PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA MILITER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN (STUDI PUTUSAN NOMOR : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA MILITER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010) Oleh

Muhammad Iqbal

Perbuatan zina yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan tanpa ikatan perkawinan yang di lakukan BN, seorang anggota militer bersama DS, seorang warga sipil, dan dilakukan di dalam kamar. Bahwa pada umumnya perbuatan tersebut, yang dalam aturan pidana umum, bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Tetapi, di dalam putusannya, majelis hakim Peradilan Militer nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010 di Jakarta. Bahwa perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin mengetahui dan mencari kejelasan mengenai hal-hal yang menjadi permasalahan penelitian ini. Permasalahan tersebut diantaranya: 1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)?. 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010). Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data adalah data primer yang menggunakan metode wawancara dan data sekunder di peroleh dari hasil kepustakaan, responden dan penelitian di lakukan pada wilayah hukum Peradilan Militer II-08, Jakarta Utara, dengan sample satu orang hakim, dan satu orang panitera Peradilan Militer II-08, Jakarta Utara., serta dua orang dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dan hasil yang didapatkan adalah: Pertanggungjawaban tindak pidana kesusilaan sesuai surat putusan peradilan militer nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010. Dimana perbuatan tersebut telah


(2)

BN seorang anggota militer, yang dengan sengaja melakukan tindak pidana kesusilaan. Bahwa dalam pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, pelaku sanggup mempertanggungjawabkannya dan tidak ada alasan penghapus pidana untuk pelaku BN. Sehingga hakim dalam putusannya yang sesuai dengan Pasal 281 ke 1, menjatuhkan sanksi 3 bulan penjara terhadap pelaku BN. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan selain melihat syarat-syarat formil, hakim juga memiliki kewenangan diluar syarat-syarat formil dalam memberi putusannya. bahwa keyakinan hakim dapat menentukan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan. keyakinan yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat (Conviction In Raisone).

Berdasarkan penjabaran tersebut dapat penulis memberi saran agar dalam setiap penegakan hukum, aparat hukum tetap menjunjung suatu kepastian hukum. tugas pengawas (Komisi Yudisial), untuk benar-benar mengawasi hakim dalam mengambil keputusan. Maka, diperlukan anggota-angota yang kredibel dalam fungsi pengawasan untuk memperketat pengawasan terhadap hakim atau untuk profesi hakim itu sendiri.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan yang diatur di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Disamping itu anggota TNI berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh bangsa dan negara untuk melakukan usaha pembelaan negara sebagaimana yang termuat dalam Sumpah Prajurit yaitu:

Demi Allah saya bersumpah/berjanji:

1. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan;

3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan;

4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggungjawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia;

5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.

Berdasarkan hal di atas bahwa para prajurit Tentara Nasional Indonesia harus mematuhi peraturan dan taat kepada atasannya. Selain itu, anggota Tentara


(4)

Nasional Indonesia wajib pula menegakkan kehormatan dan selalu menghindari perbuatan yang dapat menodai nama baik ketentaraan dan kesatuannya. Setiap anggota Tentara Nasional Indonesia yang telah dibina baik fisik dan mental harus mampu dan dapat diandalkan untuk melaksanakan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia baik dalam tugas Operasi Militer untuk perang maupun tugas Operasi Militer Non perang, tentunya tugas berat tersebut haruslah di miliki oleh setiap anggota Tentara Nasional Indonesia untuk bekerja secara professional dan berbasis disiplin yang tinggi.

Dilihat dari latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan, TNI lahir dari rakyat, berkembang dan membangun berasama-sama dengan rakyat serta berbakti untuk rakyat sehingga TNI disebut sebagai prajurit pejuang, dan secara umum bahwa setiap prajurit saat ini sama kedudukannya dalam hukum serta tidak lagi menjadi kelompok ekslusif. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap prajurit adalah rakyat yang dilatih secara khusus untuk memegang senjata untuk berperang. (Sjarif Amiroeddin, 1996:3) Sehingga, dalam menjalankan tugasnya seorang anggota TNI tidak tertutup kemungkinan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit, baik yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam kemiliteran, maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan setiap pelanggaran terhadap norma-norma tersebut seorang prajurit TNI tidak akan terlepas dari tanggungjawab kepada hukum.

Pertanggungjawaban seorang prajurit TNI dalam pelanggaran norma yang berlaku di dalam masyarakat yang pada hal ini dalam suatu majelis hakim Peradilan Militer di Jakarta pada suatu perkaranya telah menjatuhkan putusan dengan nomor


(5)

3

: 215-K/PM II-08/AD/VII/2010 kepada seorang anggota militer yang berinisial BN yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan Pasal 281 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan :

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan”.

Dakwaannya oditur menuntut terdakwa dengan tuntutan 5 bulan penjara dengan surat dakwaan nomor : Dak/130/VIII/2010, beserta melampirkan 1 (satu) alat bukti 1 (satu) lembar surat visum. Berbeda dengan dakwaan oditur, majelis hakim dalam putusannya telah menjatuhkan kepada terdakwa BN dengan sanksi pidana 3 bulan penjara.

Kronologis kasus, bermula dari aduan korban pada bulan Januari 2008 yang berinisial DS, 19 tahun, 7 Mei 1988, pegawai rental kaset VCD. Bahwa pada bulan Juli 2006, Terdakwa dan Saksi DS tinggal bersama terdakwa di tempat Sdr. R kurang lebih 4 (empat) bulan. Saksi DS tidur di kamar berdua dengan pembantunya Sdr.R dan 1 (satu) bulan kemudian pembantu Sdr. R pulang kampung dan tidak kembali lalu saksi DS tidur sendirian, ketika saksi DS tidur sendirian Terdakwa sering masuk ke kamar dan mengajak tidur satu tempat serta mengajak melakukan hubungan badan layaknya suami istri akan tetapi saksi DS selalu menolaknya dengan alasan karena dalam hubungan pacaran belum ada ikatan pernikahan.

Bahwa pada bulan Oktober tahun 2006, korban dan terdakwa melakukan hubungan badan. Dimana bermula dari ajakan terdakwa untuk melakukan


(6)

hubungan suami istri kepada korban DS dengan janji akan bertanggungjawab menikahi korban. Bahwa setelah persetubuhan pertama kali, perbuatan tersebut terus dilakukan 3 (tiga) kali dalam seminggu hingga bulan September 2007. Setelah berulang kali melakukan persetubuhan, korban meminta terdakwa untuk bertanggungjawab. Namun, terdakwa tidak mau bertanggungjawab menikahi korban DS. Januari 2008, permasalahan tersebut pernah diselesaikan secara kekeluargaan namun tidak menemui kesepakatan damai. Akhirnya Januari 2008, korban DS melaporkan terdakwa BN ke Pomdam Jaya untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.

Asas legalitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan

tegas menjelaskan, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan

aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan

dilakukan”. Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana, jika perbuatan tersebut diketahui melanggar apa yang telah dirumuskan dalam perundang-undang, tetapi pada kenyataannya masih terdapat perbuatan yang dianggap salah tetapi tidak terumuskan dalam perundang-undangan.

Pelanggaran yang tidak terdapat atau terumuskan dalam perundang-undangan, pada konsepnya, jika kita mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana walau menurut masyarakat itu salah, perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan pelanggaran karena pada konsepnya tidak ada dalam rumusan perundang-undangan. Sehingga, untuk mengatur perbuatan tersebut, diperlukan perundang-undang tertulis yang merumuskannya.


(7)

5

Dimana para pembuat undang-undang yang berpikir hukum adalah formil-legalistik akan menciptakan peraturan baru untuk mengaturnya, dan begitu seterusnya.

Hukum dimana pada hukum modern sekarang ini menjelma kepada para penegak hukum, yang salah satunya adalah hakim yang khususnya adalah hakim Peradilan Militer. Diketahui bahwa wewenang hakim militer sama seperti hakim-hakim pada umumnya yang tidak lain adalah memvonis atau memutus terdapat atau tidak adanya tindak pidana, dengan tujuan memberikan putusan yang adil sebagaimana tujuan hukum itu sendiri, dimana bahwa adil itu sendiri dapat berubah dengan dipengaruhi kebiasaan yang diterima masyarakat umum.(Van Apeldoorn, 2004:125)

Dilihat pada kasus diatas dimana kesusilaan yang dimaksudkan adalah zina yang dilakukan oleh seorang anggota militer dan seorang warga sipil. Selain itu, bahwa perbuatan zina yang dilakukan suka sama suka dan terlepas dari ikatan perkawinan itu sendiri tidak diatur dalam hukum pidana umum,. Namun. di dalam putusannya, majelis hakim Peradilan Militer II-08 di Jakarta telah menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota militer yang melakukan perzinahan, dengan terbukti melakukan kesusilaan di depan umum. Dengan permasalahan tersebut, maka penulis tertarik menulis suatu penelitian dengan judul:

pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)”.


(8)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dibahas dalam proposal skripsi ini adalah :

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam

menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam proposal ini yang ditinjau dalam bidang hukum pidana umum dan hukum pidana militer adalah dalam menganalisis pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam putusan Peradilan Militer II-08 di Jakarta dengan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010, serta dasar hakim Peradilan Militer tersebut dalam menjatuhkan putusan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. Mengetahui pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).


(9)

7

b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis untuk memahami dan mengembangkan kemampuan dalam berkarya ilmiah guna mengungkap secara objektif melalui pengkajian lebih dalam terhadap peraturan-peraturan yang ada, serta penerapan aparat penegak hukum. Sehingga mengetahui dengan jelas aspek-aspek yang menjadi dasar dalam memahami hukum.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sumber bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai dalam memahami hakim Peradilan Militer dalam menegakkan hukum serta dasar-dasar hakim Peradilan Militer memberikan putusan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan


(10)

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 127).

Soerjono Soekanto menentukan, konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang berkaitan dengan suatu kaidah konsep hukum, yang isinya berupa larangan, suruhan, atau kebolehan, tanpa mempersoalkan apakah yang menjadi tujuan pembentuk hukum. Akan tetapi kenyataannya, terdapat konsep pengaruh positif atau efektifitas, yang tergantung pada tujuan dan makdsud suatu kaidah hukum (Soerjono Soekanto, 1986:7).

Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik/tindak pidana dalam undang-undang belum tentu dapat dipidana, karena terlebih dahulu harus melihat kembali kepada orang/pelaku tindak pidana tersebut. Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi tindak pidana, haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan, kesalahan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab. b. Sengaja (dolos/opzet) dan lalai (culpa).

Simons menyatakan, “kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai

suatu keadaan phsychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baikdilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.

(Tri Andrisman, 2009 :97)

Kemampuan bertanggungjawab, pada Pasal 44 KUHP tidak memuat pengertian kemampuan bertanggungjawab. Namun memuat syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab secara negatif. Pasal 44 KUHP menentukan:


(11)

9

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya

atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”

Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan, sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orang/pembuat, yaitu:

1. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh si pembuat lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

2. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

Pertanggungjawaban pidana tidak lepas karena adanya kesalahan. Dalam hukum

pidana dikenal apa yang disebut asas kesalahan, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan”. salah satu unsur dari kesalahan atau tindak pidana adalah unsur sifat

melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan manusia, bukan terhadap si pembuat. Suatu perbuatan itu dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana telah dirumuskan dalam KUHP. Namun, bagaimana jika kesalahan yang tidak terumuskan dalam KUHP.

Guna mengantisipasi timbulnya kejahatan jenis baru yang tidak dirumuskan dalam KUHP, maka KUHP telah menjelaskan dalam Pasal 103 KUHP, yang menentukan:


(12)

“ketentuan-ketentuan dalam bab 1 sampai dengan bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Berdasarkan pada pasal tersebut, dengan demikian dimungkinkan dibentuk undang-undang pidana di luar KUHP. Dengan ketentuan cara berlakunya mengacu pada Pasal 103 KUHP. Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai hukum pidana khusus.

Pengertian Hukum Pidana Khusus itu sendiri adalah ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ditetapkan berlaku untuk orang tertentu atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan tertentu”. Contohnya: KUHPM, Undang-Undang Peradilan Militer, dan sebagainya.

Hukum Pidana Khusus, mengatur kekhususan terhadap pelaku/orangnya yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan tertentu yang dilarang. Ketentuan

penerapan Hukum Pidana Khusus itu sendiri berdasarkan asas, “ lex specialis derogat legi general”,Artinya:

“Apabila ada dua ketentuan hukum/undang-undang yang kedudukannya setingkat dan mengatur materi yang sama, maka hukum/undang-undang yang khusus menyampingkan hukum/undang-undang yang umum”.

Sanksi pidana yang diberikan merupakan kewenangan hakim. Kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan :

“Hakim dan Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.


(13)

11

Menurut Sudikno Mertokusumo (Leden Marpaung 126:1995) dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan filosofis (keadilan).

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.

Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada yang dapat dijadikan pedoman hakim dalam memberi putusan untuk sementara waktu sebelum KUHP Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut terdapat dalam konsep KUHP baru tahun 2011 Pasal 55 ayat (1), yaitu:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana;


(14)

e. Cara melakukan tindak pidana;

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 pada Pasal 25 ayat (1) serta menentukan

salah satu tentang kewenangan hakim, yaitu, “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Seperti tindakan kejahatan lainnya, maka pada umumnya untuk dapat membuktikan pelaku di persidangan. Hakim tersebut memerlukan syarat-syarat tertentu, agar si pelaku dapat diadili sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yaitu seperti terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 183.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah (Soejono Soekanto, 1986 : 2). Agar dapat memberikan kejelasan yang mudah untuk dipahami, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, yaitu:


(15)

13

a. Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. b. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987 : 54)

c. Pertanggungjawaban pidana ialah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana atau tindak pidana. (Roeslan Saleh, 1983 :75).

d. Kesengajaan adalah menghendaki dan mengetahui (KUHP)

e. Militer adalah orang yang dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur. (Sjarif Amiroeddin, 1996:3)

f. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (KUHAP Pasal 1 ayat (8)).

E. Sistematika Penulisan

Memudahkan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisan disusun sebaga berikut :

I. PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan bagian yang memuat latar belakang masalah, kemudian permasalahan dan ruang lingkup, selanjutnya juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual sebagai acuan dalam membahas skripsi ini, serta sistematika penulisan.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini berisikan uraian tentang dasar teori yang mendukung dalam pembahasan yang terdiri dari pengertian Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010), dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).

III. METODE PENELITIAN

Bagian ini merupakan bagian yang menguraikan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pendekatan masalah, sumber data, jenis data, cara pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang dirumuskan, yaitu Bagaimana pertanggungjawaban pidana anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010), dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim Peradilan Militer dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap anggota militer dalam perkara tindak pidana kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010).

V. PENUTUP

Penutup adalah bagian akhir dari skripsi ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang


(18)

telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :

1. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat.

2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : Disengaja dan Sikap kurang hati-hati atau lalai

3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor)yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Serta kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal


(19)

17

ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.

Dilihat dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) yang menentukan: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana. Sehingga, tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul


(20)

sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Menentukan adanya pertanggungjawaban, seseorang pembuat dalam melakukan

suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari tindak pidana itu, yang

merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak

pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet) atau karena

“kelalaian” (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

Teori hukum pidana Indonesia membagi kesengajaan itu menadi tiga macam, yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.


(21)

19

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menentukan sebagai berikut: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.

Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu :

a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum; b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum;

dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya. Kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu:

1. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya.


(22)

2. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar.

Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggungjawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara

“dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh, pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.

Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu: Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya dan hak jabatan atau pekerjaan. Hal yang termasuk dasar pembenar bela paksa Pasal 49 ayat (1) KUHP, keadaan darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatan-jabatan Pasal 51 ayat (1) Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa (overmacht),


(23)

21

B. Tindak Pidana Kesusilaan

Norma kesusilaan adalah norma yang bersumber dari hati nurani (batin) manusia agar manusia selalu berbuat kebaikan dan tidak melakukan perbuatan yang tercela. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hati nurani yang sama dan selalu mengajak pada kebaikan dan kebenaran. Karenanya, ketika melakukan pelanggaran terhadap teguran hati nurani, akan timbul penyesalan dan rasa kecewa yang mendalam. Inilah sanksi yang diterima saat melanggar norma kesusilaan.

Kata kesusilaan telah dipahami oleh setiap orang, sebagai suatu pengertian adat sopan santun dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Pendapat para ahli hukum umumnya menentukan bahwa kesusilaan adalah suatu penegrtian adat-istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual, kesopanan, yang juga berasal dari kata yang sama yakni zeden seharusnya juga demikian.´ Tindak pidana kesusilaan itu menjadi dua macam yakni :

a. Tindak pidana terhadap kesusilaan yang berhubungan dengan seksual; kejahatan kesusilaan ( Pasal 281-299 KUHP ), pelanggaran kesusilaan (Pasal 532-535 KUHP ).

b. Tindak pidana terhadap kesusilaan yang tidak berhubungan dengan seksual; kejahatan kesusilaan (Pasal 300-303bis), pelanggaran kesusilaan (Pasal 536-547 KUHP).


(24)

a. Kesusilaan dalam KUHP

Kesusilaan didalam KUHP dipisahkan antara tindak pidana dan pelanggaran, namun kata kesusilaan tidak disebutkan yang dipakai adalah kata kesopanan sehingga secara redaksional dalam KUHP ada bentuk kejahatan terhadap kesopanan dan pelanggaran tentang kesopanan. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kesopanan disini adalah dalam arti kesusilaan (Zeden,eerbaarheid) atau perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Kejahatan terhadapa kesopanan dalam KUHP diatur mulai dari Pasal 281 sampai dengan Pasal 303 yang diantara isinya adalah kejahatan-kejahatan yang menyangkut zina, pencabulan dan lain sebagainya.Sedangkan dalam pelanggaran terhadap kesopanan terdiri dari Pasal 532 sampai dengan 547. yang diantara isinya adalah pada intinya mempertunjukkan sesuatu tulisan atau gambar yang isinya dapat menimbulkan nafsu.

Kejahatan kesusilaan dari salah satu pasal di KUHP yang mengatur kejahatan tentang kesusilaan, khususnya pada Pasal 281 ayat (1), yang menentukan:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,00

1. barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan; 2. barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu

bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Perlu diketahui bahwa konsepsi hukum mengenai kejahatan Pasal 281 ayat (1) ini adalah kejahatan dimana sifat melanggar kesusilaannya sudah melekat dengan sendirinya secara langsung dan seketika itu pada diri si pembuat pada saat


(25)

23

melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang ketika itu dilihat orang banyak. Artinya sifat melanggar kesusilaannya melekat pada objek tubuhnya sendiri ketika melakukan perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut. Misalnya orang yang bertelanjang di muka umum atau bersenggama di muka umum. Pasal 281 ayat (1) tidak berlaku bagi kejahatan kesusilaan dimana sifat melanggar kesusilaannya itu melekat atau terdapat di luar tubuh si pelaku ketika ia berbuat tertentu. Tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan yang sifat melanggar kesusilaannya melekat selain pada tubuh si pembuat, misalnya memperlihatkan gambar laki-laki sedang beronani atau perempuan sedang bermaturbasi pada beberapa orang.

C. Hukum Pidana Militer

1. Pengertian Hukum Pidana Militer

Pengertian hukum pidana militer dapat dibagi menjadi dua pengertian, yaitu: a. Hukum pidana militer dalam arti luas, yaitu meliputi hukum pidana militer

materiil dan hukum pidana militer formil.

b. Hukum pidana militer dalam arti sempit, yaitu hanya meliputi pengertian hukum pidana militer materil saja.

Mengenai pengertian hukum pidana militer sama saja dengan pengertian hukum pidana materiil (umum), namun ditambahkan yang berlaku untuk militer. Sehingga pengertian hukum pidana militer materiil adalah aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,


(26)

aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana yang berlaku bagi militer.

Hukum pidana formil adalah aturan-aturan yang menetapkan bagaimana Negara dengan perantara alat-alat perlengkapnya melaksanakan haknya untuk mengenai pidana yang berlaku bagi anggota militer. Pada hakekatnya pemidanaan bagi seorang militer, lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan daripada tindakan penjeraan atau pembalasan.

2. Tindak Pidana Militer

Tindak Pidana Militer dibedakan dalam dua jenis tindak pidana, yaitu: a. Tindak Pidana Militer Murni (TPM Murni)

Tindak Pidana Militer Murni adalah tindakan-tindakan yang dilarang dan diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer, karena keadaannnya yang bersifat khusus, atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana.

b. Tindak Pidana Militer Campuran (TPM Campuran)

Tindak Pidana Militer Campuran adalah tindakan-tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM atau undang-undang pidana militer lainnya, karena adanya sesuatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain, sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat.


(27)

25

3. Militer Sebagai Subjek Tindak Pidana

Seorang militer pada dasarnya termasuk dalam 2 (dua) macam subjek tindak pidana, yaitu:

a. Militer sebagi Subjek Tindak Pidana Umum; b. Militer sebagai Subjek Tindak Pidana Militer.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) memamang dibuat untuk diberlakukan bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana, namun demikian KUHPM tidak begitu saja dapat meniadakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Pidana Umum. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 1 KUHPM yang menentukan dengan tegas adanya hubungan antara KUHPM dengan KUHP.

Pasal 1 KUHPM menentukan:

Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Rumusan pada pasal tersebut, dapat dikatakan anggota militer termasuk sebagai subjek tindak pidana umum, apabila ia melakukan tindak pidana yang tidak diatur dalam KUHPM atau peraturan militer lainnya. Namun, karena yang melakukan tindak pidana tersebut adalah seorang militer, maka ia diadili dalam Peradilan Militer. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang menentukan:

(1). Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:

a. Prajurit;

b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit;


(28)

c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;

d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, tetapi atas keputusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

(2). Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan bersenjata.

(3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

Militer yang melakukan tindak pidana militer murni dan campuran diadili dalam Peradilan Militer, karena tindak militer murni dan tindak pidana militer campuran telah diatur dalam KUHPM. Sedangkan yang menjadi permasalahan adalah, apabila ada pencampuran pelaku tindak pidana, yaitu: militer dan sipil melakukan tindak pidana secara bersama-sama, yang dapat berupa:

a. Militer dan sipil melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHPM. b. Militer dan sipil melakukan tindak pidana yang diatur dalam KUHP atau

undang-undang pidana lainnya.

Dilihat dalam hal militer dan sipil melakukan kedua jenis tindak pidana tersebut diatas, maka perkara pidananya disebut: perkara koneksitas. Peradilannya mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai masalah perkara koneksitas, baik itu yang diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang Peradilan Militer. Perkara koneksitas dalam KUHP diatur dalam Pasal 89 yang menentukan:

(1). Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri kehakiman perkara itu harus dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.


(29)

27

(2) Penyelidik perkara pidana sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer ABRI dan oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana. Undang-Undang Peradilan Militer dalam Pasal 198 No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menentukan:

(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel Peradilan Militer yang yustisiabel Peradilan Umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali apabila menurut keputusan menteri dengan persetujuan menteri kehakiman, perkara ini harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

(2) Penyelidik perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari polisi militer, oditur, dan penyelidik dalam lingkungan Peradilan Umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.

Pasal 199 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menentukan:

(1) Untuk menetapkan apakah peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa/jaksa tinggi dan oditur atas dasar hasil penyelidikan tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (2). (2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara

yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3) Apabila dalam penelitian bersama itu terdapat perbedaan pendapat tentang pangadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal itu dilaporkan oleh jaksa/jaksa tinggi kepada jaksa agung dan oleh oditur kepada oditur jenderal.

Implementasi peradilan di lapangan terhadap perkara koneksitas, masing-masing terdakwa diadili dalam lingkungan peradilannya masing-masing. Terdakwa sipil diadili dalam Peradilan Umum, dan terdakwa militer diadili dalam Peradilan


(30)

Militer. Hal ini bertentangan dengan ketentuan KUHAP maupun undang-undang Peradilan Militer.

Terlepas ketidak jelasan tersebut, maka untuk menentukan pengadilan dalam lingkungan peradilan mana yang berhak mengadili perkara koneksitas dalam hal tidak ada kata sepakat anatara jaksa/jaksa tinggi dengan oditur, maka dipakai sebagai kriteria adalah titik berat kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut:

a. Melihat kepentingan yang dirugikan:

1. Lebih banyak merugikan kepentingan umum, maka di adili di Peradilan Umum

2. Lebih banyak merugikan kepentingan militer, maka diadili di Peradilan Militer.

b. Melihat jumlah atau peranan pelaku.

1. Lebih banyak pelaku militernya, maka diadili di Peradilan Militer. 2. Lebih banyak pelaku sipilnya, maka diadili di Peradilan Umum. c, Melihat sifat kejahatan.

1. Kejahatan bersifat militer. 2. Kejahatan bersifat umum.

4. Hukum Acara Pidana Militer

Peradilan Militer pada mulanya hanya memeriksa dan memutus perkara pidana. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang No. 31/1997 tentang Peradilan Militer, maka Peradilan Militer, yaitu Peradilan Militer tinggi dan Peradilan Militer utama juga memeriksa dan memutus perkara sengketa tata usaha ABRI.


(31)

29

Hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan Peradilan Militer dalam perkara pidana pada dasarnya adalah sama dengan hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Tetapi mengenai hal-hal tertentu karena kebutuhan dan bersifat militer perlu diatur secara khusus (Pasal 2 Undang-Undang No. 6/Drt/1950).

Perubahan khusus itu sendiri adalah untuk pemeriksaan pada tingkat kedua (banding) di pengadilan tentara tinggi dan mahkamah tentara agung berpedoman pada titel 15 Stravordering. Perubahan dan pengkhususan yang lebih mendasar anatara lain diatur dalam Undang-Undang No.1/Drt/1958. Namun, perubahan itu terbatas sampai tahap penyerahan perkara pada pengadilan. Untuk selanjutnya tetap berpedoman pada HIR, yaitu titel 10 bagian I.

Berlakunya KUHAP (Undang-Undang No.8 tahun 1981), pada prinsipnya keadaan diatas tetap berlaku. Namun ada beberapa penyimpangan, baik yang diatur oleh undang-undang itu sendiri maupun dengan perundang-undangan khusus yang lain. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, maka dapat dikatakan Peradilan Militer telah mempunyai hukum acara pidana tersendiri, walaupun sebagian dari pengaturannya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalam KUHAP.

Hal yang diatur secara khusus atau berbeda dengan ketentuan KUHAP di Peradilan Umum, diantaranya sebagai berikut:


(32)

a. Ankum (Atasan yang berhak Menghukum)

Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Peradilan Militer mempunyai wewenang:

1. melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau c.

2 menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dan c.

3. menerima berkas perkara hasil penyidikan dari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c.

4. melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.

b. Oditur militer, di samping fungsi utamanya sebagai penuntut, Oditur militer juga dapat melakukan penyidikan dan melakukan penyempurnaan sendiri terhadap berkas perkara yang diterimanya dari penyidik lain dengan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan kewenangan sebagai penyidik. c. Penahanan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidik serta alasan lain

sebagaimana ditentukan undang-undang, dilakukan oleh ankum untuk waktu paling lama 20 hari. Perpanjangan penahanan terhadap tersangka bila diperlukan dapat dilakukan berdasarkan keputusan papera, setiap kalinya selama 30 hari, untuk waktu paling lama 180 hari.

d. Oditur militer/oditur yang ditunjuk, setelah meneliti dan mempelajari berkas perkara yang telah memenuhi syarat-syarat formil dan materiil, yang diperlukan membuat berita acara pendapat. Selanjutnya kepala oditur


(33)

31

mengajukan pendapat hukum dan saran penyelesaian perkara kepada papera yang berwenang dengan melampirkan berita acara pendapat.

Pendapat hukum dan saran tersebut dapat berupa:

1. Perkara merupakan suatu tindak pidana yang harus diselesaikan melalui pengadilan. Untuk itu papera disarankan menerbitkan surat keputusan penyerahan perkara (Skeppera).

2. Perkara merupakan suatu tindak pidana, tetapi dipandang sedemikian ringan sifatnya, sehingga dapat diselesaikan menurut saluran hukum disiplin, atau perkara bukan merupakan tindak pidana tetapi merupakan pelanggaran disiplin prajurit, maka harus diselesaikan menurut hukum disiplin. Untuk itu papera disarankan menerbitkan surat keputusan penyelesaian perkara menurut hukum disiplin prajurit (Skepkumplin). 3. Perkara merupakan suatu tindak pidana, tetapi terdapat alasan-alasan yang

cukup untuk ditutup demi kepentingan hukum atau kepentingan umum/militer. Untuk itu papera disarankan menerbitkan surat keputusan penutupan perkara (Skeptupra).

Penutupan perkara demi kepentingan hukum atau umum/militer hanya dapat dilakukan oleh pangab selaku papera tertinggi dan dilakukan setelah mendengar pendapat oditur jenderal (Otjen).

e. Perbedaan pendapat antara oditur dengan papera tentang penyelesaian suatu perkara, maka setelah mendapat jawaban dari papera, oditur dengan mengemukakan alasan-alasannya mengajukan agar perbedaan tersebut diputus oleh Pengadilan Militer utama dan diajukan melalui papera yang bersangkutan.


(34)

f. Bila suatu perkara diputuskan secara hukum disiplin militer/prajurit, maka oditur mengirimkan surat keputusan hukum disiplin (skempkumplin) tersebut kepada ankum yang berwenang untuk dilaksanakan, dan pelaksanaan tersebut dilaporkan kembali kepada oditur dengan mengirimkan surat keputusan penjatuhan hukuman disiplin.

g. Pemanggilan tersangka atau saksi prajurit TNI dilakukan melalui komandan/kepala kesatuannya dengan permintaan agar memerintahkan prajurit bawahannya yang dimaksud untuk menghadap sesuai dengan keperluan.

h. Perkara desersi yang tersangka atau terdakwanya tidak ditemukan, dapat disidik, diperiksa dan diputus tanpa hadirnya tersangka atau terdakwa yang bersangkutan.

i. Hukuman disiplin berupa penahanan yang pernah dijatuhkan dalam suatu perkara wajib dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana terhadap perkara tersebut.

j. Dalam hal terdakwa diputus bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan, tetapi hakim berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa tidak layak terjadi di dalam ketertiban atau disiplin prajurit, maka hakim

menjatuhkan putusan “perkara dikembalikan kepada papera yang berwenang


(35)

33

D. Hukum Disiplin Militer

1. Pengertian Hukum Disiplin Militer

Khususnya militer, suatu organisasi diharapkan mempunyai peraturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan dan fungsi dari institusi tersebut. Oleh karena itu, dalam institusi TNI dibentuk peraturan disiplin sebagai pedoman dan pegangan bagi anggota TNI dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai penegak hukum, pelindung, penganyom, dan pelayan masyarakat.

Disiplin bagi anggota TNI merupakan kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen. Menegakkan disiplin bagi anggota TNI menunjukkan kredibilitas dan komitmen terhadap pelaksanaan tugas supaya berhasil dengan baik. Undang-Undang No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (selanjutnya disebut Undang-Undang Disiplin Prajurit) dalam Pasal 3 memberikan suatu pedoman bagi anggota TNI dalam menjalankan tugasnya harus memperhatikan peraturan disiplin. Adapun isi ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Disiplin Prajurit tersebut sebagai berikut:

1. Untuk menegakkan tata kehidupan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, setiap prajurit dalam menunaikan, tugas dan kewajibannya wajib bersikap dan berprilaku disiplin.

2. Disiplin prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku bagi prajurit dan melaksanakan semua perintah kedinasan atau yang bersangkutan dengan kedinasan dengan tertib dan sempurna, kesungguhan, keikhlasan hati, dan


(36)

gembira berdasarkan ketaatan serta tanggung jawab kepada pimpinan dan kewajiban.

2. Jenis Pelanggaran Hukum Disiplin Prajurit

Prajurit yang melakukan pelanggaran hukum disiplin militer dapat dikenakan sanksi disiplin berupa tindakan atau hukuman disiplin. Pelanggaran hukum disiplin prajurit dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: pelanggaran hukum disiplin murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak murni.

Pelanggaran hukum disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit. Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer.

Mengenai siapa yang berhak menghukum prajurit yang melakukan pelanggaran hukum disiplin (perbuatan tersebut dapat dikatakan perbuatan sedemikian ringan sifatnya) dapat dilakukan oleh setiap atasan prajurit, yaitu hanya sebatas tindakan disiplin.

E. Dasar Petimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara yang disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan.


(37)

35

1. Pengertian Hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang KekuasaanKehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang

merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan

para hakim harus dijamin oleh undang-undang.

Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada.


(38)

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, ia harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa perbedaan antara pengadilan dan instansi-instansi lain ialah, bahwa pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam peraturan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Di bidang hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro, 1974 : 26-27). Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim yang memimpin jalannya persidangan harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Dengan demikian diharapkan kebenaran materil akan terungkap, dan hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.

Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dapat menemukan hukum berdasarkan keyakinannya dalam menangani suatu perkara. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum. Tetapi untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal yang biasa disebut dengan doktrin. Berhubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Istilah tidak


(39)

37

memihak disini tidak diartikan secara harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang benar. Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hal ini secara tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan: “Pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hakim tidak

memihak berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP.

3. Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim

Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia. Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggungjawab hukum.

Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun sebagian kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1), menentukan:

Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yanghidup dalam masyarakat.


(40)

Pasal 8 ayat (2), menentukan:

Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 17, menentukan:

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Hakim dalam menjalankan tugasnya memiliki tanggungjawab profesi. Tanggungjawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Tanggungjawab moral dalah tanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan (hakim), baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para hakim bersangkutan.

b. Tanggungjawab hukum adalah tanggungjawab yang menjadi beban hakim untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-rambu hukum.

c. Tanggungjawab teknis profesi adalah merupakan tuntutan bagi hakim untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya.


(41)

39

4. Teori Pembuktian Hakim Dalam Mengambil Keputusan

Majelis hakim dalam semua pertimbangannya di atas, hakim tetap melihat atau berdasarkan dari buki-bukti yang ada. Adapun beberapa sistem atau teori pembuktian hakim dalam mengambil keputusan, yaitu, antara lain:

a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan

yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim

semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan.

b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata


(42)

dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi

oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable

yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

c. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan

Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan


(43)

41

berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.

Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.

d. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel).

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian

conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.


(44)

Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal

(sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti.

5. Penafsiran

Interprestasi/penafsiran terhadap KUHP/Undang-Undang Pidana, cara penafsiran tidak boleh senbarangan, tetapi harus sistematis sesuai urutan yang ditentukan dalam hukum pidana, yaitu:

1. Pertama kali, melakukan penafsiran secara otentik, yaitu: mencari pada pengertian Pasal-Pasal atau ketentuan umum suatu undang-undang pidana. Misal: mencari dalam ketentuan umum KUHP, apabila tidak ditemui dilanjutkan dengan;

2. Penafsiran menurut penjelasan undang-undang, apabila tidak ditemui, dilanjutkan dengan;

3. Penafsiran sesuai dengan yurisprudensi, yaitu Putusan MA, fatwa MA, atau surat edaran MA. Apabila tidak ditemukan, dilanjutkan dengan: 4. Penafsiran menurut doktrin (Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana), sebagai

berikut:


(45)

43

“Memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan tata bahasa

b. Penafsiran secara sistematis, yaitu:

“Apabila suatu istilah dicantumkan dua kali dalam satu pasal, maka

pengertiannya harus sama pula”

c. Penafsiran Historis:

“Memepelajari sejarah berkaitan dengan pembuatan undang-undang yang bersangkutan, agar dapat ditemukan pengertian dari


(46)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan meng-interprestasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara pidana. Adapun pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada penerapan hukum acara pidana dalam perkara pidana.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek dilapangan. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan.


(47)

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini meliputi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni dilakukannya wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi dan seterusnya, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian adalah : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pembuktian dan alat bukti dalam perkara pidana.


(48)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus dan ensiklopedia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya akan di duga (Masri Singarimbun, 1989 : 152). Dalam penelitian ini populasi adalah penegak hukum pidana yang mencakup aparat penegak hukum dalam tahap formulasi dan aplikasi, yaitu : Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim.

Sample adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi, dalam menentukan sample dari populasi yang akan diteliti penulis menggunakan metode

purposive sampling, yaitu metode yang mengambil simple melalui proses penunjukan berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melalui responden.

Sample yang penulis gunakan, adalah metode purposive sampling, yaitu metode yang mengambil sample melalui proses penunjuk berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melalui informan, maka yang dijadikan sample sebagai responden adalah sebagai berikut :

Hakim Peradilan Militer II-08, Jakarta Utara : 1 orang

Panitera Peradilan Militer II-08, Jakarta Utara : 1 orang

Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum


(49)

47

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Data Sekunder

Dikumpulkan dengan cara menelaah dan menganalisis literatur dan dokumen yang berkaitan dengan obyek penelitian, kemudian membuat pernyataan-pernyataan.

b. Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan responden sehubungan dengan putusan Peradilan Militer nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul baik yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi dokumentasi maupun yang diperoleh melalui studi lapangan, maka diolah dengan cara berikut :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat


(50)

(deskritif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis empiris, yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan bersifat khusus.


(51)

V. PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penilitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban tindak pidana kesusilaan sesuai surat putusan peradilan militer nomor: 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010. Dimana perbuatan tersebut telah melawan hukum, dari rumusan dalam Pasal 281 ke 1 KUHP. Dimana pelaku adalah BN seorang anggota militer, yang dengan sengaja melakukan tindak pidana kesusilaan. Bahwa dalam pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, pelaku sanggup mempertanggungjawabkannya dan tidak ada alasan penghapus pidana untuk pelaku BN. Sehingga hakim dalam putusannya yang sesuai dengan Pasal 281 ke 1, menjatuhkan sanksi 3 bulan penjara terhadap pelaku BN.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan selain melihat syarat-syarat formil, hakim juga memiliki kewenangan diluar syarat-syarat-syarat-syarat formil dalam memberi putusannya. Terlihat bahwa keyakinan hakim dapat menentukan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan. keyakinan yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak hanya didukung alat bukti sah dalam membuktikan pelaku bersalah, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh


(52)

undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Pemberian sanksi oleh hakim dalam putusannya, selain mengacu berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan, selain itu dapat juga dipengaruhi oleh pembuktian-pembuktian di persidangan, karena dalam pembuktian terdapat hal yang memberatkan serta hal yang meringankan dalam hakim memberikan putusan terhadap pelaku. Sanksi yang diberikan dapat berupa hukuman penjara dan sanksi pemecatan.

B. Saran

1. Penerapan pertanggungjawaban pidana larangan susila seharusnya dapat juga dikenakan kepada waga sipil umum, bukan hanya anggota militer. Dimana tentunya perlu pengkajian terlebih dahulu dalam aturan tersebut, sehingga sesuai dengan masyarakat umum .

2. Kebebasan yang diberikan kepada hakim dalam mengambil keputusan, sangat rentan dalam penyalahgunaan kewenangan, sehingga dapat menimbulkan hukum tidak lagi objektif melainkan subjektif, sehingga dapat menimbulkan masyarakat ragu akan penegakan hukum itu sendiri. Disini-lah tugas pengawas (Komisi Yudisial), untuk benar-benar mengawasi hakim dalam mengambil keputusan. Maka, diperlukan anggota-angota yang kredibel dalam fungsi pengawasan untuk memperketat pengawasan terhadap hakim atau untuk profesi hakim itu sendiri.


(53)

82

3. Dilihat dalam hukum yang menjelma pada penegaknya dalam tujuannya untuk menciptakan hubungan-hubungan masyarakat yang baik, sewajarnya dibarengi oleh aparatur-aparatur negara lainnya dalam mewujudkan hal tersebut. Sehingga tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan seseorang untuk melindungi kepentingan orang banyak, jika memamg hal tersebut terjadi.


(54)

(Skripsi)

Oleh: Muhammad Iqbal

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(55)

DAFTAR ISI

Abstrak

Riwayat Hidup Motto

Persembahan Sanwacana

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 15

B. Tindak Pidana Kesusilaan ... 21

C. Hukum Pidana Militer ... 23

1. Pengertian Hukum Pidana Militer... 23

2. Tindak Pidana Militer... 24

3. Militer Sebagai Subjek Tindak Pidana... 25

4. Hukum Acara Pidana Militer ... 29

D. Hukum Disiplin Militer ... 33

E. Dasar Petimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan ... 34

1. Pengertian Hakim ... 35

2. Pengertian Kekuasaan Kehakiman... 35

3. Tugas, Kewajiban dan Tanggungjawab Hakim ... 37

4. Teori Pembuktian Hakim Dalam Mengambil Keputusan ... 40


(56)

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 46 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 47 E. Analisis Data... 47 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 49 B. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anggota Militer Yang

Melakukan Tindak Pidana Kesusilaan ... 50 C. Dasar Pertimbangan Hakim Peradilan Militer dalam

Menjatuhkan Putusan Pidana terhadap Anggota Militer

dalam Perkara Tindak Pidana Kesusilaan ... 65

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Universitas Lampung. Bandar Lampung. ____________ .2010.Hukum Peradilan Militer. Bandar Lampung.

Apeldoorn, Van. 2004.Pengantar Ilmu Hukum.Pradnya Paramitha. Anem Kosong Anem. Jakarta.

Budiono. 2005.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Karya Agung. Surabaya Hamzah, Andi. 2004.Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Kitab

Undang-undang Hukum Pidana.Rineke Cipta. Jakarta

Lampung Univertas.2009.Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Marpaung, Leden. 1995.Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 2010.Penegakkan Hukum Progresif.PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1983.Perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Angkasa. Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sopian Efendi. 1987.Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Sjarif, Amiroeddin.1996.Hukum Disiplin Militer Indonesia. Rineke Cipta. Jakarta.

Soerjono, Soekanto. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer

Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 1997 Tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.


(58)

http://www.scribd.com/doc/11074861/Hakim


(59)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang beragama islam dilahirkan di Depok, pada tanggal 26 September 1989, sebagai anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Juanda Usman dan Ibu Eka Sumarni.

Penulis mengawali jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Mekarjaya IX Depok, yang selesai pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikannya di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Budi Utomo, selesai pada tahun 2004. Setelah itu penulis meneruskan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Depok, selesai pada tahun 2007.

Tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama masa kuliah penulis pernah menjalani Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang pada tahun 2010.


(60)

Hidup lah menjadi kenangan, kenangan yang membuat

setiap orang tersenyum bangga bila mendengar dan

menceritakan dirimu .

(be legend)


(61)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA MILITER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)

Oleh:

✄u☎✆mm✆ ✝ Iqbal

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(62)

K/PM II-08/AD/VIII/2010)

Nama Mahasiswa : Muhammad Iqbal

Nomor Pokok Mahasiswa : 0712011261

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II

Dr. Eddy Rifa’I, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP. 196109121986031003 NIP. 197706012005012002

2. Ketua Bagian Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP. 196208171987032003


(63)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Rifa’I, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(1)

Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANGGOTA MILITER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KESUSILAAN(STUDI PUTUSAN NOMOR : 215-K/PM II-08/AD/VIII/2010)

Nama Mahasiswa : Muhammad Iqbal

Nomor Pokok Mahasiswa : 0712011261

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen pembimbing II

Dr. Eddy Rifa’I, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H.

NIP. 196109121986031003 NIP. 197706012005012002

2. Ketua Bagian Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP. 196208171987032003


(2)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Rifa’I, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(3)

Persembahan

Puji syukur ku panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu

memberi rahmatnya dalam memberikan jalan terbaik dalam

menyongsong masa depan-ku. Alhamdulillah, semua hasil ini atas

berkah mu pada hamba, guna menjadikan hamba yang bermanfaat

untuk kehidupan di dunia wal akhirat .

Dengan segala kerendahan hati, ku persembahkan karya kecil ku

yang teramat sederhana ini kepada:

Papah & mamamh ku tercinta yang dengan perjuangan besarnya

telah membesarkan dan mendidik ku dengan penuh kesabaran dan

kasih sayang, serta yang telah membentuk karakter & menempa ku

untuk kuat dan tegar dalam menjalani terjalnya kehidupan, serta


(4)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji hanya kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya. Serta sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Baginda Muhammad Rosululloh SAW, yang telah memberikan teladan dalam setiap kehidupan. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer dalam Perkara Tindak Pidana Kesusilaan (studi putusan nomor: 215-K/PM/II-08/AD/VIII/2010)” dengan sebaik-baiknya

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuaan dan kemampuan penulis miliki. Namun dengan keterlibatan banyak pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, petunjuk, serta saran yang sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Maka dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Armen Yasir, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku ketua bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(5)

4. Bapak Dr. Eddy Rifa’i, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah memberikan bimbingan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama menjalani studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Dosen maupun karyawan-karyawan di bagian Fakultas Hukum Universitas lampung, mbak sri dan mbak yanti, pak yahya, terimakasih atas bantuannya. 9. Kedua orang tua ku Serta Atu, datuk muyin, sidi, mbah & emah dan

saudara-saudara ku. Kak Ndah, bang Andri, bang Ai, juga Hendra, semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan kasih sayangnya untuk kita semua.

10. Buyah asri agung putra, papi horizon usman, manda hairul fadila, made, om iyan, om dedi, om cecep, om ayat, om arif, om wawan, om lani. serta Alm. Tante irna. Tante yeni, tante wiwin, tante yati semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan kasih sayangnya untuk kita semua.

11. Sahabat-sahabatku di CM, bung rico, bung dekta, bung yoga, bung rido, bung oka, bung ical, bung novran, bung yudi, bung erwin, bung arif, duka yang


(6)

mereka layaknya seperti keluarga yang telah berbagi baik senang maupun susah selama ini, semoga kesuksesan datang pada akhirnya untuk kita semua. 12. Sahabat-sahabat di kampus, bung ebi, bung sita, bung miza, bung gilang, bung

gogon, bung daus, bung badi, bung iqbal botak, bung mbol, bung ari, bung abe, bung robin, bung sarka, bung rozi, bung ibni, serta mona, ica, uni. Yang mereka layaknya seperti keluarga yang telah berbagi baik senang maupun susah selama ini, semoga kesuksesan datang pada akhirnya untuk kita semua. 13. Bapak & ibu kosan cantik manis, yang telah baik menjaga serta membimbing. 14. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dorongan,

dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan dan tetap menanamkan semangat untuk berbuat baik dalam diri kita, semoga karya kecil yang masih jauh dari kesempurnaan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhirnya penulis meminta maaf jika ada kesalahan dan kepada Allah SWT penulis mohon ampun.

Bandar Lampung, Juni 2012 Penulis,