ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP AGEN ASURANSI YANG MELAKUKAN PENGGELAPAN PREMI ASURANSI

  ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP AGEN ASURANSI YANG MELAKUKAN PENGGELAPAN PREMI ASURANSI (Jurnal Skripsi) Oleh MUHAMMAD ARRAFI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

  

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP AGEN ASURANSI

YANG MELAKUKAN PENGGELAPAN

PREMI ASURANSI

Oleh

Muhammad Arrafi, Erna Dewi, Dona Raisa Monica

  

Email: muhammad.arrafi@yahoo.com.

  

ABSTRAK

  Agen perusahaan asuransi yang melakukan tindak pidana penggelapan premi asuransi seharusnya dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tetapi pada kenyataannya hakim dalam Putusan Nomor: 4/Pid.B/2017/PN.Pbg lebih memilih Pasal 374 KUHP. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap agen asuransi yang melakukan penggelapan premi asuransi dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan Pasal 374 KUHP terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan penarikan simpulan dilakukan dengan metode induktif. Hasil penelitian ini menunjukkan: Penerapan sanksi pidana terhadap agen asuransi yang melakukan penggelapan premi asuransi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam kerangka penegakan hukum yaitu penyidikan oleh Kepolisian, penyusunan Dakwaan dan penututan oleh Penuntut Umum dan penjatuhan pidana oleh hakim Pengadilan Negeri. Penerapan sanksi pidana tersebut sesuai dengan teori formulasi, aplikasi dan eksekusi. Dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan Pasal 374 KUHP terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi sesuai dengan teori pendekatan seni dan intuisi, yaitu hakim lebih memilih menggunakan Pasal 374 KUHP untuk memutus perkara tindak pidana penggelapan premi asuransi. Hakim dengan kekuasaan kehakiman nya secara subjektif memilih KUHP dalam memutus perkara tindak pidana perasuransian ini, selain itu hakim juga mendasarkan putusannya pada dakwaan dan tuntutan dari Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 374 KUHP. Saran dalam penelitian ini adalah: Aparat penegak hukum agar lebih konsisten menerapkan sanski pidana berdasarkan Undang-Undang Perasuransian. Pihak Perusahaan asuransi hendaknya menerapan sistem aplikasi komputer yang dapat memantau para nasabah asuransi dalam pembayaran premi.

  Kata Kunci: Sanksi Pidana, Agen Asuransi, Penggelapan Premi Asuransi

  

ANALYSIS OF IMPLEMENTATION OF CRIMINAL SANCTIONS

TO INSURANCE AGENTS WHO DO EMBEZZLEMENT

OF INSURANCE PREMIUM

ABSTRACT

Agent of insurance company that commits a crime of embezzlement of insurance premium

should be subject to criminal sanction in accordance with the provisions of Article 76 of

Law Number 40 Year 2014 concerning Insurance, but in fact the judge in Decision

Number: 4/Pid.B/2017/PN.Pbg prefers Article 374 of the Criminal Code. The problem of

this research is: How is the application of criminal sanction to insurance agent who do

embezzlement of insurance premium and what is the basis of judge consideration in

applying Article 374 KUHP to perpetrator of crime of embezzlement of insurance

premium? This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. The

speakers consisted of the judge of the Tanjung Karang District Court and the law lecturer

of the faculty of criminal law Unila. Data collection was done by literature study and field

study. The data analysis is done qualitatively and the conclusion drawing is done by

inductive method. The results of this study indicate: Implementation of criminal sanctions

against insurance agents who embezzle insurance premiums carried out by law

enforcement officers within the framework of law enforcement that is investigated by the

Police, the preparation of the indictment and prosecution by the Public Prosecutor and

the imposition of criminal by the District Court judge. The application of the criminal

sanctions is in accordance with the theory of formulation, application and execution. The

basis of judges' consideration in applying Article 374 of the Criminal Code against the

perpetrators of the crime of embezzlement of insurance premiums in accordance with the

theory of art approach and intuition. The judge with the judicial power he possesses

subjectively chooses the Criminal Code in deciding the case of insurance crime, besides

the judge also based his decision on the indictment and prosecution of the Prosecutor

using Article 374 of the Criminal Code. Suggestions in this research are: Law

enforcement officer who handles insurance crime in the future is suggested to more

consistently apply criminal sanction based on Insurance. The insurance company should

apply a computer application system that can monitor the insurance customers in making

premium payments.

  

Keywords: Criminal Sanctions, Insurance Agent, Embezzlement of Insurance Premium

I. PENDAHULUAN

  Manusia memang pada dasarnya adalah makhluk yang bebas yang memiliki kebebasan dalam melakukan segala suatu hal, namun tidak semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia adalah benar serta tidak semua perbuatan dan perilaku manusia yang mereka anggap baik untuk dirinya juga baik dan dianggap benar oleh orang lain, segala sesuatunya harus memperhatikan dan mempertimbangkan kebaikan manusia lain dan lingkungan sekitarnya.

  Menurut R. Abdoel Djamali, “Hukum tidak otonom atau tidak mandiri, berarti hukum itu tidak terlepas dari pengaruh timbal-balik dari keseluruhan aspek yang ada di dalam masyarakat. Sebagai patokan, hukum dapat menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi kenyataannya masih banyak masyarakat melanggar hukum”.

  dan masyarakat setidaknya dapat dilihat dari dua aspek. Pertama dengan melihat pada potensi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (law as a tool of

  settlement ). Pandangan ini dalam ilmu

  sosial dikelompokan sebagai penganut teori konflik. Kedua melihat kepada potensi hukum untuk mempersatukan segenap unsur yang beragam di masyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan (law as a tool

  of balancing of interest ). Pandangan ini

  dapat dikelompokan sebagai penganut teori fungsional. 1 R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia .Raja Grapindo Persada. Jakarta. 2005.

  Pandangan pertama mendasarkan pada asumsi bahwa setiap orang memiliki tujuan, motivasi, dan kepentingan yang berbeda-beda sehingga dalam pencapainnya berpotensi untuk terjadinya konflik di antara mereka. Berdasarkan konteks ini, hukum diperlukan bagi setiap orang untuk mencegah dan menanggulangi timbulnya konflik. Peraturan hukum dibuat dan ditegakan agar konflik dapat dikendalikan.

  2 Pandangan yang kedua,

  melihat pada potensi hukum sebagai sarana untuk mempersatukan perbedaan- perbedaan, meskipun disadari adanya konflik, namun yang hendak ditampilkan adalah adanya penyelesaian yang mengarah pada keseimbangan dari kepentingan (balancing of interest). Sesuai dalam konteks ini, hukum dikembangkan untuk mewujudkan nilai- nilai yang dilandasi kesepakatan bersama. Meskipun kedua pandangan tersebut memiliki asumsi dasar berbeda, namun keduanya melihat bahwa hukum sebagai gejala sosial (social phenomena) atau gejala kemasyarakatan yang universal.

1 Arti pentingnya hukum bagi manusia

  3 Semua tindakan dan perbuatan manusia

  yang tidak benar dan tidak baik pastinya akan melanggar sebuah aturan/hukum, dan apabila aturan/hukum itu dilanggar pastinya ada konsekuensi yang diterima. Apabila tindakan yang tidak benar dan tidak baik itu merupakan kejahatan, maka sudah jelas tindakan itu merupakan tindak pidana. Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar hukum, yang mana dalam konteks ini hukum yang 2 Nasikum, Sistem Sosial Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1998, hlm.9. 3 Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2013, dilanggar adalah Hukum Pidana. Menurut Soerjono Soekanto kejahatan (tindak pidana) adalah gejala sosial yang senantiasa dihadapi untuk setiap masyarakat di dunia. Apapun usaha untuk menghapuskannya tidak tuntas karena kejahatan itu memang tidak dapat dihapus. Hal itu terutama disebabkan karena tidak semua kebutuhan dasar manusia dapat dipenuhi secara sempurna, lagipula manusia mempunyai kepentingan yang berbeda beda yang bahkan dapat berwujud sebagai pertentangan yang prinsipil.

  sebuah tindak pidana yang memang sudah ada dari dahulu kala, hal ini jelas dengan dibuktikan nya bahwa tindak pidana penggelapan sudah diatur dalam KUHP yang notabene nya merupakan Kitab Undang-Undang warisan dari zaman Belanda menjajah Indonesia pada saat itu. Tindak Pidana penggelapan pada awalnya memang diatur secara umum, yaitu di dalam Pasal 372 sampai Pasal 377 KUHP, tetapi karena semakin hari zaman semakin berkembang, tampak nya tindak pidana penggelapan ini sudah dilakukan dibidang-bidang yang tidak umum lagi. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Penggelapan yang dilakukan di dalam bidang Asuransi, yakni tepatnya Tindak Pidana Penggelepan Uang Premi Asuransi.

  Mengingat tindak pidana penggelapan di bidang Asuransi ini semakin sering terjadi, maka pemerintah akhirnya membuat Undang-Undang tentang 4 Soerjono Soekanto, Pokok Pokok Sosiologi

  Hukum , cet 9, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

  Perasuransian, yang Khusus mengatur segala macam aturan yang berkaitan dengan Asuransi, salah satu nya mengatur tentang ancaman pidana bagi pelaku penggelapan uang premi Asuransi.

  Pada awalnya pemerintah membuat Undang-Undang tentang usaha perasuransian pada tahun 1992, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kemudian untuk bisa menyesuaikan dengan zaman yang semakin modern dan berkembang, maka diperbaharuilah Undang-Undang tentang Perasuransian tersebut, yaitu dengan dikeluarkan nya Undang-Undang Nomor

4 Tindak Pidana Penggelapan merupakan

  40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Undang-Undang tentang Perasuransian ini secara ideal menjadi dasar pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan uang premi asuransi, karena memang di dalamnya diatur dengan jelas tentang ancaman pidana terhadap tindak pidana tersebut, dan juga didasarkan oleh asas hukum lex specialis

  derogat lege generali dan asas hukum lex posterior derogat lege priori , yang

  artinya Undang-Undang yang bersifat khusus didahulukan berlakunya daripada Undang-Undang yang bersifat umum, dan Undang-Undang yang lebih baru atau yang terbit kemudian didahulukan berlakunya daripada Undang-Undang yang terdahulu atau yang terbit lebih dahulu.

  Salah satu kasus tindak pidana penggelapan premi asuransi adalah dalam Putusan Nomor: 4/Pid.B/2017/ PN.Pbg, di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga telah menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan terhadap terdakwa Dewi Primastiari yang merupakan seorang agen asuransi di suatu perusahaan asuransi swasta, karena terbukti bersalah karena telah melakukan tindak pidana penggelapan premi asuransi. Tetapi dalam kasus penggelapan premi asuransi yang diputus pada tanggal 6 Maret 2017 ini, Majelis Hakim yang menangani kasus ini menjatuhkan putusannya dengan menggunakan Pasal 374 KUHP.

  Padahal Tindak Pidana penggelapan premi asuransi ini sudah diatur dalam

  Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagaimana diseb utkan ”seseorang yang melakukan penggelapan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.

  Penulis dalam hal ini tidak sependapat dengan Majelis Hakim yang menggunakan Pasal 374 KUHP dalam menjatuhkan putusan terhadap terpidana Dewi Primastiari, karena berdasarkan asas-asas yang sudah di sebutkan sebelumnya, yaitu asas lex specialis

  derogat lege generali dan asas lex

  Majelis Hakim mengenyampingkan KUHP yang notabene nya terbit lebih dahulu dibandingkan dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, dan juga Undang-undang tentang Perasuransian ini sifat nya lebih khusus mengatur tentang tindak pidana penggelapan premi asuransi dibanding dengan KUHP.

  Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mencoba menulis skripsi dengan judul:

  “Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Agen Asuransi yang Melakukan Penggelapan Premi Asuransi.

  ” Permasalahan dalam penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap agen asuransi yang melakukan penggelapan premi asuransi? b.

  Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan Pasal 374 KUHP terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Penerapan Sanksi Pidana terhadap Agen Asuransi yang Melakukan Penggelapan Premi Asuransi

  Agen perusahaan asuransi yang melakukan tindak pidana penggelapan premi asuransi harus diancam dengan

  Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yaitu seseorang yang melakukan penggelapan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Tindak pidana penggelapan premi asuransi yang dilakukan oleh Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga dalam Putusan Nomor: 4/Pid.B/2017/PN.Pbg, di mana terrdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan. Majelis hakim dalam putusan ini menerapkan ketentuan Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dan tidak menggunakan

  Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi dalam konteks penelitian ini merupakan rangkaian proses penegakan hukum, yaitu upaya aparat penegak hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab./Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan melihat penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana. Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi meliputi proses bekerja hukum yaitu penyidikan, penuntutan dan penjatuhan pidana. Uraian di atas sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penegakan hukum pidana terdiri dari tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi.

  dilaksanakan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana penggelapan premi asuransi yaitu Pasal 374 KUHP dan Pasal

  76 Undang-Undang Perasuransian. 5 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan

  Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti,

  Tahap aplikasi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Penyidikan tindak pidana penggelapan premi asuransi, dilakukan Kepolisian setelah menerima laporan dari korban dan tindakan penyidikan disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi, dilakukan Kejaksanaan Negeri dan dituangkan dalam surat dakwaan dengan tuntutan hukum sesuai dengan Pasal 374 KUHP. Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi, dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri, untuk menegakkan keadilan berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan. Tahap eksekusi sebagai tahap penegakan (pelaksanaan) hukum secara konkret oleh aparat penegak hukum yaitu dengan melaksanakan pemidanaan terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, serta memidanakan terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan sebagai tahapan paling akhir dalam rangkaian proses penegakan hukum pidana tersebut dalam rangka menerapkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan. Apabila suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penerapan sanksi pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang

5 Tahap formulasi

  telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan penerapan sanksi pidana. Ketentuan ini juga sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan. Penerapan sanksi pidana harus merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut kepentingan-kepentingan tersebut, yang berbeda dengan sanksi perdata atau administasi yang hanya berkenaan dengan sifat-sifat kebendaan. Pembebanan pidana harus diusahakan agar sesuai dan seimbang dengan nilai- nilai kesadaran hukum, nilai-nilai mana bergerak menurut perkembangan ruang, waktu dan keadaan yang mewajibkan pengenaan suatu nestapa yang istimewa sifatnya, sebagai suatu reaksi terhadap aksi dalam penerapan sanksi pidana.

  Hukum yang berkualitas pada dasarnya merupakan praktik hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.

  Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Peranan hakim dalam menegakkan hukum, khususnya terhadap tindak pidana korupsi, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan hubungan antara hukum dengan hakim, untuk menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan untuk mencari menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan keadilan.

  B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menerapkan Pasal 374 KUHP terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi

  Majelis hakim menjatuhkan pidana Terdakwa Dewi Primastiari dalam Putusan Nomor: 4/Pid.B/2017/PN Pbg dengan mempertimbangkan bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan subsidaritas primair Pasal 374 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP subsidair Pasal 372 KUHP jo.Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Menimbang, bahwa Penuntut Umum menyusun dakwaannya dengan dakwaan subsidaritas, mengandung arti bahwa dakwaan primair akan dibuktikan terlebih dahulu, bila dakwaan primair terbukti maka dakwaan subsidair tidak dibuktikan dan sebaliknya. Majelis hakim mendasarkan putusannya pada pembuktian Dakwaan Primair Pasal 374 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP yang unsur unsurnya sebagai berikut:

  1. Unsur “Barangsiapa” Maksud dengan unsur “Barangsiapa”, adalah siapa saja selaku subjek hukum pidana yang disebut sebagai terdakwa didalam surat dakwaan penuntut umum.

  Menimbang bahwa, didalam perkara ini Penuntut Umum telah mengajukan Terdakwa Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono, dimana pada awal persidangan terdakwa telah menerangkan bahwa ia adalah orang yang identitasnya secara lengkap sebagaimana tersebut dalam dakwaan Penuntut Umum. Keterangan Terdakwa tersebut di persidangan diperkuat dengan keterangan saksi saksi yang pada pokoknya menerangkan kenal dengan Terdakwa sebagai orang yang dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, sehingga dengan demikian tidak terjadi adanya kesalahan subyek hukum antara orang yang dimaksud sebagai Terdakwa dalam dakwaan penuntut umum dengan orang yang diajukan sebagai terdakwa di persidangan. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka unsur pertama dakwaan primair telah terpenuhi.

  2. Unsur “Dengan Sengaja Dan Melawan Hukum Memiliki Sesuatu Benda Yang Seluruhnya Atau Sebagian Milik Orang Lain Yang Ada Dalam Kekuasaannya Bukan Karena Kejahatan”

  Berdasarkan keterangan saksi saksi dan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan bahwa, perbuatan terdakwa berawal Terdakwa Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono bekerja selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager

  (EBAM) pada PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dan mendapatkan kompensasi dari PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG berupa komisi, bonus dan pinjaman operasional yang ditentukan sesuai perjanjian yang berlaku antara PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dengan Terdakwa.

  Tugas Terdakwa selaku agen asuransi/Employee

  Benefit Associate Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG adalah memperkenalkan, menjual, dan melakukan penutupan polis asuransi jiwa untuk kepentingan perusahaan dan memberikan penjelasan tentang program asuransi serta mengingatkan untuk pembayaran premi untuk disetorkan ke rekening yang ditetapkan perusahaan. PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG melakukan perjanjian kerjasama asuransi jiwa pembiayaan kolektif dengan PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira dengan surat perjanjian kerjasama No. 007/AJSMSIG- LG/PKSC/XI/2013 tanggal

  01 November 2013 dimana PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira akan mengikutsertakan nasabahnya dalam kepesertaan asuransi jiwa pada PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG, selanjutnya untuk penagihan premi dilaksanakan oleh Terdakwa selaku agen asuransi/Employee Benefit

  Associate Manager

  (EBAM) pada PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dan mekanisme pembayaran premi adalah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah sertifikat polis turun.

  Selama rentang waktu bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Desember 2015 pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira telah melaksanakan pembayaran premi dengan cara transfer ke rekening Terdakwa sehingga tercatat jumlah nasabah peserta asuransi yang setoran pembayarannya diterima ke rekening Terdakwa adalah berjumlah 1.152 (seribu seratus lima puluh dua) nasabah dengan jumlah keseluruhan uang pembayaran premi yang telah ditransfer oleh pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira adalah sebesar Rp. 660.756.448,00 (enam ratus enam puluh juta tujuh ratus lima puluh enam ribu empat ratus empat puluh delapan rupiah).

  Terdakwa telah menarik tunai pembayaran premi nasabah yang masuk ke rekening Terdakwa tersebut dan pada kenyataannya Terdakwa tidak menindaklanjuti menyetorkan uang pembayaran premi nasabah ke rekening PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG melainkan Terdakwa telah mempergunakan uang pembayaran premi tersebut untuk kepentingan Terdakwa sendiri tanpa seijin dan sepengetahuan pihak PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG. Berdasarkan hasil audit oleh tim investigasi PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG terhadap data kuitansi tagihan sertifikat polis asuransi dan data keuangan yang pada kenyataannya diperoleh fakta dimana pada rentang bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Desember 2015 terdapat uang pembayaran premi dari sejumlah 219 orang nasabah sesuai tagihan sertifikat polis asuransi yang tidak diterima oleh pihak PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dengan jumlah keseluruhan pembayaran premi sebesar Rp. 448.813.925,00 (empat ratus empat puluh delapan juta delapan ratus tiga belas ribu sembilan ratus dua puluh lima rupiah), melainkan Terdakwa telah mempergunakan uang pembayaran premi tersebut untuk kepentingan Terdakwa sendiri tanpa seijin dan sepengetahuan pihak PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur kedua dakwaan primair Penuntut Umum.

  3. Unsur “Yang Dilakukan Oleh Orang Yang Penguasaannya Terhadap Barang Disebabkan Karena Ada Hubungan Kerja Atau Karena Pencarian Atau Karena Mendapat Upah Untuk Itu”.

  Berdasarkan keterangan saksi saksi dan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan bahwa, perbuatan Terdakwa Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono bekerja selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG dan mendapatkan kompensasi dari PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG berupa komisi, bonus dan pinjaman operasional yang ditentukan sesuai perjanjian yang berlaku antara PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dengan Terdakwa, adapun tugas Terdakwa selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG adalah memperkenalkan, menjual,dan melakukan penutupan polis asuransi jiwa untuk kepentingan perusahaan dan memberikan penjelasan tentang program asuransi erta mengingatkan untuk pembayaran premi untuk disetorkan ke rekening yang ditetapkan perusahaan. Selama rentang bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Desember 2015 pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira telah menindaklanjuti pembayaran premi peserta sesuai adanya perjanjian kerjasama asuransi jiwa pembiayaan kolektif antara PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dengan PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira dengan surat perjanjian kerjasama No. 007/AJSMSIGLG/PKS- C/XI/2013 tanggal 01 November 2013 dimana PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira akan mengikutsertakan nasabahnya dalam kepesertaan asuransi jiwa pada PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG, selanjutnya untuk penagihan premi dilaksanakan oleh Terdakwa selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG dan mekanisme pembayaran premi adalah selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah sertifikat polis turun.

  Pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira telah menindaklanjuti pembayaran premi peserta dengan cara transfer ke rekening atas nama Terdakwa di Bank BPRS Buana Mitra Perwira sehingga tercatat jumlah nasabah peserta asuransi yang setoran pembayarannya diterima ke rekening Terdakwa adalah berjumlah 1.152 (seribu seratus lima puluh dua) nasabah dengan jumlah keseluruhan uang pembayaran premi yang telah ditransfer oleh pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira adalah sebesar Rp. 660.756.448,00 (enam ratus enam puluh juta tujuh ratus lima puluh enam ribu empat ratus empat puluh delapan rupiah). Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur ketiga dakwaan primair Penuntut Umum.

  4. Unsur “Dalam Hal Perbarengan Beberapa Perbuatan Yang Harus Dipandang Sebagai Perbuatan Yang Berdiri Sendiri Sehingga Merupakan Beberapa Kejahatan, Jika Antara Beberapa Perbuatan Meskipun Masing Masing Merupakan Kejahatan Atau Pelanggaran, Ada Hubungannya Sedemikian Rupa Sehingga Harus Dipandang Sebagai Satu Perbuatan Berlanjut”.

  Berdasarkan keterangan saksi saksi dan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan bahwa, perbuatan terdakwa Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono bekerja selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG dan mendapatkan kompensasi dari PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG berupa komisi, bonus dan pinjaman operasional yang ditentukan sesuai perjanjian yang berlaku antara PT Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dengan Terdakwa, adapun tugas Terdakwa selaku agen asuransi/Employee Benefit Associate

  Manager (EBAM) pada PT Asuransi

  Jiwa Sinarmas MSIG adalah memperkenalkan, menjual, dan melakukan penutupan polis asuransi jiwa untuk kepentingan perusahaan dan memberikan penjelasan tentang program asuransi serta mengingatkan untuk pembayaran premi untuk disetorkan ke rekening yang ditetapkan perusahaan. Berdasarkan fakta persidangan keterangan Terdakwa menerangkan sesuai dengan Surat perjanjian Kerjasama BPRS dan Sinarmas besar fee adalah sebesar 15 % namun dalam kenyataan Terdakwa memberikan Fee sebesar 18%, untuk tambahan 3% adalah permintaan BPRS, namun demikian Terdakwa tidak dapat membuktikan adanya bukti permintaan dan penerimaan fee tambahan sebesar 3 % tersebut. Untuk pemberian tambahan Fee tidak diketahui oleh Kantor Sinarmas Pusat dan hanya kesepakatan antara Terdakwa dengan BPRS saja. Selain dari tambahan uang fee sebesar 3% ada tambahan lain yang Terdakwa berikan kepada pihak BPRS yaitu berupa biaya cetak sertifikat sebesar Rp. 10.000,00 ( sepuluh ribu rupiah ) yang seharusnya menjadi kewajiban BPRS karena BPRS tidak mau menanggung beban sendiri sehingga dibebankan kepada Terdakwa yang kemudian Terdakwa ambilkan dari pembayaran Premi nasabah, selanjutnya untuk biaya pajak penghasilan 5% BPR juga menjadi tanggung jawab Terdakwa sebagai Agen yang kemudian Terdakwa ambilkan dari biaya Pembayaran Premi nasabah, namun demikian Terdakwa tidak dapat membuktikan adanya bukti permintaan dan pemberian timbulnya biaya-biaya dimaksud. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur keempat dakwaan primair Penuntut Umum.

  Oleh karena semua unsur dari Pasal 374 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair. Selama pemeriksaan perkara berlangsung ternyata tidak ditemukan adanya alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya Terdakwa maupun alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan dalam diri Terdakwa, sehingga Terdakwa harus dipandang sebagai subjek hukum yang mampu dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana di Indonesia, oleh karenanya kepada Terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penggelapan karena ada hubungan kerja yang dilakukan secara berlanjut dan atas kesalahan yang telah dilakukan haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya Majelis hakim di persidangan terbukti barang bukti tersebut disita secara syah menurut aturan yang berlaku dan barang bukti tersebut miliknya PT. Asuransi Jiwa Sinas Mas MSIG, akan dikembalikan kepada PT. Asuransi Jiwa Sinas Mas MSIG melalui saksi Sofyan Bin Rukli Haji Asmat.

  a.

  Uang tunai sebesar Rp. 86.232.700,- (delapan puluh enam juta dua ratus tiga puluh dua ribu tujuh ratus rupiah).

  b.

  1 (satu) bendel Perjanjian Kerjasama Super Protection Antara PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira dengan PT. Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG Purwokerto No. 032/BMP/XI/2013 pada hari Jumat tanggal 1 Nopember 2013.

  c.

  1 (satu) lembar Surat Persetujuan dan Kuasa kepada Saudari Dewi Primastiari untuk membuka rekening tabungan atas nama penerima kuasa..

  d.

  1 (satu) bendel daftar nama pembayaran premi yang pembayarannya melalui rekening Dewi Primastiari.

  e.

  1 (satu) bendel voucher pembayaran premi asuransi dari BPRS Buana Mitra Perwira melalui rekening Saudari Dewi Primastiari dengan jumlah 1152 peserta berikut kuitansi tagihan premi dari PT. Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG.

  Barang bukti tersebut disita secara syah menurut aturan yang berlaku dan barang bukti tersebut miliknya PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Buana Mitra Perwira, maka akan dikembalikan melalui saksi Ginding Koemala Koemaladewi Bin Soedirman: a.

  1 (satu) buah Buku Tabungan BPRS Buana Mitra Perwira atas nama Dewi Primastiari dengan nomor rekening 112-01-04584.

  b.

  1 (satu) bendel Rekening Koran tabungan atas nama Dewi Primastiari dengan nomor rekening 112-01- 04584.

  Meimbang bahwa di persidangan terbukti barang bukti tersebut disita secara syah menurut aturan yang berlaku dan barang bukti tersebut miliknya Terdakwa Dewi Primastiari Alias Dewi Binti Joko Sutono serta tidak lagi digunakan, dimana barang bukti tersebut akan lebih bermanfaat dan berguna apabila tetap terlampir dalam berkas perkara Selain itu Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa juga mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa. Keadaan yang memberatkan adalah perbuatan Terdakwa merugikan PT. Asuransi Jiwa Sinarmas MSIG dan kepercayaan konsumen perasuransian.

  Selain itu terdakwa melakukan perbuatannya secara berlanjut selama rentang waktu bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Desember 2015, sehingga mengakibatkan kerugian sebesar Rp.448.813.924.00 (empat ratus empat puluh delapan juta delapan ratus tiga belas ribu Sembilan ratus dua puluh empat) dan telah menikmati hasil kejahatannya. Adapun keadaan yang meringankan adalah terdakwa sopan di persidangan, mengakui perbuatannya, menyesal, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, sebagai tulangpunggung keluarga dan terdakwa belum pernah dihukum.

  III. PENUTUP A. Simpulan 1.

  Penerapan sanksi pidana terhadap agen asuransi yang melakukan penggelapan premi asuransi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dalam kerangka penegakan hukum yaitu penyidikan oleh Kepolisian, penyusunan Dakwaan dan penututan oleh Penuntut Umum dan penjatuhan pidana oleh hakim Pengadilan Negeri. Penerapan sanksi pidana tersebut sesuai dengan teori formulasi, aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi dilaksanakan dengan penerapan KUHP dan Undang-Undang Perasuransian karena pemerintah telah membuat Undang-Undang Perasuransian khusus untuk menjerat tindak pidana penggelapan premi asuransi di samping adanya KUHP. Tahap aplikasi hakim yaitu menjatuhkan pidana selama 1 tahun 6 bulan terhadap terdakwa dan tahap eksekusi, yaitu eksekusi putusan tanpa harus menunggu laporan dari hakim oleh Jaksa terhadap terpidana. agen. Hal ini penting dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya 2. tindak pidana penggelapan premi

  Dasar pertimbangan hakim dalam menerapkan Pasal 374 KUHP asuransi di masa mendatang. terhadap pelaku tindak pidana penggelapan premi asuransi sesuai

DAFTAR PUSTAKA

  dengan teori pendekatan seni dan intuisi, yaitu hakim lebih memilih menggunakan Pasal 374 KUHP

  Djamali, R. Abdoel. 2005. Pengantar untuk memutus perkara tindak

  Hukum Indonesia .Raja Grapindo

  pidana penggelapan premi asuransi, Persada. Jakarta meskipun pada dasarnya dasar hukum yang lebih relevan adalah

  Nasikum, 1998. Sistem Sosial Indonesia,

  Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 CV Rajawali, Jakarta Tahun 2014 tentang Perasuransian. Hakim dengan kekuasaan kehakiman Nawawi Arief, Barda. 1996. Bunga yang dimilikinya secara subjektif

  Rampai Kebijakan Hukum

  memilih KUHP dalam memutus

  Pidana. PT. Citra Aditya Bakti,

  perkara tindak pidana perasuransian, Bandung selain itu hakim juga mendasarkan putusannya pada dakwaan dan

  Sasongko, Wahyu. 2013. Dasar-Dasar tuntutan dari Penuntut Umum yang

  Ilmu Hukum, Universitas menggunakan Pasal 374 KUHP.

  Lampung, Bandar Lampung B.

   Saran

  Soekanto, Soerjono. 1999. Pokok Pokok

  Sosiologi Hukum , cet 9, Raja 1.

  Aparat penegak hukum yang Grafindo Persada, Jakarta menangani tindak pidana perasuransian di masa yang akan datang disarankan untuk lebih konsisten menerapkan sanski pidana berdasarkan Undang-Undang Perasuransian, sehingga lebih relevan dengan perkara tindak pidana yang diputuskan.

  2. Perusahaan asuransi Pihak hendaknya menerapan sistem aplikasi komputer yang dapat memantau para nasabah asuransi dalam melakukan pembayaran premi, sehingga setelah premi dibayarkan kepada agen asuransi, maka dapat diketahui secara langsung oleh perusahaan asuransi,