ilm u hitungnya selalu sepuluh.
Yang paling tidak ia sukai ialah pelajaran m engarang (al-insy a’). Ia m enduga
m engarang itu hanya mengkhayal. Karena tidak suka, m aka ketika
m engarang ia m alas-m alasan; hanya m enterjem ahkan beberapa bagian dari
buku berbahasa Inggris. Nam un dengan cara begitu ia justru m em peroleh
nilai yang tinggi. Gurunya pernah m enegur apakah dia m enerjem ahkan dari
bahasa Inggris, Nurcholish m enjawab ya. Tapi guru itu mem biarkan
Nurcholish m eneruskan cara tersebut, dan nilainya tetap tinggi. Sejak itu,
Nurcholish sangat m enyukai pelajaran m engarang, yang sedikit dem i sedikit
ia tingkatkan dengan m engarang dari pikirannya sendiri.
Berbagai fasilitas olahraga dan seni juga disediakan untuk para santri. Tapi
Nurcholish hanya suka belajar, terutam a belajar bahasa Arab, Inggris, dan
Perancis. Hanya sesekali ia turun ke lapangan sepak bola, itu pun dengan
posisi selalu di belakang, karena ia m alas lari-larian. Nurcholish juga
m enyukai kesenian, khususnya m usik dan dram a yang berkem bang pesat di
pesantren Gontor. Tapi, lagi-lagi ia hanya m enjadi penonton, karena m erasa
tidak berbakat m enyanyi, apalagi berm ain dram a.
Bahasa Perancis sebenarnya tidak diajarkan secara resm i di Gontor.
Nurcholish m em pelajarinya di rum ah seorang guru bahasa di Gontor,
Muham m ad Syarif, secara private. Rum ah Syarif berada dekat sekali dengan
pesantren, sehingga tidak sulit bagi Nurcholish dan tem an-tem annya yang
lain mem peroleh izin dari pihak pesantren untuk belajar di rum ah Syarif.
Apalagi, tawaran itu datang dari Syarif sendiri. Ketika duduk di kelas lim a
(setingkat dengan kelas dua SMA), ia sudah dapat m embaca buku-buku
berbahasa Perancis dengan bantuan kam us. Kelak, ketika kuliah di IAIN, ia
m elanjutkan m em perdalam bahasa Perancis di Alliance Francais di
Kedutaan Perancis. Salah seorang tem annya di kelas ialah Rahm i Hatta.
Pe rp u s takaan Kiai
Salah satu kesukaan Nurcholish ketika belajar di Gontor ialah berkirim surat
kepada kedutaan-kedutaan besar asing di J akarta. Dari m ereka ia m endapat
banyak buku berbahasa Inggris, seperti Hero w ith the Thousand Thesis dan
My sticism : East and W est. Di Gontor bukannya tidak ada perpustakaan,
m alah cukup besar, tetapi entah kenapa, tidak bisa diakses oleh para santri.
Itu yang m enyulitkan Nurcholish m enyalurkan hobi m embaca yang telah
ditanam kan oleh orangtuanya. Untuk bisa m em baca koran dan m ajalah pun,
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 51
santri Gontor harus berpatungan dengan para guru yang mem iliki m inat
baca yang sam a. Mereka berlangganan koran berbahasa Inggris yang terbit
di J akarta, Jakarta Tim e, dan m ajalah bulanan populer berbahasa Inggris,
Reader’s Diggest.
Sementara perpustakaan pesantren tertutup untuk para santri, tidak
dem ikian dengan perpustakaan pribadi Kiai Zarkasyi. Ia m alah selalu
m engundang para santri kelas lim a dan enam , dan m em beri tugas untuk
m em baca buku-buku tertentu, sebagian besar kitab-kitab dalam bahasa
Arab. Buku-buku itu ia pinjam kan kepada para santri untuk dibaca, dan
pada pertem uan berikutnya para santri dim inta untuk m enjelaskan isinya.
Di luar itu, para santri terbiasa saling m em injam kan buku di antara m ereka,
khususnya buku-buku baru. Buku karangan Buya Ham ka Tasaw uf Modern
juga dibaca Nurcholish ketika belajar di Gontor. Ia juga m em baca
buku-buku karangan para sarjana Barat, seperti Civilization on Trial karya
sejarahwan Arnold Toynbee, dan Psikologi Pribadi karangan Fritz Kunkle.
Sem asa di Gontor, Nurcholish menjadi anggota PII (Pelajar Islam
Indonesia), cabang Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak m enyita
waktu, sehingga ia tetap m enekuni tugas utam anya, belajar. Untuk yang
terakhir ini ia benar-benar m enunjukkan prestasinya. Ia, m isalnya, hanya
perlu waktu lim a tahun (seharusnya enam tahun) untuk menyelesaikan
studinya. Waktu duduk di kelas satu, ia diizinkan untuk naik langsung ke
kelas tiga, karena ia berhasil m enunjukkan kem am puannya m enguasai
sem ua pelajaran kelas dua.
Pe rih al Je n ggo t
Tam at dari Gontor pada 1960 , Nurcholish berencana m elanjutkan kuliah ke
Fakultas Kejuruan Ilm u Pendidikan (FKIP) Muham m adiyah, di Solo. Tapi
rencana itu urung diwujudkan karena untuk m elanjutkan kuliah ke sana,
syaratnya harus punya ijazah SMA. Ketika ia m enyam paikan hal itu kepada
Kiai Zarkasyi, pengasuh pesantren Gontor ini berusaha m em besarkan hati
Nurcholish dengan m enjanjikan bahwa suatu saat, kalau ada kesem patan, ia
akan m engirim Nurcholish ke Mesir. Untuk sem entara ini, katanya,
Nurcholish m engajar saja dulu di Gontor. Nurcholish pun menuruti saran
kiainya mengajar di Gontor. Dan orangtuanya tidak keberatan, sambil
berharap suatu saat akan benar-benar bisa belajar di Mesir.
Berita bahwa Nurcholish akan belajar ke Mesir sudah beredar luas di
kam pung halam an. Orang-orang tua dan tem an sebayanya senang sekaligus
berharap Nurcholish akan m enjadi orang pertam a di kam pung m ereka yang
belajar ke luar negeri, dan kelak pulang menjadi ulama. Nam un,
52 I
Konfrontasi
m asalahnya, kepastian m engenai rencana itu sem akin samar-sam ar.
Nurcholish kuatir orangtuanya akan menanggung malu akibat kegagalannya
pergi belajar ke Mesir. Suatu saat, ketika pulang kam pung, Nurcholish
m em beritahu tem an-temannya bahwa ia telah m em batalkan rencana
kepergiannya ke Mesir karena di sana ada aturan untuk mem anjangkan
jenggot, dan ia tidak m au. Setelah itu, ia kem bali ke Pesantren Gontor untuk
m elanjutkan kegiatan m engajar.[]
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 53
This article is part of
JURNAL
KONFRONTASI
Volume IV, No. 1, January 2015
Visit:
www.konfrontasi.co
Dari Masa Kanak-kanak
Sampai Tradisi Pesantren
Ahm ad Gaus AF 1
ABSTRACT:
N urcholish Madjid w as a prom inent Indonesian Muslim intellectual. Early
in his academ ic career, Nurcholish w as a leader in various student
organizations. He soon becam e w ell know n as a proponent for
m odernization w ithin Islam . Throughout his career he continued to argue
that for Islam to be victorious in the global struggle of ideas, it needs to
em brace the concepts of tolerance, dem ocracy and pluralism .
Kata Ku n ci: Nurcholish Madjid, Pesantren
Nam a pertama yang diberikan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah
kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik, yang berarti “ham ba Allah”
(Malik m erupakan nam a sebutan untuk Allah dalam deretan ketiga Asm aul
Husna, nama-nam a Allah yang Indah). Perubahan nam a m enjadi
Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil sering
sakit-sakitan. Dalam tradisi J awa, anak yang sering m enderita sakit
dianggap “kabotan jeneng” (keberatan nam a), dan karena itu perlu ganti
nam a. Alasan lain perubahan nama itu adalah keinginan dari Abdul Malik
sendiri. Sewaktu m ulai diajari m engaji oleh ibunya, dan membaca surat alFatihah, ia selalu m inta agar kata ‘m aliki’ (y aw m iddin) dalam surat itu
diloncati saja: “Mak, nggak atik m aliki-m aliki Mak!” (Mak, tidak usah pakai
‘m aliki-m aliki’ Mak). Pemberian nam a Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas
asal-m uasalnya, kecuali bahwa nam a itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya”
dan cholish berarti “m urni” atau “bersih”. Sem entara itu nam a belakangnya,
Madjid, diambil dari nam a belakang sang ayah.
Nurcholish lahir di lingkungan keluarga pesantren. Ayahnya, H. Abdul
Madjid, adalah santri dari tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulam a), Hadratusy
Syaikh Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebu Ireng, J om bang. Lebih dari
sekadar santri, Abdul Madjid adalah santri yang sangat dipercaya oleh Kiai
Hasyim lantaran prestasi belajarnya, terutam a di bidang tata bahasa Arab
(nahw u-sharaf) dan ilmu hisab atau ilm u hitung. Ketika m enjadi santri
1
40 I
Anggota Nurcholish Madjid Society dan mantan aktivis GMNI.
Konfrontasi
Tebu Ireng, Kiai Hasyim m emberinya nam a Muham m ad Thahir. Nam a
Abdul Madjid digunakan setelah pulang m enunaikan ibadah haji pada 1927.
Hubungan keduanya mem ang seperti anak dan bapak. Abdul Madjid,
m isalnya, kerap dim inta oleh Kiai Hasyim untuk m engambilkan uang dari
kantung jas di kam ar sang Kiai. Ini hal yang tidak biasa, terutam a bagi orang
J awa, dan hanya bisa terjadi karena kedekatan pribadi. Di lain waktu, Abdul
Madjid juga sering terlihat sedang m em ijat tubuh sang Kiai.
Karena kedekatan pribadi itu pula, Kiai Hasyim m enjodohkan Abdul Madjid
dengan cucunya sendiri, Halim ah. Ikatan perkawinan itu berlangsung
selam a dua belas tahun, nam un tidak dikaruniai anak. Akhirnya m ereka
berpisah. Kiai Hasyim lalu m enjodohkan Abdul Madjid dengan Fathonah,
putri Kiai Abdullah Sajad, pendiri Pesantren Gringging, Kediri, J awa Tim ur.
Fathonah adalah adik dari Im am Bahri, santri Kiai Hasyim di Pesantren
Tebu Ireng. Melalui Im am Bahri inilah Kiai Hasyim m engatur perjodohan
Abdul Madjid dan Fathonah.
Menginjak tahun kedua pernikahan Abdul Madjid dan Fathonah, lahirlah
Nurcholish, pada J um at Legi, tanggal 17 Maret 1939. Belum genap berusia
dua tahun Nurcholish mem iliki adik perem puan yang bernam a Radliyah
atau Mukhlishah. Setelah itu menyusul adik perem puannya yang lain yang
bernam a Qoni’ah (m eninggal pada usia 15 tahun akibat penyakit m alaria
tropika), kem udian berturut-turut lahir Saifullah Madjid dan Muham m ad
Adnan. Seperti halnya
Nurcholish, kedua adik laki-lakinya ini juga
disekolahkan di pesantren Gontor. Hanya saja, berbeda dengan Nurcholish
yang m enapaki jalur keilm uwan, atau Mukhlisah yang menjadi guru,
Saifullah Madjid dan Muham m ad Adnan m emilih jalur bisnis setelah lulus
kuliah.
Lin gku n gan So s ial
Meski terdidik secara santri, keluarga H. Abdul Madjid tidak tinggal di
lingkungan pesantren. Ketika Nurcholish lahir di Mojoanyar, Kecam atan
Bareng, Kabupaten J om bang, kawasan ini m asih didom inasi kaum abangan
(kaum Muslim yang tidak m enjalankan syariat Islam). Pada 1946, H. Abdul
Madjid m endirikan Madrasah Diniyah al-Wathaniyah—sekolah Islam
pertam a di desa ini. Al-Wathaniyah secara harfiah berarti “patriotism e”,
karena didirikan pada m asa revolusi. Madrasah inilah yang m engawali
terbentuknya tradisi pendidikan Islam di Kecam atan Bareng.
Di daerah-daerah lain di J om bang, tradisi pendidikan Islam saat itu telah
tum buh subur dengan adanya em pat pesantren besar: Pesantren Bahrul
Ulum di Tam bak Besar, Kecam atan J om bang (didirikan pada 1838),
Pesantren Darul Ulum di Rejoso, Kecam atan Peterongan (didirikan pada
1885), Pesantren Tebuireng di Tebu Ireng, Kecam atan Diwek (didirikan
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 41
pada 1899), dan Pesantren Manbaul Maarif di Denany ar, Kecam atan
J om bang (didirikan pada 1917). Keterlam batan wilayah Bareng dalam
m engadopsi sistem pendidikan Islam disebabkan oleh kenyataan bahwa
kultul keislam an di wilayah ini—dan sebenarnya juga di seluruh daerah
J om bang—pada m asa lalu tidak terlalu dom inan. Kendatipun Islam dipeluk
oleh m ayoritas penduduk Bareng, nam un sebagian besar m ereka adalah
abangan. Selain itu, agama-agam a Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu
juga m endapatkan tem pat setara di Bareng dan, secara lebih luas, J om bang,
dengan latar belakang sejarah yang panjang, yaitu kolonialism e (Kristen),
kerajaan Majapahit (Hindu-Budha), dan gelombang kedatangan orangorang dari daratan China pada abad ke-16 (Konghucu).
Dengan latar belakang seperti itu, kehidupan keagamaan di J om bang secara
keseluruhan tum buh dalam suasana kem ajem ukan. Dalam sejarah J om bang
tidak pernah tercatat kekerasan atas nam a agam a yang m elibatkan m assa. Di
kalangan pem eluk Islam sendiri yang m erupakan m ayoritas penduduk
J om bang, polarisasi antara kaum santri dan abangan tidak pernah
m enim bulkan m asalah. Orang J ombang pada umumnya percaya bahwa kata
J om bang berasal dari istilah J awa, ijo dan abang; ijo atau hijau m ewakili
kaum santri, dan abang atau merah m ewakili kaum abangan. Untuk
m enghindari pengertian negatif dari “abangan”, kata ini juga kerap
diasosiasikan dengan kaum nasionalis. Warna hijau (santri) dan m erah
(nasionalis) kem udian menjadi warna dasar lam bang Kabupaten J om bang,
hingga sekarang.
Kelom pok “hijau” yang m enyebar di kantong-kantong pesantren yang
tum buh kian subur m em bentuk citra J om bang sebagai kota santri.
Penyebaran pengaruhnya pun sangat luas jika dilihat dari kenyataan bahwa
sem ua pendiri pesantren di J awa pernah m enuntut ilm u di kota ini.
Sementara itu, kelom pok “m erah” juga tidak selalu identik dengan citra yang
buruk. Dari tangan m erekalah, m isalnya, lahir kesenian rakyat yang disebut
besutan (atau teater jalanan), yang kem udian lebih dikenal dengan nam a
ludruk.
J om bang pada m asa lalu adalah pintu m asuk m enuju Kerajaan Majapahit
(1293-150 0 M). Tidak heran banyak desa/ kota di J om bang dimulai dengan
awalan m ojo, seperti Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah,
Mojongapit, term asuk Mojoanyar, kecam atan Bareng, tem pat kelahiran
Nurcholish Madjid. Bahkan di Bareng terdapat sebuah candi peninggalan
Majapahit, yaitu candi Arim bi.
Islam isasi J om bang m erupakan pengaruh dari perluasan Kerajaan Mataram
Islam yang berpusat di Kotagede, yang berdiri pada abad ke-16, m enyusul
runtuhnya Majapahit. Meskipun proses Islam isasi berlangsung nyaris tuntas
42 I
Konfrontasi
(98% penduduk J om bang m em eluk Islam ), nam un tidak seluruh
penduduknya tersantrikan. Sebagian di antara mereka m asih mem egang
filosofi J awa atau Kejawen, yang dikawinkan dengan ajaran Islam sehingga
disebut Islam-Kejawen atau Islam J awa. Kelom pok inilah yang disebut oleh
antropolog Clifford Geertz sebagai Islam abangan itu.
Nam un demikian, dikotom i Islam santri dan Islam abangan sebenarnya
hanya ada dalam tataran konseptual. Dalam kenyataannya, keduanya
berinteraksi secara luwes dan dikondisikan untuk bersikap m oderat. Yang
tidak ditolerir oleh kaum santri adalah subkultur kaum abangan yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti perjudian, m inum an keras, dan
pelacuran yang terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu yang kem udian
disebut “daerah hitam ”. Bentuk perlawanan kaum santri terhadap subkultur
ini adalah m engubah daerah hitam m enjadi kawasan religius. Itulah
alasannya mengapa pesantren-pesantren di J ombang berdiri di kawasan
yang dulunya m erupakan daerah hitam .
Secara sosio-kultural, pengaruh Mataram tidak hanya m uncul dalam bentuk
penyebaran Islam , tapi juga dalam tutur kata. Bahasa orang J om bang
sebagian dipengaruhi oleh dialek Mataram an yang berakar pada bahasa
J awa Pertengahan dengan ciri utam a adanya tingkatan atau hirarki yang
m engindikasikan feodalism e. Sem entara sebagian yang lain sangat kental
dengan dialek Surabaya yang lebih egaliter. Penyebutan “Mas” kepada orang
yang lebih tua, dalam dialek Surabaya diganti dengan “Cak”, sehingga lebih
m engesankan kesetaraan. Keluarga Nurcholish hidup dalam kultur
Surabayaan ini. Ayahnya, m isalnya, lebih senang berdialog dengan anakanaknya ketim bang m emaksakan kehendak sebagaim ana menjadi obsesi
orang-orang tua feodal. Karena itu, ia tenang-tenang saja ketika anak
perem puannya, Mukhlishah, m enolak untuk dijodohkan. Dalam soal
pem bagian waris, ia m alah m elam paui ide kesetaraan. Anak perem puannya
justru mendapatkan lebih banyak dari anak laki-laki. Adik-adik Nurcholish
juga m em anggil dirinya dengan sebutan Cak, bukan Mas.
Cita-cita Mas a Ke cil
Madrasah al-Wathaniyah didirikan oleh H. Abdul Madjid untuk
m engim bangi pendidikan sekular (Sekolah Rakyat/ SR). Ketiadaan lem baga
pendidikan agam a m enjadi alasan anak-anak m uda di sini m ewarisi
kebiasaan m abuk dan berjudi. H. Abdul Madjid mengam bil tanggung jawab
pendidikan anak-anak Islam ke pundaknya. Mula-mula, pendidikan agam a
dilakukan secara sem i form al di dalam m ushala yang m asih berupa papan
dan anyam an bam bu. Baru pada 1947 ia mendirikan bangunan alWathaniyah di atas lahan kosong m iliknya, di bawah naungan Yayasan
Wakaf Um at Sejahtera yang juga ia didirikan bersam a Kyai Abdul Mukti.
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 43
Madrasah al-Wathaniyah pada awalnya m erupakan sekolah pelengkap
untuk m em bekali anak-anak dengan pendidikan agam a yang m em adai, yang
tidak didapat di SR. Untuk tujuan itu, Nurcholish m engenyam pendidikan
rangkap. Pagi hari ia sekolah di SR, dan sore harinya belajar di Madrasah alWathaniyah. Guru-guru di SR sem uanya beragam a Kristen. Karena itu salah
seorang pamannya pernah m elarang Nurcholish belajar di SR. Tapi itu tidak
m em berikan solusi. Arus pendidikan sekular berusaha diim bangi dengan
m endirikan Al-Wathaniyah, tanpa berusaha untuk m enyainginya.
Atas pertimbangan itu, H. Abdul Madjid tetap m em biarkan Nurcholish
belajar di SR. Bagaim anapun, ia m enganggap pengetahuan um um tetap
penting. Ia juga tidak m elihat anaknya kesulitan menerim a pelajaran pagi
dan sore hari. Ini terlihat dari nilai-nilainya yang rata-rata baik, terutam a
ilm u hitung atau aljabar yang selalu m endapat nilai tinggi. Pada saat yang
sam a, Nurcholish juga m am pu dengan m udah m enguasai pelajaran di
m adrasah seperti tata bahasa Arab (nahw dan sharaf). Di SR Nurcholish
diajari ilm u bum i, dan ia m am pu m enggambar peta J awa Timur lengkap
dengan letak kota-kotanya tanpa melihat atlas. Dan pada saat yang sam a, ia
juga tidak kesulitan m enghapal beberapa kitab berbahasa Arab seperti
` Aqîdah al-` Aw w âm dan ` Im rîthî.
H. Abdul Madjid praktis tidak punya alasan untuk m em ilihkan salah satu
dari dua sekolah tersebut untuk Nurcholish. Ia juga tidak pernah mengekang
anaknya untuk bergaul dan berm ain sebagaim ana layaknya anak-anak
sebaya dia. Tem an m asa kecil Nurcholish, Ahm ad Kholil, menuturkan,
perm ainan yang sangat disukai Nurcholish ialah m em buat saluran-saluran
air di sawah, m enyusuri rel kereta, dan berm ain kapal-kapalan terbang. Saat
berm ain kapal terbang, Nurcholish m em bedakan konstruksi pesawat dari
m asing-m asing negara. Kapal terbang Inggris dibuat dalam ukuran sedang
dan diberi warna m erah; kapal terbang J epang dibuat dalam ukuran lebih
kecil, sementara kapal terbang Amerika dibuat dalam ukuran lebih besar
dan dilum urinya dengan kapur putih. Di hari lain, ketika lelah m enyusuri
rel-rel kereta, ia berhenti di stasiun. Kekagum annya tertuju pada sang
m asinis kereta karena sanggup m enggerakkan rangkaian gerbong yang
begitu panjang. Ketika ditanya oleh gurunya di SR apa cita-citanya,
Nurcholish m enjawab ingin menjadi m asinis kereta—suatu cita-cita yang
tidak lazim karena pada masa itu um um nya anak-anak bercita-cita m enjadi
guru atau tentara.
Nurcholish kecil adalah pribadi pendiam . J ika tidak sedang berhasrat untuk
berm ain, ia duduk di bawah pohon dan m engeluarkan secarik kertas
berisikan catatan pelajaran. Ketika tem an-tem annya satu persatu
m engerubunginya, ia m enciptakan suasana belajar dengan menanyakan
44 I
Konfrontasi
kepada m ereka satu orang satu pertanyaan, dan mem betulkannya jika ada
yang salah. Setelah itu m ereka berlarian ke tepi sungai untuk m enabur
dedak di sekitar w uw u (alat penjaring ikan yang terbuat dari bam bu). Esok
harinya, sehabis subuh, mereka kem bali ke tepi sungai untuk mengangkut
ikan yang tersangkut pada w uw u.
Pu s at Pe n d id ikan Is lam
Nurcholish adalah m urid pertam a di Madrasah al-Wathaniyah yang
didirikan oleh ayahnya. Di angkatannya, hanya tercatat tujuh orang siswa
yang mendaftar pada tahun pertam a. Nam un perkem bangan madrasah ini
terbilang pesat. Hanya dalam waktu tiga tahun, tercatat seratusan orang
siswa belajar di sini. Meski pendidikan Islam yang dikembangkan oleh H.
Abdul Madjid di sini bercorak NU, ditandai dengan pendidikan kitab kuning
(kitab klasik), dan dia sendiri lulusan pesantren NU (Tebu Ireng), nam un dia
tidak m em asang papan nam a NU. Banyak anak-anak dari orang tua yang
bersim pati kepada Muham m adiyah belajar di sini.
Ibunda Nurcholish, Hj. Fathonah, juga tidak berdiam diri. Ia m engam bil alih
tugas m endidik kaum perem puan di Mojoanyar. Awalnya ia m endengar
laporan bahwa anak-anak perem puan di dusun ini tidak bisa m em baca
Alquran dan tidak m engerti tata cara wudlu dan salat. J adilah ia kem udian
turun tangan dan langsung m engajari m ereka. Pengajaran itu berkem bang
ke bidang-bidang lain yang lebih luas, terutam a ketentuan-ketentuan fikih
yang terkait dengan kaum perem puan.
Pada saat lem baga pendidikan keagam aan di J om bang Selatan m asih
langka, dan m ayoritas kaum Muslim adalah abangan dan pengikut Kejawen,
keberadaan al-Wathaniyah bagaikan oase yang m engalirkan air ke tanahtanah kering. Tidak berbilang tahun, m adrasah ini m enjadi pusat
pendidikan Islam yang berwibawa. Partisipasi m asyarakat tum buh didorong
oleh rasa m em iliki yang kuat, lantaran keberadaan al-Wathaniyah
berdam pak nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat ketika jalannya roda
pendidikan m ulai terseok karena salah satu penyokong dananya, Kyai Ilyas
(kakak dari H. Abdul Madjid) m eninggal dunia, dan H. Abdul Madjid
m enjadi satu-satunya penanggung biaya operasional pendidikan. Dengan
segera m asyarakat sekitar—yang kondisi perekonomiannya sebenarnya jauh
dari cukup—m engulurkan tangan secara bergotong royong untuk
m enyelam atkan lembaga pendidikan tersebut.
Nurcholish tam at dari SR ketika usianya sudah m encapai rem aja, 14 tahun.
Tapi ia tidak sendirian. Tem an-teman sekam pungnya seperti Muhid,
Muksin, Anam , Mucham ad Salim, Mocham m ad Iksan, Mian, dan Sanuji,
juga menam atkan SR pada usia tersebut. Mereka pada um umnya terpaksa
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 45
m enunda sekolah karena suasana perang. Pertempuran antara Belanda
m elawan J epang menjelang kem erdekaan RI pada 1945 tak jarang terjadi di
desa mereka, m enyebabkan warga mengungsi ke tem pat-tempat am an.
Kehidupan tidak m enentu, dan anak-anak m enjadi korbannya karena harus
ikut keluarga m engungsi. Begitu juga keluarga H. Abdul Madjid. Walhasil,
Nurcholish baru m asuk sekolah pada usia 9 tahun.
Trad is i Pe s an tre n
Tam at dari SR pada 1953, Nurcholish dim asukkan oleh ayahnya ke
Pesantren Darul Ulum , yang lebih dikenal dengan nam a Pesantren Rejoso,
karena terletak di Desa Rejoso, Kecam atan Peterongan. Ia tidak dikirim ke
Pesantren Tebu Ireng, almam ater ayahnya dulu, karena pengasuh pesantren
tersebut, KH Hasyim Asy’ari, telah wafat. Pesantren Rejoso saat itu diasuh
oleh Kiai Rom li Tam im dan KH Dahlan Cholil. Kiai Rom li tidak lain adalah
kawan dekat ayah Nurcholish, H. Abdul Madjid, ketika keduanya sam a-sam a
m enjadi santri KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Dengan m em asukkan
Nurcholish ke Pesantren Rejoso, sebenarnya H. Abdul Madjid m enitipkan
anaknya itu kepada tem annya sendiri, Kiai Rom li.
Adapun KH Dahlan Cholil ialah putra KH Cholil, salah satu pendiri
Pesantren Rejoso. Ia juga pernah belajar kepada KH Hasyim Asy’ari di
Pesantren Tebu Ireng. Setelah lulus ia m elanjutkan sekolah ke Mekah. Pada
1932 ia pulang ke Rejoso dan m enjadi penerus pesantren yang didirikan
ayahnya tersebut. Pada 1933 ia m em beri nam a pesantren itu
Pesantren/ Madrasah Darul Ulum , nam a yang sam a dengan m adrasah di
Mekah di m ana ia m enjadi salah satu perintisnya.
Ketika m asuk ke Pesantren Rejoso atau Darul Ulum , Nurcholish diterim a di
kelas enam tingkat Ibtidaiyah. Ia m elom pati kelas lim a karena sem ua m ata
pelajarannya telah ia kuasai sem enjak duduk di bangku m adrasah m ilik
ayahnya, al-Wathaniyah. Pelajaran di kelas enam pun pada dasarnya hanya
m engulang pelajaran di al-Wathaniyah, sehingga ia dengan m udah
m enam atkan belajarnya, dan kem udian m elanjutkan ke tingkat Tsanawiyah
pada 1954, di pesantren yang sam a. Hal yang baru bagi Nurcholish ialah
bahwa ia m enetap di asrama dan m enghirup tradisi pesantren secara penuh.
Sebagai lembaga pendidikan yang berum ur cukup tua (berdiri sejak 1885
M), Pesantren Rejoso telah mem iliki tradisi yang m apan, terutam a
dipengaruhi oleh otoritas keilm uan para pengasuhnya. Kiai Romli dikenal
sebagai ahli tasawuf dan m ursyid tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Sedangkan Kiai Dahlan dikenal sebagai ahli tafsir sekaligus hafidz
(penghafal) Alquran. Dengan m enggabungkan keduanya, para santri alum ni
pesantren ini diharapkan akan m enjadi salikin (praktisi tarekat) dan hafidz
46 I
Konfrontasi
sekaligus m ufasir Alquran.
Selain berada di pundak para kiai, sum ber tradisi Pesantren Rejoso juga
berpusat di m asjid. Waktu-waktu salat m erupakan saat dimana para santri
bertatap m uka secara akrab dengan para kiai. Santri diwajibkan m elakukan
salat lim a waktu di m asjid. Para kiai bergiliran m enjadi im am , dan setelah
itu m enyam paikan taushiy ah (nasihat agam a) sesuai bidang keahlian. Kiai
Rom li yang m ursyid tarekat dan bertugas m enjadi im am salat Subuh,
m enyam paikan pengajian tasawuf bakda salat. Begitu pula Kiai Dahlan yang
ahli tafsir dan m endapat giliran menjadi im am salat Isya, m enyam paikan
pengajian tafsir seusai salat. Kedekatan kiai dan santri terjalin sangat akrab.
Dan menurut Nurcholish, m om en-m omen seperti ini sangat berkesan di hati
para santri, term asuk dirinya, sehingga nasihat para kiai pun m enjadi
m udah diterim a. Sam pai dewasa ia mengaku m asih m engingat dengan jelas
ajaran-ajaran kiai yang disam paikan di m asjid usai salat.
Pada tahun pertam a, Nurcholish sangat menikm ati kegiatan belajar.
Sebagian besar karena ia telah dibekali pengetahuan dasar di Madrasah alWathaniyah dengan kitab-kitab standar seperti Jurum iy ah, Im rithi,
Tuhfatul Athfal, dan Aqidatu Aw w am . Karena itu ia relatif tidak m endapat
kesulitan ketika harus berhadapan dengan kitab-kitab lanjutan seperti
Alfiy ah, Bad’ul Mal, Jauharatut Tauhid, dan lain-lain. Nurcholish juga aktif
dalam kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, bahkan pernah m enjadi juara satu
lom ba pidato bahasa Indonesia saat duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah.
Pergaulan dengan tem an-tem an baru pada um um nya tidah ada m asalah.
Yang sangat m engganggunya ialah kondisi kam ar. Ia tidak cukup kerasan
untuk tidur di kam ar pondokan yang kecil, yang satu kam arnya diisi sam pai
lim a belas orang santri. Maka, ham pir setiap m alam ia m embawa bantal dan
selim ut ke masjid untuk tidur karena di kam ar tidak kebagian tem pat.
N U ve rs u s Mas yu m i
Suasana politik m enjelang pem ilu 1955 sangat terasa di desa-desa. Partaipartai kaum santri yang diwakili oleh NU dan Masyum i berusaha m enarik
dukungan dari kantong-kantong Islam di J om bang. NU telah keluar dari
Masyum i dalam Muktam ar Palembang (1952) dengan arom a konflik yang
tidak bisa ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, persaingan NU dan Masyum i di
tingkat pusat m erem bes ke desa-desa tem pat kedua partai ini m em bangun
basis dukungan.
Pesantren Rejoso yang berorientasi NU tidak im un dari kepentingan politik
untuk m em bentengi pengaruh Masyum i yang cukup kuat di desa-desa.
Dalam menghadapi persaingan dengan NU, Masyum i cukup diuntungkan
karena KH Hasyim Asy’ari pernah m enjadi Rais Akbarnya, sehingga
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 47
legitim asi politik dari pendiri NU tersebut terus diekspose kalangan
Masyum i untuk m eraih suara kaum Nahdliyin. Ayah Nurcholish sendiri, H.
Abdul Madjid, adalah pendukung Masyum i yang setia, karena berpegang
pada apa yang diyakininya sebagai “fatwa” dari KH Hasyim Asy’ari bahwa
Masyum i merupakan satu-satunya partai Islam . Sam pai wafatnya pada 1947,
ia tidak pernah m endengar Kiai Hasyim m encabut “fatwa” tersebut,
sehingga ia tetap m endukung Masyum i. Masjid di kam pungnya pun diklaim
sebagai m asjid Masyum i. Bahkan Ibunda Nurcholish, Hj, Fathonah, aktif
m enjadi juru kam panye partai tersebut m enjelang pem ilu 1955. Akan tetapi,
dam pak dari sikap politik orangtuanya itu segera terasa oleh Nurcholish.
Saat belajar, ia sering disindir oleh para pengajar sebagai anak Masyum i
yang kesasar (di sarang NU).
Mendekati pelaksanaan pem ilu, pertentangan politik antara NU dan
Masyum i kian m em anas di kalangan masyarakat bawah. Retorika kam panye
m uncul dalam bentuk sindiran dan ejekan. Forum -forum keagam aan
dim anfaatkan oleh aktivis-aktivis NU untuk m enyerang Masyum i. Begitu
juga sebaliknya. Sindiran terhadap Nurcholish pun m akin sering dilakukan
oleh anak-anak NU di Pesantren Rejoso, sehingga ia m ulai merasa tidak
betah. Suatu ketika ia pulang kam pun g, dan menceritakan sem ua kejadian
itu kepada ayahnya.
H. Abdul Madjid menanggapi apa yang dialam i Nurcholish sebagai sesuatu
yang serius, sehingga ia mem utuskan untuk m enarik anaknya dari Pesantren
Rejoso. Ketika keputusan itu disetujui oleh istrinya, ia lalu m emindahkan
Nurcholish ke Pesantren Gontor, Ponorogo, J awa Tim ur. Keputusan H.
Abdul Madjid itu m embuat heran banyak orang di kam pungnya, sebab di
m ata mereka (dan di m ata kaum Nahdliyin J om bang pada um um nya) saat
itu Pesantren Gontor m em iliki citra “setengah kafir”. Setidaknya, ia
dianggap bukan pesantren NU, m elainkan pesantren Masyum i. Belakangan,
setelah belajar dan tinggal di Gontor, Nurcholish tahu bahwa pesantren ini
bukan pesantren Masyumi. Para guru dan siswanya datang dari berbagai
latar belakang kultur keagam aan. Bahkan para pendirinya pun (K.H. Ahm ad
Sahal, K.H. Im am Zarkasyi, dan K.H. Zainuddin Fanani) bukan orang-orang
Masyum i.
Fals afah Pe n d id ikan Go n to r
Pesantren Gontor (didirikan pada 1926) adalah pesantren bercorak m odern.
Salah satu indikasinya ialah penggunaan bahasa asing selain bahasa Arab
yang diwajibkan, yakni bahasa Inggris. Bahkan di m asa kolonial, bahasa
Belanda dan J epang juga m enjadi m ata pelajaran wajib. Kiai Zarkasyi
48 I
Konfrontasi
sendiri, salah seorang pendiri Pesantren Gontor, pernah belajar di Pesantren
Tegalsari, Ponorogo, yang m elahirkan pujangga kenam aan Ronggowarsito.
Nam un, pandangan-pandangan Kiai Zarkasyi lebih banyak dibentuk ketika
ia belajar kepada Mahm ud Yunus di Sekolah Noorm al Islam , Padang
Panjang, Sum atera Barat.
Mahm ud Yunus adalah lulusan al-Azhar dan Darul Ulum (keduanya di
Mesir), dengan spesialisasi bidang ilm u kependidikan. Sepulang dari Mesir
pada 1929 ia m endirikan KMI (Kuliy y at-u ‘l-Mu` allim în al-Islâm iy y ah) di
Padang Panjang. Di sinilah Im am Zarkasyi belajar sam pai tahun 1935.
Ketika pulang ke Pesantren Gontor ia m elakukan perom bakan kurikulum
dan m etode pengajaran pesantren ini m enjadi lebih m odern, disam akan
dengan yang didapatkannya di Padang Panjang. Ia mem buka dan
m enangani sendiri program pendidikan baru tingkat m enengah pertam a dan
m enengah atas yang dinam akan Kulliyatul Mu’allimin al-Islam iyyah (KMI)
atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Dalam program
ini kurikulum agam a dan um um diberikan secara seim bang selam a 6 tahun
(gabungan tingkat SMP dan SMA yang m asing-m asing 3 tahun). Selain itu,
juga diberikan pendidikan ekstra kurikuler untuk mem bekali pengalam an
siswa seperti pendidikan ketram pilan, kesenian, olahraga, organisasi,
pram uka, latihan berpidato, dan lain-lain.
Citra pesantren “setengah kafir” yang dituduhkan kepada Gontor berm ula
dari pengajaran bahasa Belanda dan bahasa Inggris yang mem ang m asih
dianggap sebagai bahasa orang kafir. Mata pelajaran um um dan sistem kelas
yang diterapkan di pesantren ini juga m enjadi cem ooh m asyarakat ketika
itu. Terlebih lagi para santri m em akai celana panjang dan dasi, berbeda
dengan santri ketika itu yang lazim nya m em akai sarung dan peci. Tidak
heran jika pem bukaan program ini kurang m endapat sam butan, bahkan
jum lah santri Gontor saat itu sem pat merosot tajam dari ratusan m enjadi
beberapa belas orang saja. Nam un para pengasuh pesantren tidak patah
sem angat. “Biarpun tinggal satu orang santri, program ini akan tetap akan
kam i jalankan sam pai selesai,” ujar Kiai Zarkasyi. Dan ia telah mem buktikan
bahwa tekadnya benar.
Pembaruan juga dilakukan dalam pengajaran bahasa. Seperti halnya KMI
Padang Panjang, Pesantren Gontor tak hanya m enekankan penguasaan
bahasa Arab, nam un juga m enunjukkan bagaim ana secara didaktis-m etodis
m odern para siswa m enguasai bahasa tersebut dengan cepat dan m udah.
Begitu juga pengajaran bahasa Inggris yang m enggunakan buku Berlitz, yang
berarti “katakan”, dim ana para siswa didorong untuk aktif berbahasa
sehingga mereka cepat menguasai bahasa tersebut. “Belajar di Gontor itu
m em ang seperti terbang, cepat sekali,” ujar Nurcholish. Diduga bahwa
sistem Berlirz ini diadopsi oleh Mahm ud Yunus dari Mesir juga yang saat ia
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 49
belajar di sana sedang m usim kursus bahasa dengan sistem Berlitz.
Di Gontor tidak pernah ada isu pertentangan NU-Masyum i. Pilihan-pilihan
m ateri pengajaran pada kitab-kitab yang tidak m onolitik m erupakan salah
satu alasannya. Di sini, m isalnya, diajarkan kitab karya filsuf dari Spanyol,
Ibn Rusyd, Bidây ah al-Mujtahid. Kitab fikih klasik ini berwawasan
perbandingan m azhab, sehingga m endorong para santri bersikap terbuka
dan berjiwa bebas. Salah satu santri kebanggaan Kiai Zarkasyi ialah Idham
Chalid yang kelak m enjadi Ketua PB NU dan Ketua MPR. Suatu ketika saat
ditanya wartawan darim ana ia m endasarkan sum ber pandangan
keislam annya yang terbuka, ia m enjawab, dari kitab Bidây ah al-Mujtahid.
Nurcholish sendiri membentuk pandangan-pandangannya dari kitab yang
m ulai dipelajarinya di kelas lim a itu. Ia juga sangat m enyukai pelajaran
Mahfudzat (ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab yang m engandung
kearifan), Muthala’ah (cerita-cerita dalam bahasa Arab yang mengandung
pelajaran hidup), al-Dinay ah (agam a-agam a), dan Mantiq (Logika).
Tradisi Pesantren Gontor dibentuk oleh apa yang disebut Panca J iwa
Pondok yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islam iyah,
dan jiwa bebas. Kelim anya m enjadi sendi kehidupan para santri. Selain itu,
pondok juga m em iliki m otto yang m enjadi falsafah pendidikan dan
pengajarannya, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas,
dan berpikiran bebas. Keem pat unsur itu saling terkait satu sam a lain. Unsur
yang pertam a m enjadi dasar bagi unsur-unsur lainnya. Karena itu, m isalnya,
pengetahuan luas harus selalu dikaitkan dengan budi yang tinggi, dengan
begitu para santri akan m engerti bahwa ilm u yang mereka m iliki harus
dim anfaatkan untuk tujuan kem aslahatan. Begitu juga m otto “berpikiran
bebas”, harus didahului oleh pengetahuan yang luas, sehingga kebebasan
berpikir itu benar-benar mencerm inkan kem atangan dan tidak m enjurus ke
arah pem ujaan pada akal pikiran.
Salah satu wujud dari kebebasan berpikir itu ialah pilihan-pilihan pada
m azhab (fikih). Dengan m em biarkan para santri (dewasa) menentukan
pilihan m ereka sendiri dalam berm azhab, para pengasuh pesantren
m endidik mereka untuk m enghargai prinsip kebebasan. Para pengasuh
pesantren, menurut Nurcholish, m em ang tidak m enginginkan santri-santri
m ereka disibukkan oleh urusan-urusan khilafiyah dalam agama. Gontor,
lanjutnya, ingin m encetak lulusan para calon pem im pin yang m am pu
m engatasi perbedaan-perbedaan dan sekaligus m enjadi perekat dari
perbedaan tersebut. Karena itu, sikap terbuka dan jiwa yang bebas,
m endidik lulusan Gontor untuk bersikap lentur dalam m enghadapi berbagai
perbedaan.
50 I
Konfrontasi
Be lajar Me n garan g
Ketika m asuk Pesantren Gontor, Nurcholish sebenarnya tertarik untuk
belajar bahasa Arab dan Inggris. Tapi ia dim asukkan ke kelas ilm u pasti,
m eski tetap diajarkan bahasa. Kendati dem ikian ia m enyukai sem ua
pelajaran. Bahkan nilai ujian untuk pelajaran ilm u hitungnya selalu sepuluh.
Yang paling tidak ia sukai ialah pelajaran m engarang (al-insy a’). Ia m enduga
m engarang itu hanya mengkhayal. Karena tidak suka, m aka ketika
m engarang ia m alas-m alasan; hanya m enterjem ahkan beberapa bagian dari
buku berbahasa Inggris. Nam un dengan cara begitu ia justru m em peroleh
nilai yang tinggi. Gurunya pernah m enegur apakah dia m enerjem ahkan dari
bahasa Inggris, Nurcholish m enjawab ya. Tapi guru itu mem biarkan
Nurcholish m eneruskan cara tersebut, dan nilainya tetap tinggi. Sejak itu,
Nurcholish sangat m enyukai pelajaran m engarang, yang sedikit dem i sedikit
ia tingkatkan dengan m engarang dari pikirannya sendiri.
Berbagai fasilitas olahraga dan seni juga disediakan untuk para santri. Tapi
Nurcholish hanya suka belajar, terutam a belajar bahasa Arab, Inggris, dan
Perancis. Hanya sesekali ia turun ke lapangan sepak bola, itu pun dengan
posisi selalu di belakang, karena ia m alas lari-larian. Nurcholish juga
m enyukai kesenian, khususnya m usik dan dram a yang berkem bang pesat di
pesantren Gontor. Tapi, lagi-lagi ia hanya m enjadi penonton, karena m erasa
tidak berbakat m enyanyi, apalagi berm ain dram a.
Bahasa Perancis sebenarnya tidak diajarkan secara resm i di Gontor.
Nurcholish m em pelajarinya di rum ah seorang guru bahasa di Gontor,
Muham m ad Syarif, secara private. Rum ah Syarif berada dekat sekali dengan
pesantren, sehingga tidak sulit bagi Nurcholish dan tem an-tem annya yang
lain mem peroleh izin dari pihak pesantren untuk belajar di rum ah Syarif.
Apalagi, tawaran itu datang dari Syarif sendiri. Ketika duduk di kelas lim a
(setingkat dengan kelas dua SMA), ia sudah dapat m embaca buku-buku
berbahasa Perancis dengan bantuan kam us. Kelak, ketika kuliah di IAIN, ia
m elanjutkan m em perdalam bahasa Perancis di Alliance Francais di
Kedutaan Perancis. Salah seorang tem annya di kelas ialah Rahm i Hatta.
Pe rp u s takaan Kiai
Salah satu kesukaan Nurcholish ketika belajar di Gontor ialah berkirim surat
kepada kedutaan-kedutaan besar asing di J akarta. Dari m ereka ia m endapat
banyak buku berbahasa Inggris, seperti Hero w ith the Thousand Thesis dan
My sticism : East and W est. Di Gontor bukannya tidak ada perpustakaan,
m alah cukup besar, tetapi entah kenapa, tidak bisa diakses oleh para santri.
Itu yang m enyulitkan Nurcholish m enyalurkan hobi m embaca yang telah
ditanam kan oleh orangtuanya. Untuk bisa m em baca koran dan m ajalah pun,
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 51
santri Gontor harus berpatungan dengan para guru yang mem iliki m inat
baca yang sam a. Mereka berlangganan koran berbahasa Inggris yang terbit
di J akarta, Jakarta Tim e, dan m ajalah bulanan populer berbahasa Inggris,
Reader’s Diggest.
Sementara perpustakaan pesantren tertutup untuk para santri, tidak
dem ikian dengan perpustakaan pribadi Kiai Zarkasyi. Ia m alah selalu
m engundang para santri kelas lim a dan enam , dan m em beri tugas untuk
m em baca buku-buku tertentu, sebagian besar kitab-kitab dalam bahasa
Arab. Buku-buku itu ia pinjam kan kepada para santri untuk dibaca, dan
pada pertem uan berikutnya para santri dim inta untuk m enjelaskan isinya.
Di luar itu, para santri terbiasa saling m em injam kan buku di antara m ereka,
khususnya buku-buku baru. Buku karangan Buya Ham ka Tasaw uf Modern
juga dibaca Nurcholish ketika belajar di Gontor. Ia juga m em baca
buku-buku karangan para sarjana Barat, seperti Civilization on Trial karya
sejarahwan Arnold Toynbee, dan Psikologi Pribadi karangan Fritz Kunkle.
Sem asa di Gontor, Nurcholish menjadi anggota PII (Pelajar Islam
Indonesia), cabang Gontor. Aktivitasnya di PII tidak terlalu banyak m enyita
waktu, sehingga ia tetap m enekuni tugas utam anya, belajar. Untuk yang
terakhir ini ia benar-benar m enunjukkan prestasinya. Ia, m isalnya, hanya
perlu waktu lim a tahun (seharusnya enam tahun) untuk menyelesaikan
studinya. Waktu duduk di kelas satu, ia diizinkan untuk naik langsung ke
kelas tiga, karena ia berhasil m enunjukkan kem am puannya m enguasai
sem ua pelajaran kelas dua.
Pe rih al Je n ggo t
Tam at dari Gontor pada 1960 , Nurcholish berencana m elanjutkan kuliah ke
Fakultas Kejuruan Ilm u Pendidikan (FKIP) Muham m adiyah, di Solo. Tapi
rencana itu urung diwujudkan karena untuk m elanjutkan kuliah ke sana,
syaratnya harus punya ijazah SMA. Ketika ia m enyam paikan hal itu kepada
Kiai Zarkasyi, pengasuh pesantren Gontor ini berusaha m em besarkan hati
Nurcholish dengan m enjanjikan bahwa suatu saat, kalau ada kesem patan, ia
akan m engirim Nurcholish ke Mesir. Untuk sem entara ini, katanya,
Nurcholish m engajar saja dulu di Gontor. Nurcholish pun menuruti saran
kiainya mengajar di Gontor. Dan orangtuanya tidak keberatan, sambil
berharap suatu saat akan benar-benar bisa belajar di Mesir.
Berita bahwa Nurcholish akan belajar ke Mesir sudah beredar luas di
kam pung halam an. Orang-orang tua dan tem an sebayanya senang sekaligus
berharap Nurcholish akan m enjadi orang pertam a di kam pung m ereka yang
belajar ke luar negeri, dan kelak pulang menjadi ulama. Nam un,
52 I
Konfrontasi
m asalahnya, kepastian m engenai rencana itu sem akin samar-sam ar.
Nurcholish kuatir orangtuanya akan menanggung malu akibat kegagalannya
pergi belajar ke Mesir. Suatu saat, ketika pulang kam pung, Nurcholish
m em beritahu tem an-temannya bahwa ia telah m em batalkan rencana
kepergiannya ke Mesir karena di sana ada aturan untuk mem anjangkan
jenggot, dan ia tidak m au. Setelah itu, ia kem bali ke Pesantren Gontor untuk
m elanjutkan kegiatan m engajar.[]
Volume IV, No.1, Januari 2015
I 53
This article is part of
JURNAL
KONFRONTASI
Volume IV, No. 1, January 2015
Visit:
www.konfrontasi.co