Formulasi dan Evaluasi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat untuk Pembuatan Sediaan Floating dari Dispersi Padat Aspirin

(1)

15. Gambar alat-alat pembuatan dispersi padat... 92

16. Gambar sediaan dispersi padat sebelum dan setelah pengayakan ... 93

17. Gambar cangkang kapsul alginat 80-120 cP No. 0 dan 1... 95


(2)

FORMULASI DAN EVALUASI PEMAKAIAN CANGKANG KAPSUL ALGINAT UNTUK PEMBUATAN SEDIAAN FLOATING DARI DISPERSI

PADAT ASPIRIN ABSTRAK

Latar belakang: Aspirin merupakan golongan obat anti inflamasi non steroid di samping itu juga digunakan sebagai obat antiplatelet. Aspirin mempunyai sifat yang sangat sukar larut dalam air dan jika diberikan secara oral dapat mengiritasi lambung. Sehingga perlu dikembangkan sediaan dispersi padat yang dapat bertahan di lambung seperti sediaan floating dengan menggunakan alginat sebagai cangkang kapsul.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan floating dari dispersi padat aspirin yang dapat bertahan di lambung dengan menggunakan cangkang kapsul alginat dan mengevaluasi pengaruh polivinilpirolidon K30 terhadap kelarutan aspirin.

Metode: Dispersi padat dibuat dengan metode pelarutan dalam berbagai perbandingan berat antara aspirin dan polivinilpirolidon K30, yaitu formula I (1:1), formula II (1:2), dan formula III (1:3). Uji disolusi dilakukan dengan menggunakan alat disolusi metode dayung dalam medium lambung buatan pH 1,2. Konsentrasi aspirin diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 228,6 nm. Uji difraksi sinar X dilakukan pada sebelum dan sesudah pembentukan dispersi padat. Uji efek iritasi lambung dilakukan terhadap 6 ekor kelinci, yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I pemberian formula III dalam kapsul gelatin, kelompok II pemberian formula III dalam kapsul alginat. Hasil: Hasil uji disolusi sediaan dispersi padat aspirin dalam cangkang kapsul alginat 80-120 cP menunjukkan bahwa adanya peningkatan laju disolusi. Semakin tinggi konsentrasi PVP K30 maka semakin tinggi laju disolusinya. Hasil analisa difraksi sinar-X menunjukkan adanya kemungkinan terjadi perubahan struktur kristal menjadi bentuk amorf. Hasil uji efek iritasi menunjukkan bahwa kelinci kelompok I menunjukkan iritasi secara makroskopik maupun histologi, sedangkan kelinci kelompok II tidak menunjukkan adanya iritasi, kecuali satu kelinci yang menunjukkan sedikit erosi pada sel epitel.

Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini menunjukkan konsentrasi PVP K30 dengan perbandingan berat 1:3 dapat memberikan pelepasan yang optimal dari sediaan floating dispersi padat aspirin dalam medium lambung buatan pH 1,2. Pemberian dispersi padat aspirin dalam kapsul alginat tidak menunjukkan adanya iritasi pada lambung kelinci.


(3)

FORMULATION AND EVALUATION THE USE OF ALGINATE CAPSULE SHELL AS FLOATING DOSAGE OF ASPIRIN SOLID

DISPERSION

ABSTRACT

Background: Aspirin is the group of non steroid anti-inflamatory drug besides that is used as antiplatelet drug. Aspirin is poorly soluble in water and can cause the irritation in the stomach in oral route. Therefore, it is necessary to modify solid dispersion dosage form that can remain in the stomach, as the example is floating dosage form by using alginate as capsule shell.

Purpose: The aim of this study was to prepare floating dosage form of aspirin solid dispersion that can remain in stomach by using alginate capsule shell and to evaluate the effect of aspirin solubility with polyvinylpyrrolidone K30 in solid dispersion.

Methods: Solid dispersion was prepared by solvent method in different concentration ratio betwen aspirin and polyvinylpyrrolidone K30, i.e. formula I (1:1), formula II (1:2), and formula III (1:3). Dissolution test was tested with paddle method dissolution apparatus in artificial gastric fluid pH 1.2. Concentrations of aspirin were measured using UV spectrophotometer with 228,6 nm wavelength. X-Ray Diffraction test was tested before and after the solid dispersion was formed. The test of irritation effect was done by 6 male rabbits, which divided into 2 groups, first group was given formula III in gelatin capsule, second group was given formula III in alginate capsule.

Results: The dissolution test results of aspirin solid dispersion in alginate capsule shell 80-120 cP showed that an increased of dissolution rate. The higher concentration of PVP K30 in formulation, the higher the dissolution rate of aspirin. The analysis of X-Ray Diffraction showed the possibility in changing the crystal structure into amorf form. The irritation test indicated that the first group rabbits showed irritation from macroscopic test or histologically test, while the second group rabbits did not show any irritation, except for one rabbit showed a slightly epithelial erosion.

Conclusion: The results of this study suggest that PVP K30 concentration in 1:3 ratio can give an optimum release to floating dosage form of aspirin solid dispersion in artificial gastric fluid pH 1.2. Aspirin solid dispersion in alginate capsule did not show any irritation in the stomach of rabbits.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri (Dewoto, 2008). Asam asetilsalisilat atau aspirin diperkenalkan pada akhir 1890. Namun, sebelum tahun 1950 efek antitrombotik dari aspirin telah ditemukan (Knight, 2003).

Aspirin mencegah sintesis tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit dan prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel endotel. Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2 sehingga terjadi pengurangan agregasi trombosit. Dosis efektif sebagai antiplatelet adalah 80-320 mg/hari dan dianjurkan untuk dikonsumsi setelah makan. Dosis lebih tinggi selain meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan) dapat menjadi kurang efektif karena selain menghambat TXA2 juga mengahambat pembentukan prostasiklin (Dewoto, 2008).

Aspirin adalah obat anti nyeri yang tertua (1899) yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Aspirin menimbulkan efek-efek spesifik seperti reaksi kulit alergi dan telinga berdengung. Efek samping yang paling sering terjadi berupa iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung dan perdarahan saluran cerna. Penyebabnya adalah sifat asam dari aspirin, yang dapat dikurangi melalui kombinasi dengan suatu antasida (Tan dan Rahardja, 2003). Aspirin bersifat asam pada pH lambung, aspirin tidak dilepaskan, akibatnya mudah


(5)

menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung (Mycek,et al., 2001).

Aspirin mempunyai kelarutan yang sangat rendah dalam asam, yang dapat menunda absorpsi obat dosis tinggi selama 8-24 jam. Modifikasi kelarutan aspirin terbukti dapat meningkatkan proses absorpsi. Salah satu modifikasi yang dilakukan adalah pembuatan sistem dispersi padat (Leuner dan Dressmann, 2002). Dispersi padat merupakan dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matriks dalam keadaan padat. Dispersi padat dapat diklasifikasikan dalam enam tipe yaitu campuran eutektik sederhana, larutan padat, larutan dan suspensi, pengendapan amorf dalam pembawa kristal, pembentukan senyawa kompleks dan kombinasi dari lima tipe diatas. Pembuatan dispersi padat dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: metode peleburan (melting method), metode pelarutan (solvent method), dan metode campuran (melting-solvent method) (Chiou dan Riegelman, 1971).

Salah satu pembawa polimer yang akan dapat digunakan adalah polivinil- pirolidon (PVP). Polivinilpirolidonmerupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi, pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan kisaran angka dari K15 sampai K90 (Attwood dan Florence, 2008). PVP mempunyai kelarutan yang baik dalam berbagai pelarut organik, sehingga PVP merupakan pembawa yang paling banyak digunakan pada pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan. Polivinilpirolidon K30 merupakan pembawa yang paling umum digunakan dalam pembuatan sistem dispersi padat (Chhater dan Praveen, 2013 ).


(6)

Teknik dispersi padat pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan Obi pada tahun 1961 dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut dalam air. Peningkatan laju disolusi obat yang dibuat dengan sistem dispersi padat disebabkan oleh pengurangan ukuran partikel obat ke tingkat minimum, pengaruh solubilisasi pembawa, peningkatan daya keterbasahan dan pembentukan sistem dispersi yang stabil (Chiou dan Riegelman, 1971).

Pada penelitian ini akan dibuat formulasi sistem floating aspirin yang dibuat dalam bentuk dispersi padat dan dimasukkan dalam cangkang kapsul alginat kemudian dibandingkan dengan dispersi padat aspirin yang dimasukkan dalam kapsul gelatin. Sistem mengapung (floating) merupakan sistem dengan densitas rendah yang memiliki kemampuan mengapung dan tetap berada di lambung tanpa dipengaruhi kecepatan pengosongan lambung dalam periode waktu tertentu. Obat akan dilepaskan secara perlahan dengan kecepatan pelepasan yang dapat dikendalikan ketika sistem mengapung. Dengan cara ini akan meningkatkan waktu tinggal obat dan fluktuasi kadar obat dalam plasma dapat terkontrol lebih baik (Dwivedi dan Kumar, 2011).

Sistem floating termasuk kedalam bentuk sediaan gastroretentive yang mempunyai kemampuan untuk bertahan di lambung sehingga menghasilkan bioavailabilitas yang baik. Sistem floating diklasifikasi menjadi dua teknologi yang berbeda, tergantung pada mekanisme keterapungan; sistem effervescent dan non-effervescent. Sistem effervescent yang merupakan sistem matriks, dibuat dengan polimer yang dapat mengembang seperti HPMC atau kitosan dan dengan bantuan dari campuran effervescent asam sitrat dan natrium bikarbonat sebagai


(7)

agen pendorong gas. Sistem non-effervescent dibuat melalui pembentukan gel, dengan menggunakan hidrokoloid yang dapat mengembang dan polimer (Hascicek, et al., 2011).

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, yang terdiri dari satu macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Ansel, 2005).

Waktu tinggal obat di lambung atau “retensi obat” dapat dikendalikan dengan berbagai bentuk sediaan menggunakan mekanisme mukoadhesif (muchoadhesive), mengapung (floating), sedimentasi (sedimentation), ekspansi (expansion), dan sistem modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda pengosongan lambung (Sharma dan Garg, 2003).

Untuk mempertahankan obat tetap berada di lambung sehingga dapat meningkatkan waktu tinggal obat di lambung, maka dalam penelitian ini dibuat sediaan dalam bentuk kapsul yang tahan atau tidak pecah dalam lambung. Kapsul ini dibuat dengan menggunakan natrium alginat yang merupakan polisakarida yang berasal dari rumput laut (alga coklat), yang tidak bersifat toksis (Draget, et al., 2005).

Bangun, dkk. (2005), telah melakukan pengujian terhadap sifat-sifat ketahanan cangkang kapsul alginat terhadap asam lambung dan sifat-sifat pengembangannya dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Hasil penelitian ini menunjukkan cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam medium lambung buatan (pH 1,2), sehingga peneliti tertarik untuk meneliti penggunaan


(8)

cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating (mengapung) dari dispersi padat aspirin.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah cangkang kapsul alginat dapat digunakan untuk sediaan floating dari dispersi padat aspirin yang dapat bertahan di lambung?

b. Apakah pencampuran Polivinilpirolidon (PVP) dengan aspirin dapat terbentuk menjadi sediaan dispersi padat?

c. Apakah sediaan floating dari dispersi padat aspirin dapat memberikan pelepasan obat yang optimal dalam medium pH 1,2?

d. Apakah sediaan dispersi padat aspirin dalam kapsul alginat dapat mencegah efek iritasi aspirin pada lambung kelinci?

1.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

a. Cangkang kapsul alginat dapat digunakan untuk sediaan floating dari dispersi padat aspirin yang dapat bertahan di lambung.

b. Campuran Polivinilpirolidon (PVP) dengan aspirin dapat menjadi sediaan dispersi padat.

c. Sediaan floating dari dispersi padat aspirin dapat memberikan pelepasan obat yang optimal dalam medium pH 1,2.

d. Sediaan dispersi padat aspirin dalam kapsul alginat lebih aman dalam mencegah efek iritasi aspirin pada lambung kelinci.


(9)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

a. Meneliti pembuatan cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating dari dispersi padat aspirin yang dapat bertahan di lambung.

b. Meneliti karakteristik campuran Polivinilpirolidon (PVP) K30 dengan aspirin dalam bentuk dispersi padat.

c. Meneliti pelepasan yang optimal dari sediaan floating dispersi padat aspirin dalam medium pH 1,2.

d. Meneliti efek iritasi aspirin dari sediaan dispersi padat pada lambung kelinci melalui pengujian secara in vivo

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai pengembangan cangkang kapsul alginat dan pemanfaatan polivinilpirolidon (PVP) K30 sebagai bahan matriks dalam dispersi padat. Sehingga dapat digunakan sebagai masukan terhadap pemakaian cangkang kapsul alginat sebagai sediaan floating dari dispersi padat yang dapat bertahan di lambung, sehingga dapat menjadi salah satu bentuk penyampaian obat baru.


(10)

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Secara skematis kerangka pikir penelitian ditunjukkan pada Gambar Latar Belakang Penyelesaian Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Kelarutan

yang rendah dan sifat asam

dari aspirin dapat menyebabkan iritasi tukak lambung Pembuatan sediaan floating dari dispersi padat aspirin yang dapat meningkatkan kelarutan aspirin dan dapat bertahan dalam waktu yang lama di

lambung Spesifikasi cangkang kapsul alginat Pelepasan aspirin dalam medium asam pH 1,2 X-Ray Diffraction (XRD) Konsentrasi PVP - panjang - diameter - tebal - berat - warna - volume % kumulatif Efek iritasi Makroskopik dan mikroskopik Struktur kristal


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspirin

2.1.1 Uraian umum aspirin (Ditjen POM, 1995) Rumus Bangun:

Gambar 2.1 Rumus bangun aspirin Rumus Molekul : C9H8O4

Berat Molekul : 180,16

Pemerian : Hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau

berbau lemah. Stabil di udara kering.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan dalam eter.

pKa : 3,5

2.1.2 Farmakologi aspirin

Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesic, antipiretik, dan anti-inflamasi yang banyak digunakan sebagai golongan obat bebas (Wilmana, 1995).

Dosis oral aspirin untuk efek analgesik dan antipiretik adalah 325-650 mg empat kali sehari, konsentrasi dalam plasmanya 100-300 mcg/ml. Untuk efek


(12)

antiinflamasi adalah 4-6 gram secara oral per hari, dan untuk efek anti agregasi platelet adalah 60-80 mg secara oral per hari (Mycek, et al., 2001).

A. Aspirin sebagai anti inflamasi

Aspirin menghambat aktivitas siklooksigenase, sehingga aspirin mengurangi pembentukan prostaglandin dan juga memodulasi beberapa aspek inflamasi pada arthritis, tetapi tidak menghentikan progresivitas penyakit maupun menginduksi remisi (Mycek, et al., 2001).

B. Aspirin sebagai analgesik

Aspirin menghambat sintesa prostaglandin E2 dengan menginhibisi enzim siklooksigenase (Mycek, et al., 2001).

C. Aspirin sebagai antipiretik

Demam terjadi jika rangsangan pada pusat pengatur panas di hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oelh sintesis PGE2 yang dirangsang bila suatu zat penghasil demam endogen (pirogen) seperti sitokin dilepaskan dari sel darah putih yang diaktivasi oleh infeksi. Aspirin menurunkan suhu tubuh dengan jalan menghalangi sintesis dan pelepasan PGE2 (Mycek, et al., 2001). D. Aspirin sebagai anti agregasi platelet

Tromboksan A2 bersifat vasokonstriktor dan juga merangsang platelet menempel di endothelium jaringan yang rusak (adhesi-platelet). Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 sehingga terjadi penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan. Efek hemostatik dapt kembali normal kira-kira 36 jam setelah pemberian dosis obat yang terakhir (Mycek, et al., 2001).


(13)

2.1.3 Efek samping aspirin

a. Saluran cerna : efek aspirin terhadap saluran cerna yang paling umum adalah distress epigastrum, mual, dan muntah. Pendarahan mikroskopik saluran cerna umum terjadi. Aspirin bersifat asam, pada pH lambung tidak dilepaskan, akibatnya menembus sel mukosa dan aspirin mengalami ionisasi (menjadi bermuatan negatif), dan terperangkap, jadi berpotensi menyebabkan kerusakan sel secara langsung.

b. Darah : asetilasi irreversible siklooksigenase trombosit menurunkan kadar tromboksan A2, mengakibatkan penghambatan agregasi trombosit dan perpanjangan waktu pendarahan.

c. Pernafasan : pada dosis toksis, aspirin menimbulkan depresi pernafasan dan suatu kombinasi pernafasan yang tidak terkompensasi dan asidosis metabolik.

d. Proses metabolik : dosis besar aspirin melepaskan fosforilasi oksidatif. Energi yang dikeluarkan untuk menghasilkan ATP secara normal dikeluarkan sebagai panas, yang menyebabkan terjadinya hipertemia. e. Hipersensitivitas : sekitar 15% pasien yang menggunakan aspirin

mengalami reaksi hipersensitivitas terutama urtikaria, bronkokonstriksi, atau edema angioneutotik (Mycek, et al., 2001).

2.2 Penyakit Peptic Ulcer 2.2.1 Gambaran umum

Penyakit peptic ulcer adalah keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap


(14)

juga sebagai tukak (misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda dengan tukak akut, karena memiliki jaringan paut pada dasar tukak (Price dan Wilson, 1995).

Menurut definisi, tukak peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan faktor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu faktor dari banyak faktor yang berperan dalam patogenesis tukak peptik (Price dan Wilson, 1995).

2.2.2 Etiologi penyakit peptic ulcer

Kebanyakan penyakit peptic ulcer disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhan mukosa. Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme pertahanan mukosa proses penyembuhannya (Berardi dan Welage, 2005).

2.2.3 Patofisiologi

Penyebab terjadinya peptic ulcer saat ini masih sering diperdebatkan. Namun dipercaya bahwa penyebab terjadinya peptic ulcer dikarenakan ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, asam lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, prostaglandin), yang menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012).

2.2.4 Sawar mukosa lambung

Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Obat antiradang nonsteroid (NSAID),


(15)

termasuk aspirin, menyebabkan perubahan kualitatif mukus lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin. Prostaglandin terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mukus lambung dan tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung dan duodenum ( Price dan Wilson, 1995).

Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis peptic ulcer. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Gambar 2.2 Gambaran penyakit peptic ulcer 2.3 Sistem Dispersi Padat

2.3.1 Definisi dispersi padat

Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik dan obat hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat


(16)

terdispersi secara molekuler, dalam partikel amorphous (kluster) atau dalam partikel kristal (Chiou dan Reigelman, 1971).

Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih bahan aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang dibuat dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan pelarutan, dimana masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing dan disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan didispersikan. Keuntungan dari formulasi dispersi padat dibandingkan tablet/kapsul konvensional untuk peningkatan disolusi dan biovailabilitas dari obat yang sukar larut dalam air (Chiou dan Rielgeman, 1971).

2.3.2 Metode pembuatan sistem dispersi padat 2.3.2.1 Metode pelelehan

Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan pengadukan kuat. Masa padat dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus


(17)

dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.3.2.2 Metode pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon (Tachibana dan Nakamura, 1965), sulfathiazol-polivinilpirolidon (Simonelli, et al., 1969). Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal, kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971). 2.3.2.3 Metode pelarutan-pelelehan

Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut. Metode ini terbatas untuk obat dengan dosis terapetik yang rendah mis: dibawah 50 mg (Chiou dan Riegelman, 1971).


(18)

2.3.3 Pembawa dispersi padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan Dressman, 2000).

Polivinilpirolidon merupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi., pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan kisaran angka dari K15 sampai K90 (Attwood dan Florence, 2008). PVP mempunyai kelarutan yang baik dalam berbagai pelarut organik, sehingga PVP merupakan pembawa yang paling banyak digunakan pada pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan. Polivinilpirolidon K30 merupakan pembawa yang paling umum digunakan dalam pembuatan sistem dispersi padat (Chhater dan Praveen, 2013). Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat dengan PVP telah dilakukan pada asam fufenamat (Itai et al., 1985).

2.4 Drug Delivery System 2.4.1 Uraian drug delivery system

Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat lainnya dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal ini harus memiliki


(19)

kemampuan untuk satu dosis pemberian obat yang digunakan selama pengobatan dan harus menyampaikan obat langsung di lokasi tertentu yang diinginkan dalam pengobatan. Para ilmuwan ini telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian obat yang mendekati sistem penyampaian yang ideal tersebut dan mendorong para ilmuwan untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau “Controlled Release System”. Desain penyampaian obat secara oral dimana obat pelepasannya dipertahankan berlangsung terus menerus ditujukan untuk mencapai pelepasan obat yang efektif, konsentrasi obat dalam jaringan target dapat ditentukan dan mengoptimalkan efek terapetik obat yang dilakukan dengan cara mengendalikan pelepasan obat didalam tubuh dengan dosis obat tertentu. Biasanya obat konvensional diberikan dalam dosis berkala yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memastikan stabilitas, aktivitas dan bioavalabilitas sediaan obat (Kumar, et al., 2012).

2.4.2 Floating drug delivery system

Sistem penghantaran obat ini dengan sistem mengapung atau sistem hidrodinamis dikendalikan dengan berat jenis yang kecil sehingga dapat mengapung di atas cairan lambung dan tetap mengapung di lambung tanpa mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung untuk jangka waktu yang lama. Sementara sistem mengapung ini, obat dilepaskan perlahan pada tingkat yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem residual ini dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu retensi lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).


(20)

Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan sistem floating yaitu meningkatkan kepatuhan pasien, mencapai efek terapi yang baik dari obat dengan waktu paruh yang singkat, menambah absorpsi obat yang larut di lambung dan dapat mencapai tapak spesifik obat di lambung (Pawar, et al., 2011).

Keterbatasan dari penggunaan sistem ini yaitu membutuhkan jumlah cairan yang banyak di lambung (bentuk sediaan dimasukkan secara oral dengan jumlah cairan sekitar 200-250 ml), dengan tujuan agar obat tetap mengapung di lambung (Soppimath, et al., 2001).

2.4.2.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran obat floating diklasifikasikan dalam dua variabel mekanisme yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent.

a. Sistem Effervescent

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa, kitosan, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, asam tartrat, dan asam sitrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang.. Hal ini membantu sediaan untuk mengapung. Bahan tambahan yang sering digunakan dalam sistem ini yaitu HPMC, polimer poliakrilat, polivinil asetat, karbopol, agar, natrium alginat, kalsium klorida, polietilen oksida, dan polikarbonat (Dey dan Saha, 2013).

Lapisan terluar dari sistem effervescent terbuat dari polimer yang dapat mengembang, yang permeabilitas terhadap cairan lambung, sehingga bila


(21)

berkontak dengan lapisan effervescent sodium bikarbonat akan menunjukkan reaksi netralisasi (Dey dan Saha, 2013).

Gambar 2.3 Unit tunggal sistem Effervescent FDDS b. Non-effervescent Floating

Sistem Non-effervescent ini mengembang bila berkontak lama dengan cairan lambung sehingga mencegah keluarnya obat dari lambung. Sistem ini cenderung menyangkut mendekati spinkter pilori. Salah satu metode formulasi yang dilakukan adalah dengan mencampurkan obat dengan gel, yang mengembang ketika kontak dengan cairan lambung. Contoh dari tipe FDDS ini adalah sistem koloid gel, sistem kompartemen mikroporos, beads alginat, dan hollow mikrosfer (Dey dan Saha, 2013). Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Juga biasa digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimethacrylate, polyacrylate, plystyrene,dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4.2.2 Kandidat obat untuk sediaan floating

Dalam sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran dan aktivitas kerja


(22)

obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan dalam sistem penghantaran obat floating diantaranya:

a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung. Seperti: Misoprostol, Antasida.

b. Obat-obat yang memiliki tapak absorpsi yang sempit dalam saluran pencernaan. Seperti: L-DOPA, p-aminobenzoic acid, furosemid, riboflavin.

c. Obat-obat yang tidak stabil dalam lingkungan basa di bagian usus atau kolon. Seperti: Captopril, Ranitidine HCl, Metronidazol.

d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon.

Seperti: Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya Tetracyclin, Clarithromycin, Amoxicilin.

e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi. Seperti: Diazepam, Chlordiazepoxide, Verapamil (Nayak, et al., 2010).

Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk sediaan Floating ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.

No Bentuk Sediaan Nama Obat

1 Tablet Chlorpheniramin maleat, Theophyllin, Furosemid, Ciprofloxacin, Captopril, Asam Asetilsalisilat, Nimodipin, Amoxicillin, Verapamil HCl, Isosorbide dinitrate, Isosorbide mononitrate, Acetaminophen, Dilitiazem, Florouracil, Prednisolon.

2 Kapsul Nicardipin, Chlordiazepoxide HCl, Furosemid, Misoprostol, Diazepam, Propanolol, Urodeoxycholic. 3 Mikrosper Aspirin, Griseofulvin, p-nitroanilline, Ketoprofen,


(23)

4 Granul Indometasin, Na-Diklofenak, Prednisolon.

5 Film Cinnarizine

Sementara itu bentuk sediaan floating ini sendiri yang telah tersedia dipasaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini

No Bentuk Sediaan Nama Obat Brand Name Perusahaan, Negara Produsen) 1 Floating Controlled

Release Capsule

Levodopa, Benserazide

MODAPAR Roche, USA

2 Floating Capsule Diazepam VALRELEASE Hoffman-LaRoche, USA 3 Effervescent

Floating Liquid Alginate Preparation Aluminium hydroxide, Magnesium Carbonate LIQUID GAVISON

Glaxo Smith Kline, INDIA

4 Floating Liquid Alginate Preparation

Aluminium-Magnesium antacid

TOPALKAN Pierre Fabre

Drug, FRANCE 5 Colloidal gel

forming FDDS

Ferrous sulphate

CONVIRON Ranbaxy, INDIA 6 Gas-generating

floating Tablets

Ciprofloxacin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA 7 Bilayer floating

Capsule

Misoprostol CYTOTEC Pharmacia, USA (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4.2.3 Keuntungan floating drug delivery system

Sistem penghantaran obat melalui sistem floating ini merupakan teknologi penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan memiliki beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini. Keuntungan ini meliputi:

a. Bentuk sediaan floating seperti tablet atau kapsul akan bertahan dalam waktu yang lama bahkan pada pH alkalis saluran cerna.


(24)

b. FDDS menguntungkan untuk obat-obat yang bekerja secara lokal di lambung contohnya: antasida.

c. Bentuk sediaan FDDS menguntungkan untuk kasus seperti pergerakan saluran cerna yang kuat dan diare untuk menjaga agar obat tetap berada dalam kondisi mengapung dalam lambung untuk memberikan respon efek yang lebih baik.

d. Zat-zat asam seperti aspirin dapat menyebabkan iritasi saat berkontak dengan dinding lambung, untuk itu formulasi FDDS berguna untuk menghantarkan obat aspirin dan obat-obat lain yang sejenis.

e. FDDS menguntungkan untuk obat-obat yang diabsorpsi di lambung contohnya Fero sulfat, Antasida.

Berbagai keuntungan ini yang menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Goyal, dkk., 2011).

2.4.2.4 Kekurangan floating drug delivery system

Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem floating ini, terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi:

a. Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya apung sediaan tidak dapat diprediksi.

b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak cocok untuk sistem pemberian obat ini.

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.

d. Pengosongan lambung untuk subjek pada posisi tidur telentang terjadi secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pula pada diameter dan


(25)

ukuran sediaan floating tersebut. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan tidur (Sharma, et al., 2011).

2.5 Saluran Pencernaan 2.5.1 Lambung

Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut makanan. Selain itu lambung sebagai tempat penyimpanan makanan dalam jangka singkat, yang memungkinkan untuk mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara enzimatik berlangsung didalam lambung (Narang, N., 2011).

Anatomi lambung dibagi menjadi 3 wilayah yaitu bagian fundus, bagian badan dan bagian antrum (pilorus). Bagian proksimal terdiri dari bagian fundus dan bagian badan yang bertindak sebagai tempat untuk bahan tercerna, sedangkan bagian antrum adalah bagian utama untuk gerakan mencampur makanan dan juga bertindak sebagai pompa dalam pengosongan lambung untuk mendorong makanan menuju bagian saluran pencernaan selanjutnya (Narang, N., 2011). Lambung adalah organ berbentuk huruf J terletak pada bagian kiri atas rongga perut di bawah diafragma dapat dilihat pada gambar 2.4. Lambung terdiri dari epitel selapis toraks dengan lekukan-lekukan, sehingga terbentuk lubang-lubang pada permukaan lambung. Lubang-lubang ini merupakan muara dari kelenjar lambung. Lambung dapat diregangkan sehingga mampu menampung sejumlah besar makanan (Leeson, dkk., 1989).

Waktu pengosongan lambung saat berpuasa ataupun sampai saat makan dipengaruhi beberapa faktor dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan gerakan atau motilitas dari otot-otot lambung yang mengakibatkan perbedaan waktu


(26)

pengosongan lambung diantara kedua keadaan ini. Siklus yang baik makanan melalui lambung dan usus setiap 2 sampai 3 jam. Siklus ini disebut siklus mioelektrik bagian saluran pencernaan atau perpindahan suatu bahan tercerna dalam saluran pencernaan yang dipengaruhi motilitas saluran pencernaan. Dalam siklus ini dibagi dalam 4 tahapan:

1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan terjadinya awal motilitas kontraksi.

2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit dengan potensial aksi dan motilitas kontraksi. Dalam fase ini berlangsung dengan intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara bertahap.

3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat 4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase II

dan fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus (Arunachalam, et al., 2011).


(27)

Tahapan siklus kontraksi dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Pola motilitas saluran pencernaan

Lambung terdiri dari empat lapisan umum yaitu: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Leeson, dkk., 1989). Mukosa lambung berwarna pucat, merah-keabuan dan dibatasi oleh epitel selapis kolumnar. Mukosa lambung tebal (0,5 sampai 1,5 mm) karena adanya massa kelenjar lambung, yang bermuara ke permukaan melalui sumur-sumur atau “foveolae”. Kelenjar lambung bentuknya tubular simpleks atau tubular bercabang, masuk jauh ke dalam mukosa, hingga mendekati muskularis mukosa, dan di antara kelenjar terdapat lamina propia, yang sukar dilihat oleh akrena terpisah-pisah menempati ruangan di antara sumur-sumur dan kelenjar-kelenjar (Leeson, dkk., 1989).

Submukosa terdapat di antara jaringan mukosa dan muskularis yang meluas ke dalam rugae atau lipatan memanjang lambung, dan terdiri atas jaringan ikat jarang, dengan serat-serat kolagen dan elastin. Selain fibroblas, terdapat pula kumpulan limfosit dan sel plasma, terutama dekat kardia dan pilorus, serta sel mast dan biasanya terdapat beberapa sel lemak. (Leeson, dkk., 1989).

Muskularis dibentuk oleh tiga lapisan otot polos: (1) Lapisan luar longitudinal dan (2) Lapisan tengah sirkular yang merupakan lanjutan dari kedua


(28)

lapisan otot esofagus dan ditambah dengan (3) Lapisan serong (oblik) berbentuk lengkungan otot yang berjalan dari kardia mengitari fundus dan korpus (Leeson, dkk., 1989).

Serosa merupakan lapisan terluar, dibentuk oleh jaringan areolar elastis yang relatif padat. Pada banyak tempat ia diliputi oleh peritoneum (yaitu satu lapis sel mesotel gepeng), dan pada keadaan ini disebut sebagai serosa. Pembuluh darah dan linfa terdapat di sini, dan melaluinya menuju ke lapisan-lapisan yang lain (Leeson, dkk., 1989).

2.6 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan kedalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin bisa lunak dan bisa juga keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2005).

Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur, dan air. Kulit kapsul dapat juga mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan kapsul lunak relatif sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya.


(29)

Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menetukan kekerasan kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Gelatin bersifat stabil diudara bila dalam keadaan kering, akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembap atau disimpan dalam larutan berair. Biasanya cangkang kaspul gelatin mengandung uap air antara 9–12 %. Bilamana disimpan dalam lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian dari uap air yang terdapat dalam kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta mungkin akan remuk bila dipegang (Ansel, 2005).

Cangkang kapsul keras gelatin harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian saling menutupi bila dipertemukan, bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh secara tepat dan ketat (Ansel, 2005).

2.7 Natrium Alginat

Alginat sangatlah berlimpah dialam indonesia karena alginat ini sebagai kompoenen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)

Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).


(30)

Alginate komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

(Draget, et al., 2005).

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β -D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linier (Grasdalen, et. al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1980).


(31)

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).


(32)

Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.8 Difraksi Sinar-X

Teknik X-Ray Diffraction (XRD) berperan penting dalam proses analisis padatan kristal maupun amorf. XRD adalah metode karakterisasi lapisan yang digunakan untuk mengetahui senyawa kristal yang terbentuk. Teknik XRD dapat digunakan untuk analisis struktur kristal karena setiap unsur atau senyawa memiliki pola tertentu. Apabila dalam analisis ini pola difraksi unsur diketahui, maka unsur tersebut dapat ditentukan. Metode difraksi sinar-x merupakan metode analisis kualitatif yang sangat penting karena bentuk kristal dari material pola difraksi serbuk yang karakteristik, oleh karena itu metode ini disebut juga metode sidik jari serbuk (powder fingerprint method). Penyebab utama yang menghasilkan bentuk pola-pola difraksi serbuk tersebut, yaitu: (a) ukuran dan bentuk dari setiap selnya, (b) nomor atom dan posisi atom-atom di dalam sel (Smallman, 2000).

Difraksi merupakan penyebaran atau pembelokan gelombang pada saat gelombang melewati penghalang. Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,5 Å – 2,5 Å dan memiliki energi foton antara


(33)

1,2 x 103 eV – 2,4 x 105 eV yang dihasilkan dari penembakan logam dengan elektron energi tertinggi. Dengan karakterisasi tersebut sinar-x mampu menembus zat padat sehingga dapat digunakan untuk menentukan struktur kristal. Hamburan sinar ini dihasilkan bila suatu elektron logam ditembak dengan elektron-elektron berkecepatan tinggi dalam tabung hampa udara (Atkins, 1999).

2.9 Disolusi 2.9.1 Kelarutan

Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia senyawa obat yang penting dalam menentukan derajat absorpsi obat dalam saluran cerna. Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air (poorly soluble drugs) seringkali menunjukkan ketersediaan hayati rendah dan kecepatan disolusi merupakan tahap penentu (rate limiting step) pada proses absorpsi obat (Leuner dan Dressman, 2000).

2.9.2 Uji disolusi

Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol (controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi (Martin, dkk., 2008).

Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan dan tingkat kelarutan suatu obat didalam medium air dimana didalam obat mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Masalah bioavailabilitas


(34)

dapat ditemukan dalam metode disolusi ini. Akan tetapi, dalam percobaan disolusi dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi obat (Shargel, 1998).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan. Bila suatu sediaan obat dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi air atau dimasukkan kedalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai masuk kedalam larutan dari bentuk padatnya. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran parrtikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi akan meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.


(35)

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan dapat menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi. ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju

disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar


(36)

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri dari suatu dayung yang dilapisi bahan khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung.

Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “Basket and Rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk uji pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel, 1998).


(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pencetak kapsul ukuran 0 yang terbuat dari batang stainless steel berbentuk silindris dengan panjang 10 cm serta berdiameter 6,0 mm untuk bagian badan cangkang kapsul dan berdiameter 6,2 mm untuk bagian tutup cangkang kapsul, alat pencetak kapsul ukuran 1 yang terbuat dari batang stainless steel berbentuk silindris dengan panjang 10 cm serta berdiameter 5,5 mm untuk bagian badan cangkang kapsul dan berdiameter 6,0 mm untuk bagian tutup cangkang kapsul, alat disolusi metode dayung (Erweka), batang pengaduk, beker glass (Pyrex), buret (Pyrex), capsule shell impact tester, cawan porselen, difraksi sinar X (Philips Analytical X-Ray), gelas ukur (Pyrex), jangka sorong (Tricle), kandang kelinci, kamera digital, labu tentukur (Pyrex), lemari pengering, mikrometer (Delta), mikroskop cahaya, neraca analitis (Ohaus Pioneer), penunjuk waktu (Stopwatch), peralatan bedah, pH meter (Hanna), pipet mat (MBL), pipet volum (MBL), spektrofotometer (Shimadzu UV 1800), termometer, termostat, timbangan kelinci (Warce-Liege), dan waterbath. 3.2 Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, aspirin/asetosal (PT. Mutifa), buffer pH asam (Hanna), buffer pH netral (Hanna), formalin, gliserin, HCl (p) (Merck), kalsium klorida dihidrat (Merck), kloroform, natrium alginat 80-120 cP (Wako pure chemical industries, Ltd Japan), natrium klorida (Merck), natrium metabisulfit, nipagin, polivinilpirolidon K30 (Wako pure chemical industries, Ltd Japan) dan titanium dioksida.


(38)

3.3 Pembuatan Pereaksi

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M

Kalsium klorida dihidrat (CaCl2.2H2O) sebanyak 22,05 gram dilarutkan dalam akuades bebas CO2 hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pembuatan larutan fisiologis 0,9%

Natrium klorida sebanyak 0,9 gram dilarutkan dalam akuades secukupnya sampai 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.3 Pembuatan larutan formalin 10%

Formalin pekat (40%) sebanyak 25 ml diencerkan dengan akuades secukupnya sampai 100 ml (Jones, 1985).

3.3.4 Medium cairan lambung buatan tanpa enzim (medium pH 1,2)

Larutkan 2 gram natrium klorida dalam 7 ml asam klorida pekat dan akuades secukupnya hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4 Pembuatan Kurva Serapan dan Kurva Kalibrasi Aspirin 3.4.1 Pembuatan larutan induk baku aspirin

Ditimbang sebanyak 62,5 mg aspirin/asetosal dan dimasukkan kedalam labu tentukur 250 ml, ditambahkan 5 ml etanol hingga larut. Kemudian dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda dan dikocok homogen. Diperoleh konsentrasi 250 mcg/ml (250 ppm).

3.4.2 Pembuatan kurva serapan larutan aspirin dalam medium cairan lambung buatan (medium pH 1,2)

Dipipet sebanyak 0,9 ml larutan induk baku, kemudian dimasukkan kedalam labu tentukur 25 ml. Dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda dan dikocok homogen. Serapan diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 200-400 nm


(39)

3.4.3 Pembuatan kurva kalibrasi larutan aspirin dalam medium cairan lambung buatan (medium pH 1,2)

Larutan induk baku dibuat dalam berbagai konsentrasi yaitu 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; dan 12 ppm, dengan cara memipet larutan induk baku masing-masing sebanyak 0,4; 0,5; 0,6; 0,7; 0,8; 0,9; 1,0; 1,1; dan 1,2 ml. Kemudian dimasukkan kedalam labu tentukur 25 ml dan dicukupkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 sampai garis tanda. Dikocok homogen, kemudian diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum yang telah ditentukan sebelumnya.

3.5 Pembuatan Dispersi Padat

Sistem dispersi padat dibuat dengan metode pelarutan dengan memvariasikan jumlah PVP K30 dengan perbandingan berat (aspirin : PVP K30) = 1:1, 1:2, dan 1:3.

Formula dispersi padat aspirin-PVP K30 yang akan dibuat dengan metode pelarutan dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1 Rancangan formula sediaan dispersi padat

Formula Bahan-bahan

Aspirin (g) PVP K30 (g) Total (g)

F I 1,5 1,5 3

F II 1 2 3

F III 0,75 2,25 3

Keterangan:

F I = Aspirin : PVP K30 (1:1) F II = Aspirin : PVP K30 (1:2) F III = Aspirin : PVP K30 (1:3)

Aspirin-PVP K30 ditimbang sesuai komposisi campuran masing-masing, kedua bahan dicampur dan dilarutkan dengan pelarut etanol sebanyak 25 ml.


(40)

Kemudian diuapkan pelarut dengan udara panas di oven (400C) sampai diperoleh berat konstan. Setelah campuran diuapkan, disimpan dalam desikator selama 24 jam. Kemudian padatan yang dihasilkan dikerok dan digerus dengan lumpang dan alu lalu diayak dengan menggunakan ayakan no. 12.

3.6 Pembuatan Cangkang Kapsul Alginat

Cangkang kapsul alginat kosong dibuat sesuai dengan metode pencelupan (Voight, 1994), yaitu dengan mencelupkan alat pencetak kapsul kedalam larutan alginat.

3.6.1 Pembuatan larutan alginat

Natrium alginat 80-120 cp 4,5 g

Gliserin 2 g

Nipagin 0,25 g

TiO2 0,4 g

Natrium metabisulfit 0,1 g

Akuades ad 100 ml

Ditimbang masing-masing bahan yang diperlukan. Beker glass dikalibrasi 100 ml. Nipagin dilarutkan dalam sebagian akuades yang telah dipanaskan terlebih dahulu, kemudian setelah dingin dilarutkan Gliserin dan Natrium metabisulfit dalam larutan tersebut (massa I). Kemudian TiO2 didispersikan dalam sebagian akuades (massa II). Selanjutnya kedalam beker glass yang sudah dikalibrasi ditambahkan massa I dan massa II sedikit demi sedikit, kemudian ditaburkan serbuk alginat, didiamkan selama 24 jam lalu diaduk dan dicukupkan dengan akuades sampai 100 ml. Larutan didiamkan selama beberapa saat sampai tidak ada lagi gelembung udara (Simamora, 2014).


(41)

3.6.2 Pembuatan badan cangkang kapsul alginat

Alat pencetak kapsul terbuat dari bahan stainless steel. Kemudian dicelupkan kedalam larutan natrium alginat sedalam 3 cm, kemudian batang stainless steel yang telah dilapisi larutan natrium alginat tersebut direndam dalam larutan CaCl2 0,15 M selama 75 menit.

Setelah itu cangkang kapsul yang telah mengeras dilepaskan dari batang stainless steel tersebut kemudian direndam dalam akuades selama beberapa jam untuk menghilangkan kalsium yang menempel pada cangkang kapsul dan selanjutnya dikeringkan di lemari pengering.

3.6.3 Pembuatan tutup cangkang kapsul alginat

Alat pencetak kapsul terbuat dari bahan stainless. Kemudian dicelupkan kedalam larutan natrium alginat sedalam 2,5 cm, kemudian batang stainless steel yang telah dilapisi larutan natrium alginat tersebut direndam dalam larutan CaCl2 0,15 M selama 75 menit.

Setelah itu cangkang kapsul yang telah mengeras dilepaskan dari batang stainless steel tersebut kemudian direndam dalam akuades selama beberapa jam untuk menghilangkan kalsium yang menempel pada cangkang kapsul dan selanjutnya dikeringkan di lemari pengering.

3.6.4 Pengeringan cangkang kapsul alginat

Pengeringan cangkang kapsul alginat tersebut dilakukan dengan cara mengeringkannya dalam lemari pengering selama 4 jam. Dimana cangkang kapsul alginat yang basah ditempatkan pada batang stainless steel yang telah diolesi oleh minyak silikon. Kemudian dimasukkan kedalam lemari pengering. Setelah kering,


(42)

cangkang kapsul alginat dilepaskan dari batang stainless steel. Kemudian cangkang kaspul alginat tersebut disimpan.

3.7 Penentuan Spesifikasi Cangkang Kapsul Alginat

3.7.1 Pengukuran panjang dan diameter cangkang kapsul alginat

Pengukuran panjang dan diameter cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong.

3.7.2 Pengukuran ketebalan cangkang kapsul alginat

Pengukuran ketebalan cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan mikrometer skrup. Pengukuran dilakukan 5 kali untuk masing-masing sampel, satu kali di pusat dan 4 kali di perimeter sekitarnya, kemudian diambil rata-ratanya.

3.7.3 Penimbangan berat cangkang kapsul alginat

Penimbangan berat cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan neraca analitik.

3.7.4 Pengamatan warna cangkang kapsul alginat

Pengamatan warna cangkang kapsul alginat diamati secara visual. 3.7.5 Pengukuran volume cangkang kapsul alginat

Pengukuran volume cangkang kapsul alginat dilakukan dengan menggunakan buret dimana bagian badan cangkang kapsul diisi dengan air sampai penuh.

3.8 Pengisian Aspirin dalam Cangkang Kapsul Alginat

Sebanyak 80 mg aspirin dan 32 mg laktosa ditimbang dengan tepat menggunakan neraca analitik, lalu diisikan kedalam bagian badan cangkang kapsul alginat melalui bagian ujung yang terbuka. Kemudian ditutup dengan


(43)

bagian tutup cangkang kapsul alginat dengan mendorong bagian tutup ke bagian badan cangkang kapsul alginat yang terbuka sehingga bagian tutup kapsul dengan bagian badan kapsul menyatu dengan baik. Kemudian diberi perekat larutan natrium alginat pada kapsul.

3.9 Pengisian Dispersi Padat dalam Cangkang Kapsul Alginat

Sejumlah dispersi padat yang setara dengan 80 mg aspirin ditimbang dengan tepat menggunakan neraca analitik, lalu diisikan kedalam bagian badan cangkang kapsul alginat melalui bagian ujung yang terbuka. Kemudian ditutup dengan bagian tutup cangkang kapsul alginat dengan mendorong bagian tutup ke bagian badan cangkang kapsul alginat yang terbuka sehingga bagian tutup kapsul dengan bagian badan kapsul menyatu dengan baik. Kemudian diberi perekat larutan natrium alginat pada kapsul.

3.10 Hewan Percobaan yang Digunakan pada Uji Iritasi

Kelinci sebanyak 6 ekor dengan perincian sebagai berikut :

Kelompok I : Formula III pemberian dispersi padat aspirin (1:3) sebanyak 320 mg (mengandung 80 mg aspirin) dengan dosis 53,3 mg/kgBB dalam kapsul gelatin : 3 ekor Kelompok II : Formula III pemberian dispersi padat aspirin (1:3)

sebanyak 320 mg (mengandung 80 mg aspirin) dengan dosis 53,3 mg/kg BB dalam kapsul alginat : 3 ekor 3.11 Pengujian Efek Iritasi Terhadap Lambung Kelinci dari Dispersi Padat

yang Mengandung Aspirin

Kelinci yang digunakan adalah kelinci jantan dengan berat 1,4-1,6 kg yang dibeli di Brastagi, lalu diadaptasi terhadap lingkungan, makanan, minuman selama 1 minggu. Setelah diadaptasikan, kelinci tersebut telah dapat digunakan sebagai hewan percobaan. Untuk pengujian efek iritasi lambung kelinci dibagi atas tiga kelompok:


(44)

Tabel 3.2 Kelompok pengujian efek iritasi terhadap lambung kelinci dari dispersi padat yang mengandung aspirin

Kelompok Nomor Kelinci Sediaan

I 1-3 Dispersi padat aspirin (1:3) dengan

dosis 80 mg dalam kapsul gelatin

II 4-6 Dispersi padat aspirin (1:3) dengan dosis

80 mg dalam kapsul alginat Hewan percobaan dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam, kemudian hewan percobaan diberikan obat sesuai kelompoknya masing-masing selama 12 jam.

Pengujian efek iritasi terhadap saluran cerna kelinci dilakukan dengan pengamatan secara makroskopik dan mikroskopik.

3.12 Pengamatan Secara Makroskopik

Semua kelompok kelinci dibunuh dengan menggunakan kloroform secara inhalasi dan dilakukan pembedahan untuk mengambil lambungnya. Kemudian lambungnya dibuka dan dicuci dengan larutan fisiologis, lalu difoto dengan kamera digital untuk melihat apakah ada luka pada lambung kelinci. Kemudian organ tersebut direndam dalam larutan formalin 10%.

3.13 Pengamatan Secara Mikroskopik

Lambung kelinci yang telah diamati secara makroskopik, kemudian diamati secara mikroskopik secara histologi.

3.14 Pembuatan Preparat Jaringan Organ Lambung

Pembuatan preparat histopatologi sampai siap untuk dilihat secara mikroskopik terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:

1. Difiksasi organ lambung dengan menggunakan larutan formalin 10% selama 1 jam.


(45)

2. Dehidrasi dengan merendam spesimen ke dalam etanol 70%, 80%, dan 96% masing-masing selama 1 jam 30 menit. Tahap dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan yang telah difiksasi agar nantinya mudah dilakukan parafinisasi.

3. Penjernihan dengan merendam spesimen kedalam xilena selama 2 jam. Tahap penjernihan bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan. 4. Embending dengan menggunakan paraffin cair 560C selama 2 jam. 5. Blocking pada casette dan didinginkan pada suhu 40C beberapa saat. 6. Spesimen dipotong dengan menggunakan mikrotom (Leica) setebal 2-3

µm kemudian dimasukkan di atas kaca objek yang telah diolesi gliserin. 7. Dilakukan deparafinisasi dengan menggunakan xilol selama 15 menit. 8. Didehidrasi dengan menggunakan alkohol 96%, 80%, dan 50%

masing-masing selama 15 menit.

9. Dibersihkan dengan menggunakan air mengalir kemudian diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin (rendam ke dalam zat warna Hematoxylin mayers selama 5 menit kemudian dicuci dengan air mengalir, setelah itu direndam ke dalam larutan eosin 1% selama 1 menit).

10.Didehidrasi dengan etanol 80%, 96%, dan absolut masing-masing 1 menit lalu dikeringkan.

11.Direndam dalam larutan xilene selama 1 menit, kemudian ditutup dengan kaca objek yang telah diberi Canada balsam.


(46)

3.15 Uji Pola Difraksi Sinar X

Pola difraksi sinar X serbuk aspirin, PVP K30, dan hasil dari proses dispersi padat direkam pada sistem difraksi sinar X menggunakan sumber pancaran radiasi Cu. Tegangan 40 KV dan arus 30 mA. Pengamatan dilakukan pada 2ө dan kecepatan skanning 0,8000 per detik.

3.16 Uji Disolusi

Medium disolusi : Cairan lambung buatan tanpa enzim pH 1,2 Kecepatan pengadukan : 100 rpm

Volume medium : 900 ml

Suhu medium : 37 ± 0,5oC

Metode : Dayung

Sampel : 1. Cangkang kapsul alginat 80-120 cP berisi 80 mg aspirin dan 32 mg laktosa.

2. Cangkang kapsul alginat 80-120 cP berisi dispersi padat dengan aspirin : PVP K30 (1:1, 1:2, 1:3).

Dimasukkan 900 ml medium kedalam wadah disolusi, kemudian diatur suhunya 37 ± 0,50 C dan kecepatan pengadukan 100 rpm. Dimasukkan sampel uji kedalam wadah disolusi, kemudian alat dijalankan. Dengan interval pengambilan cuplikan pada 5, 10, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330, 360, 390, 420, 450, 480, 510, 540, 570, 600, 630, 660, 690 dan 720 menit. Pengambilan cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari alat dayung, tidak kurang 1 cm dari dinding wadah (Ditjen POM, 1995). Aliquot diambil sebanyak 2 ml kemudian dimasukkan kedalam labu tentukur 25 ml dan ditambahkan dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2


(47)

sampai garis tanda. Untuk menjaga volume medium disolusi tetap konstan maka jumlah aliquot yang diambil diganti dengan medium cairan lambung buatan pH 1,2 dengan jumlah yang sama. Konsentrasi obat diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimumnya 228,6 nm. Penetapan dilakukan sebanyak 3 kali.

3.17 Uji Waktu Floating

Sediaan cangkang kapsul alginat 80-120 cP ukuran No. 0 dan 1 dilakukan uji waktu floating dengan cara menempatkan cangkang kapsul tersebut ke dalam beaker glass berisi medium lambung buatan pH 1,2.

Floating Lag time sebagai waktu yang dibutuhkan sediaan cangkang kapsul alginat mulai mengapung. Dan Floating Time sebagai lamanya waktu dimana sediaan cangkang kapsul alginat dapat mengapung.


(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Spesifikasi Cangkang Kapsul Alginat

Penentuan spesifikasi cangkang kapsul alginat berupa pengukuran panjang, diameter, berat dan warna dari cangkang kapsul alginat dilakukan untuk bagian badan cangkang kapsul, tutup cangkang kapsul dan cangkang kapsul keseluruhan. Pengukuran ketebalan dilakukan terhadap bagian badan cangkang kapsul dan bagian tutup cangkang kapsul. Sedangkan pengukuran volume hanya dilakukan terhadap bagian badan cangkang kapsul alginat, karena umumnya bahan obat hanya diisikan kedalam bagian badan cangkang kapsul sebelum ditutup dengan bagian tutup cangkang kapsul. Dalam pengukuran volume digunakan air, dimana air yang digunakan diisi kebagian badan cangkang kapsul alginat sampai meniskus atas menyentuh ujung kapsul untuk mencegah kelebihan pembacaan volume cangkang kapsul.

Dalam penelitian ini, cangkang kapsul yang dibuat merupakan cangkang kapsul alginat dengan ukuran 0 dan cangkang kapsul dengan ukuran 1. Hal ini bisa dilihat dari spesifikasi cangkang kapsul alginat pada Tabel 4.1 dan 4.2. Tabel 4.1 Spesifikasi cangkang kapsul alginat 80 – 120 cP ukuran No. 0

No Spesifikasi Cangkang Tutup Cangkang Badan Cangkang Kapsul keseluruhan

1 Panjang (mm) 10,30 18,00 21,5

2 Diameter (mm) 7,7 7,4 -

3 Tebal (mm) 0,08 0,08 -

4 Berat (mg) 40,25 68,19 106,44

5 Warna Putih Putih Putih


(49)

Tabel 4.2 Spesifikasi cangkang kapsul alginat 80-120 cp ukuran No. 1

No Spesifikasi Cangkang Tutup Cangkang Badan Cangkang Kapsul keseluruhan

1 Panjang (mm) 10,30 16,35 19,10

2 Diameter (mm) 6,5 6,2 -

3 Tebal (mm) 0,1 0,1 -

4 Berat (mg) 21,0 26,10 45,10

5 Warna Putih Putih Putih

6 Volume (ml) - 0,4 -

Cangkang kapsul yang dibuat dalam penelitian ini merupakan cangkang kapsul nomor 0 dan cangkang kapsul nomor 1. Menurut Capsugel Division spesifikasi cangkang kapsul No. 0 dan No. 1 dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4.

Tabel 4.3 Spesifikasi cangkang kapsul ukuran No. 0 menurut Capsugel Division

Ukuran Kapsul

Tutup Kapsul Badan Kapsul Panjang Kapsul Keseluruhan

Panjang

(mm) Diameter (mm) Panjang (mm) Diameter (mm) Volume (ml) Panjang (mm) Berat (mg)

0 10,72 7,64 18,44 7,34 0,68 21,7 96

Toleransi ± 0,46 - ± 0,46 - - ± 0,3 ± 6

Tabel 4.4 Spesifikasi cangkang kapsul ukuran No.1 menurut Capsugel Division Ukuran

Kapsul

Tutup Kapsul Badan Kapsul

Panjang Cangkang Kapsul Keseluruhan (mm) Panjang

(mm) Diameter (mm) Panjang (mm) Diameter (mm)

0 9,78 6,91 16,61 6,63 19,40

Toleransi ± 0,46 ± 0,46 ± 0,46 ± 0,46 ± 0,30

4.2 Uji Pelepasan Aspirin dari Cangkang Kapsul Alginat

Profil uji pelepasan aspirin dan dispersi padatan aspirin dari cangkang kapsul alginat dilakukan dalam medium lambung buatan pH 1,2 selama 12 jam. Pada penelitian ini dilakukan uji pelepasan terhadap cangkang kapsul alginat 80– 120 cP. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 4.1.


(50)

Gambar 4.1 Grafik pengaruh pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat dalam medium lambung buatan pH 1,2 selama 12 jam.

Dari Gambar 4.1 dilihat bahwa persentase pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat pada menit ke-720 33,02% sedangkan persentase pelepasan aspirin pada dispersi padar (1:3) dari cangkang kapsul alginat pada menit ke-180 sebanyak 39,84%, pada menit ke-360 yang terlepas sebanyak 59,40% dan pada menit ke-720 yang terlepas sebanyak 90,38%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase pelepasan aspirin dari dispersi padat telah memenuhi persyaratan sustained release. Sistem dispersi padat dengan konsentrasi PVP K30 semakin besar menyebabkan jumlah aspirin yang terdispersi molekuler dalam PVP K30 menjadi semakin besar sehingga aspirin menjadi bentuk amorf. Jadi, laju disolusi aspirin pun semakin meningkat sebanding dengan banyaknya PVP K30 dalam sistem dispersi padat tersebut.

Peningkatan laju disolusi bahan obat dalam sistem dispersi padat disebabkan pengecilan ukuran partikel. Sehingga luas permukaan kontak obat dengan medium disolusi lebih besar. Sistem dispersi padat aspirin-PVP K30

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 30 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720

% k um ul a ti f waktu (menit) Asp 80 mg Asp:PVP (1:1) Asp:PVP (1:2) Asp:PVP (1:3)


(51)

dengan perbandingan berat 1:3 memberikan pelepasan obat yang optimal sebagai sediaan floating dalam medium pH 1,2.

Tabel 4.5 Data pelepasan dispersi padat aspirin 1:3 dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2

Interval pemberian Waktu (jam) Jumlah yang

terlepas Persyaratan yang diterima

0,25D 3 jam 39,84 % 20-50%

0,5D 6 jam 59,40 % 45-75%

1D 12 jam 90,38 % ≥75%

Keterangan: D (Interval pemberian) = 12 jam

Sistem dispersi padat dapat mengubah obat dari semula bentuk kristal menjadi amorf atau parsial kristalin dengan cara meleburkan atau melarutkannya bersama pembawa hidrofilik. Sistem dispersi padat dengan pembawa hidrofilik menginformasikan tentang perubahan obat dari kristal menjadi sebagian amorf atau sebagian kristal dengan membentuk eutektik atau monotektik (Craig, 2002).

Cangkang kapsul alginat 80-120 cP yang ditempatkan dalam medium lambung buatan pH 1,2 tetap dalam kondisi utuh (tidak pecah) selama uji pelepasan dilakukan bahkan setelah uji pelepasan selesai dilakukan cangkang kapsul masih dalam kondisi utuh (tidak pecah). Hal ini dikarenakan komponen penyusun cangkang kapsul yaitu kalsium guluronat dimana ion kalsium berikatan dengan asam guluronat (sebesar 47,5 % dari keseluruhan jumlah kalsium dalam kapsul) masih utuh. Dengan begitu kapsul alginat tidak akan pecah dalam cairan lambung buatan maupun cairan lambung karena ion kalsium sulit dilepaskan oleh asam guluronat (Bangun, dkk., 2005) hal ini menunjukkan bahwa kapsul alginat


(52)

dapat digunakan untuk formulasi sediaan Gastroretentive atau sediaan yang bertahan di lambung.

4.3 Kinetika Orde Pelepasan

Kinetika orde pelepasan dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dilakukan terhadap 4 formula yaitu aspirin 80 mg, dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:1), dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:2), dan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dengan empat model kinematika yaitu: orde nol, orde satu, orde higuchi dan Korsmeyer-peppas. Penentuan kinetika pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat dilakukan untuk mengetahui berapa persen obat yang dilepaskan pada waktu-waktu tertentu.

Dengan memplotkan hasil uji pelepasan aspirin dalam grafik waktu versus persen kumulatif, logaritma persen kumulatif versus waktu, persen kumulatif versus akar waktu dan logaritma persen kumulatif versus logaritma waktu maka dapat diperoleh nilai korelasi (R2) dari cangkang kapsul alginat. Kinetika pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat dapat dilihat pada Tabel 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9.

Tabel 4.6 Kinetika pelepasan aspirin 80 mg dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP

Persamaan Regresi R2

Orde Nol y = 0,044x + 1,598 R² = 0,994

Orde Satu y = 0,001x + 0,553 R² = 0,899


(53)

Tabel 4.7 Kinetika pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:1) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP

Persamaan Regresi R2

Orde Nol y = 0,047x + 1,311 R² = 0,988

Orde Satu y = 0,001x + 0,488 R² = 0,846

Higuchi y = 1,399x – 6,331 R² = 0,950

Tabel 4.8 Kinetika pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:2) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP

Persamaan Regresi R2

Orde Nol y = 0,098x + 3,308 R² = 0,990

Orde Satu y = 0,001x + 0,733 R² = 0,773

Higuchi y = 2,959x – 13,30 R² = 0,979

Korsmeyer-Peppas y = 0,860x – 0,599 R² = 0,993

Tabel 4.9 Kinetika pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP

Persamaan Regresi R2

Orde Nol y = 0,123x + 10,97 R² = 0,959

Orde Satu y = 0,001x + 0,972 R² = 0,666

Higuchi y = 3,807x – 11,39 R² = 0,997

Korsmeyer-Peppas y = 0,904x – 0,466 R² = 0,979

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat kinetika orde pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP mendekati kinetika pelepasan Orde nol, dengan nilai persamaan regresi y = 0,044x + 1,598 dan nilai R2 = 0,994. Dari Tabel 4.7


(54)

menunjukkan bahwa kinetika orde pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:1) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP mendekati kinetika pelepasan Orde nol, dengan nilai persamaan regresi y = 0,047x + 1,311 dan nilai R² = 0,988. Dari Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa kinetika orde pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:2) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP mendekati kinetika pelepasan Korsmeyer-peppas, dengan nilai persamaan regresi y = 0,860x – 0,599 dan nilai R² = 0,993. Sedangkan dari Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa kinetika orde pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP mendekati kinetika pelepasan Higuchi, dengan nilai persamaan regresi y = 3,807x – 11,39 dan nilai R² = 0,997.

Grafik kinetika pelepasan aspirin dari masing-masing formula dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dapat dilihat pada Gambar 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5.

Gambar 4.2 Grafik kinetika pelepasan orde nol dari pelepasan aspirin dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2

y = 0.0449x + 1.5987 R² = 0.9949

0 10 20 30 40

0 200 400 600 800

%

k

um

ul

a

ti

f

waktu (menit)

Orde nol


(55)

Gambar 4.3 Grafik kinetika pelepasan orde nol dari pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:1) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2

Gambar 4.4 Grafik kinetika pelepasan Korsmeyer-peppas dari pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:2) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2

y = 0.047x + 1.3119 R² = 0.9885

-10 0 10 20 30 40 50

0 100 200 300 400 500 600 700 800

% k um ula ti f waktu (menit)

Orde nol

y = 0.8607x - 0.5992 R² = 0.9932

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00

lo g % k um ula ti f

log waktu (menit)

Korsmeyer- peppas


(56)

Gambar 4.5 Grafik kinetika pelepasan Higuchi dari pelepasan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dari cangkang kapsul alginat 80-120 cP dalam medium lambung buatan pH 1,2

4.4 Difraksi Sinar X

Difraksi sinar x dari aspirin menunjukkan puncak dengan intensitas yang tajam. Hal ini mengindikasikan sifat kristalin dari obat tersebut seperti yang ditunjukkan Gambar 4.6, 4.7 dan 4.8 berikut ini:

Gambar 4.6 Difraksi sinar X aspirin

y = 3.8077x - 11.395 R² = 0.9971

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00

%

k

um

ula

ti

f

akar waktu (menit)

Higuchi


(57)

Gambar 4.7 Difraksi sinar X PVP K30

Gambar 4.8 Difraksi sinar X dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3)

Pola difraksi sinar X yang mirip terlihat pada hasil analisis dispersi padat dengan pembawa (Gambar 4.7 dan 4.8) yang menunjukkan bahwa pembawa yang terkandung dalam dispersi padat kemungkinan merubah aspirin yang mulanya dari bentuk kristal menuju ke bentuk amorf. Hal ini dilihat dari aspirin dengan intensitas puncak yang tajam berubah menjadi semakin rendah.

4.5 Pengamatan Efek Iritasi pada Lambung Kelinci

Pengamatan efek iritasi pada lambung kelinci dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik.


(58)

4.5.1 Pengamatan efek iritasi pada lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin

4.5.1.1 Pengamatan makroskopik lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin

Pada pengujian ini, kelinci diberikan dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin dengan dosis 53,3 mg/kgBB. Setelah 12 jam kelinci tersebut dibedah dan dilakukan pengamatan makroskopik pada lambung kelinci. Hasil pengamatan makroskopik organ lambung kelinci dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Kelinci 1 Kelinci 2

Kelinci 3

Gambar 4.9 Foto makroskopik lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin ( : luka)

Dari Gambar 4.9 terlihat bahwa secara makroskopik dijumpai adanaya tanda-tanda iritasi berupa luka kemerahan. Hal ini disebabkan karena cangkang


(59)

kapsul gelatin segera hancur dalam medium air, asam ataupun basa sehingga laju pelepasan aspirin meningkat dari sistem dispersi padat yang mengakibatkan terjadi peningkatan konsentrasi obat yang tinggi di daerah lapisan difusi pada permukaan mukosa lambung. Konsentrasi obat yang tinggi secara lokal pada mukosa lambung menyebabkan lapisan fosfolipid pada permukaan mukosa dirusak oleh aspirin dan menimbulkan kerusakan mukosa lambung. Mukosa lambung mempunyai barier tertentu terhadap zat-zat yang merusak lambung. Apabila barier telah rusak maka mukosa lambung membiarkan difusi balik asam klorida dari lumen lambung ke dalam sel-sel mukosa dan jaringan sebelah dalamnya terutama pembuluh darah dan menyebabkan pendarahan (Abdou, 2001).

4.5.1.2 Pengamatan mikroskopik lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin

Lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin dalam kapsul gelatin yang telah diamati secara makroskopik kemudian diamati lebih lanjut secara mikroskopik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Dari Gambar 4.10 terlihat bahwa lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin dalam kapsul gelatin menunjukkan kerusakan sel-sel epitel. Dari hasil mikroskopik dapat disimpulkan bahwa pemberian dispersi padat dalam kapsul gelatin dapat menimbulkan efek iritasi aspirin dalam lambung kelinci sama halnya dengan makroskopik yang menunjukkan adanya tanda-tanda iritasi. Hal ini disebabkan karena cangkang kapsul gelatin mudah pecah jika berkontak dengan cairan lambung sehingga obat akan larut dan langsung bersentuhan dengan permukaan mukosa lambung.


(60)

Kelinci 1

Perbesaran 10 x 10 Perbesaran 10 x 40

Kelinci 2

Perbesaran 10 x 10 Perbesaran 10 x 40

Kelinci 3

Perbesaran 10 x 10 Perbesaran 10 x 40

Gambar 4.10 Foto mikroskopik lambung kelinci yang diberi dispersi padat aspirin : PVP K30 (1:3) dalam kapsul gelatin dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin

Sel-sel epitel erosi

Penipisan epitel

Sel-sel epitel erosi


(1)

Lampiran 14. Gambar alat-alat uji disolusi

a) Cairan kalibrasi pH meter b) pH meter

c) Termometer d) Spektrofotometer


(2)

Lampiran 15. Gambar alat-alat pembuatan dispersi padat

a) Desikator b) Ayakan


(3)

Lampiran 16. Gambar sediaan dispersi padat sebelum dan setelah pengayakan Sebelum pengayakan

Formula 1: Dispersi padat dengan perbandingan berat aspirin : PVP K30 (1:1)

Formula 2: Dispersi padat dengan perbandingan berat aspirin : PVP K30 (1:2)


(4)

Lampiran 16. (Lanjutan) Setelah pengayakan

a) Dispersi padat aspirin-PVP K30


(5)

Lampiran 17. Gambar cangkang kapsul alginat 80-120 cP No. 0 dan 1

Cangkang kapsul alginat 80-120 cp No. 0


(6)