MORALITAS YANG TIDAK BERMORAL diponegoro

PAMER MORAL
Oleh Aprinus Salam
Salah satu yang cukup menonjol yang diperantarai dan diperlihatkan oleh media,
sebagai representasi perilaku dan tindakan kita, adalah suatu sikap untuk
mempertontonkan diri, inilah aku. Hal yang saya maksud adalah perilaku
menasihati atau menggurui, membela yang dianggap salah dan mendukung yang
dianggap benar, simpati atau suka (like kalau di FB), dan sebagainya. Hal ini saya
sebut itu sebagai pamer moral.
Pamer moral adalah upaya mempertontonkan atau memperlihatkan diri dengan
cara-cara mudah tentang siapa aku, posisi moralku, bahwa aku ini orang baik,
manusiawi. Akan tetapi, praktis setelah itu seseorang tidak melakukan tindakan
apapun, bahkan mungkin sebaliknya. Dengan demikian, pamer moral adalah suatu
tindakan manipulatif yang mencoba mengelabuhi orang lain, dan sekaligus sebagai
cara membangun citra diri.
Misalnya, banyak politisi atau pejabat mengatakan bahwa semua yang dia lakukan
demi dan untuk rakyat. Perkataan itu tampaknya sangat moralis dan simpatik,
tetapi ungkapan hapalan tersebut jelas suatu formulaik yang tidak bermakna
kebenaran. Hal itu suatu konstruksi hegemonik yang menyimpan ketidakadilan dan
rayuan. Dengan demikian, kita tidak perlu percaya dengan ungkapan formulaik
tersebut.
Mempertontonkan atau menyebarluaskan sikap simpatik terhadap kesusahan,

kesialan, atau keaiban orang lain, bahkan diri sendiri, termasuk suatu sikap salahkaprah dan cenderung sebagai sikap pamer moral. Memang, mungkin niatnya baik,
tetapi ada sisi lain yang dilupakan, yakni bagaimana kemudian keaiban dan kesialan
orang lain terus menerus disebarluaskan. Kemudian, rumor tidak produktif
berkembang di sekitar wacana itu.
Hal lain yang berkaitan dengan pamer moral adalah segala bentuk kegiatan ibadah
yang dipertontonkan. Jika itu berkaitan dengan ritus seni, sosial, dan budaya, yang
dipertontonkan secara kolektif, masih bisa diterima. Akan tetapi,
mempertontonkan perilaku beribadah, berzikir di televisi, menangis dan berdoa di
depan umum, termasuk suatu pamer moral. Saya masih berkeyakinan bahwa
beribadah itu sesuatu yang tidak perlu dipamerkan apalagi jika itu berkaitan
dengan pencitraan.
Belakangan ini juga menjadi persoalan soal nama baik. Dulu, ketika media publik
(media sosial) masih terbatas, kasus nama baik jarang dipersoalkan. Hal yang
mengherankan adalah, tanpa ada preseden apapun, seseorang merasa memiliki
nama baik. Kemudian, ketika ada pernyataan tertentu yang berkaitan dengan
namanya, dia berjuang untuk mempertahankan nama baik itu.

Hal yang tidak kalah menariknya bagaimana jika seseorang pamer sibuk atau pamer
sukses. Apakah ini bisa juga dikaitkan sebagai pamer moral. Dalam konteks
masyarakat Indonesia, ketika begitu banyak orang hidup dalam kondisi darurat dan

miskin, maka perilaku pamer sibuk dan pamer sukses adalah satu tindakan yang
tidak cukup pantas. Ketidakpantasan boleh disebut sebagai sesuatu yang bersifat
tidak cukup bermoral.
Tidak Bermoral
Hal yang paling parah adalah bahwa berbagai tindakan dan sikap yang terkesan
bermoral tersebut seolah diyakini sebagai kebenaran. Mereka percaya bahwa
orang lain juga mengakui bahwa mereka memang bermoral. Di sinilah letak
kesalahannya, dengan menganggap masyarakat bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Padahal, kenyataannya masyarakat juga sadar bahwa hal itu tidak lebih sebagai
tipuan dan manipulatif.
Moral selayaknya tidak dipertontonkan, dan tidak menjadi tontonan. Karena hal itu
menyebabkan moral tidak lebih sekadar menjadi hiburan murah. Moral selayaknya
seperti aurat, dia layak disembunyikan, tapi kita tahu bagimana dia ada dan
berharga. Kita mempertaruhkan aurat tersebut sebagai sesuatu yang sangat
bernilai. Berbagai tindakan pamer moral itu sebetulnya adalah moralitas yang tidak
bermoral.
Salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan tidak melakukan
sikap atau tindakan yang mempertontonkan diri dalam berbagai bentuknya.
Simpan sikap simpatik atau like yang memang telah tersedia berkaitan kesialan
atau keaiban orang lain. Nikmati dan hayatilah peribadahan kita secara individual.

Syukurilah kesibukan dan kesuksesan kita tanpa perlu diperlihatkan kepada orang
lain.
Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM.