BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) - Gambaran Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler yang Mendapat Obat Antihipertensi Lebih Dari Satu di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ginjal merupakan sepasang organ yang terletak di belakang peritoneum

  pada bagian belakang rongga abdomen, mulai dari vertebra torakalis kedua belas (T12) sampai vertebra lumbalis ketiga (L3) (O’Challagan, 2006). 2 Fungsi spesifik ginjal mencakup mempertahankan keseimbangan H dalam tubuh, mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstraseluler, memelihara volume plasma yang sesuai membantu, memelihara keseimbangan asam-basa tubuh, memelihara osmolaritas, mensekresikan produk- produk sisa dari metabolisme tubuh, mensekresikan eritropoietin, mensekresikan rennin, dan mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas-protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Proses ini disebut filtrasi glomerulus. Pada saat filtrate mengalir melalui tubulus, zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus merupakan proses reabsorpsi tubulus. Bersamaan dengan hal ini juga tejadi perpindahan selektif zat- zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus merupakan proses sekresi tubulus. Ketiga proses ini dikenal sebgai proses urinasi (Sherwood, 2001).

  Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah laju cairan melewati nefron setelah filtrasi dan mengukur fungsi ekskresi ginjal (Goddard et al, 2010). Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma masuk ke glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi netto 10 mmHg, menghasilkan secara kolektif melalui semua glomerulus 180 liter filtrat glomerulus setiap hari untuk LFG rata-rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari untuk LFG 115 ml/menit pada wanita, dan hal ini cenderung konstan oleh karena otoregulasi LFG.

  Pada penyakit-penyakit yang berkurang aliran darah intrarenal, kerusakan glomerulus atau penyumbatan aliran bebas ultafiltasi sepanjang tubulus, maka LFG akan turun dan kemampuan ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa dan mengatur volume dan komposisi cairan tubuh akan terganggu yang akan menghasilkan gagal ginjal atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

  PGTA merupakan tahapan PGK yang menggambarkan kondisi klinis akumulasi toksin-toksin, cairan, dan elektrolit yang dalam keadaan normal dikeluarkan oleh ginjal menghasilkan keaadan sindroma uremia. Sindroma ini akan mengarah kepada kematian jika zat toksin tadi tidak dikeluarkan dari tubuh dengan terapi pengganti ginjal, menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal. (Bargman dan Skorecki, 2010).

  2.1.1. Definisi

  PGTA adalah tahap kelima (akhir) dari PGK, dimana telah terjadi kerusakan ginjal dan penurunan LFG <15 ml/min/1.73m² selama ≥3 bulan ( Levey et al, 2003).

  2.1.2. Etiologi

Tabel 2.1 Penyebab tersering PGTA

  Penyakit Proprosi Contoh Penyakit kongenital dan 5% Penyakit ginjal polikistik, diturunkan sindroma Alport

  Stenosis arteri ginjal 5% Hipertensi 5-20%

Penyakit glomerular 10-20% Nefropati IgA adalah

penyebab paling sering

  Penyakit interstisial 20-30%

Penyakit inflamasi 5-10% SLE (systemic lupus

sistemik erythematosus), vaskulitis

  Diabetes mellitus 20-40% Perbedaan geografi dan ras mempengaruhi sangat besar

  Tak diketahui 5-20% Sumber : Goddart, J., Turner, J., Stewart, L.H., 2010.

  2.1.3. Gejala Klinis

  PGK ditandai dengan adanya peningkatan urea dan kreatinin darah yang ditemukan selama pemeriksaan rutin yang sering dibarengi oleh hipertensi, proteinuria, atau anemia. Kebanyakan pasien dengan progresivitas penyakit yang lambat adalah asimptomatik sampai LFG <30 ml/min/1.73m² (tahap 4 atau 5). Nokturia, yang diakibatkan kehilangan kemampuan pengkonsentrasian dan peningkatan muatan osmotik per nefron dapat menjadi gejala awal.

  Setelah itu, gejala dan tanda dapat berkembang di hampir semua sistem tubuh yang ditandai dengan kelelahan dan sesak nafas. Pada PGTA dapat muncul, pruritus, anoreksia, mual, dan muntah. Kemudian, pernapasan cuping hidung, respirasi dalam karena asidosis metabolik (pernapasan tipe Kussmaul), kedutan otot, mengantuk, dan koma (Goddard et al, 2010).

  2.1.4. Komplikasi

  Beberapa komplikasi dari PGTA (Smeltzer & Bare, 2005) : 1.

  Hiperkalemia yang disebabkan oleh penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan intake yang berlebihan (diet, obat-obatan, cairan).

  2. Pericarditis, efusi pericardium, dan temponade pericardium yang disebabkan oleh penumpukan (retensi) produk-produk sisa ureum dan dialisis yang inadekuat.

  3. Hipertensi yang disebabkan oleh retensi garam dan air dan malfungsi dari sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA)

  4. Anemia yang disebabkan oleh penurunan produksi eritropoeitin, penurunan masa hidup eritrosit, perdarahan pada saluran cerna dari toksin-toksin yang mengiritasi dan pembentukan ulkus, dan kehilangan darah selama HD.

  5. Penyakit tulang dan metastasis dan kalsifikasi vascular yang disebabkan oleh retensi fosfor, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D yang abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.

  Gambar 1. Proses sekunder pada PGK yang mengarah kepada penyakit kardiovaskular dan kematian. Panah merah : jalur pathogenesis; panah hitam: jalur umpan balik. (Sumber : Thomas et al, 2008)

2.2. Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada PGTA

2.2.1. Faktor keturunan ( genetik )

  Laju perburukan dari PGK menjadi PGTA yang akhirnya berkembang menjadi beberapa komplikasi yang parah setidaknya dipengaruhi secara tidak langsung oleh faktor genetik. Oleh karena itu penting untuk dilakukan studi hubungan dalam keluarga sebagai contoh jika kerabat dari pasien yang menderita PGK ada, maka resiko dirinya untuk menderita PGK adalah lebih besar, dan adanya riwayat keluarga pasien PGK lebih sering pada pasien yang lebih muda daripada pasien tua.

  Ada banyak marker genetik dari PGK, salah satunya adalah gen Renin Angiotensin dimana pada penyakit ginjal dan sistem vaskular gen ini mengalami up-regulasi. Pada keadaan ini terjadi polimorfisme insersi/delesi (I/D) pada intron 16 dan D/D yang mengakibatkan kadar ACE yang lebih tinggi. Peningkatan kadar ACE dikaitkan dengan kejadian hipertropi ventikel kiri dan peningkatan ketebalan lapisan intima-media arteri karotis. Laju dari penurunan fungsi ginjal muncul ketika ada ditemukannya D allele dan individu dengan genotip D/D lebih cenderung untuk mendapat PGK di usia yang lebih muda dan prognosis yang lebih buruk. Gen yang mengkode Angiotensinogen juga berperan dalam RAS. Genotip Thr/Thr dari polimorfisme angiotensinogen Met 235Thr terkait dengan peningkatan kadar angiotensinogen dan akhirnya akan meningkatkan resiko hipertrofi ventrikel kiri dan komplikasi vaskular..

2.2.2. Hipertensi

  Hipertensi adalah penyebab yang sering dan juga akibat utama dari PGK (Jha & Wang, 2012). Penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi dan sebaliknya hipertensi kronis dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Pada prakteknya, sulit dibedakan antara kedua kejadian ini mana yang lebih dahulu terlebih pada penyakit ginjal menahun Pada hipertensi (

  ≥140/90) dapat menyebabkan kerusakan target organ, diantaranya adalah ginjal. Kenaikan darah sistemik dapat mempunyai efek langung berupa peningkatan tekanan darah pada target organ, atau efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stres oksidatif, down regulasi dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain (Yogiantoro, 2009).

  2.2.3. Diabetes Mellitus

  Diabetes Melitus adalah yang paling sering menyebabkan PGTA sekitar 30-50% dari seluruh kasus (Jha & Wang, 2012). Istilah ini juga dikenal dengan

  Glukosa darah yang meningkat pada diabetes mellitus yang berlangsung kronik mengakibatkan glukosa memasuki sel glomerulus melalui fasilitai glucose transport (GLUT), khususnya GLUT1 yang megakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti polyol pathway, hexoamine pathway, protein kinase C (PKC)

  pathway , dan penumpukan zat yang disebut advanced glycation end-products (AGEs) yang irreversibel. (Lubis, 2009).

  AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan selular seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuclear, juga terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus belanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009)

  Hipertensi terjadi bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan sistem renin-angiotensin. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus (Hendromartono, 2009)

  2.2.4. Interdialytic Weight Gain (IDWG)

  Diantara semua faktor yang menyebabkan hipertensi pada pasien HD, volume yang berlebihan dianggap sebagai faktor yang paling penting. Pada keadaan seperti in (ekspansi volume) obat antihipertensi kurang efektif. Penelitian observasional menunjukkan pengurangan volume akan meningkatkan perbaikan tekanan darah pada 70-90% pasien (Agarwal et al, 2009).

  

Interdialytic weight gain (IDWG) adalah peningkatan berat kering pasien HD

  selama menjalani HD. Peningkatan berat kering ini dapat disebabkan oleh peningkatan kadar natrium dan air selama HD. Maka ketika terjadi kontrol volume yang buruk pada pasien PGTA akan memperburuk kondisi hipertensinya yang berefek terjadinya komplikasi (misalnya komplikasi kardiovaskular).

  Cara untuk menurunkan tekanan darah adalah memperkirakan dan antara mempertahankan normotensi interdialisis dan mencegah hipervolemia atau hipovolemia simptomatis. Namun metode untuk mengukur berat kering seperti

  

bioimpedance analysis dan spectroscopy komposisi seluruh tubuh tidak tersedia di

rumah sakit (Weir & Jones, 2010).

  Hipertensi intradialitik lebih sering terjadi dibanding hipertensi interdialitik. Hipertensi intradialitik disebabkan oleh peningkatan endothelin, overaktivitas simpatik, aktivasi sistem RAA atau faktor spesifik dialisis seperti batas peninkatan sodium, kalsium dialisat yang tinggi, hipokalemia, atau penghentian pengobatan antihipertensi. Hipertensi intradialitik didefenikan sebagai keadaan dimana Mean Arterial Pressure (MAP)

  ≥ 15 mmHg selam atau segera setelah HD atau peningkatan tekanan darah sistolik > 10 mmHg dari pre- menuju post-dialisis (Horl, 2010).

2.3. Hemodialisis

  Hemodialisis (HD) adalah salah satu dari beberapa terapi penggantian ginjal yang digunakan untuk penatalaksaan gagal ginjal.

  2.3.1. Definisi

  HD adalah metode dialisis yang paling sering digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (end stage renal disease) yang memerlukan terapi jangka panjang atau terapi permanen ( Rubin et al, 2004).

  2.3.2. Indikasi

  Terapi HD dipertimbangkan pada pasien dengan beberapa indikasi, diantaranya ditemukannnya sindroma uremik pada pasien, hiperkalemia yang tidak berespon terhadap terapi konservatif, asidosis yang menetap, edema yang persisten dengan terapi diuretik, bleeding diathesis, dan laju filtrasi gromerulus

  2 (Liu dan Chertow, 2010).

  ≤10 mL/menit per 1,73 m Menurut Konsensus Pernefri (2003) untuk mencapai adekuasi HD diperlukan dosis 10-12 jam perminggu yang dapat dicapai dengan frekuensi HD 2 kali/minggu dengan lama waktu 5 jam atau 3 kali/minggu dengan lama waktu 4 jam. Dalam penelitian ini, dikatakan pasien HD reguler adalah sesuai dengan pengertian diatas, yaitu pasien yang menjalani HD minimal 2 kali/minggu dengan lama waktu 5 jam

2.3.4. Prinsip kerja

  Pada HD, darah dipompa melewati satu sisi membrane semipermiabel sementara cairan dialisat dipompa melewati dari sisi yang lain dengan arah gerakan yang berlawanan. Membran biasanya diletakkan dalam wadah sebagai lembaran yang memiliki lubang ditengahnya. Jumlah cairan yang dikeluarkan melalui ultrafiltrasi (perpindahan air dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat) dikontol dengan mengubah tekanan hidrostatik darah dibandingkan dengan cairan dialisat.(O’Challagan, 2006 ; Raharjo dkk, 2009)

  Perpindahan zat antar kedua kompartemen ini mengakibatkan mengakibatkan kesetimbangan di kedua sisi membrane. Dengan demikian komposisi plasma dapat dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat (O’Challagan,2006) Gambar 2. Skema HD (Sumber: Liu & Chertow, 2010)

2.3.5. Tujuan

  Target dari prosedur HD adalah memindahkan hasil metabolit toksik dari darah pasien PGTA.

2.3.5. Komplikasi

  Komplikasi HD bervariasi antara akut dan kronik. Komplikasi akut HD adalah komplikasi yang terjadi selama HD berlangsung. Komplikasi intradialitik dapat berupa hipotensi, kram otot, mual dam muntah, sakit kepala, sakit punggung gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekiulibrium, reaksi dialiser, aritmia, temponade jantung, perdarahan intracranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia (Raharjo dkk, 2009).

  Komplikasi kronik pada pasien HD adalah kematian yang paling banyak disebabkan oleh komplikasi kardiovaskular. Dari sekian banyak faktor yang dapat meningkatkan komplikasi kardiovaskular, hipertensi pada HD adalah faktor resiko yang paling penting yang berperan dalam komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular (Cianci, 2009).

2.4. Patogenesis Hipertensi pada HD

  Patogenesis hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir adalah multifaktorial. Keseimbangan antara sodium melalui ambilan (cairan hemodialisat dan asupan makanan) dan berkurangnya ekskresi ginjal, mengakibatkan peningkatan volume ekstraseluler dan konsekuensinya adalah hipertensi sistemik dan vascular dan remodelling jantung (Cianci et al, 2009) 1.

   Hipervolemia

  Ekspansi volume mungkin merupakan faktor utama dalam perkembangan hipertensi pada pasien dialisis. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan darah (TD) melalui kombinasi dari peningkatan curah jantung dan resistensi pembuluh darah sistemik yang tinggi dan / atau dari sekresi ouabain seperti inhibitor Na-K-ATPase. Yang terakhir ini bisa menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler, yang meningkat di sel otot polos vaskular dan menginduksi vasokonstriksi.

  2. Hiperaktivitas dari sistem RAA

  Hubungan abnormal antara natrium yang ditukar atau blood volume (BV) dan aktivitas renin plasma telah dibuktikan pada pasien dialisis. Hal ini menunjukkan bahkan di konsentrasi renin plasma "normal", di beberapa kejadian, dapat terjadi kelebihan natrium yang tinggi atau peningkatan volume darah. Mekanisme yang jelas mendasarinya adalah sekresi renin ini masih belum dimengerti secara tepat, tetapi kemungkinan bahwa daerah iskemia ginjal yang disebakan oleh jaringan parut memainkan peran utama.

  3. Peningkatan aktivitas simpatik

  Overaktivitas simpatik sudah umum ditemukan pada stadium akhir penyakit ginjal, yang berhubungan dengan peningkatan baik resistensi pembuluh darah dan TD sistemik. Hipotesis saat ini bahwa hiperaktivitas simpatik ini disebabkan oleh akumulasi metabolit uremik yang mengaktifkan kemoreseptor dalam ginjal, memunculkan refleks saraf yang merangsang pusat kardiovaskular di batang otak. Hipotesis ini didukung oleh penelitian terhadap tikus yang menunjukkan berkurangnya hipertensi pada 5/6 tikus insufiensi ginjal kronis yang dilakukan nephrectomy. Mekanisme tambahan yang mendasari overaktivitas simpatik termasuk peningkatan kadar angiotensin II dan asimetris dimethylarginine yang juga berperan dalam hipertensi dan komplikasi kardiovaskular, tetapi penyebabnya tidak sepenuhnya dipahami.

  4. Gangguan fungsi sel endotel

  Sebuah konsep menarik mengenai patogenesis hipertensi pada PGTA adalah pengeluaran senyawa aktif hemodianamik endotel yang abnormal. Peran patogenik dari peningkatan konsentrasi endotelin-1 mengakibat menurunnya clearance ginjal atau kerusakan sel endotel telah diusulkan sebagai faktor hipertensi yang relevan pada pasien ini serta akumulasi inhibitor endogen vasoaktif endothelium vaskular Nitric Oxide (NO) seperti asymmetric-dimethyl

  

arginine (1-ADMA) yang merupakan inhibitor sintesis NO. Pengamatan ini

  meningkatkan kemungkinan bahwa kekurangan NO dapat berperan dalam hipertensi pada stadium akhir penyakit ginjal. (Cianci et al, 2009).

  5. Erythropoietin (EPO)

  Peningkatan TD sebesar 10 mmHg atau lebih mungkin terjadi pada pasien dengan gagal ginjal yang dirawat dengan EPO. Risiko paling besar pada mereka dengan koreksi yang cepat anemia berat dan dengan hipertensi praeksisten. EPO dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, mekanisme efek ini tidak sepenuhnya jelas. Dengan mengoptimalkan pengobatan dialisis , memperhatikan dekat regulasi volume, memberikan EPO subkutan dan dalam mode untuk meningkatkan hematokrit secara bertahap, terjadinya BP meningkat dapat diminimalkan. Hipertensi tidak terbukti menjadi masalah umum pada pasien yang diobati EPO (Cianci et al, 2009) 6.

   Hiperparatiroidisme sekunder

  PGTA sering dikaitkan dengan hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Telah ditujunkkan bahwa pada pasien dengan gagal ginjal kronis terbukti signifikan hubungan antara kalsium intraseluler dan PTH dan antara PTH dan TD rata-rata. Pada pasien yang diobati dengan vitamin D analog TD rata-rata menurun secara signifikan dan perubahan

  2+

  TD berkaitan erat dengan perubahan dalam serum PTH dan Ca . Namun, hasil mengenai dampak dari Paratiroidektomi pada TD bertentangan, sehingga peran hiperparatiroidisme dalam patogenesis hipertensi dalam dialisis masih belum jelas terdefinisi.

7. Kalsifikasi aorta

  Pasien dengan stadium akhir penyakit ginjal lebih mungkin untuk memiliki peningkatan tekanan nadi dan hipertensi sistolik terisolasi . Mengapa hal ini terjadi adalah tidak sepenuhnya dipahami, tetapi peningkatan kekakuan aorta tampaknya memainkan peran penting. Hal ini dapat berubah terkait usia dalam kekakuan pembuluh darah, bersama dengan faktor khas uremia, mengakibatkan hilangnya besar dan kecil perengangan arteri dan perubahan besar dalam fungsi sirkulasi yang termasuk kenaikan tekanan sistolik dan pelebaran tekanan nadi.

  Kecepatan gelombang denyut nadi terintegrasi dari fungsi dan struktur pembuluh darah, dan merupakan penentu utama hipertensi sistolik, sehingga meningkatkan afterload ventrikel kiri, hipertrofi ventrikel kiri dan konsumsi oksigenventrikel kiri. Penurunan tekanan darah diastolik, merupakan konsekuensi lain kaku arteri, terkait dengan penurunan perfusi koroner berperan terhadap penyakit jantung iskemik dan evolusi adaptif ke dalam ventrikel kiri maladaptive hipertrofi. Pengukuran kekakuan aorta dapat berfungsi sebagai alat penting dalam mengidentifikasi stadium akhir penyakit ginjal pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular.

2.5. Kombinasi Antihipertensi pada pasien HD Antihipertensi adalah obat yang dapat menurunkan tekanan darah.

  Menurut Katzung, kelompok obat antihipertensi ada 4, yaitu: 1.

  Diuretik, golongan antihipertensi ini menurunkan tekanan darah dengan membuang natrium tubuh dan mengurangi volume tubuh dan mungkin dengan mekanisme yang lain

  2. Agen Simpatoplegi, golongan antihipertensi ini menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi vaskular perifer, menghambat kerja jantung meningkatkan pengisisan vena dalam kapasitansi pembuluh darah. Golongan obat ini dikelompokkan menurut tempat kerja mereka dalam lengkung reflex simpatis 3. Vasodilator langsung, golongan antihipertensi ini mengurangi tekanan darah dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah, maka terjadilah dilatasi pembuluh darah.

  4. Golongan antihipertensi yang memblok produksi atau aksi angiotensin yang akan mengurangi resistensi pembuluh darah perifer dan volume darah. Gambar 3. Tempat kerja kelas utama obat antihipertensi Sumber : Farmakologi Katzung, Edisi 9.

  Kejadian hipertensi pada umumnya ditemukan pada pasien HD dan hal ini seringnya sulit untuk dikontrol. Jika hipertensi ini tidak dikontrol dengan segera maka komplikasi kardiovaskular akan meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas pada pasien HD. Intervensi awal untuk mengontrol hipertensi pada pasien HD adalah restriksi natrium, pengurangan natrium yang adekuat selama HD, dan mengusahakan tercapainya berat kering yang adekuat. Namun hal ini sering tidak tercapai sehingga diperlukan adanya penambahan agen farmakologi.

  Kebanyakan kelas obat antihipertensi dapat diberikan pada pasien HD. Obat antihipertensi yang dianggap sebagai lini pertama dan yang paling sering digunakan pada pasien HD adalah obat antihipertensi yang menghambat sistem RAA misalnya, Angiotensin Converting Enzyme (ACE-I) atau Angiotensin

  Receptor Blocker (ARB) . Obat antihipertensi lini kedua adalah penambahan beta- blocker (khusunya pada pasien penyakit arteri koroner) (Inrig, 2010).

  Kebanyakan pasien HD membutuhkan kombinasi obat antihipertensi untuk mendapatkan pengontrolan tekanan darah yang adekuat. Beberapa terapi kombinasi antihipertensi pada pasien HD adalah kombinasi ACE-I dan ARB, penambahan diuretik pada ACE-I dan/tanpa ARB, penambahan Calcium Channel

  Blocker (CCB) pada ACE-I dan ARB, diuretic dengan beta-blocker. (National Kidney Foundation (NKF) , 2004).

  Walaupun dengan penggunaan terapi kombinasi antihipertensi pada pasien HD, tekanan darah tak tekontrol masih ditemukan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Hipertensi yang tak terkonrol ini mungin lebih dipengaruhi oleh faktor kurang patuhnya pasien terhadap pengobatannya. Namun ketika hal itu dapat disingkirkan maka dapat dipikirkan tentang hipertensi resisten.

  Hipertensi resisten didefinisikan sebagai keadaan tekanan darah tetap berada diatas target setidaknya berlangsung selama satu bulan pengobatan dengan minimal tiga obat antihipertensi dari kelas yang berbeda. Dengan rincian, salah satu dari ketiga obat adalah diuretik dan obat lain diberikan dalam jumlah dosis optimal (Calhoun et al, 2008; Thomas et al, 2011).

Dokumen yang terkait

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

33 241 118

Karakteristik dan Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2011

0 35 76

Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011.

8 114 68

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Reguler di RSUP H Adam Malik Medan tentangPentingnya Pembatasan Garam

4 43 54

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1 1 15

Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

1 1 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan antara Koping dengan Resiliensi pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronis 2.1.1 Definisi - Hubungan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisis dengan Xerostomia

0 0 16

Gambaran Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler yang Mendapat Obat Antihipertensi Lebih Dari Satu di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 16

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Penelitian - Gambaran Pasien Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis Reguler yang Mendapat Obat Antihipertensi Lebih Dari Satu di Instalasi Hemodialisis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Ada

0 0 21