Chapter II Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA
KEJAHATAN KEMANUSIAAN

2.1. Pengertian HAM
HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia
adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh
berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan
karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu
merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara menurut John
Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara
kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke
menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang
merupakan anugrah atau pemberian langsung dari Tuhan Yang Maha Esa.
secara filosofis, pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana
publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral
yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat
dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan
perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai di jaman

sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu
sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus. 14

14

Shaw Malcolm N, International Law. Cambridge University Press, New York, 2008.

hal. 67.

Universitas Sumatera Utara

Hak asasi manusia (HAM) sebagai hak dasar yang dimiliki manusia
semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai
makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak
bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik
tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai
manusia.
Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang
pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh
pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada

pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi
manusia terus berlangsung sepanjang kehidupan umat manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar terhadap
perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak
hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara maupun
melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara
sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.
Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu
hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas
bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat
Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui
pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

Pengertian Hak Asasi Manusia di Indonesia secara tertuang pada UU No
39/1999, “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan

setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Kebebasan yang dimiliki manusia secara kodratnya melekat pada diri manusia dan
membuat manusia sadar akan keinginannya untuk hidup bahagia. Akal budi dan
nuraninya,

mendapat

kebebasan

untuk

memutuskan

sendiri

apa

yang

diinginkannya. Yang kemudian diimbangi rasa tanggung jawab atas apa yang

dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi
Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam
kandungan yang membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia
hidup bahagia. Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat.
Dalam perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh
maknanya dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang
khususnya setelah terbentuk Negara.
Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran akan perlunya
Hak Asasi Manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul akibat
adanya Negara, apabila memang pengembangan diri dan kebahagiaan manusia
menjadi tujuan. Berdasarkan penelitian hak manusia itu tumbuh dan berkembang
pada waktu Hak Asasi Manusia itu oleh manusia mulai diperhatikan terhadap
serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh Negara.
Negara Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar

Universitas Sumatera Utara

manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia,
karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu,
Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik Indonesia berkewajiban secara

hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk melindungi, memajukan dan
mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak Asasi Manusia dan
kebebasan dasar manusia.
Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai piagam atau
konstitusi sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di inggris. Pada
masa raja Inggris John Lackland (1199-1216) memerintah secara sewenangwenang telah timbul protes keras dikalangan para bangsawan. Protes tersebut
melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama Magna Charta. Di
dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas hanya
memuat jaminan perlindungan terhadap hak-hak kaum bangsawan dan gereja.
Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara raja Charles I dengan
parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (The House of Commons) yang
menghasilkan petition of rights. Petisi ini membuat ketentuan bahwa penetapan
pajak dan hak-hak istimewa harus dengan izin parlemen, dan bahwa siapapun
tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan-tuduhan yang sah. Perjuangan hak asasi
manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689 ketika Raja Willem III
revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru kehidupan demokrasi di
Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan raja ke parlemen.
Pemikiran John Locke mempengaruhi Montesquieu dan Rousseau, sehingga
mereka menentang kekuasaan mutlak raja. Montesquieu menyusun teori trias


Universitas Sumatera Utara

politica, yaitu konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan
bahwa Negara dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain
termasuk oleh raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat
tertindas ,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.
Pemerintahan raja yang sewenang-wenang dan kaum bangsawan yang
feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa
pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat Perancis baru berani
membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan
bangsa Perancis. Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat
Perancis baru berani membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional
sebagai perwakilan bangsa Perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah
strukturnya dari feodalistis menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah
pemerintah baru.
Istilah Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari; droits de L’homme
(Perancis), human rights (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda). Di
Indonesia, hak asasi umumnya lebih dikenal dengan istilah ‘hak-hak asasi’
sebagai terjemahan dari basic rights (Inggris), grond rechten (Belanda), atau bisa

juga disebut sebagai hak-hak fundamental (fundamental rights, civil rights)
Menurut Usman Surur, 15 Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian tiga buah kata,
yaitu :

15

Usman Surur, Dasar-dasar HAM, bahan Kuliah Diklat HAM. Jakarta: Direktorat
Jenderal HAM, 2008, hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

1.

Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa
Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan
kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan

2.

Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip, maksudnya

sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan tidak boleh tidak
ada

3.

Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang
Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau
memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari
kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin. Berdasarkan
rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia adalah
sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi
Menurut Prof. Mr. Koentjoro Poerbapranoto (1976), hak asasi adalah hak

yang bersifat asasi, artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya
yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci. Jadi, hak asasi
dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai
anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari
eksistensi pribadi manusia itu sendiri
Berdasarkan pandangan Para tokoh seperti John Locke, Aristoteles,

Montequieu dan J.J. Rousseau, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak asasi
mencakup :
1.

Hak kemerdekaan atas diri sendiri

2.

Hak kemerdekaan beragama

Universitas Sumatera Utara

3.

Hak kemerdekaan berkumpul

4.

Hak menyatakan kebebasan warga negara dari pemenjaraan sewenangwenang (bebas dari rasa takut)


5.

Hak kemerdekaan pikiran dan pers
Menurut Brierly, pada dasarnya hak asasi manusia dapat dibagi menjadi:

1.

hak mempertahankan diri (self preservation)

2.

hak kemerdekaan (independence)

3.

hak persamaan pendapat (equality)

4.

hak untuk dihargai (respect)


5.

hak bergaul satu sama lain (intercourse)
Menurut Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si., beberapa macam hak asasi

dibedakan menjadi sebagai berikut :
1.

hak untuk diperlakukan dengan baik, biasanya dikenal dengan tata karma
sesuai anutan budaya yang bersangkutan

2.

hak untuk mengembangkan diri, biasanya dikenal dengan harkat untuk
mewujudkan keberadaan

3.

hak untuk memilih dan dipilih serta terpakai tenaganya dalam pemerintahan,
biasanya dikenal dengan demokrasi

4.

hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam penerapan peratuaran,
biasanya dikenal dengan persamaan di dalam hukum

5.

hak untuk memiliki, membeli, menjual dan memanfaatkan sesuatu, biasanya
dikenal dengan persamaan di dalam perlakuan ekonomi

6.

hak untuk beribadah dan menjalankan syariah agama, biasanya dikenal
dengan kebebasan beragama

Universitas Sumatera Utara

7.

hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta pengembangan
pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah

8.

hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal dengan
kebebasan berpendapat
Budiyanto menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia, yaitu

sebagai berikut : hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ;
kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan
bergerak, dan sebagainya hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak
untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya hak-hak
asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk
mendirikan partai politik, dan sebagainya hak-hak asasi untuk mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality
hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak
untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan
sebagainya hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal
penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.

2.2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum
internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan
penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan
terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas

Universitas Sumatera Utara

menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat
keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras
manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan
atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan
Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Diatur dalam Statuta Roma
dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak
asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana
diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah
Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terdapat penduduk sipil.
Kejahatan-kejahatan

terhadap

perikemanusiaan

sebagaimana

yang

dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau
sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan
tujuan: 16
1.

Pembunuhan

2.

Pemusnahan

3.

Perbudakan

4.

Pengusiran atau pemindahan penduduk

5.

Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain

6.

Menganiaya;

16

Ach. Tachir, Op.cit, hal. 290-291.

Universitas Sumatera Utara

7.

Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur,
menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk
kejahatan seksual lainnya ;

8.

Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan,
etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam
artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum
diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional

9.

Penghilangan seseorang secara paksa;

10. Kejahatan apartheid;
11. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara
sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun
mental ataupun kesehatan fisiknya.
Merujuk pendapat Bissouni:
The term of "crimes against humanity" is existed prior to World War II. It
is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the
limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of
war, since they were declared contrary to the laws of humanity.
Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the
first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great
Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in
Turkey. 17
Bassiouni

menambahkan

bahwa

jenis

kejahatan

yang

dapat

diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang
dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau

17

Lihat M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law (1999)
http://www.crimesofwar.org/thebook/crimes-against-humanity.html

Universitas Sumatera Utara

penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam
kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam
pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut
dilakukan. 18Jenis kejahatan yang disebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya
diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 (c) dari Piagam
Nuremberg (Nuremberg Charter). Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian
kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana
pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 (c) mendefinisikan
kejahatan kemanusiaan sebagai:
Murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane
acts committed against any civilian population, before or during the war,
or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or
in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal,
whether or not in violation of domestic law of the country where
perpetrated. 19
David Luban 20 menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam
pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum
nasional tertentu:
1.

Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara
sendiri atau orang asing (Crimes against humanity are typically committed
against fellow nationals as well as foreigners). Sesuai dengan sejarah Pasal
6(c) ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada
Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap

18
19

20

Bassiouni, M. C. Crimes against Humanity, Ibid
Lihat Nuremberg Charter, http://www.currentconcerns.ch/index.php?id=148, diakses 4
Februari 2014.
Luban, David, 2004, A Theory of Crimes Against Humanity, 29 Yale Journal International
Law, 85, HeinOnline.

Universitas Sumatera Utara

penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan
hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan
terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di
wilayah Austria.
Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan
kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh
tersebut di atas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu
mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya
yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum
perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan
lawan sebagai pihak lain. Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka
sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat
sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi di dalam maupun di luar
perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan
dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh
musuh kepada rakyat. 21
2.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional (Crimes
against humanity are international crimes). Pengertian dari Pasal 6 (c)
Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan
kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini
bukan dalam kategori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana

21

Untuk kejahatan ini, ada sedikit perbedaan mengenai kejahatan yang hanya dapat berlaku
sebagai kejahatan perang saja. Namun bila kejahatan itu adalah pembunuhan, perbudakan,
penyiksaan dan lain-lain, yang dapat dilakukan meski di luar perang, maka pengertian juga
dipakai. Lihat Luban, Ibid, h.94.

Universitas Sumatera Utara

kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam
Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat
berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh
berlindung di belakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan
kejahatan ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan:
Article 7:
The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible
officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them
from responsibility or mitigating punishment.
Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan
selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan
hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi
Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai
merupakan kejahatan kemanusiaan. 22Meski tindakan ini adalah retrospektif
karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh
hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan.
3.

Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisir
kelompok bertindak dengan dasar kebijakan (Crimes against humanity are
committed by politically organized groups acting under color of policy)
Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) mensyaratkan bahwa kejahatan

22

Luban, D, ibid, 95.

Universitas Sumatera Utara

terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada
hubungannya dengan "kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’,
yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang
menempati posisi tinggi sesuai jabatan.
4.

Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan
tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan (Crimes against
humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and
persecution). Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg membedakan antara dua jenis
kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri
dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak
manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang
mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban. 23 Dalam Pasal 6
(c) ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang
mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau
kejahatan lainnya yang dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya,"
sesuai Statuta Roma.

5.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban
berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter
individu (Crimes against humanity are inflicted on victims based on their
membership in a population rather than their individual characteristics).
Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan
kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu

23

Lihat kasus Regina v. Finta, [1994] S.c.R. 701, 818.

Universitas Sumatera Utara

persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan
niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan
ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan
bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa
termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang
seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud
sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatu penduduk. Luban menyatakan:
“… how large a group must be to constitute a population. Does the
population requirement mean that the crimes are committed on a large
"population-size" scale-in other words, that to qualify as crimes against
humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support
this reading of the population requirement, it might be argued that nothing
less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them
matters of worldwide rather than domestic concern.
Dari rumusan kategori tindakan crime against humanity yang di berikan
oleh Luban di atas, ada implikasinya terhadap kasus-kasus kejahatan berat yang
terjadi:
1.

Bila dilihat dari point pertama yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang
asing, memperlihatkan indikasi ada kecenderungan pelaksanaan persidangan
kejahatan kemanusiaan dalam yurisdiksi non-internasional menjadi tinggi.
Hal ini berarti kecenderungan untuk menggunakan hukum nasional juga
besar. Berdasarkan gambaran ini maka ketika ada suatu kejahatan yang
dilakukan oleh warga negara tertentu, maka pendefinisian atau pencitraan
kejahatan ini akan menjadi wewenang hukum nasional, yang pada akhirnya

Universitas Sumatera Utara

akan membawa pengertian kejahatan sebagai kejahatan dalam pengertian
hukum nasional pula. Dengan kata lain, institusi yang ada dalam hukum
nasional mempunyai wewenang untuk mengartikan kejahatan mana dapat
dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan berdasarkan penafsiran
nasional, bukan berdasarkan penafsiran hukum internasional.
2.

Pada persyaratan kedua dari Luban menyatakan bahwa Kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah kejahatan internasional ternyata memberi implikasi yang
luas dari pengertian Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg ini, karena dengan adanya
ketentuan ini, maka suatu kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan
internasional meskipun tindakan kejahatan ini dalam hukum nasional bukan
dalam kategori sebagai kejahatan kemanusiaan. Pertanyaan yang timbul dari
sini adalah siap yang berhak memberi ‘status’ suatu tindakan kejahatan
menjadi ‘terhadap kemanusiaan’? Dalam kasus di tanah air, perdebatan
mengenai hal ini sudah sering terjadi. Di satu pihak mengizinkan agar status
kejahatan kemanusiaan diterapkan sesuai dengan pengadilan ICC, namun
fakta memperlihatkan bahwa Indonesia belum meratifikasi ICC Statuta Roma
ini, sehingga penggunaannya tidak dimungkinkan. Di pihak lain, pemberian
status tidak memerlukan hukum internasional, namun dapat dilakukan sesuai
hukum nasional sebab hukum nasional juga telah menerapkan persyaratan
sesuai kebiasaan internasional. Namun demikian, hal ini masih juga menjadi
permasalahan mendasar sebab seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa
faktor politik dalam negeri banyak berperan sehingga pemberian status ini
berjalan dengan keputusan yang ‘rancu’. Begitupun dengan Pasal 7 dan 8 dari

Universitas Sumatera Utara

Piagam Nuremberg yang belum banyak dipakai sebagai pertimbangan dalam
mendapatkan pengertian ini.
3.

Pada persyaratan ketiga yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap
kemanusiaan dilakukan oleh kelompok terorganisir secara politik yang
bertindak

berdasarkan

perintah,

menjadi

perdebatan

penting

dalam

pengadilan HAM di Indonesia. Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 (c) ini
juga mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari
‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan "kejahatan terhadap
perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh
aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. Dalam
Pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tanggungjawab
komando telah diatur dimana pasal ini menentukan bahwa komandan
bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di
lapangan, baik dengan sepengetahuan komandan militer saat itu, dengan
bentuk pembiaran atas adanya suatu dugaan pelanggaran oleh anak buah.
Ketentuan ini sesuai juga sesuai dengan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977
yang menegaskan tentang yurisdiksi pengertian tanggungjawab komando
dalam angkatan bersenjata pemberontak (dissident armed forces) atau
kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya.
4.

Pada point keempat kejahatan kemanusiaan yang diungkapkan oleh Luban
menyatakan, kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang
paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan.

Universitas Sumatera Utara

Jenis kejahatan ini juga masih menjadi perdebatan, sebab syarat yang
ditentukan dalam kejahatan dari bentuk kejahatan itu, tidak jelas diungkapkan
dalam perundang-undangan. Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg memang
membedakan dua jenis kejahatan utama terhadap kemanusiaan yakni
kejahatan pembunuhan serta tindakan yang ‘tidak manusiawi. Meski
pengertian ini masih harus dijabarkan lagi ke dalam pengertian yang nyata,
ketentuan dalam Piagam Nuremberg ini juga dilengkapi dengan ketentuan
dalam Statuta Roma mengenai gambaran tindakan yang dianggap sebagai
kejahatan kemanusiaan.
5.

Selanjutnya dalam point kelima pengertian kejahatan kemanusiaan menurut
Luban menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan
yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi
dan bukan sebagai karakter individu adalah ketentuan untuk memasukkan
persyaratan adanya unsur populasi, unsur pembunuhan, dan unsur
penganiayaan yang dilakukan dengan niat dan diskriminatif sebagai elemen
dari pengertian kejahatan kemanusiaan. penganiayaan. Kedua persyaratan ini
menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian
dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk
individualitas dari kelompok. Untuk itu, Luban dalam pernyataan ketika
mengatakan: “…it might be argued that nothing less than mass horror
justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide
rather than domestic concern.” Memberi konotasi bahwa penentuan poulasi

Universitas Sumatera Utara

masih tidak jelas, dan dapat berakibat pada penentuannya pengertian yang
disesuaikan sesuai keadaan politik, atau ditentukan oleh pihak-pihak yang
menguasai proses pengadilan dimana kejahatan ini disidangkan. Salah satu
contoh sidang kejahatan kemanusiaan yang membebaskan terdakwa dapat
dilihat pada persidangan kasus HAM Abepur yang mengajukan terdakwa
Brigjen Pol. Drs Johny Wainal Usman (mantan Dansat Brimobda Papua) dan
Kombes. Daud Sihombing SH (mantan Kapolres Jayapura) yang diputuskan
tidak bersalah. Dalam dissenting opinion, Hakim Kabul Supriyadhie
menyatakan bahwa, apakah terdakwa adalah perbuatan yang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan dapat
dilihat dari kenyataan bahwa adanya pasukan yang digerakkan di bawah
perintah atasan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap
orang-orang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas
Kepolisian Sektor Abepura dan dilengkapi dengan senjata dan amunisi, tidak
dapat disangkal sebagai perbuatan yang memperlihatkan ‘perintah di bawah
komando’, meski pada tindakan ini tidak ditemukan adanya surat
penangkapan dan penahanan atau laporan pelaksanaan. Selain itu, kenyataan
bahwa secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian pada saat
bawahan melakukan pengejaran dan penangkapan, dan tidak melakukan
pencegahan yang mengakibatkan kematian menjadi dasar yang kuat untuk
menghukum Terdakwa atas pertanggungjawaban komandan. 24

24

Lihat ‘Pendapat Hukum (Dissenting Opinion),’
http://www.kontras.org/data/jony_wainal_usman.pdf. Diakses 3 Februari 2014.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 Dan Hubungannya Terhadap
Konflik Bersenjata Non Internasional
Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, Henry Dunant
menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino (Kenangan Solferino), mengenai
ketidakmanusiawaian (kekejaman) perang. Pengalaman Dunant menyaksikan
perang mengilhaminya untuk mengusulkan:
1.

Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan
bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan

2.

Dibentuknya perjanjian antar pemerintah yang mengakui kenetralan
perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di
kawasan perang.
Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah (Red

Cross) sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi
Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901
menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk
pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama
diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas
negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan
peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya
meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882.
Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi
perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun
berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut
(Konvensi Jenewa Kedua). Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi

Universitas Sumatera Utara

yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan
penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak
seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun, besarnya penderitaan
manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar
Konvensi Jenewa itu diperkuat. Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak
diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik
bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini
terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi
Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan
hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara
langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam,
orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil).
Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak
sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga
timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya
Hukum Humaniter Internasional (HHI) dihormati dengan lebih baik. Pandangan
umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan
disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum
tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh
kurang memadainya sarana

yang tersedia untuk menegakkannya, oleh

ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu,
dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan,
dan masyarakat umum tentang hukum tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup dalam 9 Bab dan ditambah Bab
Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah dengan dua lampiran berisi
konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah sakit dan kartu identitas
model dan agama tenaga medis. Konvensi Jenewa pertama tentang Perbaikan
Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat.
Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa
pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan
1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi
juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi
medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi.
Ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini dalam konteks skala, memberikan
perlindungan dalam konflik internasional maupun non-internasional, tetapi dasar
perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik diterangkan dalam konvensi
ini, karena di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik non-internasional hanya
dimasukkan ke dalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih diperjelas dalam
Protokol II.
Lingkup Non-Internasional ini dijelaskan menurut Konvensi Jenewa
Pertama Bab I - Ketentuan Umum Pasal 3tentang sengketa bersenjata yang tidak
bersifat internasional (non-internasional) yang berlangsung dalam wilayah salah
satu dari Pihak Peserta Agung agar tiap Pihak dalam sengketa itu diwajibkan
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan dilihat dalam konteks
tempat terjadinya, ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini hanya terhadap
perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan

Universitas Sumatera Utara

pertempuran darat yang secara umum dapat sebutkan untuk memberikan
perlindungan bagi: (1) yang terluka dan sakit; (2) tetapi juga untuk tenaga medis
dan keagamaan; (3) unit medis; (4) bangunan dan (5) transportasi medis serta
konvensi ini juga mengakui (6) lambang khas yang harus dilindungi.Yang
menjadi objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terhadap
anggota angkatan perang yang luka dan sakit di darat. Memberikan penghormatan
dan lindungan dalam segala keadaan terhadap yang luka dan sakit, perlakuan
secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin,
suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya serupa itu, dan memberikan
kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata
perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan
Sakit Pasal 12-18.
Perbaikan terhadapgedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit kesehatan
(medis), Memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan
kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi,
tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban
terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan
kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer tidak
membahayakan keselamatan mereka, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa
Pertama Bab III-Kesatuan dan Bangunan Kesehatan Pasal 19-23. Perbaikan
terhadap anggota dinas kesehatan (angkatan perang), Memberikan perlindungan
khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk
mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau

Universitas Sumatera Utara

untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi
kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan
yang bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap
dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV-Anggota Dinas Kesehatan Pasal 24-32.
Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan
bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk
perawatan yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab V - Gedung dan
Perlengkapan Pasal 33-34. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap
pengangkutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran harus dihormati dan
dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya
pengangkutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaraan
kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan diatur dalam Konvensi Jenewa
Pertama Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37.
Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang
diistimewakan, seperti halnya lambang International Red Cross Committee (PMI),
Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dan sebagainya. lambang istimewa
ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendera-bendera (flags), ban lengan
(handband), dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan,
selain itu juga memakai tanda pengenal yang seragam, agar setiap orang yang
termasuk dalam organisasi-organisasi/ himpunan-himpunan yang bersifat netral
maupun berkepentingan dapat jaminan perlindungan yang semuanya itu diatur dan
dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VII - Lambang Istimewa 38-44.

Universitas Sumatera Utara

Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik
bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan
konvensi tersebut (Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama). Ketentuan
rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3
Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah
kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus
merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty)
untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja
tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara
tertentu.
Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk
menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Dan pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
dalam konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang
ruang lingkup-nya masuk ke dalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan
subjek-subjek yang terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan
konvensi ini dilanggar, baik untuk perlindungan terhadap yang terluka dan sakit,
untuk penghormatan dan perlindungan tenaga medis dan keagamaan, penjagaan
dan perlindungan unit medis, bangunan dan transportasi medis serta perlindungan
khusus untuk lambang-lambang khas yang harus dilindungi, maka ketentuan
aturan dari konvensi ini harus diterapkan.

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan konvensi yang memberikan ketentuan terhadap siapa yang
menjamin pelaksanaan terhadap tindakan-tindakan pembalasan terhadap objekobjek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi yang menjamin pelaksanaan
pasal-pasal dalam konvensi dan menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mengatur
hal-hal yang tak terduga maka yang menjamin adalah komandan-komandan
tertinggi di setiap pihak-pihak dalam sengketa. Yang itu pun dipertegas dalam
Konvensi Jenewa Pertama Bab VIII - Pelaksanaan Konvensi Pasal 45, serta
ditambah dengan kesesuaian asas-asas umum konvensi ini.
Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang
berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses
yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur
lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi
tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya
dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag
1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun
1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang
melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan
masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
1.

Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali
pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949)

Universitas Sumatera Utara

2.

Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama
kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)

3.

Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi
untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun
1949]

4.

Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa
Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagianbagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)
Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan untuk Konvensi-

konvensi Jenewa:
1.

Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata
Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167
negara.

2.

Protokol Tambahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata
Non-internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh
163 negara.

3.

Protokol Tambahan III (2005): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan.
Hingga Juni 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah
ditandatangani tetapi masih belum diratifikasi oleh 68 negara lagi.

Universitas Sumatera Utara

Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari
proses yang dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut
telah “mencapai partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa
konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata
internasional.

Universitas Sumatera Utara