PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY) DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY)
DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

AULIA ARIFFANDI
NIM : 030 - 200 - 250

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.


PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY)
DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

AULIA ARIFFANDI
NIM : 030 - 200 - 250

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH.M.Hum

NIP. 131 842 854

Dosen Pembimbing I

Prof. Alvi Syahrin, SH.MS
NIP. 131 694 639

Dosen Pembimbing II

Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum
NIP. 132 299 900

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

KATA PENGANTAR


Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai
kesehatan dan kelapangan berpikir kepada Penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah
dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi

ini

berjudul :”PERTANGGUNGJAWABAN

KORPORASI

(CORPORATE LIABILITY) DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN”. Penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum
Pidana.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1.


Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.

2.

Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH.MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
USU.

3.

Bapak Syafaruddin, SH.MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
USU.

4.

Bapak M. Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
USU.

5.


Bapak Abul Khair, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum USU.

6.

Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum USU.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

7.

Bapak Prof. Alvi Syahrin, SH.MS, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

8.

Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
juga telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses
penulisan skripsi.


9.

Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana
penulis menimba ilmu selama ini.

10.

Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat Penulis
sebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan,
Penulis,

Mei 2009

Aulia Ariffandi


Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang………………………………………………………

1

B. Perumusan Masalah…………………………………………………

4


C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……………………………………...

5

D. Keaslian
Penulisan…………………………………………………..

6

E. Tinjauan Kepustakaan………………………………………………

6

1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana……

6

2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan……………………………


11

3. Pengertian Korporasi……………………………………………

12

F. Metode
Penelitian……………………………………………………

14

G. Sistematika
Penulisan………………………………………………..

BAB II

16

PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN
SEBAGAIMANA DIRUMUSKAN DALAM UU No. 31 TAHUN

2004
TENTANG PERIKANAN
A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana di Bidang Perikanan sebagaimana
diatur
Dalam

UU

No.

31

Tahun

2004

tentang

Perikanan…………………...
B. Sanksi


Pidana

yang

dijatuhkan

17
dalam

Tindak

Pidana

Perikanan…….
C. Pengadilan

28
Khusus

Tindak

Perikanan…………………………

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

Pidana
40

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN

KORPORASI

(CORPORATE

LIABILITY)
DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN BERDASARKAN UU
NO. 31
TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
A. Istilah
Korporasi……………………………………………………….
58
B. Bentuk-Bentuk
Korporasi……………………………………………..

65

1. Perusahaan
Perseorangan…………………………………………...

66

2.

Firma……
3. Perseroan

Komanditer

(CV)………………………………………...

67

4. Perseroan
Terbatas………………………………………………….

68

5.

Koperasi…
6.

Yayasan…
7. Badan

Usaha

Milik

Negara

(BUMN)………………………………

80

C. Kejahatan
Korporasi……………………………………………………

81

D. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di dalam Tindak Pidana
Perikanan
……………………………………………………………….
1. Konsep

Pertanggungjawaban

Pidana

terhadap

92
Pelaku

Manusia……
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Rumusan UU
Tindak

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

92

Pidana
Perikanan……………………………………………………

BAB IV

101

KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………….
.

111

B. Saran………………………………………………………………
….
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………….
122

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

120

ABSTRAK
Sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable resources), mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya
dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan
secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat
terjadinya kepunahan. Dengan demikian, agar kelestarian sumberdaya ikan tetap
terjaga maka diperlukan perangkat hukum yang pasti yang disertai dengan penegakan
hukum (law enforcement). Dengan kata lain, ketidakpastian hukum dan lemahnya
penegakan hukum inilah yang menjadi penyebab rusaknya eksosistem perairan
laut.Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif normatif,
dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan pengumpulan data-data untuk
mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini dengan cara Library Research
(penelitian kepustakaan), terhadap data-data skunder. Langkah pertama dilakukan
penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu
inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan.
Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan
persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan
dengan tindak pidana perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
Pengaturan Tindak Pidana di bidang perikanan sebagaimana dirumuskan
dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ialah yang bersifat kejahatan dan
pelanggaran. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban tindak pidana perikanan
yang dilakukan oleh korporasi diatur bahwa yang dapat dituntut atas suatu tindak
pidana perikanan tidak saja mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan
tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka. Sayangnya rumusan
prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU tersebut justru mengalami
kemunduran. Dalam Pasal 101 UU 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa: "dalam hal
tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari
pidana yang dijatuhkan ".
Dengan rumusan demikian, meskipun korporasi diakui sebagai pelaku suatu
tindak pidana, akan tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan poertanggung
jawaban pidana. Pengaturan demikian akan menimbulkan banyak kelemahan.
Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu dimana keuntungan yang diperoleh perusahaan
sedemikian besar dan/atau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar,
maka pengenaan pidana penjara/denda "hanya" kepada pihak pengurus korporasi akan
menjadi tidak sebanding. Disamping itu, pengenaan pidana kepada pengurus
korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak
melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi
juga tidak sedikit yang berlindung di balik korposari-korporasi boneka (dummy
company) yang sengaja mereka bangun untuk melindungi korporasi induknya.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui
(renewable resources), mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya
dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan
secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat
terjadinya kepunahan. Dengan demikian, agar kelestarian sumberdaya ikan tetap
terjaga maka diperlukan perangkat hukum yang pasti yang disertai dengan penegakan
hukum (law enforcement). Dengan kata lain, ketidakpastian hukum dan lemahnya
penegakan hukum inilah yang menjadi penyebab rusaknya eksosistem perairan laut.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengelolaan perikanan
merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah.
Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya yang sangat penting
dalam mengantisipasi terjadinya kompleksitas permasalahan, baik ekologi maupun
sosial-ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai akibat dari
pemanfaatan kawasan pesisir dan laut yang open access. Praktek open access yang
selama ini banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut,
pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Permasalahan
tersebut diperparah oleh Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
bersifat sentralistis dan anti pluralisme hukum, sehingga undang-undang tersebut
mengabaikan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan. 1
Meski dilahirkan di era demokratis bukan berarti Undang-undang No. 31
Tahun 2004 telah sesuai atau telah mampu mengatasi permasalahan perikanan. Hal
ini dicerminkan, meski Undang-undang No. 31 Tahun 2004 telah berlaku setahun
1

Tekan Illegal Fishing, Dukung Produksi Ikan, diakses dari situs :
http://www.majalahdemersial.com, tanggal 11 Mei 2008.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

lebih, pembangunan perikanan masih belum menunjukan hasil yang optimal.
Keberadaan undang-undang tersebut masih menyimpan suatu permasalahan yang
sangat mendasar yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negara serta
kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan. Undang-undang yang ditetapkan pada
era Kabinet Gotong Royong tersebut belum optimal dalam memperhatikan nasib
nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumberdaya ikan. Bahkan
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 disinyalir syarat dengan nuansa kepentingan
pihak-pihak tertentu, khususnya para broker dan pengusaha asing. Oleh karenanya,
undang-undang yang baru berumur beberapa tahun ini banyak mendapatkan kritikan
dan mengerucut pada rencana gugatan clash action dan usulan amandemen. Memang
tidak dapat dipungkiri, bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Undangundang No. 31 Tahun 2004 lebih banyak dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985.
Namun demikian, banyaknya materi yang diatur bukan berarti undang-undang
tersebut sudah lengkap dan sesuai dengan aspirasi serta kehendak masyarakat.

2

Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa kerugian
negara dari illegal fishing mencapai Rp 30 triliun setiap tahun. Kerugian ini sangat
besar, misalnya apabila dibandingkan dengan anggaran DKP tahun 2008 yang
berkisar Rp 3,3 triliun. Jumlah ini juga nyaris mewarnai anggaran Departemen
Pertahanan tahun 2008. Dalam menanggulangi pencurian ikan, tentu saja Departemen
Kelautan dan Perikanan membutuhkan bantuan instansi lain. Departemen Kelautan
dan Perikanan sudah mempunyai kapal pengawas, tetapi jumlahnya tak mencukupi.
Sesuai amanat UU 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan membentuk forum koordinasi tindak pidana di bidang perikanan dengan
TNI AL dan Polri. Masuk akal jika ada pihak yang mengusulkan agar TNI AL
memperoleh sebagian dana yang diperoleh dari kegiatan pemberantasan pencurian
2

Ibid.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

ikan. Jika angka kerugian ini katakanlah dapat diselamatkan satu persen saja, berarti
setiap tahun pemerintah bisa membeli satu kapal perang jenis korvet yang berharga
Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun.

3

Seperti diketahui, penanganan kasus-kasus perikanan selama ini dinilai tidak
berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana instansi-instansi yang terkait
dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan
cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Lihat
saja misalnya kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal
(ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut
tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun
tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka
serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS.

4

Persoalan tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan
pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya

putusan hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2
kapal ikan Thailand. Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta
serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi. Kasus serupa
terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing
hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-. 5
Di samping Kasus-kasus di atas, sebenarnya masih banyak kasus lain yang
dapat kita lihat di media-media masa. Hal ini menunjukan kepada kita betapa
penanganan terhadap kasus-kasus perikanan di Indonesia sangat memperihatinkan.
Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang perikanan ini telah
3

Ahmad Solihin, Mendanai Alutsista TNI AL, diakses dari situs :
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=325926&kat_id=16 pada tanggal 29
April 2008.
4
Ibid.
5
Harian Kompas, edisi 1 Oktober 2003.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat pencurian ikan di
perairan Indonesia diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau
setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS. Kerugian tersebut
belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan
menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya.
Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan
perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan untuk mengadili berbagai kejahatan di
bidang perikanan.

6

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi, khususnya
apakah suatu korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan tindak
pidana di bidang perikanan dan bagaimana aturan hukum yang mengatur mengenai
hal tersebut.

B. Rumusan Permasalahan
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang
akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana perikanan sebagaimana dirumuskan dalam
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana perikanan
berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini secara
singkat, adalah sebagai berikut :
6

Ibid.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana perikanan sebagaimana dirumuskan
dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana perikanan
berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Selanjutnya, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk :
1. Manfaat secara teoritis.
Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat
memberikan masukan sekaligus

menambah khasanah ilmu pengetahuan dan

literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan
dengan penerapan peraturan pidana terhadap berbagai tindak pidana perikanan,
seperti illegal fishing (pencurian ikan) yang dilakukan oleh orang perorang
maupun badan hukum (korporasi) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia baik di dalam KUHP maupun di dalam UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis

penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi

pengetahuan tentang tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh badan hukum
(korporasi).

D. Keaslian Penulisan.
Pembahasan skripsi ini dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI (CORPORATE LIABILITY) DALAM
TINDAK PIDANA PERIKANAN”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita
dengar, dimana seringkali terjadi tindak pidana di bidang perikanan baik yang
dilakukan oleh orang perorangan maupun badan usaha (korporasi), baik itu warga
negara Indonesia maupun orang asing di batas-batas perairan di Indonesia. Padahal
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

perlindungan mengenai perikanan ini telah diatur

dalam peraturan perundangan-

undangan di Indonesia, baik UU UU No. 31 Tahun 2004 maupun dalam KUHP.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan
doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama,
maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang
diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan
dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III.
Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar
pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I

selalu ditemukan

penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri
pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan
penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undangundang (wet-delichten). 7
Beberapa sarjana, seperti Vos, Simon, Van Hammel dan sebagainya
mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa delik hukum sudah sejak
semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum sebelum
pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang. Sedangkan delik

7

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco,
Bandung, 1986, hal. 16.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan
hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang. 8
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan,
pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari
delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan,
peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya.
Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar
pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak
dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh
masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena :

9

a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat
dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan
b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat
dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang
dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya
untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau
penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan
dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran. 10
Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari
bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti :
a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
8

Edi Yunara, Op.cit, hal. 11.
Moeljatno, 1987, Undang-Undang Hukum Pidana, terjemahan, Cetakan 16,
Seksi Hukum Pidana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 12.
10
P.A.F. Lumintang, Delik-Delik Khusus, Tindak-Tindak Pidana Melanggar
Norma-Norma Kesusilaan dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung,
1990, hal. 15
9

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

b. Peristiwa pidana
c. Perbuatan pidana dan
d. Tindak pidana
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah
“Het Strafbare feit” antara lain

11

:

a. Rumusan Simon
Simon

merumuskan

“Een

Strafbaar

feit”

adalah

suatu

handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya
dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang
dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang
berupa

kesalahan

(schuld)

dan

kemampuan

bertanggung

jawab

(toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b. Rumusan Van Hammel
Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan
oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat
dipidana”.
c. Rumusan VOS
VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d. Rumusan Pompe
Pompe merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah
(penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan

11

SR. Sianturi, Op.cit, hal. 117.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak
pidana ini, yaitu 12 :
a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b.

R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan
merupakan “subjek” tindak pidana.
Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak
pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua
suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan
singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu
tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak.
Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal
suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan
jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja

pada

negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang
dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan
apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan
tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja
melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 13.
Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,
12
13

Ibid, Hal. 204-206.
Ibid, Hal. 209.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

tidak disenangi oleh orang atau masyarakat, baik yang langsung atau tidak langsung
terkena tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang
sudah

dipandang

merugikan

kepentingan

umum

di

samping

kepentingan

perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Apabila penguasa tidak turun
tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak
akan habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam
masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang
diharuskan. Sedangkan pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan
pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau
diharuskan dan ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan 14.
Seperti yang dikemukakan di atas, tindak pidana atau strafbaar feit
merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur 'perbuatan atau tindakan yang
dapat dipidanakan' dan unsur 'pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya'.
Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat
dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya
hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu 'Geen straf zonder schuld, actus non facit
reum nisi mens sir rea', bahwa 'tidak dipidana jika tidak ada kesalahan', maka
pengertian 'tindak pidana' itu terpisah dengan yang dimaksud 'pertanggungjawaban
tindak pidana'. 15
Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan
perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat
tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga
mempunyai kesalahan.
14
15

Ibid, Hal. 210.
Moeljatno, Op.cit, hal. 26.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang
terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat
dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu.
Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang
itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.

2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan
Pengertian tindak pidana perikanan tidak ada dijumpai baik khususnya di
dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Di dalam UU No. 31 Tahun 2004
hanya diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Pengadilan Perikanan (Pasal
71-83). Selanjutnya di dalam Pasal 72 mengenai penyidikan, penuntutan dan
Pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan. Di dalam Pasal 73 dijelaskan juga
bahwa putusan hakim harus sudah dijatuhkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak
tanggal penerimaan perkara, dan putusan perkara tersebut dapat dilakukan oleh hakim
tanpa kehadiran terdakwa. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang
pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari, dan dapat diperpanjang
selama 10 hari lagi apabila diperlukan.
Selanjutnya mengenai ketentuan pidana diatur di dalam Pasal 84-105.
Beberapa ketentuan pidana di bidang perikanan antara lain diatur di dalam Pasal 84
ayat (1) yang menyebutkan bahwa, apabila ada orang yang melakukan penangkapan
dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat, cara, bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya diancam dihukum pidana
penjara paling lama 6 tahun dan denda sebesar 1,2 miliar.
Demikian juga bagi nakhoda, di dalam Pasal 84 ayat (2) diatur bahwa ahli
penangkap ikan dan Anak Buah Kapal yang melakukan hal seperti tersebut diatas
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

diancam dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan denda paling banyak 1,2
miliar. Sedangkan bagi pemilik kapal, pemilik perusahaan dan operator kapal akan
diancam hukuman 10 tahun penjara dan dengan denda yang lebih besar yaitu 2 miliar.
Selanjutnya di dalam Pasal 84 ayat (3) di atur juga bahwa bagi orang yang
memiliki maupun menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan yang
ditetapkan diancam hukuman penjara 5 tahun dengan dengan sebesar 2 miliar. Dan
bagi yang melakukan pencemaran dan membahayakan baik itu lingkungan
sumberdaya ikan maupun kesehatan manusia akan diancam hukuman penjara 6-10
tahun dengan denda 1,5 – 2 miliar.
3. Pengertian Korporasi
Dalam perkembangan hukum di Indonesia, penggunaan istilah “korporasi”
merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk
menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang hukum lain, khususnya dalam
bidang hukum perdata, sebagai badan hukum (rechtsperson) atau yang dalam bahasa
Inggris disebut legal entities atau corporation. Konsep “korporasi” pada mulanya
dikembangkan pada hukum Romawi, lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu
jauh hingga abad VIII, tidak mengalami perkembangan. 16
Dalam sistem hukum Perdata Belanda yang sampai saat ini masih dianut oleh
sistem, hukum di Indonesia, maka dikenal sebagai subjek hukum terbagi menjadi 2
(dua) bentuk, yaitu, pertama, manusia (person) dan kedua, badan hukum
(rechtspersoon). Dari pembagian subjek hukum tersebut di atas, apabila korporasi ini
merupakan suatu subjek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum, maka
korporasi termasuk dalam kualifikasi badan hukum (rechtspersoon).

16

Djoko Sarwoko, Tindak Pidana Korporasi dan Etika Bisnis, Majalah Hukum
Varia Peradilan, Tahun XIII No. 146, November 1997, hal. 145.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

Saat ini sebutan korporasi terus berkembang dan banyak ditemui dan tersebar
dalam berbagai buku karangan. Bahkan, dalam beberapa ketentuan aturan hukum
yang dikeluarkan pemerintah juga telah dicantumkan kata-kata korporasi, misalnya
dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta berbagai aturan hukum lainnya.
Beberapa korporasi yang dikemukakan oleh para penulis adalah seperti yang
disampaikan oleh A.Z. Abidin yang mengemukakan, bahwa : “korporasi dipandang
sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang
diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu”.17
Selanjutnya menurut Subekti dan Tjitrosudiro, yang dimaksud dengan
korporasi, adalah : “suatu perseroan yang merupakan badan hukum. 18
Senada dengan pendapat tersebut diatas yaitu sebagaimana dikemukakan oleh
Utrecht dan M. Soleh Djindang, mengemukakan bahwa : “korporasi adalah suatu
gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu
subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum
yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari
hak dan kewajiban anggota masing-masing. 19
Dari beberapa

pengertian tentang korporasi tersebut di atas, dapat

disimpulkan betapa luasnya batasan pengertian tentang korporasi tersebut yang dapat
lebih luas dari sekedar pengertian badan hukum itu sendiri.

17

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut
Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 10.
18
Muladi dan Dwi Prijatna, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum
Pidana, Sekolah Tinggi Hukum Bandung Press, Bandung, 1991, hal. 14.
19
Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hal. 64.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

Selanjutnya keberadaan korporasi ini menurut Moenaf H. Regar adalah :
“badan usaha yang keberadaannya dan status hukumnya disamakan dengan manusia
(orang), tanpa melihat bentuk organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan
utang, mempunyai kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum,
melakukan gugatan, dan dituntut di depan pengadilan. Oleh karena suatu korporasi
adalah buatan manusia yang tidak sama dengan manusia, maka harus dijalankan oleh
manusia, yang disebut pengurus atau pengelola. Suatu korporasi,

biasanya

mempunyai 3 (tiga) organ, yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Dewan Direksi
(misalnya Perseroan Terbatas). Batas umur

dari korporasi itu ditentukan dalam

anggaran dasarnya, pada saat korporasi itu mengakhiri kegiatannya dan bubar. 20
F.

Metode Penelitian

1.

Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif

normatif, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penulisan skripsi ini,
penulis melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi
penulisan skripsi ini dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan),
terhadap data-data skunder. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif
yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan. Selain itu dipergunakan juga bahanbahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan
dengan

tindak pidana perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan.

20

Moenaf
H. Regar, Dewan Komisaris, Peranannya sebagai Organ
Perseroan, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 9.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

2. Sumber Data
Sumber data yang diteliti dalam skripsi ini berasal dari :
a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas
kerja.
b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi
yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar,
internet dan sebagainya.
c. Bahan/sumber hukum tertier yang memberikan acuan dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum skunder.
3. Metode Analisa Data
Analisis data dalam skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang
yang merupakan data sekunder yang diperoleh,

disusun secara sistematis dan

selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan
dibahas.

G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih
mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika
penulisan/gambaran isi skripsi ini sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN
Bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penulisan, Tujuan
dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan yang diakhiri dengan
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN
SEBAGAIMANA DIRUMUSKAN DALAM UU No. 31 TAHUN
2004 TENTANG PERIKANAN
Pada bab ini dibahas beberapa hal mengenai

bentuk-bentuk tindak

pidana di bidang perikanan sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan dan Sanksi Pidana yang dijatuhkan dalam tindak
pidana perikanan.
BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK
PIDANA PERIKANAN BERDASARKAN UU NO. 31 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN
Pada bab ini dibahas mengenai istilah korporasi, kejahatan korporasi dan
pertanggungjawaban pidana korporasi (Doktrin) di dalam tindak pidana
perikanan.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari
pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan.
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

SEBAGAIMANA DIRUMUSKAN DALAM UU NO. 31 TAHUN 2004
TENTANG PERIKANAN

A.

Tindak Pidana di bidang Perikanan sebagaimana diatur di dalam UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Sumberdaya perikanan sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui
(renewable resources), mempunyai batas-batas tertentu sesuai dengan daya
dukungnya (carrying capacity). Oleh karena itu, apabila pemanfaatannya dilakukan
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

secara bertentangan dengan kaedah-kaedah pengelolaan, maka akan berakibat
terjadinya kepunahan. Kelestarian sumberdaya ikan akan tetap terjaga apabila ada
perangkat hukum yang pasti yang disertai dengan penegakan hukum (law
enforcement), atau dengan kata lain, ketidakpastian hukum dan lemahnya penegakan
hukum inilah yang menjadi penyebab rusaknya eksosistem perairan laut. 21
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengelolaan perikanan
merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah.
Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya yang sangat penting
dalam mengantisipasi terjadinya kompleksitas permasalahan, baik ekologi maupun
sosial-ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai akibat dari
pemanfaatan kawasan pesisir dan laut yang open access. Praktek open access yang
selama ini banyak menimbulkan masalah yaitu kerusakan sumberdaya hayati laut,
pencemaran, over-exploitation, dan konflik-konflik antar nelayan. Permasalahan
tersebut diperparah oleh Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
bersifat sentralistis dan anti pluralisme hukum, sehingga undang-undang tersebut
mengabaikan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan.
Kentalnya nuansa sentralistis dan pemasungan hak masyarakat oleh
pemerintah dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1985 disebabkan oleh rezim otoriter
yang berkuasa pada saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahfud MD yang
diperoleh dari penelitiannya yang kemudian dibukukan dalam judul ”Politik Hukum
di Indonesia”. Disebutkan bahwa, sebagai variabel bebas (independent), konfigurasi
politik pada suatu masa akan mempengaruhi karakter produk hukum sebagai varibel
terikat (dependent). Pemikirannya tersebut bisa kita gunakan dalam menganalisa
permasalahan yang terjadi dalam Undang-undang Perikanan.Undang-undang No. 9
Tahun 1985 tentang Perikanan yang dilahirkan di era orde baru yang otoriter, produk
21

Tekan Illegal Fishing, Dukung Produksi Ikan, diakses dari situs :
http://www.majalahdemersial.com, tanggal 11 Mei 2008, hal. 2.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

hukumnya bersifat elitis, ortodok dan konservatif, sehingga tidak mengakui hak-hak
masyarakat lokal sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Jadi, rezim sentralistis
telah memasung kearifan lokal dan menjadikan laut sebagai arena pertarungan bebas
(open acces).

Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik pemanfaatan dan

kerusakan sumberdaya. UU No. 31 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang
No. 9 Tahun 1985 yang dilahirkan dalam suasana demokratis, hasilnya bersifat
responsif dan populistik yang dicerminkan dengan adanya pengakuan terhadap hukum
adat dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Namun demikian,
meski dilahirkan di era demokratis bukan berarti Undang-undang No. 31 Tahun 2004
telah sesuai atau telah mampu mengatasi permasalahan perikanan. 22
Hal ini dicerminkan, meski Undang-undang No. 31 Tahun 2004 telah berlaku
setahun lebih, pembangunan perikanan masih belum menunjukan hasil yang optimal.
Hal ini terindikasi dimana keberadaan undang-undang tersebut masih menyimpan
suatu permasalahan yang sangat mendasar yang terkait dengan kepentingan bangsa
dan negara serta kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan. Undang-undang yang
ditetapkan pada era Kabinet Gotong Royong tersebut belum optimal khususnya dalam
memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan
sumberdaya ikan. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 juga disinyalir syarat dengan
nuansa kepentingan pihak-pihak tertentu, khususnya para broker dan pengusaha asing.
Oleh karenanya, undang-undang yang baru berumur satu tahun lebih ini banyak
mendapatkan kritikan dan mengerucut pada rencana gugatan clash action dan usulan
amandemen.
Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa substansi atau materi yang diatur
dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 lebih banyak dari Undang-undang No. 9
Tahun 1985. Banyaknya materi yang diatur bukan berarti undang-undang tersebut
22

Ibid, hal. 3.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

sudah lengkap dan sesuai dengan aspirasi serta kehendak masyarakat. Berikut akan
dipaparkan hal-hal penting yang harus menjadi perhatian kita bersama dalam
mewujudkan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Beberapa tindak pidana di bidang perikanan yang diatur di dalam UU No. 31
Tahun 2004 dapat dilihat sebagai berikut : 23
Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang
diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang ditempatkan
dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke III.
Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar
pembagian tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I

selalu ditemukan

penggunaan istilah tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya cirri-ciri
pembedaan itu terletak pada penilaian-kesadaran hukum pada umumnya dengan
penekanan (stressing) kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undangundang (wet-delichten).
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian tersebut bahwa
delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan yang bertentangan
dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam undang-undang.
Sedangkan delik undang-undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang
bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam undang-undang.
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah pengkhianatan,
pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan contoh dari
delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu lintas di jalan,
peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga dan lain sebagainya.
Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana dikatakan bahwa dasar
pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya tindakan-tindakan tersebut tidak
23

UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan atau tak dapat dibenarkan oleh
masyarakat (zedelijk of maatschappelijk ongeoorloofd), karena :
a. ada pelanggaran yang diatur dalam Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat
dirasakan sebagai yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat dan
b. ada beberapa kejahatan seperti Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat
dirasakan sebelumnya sebagai tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran yang
dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya
untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau
penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan
dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.
Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai delik hukum atau
pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak faedahnya sebagai pedoman.
Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya ancaman pidana terhadapnya,
seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk dipedomani. Dalam penerapan hukum
positif tiada yang merupakan suatu kesulitan, karena dengan penempatan kejahatan
dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku ketiga, sudah cukup sebagai pedoman
untuk menentukan apakah sesuatu tindakan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan lainnya
setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan atau
pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang lebih rendah
tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan gubernur/kepala daerah dan
sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan
dalam sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundangundangan hukum pidana.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan dari
bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti :
a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum
b. Peristiwa pidana
c. Perbuatan pidana dan
d. Tindak pidana
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah
“Het Strafbare feit” antara lain

24

:

a. Rumusan Simon
Simon

merumuskan

“Een

Strafbaar

feit”

adalah

suatu

handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld)
oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya
dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang
dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang
berupa

kesalahan

(schuld)

dan

kemampuan

bertanggung

jawab

(toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b. Rumusan Van Hammel
Van Hammel merumuskan “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan
oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat
dipidana”.
c. Rumusan VOS
VOS merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia
yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
24

SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,
Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta, 1996, hal. 117.
Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

d. Rumusan Pompe
Pompe

merumuskan “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah

(penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan
untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi mengenai tindak
pidana ini, yaitu 25 :
a. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b.

R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d. Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan
merupakan “subjek” tindak pidana.
Setelah melihat pendapat beberapa ahli mengenai pengertian tindak
pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah terdiri dari dua
suku kata yaitu tindak dan pidana. Istilah tindak dan pidana adalah merupakan
singkatan dari tindakan dan penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu
tindakan, sedangkan orang yang melakukan tindakan itu dinamakan penindak.
Mungkin suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal
suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan
jensi kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja

pada

negara/pemerintah (pegawai negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang
dari golongan lainnya. Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan
apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan

25

Ibid, Hal. 204-206.

Aulia Ariffandi : Pertanggungjawaban Korporasi (Corporate Liability) Dalam Tindak Pidana Perikanan, 2009.

tertentu. Bahwa jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja
melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum 26.
Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum,
tidak disenangi oleh orang atau ma