ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANATERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN (STUDI PUTUSAN NOMOR : 237/PID.SUS /2013/PN.TK)

(1)

Oleh

MUHAMMAD GRIBALDI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

JURIDICAL ANALYSIS OF THE CRIMINAL LIABILITY OF PERPETRATORS OF CRIMINAL ACTS (FISHERIES

STUDIES AWARD NUMBER: 237/PID.SUS/2013/PN.TK)

BY

MUHAMMAD GRIBALDY

Crime cases of fisheries on behalf of defendant MISNI BIN SAMIRAN was decided in State Court Cape Coral with a criminal verdict number: 237/PID.SUS/2013/PN.TK. the Tribunal judges who examine and adjudicate the matter has Avenged you on 1 (one) years imprisonment, and a fine of Rp 700,000 (seven hundred thousand rupiah) restoring as well as 1 (one) unit of wooden boat brands km. Indosiar-engined Mitsubishi brown color 7 (seven) grostone. The verdict is lighter than the demands of the public prosecutor. The problem being discussed is a Juridical Analysis of Criminal Liability Of perpetrators of criminal acts Fisheries and basic consideration in dropping a verdict of criminal offence fisheries.

Approach to a problem that is used in this thesis the juridical normative approach and empirical juridical approach intended to obtain answers as well as a clear picture of the problems in this thesis. The collection of data used in this research is the primary data and secondary data with sampling method for sampling purpose. The population in this peneltian is 1 (one) person Investigator Pol Water Polda Lampung, 1 (one) person Judge District Court of Cape Coral, one (1) of the public prosecutor at the Prosecutor of Lampung and one (1) person criminal law Professor Faculty of law University of Lampung.

Based on the research results and discussion: the first Criminal offender accountability for criminal acts of fisheries has proved to infringe Article 81 Act No. 45 of 2009 jo article 55, paragraph (1) of the CRIMINAL CODE then the Tribunal judges imposed imprisonment for 1 (one) years in prison and a fine of Rp 700,000 (seven hundred thousand rupiah) against the perpetrator of a criminal act the fisheries. The Judge's verdict is yet to meet the sense of Justice because it is still too light of demands that administered by the public prosecutor.

Second, the basic consideration of the judges viewed of: (1) the background and motivation of the crime committed and the motives of the crime committed (2) criminal Influence being dropped against perpetrators was enough deterrent abusers make. (3) the attitude of the offender after committing a criminal offence,


(3)

and (4). The perpetrator be nice during the trial lasts. In addition, the consideration of judges based on 3 things, namely:(a) Juridical aspects (legal certainty), (b) sociological aspects (the benefit), (c) Philosophical aspects (Justice).

It is recommended to the perpetrators of the criminal act of fisheries in order not to repeat again the crime of fisheries, any verdict of the judges should deliver the basics of consideration of the matter that is being checked. This is an integral part of a decision in accordance with article 14, paragraph (2) of Act No. 37 of 2009 about the powers of the Judiciary.

Keywords: the award of a felony fishery against the perpetrators of a felony fishery an. The defendant Misni son of Samiran


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penulisan 7

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual 8

E. Sistematika Penulisan 18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggjawaban Pidana 19

B. Tindak Pidana Perikanan 31

C. Perbuatan yang tergolong Tindak Pidana Perikanan 36 D. Teori Dasar Pertimbangan Hakim 40

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah 43

B. Sumber dan Jenis Data 44

C. Penentuan Populasi dan Sampel 45 D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 46

E. Analisis Data 47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden 48

B. Tentang Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor :

237/PID.SUS /2013/PN.TK 52

C. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana


(7)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan 70

B. Saran 72


(8)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.058 pulau dengan panjang garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah laut yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diperkirakan mencapai 5,8 juta km² atau kurang lebih 75 % dari total luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan laut tersebut terdiri dari perairan laut wilayah (teritorial) 0,8 % juta km², perairan laut nusantara (kepulauan) 2,3 juta km², dan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km².1

Menyatakan perairan laut yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia serta laut lepas tersebut mengandung sumber daya ikan yang sangat potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan. Hal tersebut merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya tentunya dengan mengutamakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

1

http://www.bakorkamla.go.id/ Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia. Diakses Pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 22.26 WIB.


(9)

Wilayah perairan yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan yang juga besar dan memerlukan penanganan yang sangat serius, karena permasalahan tersebut menyebabkan banyaknya tindakan-tindakan yang berakibat kepada tidak dipatuhinya Undang-Undang tentang Perikanan.

Pembangunan hukum nasional yang dilandasi motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tahap inilah peran hukum khususnya hukum pidana sangat dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat menggangu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu.

Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran sanksi hukum yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi adanya suatu


(10)

pertanggungjawaban pidana dari para pelaku tindak pidana dan pemberi sanksi hukum pidana itu sendiri.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas perkara tindak pidana perikanan, yang tercantum dalam putusan perkara nomor : 237/PID.SUS/2013/PN. TK.

Berlakunya Undang-Undang Perikanan di Negara Republik Indonesia, tidak terlepas dari adanya perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran sehingga dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perikanan, baik yang dilakukan oleh perorangan/ nelayan / nelayan kecil / warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia khususnya di perairan dalam daerah hukum Propinsi Lampung. Hal ini sesuai dengan data Pra Research

(pra penelitian) yang telah dilakukan di Instansi Kejaksaan Tinggi Lampung. Data tersebut terkait dengan Tindak Pidana Perikanan yang dilakukan oleh Misni Bin Samiran, Tempat Lahir: Metro, Umur / Tanggal lahir: 34 thn / 14 Juli 1977, Jenis Kelamin: Laki-laki, Kebangsaan: Indonesia, Tempat Tinggal: Desa Margasari Kuala Penat Kec. Labuhan Maringgai Kab. Lampung Timur, Agama: Islam, Pekerjaan : Nelayan / Nakhoda kapal KM. Indosiar.

Kasus Posisi Tindak Pidana Perikanan yang dilakukan oleh Misni Bin Samiran adalah sebagai berikut : Bahwa Misni Bin Samiran, selaku Nahkoda kapal KM. Indosiar, pada hari jumat tanggal 15 febuari 2013 sekitar jam 11.00 WIB.


(11)

Bertempat di perairan laut Tulang Bawang Propinsi Lampung pada posisi kordinat

4‟51 .”29.25” S – 105‟54”20.11” T, telah tertangkap tangan oleh Anggota

Kepolisian Daerah Lampung dari satuan Direktorat Pol air Polda Lampung karena sedang melakukan penangkapan ikan/kerang dengan menggunakan jaring garuk kerang yang terbuat dari Besi seberat 200 Kg. yang dilarang oleh Pemerintah karena membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Jaring garuk kerang tersebut dilarang oleh pemerintah karena dapat merusak sumber daya bawah laut yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti kerang-kerang yang masih kecil menjadi mati dan apabila terus berlanjut akan menyebabkan kepunahan atau setidak-tidaknya mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan.

Berdasarkan fakta-fakta pemeriksaan baik di tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun dalam Pemeriksaan di Persidangan, Perbuatan Misni Bin Samiran telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan Tindak Pidana Perikanan “memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang dilarang” sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 85 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan yaitu: setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/ atau


(12)

alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah).

Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan yaitu, ayat (1) setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat bantu penangkapan ikan yang menganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, ayat (2) Ketentuan mengenai alat penangkapan ikan yang menganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.

Berdasarkan putusan tesebut ada hal yang menarik dalam tuntutan jaksa dari perkara ini yaitu :

Barang bukti berupa unit kapal kayu merk KM.Indosiar warna coklat dimusnahkan dan dirampas untuk negara, namun di dalam amar putusan hakim menyatakan barang bukti berupa SPI ( surat penangkapan ikan jenis dogol ) an. Jamaludin KM. Indosiar dikembalikan kepada yang berhak. Maksud dari tuntutan jaksa penuntut umum dan majelis hakim dalam putusannya dirampas, adalah diambil guna kepentingan hukum dan dikembalikan untuk negara, bisa jadi untuk dimusnahkan atau dilelang dan kemudian hasil lelang tersebut masuk ke kas negara. Maksud dari dikembalikan kepada yang berhak yaitu diberikan kepada orang yang berhak menerima barang bukti tersebut yaitu Jamaludin karena barang


(13)

bukti tersebut merupakan alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dan bukan merupakan tujuan atau hasil dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, oleh karena itu dikembalikan kepada yang berhak atas nama Jamaludin selaku pemilik kapal.

Penulis melihat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan jaksa penuntut umum dengan amar putusan hakim mengenai barang bukti beserta pertanggungjawaban pidana pelaku dalam putusan tindak pidana perikanan ini dengan nomor register perkara 237/PID.SUS /2013/PN.TK, oleh karena itu penulis mengangkat skripsi ini dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Perikanan (Studi Putusan No. 237/Pid/Pidsus/2013/PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan atas uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan dalam Tindak pidana perikanan (Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) ?

b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan ( Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dari dua pokok bahasan diatas dalam skripsi ini yaitu ruang lingkup ilmu yang meliputi materi penelitian dalam bidang ilmu hukum pidana, khususnya Tindak Pidana Perikanan. Ruang lingkup substansi yang


(14)

meliputi objek penelitian yaitu Aparat Penegak Hukum (Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim) dalam menangani perkara tindak pidana perikanan dan pelaku tindak pidana perikanan itu sendiri. Sedangkan ruang lingkup wilayah berada di Propinsi Lampung dan ruang lingkup waktu yaitu tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan dalam Tindak pidana perikanan (Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dan juga untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan ( Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelsku tindak pidana perikanan dalam tindak tidana perikanan, serta bagaimana dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan.

2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis

Secara Teori kegunaan penulisan skripsi ini adalah untuk memberi sumbangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya, mahasiswa fakultas hukum dan para penegak hukum khususnya atas hasil


(15)

analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan.

b. Kegunaan Praktis

1. Berguna untuk memotivasi dan menambah pengalaman serta menambah ilmu pengetahuan bagi penulis yang tidak hanya sebatas dari perkuliahan yang diberikan dosen yang bersangkutan mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan.

2. Memberikan pengetahuan dan informasi bagi masyarakat luas mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan.

3. Berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Seseorang atau pada pelaku tindak pidana perikanan tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan atau apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perikanan apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana

2


(16)

tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.

pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang

menganut „common law system’, pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang

fundamental dengan „civil law system’. Hukum pidana Inggris mensyaratkan

bahwa “pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan (exemptions from liability)”.3

Chairul Huda menyatakan bahwa “pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya”.4

Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila tidak melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Penolakan

3

Romli Atmasasmita. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. fikahati aneska. Jakarta. hlm. 93

4

Chairul Huda,. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-4,. Kencana Prenada Media Group


(17)

masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan (dan ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barangsiapa atau setiap orang yang melakukan akan dicela pula. Pembuat dicela jika melakukan tindak pidana tersebut sebenarnya ia dapat berbuat lain.

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut soal peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah “meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap

pembuatnya”.5

Menurut Ruslan Saleh6, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah :

(a) Melakukan perbuatan pidana; (b) Mampu bertanggung jawab;

(c) Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan

5

Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian

Dasar dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hlm. 13

6


(18)

(d) Tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika ke empat unsur tersebut diatas ada maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tidak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1) Kemampuan bertanggungjawab;

2) Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa); 3) Tidak ada alasan pemaaf.7

Pengertian kesalahan sebagai pengertian hukum dapat diketahui dari beberapa pendapat sarjana berikut ini:8

a. Mezger :

Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana

b. Simons :

Sebagai dasar untuk pertanggungjawab dalam hukum pidana. Ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.

7

Tri Andrisman. 2009. Hukum pidana Asas- asas dan Dasar Aturan Umum hukum pidana

indonesia.Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal. 91

8


(19)

Bahwa bilamana kita hendak menghubungkan petindak dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawabkan atas tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa : a. subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang;

b. terdapat kesalahan pada petindak; c. tindakan itu bersifat melawan hukum;

d. tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas);

e. dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.9

Menurut Mulyatno (dalam Tri Andrisman)10 unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

1. Kesalahan;

2. Kemampuan bertanggungjawab; 3. Tidak ada alasan pemaaf.

Tegasnya bahwa, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dimana masyarakat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut.

9

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.

Storia Grafika. Jakarta. Hal. 253.

10


(20)

Sebagai konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya pembuat dapat berbuat lain. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

1. Subyek Pertanggungjawaban Pidana

Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana, karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan mempertanggungjawabkan suatu tidak pidana adalah pelaku tindak pidana itu sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Secara teoritis pertanggungjawaban pidana dapat dijabar berdasarkan hal sebagai berikut; Perbuatan yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya, artinya: celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila telah ada aturan yang telah mengaturnya dan untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah; a. Melakukan perbuatan pidana;

b. Mampu bertanggungjawab; c. Dengan sengaja atau alpa; d. Tidak adanya alasan pemaaf.11

11

Roslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta. Hal 10-11.


(21)

2. Teori dasar Pertimbangan Hakim

Terhadap pelaku tindak perikanan yang harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya adalah jika sipembuat pidana melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut yaitu: setiap orang yang ditangkap, disangka, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlu diketahui pula dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu, dalam mempertimbangkan berat ringannya suatu putusan pada pelaku tindak pidana perikanan, disini hakim juga melihat sifat jahat dan baiknya dari pelaku tindak pidana perikanan. Teori dasar petimbangan hakim menurut Pasal 183 KUHAP mengenai pembuktian dalam perkara tindak pidana perikanan terhadap pelaku tindak pidana perikanan, peranan barang bukti pada tindak pidana perikanan, disamping barang bukti ada dua hal yang perlu dipertimbangan oleh hakim dalam putusan yaitu: (1) Barang bukti dan (2) Alat bukti.

Menurut Pasal 184 ayat 1 KUHP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan harus minimal dua alat bukti, yang digunakan oleh hakim berdasarkan KUHAP Pasal 184 yaitu:

1. surat 2. petunjuk

3. keterangan terdakwa 4. keterangan saksi 5. keterangan ahli


(22)

1. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungam antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti12.

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis memberikan beberapa konsep yang digunakan untuk memberikan penjelasan tehadap istilah dalam penulisan ini. Adapun istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Analisis Yuridis adalah suatu teknik analisa data yang dilakukan dengan cara menguraikan secara jelas aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan suatu peristiwa.13

b. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.14

12Op.Cit

. Soekanton, Sarjono. PengantarPenelitian Hukum. Hal 132.

13

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.. Balai Pustaka. Jakarta.

14


(23)

c. Perbuatan tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.15

d. Tindak Pidana Perikanan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum yang melanggar dan diancam pidana sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan.

e. Perikanan menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1 adalah, semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan.

E. Sistematika Penulisan

Untuk membahas masalah analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, agar supaya tersusun secara baik, sistematis, dan mudah dipahami sehingga akhirnya akan dapat diambil suatu kesimpulan, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

15


(24)

I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini memuat latar belakang penulisan, yang kemudian ditarik pokok-pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan penulisan, dan kegunaan penulisan, konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan yaitu pengertian pertanggungjawaban pidana, unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana, pengertian tindak pidana perikanan, unsur-unsur tindak pidana perikanan, subyek pertanggungjawaban pidana perikanan, perbuatan yang tergolong tindak pidana perikanan, pihak-pihak yang berwenang menangani perkara tindak pidana perikanan di Indonesia; penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

III. METODE PENELITIAN

Metode Penelitian Penulisan menggunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara mengkaji pasal-pasal yang berhubungan dengan pertangungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Merupakan bab yang menjelaskan secara lebih terperinci tentang Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perikanan“ (Studi Putusan


(25)

Nomor: 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dengan mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

V. PENUTUP

Merupakan bab yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(26)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut.

Roeslan Saleh1 menyatakan bahwa:

“Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat

dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan

sebagai soal filsafat”.

1

Roeslan Saleh. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hlm. 10


(27)

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tidak dipidana. Asas

yang tidak tertulis : “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan tentu

dasar daripada dipidananya si pembuat.2

Pepatah mengatakan: ” Tangan menjinjing, bahu memikul‟‟, artinya seseorang harus menanggung segala akibat dari tindakan atau kelakuannya. dalam hukum pidana juga ditentukan hal seperti itu, yang dinamakan pertanggungjawaban pidana. bedanya, jika pepatah tadi mengandung suatu pengertian yang luas sekali, dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dibatasi dengan ketentuan di dalam undang-undang. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya satu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan

2Op.Cit


(28)

bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan pidana kan.3

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

„‟toerekenbaarheid‟‟, „’criminal responbility‟‟, „’criminal liability‟‟. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.4

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.5

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat

3

Op. CitE.Y. Kanter dan S.R Sianturi. Hal. 249.

4

Loc. Cit. Hal. 250.

5


(29)

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatanya.6

Menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa:

“Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana”.7

Di dalam pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik, oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah dapat dibuktikan juga dalam persidangan.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum

6

Op. Cit. Tri Andrisman. 2009. Hal. 95

7

Op. Cit. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian


(30)

untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya

seseorang “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan

pidanannya..

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab,

maka hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat

dipertanggung-jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya.8

Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapanya, E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa unsur mampu bertanggung jawab mencakup:

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya), dan

8


(31)

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, menganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi9 menjelaskan bahwa:

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

“jiwa”(geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan

“berfikir”(verstanddelijke vermogens), dari seseorang, walaupun dalam istilah

yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstanddelijke

vermogens. untuk terjemahan dari verstanddelijke vermogens sengaja digunakan

istilah “keadaan dan kemampuan jiwa seseorang”

Pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid” dimaksudkan

untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.10 Petindak di sini adalah orang, bukan makhluk lain. Untuk membunuh, mencuri, menghina dan sebagainya, dapat dilakukan oleh siapa saja. Lain halnya jika tindakan merupakan

9

Ibid., hlm. 250.

10


(32)

menerima suap, menarik kapal dari pemilik/pengusahanya dan memakainya untuk keuntungan sendiri.

1. Unsur-unsur Dalam Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan.

Menurut Ruslan Saleh11, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah :

a) Melakukan perbuatan pidana; b) Mampu bertanggung jawab;

c) Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan d) Tidak adanya alasan pemaaf.

11


(33)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika ke empat unsur tersebut diatas ada maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tidak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1) Kemampuan bertanggungjawab;

2) Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa); 3) Tidak ada alasan pemaaf.12

Pengertian kesalahan sebagai pengertian hukum dapat diketahui dari beberapa pendapat sarjana berikut ini:13

a. Mezger :

Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana

b. Simons :

Sebagai dasar untuk pertanggungganjawab dalam hukum pidana. Ia berupa keadaan fisik dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan fisik itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat.

12

Op.Cit. Tri Andrisman. 2009. Hal. 91

13


(34)

c. Pompe :

Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan.

Bahwa bilamana kita hendak menghubungkan petindak dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab pidanakan petindak atas tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa :

a. subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang; b. terdapat kesalahan pada petindak;

c. tindakan itu bersifat melawan hukum;

d. tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang – Undang (dalam arti luas);

e. dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang –undang.14

Menurut Mulyatno (dalam Tri Andrisman)15 unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah:

1. Kesalahan;

2. Kemampuan bertanggungjawab; 3. Tidak ada alasan pemaaf.

14

Op.Cit. E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. Hal. 253.

15


(35)

Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak).16

Tegasnya bahwa, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dimana masyarakat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Sebagai konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya pembuat dapat berbuat lain. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

2. Subyek Pertanggungjawaban Pidana

Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana, karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan mempertanggungjawabakan suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu

16

http://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/ diakses pada tanggal 22 Juli 2013


(36)

sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Menurut Ey. Kanter dan SR. Sianturi 17, yang dianggap sebagai subyek Tindak Pidana adalah Manusia (natuurlijke-persoonen), sedangkan hewan dan badan-badan hukum (rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara lain dari :

a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah: barangsiapa, warga negara indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, ditemukan dasarnya dari pasal-pasal: 2 sampai dengan 9 KUHP. Untuk istilah barangsiapa, dalam pasal-pasal : 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah „’een ieder’‟ (dengan

terjemahan „‟ setiap orang „‟).

b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur, terutama dalam pasal: 44, 45, 49 KUHP, yang antara lain mengisyaratkan sebagai

geestelijke vermogens dari petindak.

c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP, terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang mengerti nilai uang.

Perkembangan hukum pidana selanjutnya memang bukan hanya manusia saja yang dianggap sebagai subyek. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana, adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan,

17


(37)

perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusia yang merasakan/ menderita pemidanaan itu. 18

Lalu siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa:

Ayat (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

(1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.

(2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan seseuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesetan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan..

Ayat (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) KUHP di atas mengkategorikan pelaku tindak Pidana sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk melakukan tindak pidana.

18


(38)

B. Tindak Pidana Perikanan

1. Pengertian Tindak Pidana Perikanan

Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan tindak pidana perikanan ada baiknya kita terlebih dahulu membahas apa yang dimaksud dengan tindak pidana. Mengenai pengertian tindak pidana (straftbaar feit) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

a. Pompe:

Memberikan pengertian tindak pidana menjadi dua (2) definisi yaitu :

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahtraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh

peraturan perundang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

b. Simons:

Tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

c. Vos:

Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang ada pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.


(39)

d. Van Hamel:

Tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet ( Undang-Undang), yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

e. Moeljatno:

Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barang siapa melanggar larangan tersebut.

f. Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.19

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan di atas, diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat diantara pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana.

Definisi mengenai pengertian tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam dua pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu :

a. Pandangan /Aliran Monistis, yaitu :

Pandangan /Aliran yag tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

19


(40)

b. Pandangan /Aliran Dualistis, yaitu :

Pandangan / Aliran ysng memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkannya si pembuat (criminal responbilitiy atau mens rea). Dengan kata lain pandangan dualistis memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

Dalam praktik peradilan pandangan dualistis yang sering diikuti dalam mengungkap suatu perkara pidana (tindak pidana), karena lebih memudahkan penegak hukum dalam menyusun suatu pembuktian perkara pidana20.

Namun penulis lebih sependapat dengan pengertian yang dirumuskan oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi 21 mengenai pengertian dari tindak pidana yaitu sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).

Kemudian akan dibahas apa yang dimaksud dengan perikanan dan pengelolaan perikanan. Dalam Pasal 1 angka (1) dan (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sedangkan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam

20

Ibid. Hal. 71.

21


(41)

pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Sehingga jika dapat disimpulkan antara dua pengertian diatas maka Tindak Pidana Perikanan adalah Perbuatan yang dilarang dalam semua kegaiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan, yang dilakukan oleh orang/badan hukum yang mampu bertangungjawab dan diancam pidana sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Perikanan

Apabila kita akan merumuskan unsur-unsur dari tindak pidana perikanan, sudah barang tentu kita akan mengkaitkan dengan unsur-unsur dari tindak pidana, baru kemudian kita akan menjabarkannya secara nyata sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan melanggar ketentuan undang-undang tentang perikanan. Para penulis buku pidana telah memberikan unsur-unsur dari tindak pidana, diantaranya sebagai berikut:

a. Simons, (dalam Tri Andrisman)22 seorang penganut aliran monistis dalam merumuskan pengertian Tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berilkut :

22


(42)

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggung jawab.

b. Moeljanto (dalam Tri Andrisman)23 merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (merupakan syarat formil);

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil ).

c. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi24 secara ringkas unsur-unsur tindak pidana yaitu:

1. Subjek; 2. Kesalahan;

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan);

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat dan keadaan. (unsur okjektif lainya).

23

Ibid. Hal. 72.

24


(43)

Sehingga dari beberapa pendapat diatas, menurut penulis jika di jabarkan/diterapkan dalam tindak pidana perikanan maka unsur-unsur dari tindak pidana perikanan adalah:

1. Adanya Subjek/ Perbuatan Manusia (orang/korporasi/badan hukum) /pelaku tindak pidana perikanan yang mampu bertanggungjawab.

2. Melakukan kesalahan secara sengaja atau tidak disengaja.

3. Yang bersifat melawan hukum sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

4. Diancam hukuman pidana sesuai dengan pasal-pasal yang terbukti dilanggar dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

5. Dilakukan sesuai tempat, waktu dan keadaan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan.

C. Perbuatan Yang Tergolong Dalam Tindak Pidana Perikanan

Maraknya terjadi tindak pidana di bidang perikanan tidak hanya merugikan secara materi dengan nilai trilyunan rupiah, tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap sumber daya ikan, menghancurkan perekonomian nelayan, dan melanggar kedaulatan negara di lautan. Oleh karena itu, terhadap persoalan tindak pidana di bidang perikanan ini harus dilakukan suatu strategi penanggulangan baik pencegahan maupun pemberantasannya secara terpadu dan komprehensif agar


(44)

dapat menegakkan kedaulatan, keamanan, pembangunan ekonomi dan citra bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari yang besar dan berdaulat.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan memberantas perbuatan tindak pidana dibidang perikanan sesuai dengan asas dan tujuan pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan.

Perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana perikanan adalah perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan/koorporasi dalam rangka pengelolaan perikanan namun tidak sesuai dan melanggar asas-asas dan tujuan dari pengelolaan perikanan.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas;

a. manfaat; b. keadilan; c. kebersamaan; d. kemitraan; e. kemandirian; f. pemerataan; g. keterpaduan; h. keterbukaan; i. efisiensi;


(45)

j. kelestarian; dan

k. pembangunan yang berkelanjutan.

Selanjutnya tujuan pengelolaan perikanan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah dirubah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, yaitu:

a. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; b. Meningkatkan penerimaaan devisa negara;

c. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja;

d. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; e. Mengoptimalkan pengelolaaan sumber daya ikan;

f. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai, tambah, daya saing;

g. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengelolaaan ikan; h. Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan , lahan pembudidayaan ikan , dan

lingkungan sumber daya ikan secara optimal dan;

i. Menjamin kelestarian sumber daya ikan, bahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menyatakan bahwa; Setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:

a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;


(46)

c. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; d. persyaratan atau standar prosedur penangkap ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan;

f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;

g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penagkapan ikan berbasis budi daya;

h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;

i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;

k. kawasan konservasi perairan; l. wabah dan wilayah penyakit ikan;

m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimaksukkan, dan dikeluarkan, ke dan wilayah negara Republik Indonesia;

n. jenis ikan yang dilindungi.

Apabila ketentuan sebgaimana tersebut diatas dilanggar maka pelakunya juga telah melakukan Tindak Pidana Perikanan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan juga telah secara jelas mengatur pasal-pasal tentang ketentuan pidana yang tidak boleh dilanggar dalam usaha dan /atau kegiatan pengelolaan perikanan yaitu dalam Bab XV Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 yang juga memuat pidana penjara dan denda.


(47)

Adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan sehingga asas dan tujuan pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

D. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Terhadap pelaku tindak perikanan yang harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya adalah jika sipembuat pidana melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut yaitu : setiap orang yang ditangkap, disangka, dituntut, dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap, tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlu diketahui pula dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu, dalam mempertimbangkan berat ringannya suatu putusan pada pelaku tindak pidana perikanan, disini hakim juga melihat sifat jahat dan baiknya dari pelaku tindak pidana perikanan. Teori dasar petimbangan hakim menurut Pasal 183 KUHAP mengenai pembuktian dalam perkara tindak pidana perikanan terhadap pelaku tindak pidana perikanan , peranan barang bukti pada tindak pidana perikanan, disamping barang bukti ada 2 hal yang perlu dipertimbangan oleh hakim dalam putusan yaitu : (1) Barang bukti dan (2) Alat bukti.

Menurut Pasal 184 ayat 1 KUHP , hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan harus minimal 2 alat bukti , alat bukti yang digunakan oleh hakim berdasarkan KUHAP Pasal 184 yaitu :


(48)

1. surat 2. petunjuk

3. keterangan terdakwa 4. keterangan saksi 5. keterangan ahli

Teori yang digunakan dalam pertanggungjawaban pidana atau ajaran kesalahan, dasar dilakukannya pemidanaan maupun pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan melawan hukum adalah adanya unsur kesalahan dari si pembuat. Tanpa adanya unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana. Berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen

straf zonder schuld atau null poena sine culpa). Kesalahan dalam hal ini adanya

pelaku tindak pidana yang melakukan dan tidak melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

Bentuk-bentuk kesalahan dalam ajaran hukum pidana adalah sebagai berikut : a. Kesengajaan (dolus)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan definisi tentang arti kesengajaan. Definisi kesengajaan menurut Satochid adalah melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak yang bersifat melwan hukum.

b. Kelalaian (culpa)

Selain sikap batin yang berupa kesengajaan adapula sikap batin yang berupa kelalaian. Seperti halnya kesengajaan, KUHP juga tidak mendefinisikan secara pasti tentang pengertian kelalaian. Jadi dapat dikatakan kelalaian timbul karena


(49)

seseorang itu alfa, sembrono, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang menduga.25

Unsur-unsur pidana sebagai dasar pertanggungjawaban merupakan kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungan dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya pelaku dapat di cela karena kelakuannya. Dengan kata lain, hanya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dapat dipertanggungjawabkan si Pelaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1

KUHP yaitu: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Pertanggungjawaban termasuk unsur kesalahan (schuld) karena untuk dapat dipidana perlu adanya kesalahan, hal tersebut sesuai dengan asas dalam hukum pidana yaitu tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan, sedangkan kesalahan bukanlah sudut pengertian normative. Demikian pula dengan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perikanan, maka untuk dapat dipidana pelaku tindak pidana perikanan menurut ajaran kesalahan adalah perbuatan pidana yang dilakukan harus mengandung unsur kesalahan.

25


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan bagian dari metode penelitian dalam penulisan skripsi ini dan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan dua pendekatan masalah yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep asas- asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan yakni dengan mempelajari buku-buku peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Pendekatan Yuridis empiris yaitu pendekatan yang dikenal dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan yaitu dengan melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan, serta dilakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat memberikan data dan informasi terkait dengan penelitian ini guna mendapatkan data dan informasi yang akurat serta dapat dipercaya kebenarannya.


(51)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 :

1. Data primer adalah data-data yang didapat secara langsung di lapangan dengan cara mendapatkan informasi dari para informan yang dilakukan melalui wawancara di lapangan.

2. Data sekunder ini bersifat melengkapi hasil penelitian yang dilakukan yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yakni bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memliki kekuatan yang mengikat antara lain :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP)

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berguna sebagai petunjuk atau informasi tentang bahan hukum primer berupa, Jurnal, buku, yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang diperoleh dari data sekunder.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang berguna sebagai petunjuk atau informasi tentang bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain literatur, artikel, makalah sedangkan bahan hukum

1Op.Cit


(52)

Tersier yaitu, kamus dan bahan lain yng berkaitan dengan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya dan karakteristik yang sama2. Dalam penelitian ini nantinya yang akan dijadikan populasi penelitian adalah Penyidik/Penyidik Pembantu pada Kepolisian Daerah Lampung Direktorat Pol Air, Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Bagian Hukum Pidana.

Sampel adalah bagian dari populasi atau yang mewakili populasi secara representatif. pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan efisiensi yang mengarah pada sentralisasi permasalahan. Pemilihan responden disesuaikan dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai serta dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang ada. Sesuai dengan metode pengambilan sampel, responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :

Penyidik Polri Dir Pol Air Polda Lampung : 1 Orang Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 Orang Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang

Jumlah : 4 orang

2Ibid.


(53)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yang dilakukan penulis adalah dengan serangakaian kegiatan untuk memperoleh data yang diperlukan dengan cara membahas, mencatat, mengutip menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen serta informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. b. Studi Lapangan

Studi Lapangan yang dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai langsung para narasumber yang dilaksanakan secara langsung dan terbuka dengan sistem tanya jawab dimana semua pertanyaan disusun secara sistematik jelas dan terarah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang sudah tekumpul melalui kegiatan pengumpulan data, baik dari data kepustakaan maupun dari data dilapangan, kemudian diproses melalui pengolahan dan pengkajian data. Prosedur pengolahan data adalah sebagai berikut :

a. Editing yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa kembali mengenai kelengkapannya, kejelasan dan kebenarannya sehingga meminimalkan kesalahan dan kekurangan dalam penulisan untuk dapat diperbaiki kembali


(54)

b. Sistematisasi data yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan, serta memudahkan analisis data

E. Analisis Data

Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis yang bersifat deskriptif kualitatif.3 Analisis ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan dan menggambarkan dari hasil yang didapatkan, baik dari hasil data kepustakaan modern dari hasil data dilapangan untuk selanjutnya diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif yaitu pengalaman kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus menjadi hal-hal yang besifat umum, selanjutnya kesimpulan yang didapat tersebut diajukan saran sebagai rekomendasi.

3


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan sebagaimana telah diuraikan dalam bab. IV maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

1.Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perikanan sebagaimana yang dimaksud dalam putusan perkara nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK dengan terdakwa MISNI BIN SAMIRAN yang dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun telah terpenuhi sesuai Pasal 85 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo pasal 55 ayat (1) KUHP, yang telah memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana yaitu: a. Mempunyai kemampuan bertanggungjawab dimana pelaku yaitu MISNI BIN

SAMIRAN telah dewasa, sehat jasmani dan rohani, tidak dalam pengaruh tekanan atau ancaman dari pihak manapun juga serta telah dapat membedakan mana yang dilarang atau tidak dilarang.

b. Mempunyai unsur kesengajaan dimana pelaku yaitu MISNI BIN SAMIRAN telah mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan yang dilakukannya dilarang oleh undang-undang/pemerintah sehingga berdasarkan Surat Ijin penangkapan yang dimiliki dan diperbolehkan adalah menggunakan jaring


(56)

dogol bukan jaring garuk seperti yang digunakan oleh pelaku. Pelaku juga telah sadar dan dapat membayangkan akibat yang ditimbulkan yaitu dapat merusak ekosistem dan sumberdaya ikan serta terumbu karang yang ada dibawah laut.

c. Perbuatan pelaku MISNI BIN SAMIRAN tersebut merupakan perbuatan yang tidak menghapus pidana karena tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar bagi perbuatan pelaku .

2 .Pertimbangan hakim dalam memutus terbagi menjadi bersifat yuridis dan non yuridis serta pertimbangan hakim yang bersifat yuridis adalah sebagi berikut :

a. Bahwa saksi M. Yunus Ritongga bin Mangga Raja Ritonga yang diperiksa ternyata KM.Indosiar tidak sesuai izin tangkapannya dimana di dalm izin tangkapan ikan berupa jaring dogol namun pada saat diperiksa di bagian buritan kapal ditemukan jaring garuk kerang yang terbuat dari besi berukuran 2 meter.

b. Keterangan terdakwa Misni Bin Samiran

Jika dikaitkan pada pasal 183 dan pasal 184 KUHAP dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus minimal 2 bukti yang sah yaitu keterangan terdakwa dan keterangan saksi.

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Nomor Register perkara : 237/PID.SUS/PN.TK menggunakan teori keseimbangan antara syarat – syarat yang ditentukan oleh Undang- Undang dan kepentingan pihak – pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan suatu perkara, dari teori


(57)

ratio decidendi yaitu pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka maka saran yang dapat dikemukan sebagai alternatif penyelesaian maslah dimasa yang akan datang adalah sebagai berikut:

1. Kiranya Pemerintah dalam hal ini instansi terkait baik pusat maupun didaerah dapat lebih memberikan sosialisasi tentang apa itu tindak pidana perikanan, apa yang dilarang dilakukan dalam menangkap ikan atau bagaimana cara menangkap ikan yang baik dan benar serta tidak akan merusak sumber daya alam bawah laut khusunya ikan dan terumbu karang, apa sanksi-sanksi yang akan diterima apa bila melanggar dan lain sebagainya, sehingga masyarakat akan lebih mengetahui dan memahami bagaimana menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang ada.

2. Kiranya aparat penegak hukum khusunya Hakim lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi dan tidak ada kompromi terhadap perkara tindak pidana perikanan yang ditanganinya mengingat begitu besar kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan dalam tindak pidana perikanan sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana perikanan dan tidak akan


(58)

mengulangi lagi perbuatanya karena sumberdaya alam khusunya laut yang kita nikmati saat ini adalah warisan bagi anak cucu kita nanti.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Andrisman, Tri. 2009. Hukum pidana Asas- asas dan Dasar Aturan Umum hukum

pidana indonesia.Universitas Lampung. Bandar Lampung

Atmasasmita, Romli. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. fikahati aneska. Jakarta

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta

Hamzah Andi. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta

Huda, Chairul. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada

Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-4.

Kencana Prenada Media Group. Jakarta

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum

Pidana. Bina Aksara. Jakarta

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta.

1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua

Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta

, 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta


(60)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa. 1990. Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tetang Perikanan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

PENELUSURAN WEBSITE


(61)

(1)

72

dogol bukan jaring garuk seperti yang digunakan oleh pelaku. Pelaku juga telah sadar dan dapat membayangkan akibat yang ditimbulkan yaitu dapat merusak ekosistem dan sumberdaya ikan serta terumbu karang yang ada dibawah laut.

c. Perbuatan pelaku MISNI BIN SAMIRAN tersebut merupakan perbuatan yang tidak menghapus pidana karena tidak ada alasan pemaaf dan alasan pembenar bagi perbuatan pelaku .

2 .Pertimbangan hakim dalam memutus terbagi menjadi bersifat yuridis dan non yuridis serta pertimbangan hakim yang bersifat yuridis adalah sebagi berikut :

a. Bahwa saksi M. Yunus Ritongga bin Mangga Raja Ritonga yang diperiksa ternyata KM.Indosiar tidak sesuai izin tangkapannya dimana di dalm izin tangkapan ikan berupa jaring dogol namun pada saat diperiksa di bagian buritan kapal ditemukan jaring garuk kerang yang terbuat dari besi berukuran 2 meter.

b. Keterangan terdakwa Misni Bin Samiran

Jika dikaitkan pada pasal 183 dan pasal 184 KUHAP dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus minimal 2 bukti yang sah yaitu keterangan terdakwa dan keterangan saksi.

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Nomor Register perkara : 237/PID.SUS/PN.TK menggunakan teori keseimbangan antara syarat – syarat yang ditentukan oleh Undang- Undang dan kepentingan pihak – pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan suatu perkara, dari teori


(2)

73

ratio decidendi yaitu pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka maka saran yang dapat dikemukan sebagai alternatif penyelesaian maslah dimasa yang akan datang adalah sebagai berikut:

1. Kiranya Pemerintah dalam hal ini instansi terkait baik pusat maupun didaerah dapat lebih memberikan sosialisasi tentang apa itu tindak pidana perikanan, apa yang dilarang dilakukan dalam menangkap ikan atau bagaimana cara menangkap ikan yang baik dan benar serta tidak akan merusak sumber daya alam bawah laut khusunya ikan dan terumbu karang, apa sanksi-sanksi yang akan diterima apa bila melanggar dan lain sebagainya, sehingga masyarakat akan lebih mengetahui dan memahami bagaimana menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang ada.

2. Kiranya aparat penegak hukum khusunya Hakim lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi dan tidak ada kompromi terhadap perkara tindak pidana perikanan yang ditanganinya mengingat begitu besar kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan dalam tindak pidana perikanan sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana perikanan dan tidak akan


(3)

74

mengulangi lagi perbuatanya karena sumberdaya alam khusunya laut yang kita nikmati saat ini adalah warisan bagi anak cucu kita nanti.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Andrisman, Tri. 2009. Hukum pidana Asas- asas dan Dasar Aturan Umum hukum pidana indonesia.Universitas Lampung. Bandar Lampung

Atmasasmita, Romli. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. fikahati aneska. Jakarta

E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta

Hamzah Andi. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta

Huda, Chairul. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-4. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

Moeljatno. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta.

1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta

, 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta


(5)

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Pers. Jakarta. Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Cet 4 Alumni. Bandung

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tetang Perikanan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

PENELUSURAN WEBSITE


(6)