Peran pola asuh orang tua dalam upaya me

Peran pola asuh orang tua dalam upaya
mengeliminir tindakan kekerasan melalui
menumbuhkembangkan self regulated
learning pada anak
Rahmad Agung Nugraha, S.Psi, M.Si
Dosen Progdi BK Universitas Pancasakti Tegal
Abstrak
Dalam
proses pendidikan, dapat
diketemukan bahwa masih adanya siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar. Dengan
melihat masih adanya siswa yang mengalami
kesulitan belajar dan tidak mendapatkan
perhatian khusus maka siswa tersebut akan
menjadi warga negara yang tidak produktif,
menjadi beban sosial, memiliki masalah perilaku
dan emosional sehingga terlibat dalam berbagai
tindakan kriminal, kekerasan dan berbagai
dampak negatif lainnya yang nantinya akan
semakin melemahkan daya saing bangsa
Indonesia dalam era globalisasi ini. Pola asuh

dan gaya pengasuhan orang tua merupakan
faktor utama dalam pertumbuhan dan
pembelajaran anak-anak
Gaya pengasuhan
tertentu membantu anak-anak mengembangkan
self regulated learning dan mendorong mereka
untuk melakukan kontrol atas pembelajaran
mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan
keterlibatan siswa dalam self regulated learning
banyak membuktikan bahwa pola asuh yang
demokratis yang bisa digunakan untuk
menangkap variasi normal dalam upaya orang
tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan
anak-anak mereka
Kata kunci : Pola asuh, kekerasan dan self
regulated Learning
A. Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peran yang sangat
strategis dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan upaya mewujudkan

kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Tujuan
pendidikan
merupakan salah satu komponen pendidikan
yang penting, karena akan memberikan arah
proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan
pendidikan
atau
kegiatan
pembelajaran
diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran.
Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan

tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang
berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu
mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan
mengalami hambatan dalam belajar. Untuk
menandai mereka yang mendapat hambatan

pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum
proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan
secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil
belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat
pencapaian tujuan tersebut. Prestasi belajar yang
dicapai siswa pada dasarnya merupakan sinergi
dari faktor potensi (Intelegensi dan bakat)
dengan faktor kepribadian (motivasi,minat, dan
sikap) (Anastasi & Urbina,1997).
Untuk mencapai keterampilan belajar,
siswa membutuhkan self regulated learning
(SRL) dalam belajar. SRL dibutuhkan siswa agar
mengarahkan dirinya sendiri, mandiri dan
tanggung jawab peserta didik untuk mengatur
sendiri proses belajarnya. Kesuksesan selfregulated learners harus dapat mengenali
kebutuhan untuk belajar misalnya, dapat melihat
signifikan kesenjangan saat ini atau yang akan
datang dalam pengetahuan mereka, membuat
pilihan yang bijak dalam kaitannya dengan
kebutuhan tentang apa yang harus dipelajari,

bagaimana dan ketika belajar , dan dengan siapa
dan dari siapa harus belajar, dan memenuhi
kebutuhan yang efisien dan terjangkau misalnya,
dengan mendapatkan data tentang pengalaman
pelajar lain, kemudian menggunakan data
tersebut untuk menetapkan dan mencapai tujuan
studi mereka sendiri. Selain itu, karena belajar
adalah suatu proses dan usaha, self-regulated
learners
harus mampu mempertahankan
motivasi mereka sampai pekerjaan dilakukan.
Dalam
proses pendidikan, dapat
diketemukan bahwa masih adanya siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar. Siswa yang
mengalami kesulitan belajar ini mempunyai
kecenderungan prestasi akademik yang jauh di
bawah potensi kemampuannya dan standar
tingkat penguasaan materi pelajaran. Menurut
Pusat Statistik Pendidikan, di tahun ajaran 20042005 terdapat 24.403 siswa SMA yang

dinyatakan tidak lulus dan 12.654 siswa SMA
yang lainnya dinyatakan harus mengulang kelas
(Pusat Statistik Pendidikan Depdiknas, 2007).
Banyaknya jumlah siswa yang tidak lulus dan
tidak naik kelas menunjukkan perlunya adanya
perhatian serius untuk memberikan penanganan

kepada siswa yang mengalami berkesulitan
belajar.
Dengan melihat masih adanya siswa yang
mengalami kesulitan belajar dan tidak
mendapatkan perhatian khusus maka siswa
tersebut akan menjadi warga negara yang tidak
produktif, menjadi beban sosial, memiliki
masalah perilaku dan emosional sehingga
terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan
berbagai dampak negatif lainnya yang nantinya
akan semakin melemahkan daya saing bangsa
Indonesia dalam era globalisasi ini. Hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakuakan

oleh Berlin dan Sum, dimana hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa siswa yang mengalami
kegagalan akademik: sebanyak 69 % pernah
ditangkap polisi karena terlibat tindak
kriminalitas, sebanyak 79 % pemenuhan
kebutuhan hidupnya bergantung pada orang lain,
sebanyak 85 % menjadi ibu tanpa menikah,
sebanyak 85 % keluar sekolah, dan sebanyak 72
% menjadi pengangguran. (The California
Department of Education, 2000;2)
Berdasarkan penelitian Berlin dan Sum
diatas, keterlibatan kriminalitas karena siswa
tersebut tidak mengetahui secara pasti tujuan
dari belajar sehingga melakukan dengan
tindakan kekerasan. Banyaknya tawuran yang
terjadi ini dikalangan pelajar dan mahasiswa
sekarang ini selain ditekankan pendidikan
karakter bangsa juga perlunya arah yang jelas
tujuan belajarnya. Selain itu pola asuh dan gaya
pengasuhan orang tua merupakan faktor utama

dalam pertumbuhan dan pembelajaran anakanak (Steinberg, Elmen, & Mounts, 1989; Pratt,
1988; Xie, 1996). Penelitian di budaya barat
secara konsisten telah menunjukkan bahwa pola
asuh orang tua atau gaya pengasuhan secara
langsung berkaitan dengan prestasi sekolah
anak-anak (Dornbusch, Ritter, Leiderman,
Roberts, & Fraleigh, 1987; Steinberg,
Dornbusch & Brown, 1992 dalam Huang, et.all,
2004 ). Keberhasilan akademis selain tergantung
pada guru, serta orang tua yang sangat
mendukung (Lowden, 1998), selain kerja keras
dari siswa itu sendiri. Gaya pengasuhan tertentu
membantu anak-anak mengembangkan self
regulated learning dan mendorong mereka
untuk melakukan kontrol atas pembelajaran
mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan
keterlibatan siswa dalam self regulated learning

banyak membuktikan bahwa pola asuh yang
demokratis yang bisa digunakan untuk

menangkap variasi normal dalam upaya orang
tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan
anak-anak mereka (Baumrind, 1991 dalam
Huang, et.all,2004). Gaya pengasuhan adalah
membangun dunia mencerminkan pada emosi
keseluruhan dari hubungan orangtua-anak.
Dimana gaya pengasuhan menangkap dua unsur
penting dari pengasuhan: respon orang tua dan
permintaan orangtua (Darling & Steinberg,
1993). Permintaan orangtua mengacu pada
"klaim orangtua pada anak-anak untuk menjadi
terintegrasi ke seluruh keluarga, dengan tuntutan
waktu, pengawasan, upaya disiplin dan
kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak
mentaati" (Baumrind, 1991, hal. 61), sedangkan
respon orangtua adalah "sejauh mana orang tua
sengaja mendorong individualitas, pengaturan
diri, dan penegasan diri dengan menjadi selaras,
mendukung, dan sepakat untuk kebutuhan dan
tuntutan anak-anak secara ".(Huang, et.all,2004).

Dengan melihat Kasus kekerasan terhadap
anak yang cenderung meningkat di Indonesia.
Dimana sebagian besar atau 70,5%, pelakunya
adalah orang di sekitar rumah, hal ini sesusai apa
yang dikatakan oleh Menko Kesra Agung
Laksono, terkait hasil Rakor Tingkat Menteri
mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Anak, Sementara itu, data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2012,
masalah KTA yang dilaporkan masyarakat ke
lembaga itu ada sebanyak 3.871 kasus. Adapun
hasil pemantauan KPAI melalui survei cepat
terhadap 1.026 siswa SD, SMP, dan SMU di 9
provinsi, menemukan anak sebagai pelaku
kekerasan mencapai 78,3%. Selain itu kekerasan
anak di masyarakat sebesar 80,2%, dan
kekerasan anak di sekolah 87,6%, serta
kekerasan anak dalam keluarga tercatat 91%.
Menko Kesra mengatakan memang belum ada
data kekerasan terhadap anak (KTA), secara

nasional yang up to date. "Penyebab KTA ini
salah satunya pola asuh orang tua (Inggried Dwi
Wedhaswary dalam kompas.com)
B. Gaya Pengasuhan Orang Tua
Apakah ada cara mengasuh terbaik bagi
orang tua ? Diana Baumrind ( 1971,1996),
seorang ahli pola asuh terkemuka, berpikir
demikian. Ia berargumen bahwa orang tua tidak

boleh menghukum ataupun menjauhkan diri,
melainkan, mereka harus mengembangkan
peraturan untuk anak-anak dan pada saat yang
bersamaan juga bersikap suportif dan mengasuh.
Ratusan studi penelitian, termasuk penelitiannya
sendiri, mendukung pemikirannya (Collins &
Steinberg,2006). Terdapat 4 bentuk utama
gaya pengasuhan :
1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)
Pola asuh otoriter (authoritarian parenting)
bersifat membatasi dan menghukum. Orang

tua yang otoriter mendesak anak-anak untuk
mengikuti perintah mereka dan menghormati
mereka. Mereka menempatkan batas dan
kendali yang tegas terhadap anak-anak
mereka dan mengizinkan sedikit komunikasi
verbal.
2. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting)
Pola asuh otoritatif (authoritative parenting)
mendorong anak-anak untuk mandiri, tetapi
masih menempatkan batas-batas dan
mengendalikan tindakan mereka. Pemberian
dan penerimaan verbal yang ekstensif
dimungkinkan dan
orang tua bersikap
mengasuh dan mendukung.
3. Pola asuh yang mengabaikan (neglectful
parenting)
Pola asuh yang mengabaikan (neglectful
parenting) adalah gaya pengasuhan di mana
orang tua tidak terlibat dalam kehidupan
anak-anak mereka.
4. Pola asuh yang memanjakan (indulgent
parenting)
Pola asuh yang memanjakan (indulgent
parenting) adalah gaya pengasuhan di mana
orang tua sangat terlibat dengan anak-anak
mereka, tetapi hanya menempatkan sedikit
batasan atau larangan atas perilaku mereka.
Orang tua ini membiarkan anak-anak mereka
melakukan apa yang mereka inginkan dan
mendapatkan keinginan mereka karena
mereka yakin bahwa kombinasi dari
pengasuhan yang mendukung dan kurangnya
batasan, akan menghasilkan anak yang
kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah
anak-anak ini biasanya tidak belajar untuk
mengendalikan perilaku mereka sendiri.
Orang tua dengan pola asuh yang
memanjakan
tidak
mempertimbangkan
perkembangan diri anak secara menyeluruh.

C. Self regulated Learning
Self
regulated
learning
dapat
didefinisikan sebagai proses yang aktifkonstruktif di mana siswa mencanangkan tujuan
belajarnya dan kemudian berusaha memonitor,
meregulasi dan mengontrol kognisi, motivasi,
perilaku, dan karakter konteks lingkungan
belajar guna mencapai tujuan belajarnya tersebut
(Pintrich dalam Montalvo & Torres, 2004;
Zimmerman, 1989).
Zimmerman dan Schunk berpendapat
bahwa Self Regulated Learning mengacu pada
proses dimana siswa secara
sistematis
mengarahkan
pikiran-pikiran,
perasaanperasaan, dan tindakan-tindakan mereka kepada
pencapaian tujuan-tujuan mereka (Schunk,
2012:35). Self Regulated Learning (SRL)
menekankan kemandirian dan tanggung jawab
peserta didik untuk mengatur sendiri proses
belajarnya. Secara umum terminologi ini
terangkum dalam sub-sub terminologi dalam
Strategi Kognitif, Meta-Kognitif, Motivasi
yang koheren yang terkonstruksi dalam
“Bagaimana Diri’ menjadi agen untuk
menetapkan tujuan dan taktik pembelajaran
dan
bagaimana
setiap
individu
mempersepsikan diri
dan
tugas
yang
mempengaruhi tugas dan menghasilkan kualitas
tugas yang baik”.( Scott G. Paris & Alison H.
Paris,2001:3)
Secara Detail Self Regulated Learning
(SRL) dikembangkan oleh Zimmerman, dalam
sebuah Research Spectrum bahwa Self
Regulated Learning (SRL) adalah upaya
meningkatkan Metakognitif, motivasi dan
perilaku partisipasi aktif peserta didik yang juga
melibatkan pertanyaan mengenai aturan emosi
yang dimiliki oleh peserta didik.
"In general, student can be describe as self
regulated learning to the degree that they are
metacognitevely,
motivationally
and
behaviorally active peaticipants to their own
learning, (Zimmerman in 1989: 1 )." Artinya
siswa yang memiliki regulasi belajar dapat
partisipasi aktifnya dalam mengarahkan prosesproses metakognitif, motivasi dan perilakunya.
Arti metakognitif merujuk pada proses
pengambilan
keputusan
yang
mengatur
pemilihan dan penggunaan berbagai bentuk
pengetahuan. Siswa dikatakan telah menerapkan

self regulated learning apabila siswa tersebut
memiliki strategi mengaktifkan metakognisi,
motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar
mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz,
Zimmerman, 1989).
Menurut Zimmerman dan MartinezPons (1989:4) siswa yang mampu mengarahkan
dirinya saat belajar (Self-regulated learning)
dapat dilihat dari cara mereka merencanakan,
mengorganisasikan mengarahkan diri sendiri,
serta melakukan evaluasi diri pada berbagai
tingkatan selama proses perolehan informasi.
Siswa yang memiliki self regulated dapat
dikatakan sebagai orang yang memiliki
kemampuan (self efficator), memiliki otonomi
(autonomous) dan memiliki motivasi dalam diri
sendiri (instrinsically motivated)
Zimmerman (1989:4 ) mengemukakan
tiga unsur self Regulated learning (SRL), yaitu :
a. Meta-Cognitive yang
meliputi proses
pemahaman
akan
kesadaran dan
kewaspadaan diri serta pengetahuan dalam
menentukan pendekatan
pembelajaran
sebagai salah satu cara didalam proses
berpikir. Corni et al, 1986 mengemukakan
kemampuan metakognisi mendukung proses
self-regulated
learning (SRL)
dengan
merencanakan,
menetapkan
tujuan,
memonitor,
mengorganisasikan
dan
mengevaluasi bermacam-macam kegiatan
selama proses peningkatan kemampuan
(Zimmerman, 1990:5).
b. Motivationally. Individu yang memiliki
motivasi adalah individu yang memiliki
fokus terhadap pentingnya usaha luar biasa
dan ketekunan dalam belajar.
Menurut
Borkowski et al 1986, motivasi dalam Self
Regulation Learning (SRL) adalah situasi
karakteristik yang menunjukkan efficacy
yang tinggi, serta sifat diri dan
ketertarikan terhadap
tugas,
adanya
persepsi siswa mampu menyelesaikan
tugas dan potensi siswa akan mencapai
kesuksesan
dan
berani
menghadapi
kegagalan (Zimmerman, 1990:5).
c. Behaviorally active participants. Perilaku
partisipasi aktif merupakan respon yang
dipengaruhi oleh beberapa proses seperti
perilaku yang baik yang ditampilkan pada
sebuah lingkungan, perilaku partisipasi

aktif adalah perilaku yang dapat diamati,
dapat dilatih dan dikembangkan serta
sifatnya adalah interaksi. Proses perilaku
dalam
self-regulated
learning
yang
dikemukakan oleh Henderson et al, 1986
diantaranya
memilih,
menyusun
dan
menciptakan lingkungan untuk belajar.
Siswa mencari nasihat, informasi dan
tempat yang disukai untuk belajar. Siswa
juga melatih kemahiran dan menguatkan
pembentukan
performa
(Zimmerman,
1990:5).
Menurut Albert Bandura (Zimmerman
1989:2)
perspektif
dari
social kognitif
memandang self-regulation sebagai
proses
interaksi
dari
personal, behavioral
dan
lingkungan.
Perilaku adalah produk dari
pengaruh akan proses dalam diri (selfgenerated) serta
sumber
dari
luar.
Diasumsikan terdapat hubungan timbal balik
diantara tiga aspek. Self-Regulated Learning
tidak semata-mata ditentukan oleh proses
personal saja, namun juga dipengaruhi oleh
behavioral dan lingkungan secara timbal balik.
Bandura
(Zimmerman
1989:3)
menegaskan dalam hubungan timbal balik
antara diri, perilaku dan lingkungan, masingmasing pengaruh tidak harus memiliki
kekuatan atau pola-pola temporal yang sama.
Pengaruh lingkungan bisa lebih kuat daripada
personal atau behavioral dalam konteks tertentu
atau pada waktu tertentu.
a. Faktor dalam Diri (Personal)
Self-regulated learning pada siswa salah
satunya dipengaruhi oleh proses dalam diri
yang saling berhubungan.
Proses diri
atau personal diantaranya,
pengetahuan
yang dimiliki siswa, proses pengambilan
keputusan metakognitif, tujuan akademis
dan kondisi afektif.
Berikut dijelaskan
lebih lanjut.
1)
Pengetahuan yang dimiliki siswa
Zimmerman (1989:5) membedakan
dua jenis pengetahuan yang saling
mempengaruhi dalam self-regulated
learning, yaitu:
a) Pengetahuan deklaratif (declarative
knowledge). Pengetahuan yang
berupa pernyataan, terorganisasi
dalam bentuk subjek dan predikat,
mempunyai hubungan yang jelas

dengan kejadian- kejadian di dunia
luar, serta tidak dipengaruhi situasi
dan kondisi (Zimmerman 1989:5).
Informasi yang diterima berupa
pengetahuan yang didapat sesuai
dengan lingkungan tanpa melalui
proses pemikiran lebih lanjut.
b) Pengetahuan tentang bagaimana
mengarahkan diri (self-regulative
knowledge). Menurut Zimmerman
(1989:6)
pengetahuan
ini
diasumsikan
terdiri
atas
pengetahuan
prosedural
dan
pengetahuan
kondisional.
Pengetahuan
prosedural
yaitu
pengetahuan
tentang bagaimana
cara menggunakan suatu strategi,
misalnya untuk mengerjakan suatu
tugas seseorang membagi waktu
pengerjaannya.
Pengetahuan
kondisional berarti pengetahuan
yang dimiliki mengenai kapan
dan mengapa strategi menjadi
efektif.
Misalnya
dengan
meneruskan atau memberhentikan
strategi yang digunakan.
2)
Proses
pengambilan
keputusan
metakognitif
Berkaitan dengan proses metakognitif,
Zimmerman(1989:7) membedakan dua
tingkat self-regulation yang saling
mempengaruhi, yaitu umum dan khusus.
Pada self-regulation tingkat umum,
siswa melakukan analisa tugas atau
perencanaan melalui proses-proses
pengambilan keputusan untuk memilih
dan mengganti strategi-strategi yang
akan
digunakan.
Perencanaan
diasumsikan berlangsung berdasarkan
bentuk tugas dan lingkungan yang
dihadapi siswa, tujuan yang akan
dicapainya,
persepsi
tentang
kemampuannya, kondisi perasaannya
serta hasil dari proses mengendalikan
perilakunya (behavioral control) . Pada
self- regulation tingkat khusus, siswa
melaksanakan rencana yang telah
dibuat dengan menerapkan proses
pengendalian
perilaku.
Proses
pengendalian perilaku, mengarahkan
perhatian, pelaksanaan, ketekunan dan

pengawasan
respon-respon
yang
berupa strategi ataupun non str ategi
dalam
situasi-situasi
khusus.
Selanjutnya hasil yang telah diperoleh
menjadi umpan balik bagi proses
perencanaan.
3) Tujuan akademis
Tujuan akademis menjadi alasan
adanya variasi dalam penggunaan
strategi self-regulated learning diantara
siswa yang berprestasi tinggi
dan
rendah. Siswa pada dasarnya memiliki
potensi serta alasan yang berbeda untuk
berprestasi.
Setiap
alasan
mempengaruhi
cara pendekatan,
keterlibatan dan respon terhadap
situasi
akademis.
Bandura
mengemukakan orang yang mempunyai
self efficacy tinggi menetapkan tujuan
yang
lebih
menantang
untuk
dicapainya (Zimmerman 1989:8).
4) Kondisi afektif
Afeksi diartikan sebagai bentuk emosi
yang dimiliki peserta didik. Bentuk
emosi yang dimiliki siswa dapat
bersifat
menghambat
atau
memperlancar pencapaian akademis.
Misalnya kecemasan, terdapat bukti
kecemasan dapat menghalangi proses
mengendalikan perilaku (Zimmerman,
1989:8).
b. Faktor Perilaku (Behavioral)
Bentuk-bentuk
perilaku
yang
dinilai
mempengaruhi self-regulated learning adalah
self-observation, self-judgement dan selfreaction. Self-observation adalah respon
siswa
yang
melibatkan
pemantauan
sistematis terhadap hasil yang dicapainya.
Siswa
telah
sanggup memonitir
penampilannya meskipun belum lengkap
atau akurat. Siswa memilih dengan selektif
sejumlah aspek perilaku dan mengabaikan
aspek lainnya. Ketika menghadapi ujian,
siswa yang memiliki self-observation tinggi
akan memberikan perhatian yang penuh
pada kualitas, kuantitas, kecepatan serta
orsinilitas atau keasliaan pekerjaannya.
Mengobservasi
diri
sendiri
dapat
memberikan informasi mengenai tingkat
kemajuan
seseorang dalam mencapai

tujuannnya. Metode self-observation yang
sering digunakan adalah laporan lisan
maupun tulisan dan catatan kuantitatif
tentang aksi dan reaksi seseorang.
Self-judgement adalah respon siswa yang
melibatkan perbandingan sistematis antara
hasil yang sudah dicapai dengan suatu
hasil standar. Self-judgement membantu
meregulasi perilaku melalui proses mediasi
kognitif. Proses penilaian bergantung pada
empat hal: standar pribadi, performaperforma acuan, nilai aktivitas, dan
penyempurnaan performa. Dua cara yang
biasa digunakan oleh siswa
untuk
melakukan self-judgement adalah dengan
meneliti kembali dan membandingan hasil
yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh
orang lain atau dengan standar tertentu.
Self-reaction adalah respon siswa terhadap
hasil yang dicapainya. Individu merespon
positif atau negatif perilaku tergantung
bagaimana perilaku diukur dan apa
standar pribadinya. Berdasarkan teori sosial
kognitif, terdapat tiga jenis self-reaction
(Zimmerman, 1989:8), yaitu: behavioral
self-reaction yang digunakan siswa untuk
mengoptimalkan
respon
belajarnya
(misalnya memuji atau mengkritik diri
sendiri), personal
self- reaction yang
digunakan siswa untuk meningkatkan prosesproses dalam dirinya selama belajar
(misalnya
mengulang
materi
dan
menghapalkan), dan environmental selfreaction yang digunakan siswa untuk
meningkatkan
atau
memperbaiki
lingkungan belajarnya (misalnya, menyusun
buku sedemikian rupa agar mudah
dijangkau).
c. Faktor Lingkungan (Environmental)
Menurut Zimmerman (1989:9) dua jenis
pengaruh lingkungan yang mempengaruhi
self-regulated learning adalah pengalaman
sosial dan struktur lingkungan belajar. .
Keduanya diasumsikan berhubungan secara
timbal balik. Penjelasannya sebagai berikut :
1)
Pengalaman sosial. Salah satu
pengalaman sosial yang berpengaruh
bagi self-regulated
learning adalah
belajar melalui pengamatan secara
langsung
terhadap
perilaku
diri
sendiri dan hasil yang diperoleh dari

perilaku.
Menurut
Zimmerman
(1989:9) keputusan siswa untuk
menggunakan suatu strategi belajar
tertentu
akan
tergantung
pada
penilaiannya
tentang
manfaatnya
untuk mempelajari sesuatu. Bandura
menekankan pentingnya pengalaman
langsung (enactive experience) dalam
memberikan umpan balik mengenai
kemampuan diri sendiri sekaligus
pengetahuan
deklaratif
dan
pengetahuan
mengenai
cara
mengarahkan diri sendiri pada siswa.
Perasaan mampu untuk mempelajari
sesuatu diasumsikan sebagai motivasi
untuk pemilihan dan penerapan strategi
selanjutnya. Pengalaman
secara
langsung bisa didapatkan dari berbagai
cara yang didapat dari lingkungan
individu. Modeling merupakan proses
dalam
pengalaman
sosial
yang
membawa dampak bagi self-regulated
learning. Bentuk pengalaman sosial lain
yang juga penting adalah persuasi
verbal.
Apabila berdiri sendiri,
metode persuasi
verbal
seringkali
kurang ef ektif untuk mendorong
penggunaan suatu strategi belajar.
Persuasi verbal pabila dikombinasikan
dengan modeling menjadi perantara
yang sangat baik sehingga siswa
dapat
mempelajari
berbagai
keterampilan akademis. Zimmerman
dan Martinez-Pons
(Zimmerman,
1989:9) mengidentifikasi dua sumber
dukungan
sosial
lain
untuk
memperkuat modeling dan persuasi
verbal, yaitu pengar ahan langsung
(direct assitance) dari guru, teman atau
orangdewasa lain, serta informasi dan
literatur atau bentuk-bentuk simbolik
lain seperti diagram, buku panduan,
gambar, dan catatan.2)
Struktur
lingkungan
belajar .
Lingkungan
diilustrasikan sebagai tindakan siswa
sebagai tindakan proaktif seperti:
meminimalisir gangguan berupa polusi
udara (noise) bagi siswa yang gemar
belajar dilingkungan
yang
sepi,
mengatur cahaya pada ruangan tempat
belajar dan menata meja belajar.

Inisiasi lingkungan merupakan salah
satu
formula
yang
mendukung
keberhasilan self-regulated Learning
(SRL).
Zimmerman (1989:11) menekankan
untuk dapat dikatakan self-regulated ,
proses belajar siswa harus melibatkan
penggunaan strategi-strategi khusus
untuk mencapai tujuan akademisnya.
Strategi dalam self-regulated learning
mengarah pada tindakan dan proses
yang
diarahkan
pada
perolehan
informasi atau keterampilan yang
melibatkan pengorganisasian (agency),
tujuan (purpose) dan
persepsi
instrumental individu. Agency adalah
kemampuan individu untuk memulai
dan mengarahkan suatu tindakan untuk
mencapai
tujuan
yang
diharapkan.Purpose adalah tujuan yang
diharapkan
untuk
tercapai
dari
pelaksanaan setiap tindakan yang dapat
membantu meraih tujuan. Cara siswa
mengarahkan proses belajarnya dapat
dilihat
dari penggunaan
strategistrategi self- regulated learning dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik
yang diberikan kepadanya. Strategi
self-regulated learning dapat
pula
didefinisikan sebagai strategi-strategi
spesifik yang digunakan oleh siswa
dalam tugas-tugas belajar, untuk melatih
pengendalian
terhadap
proses
pembelajaran.
Strategi dianggap
penting karena dengan melakukan
strategi, individu dapat belajar dan
meningkatkan
performa
serta
keterampilannya
(Zimmerman,
1989:11). Self-Regulated Learning
(SRL) atau pengelolaan diri dalam
belajar merupakan strategi yang harus
dimiliki
oleh
seseorang
dalam
melakukan kegiatan belajar, sehingga
diperoleh hasil belajar sesuai dengan
kemampuan
yang
dimiliki.
Zimmerman
dan
Martinez-pons
mengidentifikasi 14 strategi dalam selfregulated learning yang diperoleh dari
teori
kognitif
sosial, didalamnya
melibatkan unsur-unsur metakognitif,
lingkungan
dan
motivasi. Setiap

strategi
bertujuan
meningkatkan
regulasi diri siswa pada fungsi
personal,
behavioral,
dan
environmental.
D. KESIMPULAN
Pola asuh dan gaya pengasuhan orang tua
merupakan faktor utama dalam pertumbuhan
dan pembelajaran anak-anak Keberhasilan
akademis selain tergantung pada guru, serta
orang tua yang sangat mendukung selain kerja
keras dari siswa itu sendiri. Gaya pengasuhan
tertentu membantu anak-anak mengembangkan
self regulated learning dan mendorong mereka
untuk melakukan kontrol atas pembelajaran
mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan
keterlibatan siswa dalam self regulated learning
banyak membuktikan bahwa pola asuh yang
demokratis yang bisa digunakan untuk
menangkap variasi normal dalam upaya orang
tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan
anak-anak mereka. Gaya pengasuhan adalah
membangun dunia mencerminkan pada emosi
keseluruhan dari hubungan orangtua-anak.
Dimana gaya pengasuhan menangkap dua unsur
penting dari pengasuhan: respon orang tua dan
permintaan orangtua. Permintaan orangtua
mengacu pada "klaim orangtua pada anak-anak
untuk menjadi terintegrasi ke seluruh keluarga,
dengan tuntutan waktu, pengawasan, upaya
disiplin dan kesediaan untuk menghadapi anak
yang tidak mentaati", sedangkan respon
orangtua adalah "sejauh mana orang tua sengaja
mendorong individualitas, pengaturan diri, dan
penegasan diri
dengan menjadi selaras,
mendukung, dan sepakat untuk kebutuhan dan
tuntutan anak-anak secara khusus.
Dengan melihat Kasus kekerasan terhadap
anak yang cenderung meningkat di Indonesia.
Dimana sebagian besar atau 70,5%, pelakunya
adalah orang di sekitar rumah, maka orang tua
tidak boleh menghukum ataupun menjauhkan
diri, melainkan, mereka harus mengembangkan
peraturan untuk anak-anak dan pada saat yang
bersamaan juga bersikap suportif dan mengasuh.
Dengan melihat masih adanya siswa yang
mengalami kesulitan belajar dan tidak
mendapatkan perhatian khusus maka siswa
tersebut akan menjadi warga negara yang tidak
produktif, menjadi beban sosial, memiliki
masalah perilaku dan emosional sehingga

terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan
berbagai dampak negatif lainnya yang nantinya
akan semakin melemahkan daya saing bangsa
Indonesia dalam era globalisasi ini. Gaya
pengasuhan tertentu membantu anak-anak
mengembangkan self regulated learning dan
mendorong mereka untuk melakukan kontrol
atas pembelajaran mereka sendiri. Hubungan
antara pola asuh dan keterlibatan siswa dalam
self regulated learning banyak membuktikan
bahwa pola asuh yang demokratis yang bisa
digunakan untuk menangkap variasi normal
dalam upaya orang tua untuk mengontrol dan
mensosialisasikan anak-anak mereka sehingga
bisa menumbuhkembangkan self regulated
learning anak dan selalu menggunakannya.
REFERENSI
Anastasi, A & Urbina, S.1997. Psychological
Testing. Edisi ke-7. PT Prehallindo.
Jakarta
Boekaerts, M., Pintrich, P., & Zeidner, M. 2000.
Handbook of self regulation. California:
Academic Press.
Classroom Management A California Resource
Guide for for Teachers and Administrators
of
Elementary
and
Secondary
Schools,2002. Los Angeles County Office
of Education Division of Student Support
Services Safe Schools Center, Developed
with funding and support from The
California Department of Education Safe
Schools and Violence Prevention Office
Depdiknas, 2007. Pusat Statistik Pendidikan.
(Diakses
melalui
http://www.psp.depdiknas.go.id/index.php
?option=com_wrapper&Itemid=43
Huang, Juan, Prochner, Larry. 2004, Chinese
Parenting Styles and Children's SelfRegulated Learning, Journal of Research
in Childhood Education sumber Journal of
Research in Childhood Education, Spring
Inggried Dwi Wedhaswary, 2010, 25 Juta Anak
Indonesia Alami Kekerasan,
WWW,
KOMPAS.com

Montalvo, F.T. & Torres, M.C.G. 2004. Self
Regulated Learning: Current and Future
Direction. Electronic Journal of Research
in Educational Psychology. 2 (1), 1-34.
Scott W. Vanderstoep and Paul R. Pintrich.1996,
Disciplinary
Differences
in
SelfRegulated Learning in College Students,
CONTEMPORARY
EDUCATIONAL
PSYCHOLOGY 21, 345–362 (1996)
ARTICLE NO. 0026
Scott G. Paris & Alison H. Paris . 2001
Classroom Applications of Research on
Self-Regulated
Learning
EDUCATIONAL
PSYCHOLOGIST,
36(2), 89–101, Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Scott G. Paris and Peter Winograd. The Role of
Self –Regulated Learning in contextual
teaching: Principles and Practices for
Teacher Preaparation, Paris/Winograd
CIERA Archive #01–03,
Schunk, D. H. 2012. Learning Theories An
Education al Perspective Teori-teori
Pembelajaran: Perspektif Pendidikan
Edisi Keenam Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Zimmerman, B. 1989. A social cognitive view of
self-regulated academic learning. Journal
of
Educational
Psychology
81
(September): 329–339. Diakses pada 27
Nopember 2012.
Zimmerman, B., and M. Martinez-Pons. 1988.
Construct validation of a strategy model
of student self-regulated learning. Journal
of
Educational
Psychology
80
(September): 284–290. Diakses pada 27
Nopember 2012.
Zimmerman, B., and M. Martinez-Pons. 1990.
Student Differences in Self-Regulated
Learning: Relating Grade, Sex,and
Giftedness to Self-Efficacy and Strategy
Use,

Zimmerman, B. and Schunk, D., ’Self-Regulated
Learning and Academic Thought’,
Lawrence Erlbaum Associates, Diakses
pada 27 Nopember 2012.
Zimmerman, B.J. 2002. Becoming A Self
Regulated Learner: An Overview. Theory
into
Practice.
(Diakses
melalui
www.findarticles.com Diakses pada 27
Nopember 2012.
Zimmerman, B.J. 2008. Investigating SelfRegulation and Motivation: Historical
Background,
Methodological
Developments, and Future Prospects,
American Educational Research Journal
Manth 2008, Vol. 45, No. 1, pp. 166 –183
DOI: 10.3102/0002831207312909 ©
2008 AERA. http://aerj.aera.net