Monolog Kesunyian dalam Sajak Manusia Pe

Monolog Kesunyian dalam Sajak Manusia Pertama Di Angkasa
Luar
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah Telaah Puisi

Disusun Oleh :
Adelia Savitri
121011003 – Kelas A
Program Studi Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Surabaya
Semester.2 / Th.2011

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” karya Subagio
Sastrowardoyo ini terdapat di dalam antologi puisi yang berjudul “Dan Kematian

Makin Akrab”. Dalam buku “Dan Kematian Makin Akrab” ini dimuat seratus
sajak. Sebagian besar telah pernah dibukukan dalam kumpulan, kemudian dipilih
lagi oleh Subagio untuk diterbitkan dalam kumpulan antologi ini. Sajak “Manusia
Pertama Di Angkasa Luar” misalnya, pernah diterbitkan dalam kumpulan “Daerah
Perbatasan” pada tahun 1970. Pada kumpulan tersebut memuat dua puluh delapan
sajak, tetapi dalam kumpulan “Dan Kematian Makin Akrab” hanya dimunculkan
sembilan belas sajak.
Dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar”, pembangunan
suasana yang dialami penyair untuk disampaikan dan turut dirasakan oleh
pembaca begitu kuat. Dalam sajak ini, penyair mencoba berbicara dengan dirinya
sendiri yang merasakan kesunyian dan kepasrahan. Cara penyair membangun
bangunan suasana tersebut tentunya dipengaruhi oleh proses kreatifnya yang
berdampak pada kecenderungan penyair untuk membangun suasana dalam
sajaknya. Dalam menciptakan sajak demi tercapainya tujuan tersebut, penyair
menggunakan berbagai cara dengan pemanfaatan Licencia poetica

atau

kewenangan penuh seorang penyair atas kata-kata untuk dimanfaatkan dalam
penciptaan makna yang menimbulkan bekasan estetik dalam pikiran pembaca.

Penyair mempunyai cara yang bermacam-macam untuk mengekspresikan
pemikiran dan perasaan yang hendak ia tuangkan di dalam sajak. Dalam teori
Semiotics

of

Poetry,

mengekspresikan

Riffatere

konsep-konsep

mengungkapkan
dan

hal-hal

bahwa


melalui

Karya

sastra

ketidaklangsungan

(ketidaklangsungan ekspresi). Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu
dan mengandung arti lain. Selain itu, terdapat juga keterhubungan antara teks satu
dengan teks lainnya, dimana suatu teks dapat menginspirasi atau mempengaruhi
terciptanya teks yang lain. Seorang Julia Kristeva mengungkapkan bahwa teks
merupakan mosaik atau kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan
transformasi teks-teks lain. Maksudnya, teks lain tersebut mengambil hal-hal yang

2

bagus dari teks sebelumnya dan diolah kembali berdasarkan kreatifitas konsep
dan gagasan penyair. Sehingga tercipta sebuah karya yang baru. Teks dalam hal

ini dapat juga diterjemahkan sebagai suatu realita (konteks), tidak hanya teks yang
berupa tulisan. Sehingga dalam penelaahan sajak “Manusia Pertama Di Angkasa
Luar” ini, akan cenderung mengaitkan sajak tersebut dengan konteks yang
terdapat korelasi yang cukup erat.
Dalam sajak “ Manusia Pertama Di Angkasa Luar” terdapat pula dual
sign yang berarti memiliki makna rangkap atau ganda. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Riffatere bahwa dalam sebuah karya sastra terdapat suatu tanda
yang memungkinkan untuk mengacu pada tanda-tanda yang lain. Dual Sign dalam
sajak ini akan diulas lebih mendalam pada bab pembahasan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Suasana yang seperti apakah yang dibangun penyair dalam sajak “Manusia
Pertama Di Angkasa Luar”?
2.

Bagaimanakah

penyair

mengungkapkan


perasaannya

melalui

ketidaklangsungan ekspresi?
3. Bagaimana intertekstualitas dalam sajak tersebut?
4. Dual Sign yang seperti apakah yang diciptakan penyair dalam sajaknya?
1.3. Manfaat dan Tujuan
1. Memahami suasana dalam struktur batin puisi “Manusia Pertama Di Angkasa
Luar” yang dibangun oleh penyair.
2. Mengetahui cara penyair mengungkapkan persaannya dalam ketidaklangsungan
ekspresi.
3. Mengetahui intertekstualitas sajak tersebut dengan teks lain.
4. Memahami dual sign yang ditimbulkan dari sajak tersebut.

BAB II
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
3

2.1. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan kegiatan telaah puisi, maka diperlukan beberapa buku
sebagai referensi untuk memperkuat pertanggungjawaban data yang diutarakan.
Proses untuk menentukan buku-buku (pustaka) apa yang sesuai dengan hal yang
akan ditelaah, turut mempengaruhi hasil penelaahan. Pustaka yang digunakan
dalam makalah ini pada umumnya adalah beberapa buku teori dan pengkajian
puisi.
Buku yang berjudul “Pengkajian Puisi” karangan Rachmat Djoko Pradopo
memuat hal-hal yang diperlukan sebagai acuan penulisan. Terutama kaitannya
dengan teori semiotic of poetry dalam hal ketidaklangsungan ekspresi dan
intertekstualitas dalam sebuah puisi. Kedua hal tersebut sesuai dengan rumusan
masalah yang hendak dikaji dalam makalah ini.
Selain buku “Pengkajian Puisi”, penulis juga menggunakan buku “Analisis
Sajak : Teori, Metodologi dan Aplikasi” karangan Atmazaki. Buku ini diperlukan
untuk mengetahui bagaimana proses penerapan teori untuk mengkaji sebuah
sajak.
Buku yang berjudul “Proses Kreatif : Mengapa dan Bagaimana Saya
Mengarang” berisi tulisan-tulisan yang merupakan ungkapan pribadi beberapa
sastrawan seperti : S. Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Nafis,
Trisnoyuwono, Wildan Yatim, Nh. Dini, Budi Darma, Ajip Rosidi, Putu Wijaya,
Julius R. Siyaranamual, dan Arswendo Atmowiloto. Dalam buku ini, para

sastrawan

tersebut

menuliskan

proses

kreatifnya

masing-masing

dalam

melahirkan sebuah karya. Hal ini dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana proses
terciptanya sebuah karya (terutama pada bagian yang ditulis Subagio
Sastrowardoyo).
Dalam mengungkapkan Struktur batin pada puisi untuk mengetahui
suasana apa yang hendak dibangun oleh penyair dalam sajak “Manusia Pertama
Di Angkasa Luar”, maka diperlukan buku “Teori dan Apresiasi Puisi” karangan

Herman J. Waluyo. Dalam buku ini dijelaskan secara detail tentang teori struktur
fisik dan struktur batin puisi juga proses penerapannya pada sebuah puisi.

4

2.2. Landasan Teori
Dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan
harus dapat dihayati oleh pembaca. Penyair tentu mempunyai sikap tertentu
terhadap pembaca, apakah dia ingin menyindir, menasehati, menggurui, atau
hanya bersikap ingin menceritakan sesuatu pada pembaca. Secara umum, di dalam
puisi terdapat unsur-unsur yang membangun suatu makna yang hendak
disampaikan penyair terhadap pembaca. Unsur-unsur tersebut tersusun dalam
struktur fisik dan batin di dalam suatu puisi. Sesuai dengan rumusan masalah yang
telah diungkapkan pada bab sebelumnya, kami akan mengkaji sajak “Manusia
Pertama Di Angkasa Luar” dari segi struktur batinnya, yaitu pada aspek nada dan
suasana yang diungkapkan dalam sajak ini.
Menurut Herman J. Waluyo, nada puisi merupakan sikap penyair terhadap
pembaca, sedangkan suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Jika
kita bicara tentang sikap penyair , maka kita berbicara tentang nada, jika kita

berbicara tentang suasana jiwa pembaca yang timbul setelah membaca puisi, maka
kita berbicara pada suasana. Nada dan suasana puisi saling berhubungan karena
nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya (1987 : 125).
Selain dapat dikaji melalui struktur batinnya, puisi juga dapat dikaji
dengan pendekatan semiotika Riffatere. Dalam bukunya Semiotics of Poetry,
Riffatere mengungkapkan bahwa bahasa adalah tanda, dan sastra menggunakan
bahasa sebagai media. Teori semiotika Riffatere mengkaji suatu karya sastra
dalam empat pemikiran, yaitu : ketidaklangsungan ekspresi; pembacaan heuristik
dan hermeneutik; matriks,model,dan varian; dan intertekstualitas. Dalam
ketidaklangsungan ekspresi terdapat tiga cara penyair untuk mengungkapkan
ekspresinya, yaitu : displacing of meaning (penggantian arti), distorting of
meaning (penyimpangan atau perusakan arti), dan creating of meaning
(penciptaan arti). Kemudian pembacaan heuristik dan hermeneutik, yang
dimaksud pembacaan heuristik adalah pembacaan tahap awal, yaitu proses ketika

5

pembaca melakukan pembacaan terhadap teks pertama kalinya. Setelah melalui
tahapan pembacaan heuristik, pembaca akan melanjutkan pembacaannya pada
pembacaan hermeneutik yaitu membaca dengan cara berulang-ulang untuk

mendapatkan pemahaman hingga sampai pada tataran pemaknaan.
Pemikiran yang ketiga adalah mengenai matriks, model, dan varian. Pada
proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks, model, dan varian-varian.
Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal
yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah.
Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai
aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak
pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian.
Bentuk varian-varian tersebut diatur oleh aktualisasi primer atau pertama, yang
disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari
struktur yang sama (Riffaterre, 1978:19).
Pemikiran yang keempat adalah mengenai intertekstualitas. Interpretasi
secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan oleh pembaca
melalui interteks. Karya sastra mengandung arti hanya dengan mengacu kepada
teks-teks lain (Riffaterre, 1978:149), baik teks secara harafiah maupun teks dalam
pengertian universal. Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada
intertekstualitas

dan


untuk

mengenalinya

bergantung

sepenuhnya

pada

kemampuan pembaca (Riffaterre, 1978:124).
Dalam teori semiotika Riffatere juga terdapat istilah dual sign. Dual sign
adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil perpotongan atau
pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk (Riffaterre, 1978:86). Dalam
sebuah penandaan, teks dapat menimbulkan pemaknaan yang lebih dari satu. Hal
ini dapat terungkapkan juga lewat judul. Judul dapat juga ditemukan aspek dual
sign tersebut.

BAB III
PEMBAHASAN

6

3.1. Suasana yang Dibangun Dalam Sajak “Manusia Pertama Di Angkasa
Luar”.
Manusia Pertama Di Angkasa Luar
Karya Subagio Sastrowardoyo
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dan siang.
Hanya lautan yang hampa dilingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di
rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri, dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya
kepadaku.
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo,-- itu anak-anak berandal yang
kucinta –
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak berberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagad tak berhuni. Tetapi
ada barangkali. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi

7

Makin gemuruh.
Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.
Pada landasan teori, telah dibahas definisi nada dan suasana sebagai
struktur batin pada puisi. Sajak di atas mengandung suasana kesedihan dalam
kesunyian. Dampak psikologis yang dapat ditimbulkan setelah membaca sajak
tersebut, adalah merasakan kesedihan yang diungkapkan penyair karena
kesendiriannya di angkasa luar. Penyair merasa kesepian karena hanya seorang
diri di tengah jagat raya yang begitu luasnya. Suasana kesunyian tersebut
membuatnya berbicara pada diri sendiri seperti bermonolog. Penyair menceritakan
kerinduannya kepada istri, anak, dan ibunya di rumah. Jarak yang memisahkan
mereka seolah begitu jauh :
Bumi tenggelam dan langit makin jauh mengawang
....
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih...
Pembaca mengimajinasikan bahwa penyair terbang membumbung begitu
jauh melayang ke angkasa, hingga penyair merasakan kerinduan yang begitu
mendalam, tidak ingin berpisah dengan istri, anak-anaknya, dan ibunya.
Kemudian penyair bermonolog untuk mengisahkan kerinduannya pada orangorang yang dia kasihi :
............
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di
rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Ketika penyair merasakan kerinduan terhadap orang-orang yang
dikasihinya, ia teringat oleh masa lalunya, ketika masih kecil ia masih tidur
bersama ibunya membawa buku dongeng. Teringat masa mudanya ketika menjalin
cinta dengan istrinya. Teringat anak-anaknya yang jauh ia tinggalkan di bumi.
Ingatan-ingatan tersebut diceritakan seolah ia begitu ingin kembali ke masa lalu
dan kembali berkumpul bersama ibu, istri, dan anak-anaknya :
...................
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu

8

Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri, dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya
kepadaku.
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo,-- itu anak-anak berandal yang
kucinta –
.....................
Kemudian

terdapat

pula

rasa

ketidakberdayaan

penyair.

Ia

mengungkapkan rasa kepasrahannya, sehingga menimbulkan suasana kesedihan
pada pembaca. Ia mengungkapkan bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi,
tidak ada yang dapat dicita-citakan lagi. Bahkan jika ada, sudah terlambat dan
tidak mungkin untuk mewujudkannya, dan ia sadar bahwa ia tidak dapat
mengulangi masa hidupnya di bumi untuk mencapai cita-citanya, karena sudah
sampai pada akhir hidup :
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagad tak berhuni.
..........
aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali
............

3.2. Ekspresi Penyair dalam Sajak
Dalam mengekspresikan perasaannya penyair tidak menggunakan bahasa
yang lugas seperti bahasa sehari-hari, melainkan menggunakan beberapa
ungkapan yang disebut ketidaklangsungan ekspresi. Pada pembahasan di atas
telah dijabarkan suasana batin puisi yang ditimbulkan. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, penyair mengutarakan perasaannya yang berupa rasa kesedihan dan
kegelisahan.
Penggambaran ekspresi kesedihan dan kegelisahan tersebut dapat diketahui dari
kata :
Angkasa ini bisu ....

9

........
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh
Kata “bisu” adalah sebuah tanda yang mewakili kesunyian. Bisu adalah kata sifat
yang memiliki arti tidak dapat menghasilkan suara-suara. Kata “bisu”
disandingkan dengan kata “angkasa”. Karena di angkasa memang tidak terdapat
suara-suara. Pemilihan kata ini memperkuat gambaran kesunyian. Kemudian pada
kata hati makin sepi, makin gemuruh. Kata “gemuruh” disini dapat dimaknai
sebagai perasaan kegelisahan penyair dengan kondisi kesendiriannya terpisah jauh
dengan keluarganya.
Sajak ini tergabung dalam kumpulan sajak “Dan Kematian Makin Akrab”,
di mana sajak-sajak yang dipilih bertemakan cinta dan maut. Hal ini diakui oleh
Subagio dalam pengantarnya di awal buku : “Setiap sajak boleh dipandang
sebagai catatan pengalaman batinnya dalam menangkap dan merasakan cinta.
Tetapi berulangkali kembali pada tema maut, seperti pemberian judul pada buku
ini” (1995 : x). Maka, teringat oleh pengantar dalam buku antologi tersebut yang
diutarakan Subagio selaku pengarang, dapat mempengaruhi penelaahan terhadap
sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” ini. Tema yang diusung adalah tentang
kematian (maut). Dalam mengungkapkan hal ini, penyair tidak langsung
menggunakan kata “mati” atau “maut” itu sendiri. Melainkan dengan cara :
...........
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
.......
Kata “tepi” disini menunjukkan batas, yaitu batas antara alam dunia yang
dilukiskan dengan kata “bumi” dengan alam akhirat yang dilukiskan dengan kata
“angkasa” atau “jagat”. Berkaitan dengan hal ini maka penyair menggunakan

10

ketidaklangsungan ekspresi melalui displacing of meaning atau penggantian arti.
Sebagai umat beragama, keyakinan terhadap alam akhirat tentu ada. Setiap
manusia yang telah menjemput mautnya akan pergi dan tinggal di alam yang
selainnya. Setiap orang yang telah menemui mautnya akan merasakan kegelisahan
dan kecemasan yang luar biasa. Hal ini terungkapkan lewat kata “Hati makin sepi.
Makin gemuruh”. Ketika di alam akhirat, setiap manusia akan menempuh
pertanggungjawabannya sendiri-sendiri. Maka penyair mengekspresikannya
dengan : Bunda, Jangan membiarkan aku sendiri. Hal ini menggambarkan
ketakutan untuk menghadapi masa-masa pertanggungjawaban amal sesudah mati.

3.3. Pengertian “tepi” dan Kaitannya dengan Maut dan Ayat Al-Qur’an
Dalam pembahasan sub-bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana
penyair mengungkapkan ekspresinya tentang perasaan kesedihan, suasana
kesunyian, dan kegelisahan yang dialaminya ketika menghadapi maut. Berkaitan
dengan hal ini, terdapat teks Al-Qur’an yang menjelaskan tentang batas antara
alam dunia dan akhirat yang dalam sajak ini disebut dengan kata “tepi”.
Kemudian ungkapan penyair yang ingin kembali ke dunia (“bumi” dalam sajak).
Berikut ini adalah kutipan ayat Al-Qur’an surat : Al-Mukminun ayat 99-100 yang
berbunyi :
99. (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia)[1021],
[1021]. Maksudnya: orang-orang kafir di waktu menghadapi sakratul maut,
minta supaya diperpanjang umur mereka, agar mereka dapat beriman.
100. agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.
Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.
Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan[1022].
[1022]. Maksudnya: mereka sekarang telah menghadapi suatu kehidupan baru,
yaitu kehidupan dalam kubur, yang membatasi antara dunia dan akhirat.
Dalam hal ini terdapat hubungan intertekstualitas antar kata “tepi” dalam

11

sajak ini dengan definisi batasan alam antara dunia dan akhirat yang dijelaskan di
Al-Qur’an. Keterhubungan antara perasaan penyair yang mengenang masa
lalunya hingga menyebabkan ia ingin kembali lagi ke bumi bersama istri, anak,
dan ibunya, ternyata juga dijelaskan di Al-Qur’an bahwa ketika seseorang telah
sampai pada batas maut, maka seseorang itu akan menginginkan kembali ke
dunia untuk memperbaiki amalnya.

3.4. Antara “Angkasa” dan “Akhirat”
Ulasan pada pembahasan sebelumnya telah menunjukkan penafsiran
tentang kata “angkasa” yang dimaknai sebagai “alam akhirat” dan “bumi” yang
dimaknai sebagai “alam dunia”. Pemaknaan tersebut dapat ditemukan ketika
pembaca melakukan pembacaan mendalam terhadap teks. Namun, sebelum
pembaca melakukan pendalaman tersebut, ketika membaca judul dari sajaknya
yaitu “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” menimbulkan pemahaman yang
beragam terhadap arti kata tersebut (dual sign).
Dalam pemahaman pembaca terhadap judul “Manusia Pertama Di
Angkasa Luar”, yang terlintas dalam benak pembaca adalah seorang astronout
yang pertama kali ke antariksa, yaitu Neil Armstrong dari Amerika Serikat dan
Yuri Gargarin dari Uni Soviet. Pada saat tahap pembacaan pertama, pembaca
tidak sampai pada penafsiran tentang seseorang yang menjelang masa-masa
kematian, dan ia berada pada alam di luar bumi yang kemudian ia merasa
kesepian dalam kesunyian hingga ia bermonolog dan mengenang orang-orang
yang dikasihinya hingga ia ingin kembali ke bumi. Hingga pada akhirnya
pembaca dapat menghubungkan bahwa yang dimaksud “angkasa” adalah akhirat.
Namun, pemaknaan dalam karya sastra tidak harus satu makna. Satu teks
dapat menimbulkan makna yang bermacam-macam. Begitu juga teks “Manusia
Pertama di Angkasa Luar” dapat menimbulkan penafsiran lain selain
keterhubungan dengan kematian, yakni penafsiran berupa ungkapan seorang
astronout yang ketika menjalani misinya ke luar angkasa, dan ia merasa
kesepian, rindu kepada orang-orang yang dicintai, kemudian ia takut tidak
kembali hingga ia berkata :

12

................
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih.
Pada bait ini, penyair seolah bercerita bahwa ia tidak peduli lagi pada “seribu
rumus ilmu” yang mengacu pada ilmu pengetahuan yang ia tekuni hingga ia
menjadi astronout dan dapat terbang ke angkasa luar “yang menyebabkan aku
terlontar kini jauh dari bumi yang kukasih”. Karena ia ingin kembali ke
keluarganya di bumi. Jadi, makna kata “bumi” dan “angkasa” disini dapat juga
dimaknai sebagai “bumi” dan “angkasa luar” yang sebenarnya. Penekanannya
tetap fokus pada monolog kesunyian penyair. Hal yang berbeda adalah kesunyian
di angkasa luar (yang sebenarnya) dalam keadaan yang masih benar-benar hidup
dan rindu ingin pulang ke bumi namun takut tidak bisa kembali. Yang kedua,
kesunyian di angkasa (akhirat) alam di luar dunia dalam keadaan terdesak maut
dan sudah pasti tidak bisa kembali bersama keluarga yang dikasihi.
Dual Sign ini dapat disebabkan karena teks “Manusia Pertama”, dan pembaca
memiliki data sejarah bahwa manusia pertama di angkasa luar adalah Neil
Armstrong.

BAB IV
PENUTUP
Simpulan

13

Suasana yang terkandung dalam sajak “Manusia Pertama Di Angkasa
Luar” adalah suasana kesunyian, penyair menggambarkannya dengan cara
bermonolog sehingga pembaca turut merasakan kesunyian dan kesedihan yang
dirasakan.

Dalam

mengungkapkan

perasaannya,

penyair

menggunakan

ketidaklangsungan ekspresi berupa penggantian arti yaitu kata “angkasa”
dimaknai sebagai “akhirat” dan kata “bumi” dimaknai sebagai “dunia”. Sajak ini
juga memiliki keterhubungan dengan teks Al-Qur’an pada surat Al-Mukminun
ayat 99-100. Judul sajak “Manusia Pertama Di Angkasa Luar” menimbulkan dual
sign terhadap pemaknaan kata “angkasa”.

Biografi Singkat Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1
Februari 1924. Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal

14

sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi. Nama Subagio
Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika
kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta.Ia ditulis oleh
seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau
kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras,
serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan
memenangkan diam. a meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996
dalam usia 72 tahun. Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS
di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada
tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah
Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari Department of
Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat. Subagio pernah
menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954—1958). Ia
juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958—
1961. Pada 1966—1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat
(SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971—1974 mengajar di Salisbury
Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia
Selatan tahun 1974—1981. Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai anggota
Dewan Kesenian Jakarta (1982—1984) dan sebagai anggota Kelompok Kerja
Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981).
Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai
esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam
pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair,
Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya.

Daftar Pustaka
Aftarudin, Pesu. 1986. Pengantar Apresiasi Puisi. Bandung : Angkasa.

15

Alisjahbana, S. Takdir,dkk. 1983. Proses Kreatif : Mengapa dan Bagaimana Saya
Mengarang. Jakarta : PT. Gramedia
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak : Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung :
Angkasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sastrowardoyo, Subagio. 1995. Dan Kematian Makin Akrab. Jakarta : PT>
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia.
Waluyo, J. Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Penerbit Erlangga.

16