BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aspirin 2.1.1 Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995) - Uji Stabilitas Aspirin Pada Cangkang Kapsul Alginat Yang Ditambahkan Bahan Pemburam Titanium Dioksida Dan Dikemas Dengan Aluminium Foil Sebagai Sediaan Lepas Tunda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspirin

2.1.1 Uraian Umum Aspirin (Ditjen POM, 1995)

  Rumus Bangun :

Gambar 2.1 Rumus Bangun Aspirin

  Rumus Molekul : C

  9 H

  8 O

  4 Berat Molekul : 180,16

  Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering; di dalam udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.

  Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan dalam eter. pKa : 3,5.

2.1.2 Farmakologi Aspirin

  Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi yang banyak digunakan sebagai golongan obat bebas (Wilmana, 1995).

  Dosis oral aspirin untuk memperoleh efek analgesik dan antipiretik pada manusia adalah 325 – 650 mg empat kali sehari,konsentrasi dalam plasmanya 100

  • – 300 mcg/ml. Untuk memperoleh efek antiinflamasi adalah 4 – 6 gram secara oral per hari, dan untuk mendapatkan efek anti agregasi platelet adalah 60 – 80 mg sacara oral per hari (Mycek, et al., 2001).

  2.1.2.1 Aspirin Sebagai Anti Inflamasi

  Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, sehingga aspirin mengurangi pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi pada arthritis, tetapi tidak menghentikan progresivitas penyakit maupun menginduksi remisi (Mycek, et al., 2001).

  2.1.2.2 Aspirin Sebagai Analgesik

  Aspirin menghambat sintesa prostaglandin E

  2 dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (Mycek, et al., 2001).

  2.1.2.3 Aspirin Sebagai Antipiretik

  Demam terjadi jika rangsangan pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis PGE

  2 yang dirangsang

  bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi atau hipersensitivitas. Aspirin menurunkan suhu tubuh dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PGE

  2 (Mycek, et al., 2001).

2.1.2.4 Aspirin Sebagai Anti Agregasi Platelet

  Tromboksan A bersifat vasokonstriktor dan juga merangsang platelet

  2

  menempel di endothelium jaringan yang rusak (adhesi-platelet). Aspirin menghambat sintesis tomboksan A

  2 sehingga terjadi penghambatan agregasi

  trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan. Efek hemostatik dapat kembali normal kira-kira 36 jam setelah pemberian dosis obat yang terakhir. (Mycek, et al., 2001).

2.1.3 Efek Samping Aspirin

  a. Saluran cerna : efek aspirin terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distress epigastrum, mual, dan muntah. Pendarahan mikroskopik saluran cerna hamper umum terjadi pada penderita yang mendapatkan pengobatan aspirin. Aspirin bersifat asam, pada pH lambung tidak dibebaskan, akibatnya mudah menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif), dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung.

  b. Darah : asetilasi irreversibel siklooksigenase trombosit menurunkan kadar tomboksan A

  2 , mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan.

  c. Pernafasan : pada dosis toksis,aspirin menimbulkan depresi pernafasan dan suatu kombinasi pernafasan yang tidak terkompensasi dan asidosis metabolic.

  d. Proses metabolik : dosis besar aspirin melepaskan fosforilasi oksidatif. Energi yang dikeluarkan untuk menghasilkan ATP secara normal dikeluarkan sebagai panas, yang menyebabkan terjadinya hipertemia.

  e. Hipersensitivitas : sekitar 15% pasien yang menggunakan aspirin mengalami reaksi hipersensitivitas terutama urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneutotik (Mycek, et al., 2001).

2.2 Kapsul

  Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang dapat larut dalam air. Pada umumnya cangkang kapsul terbuat dari gelatin. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras. Bagaimana pun, gelatin mempunyai beberapa kekurangan, seperti mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair (Ansel, 2005).

  Kapsul tidak berasa, mudah pemberiannya, mudah pengisiannya tanpa persiapan atau dalam jumlah yang besar secara komersil. Didalam praktek peresepan, penggunaan kapsul gelatin keras diperbolehkan sebagai pilihan dalam meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat pada perhitungan dosis yang dianggap baik untuk pasien secara individual. Fleksibilitasnya lebih menguntungkan daripada tablet. Beberapa pasien menyatakan lebih mudah menelan kapsul daripada tablet, oleh karena itu lebih disukai bentuk kapsul bila memungkinkan. Pilihan ini telah mendorong pabrik farmasi untuk memproduksi sediaan kapsul dan di pasarkan, walaupun produknya sudah ada dalam bentuk sediaan tablet (Gennaro, 2000).

  Stabilitas disolusi dari sediaan kapsul gelatin keras terutama ditentukan oleh kandungan uap lembab dari cangkang, yang kemudian dihubungkan dengan kondisi penyimpanan. Normalnya cangkang kapsul gelatin mengandung air 13- 16% dan aman disimpan dengan kelembapan 30-60% kelembapan relatif (KR). Kandungan air di bawah 12%, cangkang menjadi rapuh dan mudah pecah. Di atas 18% uap air, cangkang akan menjadi lembab, lembut dan menyimpang cenderung memindahkan lembabnya ke dalam isi kapsul jika isi kapsulnya bersifat higroskopik.

  Belakangan ini, beberapa bahan telah diuji untuk menggantikan gelatin sebagai bahan untuk pembuatan cangkang kapsul, salah satunya adalah dengan alginat. Masalah-masalah dari kapsul gelatin mungkin dapat diatasi oleh kapsul alginat. Alginat merupakan polimer β-D mannuronic dan α-L guluronic yang diperoleh dari alga coklat (Phaeophyceae) (Belitz, dkk., 1987). Pada penelitian sebelumnya diperoleh bahwa cangkang kapsul alginat mengandung kadar air 20- 25% dan disimpan pada suhu kamar dengan kelembapan relatif 75-90% (Hendra, 2011).

  Kapsul delayed-release

  Kapsul dapat disalut, atau, lebih umumnya, granul yang dienkaspulasi dapat disalut untuk menahan pelepasan obat dalam cairan lambung dimana suatu penundaan penting untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi pada inaktifasi obat atapun iritasi mukosa lambung. Istilah “delayed-release” digunakan pada monografi Farmakope pada kapsul salut enterik yang ditujukan untuk menunda pelepasan dari bahan obat hingga kapsul melewati lambung (USP

  XXXII, 2009).

2.3 Natrium Alginat

  Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis

  pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz, dkk., 1987).

Gambar 2.2 Struktur G: α- L asam guluronat dan M: β- D asam mannuronatGambar 2.3 Struktur Alginat

  Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D- mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linear (Grasdalen, dkk., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, dkk., 1980).

  Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat (Thom, dkk., 1980). Pembentukan gel alginat dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

  Untuk kepentingan farmasetik digunakan natrium alginat, dimana larutannya dalam air bereaksi netral sampai asam lemah. Sediaan alginat paling stabil pada daerah pH 6-7, pada pH 4,5 asam bebasnya akan mengendap.

  o

  Pemanasan yang kuat dan lama, terutama >70 C dihindari, karena akan mengalami kehilangan viskositas akibat terjadinya polimerisasi. Sediaan disimpan dingin dan dilindungi dari cahaya dalam wadah tertutup baik (Voight, 1995).

  Di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Cangkang kapsul ini dibuat dari natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Kapsul mengembang dan pecah dalam cairan usus buatan yaitu pH 4,5 dan pH 6,8 (Bangun, dkk., 2005)

  Utuhnya cangkang kapsul kalsium alginat di dalam medium pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh, sedangkan pelepasan kalsium kemungkinan berasal dari kalsium yang terperangkap dalam kapsul dan terikat dengan manuronat saja. Hal itu berarti kalsium guluronat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kapsul di dalam medium pH 1,2 (Bangun, dkk., 2005).

  Cangkang kapsul kalsium alginat dapat mengembang dan pecah di dalam medium pH 4,5 dan 6,8 (cairan usus buatan). Hal ini disebabkan terjadi pertukaran ion kalsium dari kalsium alginat (kalsium guluronat) dengan ion natrium yang terdapat pada cairan usus buatan, sehingga terbentuk natrium alginat (natrium guluronat). Pembentukan natrium alginat pada kapsul dapat menyebabkan kapsul bersifat hidrofilik, sehingga mudah menyerap air, mengembang dan pecah (Bangun, dkk. 2005).

2.4 Titanium Dioksida

  Titanium dioksida berwarna putih dan dapat menyebabkan warna menjadi opak. Titanium dioksida telah banyak digunakan dalam industri manisan (permen), makanan, kosmetik, plastik dan dalam bidang farmasi untuk pembuatan sediaan oral dan topikal sebagai pigmen pemutih. Karena indeks bias yang tinggi, titanium dioksida mempunyai sifat yang dapat memancarkan cahaya dalam penggunaannya sebagai pigmen pemutih atau pengopak (Rowe, dkk., 2003).

  Titanium dioksida merupakan senyawa yang tidak mengiritasi dan tidak bersifat toksik. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa spesies hewan, termasuk manusia, menunjukkan tidak terjadi penyerapan yang signifikan terhadap konsumsi titanium dioksida dan juga tidak tersimpan didalam jaringan (Rowe, dkk., 2003).

  Penggunaan titanium dioksida diijinkan sejak tahun 1966 dengan batas 1% dari berat badan (Winarno, 1997). Peraturan di Amerika Serikat mengesahkan penggunaannya secara umum sebagai warna aditif tidak lebih dari 1 %. Uni Eropa juga mengizinkan penggunannya dalam makanan. India membatasi penggunaannya dalam permen karet tidak lebih dari 1 % dan untuk minuman mengandung buah tidak melebihi 100 mg/kg. Sedangkan di Jepang digunakan tanpa batasan dalam makanan (Rowe, dkk., 2003).

  Dalam bidang farmasi, titanium dioksida digunakan sebagai zat pemutih dalam suspensi salut film, tablet salut gula dan kapsul gelatin. Titanium dioksida dapat juga dicampurkan dengan zat warna yang lain (Rowe, dkk., 2003).

  Titanium dioksida sangat stabil pada temperatur tinggi, berwarna putih,amorf, tidak berasa dan tidak higroskopis. Tidak larut dalam H

  2 SO 4 encer,

  HCL, HNO

  3 pelarut-pelarut organik dan air, tetapi larut dalam asam hidrofluoric

  dan H

2 SO 4 panas (Rowe, dkk., 2003).

2.5 Polimer

2.5.1 Polietilen Glikol (PEG)

  Nama lain dari basis ini adalah Carbowax, Carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E dan Phenol E (Raymond, 2006). Polietilenglikol merupakan polimer dari etilen oksida dan air. Pemberian nomor menunjukan berat molekul rata-rata dari masing-masing polimer. Polietilenglikol yang memiliki berat rata-rata 200, 400, dan 600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang memiliki berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih, padat, dan kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul. Polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan suatu basis supositoria yang dikehendaki (Rowe, dkk., 2003).

  Polietilenglikol 400 adalah polietilenglikol H(O-CH2-CH2)n OH dimana harga n antara 8,2 dan 9,1.Pemerian : cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis tidak berwarna,bau khas lemah, agak higroskopik. Kelarutan : larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam hidrokarbon aromatik, praktis tidak larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik. Bobot molekul rata-rata : 380-420, Kandungan Lembab : Sangat higroskopis walaupun higroskopis turun dengan meningkatnya bobot molekul, titik beku 4-8 C (Rowe, dkk., 2003).

  Salah satu polimer yang umum digunakan pada pembuatan dispersi padat adalah polietilen glikol (PEG). Polietilenglikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik dari oksietilen dengan rumusstruktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata gugus oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara 200–300000. Penamaan PEG umumnya ditentukan dengan bilangan yang menunjukkan bobot molekul rata-rata. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. PEG dengan bobot molekul 200-600 (PEG 200-600) berbentuk cair, PEG 1500 semi padat, dan PEG 3000-20000 atau lebih berupa padatan semi kristalin, dan PEG dengan bobot molekul lebih besar dari 100000 berbentuk seperti resin pada suhu kamar.

  Umumnya PEG dengan bobot molekul 1500-20000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat (Leuner and Dressman, 2000; Weller, 2003). Polimer ini mudah larut dalam berbagai pelarut, titik leleh dan toksisitasnya rendah, berada dalam bentuk semi kristalin (Craig, 1990). Kebanyakan PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 4000 dan 20000, khususnya PEG 4000 dan 6000. Proses pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000, umumnya menggunakan metode peleburan, karena lebih mudah dan murah (Rowe, dkk., 2003).

  PEG (polietilen glikol) merupakan salah satu jenis bahan pembawa yang sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formulasi untuk meningkatkan pelarutan obat yang sukar larut. Bahan ini merupakan salah satu jenis polimer yang dapat membentuk komplek polimer pada molekul organik apabila ditambahkan dalam formulasi untuk meningkatkan kecepatan pelarutan yang dapat membentuk komplek dengan berbagai obat. Cangkang kapsul dengan menggunakan basis polietilenglikol memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur (Martin, 1993).

2.6 Stabilitas Fisik Cangkang Kapsul Gelatin dan HPMC

2.6.1 Warna

  Warna, merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian konsumen terhadap kualitas produk. Warna suatu bahan dapat berasal dari warna alamiahnya atau warna yang terjadi selama proses pengolahannya (Morales dan van Boekoel, 1998).

  Temperatur dan kadar uap air yang relatif tinggi selama proses pengolahan dan penyimpanan yang berkepanjangan merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya reaksi pengcoklatan (enzimatik dan non- enzimatik) (Labuza, 1972).

  Reaksi pengcoklatan adalah suatu reaksi dimana suatu bahan berubah menjadi coklat, baik melalui proses enzimatik maupun non-enzimatik. Pengcoklatan enzimatik ini melibatkan polifenol oksidase atau enzim lain yang menghasilkan melanin, sehingga menimbulkan warna coklat. Sedangkan pengcoklatan non-enzimatik dapat menimbulkan warna coklat tanpa adanya aktivitas enzim (Marshall, dkk., 2000).

  Ogura dkk (1998) mengisi cangkang kapsul gelatin dan HPMC dengan asam askorbat dan membungkusnya dalam botol polietilen tanpa desikan dan menyimpannya pada suu 40 C/RH 75% selama 2 bulan. Cangkang kapsul gelatin menjadi berwarna coklat, sedangkan cangkang kapsul HPMC tidak mengalami perubahan warna. Hal ini menandakan bahwa perubahan warna yang terjadi merupakan reaksi antara asam askorbat dan cangkang kapsul gelatin (dikenal dengan reaksi Maillard) (Honkanen, 2004).

  Reaksi Maillard merupakan suatu reaksi kimia pengcoklatan non- enzimatik antara gula pereduksi dengan protein atau asam amino. Tergantung pada jenis bahan dan jalannya reaksi, perubahan warna yang terjadi bisa dari kuning lemah sampai coklat gelap. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard, seperti temperatur, aktivitas air, pH, kadar uap air dan komposisi kimia suatu bahan (Morales, dkk., 1998).

2.6.2 Kerapuhan

  Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).

  Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain.. Kadar uap air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Jika kadar uap air pada kapsul gelatin kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul gelatin melunak. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul gelatin berkisar 15-30 C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH). (Margareth, dkk., 2009).

  Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul. Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50% selama 4 minggu (Kontny dan Mulski, 1989

Gambar 2.5 Kelembaban Relatif (RH), Kandungan Uap Air Gelatin dan Sifat Kapsul Gelatin Keras (Kontny dan Mulski, 1989).

2.6.3 Waktu Hancur

  Chiwele dkk. (2000) telah meneliti mengenai waktu hancur cangkang kapsul gelatin kosong dan kapsul HPMC (Hydroxypropyl Methylcellulose) setelah penyimpanan selama 24 jam pada kondisi tropis lembab (suhu 37

  C, RH 75%) dan pada temperatur kamar. Dalam metode ini, mereka menggunakan bola besi sebagai bahan pengisi dalam kapsul. Pada penyimpanan kondisi tropis lembab, cangkang kapsul gelatin tidak mengalami perubahan waktu hancur dalam medium apapun, sedangkan waktu hancur kapsul HPMC tidak berubah hanya dalam medium cairan lambung buatan (Honkanen, 2004).

  Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Ogura (1998) bahwa cangkang kapsul HPMC yang telah diisi dengan spiramisin dan disimpan pada suhu 60

  C, RH 75% selama 10 hari tidak mengalami perubahan sifat waktu hancur. Tetapi, mereka menggunakan prosedur standar uji waktu hancur dalam farmakope, yang tidak dapat menentukan waktu hancur cangkang kapsul dan bahan obat secara terpisah. Sedangkan dalam metode yang digunakan Chiwele dkk. (2000), bola besi yang digunakan tidak mempengaruhi waktu hancur (Honkanen, 2004).

2.7 Viskositas

  Viskositas adalah suatu sifat dari cairan yang lebih bertahan untuk mengalir. Viskositas dapat dianggap sebagai suatu sifat yang relatif dengan air sebagai bahan rujukan dan semua viskositas dinyatakan dalam istilah-istilah viskositas air murni pada suhu 20

  C. Viskositas air dianggap satu centipoise (sebenarnya 1,008 centipoise). Suatu bahan cair yang 10 kali kental (viscous) dengan suhu yang sama viskositasnya sama dengan 10 centipoise. Singkatan centipoise cp (dan jamaknya cps) merupakan istilah yang lebih sesuai dari pada unit dasar satu poise sama dengan 100 centipoise (Ansel, 2005). Makin kental suatu cairan, makin besar kekuatan yang diperlukan agar cairan tersebut mengalir dengan laju tertentu (Martin, 1993).

2.8 Studi Stabilitas

  Waktu nyata dan studi dipercepat dilaksanakan pada bets primer atau bets yang ditetapkan sesuai protocol uji stabilitas untuk menetapkan atau memastikan masa uji ulang dari suatu zat aktif dengan masa simpan atau edar suatu produk.

  2.8.1 Uji Dipercepat

  Studi didesain untuk meningkatkan derajat degradasi kimiawi atau perubahan fisis dari zat aktif atau produk dengan menggunakan kondisi penyimpanan “berlebihan” sebagai bagian dari studi stabilitas formal. Data yang diperoleh dari studi ini, dapat digunakan untuk menilai efek kimiawi jangka panjang pada kondisi yang tidak dipercepat. Uji dipercepat dilakukan selama 3-6 bulan.

  2.8.2 Pengujian Jangka Panjang atau Waktu Nyata.

  Pengujian jangka panjang biasanya dilaksakan setiap 3 bulan selama tahun pertama, setiap 6 bulan selama tahun ke 2 dan selanjutnya tiap tahun selama masa simpan atau edar pada paling sedikit 3 bets primer. Studi stabilitas lanjutan atau jangka panjang dilakukan selama 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36 dan seterusnya akan dilaksanakan sesuai panduan uji stabilitas setempat dan ASEAN.

  2.8.3 Pengujian Pasca Pemasaran

  Studi stabilitas hendaknya dilakukan tiap tahun terhadap produk yang dipasarkan. Studi tersebut hendaknya dilaksanakan pada 1 bets dari tiap produk/tahun dan meliputi paling sedikit selama 12 bulan untuk jangka waktu yang cukup mencakup masa simpan/edar yang diusulkan (Balai POM, 2009).

2.9 Pengujian Stabilitas

  Parameter pengujian stabilitas adalah : a. Pemerian b.

  Identifikasi sesuai dengan monografinya c. Uji disolusi d.

  Kadar bahan aktif e.

  Degradasi Sebagai contoh, untuk sediaan tablet parameter pemeriksaan selama proses yang dapat dikurangi antara lain keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan dan waktu hancur (Balai POM, 2009)

  2.9.1 Warna

  Warna merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi penilaian konsumen terhadap kualitas produk. Stabilitas formulasi obat dapat dideteksi dalam beberapa hal dengan suatu perubahan fisik, warna, bau dan tekstur dari formulasi tersebut. Temperatur, pH, kekuatan ion, intensitas cahaya dapat mempengaruhi perubahan kestabilan pada obat (Ansel, 2005).

  2.9.2 Kerapuhan

  Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat atau melepaskan uap air. Sebagai akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, dkk., 2009).

  Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain. Kadar air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Jika kadar air pada kapsul kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul melunak. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15-

  30 C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH) (Margareth, dkk., 2009).

  Perubahan kerapuhan kapsul oleh kelembaban relatif telah dipelajari oleh Kontny dan Mulski. Pemantauan terhadap karakteristik kapsul yang disimpan pada kelembaban yang bervariasi membuktikan bahwa kelembaban merupakan salah satu parameter yang penting dalam pembuatan dan penyimpanan kapsul. Kriteria yang diterima bahwa kerapuhan kapsul yang signifikan tidak boleh terdeteksi pada kapsul yang disimpan pada kelembaban relatif 30% dan 50% selama 4 minggu (Kontny dan Mulski, 1989).

2.9.3 Disolusi

  Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989). Uji disolusi yaitu uji pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik (Shargel dan Andrew, 1988).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi: i.

  Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat. ii.

  Efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.

  b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi: i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

  c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi : i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat- obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat. iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000). Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin, dkk., 1993).

  United States Pharmacopeia (USP) XXXII memberi beberapa metode

  resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu: a.

  Metode Keranjang (Basket ) Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37

  o b.

  Metode Dayung (Paddle)

  C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

  Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode

  o

  basket dipertahankan pada 37

  C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

  c.

  Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP ”basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan Andrew, 1988).

2.10 Pengemasan

  Pengemasan berperan untuk melindungi pindahnya kelembapan dari lingkungan luar terhadap kandungan produk dan melindungi produk dari oksidasi dan cahaya. Pengemasan dapat berupa bahan kertas, botol kaca, foil blister, dan lain-lain. Hubungan antara kondisi penyimpanan dan variabel pengemasan pada stabilitas disolusi produk dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan pengemasnya mengenai ketahanan terhadap kelembapan. Misalnya sediaan tablet salut enterik yang dibungkus dengan kertas kurang stabil dari sudut pandang sifat-sifat disolusi sedangkan yang disimpan dalam botol kaca tidak mempengaruhi laju disolusi

  o o

  walaupun terpapar suhu 40

  C, RH 75% atau 50

  C, RH 50% selama 40 hari. Dari penelitian lain juga disebutkan bahwa tablet yang disimpan di foil blister lebih terlindungi dibandingkan sampel yang dikemas dalam polivinilklorida/polietilen menunjukkan perlambatan laju disolusi. Pada studi mengatakan bahwa ibuprofen dalam kapsul gelatin keras disimpan pada suhu dan kelembapan tinggi dengan atau tanpa cahaya. Ternyata laju disolusi mengalami perlambatan ketika terkena cahaya pada kondisi dipercepat (Dey, 1993). Pada penelitian sebelumnya dilakukan pengujian stabilitas kapsul alginat yang disimpat dalam botol dan ditambahkan silika gel, diperoleh hasil bahwa kapsul alginat tidak stabil, ditandai dengan adanya perubahan warna pada cangkang kapsul, yaitu menjadi warna coklat (Hendra, 2011).

  

2.11 Pengukuran Hasil Disolusi Aspirin Menggunakan Spektrofotometer

UV

  Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnit panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 200 nm-400 nm).

  Penetapan kadar Aspirin bisa dilakukan dengan Spektrofotometri UV,

  

High Perfomance Liquid Chromatography (HPLC), Infra-red Spectrum dan

Massa Spectrum . Untuk Uji disolusi Aspirin menggunakan spekrofotomertri UV

  dengan panjang gelombang pada suasana asam yaitu 237,0 nm dan suasana basa yaitu 275,0 nm (Moffats, 2005).

  Disolusi Aspirin kapsul delayed-release, dalam medium HCl 0,1 N sebanyak 900 ml, menggunakan metode dayung dengan kecepatan 100 rpm selama 2 jam. Selanjutnya diganti dengan medium dapar posfat pH 6,8 sebanyak 900 ml, menggunakan metode dayung dengan kecepatan pengadukan 100 rpm selama 90 menit dihitung jumlah terlarut Aspirin yang terlarut dengan menggunakan spektrofotometer UV (USP XXXII, 2009).