macam macam kearifan lokal KAB. WAKATOBI

JAKARTA - Sejak ditetapkan sebagai Cagar Biosfer dari UNESCO pada Juli 2012 silam,
Wakatobi semakin berupaya membangun sektor pariwisata dengan melestarikan lingkungan.
“Predikat ini membuat kami saat ini lebih fokus dalam mengembangkan sektor pariwisata
dan menjaga budaya, terutama berbasis lingkungan yang bertumpu pada sumber daya laut
dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki,” kata Sudjito, Sekretaris Daerah Pemerintah
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, kepada Okezone, usai konferensi pers “Cagar
Biosfer Wakatobi dan Manfaatnya bagi Ekosistem Laut di Indonesia” di Jakarta, Kamis
(6/2/2014).
Salah satu bentuk nyata pelestarian lingkungan tersebut adalah menjaga kearifan lokal
Wakatobi. “Kami bersyukur masyarakat adat dilibatkan sehingga kearifan lokal yang telah
berlangsung turun-temurun kembali dikuatkan,” ujar La Ode Usman Baga, Ketua Lembaga
Adat Mandati Pulau Wangi-Wangi, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi, pada kesempatan yang
sama.
Hal serupa juga dinyatakan Jaenuddin, tokoh adat Wali Binongko, yang mengatakan bahwa
masyarakat berbondong-bondong menjaga alam dari tangan jahil manusia dengan
menerapkan hukum adat. “Dengan hukum adat, semua yang salah harus bertanggung jawab.
Seperti melakukan pengeboman ikan, mereka akan dikenakan sanksi adat dikucilkan dan
dibiarkan hidup sendiri sampai mati kalau tidak mau membayar denda yang telah
ditetapkan,”
jelasnya.
Kabupaten Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki kondisi geografis yang unik

dengan hanya tiga persen kawasannya berupa daratan. Di sinilah letak Taman Nasional
Wakatobi dengan luas 1.390 ribu hektare yang meliputi 39 pulau, 3 gosong, serta 5 atol.
Suku Bajo Miliki Kearifan Lokal Manfaatkan Laut
Wangi-wangi (ANTARA News) - Pakar kelautan dari Universitas Diponegoro Prof Dr Ir
Sahala Hutabarat Msc mengatakan, masyarakat Suku Bajo yang ada di berbagai pelosok
Indonesia memiliki kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya kelautan di sekitarnya.
"Masyarakat Suku Bajo memiliki ilmu pengetahuan sangat tinggi tentang kelautan, namun
tidak diberdayakan sehingga mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan," katanya di
Wangi-wangi, Ibu Kota Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis.
Sahala berada di Wangi-wangi mengikuti rombongan Menteri Pertahanan (Menhan)
Purnomo
Yusgiantoro
bersama
Ny
Lis
Yusgiantoro
dan
rombongan.
Rombongan Menhan ke wilayah itu dalam rangka menerima peserta Sail Wabatobi Belitong
2011 dan menyaksikan pernikahan massal bawah laut di Pantai Desa Sombu, Kecamatan

Wangi-wangi,
Kabupaten
Wakatobi.

Menurut Sahala, kondisi kehidupan masyarakat Suku Bajo yang ironis itu terjadi karena
selama berpuluh-puluh tahun bangsa ini merdeka dari penjajahan, komunitas Bajo hanya
dipandang sebagai obyek pembangunan yang tidak pernah dilihat potensi yang dimilikinya.
Oleh karena itu, kata dia, melalui momentum Sail Wakatobi Belitong (SWB) 2011,
masyarakat Suku Bajo yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya kelautan
itu, sudah saatnya diberdayakan dengan cara membina dan mendidik mereka dengan berbagai
pengetahuan
sehingga
bisa
bangkit
dari
himpitan
kemiskinan.
"Sudah saatnya masyarakat Suku Bajo ikut dilibatkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya kelautan yang melimpah ruah ini, sehingga mereka bisa menikmati kehidupan
layak

sama
seperti
suadara-saudara
lainnya
di
Tanah
Air,"
katanya.
Di wilayah perairan laut Wakatobi sendiri di mana sebagian masyarakat Suku Bajo hidup,
kata Sahala, memliki potensi sumber daya alam kelautan yang cukup melimpah.
Menurut hasil penelitian WWF, kata dia, di dalam perairan laut tersebut terdapat sebanyak
750 jenis terumbu karang dan 942 jenis ikan dan beragam biota laut.
"Idealnya, masyarakat Suku Bajo yang hidup di tengah sumber daya alam yang
berkelimpahan itu, hidup sejahtera, namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka hidup tetap
miskin,"
katanya.
Makanya, kata dia, pemerintah terutama Pemerintak Kabupaten Wakatobi dan Pemprov
Sulawesi Tenggara seyogyanya memanfaatkan momentum SWB 2011 ini untuk mengangkat
potensi masyarakat Suku Bajo, sehingga keluarga mereka bisa hidup layak.
"Kalau potensi masyarakat Suku Bajo ini diberdayakan, tidak hanya bisa mengangkat harkat

dan masyarakat Suku Bajo sendiri, akan tetapi memberi kontribusi besar bagi pendapatan
daerah Wakatobi, bahkan pendapatan nasional," katanya. (Ant)
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT WAKATOBI DALAM TRADISI LISAN
KABANTI
ABSTRAK
Oleh: Sumiman Udu[2]
Setiap daerah memiliki kearifan lokal dalam melindungi berbagai aset mereka. Baik
aset sember daya alam maupun aset sosial mereka. Oleh karena itu, penelusuran mengenai
kearifan lokal tersebut dapat menjembatani pemikiran pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan daerah di masa yang akan datang. Karena karateristik daerah akan
mempengaruhi pemerintah dalam mendekati pembangunan di daerahnya masing-masing.
Penelitian mengenai kearifan lokal masyarakat Wakatobi dalam kabanti ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan etnografi. Sehingga data penelitian ini adalah data

lapangan yang disajikan dengan menggunakan sudut pandang masyarakat dalam melihat
berbagai konsep kehidupan masyarakat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Wakatobi memiliki pandangan
yang positif tentang pantai, laut dan hubungan sosial. Masyarakat Wakatobi memandang laut
sebagai sumber kehidupan mereka, tempat penyelesaian masalah, tempat mencari hidup dan
tempat hidup mereka yang terakhir. Di samping itu, masyarakat Wakatobi juga memiliki

pandangan bahwa hutan adalah suatu yang penting dalam kehidupan mereka. Dan terakhir,
adalah bahwa kehidupan masyarakat Wakatobi akan terjaga dengan baik, dimana terdapatnya
batas-batas pergaulan yang jelas, antara laki-laki dan perempuan dewasa.
kata kunci: kearifan lokal, kabanti, masyarakat Wakatobi
Indahnya kearifan lokal wakatobi ( membangun politik berbasis kearifan lokal)
Diposkan oleh Marwan Pada 09.43
Dunia bagai daun kelor adalah istilah untuk menggambarkan kehdidupan gobalisasi.
Globalisasi telah menjadikan letak geografis dan waktu bukanlah penghambat dalam
berinteraksi sesama masyarakat dunia. Globalisasi telah banyak merubah pola kehdipan
manusia di berbagai bidang seperti ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Globalisasi ditandai
dengan kemajuan IPTEK telah membawa nilai-nilai kehidupan yang baru dan kebanyakan
berbeda
dengan
nilai
kearifan
lokal
wakatobi.
Gobalisasi yang selalu di identikan dengan moderenisasi atau bahkan term lain adalah
westernisasi (pembaratan). Hal ini di akibatkan karna yang menguasasi dan mendominasi
globalisasi ini adalah kebudayaan barat yang individualistis. Ideology liberalisme telah

memanfaatkan globalisasi sebagai kuda tunggangan menuju tujuan yang diinginkan.
Sehingga kehidupan masyarakat yang memiliki kearifan lokal yang begitu indah telah
terkikis dan tergantikan oleh kehidupan liberalisme yang dimiliki barat.
Inilah realitas yang terjadi di wakatobi. Berangkat dari keadaan ini maka sebagai masayarakat
wakatobi patut meraih kembali kearifan local kita milki tersebut. Tugas ini harus dilakukan
oleh segenap elemen masyarakat wakatobi. Tapi yang harusnya sangat perperan disini adalah
pemerintah yang memiliki kekuasaan dan otoritas yang tinggi bagi keberlangsungan
kehidupan
wakatobi.
Tulisan ini hanya menspesifikasikan pengkajian pada kondisi politik wakatobi. Dan
mengingkan menciptakn kehidupan politik yang berbasis pada kekeluargaan (salah-satu
kearifan lokal yang kita miliki). Hal ini dilakukan karna menjelang pemilihan kepala daerah
(pilkada) wakatobi yang nantinya akan menentukan siapa nakhkoda wakatobi kedepan.
Menyoal kehidupan politik maka kita tidak bisa lepaskan dengan mesin politik demokrasi.
Demokrasi yang ada hari ini digunakan baik Indonesia dalam skala yang luas maupun
wakatobi dalam skala yang khusus telah mengadopsi demokrasi ala barat yang sekali lagi
saya tegaskan bahwa nilai yang di bawanya adalah individualistis. Sehingga kita dapat

melihat menjelang suasana pilkada 2011 kehidupan masyarakat wakatobi sangat rentan
dengan konflik. Iniah disebabkan karna ada sekat yang coba di tampilkan sehingga

menimbulkan sikap ke-akuan bukan ke-kitaan. Sikap masyarakat seperti ini disebabkan salah
satunya karna segenap elemen masyarakat terlebih pemerintah tidak menyadari dan tidak
memberikan pendidikan politik yang berbasis pada kearifan lokal yang kita miliki.
Kearifan lokal wakatobi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan (egaliter).
Misalnya ada falasafah hidup yang ada di Tomia yaitu “poasa-asa pohamba-hamba” (ini
adalah sala satu contoh dan saya yakin masih banyak contoh lain baik di tomia sendiri
maupun di kecamatan lain yg ada di wakatobi tapi pasti semua menggambarkan kebersamaan
dalam hidup). Sungguh sangat berbeda dengan budaya poltik wakatobi yang mengdopsi nilai
individdualistis globalisasi. Namun masyarakat tak banyak menyadari hal ini dan
pemerintahpun hanya asik terkonsentrasi pada hal-hal lain (misalnya sibuk mempromosikan
wakatobi).
Di tengah iklim politik wakatobi yang mulai memanas, masyarakat mulai terpisah-pisah
menurut sikap politik yang dimilikinya. Namun akibat ketidak pahaman masyarakat terhadap
kearifan lokal atau kekeluargaan yang kita miliki sehingga berujung pada terputusnya tali
silaturahmi antarsesama. Masyarakat yang sebelumnya menampakan kehidupan yang
layaknya keluarga telah tergantikan oleh sikap individualistis yang terpolakan oleh system
politik yang ada. Karna sikap fanatik mendukung salah-satu kandidat, mereka rela saling
membenci.
Salah-satu yang menyebabkan ini adalah adanya money politic (politik uang) yang sangat
jauh dari karakter masyarakat. Bukankah kearifan lokal telah mengajarkan kita saling kerja

sama yang baik? Kerja sama yang tak mengharapkan imbalan. Tapi justru hal ini telah
diciderai oleh para kandidat yang tidak bersih dalam berpolitik. Sifat ini merupakan
tampakan atau indikasi-indikasi KKN yang nantinya berpotensi terjadi jika mereka terpilih.
Inilah contah kecil yang terjadi. Tentunya para pembaca labih tau lagi dan memiliki hati
nurani untuk membimbing kita melakukan hal-hal yang benar dan terbaik. Tidak menjadi
sebab dan mengkompori terjadinya konflik akibat pilkada. Oleh karna itu yang kita lakukan
bagaimana menyadarkan kepada masyarakat agar lebih memahami politik dengan baik.
Politik yang disandarkan pada nilai kearifan lokal yang kita miliki yaitu politik kekeluargaan.
Atau istilah lainnya adalah demokrasi kekeluargaan bukan demokrasi liberal ala barat yang
tidak sesuai dengan karakter masyarkat wakatobi. sehingga wakatobi akan terbangun budaya
politik yang indah dan dinamis yang tetap menjaga hubungan kekeluargaannya.

Dokumen yang terkait

STUDI PERENCANAAN RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG KEC. PULAU LAUT UTARA KAB. KOTABARU KALIMANTAN SELATAN

0 20 2

STUDI EVALUASI KAPASITAS LAHAN PARKIR DI KAWASAN PASAR INPRES KAB. MUARA ENIM

1 39 2

HUBUNGAN BOBOT BADAN TERHADAP HEN DAY PRODUCTION (HDP) DAN TELUR TETAS (HE) PADA BROILER PARENT STOCK STRAIN LOHMANN DAN COBB 500 DI DESA WONOREJO KEC. LAWANG KAB. MALANG

3 69 1

PENGARUH PELATIHAN PENDAMPINGAN SUAMI TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PADA IBU INPARTU PRIMIGRAVIDA KALA I FASE LATEN DI RS BERSALIN DEWI SARTIKA DAN RSUD IBNU SINA KAB. GRESIK

1 30 27

ANALISIS DIAGNOSIS KEPERAWATAN PADA KLIEN Ny.S DENGAN HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR NON KETOTIK (HHNK) (STUDI KASUS DI RUANG 26 RSU Dr.SAIFUL ANWAR KAB. MALANG)

4 46 16

PERANAN PEMERINTAH DALAM KASUS SENGKETA TANAH ANTARA PT. MAKIN GROUP DAN MASYARAKAT (Studi Kasus Perebutan Lahan Lokasi Transmigrasi VI/G dan Mekanisme Penyelesaiannya) DI KECAMATAN PARENGGEAN KAB. KOTA WARINGIN TIMUR KALIMANTAN TENGAH

0 73 2

ANALISIS PERBEDAAN PENDAPANAN USAHA TANI JAGUNG SISTEM PANEN SENDIRI DAN SISITEM PANEN TEBATASAN DI DESA BALONGBESUK KECAMATAN DIWEK KAB. JOMBANG

0 12 68

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEJADIAN INFEKSI YANG SERING TERJADI DENGAN ANTIBIOTIK YANG SERING DIRESEPKAN PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSD dr. SOEBANDI KAB. JEMBER Periode 1 Januari – 31 Desember 2011

0 36 17

Studi kasus hadis-hadis yang mempunyai sebab secara khusus pada buku hadits Nabi yang tekstual dan kontestetual; Tela'ah Ma'ani al-hadits tentang ajaran Islam yang Universal, temporal, dan lokal karya m. Syuhudi Ismail

40 166 85

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68