PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST.)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Nomor: 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST.)

Oleh

Daniel Januara Napitupulu

Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana korupsi yang terjadi di Kementerian Sosial atas Penggunaan Anggaran (PA), yaitu penggunaan dana anggran 2004 hingga 2006 untuk pengadaan mesin jahit dan sapi impor dalam program pengentasan kemiskinan di Indonesia sebesar Rp. 36.688.865.602,9 (tiga puluh enam milyar enam ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus enam puluh lima ribu enam ratus dua rupiah sembilan sen). Serta untuk mengetahui Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam putusan tindak pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dan mengapa Hakim memberikan putusan ringan terhadap tindak pidana korupsi dalam perkara putusan pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST. Inilah yang membuat saya tertarik untuk mengangakat kasus ini untuk dijadikan objek dalam skripsi saya, apakah pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan yang diberikan hakim terhadap terdakwa telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dua metode pendekatan, yaitu metode pendekatan yuridis normatif dan metode pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penenilitian dan data sekunder yang diperoleh dari dari hasil studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer. Metode yang digunakan dalam penentuan sampel dalam skripsi ini adalah metode Purposive Sample, yang berarti sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap yang hendak digambarkan dan dicapai.


(2)

Pelaku Dalam Tindak Pidana Korupsi studi putusan 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek pengadaan mesin jahit dan sapi impor yang telah merugikan keuangan ataupun perekonomian negara sebesar Rp.36.688.865.602,9 (tiga puluh enam milyar enam ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus enam puluh lima ribu enam ratus dua rupiah sembilan sen), pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan prosedur dalam mengikuti persidangan dan dalam hal menjatuhkan pidana terhadap kasus korupsi ini, pertimbangan hakim dan pemberian pemidanaan, hakim mengacu pada penerapan berat ringannya suatu pidana. Dengan pertimbangan tersebut dalam persidangan hakim menjatuhkan pada terdakwa bahwa terdakwa terbukti menyalahgunakan wewenang dan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diancam dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan atau selama 20 (dua puluh) bulan. Putusan hakim merupakan hasil dari kewenangan mengadili suatu perkara dan didasari oleh sudut pandang yuridis yang dilihat dari teori hakim dalam menajuhkan sanksi pidana, yang mana pada kasus ini, hakim menggunakan teori keseimbangan dan menggunakan teori relatif dalam pemidanaannya serta memperhatikan acara pidana yang mengacu pada pasal 183 dan 184 KUHAP dan surat dakwaan dan fakta dan bukti-bukti persidangan dan dihubungkan pada penerapan dasar hukum yang jelas dalam penerapan berat ringannya pemberian pidana penjara dan pidana denda serta dari sudut pandang non yuridis yang dilihat dari hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

Saran yang diberikan dalam skripsi ini adalah pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pelaku untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya dipersidangan harus diberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku tindak pidana korupsi agar memberi efek jera. Serta putusan hakim dalam menjatuhkan pidana untuk pertanggungjawaban pidana pelaku harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku tanpa tebang pilih dalam memvonis pelaku dan harus tegas dalam menindak dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal ini disebabkan karena pada kenyataannya korupsi semakin marak, seperti kasus korupsi yang terjadi di Jakarta, yaitu kasus korupsi di Kementerian Sosial yang terungkap di penghujung tahun 2009 dan kasus korupsi lainnya, seperti kasus korupsi wisma atlet dan sebagainya. Apalagi bila korupsi dikaitkan dengan dana-dana pembangunan, atau proyek pengadaan barang, tindakan korupsi bisa terjadi sewaktu-waktu, baik korupsi itu dilakukan secara tersendiri atau perorangan maupun yang dilakukan oleh suatu koorporasi atau perusahaan berbadan hukum ataupun yang bukan bebadan hukum (http://www.docstoc.com/docs/12723298/KORUPSI-DI-INDONESIA, diakses Selasa, 15 November 2011, pukul 21:30:15 wib).

Di lain pihak tindak pidana korupsi merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan negara yang dapat merugikan perekonomian ataupun keuangan negara, oleh karena itu diperlukan penerapan dan penegakan hukum secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai keadilan dan kebenanaran hukum yang berlaku untuk menangani kasus korupsi


(4)

yang sedang terjadi di Indonesia. Hal ini sangat berperan dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan kedamain dalam masyarakat. Dengan penarapan dan penegakkan hukum tersebut maka tindak pidana korupsi yang terjadi dapat diperoleh pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana korupsi melalui suatu putusan hakim.

Menurut Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa penjelasan undang-undang korupsi bahwa pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan yang tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Ini perbuatan melawan hukum tertuju pada perbuatan yang tercela yang juga berupa penyalahgunaan wewenang dan kedudukan (Barda Nawawi Arief, 2008: 45).

Penanggulangan korupsi hanya dilakukan dengan penegakan hukum dengan wujud pidana yang berat. Dalam penjatuhan pidana yang berat terkandung penanggulangan yang bersifat preventif dan represif. Upaya preventif ditujukan untuk menanggulangi dan mencegah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Sehingga dengan penerapan upaya tersebut dapat meningkatkan law enforcementdan berani bersikap tegas dengan menjerat para koruptor dengan pidana yang tinggi.

Terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi seringkali dalam pertimbangan hukumnya yang sampai pada putusan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana, seorang hakim memberikan suatu pertimbangan untuk memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana. Sehingga melalui pertimbangan hakim dalam putusan yang dijatuhkannya terhadap pelaku tindak


(5)

pidana dalam meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, penilaian masyarakat terhadap supremasi hukum khususnya tindak pidana korupsi menjadi lemah bahkan masyarakat juga tidak mempercayai sistem hukum yang berlaku. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, kendala dan permasalahan yang mendasari pertimbangan hakim menjatuhkan putusan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dalam praktek peradilan.

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan bahwa salah satu unsur dari tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan ataupun perekonomian negara. Selain itu dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur lain yang terdapat dalam pasal tersebut adalah penyalahgunaan kekuasaan ataupun wewenang. Seperti dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan secara perbarengan yang berlanjut, yang mana korupsi tersebut terjadi di Kementerian Sosial yang berada di ibu kota kita, yaitu Jakarta. Terdakwa Bachtiar Chamsyah yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial dari tahun 2004 hingga 2009, menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya sebagai Menteri Sosial. Terdakwa melakukan korupsi, berawal dari dana anggaran 2004 untuk pengadaan 6000 unit mesin jahit untuk program pengentasan kemiskinan, dan di tahun 2006, terdakwa Bachtiar Chamsyah kembali melakukan korupsi atas pengadaan sapi import, dana yang dikorupsi terdakwa merupakan anggaran untuk kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu. Tindakan yang dilakukan oleh terdakwa Bachtiar Chamsyah tersebut adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan perekonomian dan keuangan negara sebesar Rp 33,7 Milyar. Terdakwa Bachtiar Chamsyah selaku pejabat Menteri Sosial pada waktu periodenya yang seharusnya


(6)

mengayomi masyarakat dan memajukan kesejakteraan sosial masyarakat yang kurang mampu sesuai dengan jabatannya sebagai Menteri Sosial, menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya dengan melakukan korupsi terhadap dana anggaran untuk kepentingan masyarakat dan kalangan umum yang dalam perekonomiannya kurang mampu (http://kasus-mantan-mensos.kompas-Indonesia.com/hmtl, diakses Jumat, 7 Oktober 2011 pukul 14:03:40).

Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa tersebut melalui KPK dan Jaksa Penuntut Umum diproses dan diajukan ke pengadilan dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan ataupun perekonomian negara sebesar 33,7 M. Selama proses perkara tersebut berjalan Jaksa Penuntut umum menuntut terdakwa dengan dakwaan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Udang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 dengan pidana penjara atau kurungan selama 3 tahun dan membayar denda sebesar Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum memberikan pasal tersebut karena terdakwa Bachtiar Chamsyah terbukti telah melakukan penyalahgunaan kewenangan, memperkaya orang lain, dan penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara dan terbukti turut serta dalam korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dan rekan-rekannya.

Pada proses persidangan akhir dari kasus korupsi di Pengadilan Tipikor dengan nomor putusan 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST, setelah mendengarkan


(7)

saksi-saksi dan pembelaan terdakwa melalui penasehat hukumnya dan didasari oleh pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri tindak pidana korupsi Jakarta Pusat, maka ditetapkan putusan terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi atas nama Bachtiar Chamsyah yaitu dengan pidana penjara selama 20 bulan (1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan) dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan (http://kasus-mantan-mensos.Citra-Indonesia.com/hmtl, diakses Jumat, 7 Oktober 2011 pukul 14:38:30).

Melihat dan mencermati putusan yang dijatuhkan terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi tersebut, penulis mempunyai kesan dan anggapan bahwa putusan begitu ringan dan oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah studi kasus terhadap putusan tersebut untuk meneliti pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST. Karena dengan melihat akibat perbuatan yang ditimbulkan oleh perbuatan tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, menghambat dan mengancam pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi masyarakat dalam tugas pembangunan dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada jajaran aparatur pemerintahan.

Putusan Majelis Hakim terhadap pertanggungjawaban pidana terdakwa yang tersebut diatas dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan. Akan tetapi dalam menetapkan putusan terhadap pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada


(8)

terdakwa Bachtiar Chamsyah, hakim telah melakukan kewajibannya yang berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:

(1).Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2).Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.

Terhadap pasal tersebut jelas bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan untuk pertanggungjawaban pidana seorang terdakwa harus melihat kondisi riil yang ada dalam pandangan sosial masyarakat dan legalitas hukum serta harus peka terhadap perasaan hukum dan keadilan.

Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis membuat judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perbarengan (cocursus) Dalam Tindak

PidanaKorupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST)”.

B. Permasalahan

Agar masalah yang akan diteliti oleh penulis mempunyai penafsiran yang jelas, maka perlu dirumuskan secara sistimatis kedalam suatu rumusan masalah, dengan dapat dipecahkan secara sistimatis dan dapat memberikan gambaran yang jelas. Maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam putusan tindak pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST?


(9)

2. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST?

3. Mengapa Hakim memberikan putusan ringan terhadap tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi dalam putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST?

C. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Bidang Ilmu

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum Pidana, khususnya hukum pidana khusus.

2. Ruang Lingkup Kajian

Ruang lingkup pembahasan materi skripsi ini dibatasi oleh penelitian pada analisis yuridis terhadap pertanggunjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada tindak pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST

D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penelitian

Sudah dapat dipastikan bahwa setiap usaha maupun kegiatan mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena tujuan akan dapat memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan.


(10)

1. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana korupsi terhadap putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST.

2. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu:

1. Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai pengembangan daya pikir dan nalar yang sesuai dengan displin ilmu pengetahuan yang dimiliki.

2. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai acuan atau referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum lanjutan, serta memperluas wawasan cakrawala berfikir bagi penulis dalam menganalisis suatu permasalahan.

E. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soejono Soekanto, 1986: 23)

Relevansi sebagai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

“Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Indonesia hanya ada satu, yaitu pertanggungjawaban. Sedangkan didalam bahasa Belanda ada 3 kata yang sinonim menurut Pompe, aansprakelijk, verantwoordelijk dan


(11)

toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada orang” (Andi Hamzah, 2010: 139).

Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”.

“Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana” (Moeljatno, 2009: 167).

Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kessalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 95).


(12)

Seorang aparat penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana pada setiap pelaku tindak pidana. Perlu ada dasar pertimbangan oleh hakim dalam segala putusannya.

Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan (Lihat Pasal 183 KUHAP).

Selain itu, dalam penjatuhan pidana, jika terdakwa tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Lihat Pasal 193 ayat (2) KUHAP).

Lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan, walaupun pembentuk undang-undang memberi kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.


(13)

Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi (Lihat Pasal 183 KUHAP).

Pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal ini memang sudah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah. (Soejono Soekanto, 1986: 32).

Agar dapat memberikan penjelasan yang mudah untuk dipahami, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan judul penulisan skripsi ini:

a. Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung segala sesuatu yang ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu


(14)

tindak pidana atau akibat perbuatannya dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan seagainya (Tolib Setiady, 2010: 146).

b. Pelaku delik (auctor delicti/pleger) adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang- undang. (Prof. Dr.jur. Andi Hamzah, 2008:95) c. Tindak Pidana korupsi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan

perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. (Evi Hartanti, S.H., 2008:8)

d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP).

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.


(15)

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat teoritis, yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan, teori dan praktek.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang berisi uraian metode yang digunakan dalam skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang menjelaskan secara lebih terperinci tentang Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST).

V. PENUTUP

Merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas dasar hasil penelitian.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pengertian Pidana

Menurut Roeslan Saleh, yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik (Muladi dan Barda Nawawi, 2010: 2)

Defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat akibat lain yang tidak menyenangkan;

2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Muladi dan Barda Nawawi, 2010: 4)

Dapat disimpulkan, hukum pidana dirumuskan sebagai keseluruhan ketentuan peraturan yang mengatur tentang:

1. Perbuatan yang dilarang.

2. Orang yang melanggar larangan tersebut. 3. Pidana.


(17)

Penjabaran lebih lanjut dari kesimpulan pengertian hukum pidana diatas dapat dijelaskan bahwa “perbuatan yang dilarang” itu berkaitan dengan tindak pidana, “orang yang melanggar larangan” itu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, yaitu syarat-syarat pengenaan pidana. Maksudnya sampai sejauhmana seseorang yang melakukan tindak pidana mempunyai kesadaran dan kemampuan menilai baik buruk perbuatannya tersebut; serta “pidana” itu berkaitan dengan sanksi atau hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana, yaitu hanya melalui putusan hakim yang telah bersifat tetap dan jenis pidana yang dapat dijatuhkan telah ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian dapat pula hukum pidana itu diartikan sebagai “keseluruhan peraturan yang mengatur tentang: 1) Tindak Pidana; 2) Pertanggungjawaban pidana; dan 3) Pidana”(Tri Andrisman, 2009: 8).

2. Tujuan Pemidaan

Pertumbuhan Pemikiran mengenai tujuan dan pemidanaan telah mendorong untuk menciptakan lembaga-lembaga pemidanaan. Lembaga-lembaga tersebut berupa lembaga penindak atau lembaga kebijasanaan baru yang sebelumnya tidak ada dalam praktek pemidanaan. Agar lembaga-lembaga baru tersebut dapat dipergunakan secara sah menurut hukum, maka lembaga-lembaga tersebut harus dituangkan terlebih dahulu dalam suatu perundang-undangan. Pemidanaan adalah hukuman, pada hakekatnya pidana merupakan pengenaan penderitaan terhadap pembuat delik dimana pidana tersebut diharapkan mempunyai pengaruh terhadap orng yang dikenai pidana tersebut. Pidana ini baru dapat dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif. Pemidanaan disini diharapkan agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Dengan


(18)

adanya pemidaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai (Pipin Syarifin, 2001 : 13)

Tujuan pemidanaan yang ingin dicapai menurut Van Hamel dalam Widiada Gunakarya (suatu pidana dapat dibenarkan) yaitu apabila pidana tersebut:

1) Tujuannya adalah untuk menegakkan arti hukum; 2) Diputuskan dalam batas-batas kebutuhan;

3) Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh pelakunya; 4) Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang dituntaskan menurut Criminal

Etiology dan dengan menghormati kepentingan-kepentingan yang sifatnya hakiki dari terpidana (Pipin Syarifin, 2001 : 14)

Adapun teori-teori tentang pidana dapat dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok teori sebagai berikut:

a. Teori Absolut (Teori Pembalasan/Retributif)

Menurut teori absolut ini, dijatuhkannya Pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan kejahatan, harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu.

b. Teori Relatif (Teori Tujuan/Utilitarian)

Menurut teori ini, tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Disebut dengan teori tujuan, karena tujuan dari pidana itu sendiri untuk perlindungan masyarakat atau memberantas kejahatan. Jadi teori ini tidak semata-mata untuk pembalasan, tetapi untuk tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan dari


(19)

pidana tersebut, yaitu mencegah kejahatan dibedakan antara istilah prevensi umum dan prevensi khusus, dimana prevensi umum dimaksudkan agar pengaruh pidana terhadap masyarakat umum untuk tidak melakukan tindak pidana lagi, sedangkan prevensi khusus dimaksudkan agar pengaruh pidana terhadap terpidana itu sendiri. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

c. Teori Gabungan

Teori ini ada dikarenakan untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Menurut teori ini, tujuan pemidanaan bersifat plural karena menghubungkan prinsip tujuan dan prinsip pembalasan dalam satu kesatuan. Dalam hal ini pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu diharapkan dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke masyarakat.

d. Teori integratif

Teori ini diperkenalkan oleh Prof.Dr. Muladi, guru besar dari fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Menurut beliau tujuan pidana maupun pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial(individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana (Tri Andrisman, 2009:30-35).

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang


(20)

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Indonesia hanya ada satu, yaitu pertanggungjawaban. Sedangkan didalam bahasa Belanda ada 3 kata yang sinonim menurut Pompe, aansprakelijk, verantwoordelijk dan toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada orang (Andi Hamzah, 2010: 139).

Menurut KUHP kita tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah Pasal 44: Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggungjawabkannya itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak dapat dipakai (Moeljatno, 2009: 178).

Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, juka memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai orang yang


(21)

mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggungjawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat (Tolib Setiady, 2010: 152)

Kalau tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan, apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut :

1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.

Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya


(22)

masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan

(http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html,diakses tanggal 22 November, pada pukul 10.30 wib)

Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi: 1. Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya. 2. Mengerti tujuan nyata perbuatannya.

3. Sadar bahwa perbuatan itu tidak diperkenankan oleh masyarakat (Andi Hamzah, 2010: 157)

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yang terkandung maka dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kessalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 16-17).

Kalau ketiga unsur tersebut ada, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat


(23)

dipidana. Disamping itu harus diingat pula bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.Oleh karena itu sangat penting untuk selalu menyadari akan dua hal dalam syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

a. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit).

b. Dapat dipidananya orang atau pembuatnya (strafbaarheid van de persoon).

Meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada pada si pembuat, tetapi ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misal: dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (2) KUHP). Berkaitan dengan dapat dipidananya perbuatan, maka harus dibuktikan bahwa: (1) perbuatan itu harus memenuhi rumusan undang-undang; (2) perbuatan itu harus bersifat melawan hukum; dan (3) tidak ada alasan pembenar. Sedangkan berkaitan dengan dapat dipidananya orang, maka terhadap orang tersebut harus dibuktikan adanya 3 (tiga) hal sebagai berikut: (1) Adanya Kemampuan Bertanggungjawab; (2) Sengaja atau Alpa; dan (3) Tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 17).

Untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya (atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan (schuldvormen). Diluar dua bentuk ini, KUHP kita (dan kiranya juga lain-lain negara) tidak mengenal macam kesalahan lain (Moeljatno, 2009: 174).


(24)

Tidak mungkin ada kesalahan tanpa adanya melawan hukum. Tetapi seperti dikatakan oleh Vos, mungkin ada melawan hukum tanpa adanya kesalahan. Melawan hukum adalah mengenai perbuatan yang abnormal secara obyektif. Kalau perbuatan itu sendiri tidak melawan hukum berarti bukan perbuatan abnormal. Untuk hal ini tidak lagi diperlukan jawaban siapa pembuatnya. Kalau perbuatannya sendiri tidak melawan hukum berarti pembuatnya tidak bersalah. Dapat dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan etis, tetapi celaan hukum. Beberapa perbuatan yang dibenarkan secara etis dapat dipidana. Peraturan hukum dapat memaksa keyakinan etis pribadi kita disingkirkan (Andi Hamzah, 2010: 138).

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1) Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt.), khususnya pasal 1365, 1366, dan 1367, prnsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:


(25)

a) Adanya perbuatan; b) Adanya unsur kesalahan; c) Adanya kerugian yang diderita;

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

2) Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, kata “dianggap”pada prinsip“presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukann untuk menghindarkan terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentang dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah.


(26)

3) Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabim atau bagasi tangan, yang biasa dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan ada pada konsumen.

4) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability) kendati demikian ada pula para ahli yang meedakan kedua termilogi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability, adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.


(27)

5) Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman (Martiman Prodjohamidjojo, 2001: 7).

Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seseorang pejabat bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum (Martiman Prodjohamidjojo, 2001: 9).

Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asalcorrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.


(28)

Menurut bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; Belanda, yaitu corruptie (korruptie) dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”(Andi Hamzah, 2007: 4).

Ensiklopedia Indonesia menyebutkan bahwa “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.

1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara.


(29)

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang perekonomian umum).

Dikatakan pula, disguised payment in the form og gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk


(30)

memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan)

( Evi Hartanti, 2008: 8-10).

Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tanggal 21 November 2001 (Darwin Prints, 2002: 1).

Pengertian korupsi yang dipergunakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah pengertian korupsi dalam arti yang luas meliputi perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang dapat dituntut dan dipidana berdasarkan peraturan undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku ini yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang bersifat koruptif, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun


(31)

2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Andi Hamzah, 2007: 51).

Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan

b. berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut: 1) Korupsi yang Bermotif Terselubung

Yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh: seorang pejabat menerima uang suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam suatu jabatan. Namun dalam kenyataannya


(32)

setelah menerima suap, pejabat itu tidak mempedulikan lagi janjinya kepada orang yang memberi suap tersebut. Yang pokok adalah mendapatkan uang tersebut.

2) Korupsi yang Bermotif Ganda

Yaitu seseorang yang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotifkan lain yakni kepentingan politik. Contoh: seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan kekuasaannya, pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Syed Hussain Alatas dalam bukunya Sosiologi Korupsi sebagai berikut:

a) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelapan (fraud). Contohnya adalah pernyataan tentang belanja perjalanan atau rekening hotel. Namun di sini seringkali ada pengertian diam-diam di antara pejabat yang mempraktikkan berbagai penipuan agar situasi ini terjadi. Salah satu cara penipuan adalah permintaan uang saku yang berlebihan, hal ini biasanya dilakukan dengan meningkatkan frekuensi perjalanan dalam pelaksanaan tugas. Kasus seperti inilah yang dilakukan para elit politik sekarang yang kemudian mengakibatkan polemic di masyarakat.


(33)

b) Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiannya.

c) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang.

d) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum. e) Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu

untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f) Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 1. Lemahnya pendidikan agama dan etika.

2. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3. Kurangnya pendidikan. Namun kenyataannya sekarang kasus-kasus korupsi di Indonesia dilakukan oleh para koruptor yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alas an ini dapat dikatakan kurang tepat.


(34)

4. Kemiskinan. Pada kasus korupsi yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukan didasari oleh kemiskinan melainkan keserakahan sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat. 5. Tidak adanya sanksi yang keras.

6. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi. 7. Struktur pemerintahan.

8. Perubahan radikal. Pada saat sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.

9. Keadaan masyarakat. Korupsi dalam suatu birokrasi bisa mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. Beberapa faktor yang dapat menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah:

1) keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta tugas kemajuan nasional dan publik maupun birokrasi;

2) administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi;

3) kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan; 4) berfungsinya suatu sistem yang antikorupsi;

5) kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar moral dan intelektual yang tinggi (Evi hartanti, 2008: 10-12).


(35)

Menurut Huntington penyebab korupsi ialah modernisasi. Huntington menulis sebagai berikut: “Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat.” (Andi Hamzah, 2006: 20)

Jenis pidana terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang membedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pidana terhadap tindak pidana korupsi dijatuhkan apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) berdasarkan alat-alat bukti yang diaturdalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Macam-macam sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada terdakwa terdiri atas: 1. Pidana pokok, yang dapat berupa:

a. Pidana Mati

Setiap orang yang secara sah melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu” dapat dipidana mati. Keadaan tertentu ialah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai


(36)

dengan undang-undang yang berlaku pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada saat degara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

b. Pidana Penjara

Di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 telah memuat ketentuan mengenai pembatasan hukuman penjara maksimum dan minimum bagi pelaku tindak pidana korupsi, hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi disparitas pidana dalam putusan hukum terhadap kasus-kasus korupsi yang modus operandi dan nilai kerugian negara yang sama. Yang mengatur pidana penjara ini antara lain: Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9 ,10, 11, 12, 21, 22, 23, 24.

2. Pidana tambahan

Mengenai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut:

a. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah:

1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;


(37)

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

b. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut.

c. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana

Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.


(38)

Setelah pemeriksaan dalam sidang pengadialan selesai, hakim memutuskan perkara yang diperiksanya. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Putusan pengadilan atau putusan hakim dapat berupa hal-hal berikut :

1. Putusan bebas bagi terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Putusan bebas ini diambil oleh hakim apabila peristiwa yang disebut dalam surat tuduhan, baik sebagian maupun seluruhnya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

2. Putusan terdakwa lepas dari segala tuntutan (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum ditetapkan oleh hakim karena meskipun peristiwa yang dimuat dalam tuduhan terbukti, tetapi tidak merupakan kejahatan atau pelanggaran (ontslag van alle rechtsvervolging). Putusan demikian dapat pula diambil oleh hakim dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHAP.

3. Penghukuman terdakwa (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Apabila hakim berkeyakinan bahwa semua tuduhan terbukti merupakan kejahatan atau pelanggaran dan terdakwa sebagai pelakunya, hakim memutuskan


(39)

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, kecuali bila terdakwa belum berumur 16 tahun.

Menurut Pasal 197 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara baik itu menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain :

1. Tak mampu bertanggungjawab, sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 Ayat (1): “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkigeontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.

2. Daya paksa atau (overmacht). Dalam pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan pengaruh daya paksa, tidakdipidana”.

3. Pembelaan terpaksa. Dalam pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa: “Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri atau orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.

Ayat (2) melanjutkan penjelasan sebagai berikut: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.


(40)

4. Ketentuan Undang-Undang. Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menerangkan sebagai berikut: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana”.

5. Perintah jabatan. Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Pasal 51 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. 6. Pemberatan karena jabatan/ bendera kebangsaan. Pasal 52 kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Bilamana seseorang pejabat, karena melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.

Pasal 52a: “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan, digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”.

7. Pasal 53 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat dikurangi sepertiga”.


(41)

Pasal 53 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

8. Pasal 55 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: “Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya”.

9. Pasal 57 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga”.

Pasal 57 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

10. Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Dalam hal-hal diaman karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana”.

11. Tentang perbarengan (concursus). Pasal 63 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.

Pasal 63 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula


(42)

dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”.

12. Perbuatan berlanjut, Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya dengan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling). Maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Pasal 64 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang dinyatakan salah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang palsu atau yang dirusak itu”.

13. Perbarengan perbuatan, Pasal 65 Ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yangg berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatann, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis , maka hanya dijatuhkan satu pidana”.

Pasal 65 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Maksimum pidana yang diijatuhka ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga”.

14. Pasal 66 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa


(43)

kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga”.

15. Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, disamping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yangg telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan Hakim”.

Faktor yang memperberat penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar KUHP, yaitu:

1. Terdakwa berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan. 2. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya.

3. Terdakwa tidak menunjukan rasa hormat dan sopan dalam menjalani proses persidangan.

4. Dalam kehidupan sehari-hari menunjukan perilaku yang kurang baik. 5. Tidak menyesali perbuatannya.

6. Merugikan keuangan negara dalam keadaan yang sedang krisis keuanggan. 7. Menentang program kebijaksanaan pemerintah.

8. Menimbulkan keadaan kacau atau keresahan pada masyarakat secara luas.

Faktor yang memperingan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar KUHP, yaitu:

1. Terdakwa tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan dimuka sidang. 2. Mengakui perbuatan pidana yang telah dilakukan.


(44)

3. Menyesali telah melakukan tindak pidana.

4. Sopan dan bekerja sama dalam mengikuti persidangan. 5. Memiliki perilaku yang baik dalam kesehariannya. 6. Masih berusia relatif muda.

7. Mempunyai banyak tanggungan keluarga/ sebagai tulang punggung kehidupan keluarga.

Putusan yang baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan kriteria dasar pernyataan (the 4 way best), berupa :

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan?

4. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi, 2010: 25).

Apabila diperinci lebih dalam, intens, dan detail, aspek-aspek yang kerap muncul dan kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan dan kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan pada praktik peradilan, lazimnya dapat berupa :

1. Kelalaian, kekurang hati-hatian dan kekeliruan/kekhilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, tetapi hanya sekedar “diperbaiki” oleh pengadilan tinggi/Mahkamah Agung. Apabila diuraikan lebih jauh, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain yudex facti tidak secara teliti dan intens mengindahkan beberapa ketentuan Pasal 97 ayat (1) KUHAP, yudex facti mengindahkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terhadap rumusan atau kualifikasi


(45)

dari tindak pidana,yudex facti dalam menjatuhkan pidana dirasakan tidak adil dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa, dan sebagainya.

2. Kelalaian, kekurang hati-hatian dan kekeliruan/kehilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana yang mengakibatkan batal demi hukum (van rechtswege neitig atau null and void). Apabila sampai demikian, dalam artian jika putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh pengadilan tinggi atau putusan yudex facti (pengadilan negeri/pengadilan tinggi) dibatalkan oleh Mahkamah Agung, pengadilan tinggi/Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut. 3. Kekeliruan/kekhilafan, kesalahan penerapan hukum, dan kesalahan penafsiran

unsur-unsur (bestanddelen) dari suatu tindak pidana, baik tindak pidana umum (ius commune) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun diluar KUHP sebagai hukum pidana khusus (Lilik Mulyadi, 2010: 78).

Visi bahwasanya putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain aspek yuridis sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai sosiologis, fisiologis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (Lilik Mulyadi, 2010: 199).


(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif(legal research)

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum tertulis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas. Secara operasinal pendekatan ini dilakukakan dengan studi kepustakaan dan studi literatur, dan mengkaji beberapa pendapat dari orang yang dianggap kompeten terhadap masalah tindak pidana korupsi .

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan Yuridis Empiris adalah pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara melihat kenyataan-kenyataan hukum yang ada dalam praktek dilapangan sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku perbarengan (concursus) tindak pidana korupsi dan kekuatan hukum dari putusan hakim. Yang


(47)

kaitannya dengan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perbarengan (concursus) Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST), dalam menjalankan fungsi yang seharusnya, maka penulis menitikberatkan yuridis empiris. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, lembaga peradilan lainnya, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dengan melakukan wawancara.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya. Dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dan masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1984: 11), data tersebut yaitu:

1. Jenis Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara atau koesioner dengan majelis hakim dan penuntut umum yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi dengan nomor putusan 31/Pid. B/TPK/2010/PN.JKT.PST. Adapun sumber data yang penulis peroleh berupa keterangan-keterangan tentang pertanggungjawaban pidana pelaku perbarengan (concursus) tindak pidana korupsi dan dasar per dari putusan hakim pada perkara nomor 35/Pid. B/2011/PN.M.

2. Jenis Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.


(48)

a. Bahan hukum primer adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3. Undang-Undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer, dalam hal ini terdiri dari:

1. Rancangan Undang-Undang KUHP 2008.

2. Putusan Hakim Nomor 31/Pid. B/TPK/2010/PN.JKT.PST.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa pendapat para sarjana, kamus, literature hukum dan serta hasil seminar.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu keseluruhan dari obyek atau obyek penelitian (Burhan Ashshofa, 1998: 79). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah hakim, aparat penegak hukum dan dosen fakultas hukum. Metode yang digunakan dalam


(49)

penentuan sampel adalah metode Purposive Sample, yang berarti sampel yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap yang hendak digambarkan dan dicapai sebagai berikut:

1. Hakim yang memeriksa dan mengadili pada putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat nomor 31/Pid. B/TPK/2010/PN.JKT.PST. berjumlah 1 orang.

2. Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi berjumlah 1 orang. 3. Dosen bagian hukum pidana fakultas hukum universitas lampung berjumlah 1

orang.

Sample yang dianggap dapat mewakili penulisan skripsi ini berjumlah 3 orang.

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: a. Data Primer, yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan hakim, jaksa

penuntut umum, dosen pidana, serta lembaga hukum yang berwenang.

b. Data Sekunder, dilakukan dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan ini serta studi kepustakaan, yakni membaca buku-buku dan laporan hasil diklat-diklat tentang narkotika dan kekuasaan kehakiman, kemudian mengutip hal-hal yang diperlukan dalam penulisan.

2. Pengolahan Data


(50)

a. Editing, yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu relavan dan sesuai dengan bahasan. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.

b. Evaluasi, yaitu kegiatan memeriksa kelengkapan, kejelasan, konsistensi, dan relevansi data terhadap topik penulisan skripsi ini.

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan dan penempatan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasan sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan data ke dalam bentuk kalimat yang sistematis sehingga memudahkan untuk menarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang ada dalam penulisan ini. Penarikan kesimpulan itu dimaksudkan agar ada pengerucutan hasil penelitian yang dilakukan dengan cara pembuatan penulisan dengan metode khusus umum, maksudnya yaitu cara berfikir yang didasarkan atas fakta- fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum, dimaksudkan untuk mendapatkan apa yang disimpulkan penulisan dan mengajukan saran-saran.


(51)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan Hasil penelitian dan pembahasan atas Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Dalam Tindak Pidana Korupsi studi putusan 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST. yang telah dikemukakan atas, dapat ditarik kesimpulan, antara lain:

1. Pertanggungjawaban Pidana terdakwa Bachtiar Chamsyah yang telah menyalahgunakan wewenang ataupun jabatannya selaku Menteri Sosial pada periode 2001-2004 dan 2004-2009 melakukan korupsi dana Penggunaan Anggaran 2004 hingga 2006 untuk pengadaan sapi impor dan mesin jahit untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia adalah telah terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan adanya fakta melakukan penunjukan sendiri pihak yang akan menangani proyek tersebut tanpa diadakan terlebih dahulu rapat intern di Kementerian Soisal. Dengan demikian pelaku haru mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai ancaman pida yang diatur pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,


(52)

dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 8 (delapan) Bulan atau selama 20 (dua puluh) Bulan.

2. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi Pengadaan Mesin Jahit dan Sapi Impor yang terjadi di Kementerian Sosial adalah dilihat dari unsur yuridis yang dilihat dari kesalahan yang diperbuat oleh terdakwa dan unsur non yuridis yang dilihat dari hal-hal yang memberatkan dan meringankan si terdakwa, serta berpedoman pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan harus seadil-adilnya sesuai fakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan hukum yang jelas dan acara pidana yang mengacu pada pasal 183 dan 184 KUHAP. Dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Bachtiar Chamsyah, hakim mengacu pada teori keseimbangan dan teori relatif dalam pemberian pemidanaan terhadap terdakwa, putusan hakim merupakan hasil dari kewenangan mengadilisuatu perkara dan didasari oleh surat dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dihubungkan pada penerapan dasar hukum yang jelas mengenai berat ringannya suatu pidana dalam penerapannnya. Hal ini sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.


(53)

B. SARAN

Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam penulisan skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Dalam pertanggungjawaban pidananya pelaku atau terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan karena pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi Penggunaan Anggaran (PA), yaitu dana anggran 2004 hingga 2006 untuk pengadaan Mesin Jahit dan Sapi Impor dalam program Pengentasan Kemiskinan di seluruh wilayah Indonesia yang mana terdakwa diberikan hukuman yang sesuai dengan yang terdakwa lakukan, hakim menjutuhkan ancaman pidana sebagiamana yang diancam pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 8 (delapan) Bulan atau selama 20 (dua puluh) Bulan. Menurut penulis putusan pidana yang diberikan kepada terdakwa belum sesuai harapan atas perbuatan pelaku yang telah merugikan keuangan negara sebesar Rp.36.688.865.602,9 (tiga puluh enam milyar enam ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus enam puluh lima ribu enam ratus dua rupiah sembilan sen). Namun dalam pertanggungjawaban pidana pelaku, telah dijalankan sesuai dengan aturan Pengadilan Negeri


(54)

Jakartan Pusat. Dan semoga hakim tidak tebang pilih dalam memberikan hukuman pada pelaku.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana korupsi Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tindak pidana korupsi Pengadaan Mesin Jahit dan Sapi Impor yang terjadi di Kementerian Sosial. Mengacu pada aturan batas berat ringannya suatu pidana diberikan. Dalam kasus ini, menyatakan behwa pelaku telah melakukan suatu perbutan melawan hukum yaitu perbuatan korupsi dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai Menteri Sosial serta turut serta melakukan korupsi tersebut. Atas perbuatan pelaku tersebut, keuangan negara telah dirugikan sebesar Rp.36.688.865.602,9 (tiga puluh enam milyar enam ratus delapan puluh delapan juta delapan ratus enam puluh lima ribu enam ratus dua rupiah sembilan sen), namun hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun 8 (delapan) Bulan atau selama 20 (dua puluh) Bulan, sebenarnya tidak sesuai dengan perbuatan pelaku yang telah merugikan keungan negara. Seharusnya para koruptor harus dihukum yang seberat-beratnya serta perlu adanya perubahan undang-undang tentang tindak pidana korupsi.


(55)

(Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST)

(SKRIPSI)

DANIEL JANUARA NAPITUPULU

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(56)

(Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST)

Oleh

DANIEL JANUARA NAPITUPULU

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(57)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Ruang Lingkup ... 7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

E. Kerangka teoretis dan Konseptual ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 14

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 25

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana . 35 III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 44

B. Sumber dan Jenis Data ... 45

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 46

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 47

E. Analisis Data ... 48

IV PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 49

B. Gambaran Umum Perkara ... 50

C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN.JKT.PST.) ... 59


(1)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

Kupersembahkan karya ini untuk My Savior, Tuhan Yesus Kristus

Papa dan Mama, Ketiga Opungku, dan Keluarga besar Napitupulu dan Simanjuntak tercinta atas segala kasih sayang

Dan doa yang tiada henti untuk keberhasilan ini,

Adikku Meilinda dan Jessica dan juga untuk kakak-kakak sepupuku yang telah banyak memberi semangat dan dukungan

doa yang tek henti-hentinya kalian berikan,

Dan untuk teman-temanku di SD, SMP, SMA, Teman bimbelku lawfam Dan teman kuliahku yang aku sayangi yang telah mengisi hari-hari ku dengan kebersamaan dan canda tawa,


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Medan pada tanggal 29 Januari 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak M.O.H. Napitupulu, S.Sos. dan Ibu H.M.G. br. Simanjuntak.

Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Rolinna Medan dan tamat pada tahun 1995, melanjutkan ke Sekolah Dasar HKBP Sidorame Medan dan tamat pada tahun 2001, melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama HKBP Medan dan tamat tahun 2004, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas HKBP Sidorame dan tamat tahun 2007.

Pada Tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) mengambil minat bagian Hukum Pidana. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2011 di Desa Pisang Indah, Kecamatan Bumi Agung, Kabupaten Way Kanan, Lampung.

Dalam Pengalaman berorganisasi penulis pernah menjadi Sekretaris Divisi Teater Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) UNILA dan anggota di Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) UNILA dan menjabat sebagai Bendahara Umum Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen (UKMK) UNILA masa Jabatan 2010/2011.


(3)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena berkat dan kasih sayang-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku dalam Tindak Pidana korupsi” ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah berperan dalam studi dan proses penyusunan skripsi saya ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Heriandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Lampung dan sekaligus sebagai Pembimbing Akademik penulis selama menempuh studi di Universitas Lampung;

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., sebagai Pembahas I saya yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran dalam penulisan skripsi ini;

4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., dan Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan serta berbagai saran kepada penulis;


(4)

5. Ibu Donna Raisa, S.H., M.H., selaku Pembahas II skripsi atas bimbingan, arahan, kritikan, dan saran dalam penulisan skripsi ini di tengah kesibukan beliau;

6. Dosen-Dosen dan Karyawan di Fakultas Hukum Unila pada umumnya dan di Jurusan Hukum Pidana pada khususnya;

7. Keluarga Besar Napitupulu dan Simanjuntak yang di Medan, Jakarta, Bekasi, Solo, Temanggung, Yogyakarta, dan di Bandar Lampung, yang selalu memberikan semangat dan panutan dalam hidupku, dan yang tercinta Papa (M.O.H. Napitupulu, S.Sos.) Mama (H.M.G br. Simanjuntak), dan Ketiga Opungku yang telah berusaha keras mengasuh dengan penuh kasih sayang, mendidik dengan sabar serta mendukung dan selalu mendampingi di setiap langkahku dengan sabar, serta terima kasih juga buat adikku yang tersayang dan baik hati Meilinda Christiani Napitupulu, dan Jessica Margareth Napitupulu;

8. Bapatua Armen Hutahaean, Inangtua Syamsinar Hutasoit, dan sepupuku Kak Maria, Mario, dan beserta sepupu-sepupuku yang lainnya terima kasih atas doa dan dukungannya;

9. Bapaktua dan Inangtuaku, sepupuku kak Dewi Efilia Napitupulu, S.H. dan keluarga Napitupulu yang di Ciledug, terima kasih atas doa dan dukungannya;

10. Kakak, abang, saudara, dan sahabat yang sudah menganggap aku seperti saudara kandung, kak Ester Sembiring Pelawi, S.H., kak Intan Permata Sari Purba, S.H., kak Friska Sihaloho, S.Hut., kak Agnes Lydia Panggabean, S.E., kak Anggi Anastasya Silitonga, S.H., kak Natalia Tampubolon, S.P., bang


(5)

Ricky Arfani Sinaga, S.P., bang Ramon Fuazan, S.T., bang Bongsu Siahaan, S.T., kak Stefi Astromi Siahaan, S.H., M.H., bang Jeffri Manalu, S.H. bang Lambok Lumbantobing, S.H. dan masih banyak lagi yang tak dapat disebut satu-persatu, terima kasih atas dukungan dan doanya sehingga akhirnya aku bisa menyusul kalian untuk memperoleh gelar sarjana;

11. Teman-temanku sekaligus keluarga keduaku di UNILA yang di, Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) terkhusus DIVISI TEATER, dan UKMK;

12. Penghuni Asrama/Kosan “NYERUPA” yaitu (mbak Nur, mas Alen, mas

Haris, mbak Mike, mba Anggun, kak Ruri, mas Eko, bang Faisal dan Amri, Fadil, dan Feggi: alumni penghuni “NYERUPA”), Fitri, Linda, Azizah,

Mario, Kenmer, Rianti, Mike, Irma, terima kasih atas semangat, nasehat, canda tawa dan kegilaan yang telah kita lakukan bersama-sama di kosan kita tercinta;

13. Teman dan sekaligus adik dan saudara bagiku, Mario Napitupulu, Martha Tobing, Hendra Norman Swarsof Pardede, Fitri, Esra, Sandora, Heditha, Hasna, Lenna, Santa, Kenmer Stephen dan Riani, terima kasih atas kebersamaan yang kalian berikan pada ku.

14. Kawan-kawan seperjuangan FH’08 Unila (Kantin Emak): Kak Christianti

Simbolon, Berlian Manik, Juliana Tampubolon, Mario Napitupulu, Mario Nainggolan, Kenmer Stephen, Azizah Nurhayatun, Ansari Nurmalinda, Idha, Manihuruk Christ Inggreet Pasaribu, Ronny Simaremare, Revan Tambunan, Dora Carolina Pasaribu, Dewi Swanty Siumamora, Risna Simarmata, Vicki Baitekan, Fernando Marbun dan teman-teman lainnya yang tidak dapat


(6)

disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaan dan keceriaan yang telah kalian berikan kepadaku selama kita menuntut ilmu di Unila.

15. Teman-teman seperjuanganku di jurusan Pidana saat skripsi: Ira Quaity, Dina Mariana, Faradilah Putri, Intan KD, Hartiani, Warda Norah, Christ Inggreet, Dwi Haska, Yopy Prasetyo, Syendro, dan masih banyak lagi. Akhirnya kita bisa bersama-sama mendapat gelar Sarjana Hukum.

16. Mbak Ayu dan Mbak Trisel bagian Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bang Andi Suharlis, S.H., M.H. (Jaksa KPK) dan Pegawai KPK yang telah bersedia membantu saya riset di KPK; serta Pak Erwin, S.H., Pak Bagus Irawan, S.H., M.H. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pegawai PN Jakarta Pusat, yang telah bersedia membantu dalam riset yang penulis lakukan.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.

18. Almamater ku...

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan sehingga penulis dapat menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif. Penulis berharap skripsi ini, semoga dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Terima Kasih

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis,