Ketika Naga Menjerat Garuda Serbuan Tena

Ketika Naga Menjerat Garuda
Oleh : Ahmad Sofyan*

Di zaman sekarang, dimana pertarungan geopolitik
telah

memunculkan

kekuatan

baru

bernama

RRC/

Tiongkok, kita patut memperhitungkan kedudukan China
peranakan, terutama para konglomerat yang memiliki dana
besar.

Dengan


pertumbuhan

ekonomi

yang

tinggi,

Tiongkok kini mampu berperan sebagai penyeimbang
geopolitik bagi Amerika, terutama di kawasan Asia-Pasifik.
Bahkan tidak hanya di Asia-Pasifik, perang dingin
geopolitik baru telah melibatkan Tiongkok vs Amerika.
China dan Amerika telah lama terlibat adu diplomasi
minyak, keduanya telah memulai perang dingin gaya baru
di Kaukasia dan Afrika. China National Petroleum Corp
Selengkapnya
Tiongkok
ASEAN


mengenai

dalam
ada

di

http://goo.gl/9O4AcL

peran

negara-negara
buku

ini,

klik

(CNPC) berhasil membangun jalur pipa minyak dari
Kazakhstan ke barat laut China, proyek yang telah

menggeser signifikansi geopolitik jalur pipa Baku-TbilisiCeyhan (BTC) dukungan Washington.

Kedekatan kooperasi energi China-Kazakhstan-Rusia sangat merugikan Washington,
proyek Caspian Pipeline Consortium (CPC) yang dibentuk konsorsium Chevron Tengizchevoil
di Kazakhstan terhenti sejak medio dekade 1990-an. Keberhasilan CNPC membeli
PetroKazakhstan senilai $4.18 milyar, kemenangan kembali Sultan Nazarbayev dalam pemilu
2006, semakin memperkuat geopolitik minyak China. Nazarbayev pun dikenal dekat dengan
Vladimir Putin.
Perang Dingin baru Washington-Beijing terjadi pula di Afrika, terutama wilayah tengah
antara Sudan dan Chad. Perusahaan Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor
asing terbesar di Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang minyak.
Sejak tahun 1999 China telah menginvestasikan setidaknya $15 miliar di Sudan. CNPC sendiri
kini memiliki 50% keuntungan dari kilang minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan
pemerintah Sudan. Sayang, proyek migas China di Sudan Selatan kini terhenti setelah wilayah

itu dilanda kerusuhan etnis yang kemudian melahirkan negara baru Sudan Selatan pada Juli 2011
lalu.
China pun melakukan kesepakatan dengan Nigeria dan Afrika Selatan. Perusahaan
nasional minyak China (CNOC) akan mengangkat minyak di Nigeria, melalui konsorsium yang
juga beranggotakan South Africa Petroleum Co., membukakan China akses ke sumber

eskploitasi 175.000 barel per hari pada tahun 2008.
AS sendiri jelas ingin menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.
Kekalahannya dalam perebutan sumber-sumber SDA di Kaukasia dan Afrika, membuat AS tidak
akan melepaskan Asia Tenggara ke tangan China.
Kini ASEAN tengah dimanfaatkan untuk melemahkan pengaruh China. Jika dulu AS
hanya memiliki Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia dan Brunei dalam menjaga „stabilitas
kawasan„, kini Vietnam dan Kamboja berlawanan dengan Tiongkok sejak klaim negeri Panda di
Laut China Selatan (LCS). Bahkan sejak 2008, Washington tidak terlalu menekan rezim
Myanmar, bahwa Washington akhirnya dapat menambah Myanmar sebagai „teman‟ strategis.
AS cenderung menyikapi pengaruh Tiongkok di ASEAN dengan melakukan militerisasi
kawasan. Kehadiran ribuan marinir di Darwin, rencana penempatan militer kembali di Filipina,
dan latihan militer bersama di LCS. Bahkan, Filipina telah menerima hibah beberapa kapal
perang dari AS.
Belum lama ini, Indonesia mendapat kunjungan dari Presiden Tiongkok Xi Jinping di
Jakarta, dan telah melakukan penandatanganan Joint Venture Agreement antara 23 perusahaan
dengan total nilai investasi 32,8 miliar dolar AS.
"Penandatanganan tersebut meliputi total investasi senilai 32,8 miliar dolar AS, di
antaranya untuk sektor pengolahan mineral, komunikasi, perumahan, dan lain-lain," kata Menteri
Perindustrian MS. Hidayat.
Nilai investasi Tiongkok ke Indonesia pada 2012 lalu tercatat sebesar 141 juta dolar AS

dengan 190 proyek yang naik jika dibandingkan dengan tahun 2011 lalu yang mencapai 128,2
juta dolar AS.
Untuk realisasi investasi Tiongkok ke Indonesia pada kuartal I pada tahun 2013 mencapai
60,2 juta dolar AS dengan 99 proyek dan diharapkan investasi tersebut akan meningkat jika
terlibat pada proyek-proyek infrastruktur Indonesia dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Tiongkok merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia dengan
jumlah penduduk sebanyak 1,35 miliar jiwa dan GDP sebesar 8,2 triliun pada tahun 2012.
Bahkan kini sawah di Indonesia pun telah tersentuh investasi asing (Tiongkok), kelompok
agribisnis Tiongkok-Malaysia tengah berupaya membangun lahan persawahan dan proyek
pengolahan terpadu pada November mendatang di Indonesia. Dengan dana investasi US$ 2
miliar (Rp 20,3 triliun), perusahaan Tiongkok ini berharap bisa memasuki pasar berkembang di
tanah air sekaligus memenuhi pasokan beras domestik.
Seperti dilansir dari Malaysia Chronicle, Senin (22/7/2013), perusahaan perkebunan
Tiongkok Liaoning Wufeng Agricultural telah menandatangani nota kesepakatan kerja sama
dengan Malaysian Amarak Group dan perusahaan lokal Indonesia, Tri Indah Mandiri.
Wufeng merupakan pemodal utama dalam rencana pengembangan dan pengolahan padi
dan kedelai di Subang, Jawa Barat, Indonesia. Amarak diketahui berkontribusi sebesar 20% dari
investasi awal di tanah air tersebut. Sebuah laporan menyatakan jumlah investasi tersebut bisa

berkembang mencapai US$ 5 miliar (Rp 50,8 triliun).
Bayangkan, selain Karawang, Subang dikenal sejak zaman Orde Baru merupakan lumbung
padi Nasional dan menjadi garapan dalam mewujudkan swasembada pangan Indonesia.
Kementerian Pertanian telah melanggar Undang-Undang jika membiarkan investor asal
Tiongkok dan Malaysia memborong lahan sawah. Pasalnya dalam UU Agraria dan UU
Pemberdayaan dan Perlindungan Petani telah dijelaskan bahwa suatu lahan produktif tidak boleh
dibeli selain dari daerah tersebut.
Jika sawah pun sampai harus menjadi milik asing, maka nasib petani bangsa hanya sebagai
pengurus/kuli saja, tidak pernah berubah menjadi lebih baik. Di atas semua itu, yang turut
dipertaruhkan adalah kedaulatan pangan nasional. Jika masalah ketahanan pangan juga dikuasai
oleh pihak asing, maka secara ekonomis Indonesia dijajah lagi oleh pihak asing.
Menurut sebuah dokumen mengenai proyeksi yang akan datang bertajuk Global Trends
2030 : Alternative Worlds. a publication of the National Intelligence Council, pada tahun 2016,

Tiongkok akan mengalami ledakan usia produktif angkatan kerja, yaitu sekitar 994 juta jiwa.
Angkatan kerja ini bisa jadi akan menjelma sebagai sebuah bom sosial jika tidak disalurkan.
Karenanya, invasi ekonomi Tiongkok di negara-negara asing bisa dipastikan turut pula
memboyong pekerja-pekerja mereka ke luar Tiongkok sebagai bentuk penyaluran angkatan kerja
yang membludak.


Kerjasama Tiongkok dengan Menteri Chairul Tandjung membuka Kawasan Ekonomi
Khusus

(KEK) di pulau Bitung, bisa dipastikan menjadi suatu cara lain bagi Tiongkok

menyalurkan tenaga kerjanya ke Bitung. Di Bitung, salah satu kota di Sulawesi Utara, Tiongkok
akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti
pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda
tersembunyi Tiongkok, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.1
Dalam dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, dikatakan bahwa pola kolonialisme
ala Tiongkok memang cenderung memakai „Pendekatan Panda‟ (simpati) melalui investasi,
capacity building, hibah, dan lain-lain. Tentu berbeda sekali dengan pola ala Barat yang

cenderung (usil) memainkan isu demokratisasi, lingkungan, HAM, dan lainnya guna memasuki
kedaulatan negera lain, dimana ujungnya seringkali pendudukan militer dengan aneka dalih.2
Pertanyaannya, Apakaha para Tiongkok peranakan yang ada di Indonesia bagian juga dari
desain ini?
Memang masih perlu dikaji lebih dalam. Namun yang jelas, para Taipan peranakan ini
merupakan salah satu penyangga ekonomi Tiongkok saat ini. Setidaknya sekitar 60 persen
investasi di Tiongkok kemungkinan besar berasal dari para Taipan peranakan yang berkampung

halaman di Tiongkok Selatan ini. Termasuk Liem Soe Liong, yang imperium bisnisnya di
Indonesia dan Asia Pasifik saat ini diteruskan oleh putranya, Anthony Salim.
Masuk akal jika kita jadi was-was. Apalagi dengan fakta bahwa para Taipan peranakan
yang beroperasi di Indonesia, saat ini sebagian besar merapat ke kubu presiden terpilih Jokowi
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam proxy
war antara Tiongkok versus AS. Keduanya hendak-saling berebut pengaruh sebagaimana terjadi

di banyak negara Afrika, Tiongkok via “Pendekatan Panda”, sedang Paman Sam ---seperti biasa--melalui penyebaran (pangkalan) militernya. Pertanyaannya kini, “Bagaimana takdir geopolitik
Indonesia nantinya?”3

1

Waspadai
Skema
Zona
Ekonomi
Khusus
China
di

review.com/content_detail.php?lang=id&id=16118&type=108#.VFELWkDJnDd
2
Membaca
Geliat
Naga
di
review.com/content_detail.php?lang=id&id=16153&type=100#.VFAXJkDJnDc
3
Ibid.

Indonesia,

http://theglobal-

Bitung,http://www.theglobal-

Bahkan sekarang ini, Dato Sri Tahir (Mayapada Grup, menantu Mochtar Riady), orang
terkaya ke-12 menurut majalah Forbes, diangkat sebagai penasehat TNI. Panglima berdalih jika
itu untuk kepentingan kesejahteraan prajurit. Tetapi saya memiliki hipotesa lain :
“Apakah perekrutan Tahir itu sebagai upaya TNI dalam menghadapi proxy-war terutama

yang berkaitan dengan Laut China Selatan (LCS)? Artinya apakah TNI mencoba memainkan
kuda-kuda ganda karena membaca peran China peranakan dalam mempengaruhi kebijakan luar

negeri RRC?”4
Soal itu hanya waktu yang dapat menjawab. Tetapi bagi saya, ini bukan soal penempatan
penasehat Tionghoa semata, atau urusan kesejahteraan. Tapi TNI sepertinya sedang memainkan
geopolitical game yang jelas bukan tanpa resiko.
Selain itu, pengangkatan konglomerat sebagai penasehat TNI yang katanya untuk
membantu pengadaan rumah-rumah prajurit berbenturan dengan Undang-Undang TNI Nomor 34
Tahun 2004. "Kebutuhan TNI harus dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,"
Disisi lain, RRC bisa memainkan kartu AS-nya yang menguntungkan juga andai nanti
terjadi peningkatan eskalasi konflik militer di LCS yang kemudian melibatkan TNI-PLA head to
head. RRC dapat memanfaatkan "legiun kuning" mereka di Indonesia yang menguasai 70%
perekonomian nasional dan membangkrutkan NKRI sebelum perang usai.
INGAT, ini sudah terjadi dua kali. Pertama di era Soekarno (1959-1960), kedua tahun
1998. Pelarian modal/aset warga Tionghoa meruntuhkan ekonomi nasional.
Dengan tarikan politik antara Tiongkok dan Amerika, Indonesia memang memiliki nilai
penting dan strategis. Betapa tidak, selain faktor SDA, tidak kurang dari 50 persen perdagangan
komersial dunia pasti melalui perairan Indonesia. Luas wilayah yang mendominasi kawasan,
penduduk terbanyak, dan sumber daya alam terkaya di kawasan Asia Tenggara, menempatkan

Indonesia sebagai kekuatan utama dan kunci stabilisator keamanan kawasan. Maka tidak
berlebihan memang jika dikatakan, “Siapa yang lebih dulu menguasai Indonesia, maka dia
telah memenangkan ASEAN.”
Sekarang ini upaya-upaya untuk menihilkan geopolitik Indonesia telah terjadi secara
massif, dari sisi pangan saja kita masih harus impor, sawah pun dikuasai asing. Belum lagi jika
kita menengok aspek-aspek lain seperti migas, telekomunikasi, hukum dan perundang-undangan

4

Mencermati Peran China Peranakan Dalam Kebijakan Luar Negeri RRC, http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=16443&type=105#.VFENd0DJnDc

yang semua sudah terlalu liberal. Kita ibarat pasukan yang gagah secara postur tapi dilengkapi
dengan tombak yang patah, tameng yang berkarat dan penuh lubah.
Lalu bagaimana takdir geopolitik kita?

* Penulis adalah peminat dalam kajian politik, sosial, agama, budaya, sejarah, dan intelijen.
Pernah menjadi kolumnis majalah INTELIJEN. Semasa mahasiswa pernah menjabat sebagai staf Kajian
Strategis (Kastra) PP Himpunan Mahasiswa Persis, Sekjen Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI)
Sektor Informal kota Bandung. Pernah mengadvokasi hak-hak pedagang kaki lima di kota
Bandung, anak jalanan, dan kaum dhu‟afa.