usaha kecil menengah usaha kecil menengah usaha kecil menengah usaha kecil menengah usaha kecil menengah

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Konsep Peran Pemerintah

  Berbagai macam paradigma tentang penting tidaknya pemerintah untuk turut tidaknya dalam mekanisme pasar memberikan ruang gerak bagi pelaku ekonomi untuk memilih sejauh mana peranan tersebut memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan mereka.

  Apabila ditinjau dari ekonom liberal klasik yang berasumsi bahwa “rational

  

utility-maximizing individuals” yang mengejar kepentingannya sendiri bisa

  mencapai suatu situasi dimana setiap pelaku akan memeperoleh keuntungan. Mereka yakin bahwa pasar merupakan mekanisme kerja yang efisien yang bisa menghasilkan hasil terbaik bagi semua anggota masyarakat. Namun, ekonom liberal modern kemudian mendapati bahwa dalam kenyataan pasar tidak selalu bisa diandalkan. Ekonom liberal modern menunjukkan adanya beberapa situasi khusus yang membuat pasar gagal memenuhi janjinya. Dan karena itu, peran aktif negara masih diperlukan dalam proses pembanguan ekonomi (Mas’oed, 2001:242).

  Peran pemerintah sebagai agen pembangunan dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah sangat penting. Pentingnya campur tangan pemerintah, terutama dalam pembanguan daerah, dimaksudkan untuk mencegah akibat-akibat buruk dari mekanisme pasar terhadap pembangunan daerah serta menjaga agar pembangunan dan hasil- hasilnya dapat dinikmati berbagai daerah. Pemerintah mau tidak mau harus melibatkan diri pada mekanisme pasar ketika situasi pasar memang berjalan tidak sempurna. Menurut Mas’oed (2001) ada tiga kondisi pasar dimana menuntut keterlibatan pemerintah dalam hal ini yaitu pertama, situasi yang melibatkan “public goods”, kedua,munculnya kondisi

  

“externality” yaitu situasi ketika pasar tidak mampu memperhitungkan

  keseluruhan biaya dan keuntungan yang berkaitan dengan satu transaksi serta yang ketiga adalah situasi yang bercirikan adanya monopoli atau oligopoli.

  Teori ekonomi Neo-klasik menjelaskan kedudukan negara dan pasar dengan membaginya melalui tiga pendekatan yaitu free market approach, public-choice approach, dan market-friendly approach. Alasan mendasar dari perekonomian pada dunia ketiga terbelakang, apabila ditinjau dari ketiga pendekatan tersebut menyatakan alokasi sumber daya yang salah, akibat: adanya kesalahan kebijakan penetapan harga sehingga terjadi “price distortion”. Selain itu pula peran negara yang berlebihan ke dalam pasar mengakibatkan terjadinya korupsi, inefisiensi, dan kurangnya insentif ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut yang perlu dilaksanakan adalah pasar bebas harus digalakkan melalui mekanisme permintaan dan penawaran harus dibiarkan berfungsi secara maksimal sehingga “the magic of the marketplace” dan “the invisible hand of market prices” bisa mendorong berlangsungnya alokasi sumber daya secara efisien dan menggalakkan pembangunan ekonomi. Peran negara dalam kondisi pasar yang demikian terbagi dalam tiga pendekatan sebagaimana disebutkan Michael P. Todaro (Mas’oed :2001) yaitu : a. Free market approach

  Free market approach memposisikan negara pada posisi tidak mencampuri mekanisme pasar. Pasar adalah mekanisme yang efisien : pasar barang produksi bisa memberikan sinyal paling baik tentang perlunya investasi dalam kegiatan baru ; pasar tenaga kerja bisa menanggapi kegiatan baru dengan tepat; produsen adalah yang paling tahu tentang apa yang perlu diproduksi dan bagaimana memproduksinya secara efisien; dan harga produk dan harga faktor produksi selalu mencerminkan secara akurat kelangkaan barang dan sumber daya sekarang dan di masa depan. Persaingan sangat efektif, walaupun tidak sempurna; teknologi tersedia bebas dan murah; informasi juga sempurna dan murah. Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah dalam ekonomi justru akan merugikan. Ahli ekonomi pembangunan dunia ketiga cenderung berasumsi bahwa pasar di dunia ketiga cukup efisien dan walaupun ada ketidaksempurnaan, bisa diatasi.

  b. Public-choice approach Teori “public choice” berasumsi bahwa politisi, birokrat, warga masyarakat, dan negara melakukan tindakan semata- mata berdasar pamrih pribadi, menggunakan wewenang kekuasaan dan pemerintah demi kepentingan sendiri. Warga masyarakat menggunakan pengaruh politik untuk memperoleh keuntungan khusus yang disebut rente dari kebijakan pemerintah seperti ijin impor atau jatah devisa yang membatasi akses sumber daya penting tertentu. Politisi menggunakan sumber daya pemerintah untuk membangun dan mempertahankan posisi kekuasaan dan wewenang.

  Birokrat dan pejabat pemerintah menggunakan kedudukan mereka untuk memperoleh suap dari warga yang memburu rente dan untuk menjalankan bisnis sambilan yang diproteksi. Negara menggunakan kekuasaan untuk merampas harta pribadi dari individu. Hasil akhir dari itu semua bukan hanya terjadinya salah alokasi sumber daya tetapi juga pengurangan kebebasan individu. Kesimpulannya pemerintah minimal adalah pemerintahan yang baik.

  c. Market-friendly approach Market-friendly approach memposisikan pemerintah pada perannya sebagai fasilitator dalam mekanisme pasar.

  Pendekatan ini mengakui bahwa dalam pasar produk dan pasar faktor produksi di dunia ketiga terdapat banyak ketidaksempurnaan; dan bahwa pemerintah punya peran penting dalam memfasilitasi beroperasinya pasar melaui peran yang “non-selektif” (market friendly); misalnya dengan melakukan investasi dalam infrastruktur fisik dan sosial, fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan , dan dengan menyiapkan iklim yang sesuai bagi kegiatan bisnis swasta.

  Berbeda dengan aliran pemikiran “free market” dan “public

  choice”, pendekatan yang “market friendly” (menyesuaikan

  diri dengan pasar ini menerima pendapat bahwa di dunia ketiga kegagalan pasar banyak terjadi di bidang-bidang seperti koordinasi investasi dan dampak lingkungan. Pasar dunia ketiga juga mengidap persoalan endemik, seperti kurangnya informasi, eksternalitas dalam penciptaan tenaga ahli, dan produksi skala besar.

  Pembangunan ekonomi yang saat ini dilaksanakan tidak terlepas pula dengan kebijakan pemerintah dalam penerapan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan kota , oleh sebab itu pemerintah harus bisa mereposisi peran ekonominya. Sebagaimana menurut Pratikno (2002), otonomi yang lebih besar tidak serta merta akan memperbesar aktivitas pemerintah daerah dalam pelayanan langsung kepada masyarakat. Namun, sejalan dengan angin liberalisasi ekonomi, otonomi yang lebih besar tersebut tampaknya hanya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat. Walaupun mempunyai otonomi yang lebih besar, pemerintah daerah akan ‘terpaksa’ untuk lebih menekankan pada

  “keterlibatan tidak langsung” (steering) daripada “keterlibatan langsung” (rowing). Masih menurut Pratikno (2002), instrumen keterlibatan pemerintah dalam pembangunan dan pelayanan publik bisa dikelompokkan paling tidak dalam empat kategori yaitu:

  a. Government provision Goverment provission pada hakekatnya merupakan bentuk peran pemerintah secara langsung dimana pemerintah menyediakan pelayanan kepada masyarakat tanpa melakukan pemungutan kepada individu-individu yang menikmatinya.

  b. Government production Government production memposisikan pemerintah dalam ikut serta memproduksi barang dan jasa sebagaimana pelaku-pelaku bisnis swasta.

  c. Subsidi Subsidi merupakan keterlibatan pemerintah secara tidak langsung dan pada dasarnya adalah berupa bantuan atau grants, bantuan dapat berupa secara langsung maupun tidak langsung.

  d. Regulasi Regulasi merupakan keterlibatan pemerintah secara tidak langsung berupa pembuatan kebijakan pelayanan yang ditujukan baik kepada pihak produsen pelayanan maupun pihak konsumen.

  Menurut Tambunan (2002: 146) spirit dari adanya otonomi daerah mengisyaratkan bahwa dominasi kebijaksanaan ekonomi tidak lagi bergantung pada pusat. Oleh sebab itu pemerintah daerah harus lebih bisa merumuskan dan melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tepat untuk pembangunan daerahnya masing-masing.

  Berpijak kembali pada peran (role) pemerintah dalam pembangunan ekonomi, menurut Arsyad (1999: 121) ada empat peran yaitu:

  a. Entrepreneur Melalui perannya sebagai entrepreneur, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menjalankan suatu bisnis.

  Pemerintah daerah bisa mengembangkan suatu usaha sendiri seperti dengan keberadaan Badan Usaha Milik Daerah. Aset-aset pemerintah daerah harus dapat dikelola dengan lebih baik sehingga secara ekonomis menguntungkan.

  b. Koordinator Sebagai koordinator pemerintah mempunyai peran untuk menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan di daerahnya. Dalam perannya sebagai koordinator, pemerintah daerah juga bisa melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha, dan masyarakat dalam penyusunan sasaran-sasaran ekonomi, rencana-rencana, dan strategi-strategi.

  c. Fasilitator Pemerintah daerah sebagai fasilitator berperan memfasilitasi komponen yang terkait dalam mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan attitudinal (perilaku atau budaya masyarakat) di daerahnya. Hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.

  d. Stimulator Pemerintah daerah dapat menstimulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan- perusahaan yang telah ada tetap berada di daerah tersebut. Stimulasi ini dapat dilakukan dengan cara antara lain: pembuatan brosur-brosur, pembangunan kawasan industri, pembuatan outlets untuk produk-produk industri kecil, membantu industri-industri kecil melakukan pameran.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas konsep peran pemerintah dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi adalah konsep yang disampaikan oleh Pratikno dan Arsyad dengan pembatasan beberapa point diantaranya peran pemerintah sebagai government provision, subsidi, regulasi, stimulator dan koordinator.

2.2 Konsep Pemberdayaan

  Adanya pembangunan sebagai pemberdayaan rakyat bertitik tolak pada permasalahan kemerosotan kapasitas rakyat dalam menangani masalah sendiri, oleh sebab itu pembangunan harus berpusat pada rakyat. Menurut David korten (Mas’oed, 2001:8), pembangunan sebagai proses yang memungkinkan anggota masyarakat meningkatkan kapasitas personal dan institusional dalam memobilisasi dan mengelola sumber daya untuk menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang sesuai dengan aspirasi mereka sendiri, berkelanjutan, adil dan merata. Pemberdayaan menempatkan pemerintah pada posisi fasilitator dan memberikan kebijakan-kebijakan yang memberikan dorongan terciptanya iklim yang kondusif, sebagaimana dikemukakan oleh Friedmann (1992:160) :

  “The approach to alternative development described in the preceding point builds on people’s own initiatives, with the state playing essentially an enabling, facilitating, and supportive role. State agencies should prepare themselves accordingly to create the capability of responding to local initiatives rther than impose dramatic initiatives of their own”. Menurut Pranarka dan Moeljarto (1996:56-57), konsep pemberdayaan atau empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara strukturalis, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. Ide yang menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan (empowerment). Berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi (Oakley dan Marsden, 1984).

  Kecenderungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Kecenderungan kedua sebenarnya lebih dipengaruhi oleh pandangan Paulo Freire tentang peran pendidikan yang akan dapat menumbuhkan kesadaran kritis atau conscientizacao, melalui pendidikan yang bersifat dialogis. Sifat-sifat kesadaran kritis tadi digambarkan oleh Freire (Tjokrowinoto, 2001:56):

  “The critical transitive consciousness is characterized by depth in the interpretation of problems; by the substitution of causal principles for magical explanations; by the testing of one’s “findings” and by opennes to revission ; by the attempt to avoid distortion when perceiving problems and to avoid preconceived nations when analyzing them; by refusing to transfer responsibility; by rejecting passive positions; by soundness of argumentation; by the practice of dialogue rather than polemics; by receptivity to the new for reasons beyond more novelty and by the good sense not to reject the old just because it is old – by accepting what is valid in both old and new”. Melalui kegiatannya Paulo Freire berusaha menciptakan kesadaran yang demikian melalui characterological change dan kesadaran melalui pendidikan adalah salah satu dorongan agar diri lebih berdaya. Selain itu menurut Hulme dan Tuner (Pranarka dan Moeljarto ,1996:62) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberi pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu, pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif.

  Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok, dan lembaga-lembaga sosial. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Stewart (1998:22) “Dalam prakteknya pemberdayaan tidak mengakibatkan hilangnya kekuasaan, melainkan hanya mengakibatkan perubahan-perubahan dalam cara menggunakannya”. Pemberdayaan menuntut perluasan peran wewenang dan kekuasaan dan bertambahnya keluwesan tentang bagaimana (dan oleh siapa) peran-peran itu akan dilakukan. Pemberdayaan tidak berarti melepaskan tanggung jawab tentang apa yang terjadi dalam tim, departemen, bagian, atau organisasi.

  Pemberdayaan berarti upaya menemukan keseimbangan yang tepat antara struktur dan pengendalian manajemen yang longgar versus yang ketat. Di samping itu pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat ia tinggal.

  Apabila ditinjau konsep pemberdayaan tersebut, dalam kaitannya dengan pemberdayaan rakyat, sebagai paradigma pembangunan atau empowerment ingin mengubah kondisi ini dengan cara memberi kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang juga mereka pilih sendiri. Kelompok orang miskin juga diberi kesempatan untuk mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak lain (Soetrisno, 1995:139)

  Model empowerment sendiri ada dua versi ( Soetrisno, 1995 :140), kedua versi empowerment tersebut adalah versi Paulo Freire dan versi yang berasal dari Schumacher. Versi Paulo Freire berinti pada suatu metodologi yang disebut sebagai metodologi conscientization yakni proses belajar untuk melihat kontradiksi sosial, ekonomi dan politik yang ada dalam suatu masyarakat dan menyusun cara untuk menghilangkan kondisi yang operesif itu dalam masyarakat. Bagi Paulo Freire dengan demikian empowerment bukanlah sekedar hanya memberi kesempatan rakyat menggunakan sumber alam dan dana pembangunan saja tetapi lebih dari itu empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur- struktur yang operesif. Dengan kata lain empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Sedang versi Schumacher lebih menekankan pada ”Economic development-can succeed only if it is carried forwards as

  

a broad, popular “movement reconstruction” with the primary emphasis on

the full utilization of drive, enthusiasm, intelligience and labour power of

everyone”. Schumacher percaya bahwa manusia itu mampu untuk

  membangun diri mereka sendiri tanpa mengharuskan terlebih dahulu menghilangkan ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat.

  Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menolong simiskin adalah “memberi kail daripada ikan” dengan demikian mereka dapat mandiri.

  Mandela (dalam Soegijoko:1997) menekankan pada

  

“Empowerment depends on people’s ability to provide for themselves, for

poverty translates into a lack of options for the individual. Economic

security is essential if people are to have the autonomy and means to

exercise power”. Bahwa pemberdayaan tergantung dari bagaimana

  kemampuan masyarakat tersebut untuk memenuhi kebutuhan sendiri, karena kemiskinan mencerminkan ketidaan pilihan bagi seseorang .

  Kepastian ekonomi adalah esensial agar masyarakat mempunyai kemandirian dan kemampuan untuk menguasai power.

  Sementara itu Kartasasmita (1996: 159-160) menjelaskan ada tiga upaya dalam memberdayakan masyarakat yaitu: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling) hal ini dilakukan melalui upaya memberikan dorongan, motivasi dan membangkitkan kesadaran dalam mengembangkan potensinya.

  Kedua dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) hal ini dilakukan melalui upaya peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, kemudahan dalam akses permodalan, peningkatan penguasaan teknologi, informasi, lapangan kerja, dan penguasaan pasar. Sedangkan yang ketiga adalah melindungi sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah melalui upaya nyata yang diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah.

  Apabila berpijak pada kebijakan pemerintah yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil, pemberdayaan didefinisikan sebagai suatu upaya yang dilakukan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Iklim usaha ini dimaksudkan adalah kondisi yang diupayakan pemerintah berupa penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar usaha kecil memperoleh kepastian, kesempatan yang sama, dan dukungan berusaha seluas-luasnya sehingga berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Sedangkan pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.

  Lebih lanjut menurut Prawirokusumo (2001:81) dalam menumbuhkan iklim usaha yang kondusif mencakup aspek : kebijaksanaan persaingan sehat dan pengurangan distorsi pasar; kebijaksanaan ekonomi yang memberikan peluang UKM yang mengurangi beban biaya yang tidak berhubungan dengan proses biaya tinggi; kebijaksanaan penumbuhan kemitraan dengan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan saling menguntungkan. Selanjutnya, dukungan perkuatan meliputi aspek : peningkatan kualitas SDM koperasi dan UKM; peningkatan penguasaan teknologi; peningkatan penguasaan informasi; peningkatan penguasaan permodalan; peningkatan penguasaan pasar; pengoptimalan organisasi dan manajemen; penataan tempat usaha; dan pencadangan bidang-bidang usaha. Dalam mencegah terjadinya persaingan meliputi aspek : peningkatan kerja sama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi, dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil ; mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopsoni yang merugikan usaha kecil; dan mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.

  Berdasarkan uraian tersebut diatas dalam penelitian ini dibatasi peran pemerintah dalam pemberdayaan. Adapun konsep pemberdayaan itu sendiri lebih mengacu pada konsep Prawirokusumo dan Kartasasmita yaitu upaya pemerintah dalam peningkatan sumber daya UKM, peningkatan penguasaan teknologi, pengoptimalan organisasi dan manajemen, pemberian bantuan modal, kemudahan akses permodalan, kebijakan persaingan sehat, kebijakan pengurangan beban ekonomi biaya tinggi, peningkatan penguasaan pasar, penataan tempat usaha, program kemitraan dan peningkatan kerja sama baik dalam bentuk koperasi, asosiasi atau himpunan kelompok usaha maupun organisasi formal pemerintah.

2.3 Konsep Usaha Kecil Menengah

  Usaha kecil menengah sebagai sektor riil yang keberadaannya sebagai salah satu perwujudan ekonomi kerakyatan selama ini dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Menurut undang-undang ini yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana di atur undang-undang ini, sedangkan usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan yang lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.

  Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 tahun 1995, disebut sebagai industri kecil harus mempunyai kriteria sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau

  b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu miliar rupiah);

  c. milik Warga Negara Indonesia;

  d. berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai , atau berafiliasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; e. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1999, industri menengah mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.

  10.000.000.000,-(sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; b. milik Warga Negara Indonesia;

  c. berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimilki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar;

  d. berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau badan usaha yang berbadan hukum.

  Badan Pusat Statistik sendiri menggolongkan jenis usaha pada perusahaan industri pengolahan yang terbagi dalam empat golongan dengan penekanan pada jumlah tenaga kerja yang diserap, yaitu:

  a. Industri rumah tangga adalah suatu kegiatan usaha industri yang memiliki tenaga kerja 1 sampai dengan 4 orang.

  b. Industrui kecil adalah suatu kegiatan usaha industri yang memilki tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang.

  c. Industri menengah adalah suatu kegiatan usaha industri yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang.

  d. Industri besar adalah suatu kegiatan usaha industri yang memiliki tenaga kerja 100 orang atau lebih.

  Lebih lanjut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 589/MPP/KEP/10/1999 dijelaskan bahwa industri kecil adalah suatu kegiatan usaha industri yang memiliki nilai investasi sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan industri kecil menengah adalah usaha industri dengan nilai investasi perusahaan sampai dengan Rp.

  1.000.000.000,- (satu milyar) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

  Perkembangan UKM sendiri di Indonesia berdasarkan data INDEF tahun 2000 (lihat tabel 1.2), dari total skala usaha yang ada berjumlah 36.815.409 unit usaha didominasi oleh usaha kecil berjumlah 36.761.689 unit usaha atau 99,85 % dari total yang ada. Sedangkan usaha menengah sendiri sebesar 51.889 unit usaha atau sekitar 0,14 % dan sisanya sebesar 1.831 unit usaha atau 0,01 % adalah usaha besar. Sementara apabila dilihat sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun 1998 dominasi masih dipegang sektor UKM yaitu sebesar 548.471 milyar atau 58,17 % dari total PDB sebesar 942.844 milyar, sedangkan sisanya adalah dari usaha besar yakni 394.373 milyar atau 41,83 %.

  Penyerapan tenaga kerja sendiri sampai akhir tahun 1998 juga didominasi sektor UKM yakni untuk usaha kecil mampu menyerap 57.341.962 orang atau 88,66 % dari total tenaga kerja yang ada di Indonesia sejumlah 64.678.066 orang, sedangkan sisanya sebesar 6.971.611 orang atau 10,78 % diserap usaha menengah dan 364.493 orang atau 0,565 % diserap oleh usaha besar. Kondisi yang demikian tidak ditunjang dengan ketersediaan modal yang ada, sebab kucuran kredit dari perbankan pada tahun selama tahun 1994 sampai dengan 1999 untuk usaha kecil memperoleh kucuran sebesar 5,7 trilyun sedangkan untuk usaha besar dan menengah sebesar 247,2 trilyun atau sebesar 97,75 % dari total kredit perbankan sebesar 252,9 trilyun.

  Kondisi usaha skala menengah begitu adanya menurut Hall Hill (dalam Rachbini, 1999:85) bahwa struktur industri Indonesia keropos di tengah. Artinya, lapisan tengah dari pelaku industri sangat rapuh sehingga struktur itu berbasis pada lapisan bawah saja dengan pelaku yang kecil dan marginal, dan pada lapisan atas dengan para pelaku industri besar dengan jumlah yang sedikit tetapi menguasai aset yang besar. Dengan kata lain, struktur industri Indonesia ditandai dengan sedikitnya jumlah pengusaha kelas menengah yang tangguh, baik dalam kontribusinya pada nilai tambah, penguasaan aset maupun penciptaan kesempatan kerja.

  Adapun lapisan pengusaha (kecil dan) menengah, pada umumnya tumbuh sangat lamban atau bahkan mengalami stagnasi. Selain itu UKM Indonesia dicirikan oleh struktur pasar yang sangat kompetitif, hambatan masuk rendah dan tingkat drop out tinggi sehingga margin keuntungan relatif rendah dan akumulasi modal relatif lambat.

  Kondisi demikian menuntut peran pemerintah yang lebih aktif dalam menyikapi perkembangannya, sementara menurut Hall Hill (1996:240) Pemerintah telah membentuk program Bapak Angkat, penghapusan persyaratan-persyaratan dalam industri otomotif, dan mengeluarkan obligasi tambahan perusahaan-perusahaan pemerintah. Meskipun program kredit bersubsidi telah dihapus, 25 % pinjaman yang belum lunas dari bank-bank harus dialokasikan ke perusahaan kecil dan menengah. Program-program bantuan lain dilaksanakan bermacam- macam instansi pemerintah. Program-program pelatihan tidak berhasil mencapai target atau gagal dikembangkan pada sebagian besar instansi. Perusahaan-perusahaan kecil sering tidak mampu memanfaatkan fasilitas dan program pemerintah karena adanya prosedur birokrasi yang kompleks. Selain itu juga ada kecenderungan yang menganggap industri kecil hanya untuk kesejahteraan sosial, tetapi tidak melihat pada dinamika perusahaan dan efisiensi ekonomi.

  Lebih lanjut menurut Thoha (2000:154) bangunan struktur ekonomi Indonesia berbentuk piramida. Bagian kerucut piramida merupakan sekelompok kecil usaha besar dan konglomerat tetapi memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menciptakan nilai tambah dan penguasaan aset. Bagian tengah merupakan sekelompok usaha menengah yang jumlahnya tidak banyak, dengan kemampuan menciptakan nilai tambah yang relatif terbatas. Bagian tengah ini merupakan bagian paling lemah dalam bangunan struktur ekonomi nasional. Sedangkan bagian bawah terdiri dari para pengusaha kecil dan rumah tangga serta usaha-usaha yang informal yang sangat besar jumlahnya dan memberikan kontribusi yang besar dalam penciptaan kesempatan kerja tetapi produktivitasnya sangat rendah sehingga kontribusinya dalam penciptaan nilai tambah dan penguasaan aset sangat kecil.

  Bangunan struktur ekonomi Indonesia yang berbentuk piramida tersebut tentu saja sangat tidak ideal karena hal itu membawa beberapa konsekuensi sosial, ekonomi dan bisnis yang kurang menguntungkan

  (Thoha, 2000:154-155). Pertama, dominannya usaha-usaha informal, gurem dan kecil yang ditandai dengan relatif sulitnya untuk berkembang, padahal sebagian besar masyarakat menggantungkan mata pencahariannya pada sektor-sektor usaha ini sehingga pendapatan sebagian besar masyarakat juga relatif sulit bergerak naik. Kedua, keroposnya kelompok usaha berskala menengah dalam bangunan piramida struktur ekonomi Indonesia merupakan indikasi lemahnya keterkaitan usaha antara usaha besar pada satu sisi dan usaha kecil dan gurem pada sisi yang lain. Ketiga, lemahnya keterkaitan antara kelompok usaha besar dan kecil merupakan indikasi bahwa keberadaan usaha besar dan kecil dalam perekonomian merupakan pesaing langsung maupun tidak langsung bagi usaha kecil, apalagi kalau orientasi pemasaran sebagian besar terutama juga hanya mengandalkan pada pasar domestik.

  Berdasarkan uraian tersebut di atas konsep UKM yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kekayaan bersih sekitar 200 juta rupiah samapai 10 milyar dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5 sampai dengan 99 orang.

2.4 Konsep Distorsi Pemberdayaan UKM

  Kendala-kendala dalam pemberdayaan tidak terlepas dari kelemahan dalam pengelolaan usaha kecil dan menengah itu sendiri.

  Menurut Marbun (1996:14) hambatan-hambatan yang ada seperti adanya anggapan masyarakat yang rendah terhadap kegioatan dunia usaha yang dijalankan selama ini, adanya sikap yang kompromistis dan kurang ambisius dalam mengejar peluang serta ketergantungan pada pihak-pihak tertentu, adanya keluarga besar ataupun kerabat besar, tidak berani mengambil resiko dari keputusan yang diambil, keinginan hasil yang lebih cepat, nepotisme, feodalisme.

  Sedangkan lebih lanjut menurut Subanar (2001:8) , berbagai kendala yang menyebabkan kelemahan serta hambatan bagi pengelolaan suatu usaha kecil diantaranya menyangkut faktor intern dari usaha kecil di antaranya masih menyangkut faktor intern dari usaha kecil itu sendiri serta beberapa faktor ekstern, seperti:

  a. Umumnya pengelola small-business merasa tidak memerlukan ataupun tidak pernah melakukan studi kelayakan, penelitian pasar, analisis perputaran uang tunia/kas, serta berbagai penelitian lain yang diperlukan suatu aktivitas bisnis.

  b. Tidak memiliki perencanaan sistem jangka panjang, sistem akutansi yang memadai, anggaran kebutuhan modal, struktur organisasi dan pendelegasian wewenang, serta alat-alat kegiatan manajerial lainnya (perencanaan pelaksanaan serta pengendalian usaha) yang umumnya diperlukan oleh suatu perusahaan bisnis yang profit oriented.

  c. Kekurangan informasi bisnis, hanya mengacu pada instuisi dan ambisi pengelola, lemah dalam promosi. d. Kurangnya petunjuk pelaksanaan teknis operasional kegiatan dan pengawasan mutu hasil kerja dan produk, serta sering tidak konsisten dengan ketentuan order/pesanan, yang mengakibatkan klaim atau produk yang ditolak.

  e. Tingginya labour turn-over (PHK)

  f. Terlalu banyak biaya-biaya yang di luar pengendalian serta utang yang tidak bermanfaat, juga tidak dipatuhinya ketentuan- ketentuan pembukuan standar.

  g. Pembagian kerja tidak proposional, sering terjadi pengelola memiliki pekerjaan yang melimpah atau karyawan yang bekerja di luar batas jam kerja standar.

  h. Kesulitan modal kerja atau tidak mengetahui secara tepat berapa kebutuhan modal kerja, sebagai akibat tidak adanya perencanaan kas. i. Persediaan yang terlalu banyak, khususnya jenis barang-barang yang salah. j. Lain-lain yang menyangkut mist-manajemen dan ketidakpedulian pengelola terhadap prinsip-prinsip manajerial. k. Risiko dan utang-utang kepada pihak ketiga ditangggung oleh kekayaan pribadi pemilik. l. Perkembangan usaha tergantung pada pengusaha yang setiap waktu dapat berhalangan karena sakit atau meninggal. m. Sumber modal terbatas pada kemampuan pemilik. n. Perencanaan dan program pengendalian tidak ada atau belum pernah merumuskannya.

  Berbagai tantangan daan kendala dalam pengembangan usaha kecil menengah sebagaimana disebutkan oleh Thoha (2000:166-167) antara lain :

  a. Belum adanya formulasi atau model atau pendekatan yang jitu tentang keberpihakan pemerintah pada ekonomi rakyat, terutama usaha kecil.

  b. Program pemberdayaan tidak atau kurang dibarengi dengan tenaga pendamping yang profesional.

  c. Program-program pemberdayaan lebih banyak berorientasi proyek, bukan pada hasil atau kinerja.

  d. Jumlah dan kualitas SDM pembina kurang memadai dibandingkan dengan lingkup pekerjaan atau tugas dan permasalahan ekonomi rakyat yang menjadi binaannya.

  e. Program-program pemberdayaan lebih banyak bersifat politis, populis dan charitas, bukan model yang sungguh-sungguh dan solid berdasarkan hasil penelitian yang panjang dan teruji.

  f. Dana, sarana dan prasarana pendukung operasional terutama bagi petugas lapangan seringkali sangat tidak memadai.

  g. Kurang terkoordinasinya pelaksanaan program-program pemberdayaan daerah. h. Masih lemahnya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan pendukung usaha kecil seperti modal ventura, inkubator bisnis, leasing, dan institusi kemitraan usaha lainnya. i. Terbatasnya lahan pada lokasi-lokasi strategis untuk menjalankan kegiatan usaha.

  Keberpihakan pemerintah kepada UKM seharusnya tidak mengulangi kesalahan pemerintah Orde Baru, yang lebih menekankan pada pendekatan politik ekonomi, yang sentralistik, otoriter, dan top down, sehingga banyak menimbulkan distorsi di lapangan, mengabaikan proses dialektika pasar yang otonom, dan menyumbat partisipasi rakyat secara kreatif dan bebas (Warta Ekonomi, 1 September 2000). Ada tiga distorsi dalam pengembangan UKM menurut Asy’arie (2000) yaitu:

  a. Distorsi pemberi kredit Adanya prosedur yang berbelit-belit (formalistik) dalam mendapatkan modal dari lembaga keuangan perbankan, menyebabkan distorsi yaitu munculnya KKN. Seperti halnya adanya perusahaan fiktif, sehingga banyak kredit yang jatuh pada UKM fiktif atau UKM yang tidak sehat tetapi memenuhi persyaratan formal administratif, dan biasanya UKM yang sehat memilih mundur karena usahanya masih tetap berjalan.

  b. Distorsi program pelatihan Salah satu program bantuan kepada UKM adalah program pelatihan, dengan materi achievement motivation training (AMT) dan manajemen usaha, seperti pembukaan, kalkulasi produksi, dan peningkatan teknologi. Dari sekian banyak latihan itu, jarang diberikan materi bagaimana menggali dan mengembangkan kemampuan melihat peluang usaha, berbasis intuisi, dan menjadikannya sebagai bisnis yang menguntungkan.

  c. Distorsi konflik kultural Munculnya distorsi kultural diakibatkan latar belakang masyarakat agraris yang tertransformasi ke masyarakat industri.

  Di sini muncul distorsi kultural, yaitu konflik antara nilai-niali budaya industrial, seperti terlihat dalam cara memandang uang, waktu dan teknik. Dalam budaya agraris, waktu dipandang sebagai gerak siklus , sementara dalam budaya industrial sebagai gerak linier. Uang dalam budaya agraris lebih bermakna sosial, sementara dalam budaya industrial lebih bermakna ekonomi. Teknologi dalam budaya agraris dipandang secara romantik, sehingga tidak optimal penggunaannya, cenderung menjadi gengsi sosial seperti pandangannya terhadap komputer, sementara teknologi bagi industri adalah basisnya, sehingga harus makin canggih, optimal, dan rasional.

  d. Distorsi program kemitraan Kemitraan sendiri mempunyai pengertian sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan yang didefinisikan sebagai kerja sama antara usaha keci dengan usaha menengah dan atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Program kemitraan itu sendiri pada era orde baru datang dari atas, sebagai alat politik untuk menunjukkan adanya pemerataan pembangunan, dan menjadi salah satu syarat bagi industri besar untuk mendapatkan fasilitas kemudahan dari pemerintah. Disini muncul distorsi karena program kemitraan ini tidak didasarkan pada kebutuhan yang konkret dalam kegiatan bisnis antara yang kecil dan yang besar sehingga banyak kemitraan harus berhenti di MoU (Memorandum of Understanding) saja yang tidak ada realisasinya di lapangan secara konkret. Bahkan banyak yang tidak ada kaitannya dengan kompetensi usaha keduanya seperti PT Krakatau Steel bermitra dengan UKM yang membuat emping tanpa kaitannya emping dengan besi beton? Akibatnya, kemitraan hanya sekadar kewajiban memenuhi anjuran pemerintah yang segera berhenti kalau keadaan berubah. Berdasarkan uraian di atas konsep distorsi dalam pemberdayaan

  UKM yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah lebih cenderung pada konsep Asy’arie dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam penelitian yaitu distorsi program pembinaan menyangkut materi dan bentuk pelatihan, tenaga pendamping, dan sarana prasarana yang ada. Distorsi permodalan menyangkut akses perolehan modal dan bentuk bantuan permodalan sedangkan untuk distorsi kemitraan menyangkut keterkaitan usaha secara vertikal dan keterkaitan usaha secara horisontal. Distorsi konflik kultural lebih menyangkut pada aspek sistem manajemen yang diterapkan pada UKM.

2.5 Kerangka Kerja Penelitian

  Kerangka kerja penelitian ini bertitik tolak dari peran pemerintah dalam pemberdayaan UKM yang ditinjau dari peran sebagai government provision, subsidi, regulasi, stimulator dan koordinator yang masing- masing tinjauan tersebut diukur dengan indikator dari konsep pemberdayaan. Tinjauan peran pemerintah tersebut dilihat dari sisi stake holder kemudian dicross check dengan sisi pengusaha yang selanjutnya dikemukakan elemen kontras yang ada didalamnya. Elemen kontras yang ada pada dasarnya merupakan permasalahan yang timbul dari peran pemerintah dalam pemberdayaan. Permasalahan yang menimbulkan aspek negatif tersebut kemudian dianalisa dan diklarifikasikan ke dalam distorsi pemberdayaan yang meliputi distorsi program pembinaan, distorsi permodalan, distorsi kemitraan dan distorsi konflik kultural yang masing- masing distorsi tersebut diukur dari indikator yang ada. Distorsi yang timbul sebagai akibat adanya permasalahan dari peran pemerintah dalam pemberdayaan kemudian diberikan rekomendasi kebijakan sebagai bahan pertimbangan bagi prospek pemberdayaan UKM umumnya dan khususnya bagi pengembangan UKM pada sentra industri kerajinan tas koper Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo selanjutnya.

Gambar 3.1 Matriks Kerangka Kerja Penelitian

  Government Provision

  • Peningkatan SDM UKM
  • Penguasaan teknologi
  • Pengoptimalan organisasi dan Manajemen UKM

  Subsidi Distorsi

  • Bantuan modal

  Pemberdayaan usaha

  • Akses perolehan 1. program modal pembinaan
  • materi dan bentuk

  Belum optimalnya pelatihan peran pemerintah

  • tenaga pendamping

  Peran dalam

  • sarana prasarana

  Pemerintah pemberdayaan

  Regulasi 2. permodalan

  Dalam UKM pada sentra

  • Kebijakan
  • akses perolehan

  Pemberdayaa industri kerajinan persaingan sehat modal n UKM tas koper

  • Kebijakan
  • bentuk bantuan

  Tanggulangin pengurangan modal

  Kabupaten beban ekonomi 3. kemitraan

  Sidoarjo biaya tinggi

  • keterkaitan usaha secara vertikal
  • keterkaitan usaha secara horisontal 4. konflik kultural

  Stimulator

  • sistem manajemen
  • Penguasaan UKM pasar
  • Penataan tempat usaha

  Koordinator

  • Program kemitraan
  • Peningkatan kerja sama

2.6 Definisi Konseptual

  Peran pemerintah didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah yang menjalankan bagian dari tugasnya dalam bentuk government provission, subsidi, regulasi, stimulator dan koordinator.

  Pemberdayaan didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan derajad UKM melalui peningkatan sumber daya UKM, peningkatan penguasaan teknologi, pengoptimalan organisasi dan manajemen, pemberian bantuan modal, kemudahan akses permodalan, kebijakan persaingan sehat, kebijakan pengurangan beban ekonomi biaya tinggi, peningkatan penguasaan pasar, penataan tempat usaha, program kemitraan dan peningkatan kerja sama baik dalam bentuk koperasi, asosiasi atau himpunan kelompok usaha maupun organisasi formal pemerintah.

  Sedangkan usaha kecil menengah (UKM) didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kekayaan bersih sekitar 200 juta rupiah sampai dengan 10 milyar dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5 sampai dengan 99 orang.

  Distorsi dalam pemberdayaan UKM didefinisikan sebagai segala bentuk penyimpangan dalam upaya pemberdayaan UKM yang meliputi distorsi program pembinaan, distorsi permodalan, distorsi kemitraan dan distorsi konflik kultural.

2.7 Definisi Operasional

  Definisi operasional sebagai acuan dalam penelitian ini adalah:

  1. Peran pemerintah terhadap pemberdayaan UKM:

  a. Government provission diukur dari: Upaya peningkatan SDM UKM

   Upaya peningkatan penguasaan teknologi

   Upaya pengoptimalan organisasi dan

   manajemen UKM

  b. Subsidi diukur dari: Pemberian bantuan modal usaha

   Kemudahan memperoleh akses permodalan

   c. Regulasi diukur dari: Kebijakan persaingan sehat

   Kebijakan pengurangan beban ekonomi biaya

   tinggi

  d. Stimulator diukur dari: Peningkatan penguasaan pasar

   Penataan tempat usaha

   e. Koordinator diukur dari: Program kemitraan

   Peningkatan kerjasama dalam bentuk koperasi,

   asosiasi atau himpunan kelompok usaha

  2. Distorsi dalam pemberdayaan UKM:

  a. Distorsi program pembinaan diukur dari:

   Materi dan bentuk pelatihan

   Tenaga pendamping

   Sarana dan prasarana

  b. Distorsi permodalan diukur dari:

   Akses perolehan modal

   Bentuk bantuan permodalan usaha