Pendidikan Nasional Untuk Pembangunan Demokrasi Cetak

TUGAS: MAKALAH
“PEMBANGUNAN POLITIK PADA MASA ORDE BARU”

MATA KULIAH:
PEMBANGUNAN POLITIK DAN DEMOKRASI
DOSEN:
PROF. DR. KAUSAR BAILUSY, MA.

OLEH :
NAMA
NIM
KONSENTRASI

: NASRULLAH
: P4300215306
: TATA KELOLA PEMILU

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2015


PEMBANGUNAN POLITIK DAN DEMOKRASI

A. PENDAHULUAN
Berakhirnya pemerintahan Soekrno (Orde Lama) pada tahun 1965 dan
diangkatnya Soeharto sebagai presiden Baru mengisyaratkan regulasi birokarasi ala
orde lama. Pengangkatan Soeharto sebagai Presiden didasarkan pada TAP MPRS
Nomor. IX/MPRS/1966 yang dituangkan dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai
titik awal berdirinya sebuah rezim yang kemudian manamakan diri sebagai Orde Baru
Birokrasi yang sebelumnya diduduki oleh partai politik yang beridiologi Nasionalis,
Komunis dan Agama (Nasakom), secara total dirombak pada masa orde baru. Orde
baru memandang bahwa adanya polarisasi idiologi menjadi tiga kekuatan politik
menyebabkan stabilitas politik secara nasional terbagi-bagi terhadap orientasi yang
berbeda dalam pembangunan nasional.
Rezim Orde Baru adalah merupakan rezim baru yang tampil di atas keruntuhan
demokrasi terpimpin memiliki makna tatanan kehidupan Negara dan bangsa yang
diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, sehingga
harapan akan tumbuhnya demokrasi awal Orde Baru tidak hanya dimiliki oleh
kalangan elit politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, tetapi juga
dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Studi Francois Raillon menunjukkan
bahwa para mahasiswa memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik

baru yang lebih segar dan demokrtais.1 Untuk itu, harapan tumbuhnya demokrasi
tersebut memiliki dasar argumentasi empiris yang memadai, menyangkut tiga hal.
Pertama, berbeda dengan demokrasi terpimpin Soekarno yang lahir sebagai produk
rekayasa elite, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus
keinginan dari bawah. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya
pembebasan pluralism dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah
pemerintahan yang tumbuh dari bawah, Orde Baru seyogiyanya member tempat bagi
aktualisasi politik masyarkat.
Kedua,

rekruitmen politik ditingkat nasional yang dilakukan oleh

pemerintahan Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan kesejajaran
dengan Daniel Bell yang sangat popular pada saat itu. Daniel Bell sebagaimana
1

Francios Railon, Politik dan Idiologi Mahsiswa Indonesia: Pembentukan dan
Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Jakarta: LP3ES, hlm.163.

dikutip oleh Mochtar Mas’oed meyebut bahwa formulasi kebijakan politik tidak lagi

diserahakan pada peran politisi dan ideology, tetapi pada para teknokrat.2 Perluasan
dan reorentasi dalam demokrasi Orde Baru, rekruitmen politik yang mengintegrasikan
kalangan teknorat kedalam struktur kekuasaan ini dianggap mengindikasikan akan
terjadinya reorentasi politik dikalangan penguasa sejalan dengan komitmen para
teknokrat yang pada saat itu dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya
kelompok teknokrat kedalam struktur kekuasaan diharapkan member pengaruh pada
kinerja Negara, dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijannya sehingga lebih
mementingkan proses politik yang bottom up dan lebih berorientasi pada publik.
Ketiga, sejalan dengan kedua dasar empiris tersebut, masa awal Orde Baru
ditandai terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam Negara dan
masyarakat. Tiga pusat kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden, Militer
dan Partai Komunis Indonesia digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru, yaitu militer,
teknokrasi dan birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik kemasyarakatan selama masa
Demokrasi Terpimpin terhambat aktualisasinya untuk muncul di permukaan,
meskipun Militer menjadi pilar utama kekuasaan, kekuatan-kekuatan egaliter juga
tumbuh sehingga dikenal sebagai “bulan madu” yang singkat antara Negara dan
kekuatan kemasyarakatan Orde Baru. Ketiga dasar empiris tesebut sekalipun masih
sangat tentative, namun sangat memadai untuk menjadi alas an tumbuhnya harapan
demokratisasi
Rezim Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari kelompok-kelompok

yang ingi terbebas dari kekacaun masa lalu, baik kekacauan politik, ekonomi maupun
budaya. Pembangunan politik yang dilakukan oleh pemerintah berorientasi pada usaha
penyelamatan ekonomi nasional, terutama dalam hal pengendalian inflasi,
penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pemerintahan orde baru bermaksud melakukan penataan kembali seluruh kehidupan
bangsa dan Negara. Pada aspek pembangunan politik Orde Baru tampil kepentas
politik dengan membawa gaya politik yang berbeda, semacam menghidupkan kembali
gaya demokrasi liberal, dan berusaha memberikan kepuasan dibidang ekonomi. Akan
tetapi, langkah tersebut hanya pada masa- masa awal kekuasaan sebab semakin lama
seperti yang terjadi pada kemudian hari, Orde Baru ternyata semakin menunjukkan
2

Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES,
1989, hlm.136

dirinya sebagai Negara yang kuat dan berperan aktif dalam mengelola Negara yang
mengabaikan aspirasi rakyat. Militer merupakan kekuatan sentral dalam penyusunan
agenda Orde Baru, bahkan menjadi garda terdepan dalam menjalnkan kekuasaanya
dalam bidang politik dan ekonomi.3 Dengan demikian, nyata bahwa pada awal
perjalanannya, Orde baru dihadapkan pada masalah penciptaan mekanisme politik

yang baru dan berusaha memuskan pendukungnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembahasan ini akan dibahas dua aspek
yaitu, Pertama, Pembangunan Demokrasi Pada Masa Orde Baru. Kedua,
Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik Pada Masa Orde Baru. Kedua Aspek
akan diuraikan lebih lanjut.
B. Pembahasan
1. Pembangunan Demokrasi Pada Masa Orde Baru
Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan dengan
tingkat perkembangan ekonomi, politik, dan idiologi sesaat atau temporer. Tahuntahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang
besar, yang oleh Mochtar Lubis disebut sebagai “musim semi kebebasan”. 4 Pada
masa yang tidak lebih dari tiga tahun, kekuasaan seolah-olah didistribusikan pada
kekuatan-kekuatan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kalangan elite perkotaan dan
organisasi social politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar
untuk berpatisipasi mendukung program-progrma pembaharuan pemerintahan
baru.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, prototype demokrasi itu
mengabur ketika bulan madu Negara-masyarakat juga menghambar dan berakhir.
Titik tolaknya adalah kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 memperoleh suara
mayoritas 62,8%.5 Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunngungi militer
memperoleh legitimasi politik kongkrit melalui kemenangan ini dan segera

melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat itulah
kesenjangan Negara dan masyarakat mulai terbentuk, yang ditandai dengan
3

Eddy Budiarso, Menentang Tirani, Aksi Mahsiswa 77/78, Jakarta:Grasindo, 2000,
hlm.2-3
4
HU, Kompas, 8 maret 1992
5
R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta:
LP3ES, 1992, hlm.31

maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja Orde Baru dan
kebijakannya, dan berpuncak pada terjadinya Malapetaka Lima Belas Januari
(Malari). Para analis politik melihat bahwa kecenderungan pengetatan regulasi
ekonomi dan politik yang dilakukan oleh Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya
kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan
Orde Lama, serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang
kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini
diterjemahkan oleh Orde baru dengan mengembangkan model rekayasa politik

daripada model partisiatif.
Kesenjangan antara Negara dan masyarakat semakin lebar. Orde baru
mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang tidak tersentuh dan relative ototnom,
sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkaran kekuasaan dan proses
formulasi kebijakan. Keadaan ini adalah hasil akumulasi dari berbagai fakto yaitu:
a. Kemenangan demi kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu yang memberikan
legitimasi politik yang semakin kuat pada Negara;
b. Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi, depolitisasi dan
institusionalisasi;
c. Dipakinya pendekatan keamanan;
d. Intervensi Negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan
keleluasaan pada Negara untuk mengakumulasi modal dan kekuatan ekonomi;
e. Terjadinya sumber pembiayaan pembangunan, baik dari eksploitasi minyak
bumi dan gas serta dari komoditas non-migas dan pajak domestic maupun yang
berasal dari bantuan luar negeri;
f. Berhasilnya Orde Baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan
pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensial muncul
karena sebab structural.6
Tampak bahwa system politik Orde Baru berpijak atas dasar penggunaan
kekuasaan, dengan cara mengooptasi lembaga lain seperti, legislative, yudikatif,

partai politik, dan ABRI sebagai alat kekuasaan. Pada sisi lain, pemerintah pusat
telah melancarkan kebijakan yang bersifat “sentralistik” atas daerah tingkat satu
dan daerah tingkat dua, karena hampir semua hasil sumber daya alam dan
6

Eep Saefullah Fatah, Maslah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional.
Bandung: remaja Rosdakarya, 2000, hlm.24

kewenangan berbagai bidang, seperti birokrasi, anggaran, politik, dan keamanan
dijalankan oleh pusat. Dengan cara tersebut kebijakan Orde Baru telah
mengukuhkan bentuk pemerintahan yang bersifat otoriter dan sentralistik.7
Oleh karena itu, disadari ataupun tidak , Orde Baru menghadapi dua ancaman
yang bersifat laten, yaitu ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Eksterm kanan
dipresesikan sebagai kelompok Islam fanatic yang mingingkan perubahan dasar
Negara dari Pancasila menjadi Islam, sedangkan ekstem kiri digambarkan sebagai
kaum komunis yang juga mengancam pancasila. Untuk mengantisipasi bahaya
tersebut, pemerintah melancarkan persiapan yang komprehensif untuk konsolidasi
system politik Orde Baru yang bertujuan mendapatkan stabilitas politik dan
ekonomi dalam jangka panjang.8 Untuk itu pemerintah mengesahkan UndangUndang Politik pada tahun 1984 yang memosisikan ABRI sebagai pemain utama
dalam bidang pertahanan keamanan dan social politik tanpa batas waktu. Pada

tanggal 23 Juni 1984 Presiden Soeharto menunjuk Soeparjo Rustam selaku Menteri
Dalam Negeri, untuk membacak lima Rancangan Undang Undang (RUU) yaitu
RUU Amandemen untuk UU Pemilu, RUU DPR/MPR, RUU Amandemen Parpol
dan Golkar, RUU Referendum dan RUU Organisasi Massa. Dalam Pidatonya,
Soepardjo menegaskan bahwa kelima RUU dilakukan untk melaksanakan
Demokrasi Pancasila. Lima RUU ini secara substansial bertujuan untuk:9
a. Pemantapan

dan pengamalan

Pancasila

dalam

kehidupan

politik

kemasyarakatan kita.
b. Pembangunan dan pendidikan politik afdalah penting warga Negara,

sehingga mereka mengetahui hak dan kewajibannya.
c. Pelaksaan pemilihan umu sebagai sarana demokrasi Pancasila setiap lima
tahun sekali dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia yang
diselnggarakan oleh Presiden selaku pemegang mandate dari MPR.
d. Pancasila satu-satunya asas dalam dasar organisasi poltik dan organisasi
kemasyarakatan.
e. Referendum sebagai jalan keluar bagi revisi UUD 1945.

7
8
9

Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini…, hlm, 187
Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini…, hlm, 205
Muhammad Hisyam, Krisis Masa Kini…, hlm, 206

Disahkannya lima RUU di bidang politik tersebut semakin memosisikan
pemerintahan Soeharto berada di kekuasaan.10 Ada dua indikasi kearah itu.
Pertama, pemerintah menguasai control yang sempurna atas politik Indonesia,
baik dari mekanisme pemilu kenaggotaan DPR/MPR dan organisasi politik serta

Organisasi Kemasyarakatan yang akan terus bergantung pada pemerintah. Kedua,
posisi soeharto sebagai presiden semakin kuat dan sebaliknya kekuatan oposisi
terahadap pemerintahan Orde Baru semakin lemah.
Selanjutnya, dengan kekuasaan yang begitu tinggi, Orde Bru sukses dalam
memacu pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, tetapi sebagai biaya
sosialnya pemerataan dan pembangunan demokrasi tidak dapat dicapai secara
mengesankan. Kesenjangan distribusi kekuasaan mengkonstuksikan keadaan yang
berbeda dengan harapan yang tumbuh pada awal kelahiran Orde Baru.
2. Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik Pada Masa Orde Baru
Setelah dilantik sebagai presiden, sesuai dengan amanat TAP MPRS No.
XLI/1968 tentang tugas pokok cabinet pembangunan, Soeharto membentuk Kabinet
Pembangunan untuk menggantikan Kabinet Ampera yang disempurnakan.11 Pasal 1
TAP MPRS No XLI/1968 menggariskan lima tugas pokok, yaitu melanjutkan tugas
cabinet Ampera sebagai berikut:
1) Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak
berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan
pemilihan umum.
2) Menyusun dan melaksanakan pembangunan rencana pembangunan lima
tahun.
3) Melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan ketetapan MPRS No.
XLII/MPRS/1968
4) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis
habis sisa G.30.S / PKI dan setiap peronrongan, penyelewengan, dan
penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;

10

William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada masa awal Orde Baru,
Jakarta: Grafti Press, 1992, hlm.133.
11
Saldi Isra, Pergerakan Fungsi Legislasi…, hlm.134.

5) Melanjutkan penyempurnaan dan pemebersihan secara menyeluruh
aparatur Negara dari tingkat pusat sampai daerah.
Oleh karena itu, fokus perhatian dalam pemerintahan Soekarno
adalam pembangunan lima tahunan dan pemilihan umum.untuk melaksanakan
pemilihan umum tersebut, dengan persetujuan DPR GR tanggal 17 Desember 1969
Presiden SOeharto mengesahkan undang-undang nomor 15 tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan (UU No.
15 tahun 1969). Setelah pemilihan umum tahun 1971, sidang umum MPR tahun
1973 kembali memilih Soeharto menjadi persiden Republik Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa parktek system pemerintahan pada era Soeharto mengarah
pada Pemusatan Kekuasaan dan tanggungjawab terhadap presiden, sebagaimana
termaktub dalam penjelasan angka IV UUd 1945. Keberhasilan pemilu tahun 1971
pun memberikan legitimasi yang kuat terhadap Orde Baru dalam menjalankan
pemerintahannya.
Secara structural, presiden adalah orang yang duduk dalam hirarki tertinggi
pemerintahan. Selain dijamin oleh konstitusi, kedudukan hirarkis ini juga dibentuk
oleh praktik politik yang dijalankan Negara manapun yang menempatkan eksekutif
sebagai

pengenadali

operasi

pemerintahan

dan

pemilik

kekuasaan

real.

Bagaimanapun, eksekutif adalah core of government. Presiden Orde baru, dalam
kedudukannya sebagai kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan,
tidak dapat dihindari lagi menjadi pengisi puncak hirarki politik dan kekuasaan.
Dalam praktik politik Orde Baru, posisi puncak hirarki yang diduduki
presiden praktis ditempatinya sendiri. Hal ini dimungkinkan paling tidak oleh dua
hal. Pertama, system politik Indonesia masa Orde Baru pada dasaranya tidak
menempatkan wakil presiden sebagai pemegang posisi kunci dalam pemerintahan
yang memiliki kekuasaan real dan prinsipil. Wapres dalam praktik politik Orde
Baru hanya ditempatkan sebagai pembantu. Ia diberi tugas sebagai pembantu
sehari-hari. Kalaupun kemudian wapres diberi tugas pengawasan pembangunan,
pemeberian tugas khusus itu tidak dilengkapi dengan pemilikan wewenang atau
otoritas menentukan dan memberikan sanksi secara leluasa sebagai otnom. Kedua,
kesendirian presiden dalam hirarki puncak dibentuk pula oleh keberhasilan presiden
dalam mengatur tata kerja para pembantunya, dari tingkat menteri sampai eselon
paling bawah. Hal ini diakui oleh Presiden Soeharto sendiri dalam otobigrafinya,

yang diadasri oleh dua factor, yaitu : (1) secara yuridis formal, konstitusi memang
menempatkan menteri dan aparat pemerintahan lainnya sebagai pembantu presiden
dan bertanggungjawab kepada kepada presiden; (2) Presiden Soeharto berhasil
menempatkan dan mengatur para pembantunya dengan system kerja yang ketat dan
terkendali.
Kedudukan dan kesendirian Presiden Soeharto dalam puncak hirarki juga
dibentuk secara sangat halus dan canggih sedemikian rupa sehingga hal itu tidak
menjadi problem politik yang mencolok. Padahal, hadirnya partai politik merupakan
media untuk menghubungkan keinginan masyarakat dalam mengomunisasikan hasrat
masyarakat pada elite pemerintah.

Demikian pula sebaliknya, kebijakan dari

pemerintah disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, partai politik berfungsi juga
untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional atau berfungsi
juga untuk mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke. 12
Fungsi integrative dan artikulatif partai poltik inilah yang diabaikan sepanjang sejarah
kekuasaan Soeharto. Kebutuhan rezim Orde Baru untuk integrasi nasional dan
memperantarai rakyat dengan elit pemerintahan depenuhi melalui kekuatan angakatan
bersenjata dan Golkar. Dengan demikiam terjadi monopoli politik yang berimpilikasi
pada monopoli ekonomi serta praktik Negara kekuasaan yang tidak berdasar pada
landasan konstitusional UUD 1945 yang pada akhirnya melanggar hak asasi manusia.
Sepanjang sejarah politik Orde Baru, dapat diidentifikasi dua pola distribusi
kekauasaan yang berbeda. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal orde
baru, pada saat presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri dan masih
terkolektifikasi dalam angkatan darat atau militer. Pola kedua, setelah Golongan
Karya (Golkar) memenangi dua kali Pemilu, penguasa Orde Baru memiliki legitimasi
politik yang kongkrit dan kokoh. Pada hasil pemilihan umum pertama tahun 1971,
Orde Baru menunjukkan kemenanpegan mutlak atas kekauatan golongan anti partai
politik, yang diorganisasi dalam Golkar yang memenangi sekitar 65%. Untuk suskes
besar ini, serangkaian rekayasa politik dilakukan. Diantaranya dengan kebijakan agar
partai

politik tidak mempunyai hubungan langsug dengan konstituen mereka.

Pengurus partai dan kantornya hanya bertugas sampai tingkat kabupaten. Tidak boleh
sampai kecamatan , apalagi desa-desa. Sementara itu Golkar, sebagai kekuatan bukan
partai politik, dapat memobilisasi massa langsung melalui birikrasi pemerintah
hingga tingkat desa, bahkan RT/RW. Pada pola kedua ini, perlahan tapi pasti,
12

Saiful Mujani, Soeharto dan Rezim Anti Partai, Tempo, Edisi Khusus Soeharto, hlm.45

presiden mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri dan akhirnya menjadi pusat
kekuasaan.
Ketidakefektifan control legislative dibentuk oleh keberhasilan Golkar
menjadikan dirinya sebagai kekuatan politik hegemonic dan dominan di DPR,
sementara parai politik lain menjadi partai gurem. Arto melHal ini terjadi karena
menjelang pemilihan umum 1977, Soeharto melakukan penyederhanaan system
kepartaian, dari spuluh partai menjadi 3 (tiga) partai. Penyederhanaan tidak
dilakukan secara lazim, misalnya diserahkan pada hasil Pemilu dan peningkatan
electoral tresolg, tetapi dengan cara sewenang-wenang. Parati yang berlatarbelakang
Islam disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai yang
berhaluan Nasionalis seperti PNI dan partai non muslim disatukan , menjadi PDI.
Dengan demikian, kekuatan politik Golkar semakin menguat dengan adnya
“duet historis” Golkar-ABRI di lembaga legislative. Melalui prosedur pengangkatan,
ABRI mewakilkan anggotanya dalam lembaga legislative dalam jumlah yang
signifikan. Dua kekuatan politik besar ini merupakan duet politik yang terbukti solid
dengan orientasi politik yang sulit dibedakan. Postur Golkar dan ABRI yang
hegemonic dalam lembaga legislative memiliki implikasi yang luas terhadap
penguatan kekuasaan startegis di tangan presiden dan melemahnya kontrol
terhadapnya. Impilaksi ini dimungkinkan mengingat bersatunya tiga posisi yang
mengepalai kekuasaan eksekutif, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan
Ketua Dewan Pembina Golkar. Ketiga posisi strategis yang menyatu pada presiden
tersebut menyebabkan presiden menjadi sumber aliran kekuasaan, baik dalam
elemen legislative maupun eksekutif.
Hal ini terjadi setelah presiden didudukkan sebagai ketua Dewan Pembina
Golkar, sebuah jabatan dalam Golkar yang sejak Munas II tahun 1978 di Bali,
memperoleh kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar. Soeharto
membuat kebijakan baru bahwa semua organisasi politi, seprti Parati Politik, harus
berasas sama, yakni Pancasila. Golakar tumbuh menjadi kekuatan bukan partai
poltik, melainkan bentuk lain dari Negara. Deparpolisasi oleh Soeharto ini berlanjut
dengan mengontrol partai partai yang sudah tidak beroritas prebentuk itu dengan
mendukung figure-figur yang dapat dipercaya oleh pemerintah.
Pada saat otoritas presiden dalam Golkar berpadu dengan kekuatan konkret
presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata yang memiliki garis
komando ke Mabes ABRI dan akhirnya Fraksi ABRI di DPR-MPR, aliran

kekuasaan di lembaga legislative menjadi benar-benar

bersumber pada tangan

Presiden.13 Mengingat presiden merupakan penguasa puncak eksekutif, secara
strukural, kontorl politik terhadap eksekutif dan presiden pun terhambat. Keadaan ini
menjadikan presiden sebagai pemegang kekuasaan tanpa kontrol yang efektif.
Sementara itu, kontrol politik dari oposisi juga tidak terlibat efektif sepanjang masa
Orde Baru. Pada satu sisi kedaan ini tercipta akibat kelemahan utama oposisi yang
tidak teroraganisasi dengan baik sehingga gerakan oposisi bersifat temporal dan
parsial.
Secara prinsipil, ketidakefektifan kontrol politik oposisi sepanjang masa Orde
Baru disebabkan factor struktur politik makro. Kelembagaan oposisi tidak diakui
keberadaannya dalam struktur kelembagaan politik formal sehingga tidak memiliki
saluran politik. Lebih jauh lagi, sikap-sikap oposisional pun menjadi tidak
terakomodasikan

dalam

strukur

dan

proses

formulasi

kebijakan

politik.

Ketidakefektifan kontrol politik terhadap presiden didukung pula oleh adanya
kondisi partisipasi politik Orde Baru yang khas.
Apabila dilihat dari proses politik di atas permukaan, partisipasi pollitik
masyarakat berjalan cukup baik selama masa Orde Baru. Dalam empat kali Pemilu
yang diadakan, angka partisipasi masyarakat senantiasa di atas 90% karena jika
tidak ikut Pemilu, rakyat dianggaap menengang pemerintah dan dianggap
melakukan perbuatan Subversif.

C. KESIMPULAN
Esensi pembahasan pertama tentang Pembangunan Demokrasi Pada Masa
Orde Baru adalah bahwa demokrasi pada masa Orde Baru mengalami pasang surut
sejalan dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik, dan idiologi sesaat atau
temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh kebebasan
politik yang besar, kekuasaan seolah-olah didistribusikan pada kekuatan-kekuatan
kemasyarakatan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, prototype demokrasi
itu mengabur ketika bulan madu Negara-masyarakat juga menghambar dan
berakhir. Titik tolaknya adalah kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 dengan
13

Lufti Wahyudi, Demokrasi Orde Baru…,hlm.33.

memperoleh

suara

mayoritas

62,8%.

Pemerintahan

Orde

Baru

yang

ditulangpunggungi militer memperoleh legitimasi politik kongkrit melalui
kemenangan ini dan segera melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik
secara ketat. Pada saat itulah kesenjangan Negara dan masyarakat mulai terbentuk,
yang ditandai dengan maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap
kinerja Orde Baru dan kebijakannya
-

Esensi Pembahasan Kedua tentang Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik
Pada Masa Orde Baru adalah Secara structural, kepemimpinan presiden adalah
orang yang duduk dalam hirarki tertinggi pemerintahan. Selain dijamin oleh
konstitusi, kedudukan hirarkis ini juga dibentuk oleh praktik politik yang
dijalankan Negara manapun yang menempatkan eksekutif sebagai pengenadali
operasi pemerintahan dan pemilik kekuasaan real. Bagaimanapun, eksekutif adalah
core of government. Presiden Orde baru, dalam kedudukannya sebagai kepala
Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan, tidak dapat dihindari lagi
menjadi pengisi puncak hirarki politik dan kekuasaan.

D. DAFTAR PUSTAKA
Alfan,

Muhammad, Kamaluddin, Untung . Dinamika Politik Di
Indonesia. Perjalanan Politik Sejak Orde Lama Hingga
Reformasi. Bandung 2015

Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan
Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII
Press
Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara.Ghalia Indonesia.Jakarta.1994
Isra, Saldi 2010, Pergerakan Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Jakarta: Raja Garfindo
Haris Syamsuddin, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia.
Yogyakarta, 2014
Hisyam, Muhammad Krisis Masa Kini.
Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta:
LP3ES, 1989
Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD
1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press
Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik
Konstitusi.Yogyakarta: FH UII Press
Saiful Mujani, Soeharto dan Rezim Anti Partai, Tempo, Edisi Khusus Soeharto,
``````hlm.45
Saefullah Fatah , Eep, Maslah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin
Konstitusional. Bandung: remaja Rosdakarya, 2000