EVALUASI SISTEM MITIGASI PENANGANAN BENC

EVALUASI SISTEM MITIGASI PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI DI
ACEH PADA TAHUN 2013

MUHAMMAD KAUTSAR ( 150701065 )
JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI, UIN AR-RANIRY

ABSTRACT
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh, pada hari
Selasa tanggal 2 Juli 2013, pukul 14.37 WIB diguncang gempa berkekuatan 6.2 SR. BMKG
melaporkan gempa berada dengan koordinat 4.70 LU, 96.61 BT, 35 Km barat daya Bener
Meriah pada kedalaman 10 kilometer. Lokasi gempa diperkirakan di sekitar Kecamatan
Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah berbatasan dengan Kecamatan Ketol, Kabupaten
Aceh Tengah. Berdasarkan Laporan posko BNPB, gempa ini mengakibatkan korban jiwa di
Kabupaten Aceh Tengah sebanyak 34 orang meninggal dunia, 92 orang luka berat dan 352
orang luka ringan dengan jumlah pengungsi sebanyak 48.563 jiwa. Di Kabupaten Bener
Meriah mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 8 orang, 52 orang luka berat, dan 62
orang luka ringan dengan jumlah pengungsi sebanyak 4.776 jiwa.
Kerusakan yang diakibatkan gempa bumi tersebut berdampak pada sektor permukiman,
infrastruktur, sosial, ekonomi dan lintas sektor yang mengakibatkan terganggunya aktivitas dan
layanan umum di wilayah terdampak bencana.
Berdasarkan hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilaksanakan oleh BNPB

dengan melibatkan Kementerian/ Lembaga sektor terdampak dan Satuan Kerja Pemerintah
Kabupaten (SKPK) Aceh Tengah dan Bener Meriah, gempa bumi sudah mengakibatkan
kerusakan dan kerugian sebesar Rp.1,419 Triliun. Kerusakan dan kerugian terbesar terjadi pada
sektor permukiman sebesar Rp.679,33 milyar (47,87%), sektor sosial sebesar Rp.380,98 milyar
(26,85%), sektor infrastruktur sebesar Rp.229,57 milyar (16,18%), lintas sektor sebesar
Rp.75,79 milyar (5,34%) dan ekonomi produktif sebesar Rp.53,43 milyar (3,77%).
Akibat dampak kerusakan dan kerugian, diperkirakan total kebutuhan pendanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah
mencapai Rp.1,011 triyun, masing-masing Kabupaten Aceh Tengah sebesar Rp.862,789 miliar
dan Kabupaten Bener Meriah sebesar Rp.148,345 miliar. Kebutuhan pemulihan di peruntukkan

bagi pendanaan sektor permukiman sebesar Rp.530,951 miliar (52,51%), sektor sosial sebesar
Rp.266,854 miliar (26,39%), sektor infrastruktur sebesar Rp.143,970 miliar (14,24%), lintas
sektor sebesar Rp.36,787 miliar (3,74%) dan sektor ekonomi sebesar Rp.32,569 miliar
(3,22%).
PENDAHULUAN
Gempa bumi berkekuatan 6,2 SR telah terjadi pada tanggal 2 Juli 2013 sekitar pukul
14.22 wib di dua Kabupaten Provinsi Aceh yaitu Aceh Tengah dan Bener Meriah. Dampak
gempa tersebut telah mengakibatkan terjadinya kerusakan rumah, infrastruktur, longsor dan
pengungsian dari kedua Kabupaten tersebut. Meskipun pusat gempa berada 53 Km barat daya

Kabupaten Bener Meriah dengan kedalaman 10 km, namun tingkat kerusakan justru lebih
banyak dan luas di Kabupaten Aceh Tengah dengan cakupan dampak mencapai 12 kecamatan
232 desa sedangkan di Kabupaten Bener Meriah gempa mengguncang sekitar 115 desa dari 4
Kecamatan yang ada.
Gempa juga telah meluluhlantakkan beberapa bangunan pemukiman dan merusak
infrastruktur dan bangunan yang bernilai triliyunan rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
mitigasi bencana belum efektif dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
tersebut. Untuk mencegah bencana gempabumi secara mutlak memang sangat mustahil untuk
dilakukan. Namun manusia bisa berusaha mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi
pengaruh dari suatu bahaya sebelum gempa bumi itu terjadi lagi. Untuk itu perlu dilakukan
strategi mitigasi bencana sehingga korban jiwa dan kerugian materil akibat bencana alam
gempabumi dapat diminimalisir.
MITIGASI (Reduksi)
Tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mereduksi dampak bencana baik dampak ke
komunitas yaitu jiwa, harta benda, maupun dampak ke infrastruktur. Dalam kaitan dengan
waktu, tindakan mitigasi hampir mirip dengan tindakan preventif (Kodoatie,Robert J.,dan
Sjarief Roestam, 2006). Rencana tindakan untuk mitigasi bencana untuk negara-negara
berkembang dalam 10 petunjuk prinsip mitigasi bencana seperti dalam Tabel 1.

Tabel petunjuk prinsip mitigasi bencana (ADB, 1990)

No
1

Uraian

Substansi
(Aspek)

Bencana memberikan kesempatan yang langka dan khusus untuk
memperkenalkan tindakan mitigasi.

2

Mitigasi dapat diperkenalkan dengan 3 macam konteks : rekonstruksi,
investasi baru dan kondisi lingkungan yang ada. Masing-masing
menunjukkan kesempatan yang berbeda untuk mengenalkan tindakan-

Inisiasi

tindakan mitigasi.

3

Tindakan mitigasi adalah kompleks dan interdependen, dan mencakup
tanggung jawab yang besar dan luas. Oleh karena itu kepemimpinan yang
efektif dan koordinasi adalah penting untuk menciptakan keberhasilan.

4

Mitigasi akan menjadi sangat efektif jika tindakan-tindakan mitigasi
bencana disebarluaskan melalui variasi-variasi kegiatan-kegiatan atau
aktifitas-aktifitas terpadu.

5

Tindakan mitigasi aktif yang mengandalkan pada insentif akan lebih

Pengelolaan

efektif daripada tindakan mitigasi pasif yang berdasarkan hukum dan
pengendalian yang ketat.

6

Mitigasi harus terintegrasi dan tidak terisolasi atau terabaikan dari elemen
perencanaan bencana terkait, seperti kesiap-siagaan, pertolongan dan
rekonstruksi. Artinya mitigasi merupakan bagian integral yang penting
dari proses pengelolaan bencana.

7

Dalam kondisi sumber daya yang terbatas, prioritas harus diberikan untuk
perlindungan kelompok sosial penting, pelayanan kritis dan sektor-sektor
ekonomi vital.

8

Tindakan mitigasi perlu dimonitor dan dievaluasi secara kontinyu untuk
merespon perubahan pola-pola bencana, kerentanan dan sumber daya.

9


Penentuan
Prioritas
Monitoring dan
evaluasi

Tindakan mitigasi harus berkelanjutan sehingga mencegah timbulnya rasa
apatis masyarakat selama waktu yang panjang antara bencana-bencana
besar.

10

Komitmen politis adalah penting untuk permulaan (inisiasi) dan
pemeliharaan kelangsungan (keberlanjutan) mitigasi.

Institusionalisasi

PENGANTAR KONSEP-KONSEP MITIGASI
Konsep mitigasi bencana dalam perencanaan pembangunan bisa melindungi prestasi
pembangunan dan membantu masyarakat dalam melindungi diri sendiri. Konsep mitigasi
meliputi (Coburn, Spence dan Pomonis, 1994) :

1. Tahap pertama yang penting dalam setiap strategi mitigasi adalah memahami sifat bahayabahaya yang mungkin akan dihadapi.

2. Daftar dan urutan bahaya-bahaya sesuai dengan kepentingan untuk setiap negara dan
daerah, bahkan bahaya bencana bisa bervariasi dari desa ke desa. Kajian-kajian dan
pemetaan bisa membantu mengidentifikasikan bahayabahaya yang paling signifikan di
setiap area.

3. Memahami bahwa setiap bahaya memerlukan pemahaman tentang :
a. Penyebab-penyebabnya.
b. Penyebaran geografisnya, ukuran atau keparahan, dan kemungkinan frekuensi
kemunculannya.
c. Mekanisme kerusakan fisik.
d. Elemen-elemen dan aktivitas yang paling rentan terhadap kerusakan.
e. Kemungkinan konsekuensi sosial dan ekonomi dari bencana.

4. Mitigasi tidak hanya menyelamatkan hidup dan yang terluka dan mengurangi
kerugiankerugian harta benda, akan tetapi juga mengurangi konsekuensi-konsekuensi yang
saling merugikan dari bahaya-bahaya alam terhadap aktivitas-aktivitas ekonomi dan sosial.

5. Jika sumber-sumber mitigasi terbatas, maka harus ditargetkan pada yang paling efktif untuk

elemen-elemen yang paling rentan dan mendukung tingkat aktivitas-aktivitas masyarakat
yang ada.

6. Penilaian kerentanan merupakan aspek penting dari perencanaan mitigasi yang efektif.
Kerentanan secara tidak langsung menyatakan kerawanan terhadap kerusakan fisik dan
kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber daya untuk pemulihan yang cepat.

7. Untuk mengurangi kerentanan fisik elemenelemen yang lemah bisa dilindungi atau
diperkuat. Untuk mengurangi kerentanan institusiinstitusi sosial dan kativitas-aktivitas
ekonomi, infrastruktur perlu dimodifikasi atau diperkuat atau pengaturan-pengaturan
institusi dimodifikasi.

8. Elemen-elemen yang paling beresiko
a. Kumpulan bangunan yang lemah dengan tingkat hunian yang tinggi.
b. Tanah, pecahan batu, dan bangunan dari batu tanpa diperkuat kerangka.
c. Bangunan-bangunan dengan atap yang berat.
d. Bangunan-bangunan tua.
e. Bangunan dengan kualitas rendah atau dengan konstruksi yang cacat.
f. Bangunan-bangunan tinggi yang jauh dari gempabumi, dan bangunan-bangunan yang
dibangun diatas tanah lembek, bangunan-bangunan yang ditempatkan pada lerenglereng yang lemah.

g. Infrastruktur diatas tanah atau tertanam didalam tanah-tanah yang mengalami perubahan
bentuk.
h. Pabrik-pabrik industri dan kimia juga mendatangkan resiko sekunder.

9.

Strategi-strategi mitigasi utama
a. Rekayasa bangunan-bangunan untuk menahan kekuatan getaran.
b. Undang-undang bangunan gempa dan peraturan tata guna tanah.
c. Kepatuhan terhadap persyaratan-persyaratan undang-undang bangunan dan dorongan
akan standar kualitas bangunan yang lebih tinggi.
d. Konstruksi dari bangunan-bangunan sektor umum yang penting menurut standar tinggi
dari rancangan teknik sipil.
e. Memperkuat bangunan-bangunan penting, yang diketahui rentan.
f. Perencanaan lokasi untuk mengurangi kepadatan penduduk didaerah-daerah geologi
yang diketahui dapat melipatgandakan getaran bumi.
g. Asuransi.
h. Penetapan zona gempa.

10. Partisipasi masyarakat

a. Konstruksi bangunan tahan gempa dan keinginan untuk bertempat tinggal didalam
rumah yang aman terlindung dari kekuatan gempa.

b. Kesadaran akan resiko gempabumi.
c. Aktivitas-aktivitas

dan

pengaturan

isi

bangunan

dilakukan

dengan

selalu


mempertimbangkan adanya kemungkinan getaran bumi.
d. Sumber-sumber kebakaran yang terbuka, peralatan yang berbahaya dan sebagainya
dibuat stabil dan aman.
e. Pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan pada saat terjadi gempa.
f. Partisipasi dalam latihan-latihan gempabumi, praktek-praktek, program-program
kesadaran umum.
g. Kelompok-kelompok aksi masyarakat terhadap perlindungan sipil. pelatihan pemadam
kebakaran dan bantuan pertama.
h. Persiapan memadamkan kebakaran, alatalat penggalian, dan peralatan perlindungan
sipil lainnya.
i. Rencana pelatihan anggota-anggota keluarga pada tingkat keluarga.

METODE PENELITIAN
Pendekatan bottom-up yaitu Sistem Informasi menerima tanggapan dari kebutuhan
nyata yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Tujuan pendekatan metoda ini untuk
menjamin agar sistem yang akan dikembangkan benar-benar mencerminkan kebutuhan
pemakai.

LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

KETERSEDIAAN DATA
1. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan pengumpulan data-data pendukung seperti data
pustaka di peroleh dari literatur-literatur, publikasi seminar, makalah dari internet dan media
cetak/elektronik yang dapat dipertanggung-jawabkan.

LANGKAH PENELITIAN
Dalam penelitian ini, ada 4 (empat) tahapan yang dilakukan, adalah:
1. Tahap awal melakukan pemilihan lokasi, penentuan sample, penyiapan kuisioner, studi
pustaka dan pembahasan metodologi yang akan dipakai.

2. Kegiatan pengumpulan data dan penentuan kriteria pengamatan, meliputi aspek teknis
(kerusakan bangunan dan jumlah korban) dan aspek non teknis (sosial, ekonomi, upaya
perbaikan dan sistem IMB pasca bencana). Data kerusakan bangunan dan jumlah korban
jiwa didapat dari pengamatan langsung di lapangan dan dari instansi pemerintah terkait,
sedangkan data non teknis diperoleh dengan melakukan wawancara dan penyebaran
kuisioner pada responden.

3. Penyusunan perencanaan dan pelaksanaan strategi mitigasi adalah :
a. Pengelompokkan data, menjadi dua aspek, yaitu aspek non teknis dititikberatkan pada
pengaruh kerusakan bangunan terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat dan
upaya perbaikan-perbaikan, serta sistem pengurusan IMB pasca bencana. Kriteria
penilaian berdasarkan efektif tidaknya sistem mitigasi terhadap keinginan langsung dari

masyarakat. Aspek teknis dititikberatkan elemen-elemen yang paling beresiko terhadap
bahaya gempabumi. Kriteria penilaian aspek ini lebih pada analisis dalam menilai
kekuatan dan kelemahan sample bangunan.
b. Proses Evaluasi Data, dengan memanfaatkan semua data/informasi, yang kemudian data
dievaluasi dengan cara dipadukan dan diberi penilaian berdasarkan studi
pustaka/literatur, untuk memberikan dasar-dasar teoritis dan acuan dalam memberikan
rekomendasi metode mitigasi dan penaganan bencana gempabumi kepelaksanaan yang
lebih baik.
c. Tahap Perumusan, dari hasil analisa maka dibuat suatu peringkat sasaran strategi
prioritas mitigasi yang kemungkinan dapat dikembangkan.

4. Tahap penyajian hasil, disajikan dalam bentuk rekomendasi urutan strategi prioritas mitigasi
dan penaganan bencana gempabumi di daerah penelitian dan strategi memperkuat bangunan
rumah tinggal sederhana agar tahan gempa yang konsepnya dijabarkan dalam bentuk
alternatif pembangunan rumah sederhana tahan gempa.

HASIL PENELITIAN
Gempa Aceh 2 Juli 2013 terjadi di Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah berada
di tengah-tengah pulau Sumatra yang termasuk zona sesar aktif yang dinamakan zona sesar
Sumatra (Sumatra Fault Zone/SFZ). Sejak tahun 1892, di kawasan tersebut belum tercatat
adanya gempa di atas magnitudo 6 sehingga kawasan tersebut masuk dalam kawasan seismic
gap atau kawasan yang aktif secara tektonik namun sudah lama tidak terjadi gempa. 2 Juli 2013
kemaren, SFZ segmen Aceh ini melepaskan energi gempa. Gempa Aceh ini masuk dalam
kategori gempa tektonik karena sumbernya di SFZ di darat atau masyarakat lebih mengenalnya
dengan gempa darat.
Isu Gunung Api
Setelah gempa bumi Aceh ini terjadi, masyarakat sekitar zona gempa ditakutkan oleh
isu meletusnya gunung api dan isu sumber gempa yang berasal dari gunung api. Kekhawatiran
masyarakat ini dikarenakan pemahaman masyarakat tentang gunung api yang kurang.
Seadainya jauh hari sebelumnya masyarakat sudah diberikan pemahaman tentang gunung api,
tentu ke khawatir ini tidak terjadi. Perbedaan yang cukup menonjol tentang gempa gunung api

(vulkanik) dengan gempa tektonik adalah dari skala gempa. Skala gempa vulkanik biasanya
sangat kecil dan tidak merusak bangunan sedangkan gempa tektonik di SFZ bisa besar dan
merusak.
Selain skala yang kecil, di Kab. Bener Meriah sudah ada Pos Pengamatan Gunung Api
Burni Telong yang melakukan pengamatan selama 24 jam, sehingga tidak ada hal yang perlu
dikhawatikan dengan gunung api tersebut. Kalaupun terjadi peningkatan aktifitas gunung api,
peningkatan ini akan terjadi secara pelan-pelan dan bertahap. Setiap tahapannya akan teramati
oleh petugas yang berada di pos pengamatan. Pengamatan apa saja yang dilakukan oleh petugas
pos pengamatan? pembaca bisa baca tulisan tentang jenis-jenis Pengamatan Gunung Api.
Kerusakan Bangunan
Gempa Aceh 2 Juli 2013 ini telah meninggalkan trauma lain bagi masyarakat yang
tinggal di sekitar zona gempa. Robohnya rumah dan bangunan yang terjadi di beberapa tempat
di Kab. Bener Meriah dan Kab. Aceh Tengah menyebabkan banyaknya korban jiwa.
Banyaknya rumah dan bangunan yang rusak ini dikarenakan sumber gempa yang cukup
dangkal atau sekitar 10 Km di bawah kaki mereka. Selain dekatnya sumber gempa dengan
permukaan, efek amplifikasi dan pemantulan gelombang gempa yang terjebak juga makin
menguatkan goncangan tanah yang merusak bangunan. Efek amplifikasi dikarenakan
bangunan tersebut berdiri di atas lapisan endapan gunung api yang lunak yang muda (berumur
plistosen).

Efek

Amplifikasi

dan

pembantulan

gelombang

gempa

(sumber:http://poetrafic.wordpress.com)

Endapan yang lunak ini akan memperkuat percepatan goncangan tanah. Efek
pemantulan gelombang gempa bumi yang terjebak antara lapisan sedimen dengan batuan dasar
juga dapat memicu fenomena resonansi gelombang gempa sehingga gelombang gempa yang
memiliki frekwensi yang sama akan saling menguatkan sehingga memiliki efek merusak yang
tinggi.

Harapannya di masa yang akan datang akan dibangun rumah-rumah tahan gempa di
setiap kawasan-kawasan rawan gempa. Untuk memetakan kawasan-kawasan rawan gempa
atau kawasan yang memiliki tingkat goncangan tanah tertinggi harus dilakukan survey
geofisika terlebih dahulu seperti pernah penulis jelaskan pada tulisan Peran Geofisika (Fisika
Bumi) Dalam Mitigasi dan Monitoring Bencana (II). Semoga gempa Aceh kali memberikan
ilmu dan pengalaman berharga bagi kita.
Sinkhole atau Longsor Biasa?
Selain merusak bangunan, gempa 2 Juli 2013 juga menyebabkan tanah longsor di
sepanjang jalan Bener Meriah – Takengon dan “subsidence?” di Blang Mancung Kec. Ketol
Kab. Aceh Tengah. Tanah Longsor yang terjadi di sepanjang jalan Bener Meriah – Takengon,
berkat kerja keras pihak terkait dapat dibersihkan dalam waktu beberapa jam dan tanggal 03
Juli malam ketika penulis menuju kota Takengon tanpa ada kendala yang berarti. Kejadian
yang sama sebenarnya juga terjadi di Desa Blang Mancung. Mayoritas warga yang datang ke
lokasi kejadian menyakini bahwa apa yang terjadi di Blang Mancung adalah tanah ambles
(sinkhole) dalam waktu cepat namun setelah penulis mengamati kondisi geologi dan marfologi
setempat, kejadian tanah yang turun sedalam ±50 meter tersebut lebih diakibatkan longsor
tanah biasa dan bukan sinkhole. Kejadian ini sudah terjadi sejak tahun 2006 dan gempa
beberapa hari yang lalu kembali memperluas area longsorannya.

Peta Topografi Kawasan Tanah Longsor di Desa Blang Mancung. Titik A merupakan titik
penulis mengambil photo.

Apabila kita melihat peta topografi seperti pada gambar di atas, dekat kawasan tanah longsor
tersebut sudah lama terbentuk lembah dan bukan kawasan yang rata seperti berita yang beredar
di masyarakat. Lereng-lereng labil yang terbentuk dari lapisan endapan vulkanik yang sangat
tebal. Endapan vulkanik ini akan dengan mudah longsor ketika getaran gempa bumi
menganggu kestabilan lereng tersebut. Karena ini merupakan longsoran biasa, masyarakat
diharapkan tidak perlu panik dan sangat disarankan agar masyarakat tidak mendekati kawasan
yang sudah longsor tersebut.

EVALUASI SISTEM MITIGASI
Evaluasi sistem mitigasi dan Evaluasi dampak bencana
a. Mengingat sifat serangan terjadinya gempabumi secara seketika dan pertimbangan
besarnya jumlah korban tewas dan lukaluka serta besarnya tingkat kerusakan yang
ditimbulkan, sehingga dinilai bahwa sistem peringatan dini berupa informasi terjadinya
gempa tidak efektif .
b. Sosial masyarakat, kebanyakan warga terpaksa jadi pengungsi dan tinggal ditendatenda darurat (86%), Hasil kuisioner menunjukkan bahwa penanggulangan bencana
dari segi penanganan sosial masyarakat belum efektif dalam melindungi dan
meringankan penderitaan masyarakat.
c. Ekonomi masyarakat, dampak bencana gempabumi juga mengakibatkan aktifitas
kehidupan disektor ekonomi terhenti (48%), kehilangan rumah usaha (14%) dan
hancurnya sumber penghidupan sehingga daya beli warga sangat rendah. Berdasarkan
hasil kuisioner menunjukkan bahwa penanganan ekonomi masyarakat belum efektif
dalam melindungi perekonomian masyarakat agar dapat cepat pulih seperti sediakala.
d. Inisiatif Masyarakat Dalam Pengelolaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bangunan
Rumah.
e. Sistem pengurusan perijinan mendirikan bangunan (IMB) pasca bencana.
f. Jenis kerusakan bangunan dari segi arsitektur, ditemui banyak bangunan permanen
beratap genteng, dibuat dalam denah bentuk segi empat (100%), namun atap, dinding
dan elemen bukaannya tidak satu kesatuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
sebagian besar rumah tembokan sangat rentan terhadap goncangan gempa.

g. Penyebab kegagalan bangunan ditinjau dari penggunaan bahan bangunan dan struktur.
sebagian besar rumah masyarakat menggunakan mutu bahan bangunan dibawah
standar, dan menggunakan metode konstruksi atau sistem perkuatan yang tidak
memadai, atau belum menggunakan struktur rumah tahan gempa.

ALTERNATIF SYARAT MINIMUM RUMAH TAHAN GEMPA

Gambar 5. Syarat minimum bangunan rumah tinggal sederhana tahan gempa
Syarat minimum rumah tahan gempa
Atap
- Penutup
atap
harus diikat pada
dudukannya
- Rangka kuda kuda harus kuat
menahan beban
atap
- Rangka kuda kuda
perlu
diangkerkan pada
pendukungnya
yaitu pada kolom
atau ring balk
agar kokoh dan
kuat
menahan
pengaruh angin
- Pada
arah
memanjang atap

Struktur Rangka
KOLOM
- Bangunan sebaiknya
menggunakan kolom
beton bertulang
- Kolom
diangker
pada sloof atau
diteruskan
pada
pondasi
- Setiap bagian ujung
atas
kolom
diikat/disatukan
dengan ringbalk.
- Sloof, balok dan
kolom
disarankan
memiliki hubungan
kuat dan kokoh.
BALOK

Dinding
- Disetiap
pertemuan
dinding
diberi
perkuatan
kolom praktis
- Dinding di angkerkan pada kolom
- Dinding
ampig
memerlukan
perkuatan rangka
beton bertulang
- Dinding
diberi
kolom dan balok
pengikat
- Jumlah
lebar
bukaan dalam satu
bidang sebaiknya
tidak lebih dari
setengah panjang

Pondasi
- Dasar
pondasi
terletak > 50 cm
dibawah
permukaan
tanah
sampai mencapai
tanah asli yang
keras
- Pondasi
dibuat
menerus keliling
bangunan
tanpa
terputus
- Pondasi
perlu
dipasang
balok
pengikat/sloof disepanjang pondasi
- Sloof dari beton
bertulang diangkerkan (∅ min 12 mm)

harus diperkuat dengan
ikatan
angin
antara
rangka kuda kuda.
-

Balok terdiri dari
Ring Balk dan balok
latei,
sebagai
penguat horisontal,
Ring balk perlu
diikat pada kolom
sehingga
dinding
kua

dinding, bila terjadi
sebaiknya diberi
penguat
dinding
seperti balok latei

ke pondasi pada
tiap jarak 1,50 m

TINGKAT SASARAN STRATEGI PRIORITAS
1. Elemen Pembentuk Rumah Tahan Gempa
Tabel Tingkat sasaran strategi prioritas elemen bangunan tahan gempa
No
I

II
III
IV

V
VI

Faktor
Elemen Bangunan
Pondasi
Faktor
Pengaruh elemen terhadap kekuatan
2
bangunan dalam menahan gaya
lateral dan gaya guncangan
Sistem pendetailan pengerjaan
2
elemen
Pengaruhnya terhadap kekuatan
3
struktur bangunan
Unsur
pembentuk
elemen
3
menggunakan
material/bahan
bangunan yang berkualitas dan
sesuai komposisi campurannya
Pengaruh elemen dengan perkuatan
4
elemen yang lain
Pengaruh kerusakan elemen dengan
4
elemen pembentuk lain
Total
18
Alternatif Penilaian
III

Struktur
Rangka
3

=4

Cukup penting (pengaruhnya sedang)

=3

Kurang penting (pengaruhnya kecil)

=2

4

4

4

4

3

4

4

4

4

3

2

22
I

21
II

Penilaian Faktor :
Penting (pengaruhnya besar)

Atap

2. Sistem Mitigasi Bencana Gempabumi
Tabel Tingkat sasaran strategi prioritas mitigasi bencana gempabumi

No

Faktor Stategi

Bobot

Nilai

1

Sosialisasi
tentang
pengetahuan
resiko
gempabumi dan pengelolaan
penanggulangan
bencana
gempabumi
Penyuluhan dan pelatihan
mengenai program upaya
penyelamatan
dan
kewaspadaan
masyarakat
terhadap gempabumi
Persiapan dan penyediaan
peralatan untuk peringatan
bahaya kegempaan dan
peralatan
perlindungan
masyarakat lainnya ditingkat
desa/kelurahan (tenda,tikar,
dll)
Peningkatan
penanganan
dan pelayanan pengungsi
korban bencana gempabumi
Penyediaan
anggaran
pengelolaan
bencana
ditingkat desa/kelurahan
Sosialisasi mengenai standar
bangunan tahan gempa

7,14

1

2

3

4

5

6

Jumlah

Jumlah

Peringkat

14,29

III

TindakanTindakan Mitigasi
Tindakan
Masyarakat
(Pendidikan &
Pelatihan

7,14

1

7,14

1

7,14

V

Tindakan Institusi
dan Manajemen
(Sistem Peringatan
Dini)

28,57

2

57,14

II

Tindakan Sosial

14,29

1

14,29

IV

Tindakan Ekonomi

35,71

3

107,14

I

Tindakan
Konstruksi

100

Sistem Penilaian Faktor :
Pengaruhnya Besar = 3 (> 30)
Pengaruhnya Sedang = 2 (20>x≥30)
Pengaruhnya Kecil = 1 (≤20)
KESIMPULAN
Gempa bumi 6,2 SR dengan kedalaman 10 km mengguncang wilayah Aceh pada Selasa
(2/7) pukul 14:37:03 WIB. Pusat gempa di daratan berada 35 km barat daya Kabupaten Bener
Meriah atau 43 km Tenggara Kab. Bireuen, atau 50 km Barat Laut Kab. Aceh Tengah. Gempa
terasa sangat kuat selama 15–45 detik oleh warga Bener Meriah dan Aceh Tengah. Masyarakat
panik dan berhamburan ke luar rumah.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat gempa ini
berkekuatan 6 MMI (kuat), sedangkan menurut Badan Geologi Amerika Serikat, kekuatannya
mencapai 7,4 MMI yang artinya sangat kuat. Dengan intensitas gempa 7,4 MMI, bangunan
yang tidak dibangun dengan konstruksi tahan gempa berpotensi mengalami kerusakan.
Sumber gempa berasal dari sesar aktif di daratan pada segmen Aceh dari sesar Sumatera
atau Sesar Semangko. Sesar Sumatera memiliki 19 segmen dengan panjang keseluruhan 1.900
km, sangat aktif dan berupa strike-slip atau sesar geser. Sebelumnya, di daerah sesar tersebut
pernah terjadi gempa bumi 6,0 SR pada 22 Januari 2013 di Pidie, yang menyebabkan korban
satu orang meninggal dunia dan tujuh orang luka-luka.
Gempa 6,2 SR yang terjadi kemarin tidak memberikan pengaruh pada aktivitas
Gunungapi Bur Ni Telong di Kab. Bener Meriah. PVMBG melaporkan bahwa pada 2 Juli 2013
terdapat 85 gempa vulkanik dalam, 71 gempa vulkanik dangkal, 73 gempa tektonik. Sedangkan
pada 3 Juli 2013 terjadi 13 gempa vulkanik dalam, 21 gempa vulkanik dangkal, dan 17 gempa
tektonik. Dengan demikian, kondisi Gunungapi Bur Ni Telong tetap NORMAL.
Hingga Rabu (3/7) siang, terjadi gempa susulan sebanyak 16 kali, di mana gempa yang
cukup besar terjadi dua kali. Gempa susulan pertama terjadi pada pukul 20:55:38 WIB dengan
kekuatan 5,5 SR dan pusat gempa berada di Barat Daya Kab. Bener Meriah, Aceh. Gempa
bumi susulan berikutnya terjadi pukul 22:36:44 WIB dengan kekuatan 5,3 SR dan pusat gempa
berada di Barat Daya Kab. Bener Meriah, Aceh. Gempa susulan membuat panik masyarakat.
Data dampak yang berhasil dihimpun hingga Rabu (3/7) pukul 15.00 WIB sebagai
berikut:
Dampak keseluruhan:
Total korban 24 orang meninggal dunia, dua orang hilang, dan 249 orang luka-luka.
Korban luka-luka semuanya dirawat di RSUD dan puskesmas serta sebagian rawat jalan.
Dampak di Kab. Bener Meriah:


Jumlah korban meninggal dunia 14 orang



Korban luka-luka di Muyan Kute 43 orang, di Puskesmas Pante Raya 50 orang, di
Puskesmas Lampaha 16 orang.



Dua orang dinyatakan hilang.



75 bangunan dan rumah rusak (masih dalam pendataan); infrastruktur jalan rusak dan
tertimbun tanah longsor.

Dampak di Aceh Tengah:


10 orang meninggal dunia



Luka-luka 140 orang



300 bangunan dan rumah mengalami kerusakan (masih pendataan). Beberapa akses
jalan tertutup tanah longsor. Di Takengon sudah didatangkan dua buldozer untuk
penanganan jalan.

Penanganan darurat masih dilakukan. Beberapa upaya yang dilakukan pada tanggal 2 Juli
2013 adalah:
2. Posko BNPB terus berkoordinasi dengan BPBA Aceh, BPBA Bener Meriah, BPBA
Aceh Tengah.
3. Kepala BNPB melaporkan kepada Presiden mengenai dampak dan penanganan gempa
Aceh pada Selasa (2/7) pukul 18.00 WIB.
4. Presiden menginstruksikan kepada Kepala BNPB dan aparat terkait untuk
melaksanakan penyelamatan terhadap korban dan mengerahkan potensi yang ada
membantu penanganan gempa di Aceh.
5. BNPB, SRC PB, Kemenkes, Kemensos, dan Kemen PU berangkat ke Aceh pada
Selasa, 19.00 WIB menggunakan pesawat charter Susi Air untuk melakukan koordinasi
dan kaji cepat dengan pemda. BNPB memberikan pendampingan (memperkuat) pemda
dalam penanganan bencana.
6. BPBA, TNI, Polri, SKPD dan PMI di daerah melakukan upaya pencarian,
penyelamatan korban, dan distribusi bantuan.
Upaya pada Rabu (3 Juli 2013) adalah:
2. Tim BNPB, SRC PB, Kemensos, Kemenkes, dan Kemen Pu menuju Bener Meriah
melakukan koordinasi dengan Bupati Bener Meriah.
3. Masa Tanggap Darurat di Bener Meriah ditetapkan satu minggu (3-9 Juli 2013).
Selanjutnya akan dievaluasi sesuai dengan kondisi di lapangan.

4. BNPB mengirimkan:
1. Helicopter Collibri TNI AU yang berada di Pekanbaru ke Aceh untuk
membantu penyelamatan dan pencarian korban, khususnya di daerah perbatasan
antara Bener Meriah dan Aceh Tengah.
2. Pesawat CN 235 ke Aceh untuk melakukan foto udara dan kaji cepat dampak
kerusakan akibat gempa.
5. Pasukan TNI/Polri sebanyak 1.524 personil siap digerakkan ke Aceh jika diperlukan.
Pasukan tersebut masih berada di Riau untuk melakukan penanganan bencana asap di
Riau.
6. Menkokesra, Mensos, Sestama BNPB, eselon satu Kemen PU dan eselon 1 Kemenkes
berangkat ke Aceh pada pukul 10.00 WIB.
SARAN –SARAN
Untuk mengefektifkan sistem mitigasi dan penanganan bencana gempabumi
berdasarkan keinginan masyarakat (Bottom-Up) dapat dilakukan dengan :
1.

Tindakan Konstruksi
a. Peningkatan kualitas dan keamanan rumah, dengan mengetahui urutan prioritas
elemen utamanya yaitu struktur rangka (sloof, kolom dan pondasi), atap dan pondasi,
yang dibuat menjadi satu kesatuan yang kuat.
b. Sosialisasi mengenai standar minimum rumah tahan gempa.

2.

Tindakan Sosial
a. Peningkatan koordinasi pihak terkait dalam pelaksanaan evakuasi/pengungsian bila
terjadi bencana alam.
b. Peningkatan penanganan/pelayanan pengungsi, terutama penyaluran bantuan logistik,
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial lainnya.
c. Perlu ada persiapan dan penyediaan peralatan untuk peringatan bahaya kegempaan,
penyediaan peralatan pemadam kebakaran, peralatan penggalian dan peralatan
perlindungan masyarakat lainnya (terpal, tenda dan lain-lain) di tingkat pedukuhan.

3.

Tindakan Masyarakat (pendidikan dan pelatihan)
a. Sosialisasi pengenalan kondisi lingkungan geologi.
b. Memberi pendidikan mulai dari lingkungan sekolah hingga ke lingkungan masyarakat
dengan melakukan latihan-latihan atau praktek-praktek emergensi/evakuasi.

c. Membentuk Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) ditingkat
desa/kelurahan, agar dapat menangani bencana secara cepat sebelum pihak bantuan
datang.
d. Mempertahankan semangat tradisi gotong royong.
4.

Tindakan ekonomi
a. Penyediaan anggaran pengelolaan bencana di tingkat desa/kelurahan.
b. Sosialisasi asuransi sebagai salah satu alat perlindungan ekonomi utama kepada
masyarakat yang mempunyai usaha industri kecil.

5.

Tindakan Institusi dan manajemen (sistem peringatan dini)
a. Perbanyak jaringan pengamatan, juga menambah dan memperbaiki fasilitasfasilitas
pendukung

dan

semakin

sering

mengevaluasi

hasil

ramalannya

dan

membandingkannya dengan kejadian sebenarnya.
b. Mengembangkan rencana pendanaan masyarakat untuk program rekonstruksi jangka
panjang.
c. Memperketat peraturan-peraturan melalui sistem perijinan dalam mendirikan
bangunan (IMB), dan sosialisasi IMB perlu ditingkatkan sampai ditingkat kelurahan
dan pedukuhan.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.bnpb.go.id/dampak-gempa-aceh-tengah-mencapai-rp-1-38-trilyun, 9 Januari
2018, 14.10 wib
https://bnpb.go.id/rencana-aksi-gempa-bumi-kabupaten-aceh-tengah-dan-bener-meriah, 9
Januari 2018, 14.11 wib
https://bnpb.go.id/rilis-pers-dampak-dan-penanganan-bencana-gempa-bumi-6-2-sr-di-benermeriah-dan-aceh-tengah, 9 Januari 2018, 14.11 wib
http://www.ibnurusydy.com/belajar-dari-gempa-2-juli-2013-kab-bener-meriah-dan-acehtengah/#ixzz53logARvh,, 10 Januari 2018, 16.13 wib