Marhaenisme Sebagai Marxisme Ala Indones
MARHAENISME SEBAGAI MARXISME ALA INDONESIA1
Oleh: Pandu Yuhsina Adaba2
Pengantar
Kategori Marhaen diajukan oleh Bung Karno tahun 1923, tercatat di DBR (Djilid 1)
melalui chapter marhaen dan proletar, kemudian diulangi lagi dalam pidato Lahirnya
Pancasila3. Secara sederhana Marhaen adalah kaum melaratnya Indonesia.4 Hal ini
kemudian dianggap kontradiktif dengan model analisa kelas bebasis kepemilikan alat
produksi seperti yang sering digunakan oleh analisis Marxian. Kenapa kontradiktif?
Karena dalam kategori Marhaen tercakup unsur-unsur pemilik faktor produksi dalam
jumlah kecil seperti tani, nelayan, tukang becak, tukang sayur, dan lain-lain. Pemisahan
kelas berdasarkan analisis Marxian adalah dengan melihat kepemilikan faktor produksi,
sementara Marhaen seolah tidak setegas itu dalam mendikotomi elemen penyusun
masyarakat. Maka jika dilihat dari sudut pandang ini, pemikiran Bung Karno (yang dalam
beberapa tulisannya mengakui dirinya adalah seorang pengagum pemikiran Karl Marx)
seolah mengandung kontradiksi:
1. Marhaenisme adalah marxisme (salah satu poin penting marxisme adalah analisa
kepemilikan faktor produksi) yang diterapkan dalam sikon Indonesia
2. Marhaen bisa punya alat produksi, tapi proletar (yang tidak punya alat produksi)
termasuk marhaen.
Dari dua poin diatas kemudian banyak orang yang bingung soal bagaimana pandangan
marhaenis terhadap kepemilikan faktor produksi? Pertanyaan ini menjadi hantu yang
bergentayangan menteror para pengkhotbah marhaenisme. Tentu masih dibutuhkan
serangkaian upaya untuk menemukan jawaban valid atas pertanyaan ini.
Di sisi lain, ada kesalahan yang cukup mengkhawatirkan. Seringkali pemikiran Bung
Karno direduksi sebatas pada slogan/jargon nasionalisme, padahal sebenarnya
marhaenisme bukan sekedar soal nasionalisme. Pandangan sempit seperti ini berpotensi
menimbulkan kesalahan chauvinistik: pembelaan membabi buta terhadap segala sesuatu
yang berbau “nasional” termasuk kapitalis nasional maupun komprador dari kalangan
pribumi. Seringkali kesalahan chauvinistik seperti ini berakhir pada slogan kosong
semacam “NKRI Harga Mati”5 yang jika ditarik ke level landasan maupun definisi
1
Disusun sebagai Materi Diklat Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) GMNI Komisariat Fisipol UGM tahun
2013.
2
Kader GMNI Komisariat Fisipol UGM angkatan 2006. Kepala Biro Penguatan Kader GMNI Komisariat
Fisipol Perode 2007-2008. Pendiri penerbitan pers mandiri sayap organisasi GMNI Komisariat Fisipol
UGM “PRIBOEMI”. Pegiat Penelitian Sosial.
3
Soekarno (1945), Lahirnya Pantjasila, Pidato di Sidang BPUPKI Tanggal 1 Juni 1945. Arsip pribadi RM
AB Kusuma yang dimuat dalam: AB Kusuma (2010), Lahirnya UUD 1945, Jakarta, Fakultas Hukum UI.
4
Soekarno (1964), Marhaen dan Proletar dalam: Di Bawah Bendera Revolusi (Djilid 1), Jakarta, Panitya
Pembina Jiwa Revolusi. Hal 253.
5
Saya secara pribadi memandang bahwa slogan “NKRI harga mati” ini adalah justru yang dikhawatirkan
Soekarno terhadap potensi chauvinistik nasionalisme. Potensi chauvinistik sudah diantisipasi Soekarno
dengan rumusan Sosio-Nasionalisme untuk mencegah paham pembelaan memabi-buta terhadap segala hal
berbau “nasional”. Selengkapnya lihat: Soekarno (1945), Lahirnya Pancasila.. Ibid.
operasionalnya ternyata tidak ditemukan jawaban yang jelas. Resiko lain dari pandangan
sempit ini adalah potensi munculnya sikap xenophobia yaitu sikap anti terhadap segala
sesuatu yang berbau “asing” secara membabi-buta.
Kontradiksi seperti ditunjukkan tersebut seringkali berujung tuduhan bahwa marhaenisme
adalah pandangan yang kontradiktif, jargonistik, dan inkonsisten sehingga dengan
sendirinya menjadi tidak relevan untuk diperjuangkan lagi. Jawaban tentang hal ini?
seringkali kita sebagai marhaenis gagal merumuskan jawaban, dan menurut saya ini
disebabkan oleh beberapa hal:
1. Menganggap pikiran Soekarno adalah dogma yang harus ditelan mentah-mentah
serta tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Kesalahan ini menyebakan adanya
kesalahan kedua yaitu:
2. Kegagalan kita memberikan tafsir kreatif terhadap pemikiran Soekarno tersebut
membuat pemahaman kita atas marhaenisme menjadi statis sehingga
marhaenisme menjadi tidak up to date lagi ketika berhadapan dengan perubahan
jaman.
Dari poin ke 2 itu maka kita harus menafsirkan ajaran Soekarno secara kreatif sehingga
benalu dogmatis (pada poin 1) otomatis menjadi batal. Tafsiran yang kreatif ini tentu
bukan tafsiran yang asal aneh, namun harus didasari oleh perenungan mendalam maupun
pemahaman-pemahaman baru yang muncul seiring perjalanan jaman yang tentunya
diikuti pula dengan beberapa perubahan sosial. Kita harus mengkontekskan kembali
pemikiran-pemikiran Soekarno ini ke dalam realitas jaman yang terus berubah.
Kita akan memulai paparan ini dengan berupaya menjawab pertanyaan: Perjalanan
pemikiran seperti apa yang dialami Soekarno sehingga menghasilkan pemikiran model
marhaenisme ini? Untuk menjawab hal itu (dimana ini merupakan dialog antara marxis
dan marhaenis) kita perlu menengok terlebih dahulu pokok-pokok pikiran Marx sebagai
pendahuluan. Tentu uraiannya akan tidak menangkap keseluruhan pemikiran Karl Marx
melainkan hanya beberapa poin saja yang kemudian terkait dengan sikon yang melandasi
lahirnya pemikiran Marhaenisme. Hal ini perlu untuk memudahkan kita memahami
sistematika berpikir Marxian dengan model Materialisme Dialektik Historis (MDH).
Tentang Materialisme
Pandangan Materialisme ini BUKANLAH seperti yang sering kita dengar saat ini
mengenai “sikap yang mementingkan mengejar materi” atau dalam istilah gaulnya
“Matre”. Istilah materialisme seperti pengertian tadi merupakan reduksi atau bahkan
penyelewengan yang dibuat oleh lawan-lawan politik kaum materialis untuk
memunculkan kesan bahwa kaum materialis adalah kaum hedonis yang hanya suka
mengejar kenikmatan dunia dengan cara menumpuk materi atau kekayaan. Dalam
definisinya yang direduksi itu, materialisme yang telah direduksi maknanya itu kemudian
dilawankan dengan “istilah idealis” yang sering diartikan: orang yang punya bayangan
ideal terhadap sesuatu, teguh memegang prinsip, orang yang tindakannya didasari
gagasan yang ideal mengenai sesuatu hal.
Pandangan Materialis adalah pandangan yang menyatakan bahwa kenyataan yang nyata
adalah materi itu sendiri, bukan sekedar pantulan inderawi dari otak manusia. Dalam hal
ini pandangan materialisme memang berlawanan dengan pandangan idealisme. Apa itu
pandangan idealisme? Pandangan idealisme menganggap kenyatan hanya merupakan
pantulan/citra yang berhasil ditangkap oleh otak manusia lewat proses penginderaanya.
Ringkasnya, kenyataan adalah kesadaran manusia itu sendiri. maka kemudian muncul
istilah “aku berpikir maka aku ada”. Kenyataan dalam pandangan idealis adalah
kenyataan subjektif – psikologis.6
Sebagai lawan dari Idealisme, Materialisme berkeyakinan bahwa yang senyatanya ada
adalah materi itu sendiri. Materi bisa ada tanpa ada pengetahuan manusia tentangnya.
Sebagai ilustrasi misalnya sebuah ponsel bisa tetap ada tanpa ada manusia yang
melihatnya. Contoh lain misalnya, gravitasi tetap ada walaupun pengetahuan manusia
tentangnya tidak ada (hukum gravitasi baru bisa ditemukan sejak Isaac Newton
merumuskannya). Kenyataan dalam pandangan materialis adalah kenyataan objektif –
fisikalis.7
Perbedaan ontologis antara idealisme dan materialisme itu merupakan distingsi yang
sangat penting yang kemudian turun ke level ilmu pengetahuan sektoral lainnya termasuk
ilmu sosial seperti sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi dan politik. Salah satu
contohnya adalah perbedaan dalam memandang kesejahteraan. Bagi kalangan idealis,
kesejahteraan itu letaknya di dalam kesadaran manusia, sehingga dimungkinkan orang
yang secara matematis-ekonomis sangat miskin (dalam artian punya nilai kesejahteraan
sangat minim) namun merasa sejahtera karena pikirannya menyatakan demikian.
Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, namun kurang lengkap.8 Materialisme yang
melengkapinya: bahwa untuk timbul sebuah kesadaran harus ada manusia yang sadar.
Syarat minimal dari adanya manusia yang sadar itu (yaitu cukup kebutuhan ekonominya
untuk mempertahankan hidupnya) harus dipenuhi dulu sebelum timbul kesadaran
darinya. Mengenai perbedaan ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut saat kita
membahas soal basis-bangunan atas.
Soal Basis – Suprastruktur9
Basis adalah prakondisi yang memungkinkan adanya suprastruktur. Dalam uraian
sebelumnya kita sudah membahas bahwa untuk timbul sebuah kesadaran, syarat yang
harus dipenuhi adalah adanya objek yang sadar yaitu manusia itu sendiri. Dalam
6
Martin Suryajaya (2012), Marxisme Sebagai Ilmu, Makalah disampaikan dalam diskusi di PMB LIPI,
Jakarta. (tidak diterbitkan). Hal 7.
7
Martin Suryajaya (2013), Asal Usul Kekayaan, Yogyakarta, Resist Book. Hal 168-170.
8
Martin Suryajaya memperlihatkan distingsi ini dengan analogi Teori Heliosentris: dalam pandangan mata
subjek pengamat terlihat bahwa matahari mengelilingi bumi, padahal kenyataan objektifnya justru
sebaliknya. Disitulah letak keterbatasan pendekatan idealisme yang mengandalkan kesadaran subjektif
psikologis. Ibid hal: 158 (Asal Usul Kekayaan).
9
Pemahaman saya mengenai relasi basis suprastruktur ini banyak saya ambil dari tulisan-tulisan (Asal Usul
Kekayaan dan Marxisme Sebagai Ilmu) maupun diskusi dengan Martin Suryajaya. Untuk itu saya sangat
berterimakasih kepada Martin. Sebagai pembanding, saya gunakan tulisan Romo Magnis dalam: Franz
Magnis Suseno (1999), Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Hal 135-151.
preposisi itu maka didapati bahwa manusia yang sadar menjadi basis dari adanya
kesadaran tentang sesuatu:
1. Adanya obyek yang sadar yaitu manusia. (prakondisi)
2. Adanya kesadaran yang timbul. (dimungkinkan karena adanya prakondisi)
Logika sederhana itulah yang mendasari pemikiran Karl Marx mengenai basissuprastruktur. Untuk memberi pemahaman sedikit lebih detail mengenai dasar berpikir
yang kemudian melandasi pemikiran tentang basis-bangunan atas akan saya gunakan
sebuah ilustrasi tentang segelas kopi.10
1. Segelas kopi adalah realitas ekonomis (bisa diperjual-belikan, hasil dari proses
produksi)
2. Segelas kopi adalah realitas kimia (tersusun dari senyawa senyawa hidrogenoksigen dan senyawa lain)
3. Segelas kopi adalah realitas biologi (kopi adalah bagian dari tanaman sebagai
makhluk hidup)
4. Segelas kopi sebagai realitas fisika (ada struktur atomik di dalam butir-butir kopi)
5. Dan lain lain.
Dari poin poin yang diajukan terlihat bahwa dalam segelas kopi itu terkandung banyak
kenyataan tak beraturan yang menyusunnya. Pemikiran tentang basis-bangunan atas
merapikan berbagai kenyataan tak beraturan itu menjadi sebuah susunan yang logis:
1. Segelas kopi adalah realitas fisika (atomik) yang menjadi prakondisi bagi:
2. Adanya segelas kopi sebagai realitas kima (persenyawaan antar atom) yang
menjadi prakondisi bagi:
3. Adanya segelas kopi sebagai realitas biologi (organisme tanaman yang tersusun
dari berbagai sel-sel yang didalamnya adalah persenyawaan) yang menjadi
prakondisi bagi:
4. Segelas kopi sebagai realitas ekonomis (barang dagangan yang berasal dari
tanaman tertentu)
Dari relasi itu terlihat, realitas fisika segelas kopi menjadi basis bagi realitas segelas kopi
sebagai entitas kimia, biologi, dan ekonominya. Stratifikasi kenyataan seperti inilah yang
menjadi dasar berpikir Karl Marx dalam merumuskan pemikiran tentang basissuprastruktur. Ada prakondisi yang menjadi syarat bagi adanya sesuatu. Stratifikasi
kenyataan itu ketika diterapkan dalam menganalisa masyarakat kemudian menemukan
fenomena:
1. Adanya sistem ekonomi masyarakat (adanya proses produksi, distribusi, sirkulasi,
konsumsi).
2. Adanya sistem politik masyarakat (pemilu, kekuasaan, demokrasi, diktator, dll)
3. Adanya sistem kebudayaan masyarakat (seni, arsitektur, sastra, iptek, agama, dll)
10
Analogi segelas kopi saya pinjam dari Martin Suryajaya ketika menjelaskana mengenai stratifikasi
kenyataan ala Roy Bhaskar dalam: Martin Suryajaya “Marxisme Sebagai Ilmu”.. ibid hal 11-13 .
4. Dll.
Dari berbagai fenomena kemasyarakatan tersebut kemudian Marx melihat bahwa
keberadaan sistem ekonomi masyarakatlah yang menjadi prakondisi bagi adanya sistem
kemasyarakatan yang lain (politik-dan kebudayaan). Mengapa demikian? Sebab adanya
(produksi-distribusi-sisrkulasi-konsumsi) adalah syarat masyarakat untuk tetap hidup.
Ketika masyarakat tetap hidup maka adanya ekspresi politik dan kebudayaan menjadi
dimungkinkan. Tidak mungkin ada sistem politik dan kebudayaan dari kumpulan mayatmayat. Tanpa adanya masyarakat yang hidup maka tidak mungkin ada politik dan
kebudayaan. Marx menyebut sistem ekonomi masyarakat ini sebagai basis dan sistem
yang ada atas prakondisi itu (politik-kebudayaan) sebagai suprastruktur.
Seperti apa relasi basis dengan suprastruktur? Apakah basis yang mempengaruhi
suprastruktur atau sebaliknya? Pertanyaan ini seringkali menimbulkan perdebatan
lingkaran setan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa meskipun basis menentukan
keberadaan suprastruktur, namun suprastruktur kemudian dapat menentukan basis.
Misalnya:
1. kebijakan pertanian soal impor komoditas pangan (politik) membuat petanipetani rugi sehingga menjadi miskin (ekonomi).
2. Namun disisi lain kegagalan petani miskin memproduksi komoditas pangan
(ekonomi) menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor komoditas
pangan (politik).
Alternatif jawaban terhadap pertanyaan tentang relasi ini adalah bahwa keduanya saling
mempengaruhi namun sifatnya yang berbeda.11 Relasi basis dengan suprastruktur adalah
relasi absolut, sedangkan relasi suprastruktur terhadap basis adalah relasi relatif. Perlu
dicatat juga bahwa relasi antara basis dengan suprastruktur tidaklah selalu berupa relasi
saling menentukan melainkan relasi kondisi-prakondisi.
Di sisi lain juga timbul pertanyaan yang muncul berdasarkan fakta-fakta empirik:
mengapa perubahan basis tidak selalu ekuivalien dengan perubahan struktur? Misalnya
adalah kegagalan petani di sebuah negara untuk memproduksi komoditas pangan ternyata
tidak berujung kepada kebijakan impor karena pemimpin pemerintahannya membenci
kebijakan impor? Analisa dengan skema basis-suprastruktur yang diterapkan untuk
melihat sebuah fenomena tertentu adalah valid sejauh faktor-faktor yang lain dianggap
konstan (dalam kajian ekonomi dikenal istilah ceteris paribus), sehingga analisa dengan
skema itu merupakan analisa sistem tertutup.12 Fenomena yang dianalisa ditutup dalam
sistem yang memuat kategorisasi tertentu. Pengisolasian antar elemen dalam sebuah
fenomena sosial itu sebenarnya merupakan metode umum dalam riset-riset sosial dan
bahkan dalam ilmu-ilmu alam.13
11
Aidit mengungkapkan jawaban tentang hal ini dengan konsep “peranan aktif daripada ide”. Lihat: DN
Aidit (1964), Tentang Marxisme.. ibid. Hal 31.
12
Martin Suryajaya, Marxisme Sebagai Ilmu.... ibid.
13
Mengenai model riset yang menggunakan metode ini misalny dijumpai dalam gagasan yang diajukan
Wallace. Selengkapnya lihat: Walter Wallace (1990), Metode Logika Ilmu Sosial, Jakarta, Bumi Aksara.
Tentang Dialektika
Pengertian sederhana dari Dialektika adalah cara berpikir tiga tahap yaitu dari tesis –
antitesis – sintesis. Model berpikir seperti ini merupakan sumbangan filsafat dari seorang
tokoh bernama GWF Hegel yang merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam
pikiran-pikiran Karl Marx. Menurut Hegel, perkembangan suatu hal itu ditentukan oleh
kontradiksi intern dalam hal itu. kontradiksi itu ketika mencapai titik klimaksnya akan
menghasilkan suatu lompatan (sprong) kepada kualitas baru atas hal itu. Proses dialektika
ini memandang dunia sebagai satu kesatuan organik. Gejala-gejala yang ada didalamnya
memuat kesalinghubungan sebagai suatu badan kesatuan. Selain terjadi dalam gejala
semesta, dialektika juga terjadi di dalam akal manusia.14 Ilustrasi dari dialektika misalnya
seperti ini:
1. Pulau adalah tanah (tesis)
2. Pulau bukan hanya tanah. Dipinggir pulau ada air (antitesis)
3. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (sintesis).
Proses Dialektika berhenti setelah mencapai tahap sintesis? Tidak, sintesis itu akan
menjadi tesis baru yang akan menemui antitesisnya lagi sehingga tercipta sintesis baru.
Demikian proses itu terus berulang hingga mencapai apa yang dinamakan dengan
“kebenaran absolut”. Ilustrasi dari hal itu misalnya bisa kita lihat:
1. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (tesis baru yang berasal dari sintesis)
2. Tanah yang dikelilingi air belum tentu pulau, misalnya tanah yang ada di kolam
kecil. (antitesis)
3. Pulau adalah tanah luas yang dikelilingi air lautan (sintesis yang akan menjadi
tesis baru)
Demikianlah ilustrasi sederhana itu untuk menjelaskan mengenai contoh dialektika.
Metode dialektika ini sebenarnya mirip dengan beberapa pandangan tradisional semacam
“panta rhei”, cokro manggilingan dan berbagai istilah lokal yang pada intinya
memandang “ proses perkembangan suatu hal adalah gerak daripada kontradiksi
internal dalam hal itu”.
Pandangan Tentang Sejarah15
Pandangan Sejarah Marx adalah hasil aplikasi dari metode Materialisme-Dialektis untuk
menganalisa perkembangan sejarah. Untuk masuk ke dalam bahasan ini tentu harus
diingat kembali apa itu materialisme dan apa itu dialektika.
Materialisme memandang bahwa kenyataan itu berada di objek bukan di subjek. Maka
sejarah tidak terjadi dalam otak atau kesadaran manusia melainkan terjadi secara objektif.
Epos-epos sejarah yang ditulis oleh subjek-subjek itu bisa jadi benar atau bisa jadi salah,
namun itu hanyalah bagian dari sejarah objektif yang senyatanya terjadi. Apa konskuensi
14
DN Aidit (1964), Tentang Marxisme, Jakarta, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham. Hal 26.
Pemahaman tentang bagian ini banyak didapat dari buku DN Aidit (1964), Tentang Marxisme... ibid. hal
48-71.
15
dari pandangan ini? Pandangan ini memandang sejarah bukan sekedar perjalanan cerita
orang-orang besar (penguasa-pahlawan) yang saling berebut kekuasaan secara silih
berganti. Sejarah bagi materialisme juga mencakup sejarah mengenai orang-orang yang
tak tertulis di dalam sejarah bahkan lebih jauh: sejarah juga mencakup apapun (orang dan
bukan orang misalnya benda-benda mati) dalam lintasan sejarah itu.
Jika sejarah dominan diwarnai oleh cerita mengenai tokoh-tokoh besar (raja-pahlawansuperhero-pendekar sakti dll) yang dengan konsepnya atau pemikirannya berhasil
membuat cerita sejarah, Marx menunjukkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya.
Sejarah adalah sebenarnya soal kelas-kelas pekerja yang berjalan bersama tokoh-tokoh
besar itu dalam lintasan waktu. Seorang raja mengarungi lintasan waktu sejarah bersama
lebih dari seribu pengikutnya. Uniknya raja inilah justru yang jadi cerita sejarah
sementara seribu lebih pengikutnya tidak.
Yang ingin ditunjukkan oleh pendekatan materialisme adalah bukan selalu menyalahkan
epos-epos sejarah soal tokoh-tokoh besar (meskipun epos-epos itu seringkali memuat
cerita-cerita misktik yang tak masuk akal). Yang ingin ditunjukan sebenarnya adalah
bahwa sejarah mengenai raja-raja maupun penguasa-penguasa adalah hanya sebagian
(atau sebagian kecil) dari sejarah yang terjadi sebenarnya. Sejarah tokoh besar bisa jadi
(hanya) merupakan kenyataan yang berhasil ditangkap oleh keterbatasan subjektif si
pengamat (dimungkinkan karena pengamat/penulis terfokus pada tokoh-tokoh besar yang
ditulisnya).
Ketika pandangan materialis ini dilengkapi pisau analisa dialektis untuk membaca sejarah
maka konskuenasinya adalah: perkembangan sejarah suatu masyarakat merupakan
perkembangan kontradiksi internalnya masyarakat tersebut. Ada gerak dialektis dalam
perkembangan sejarah masyarakat. Lantas apa yang berkontradiksi dalam sebuah
masyarakat itu?
Dimuka telah dibahas mengenai pemikiran basis-suprastruktur yang memperlihatkan
bahwa sistem ekonomi masyarakat adalah basis sedangkan suprastruktur adalah sistem
politik dan kebudayaan sehingga untuk melihat gerak dialektis sejarah masyarakat
haruslah kita lihat gerak dialektis dalam sistem ekonominya. Pembacaan dengan cara
inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Materialisme-DialektikaHistoris (MDH).
Melalui MDH, Marx melihat bahwa kontradiksi dalam perkembangan sejarah adalah
kontradiksi dalam ranah ekonomi yaitu: antara yang untung dengan yang rugi, antara
yang ditindas dengan yang menindas, antara yang dikuasai dengan yang menguasai dll.
Melaui pembacaanya itu kemudian dia berkesimpulan bahwa sejarah perkembangan
masyarakat adalah sejarah kontradiksi antara masyarakat pekerja dengan masyarakat
yang mempekerjakannya atau lebih ringkasnya: kontradiksi antara kelas pekerja dan yang
mempekerjakannya.
Soal Tingkat Perkembangan Masyarakat dan Proses Produksi yang Menjadi
Basisnya.
Melalui penerapan MDH, Marx menemukan bahwa pembeda kelas dalam sistem
ekonomi ada di ranah produksi yaitu: kepemilikannya atas faktor produksi. Melalui
pembeda itu marx membuat kategorisasi antara kelas pemilik faktor produksi dengan
kelas yang tidak memiliki faktor produksi. Mengapa ranah produksi menjadi unit analisa
signifikan? Karena produksi adalah proses yang menjadi prakondisi bagi kegiatan
ekonomi sesudahnya (lihat kembali uraian dimuka tentang logika stratifikasi kenyataan).
tanpa adanya ranah produksi maka tidak mungkin ada ranah distribusi-sirkulasikonsumsi. Melalui MDH, Marx mencoba membuat analisa sejarah mengenai tingkat
perkembangan masyarakat berdasarkan kepemilikan atas faktor produksi16.
16
Masyarakat Komune Primitif : Belum ada Pembagian kerja yang dominan atar
anggota masyarakat. Kegiatan produksi terutama diarahkan untuk mendapat “nilai
pakai”. Kepemilikan bersama atas faktor produksi (seperti alat alat berburu
hewan) maupun hasil produksi. Masyarakat masih bersifat nomaden (belum
menetap) karena sumber kesejahteraan (terutama makanan) tersedia melimpah di
alam sehingga tinggal mencari saja (tidak perlu memproduksi). Corak ekonomi
subsisten yaitu produksi dan distribusi hanya dilakukan untuk mempertahankan
hidup. Apakah dalam tingkat masyarakat seperti ini belum ada penindasan? Tentu
saja ada: pemimpin-pemimpin dari komune-komune itu (biasanya adalah orang
yang secara fisik paling kuat) seringkali hanya mendapat jatah makanan dari
anggota-anggotanya (padahal dia menjadi pemimpin karena fisiknya yang kuat
sehingga bisa bertarung dengan hewan-hewan buruan). Pada perkembangannya,
gesekan antar komune adalah gesekan yang didasari perebutan lahan perburuan
makanan. Selain itu, tak jarang juga ada kontradiksi dalam internal komune yaitu
antara pemimpin dengan anggota dimana anggota yang tertindas ingin menjadi
pemimpin untuk hidup lebih enak dan mendapat penghormatan lebih.
Masyarakat Feodal : tingkatan ini adalah perkembangan dari masyarakat komune
primitif. Perkembangan penegetahuan manusia soal bercocok tanam dan ilmu
peternakan membuat mereka tidak lagi harus bergantung pada makanan yang
yang disediakan oleh alam. Ini kemudian berimbas juga kepada corak
produksinya. Masyarakat tidak lagi hidup nomaden namun mulai tinggal secara
menetap di sebidang tanah tertentu. Dalam perkembangan ini, kepemilikan atas
tanah sebagai faktor produksi menjadi penting. Muncul dua kelas dalam
masyarakat yaitu: tuan tanah dan penyakap/petani. Tuan tanah tidak perlu
mengerjakan tanahnya sendiri karena dia cukup memungut sewa tanah dan
meminta upeti dari para petani. Dalam konsep kerajaan, posisi raja adalah pemilik
tanah yang menerima upeti dari para bawahannya (para punggawa, adipati,
senopati dll) yang sebenarnya merupakan hasil dari kerja para petani yang tinggal
di wilayah kekuasaanya.
Pemahaman hal ini saya dapat dari buku DN Aidit (1964), Tentang Marxisme.... ibid. Hal 67.
Masyarakat Kapitalis : berkembangnya sistem perdagangan memunculkan kelas
baru yang menjadi dominan dalam sistem ekonomi yaitu pemodal. Di dalam
sistem kapitalis, kelas dalam produksi adalah pemodal dan pekerja. Dengan modal
yang dia punya, pemodal membeli tenaga kerja untuk memproduksi barang. Jika
dalam sistem feodal para petani masih punya hubungan langsung dengan barang
yang diproduksinya, maka dalam sistem kapitalis pekerja terpisah sama sekali
dari barang yang telah diproduksinya. Barang itu otomatis menjadi milik pemodal
yang telah membeli tenaga kerjanya. Apabila pekerja ingin memiliki barang yang
diproduksinya, maka dia harus membelinya pada pemodal. Jika pada masa feodal
sumber pendapatan petani adalah produksinya sendiri (yang sebagian harus
diberikan kepada tuan tanah), maka dalam sistem kapitalis seumber penghidupan
pekerja adalah upah dari pemodal. Dalam skema feodalisme proses produksi
masih didominasi oleh penciptaan/penambahan nilai pakai suatu barang,
sedangkan dalam sistem kapitalis proses produksi terutama dilakukan untuk
penciptaan/penambahan nilai tukar.
Kontradiksi Dalam Masyarakat Kapitalis17
Dalam bagian ini kita akan membahas mengenai beberapa poin dalam masyarakat
kapitalis yang perlu kita kenali. Tentu tidak semua poin diajukan disini karena aspek
aspek yang dibahas sebenarnya sangatlah luas. Yang akan dibahas disini hanyalah poinpoin pentingnya saja. Sebagai awalan kita akan membahas mengenai ekonomi barang
dagangan.
17
Ekonomi barang dagangan:
Seperti diterangkan dimuka bahwa ciri dari ekonomi kapitalis adalah adanya jual
beli sebagai proses pertukaran paling dominan dalam kehidupan masyarakat. Ciri
ini bukan berarti bahwa dalam sistem masyarakat selain kapitalisme tidak ada
perdagangan. Dalam feodalisme misalnya, pertukaran barang dagangan sudah ada
namun belum menjadi sesuatu yang dominan. Pertukaran dengan cara barter, gift
dan bahkan rampasan masih banyak dijumpai. Lain halnya dengan kapitalisme
dimana proses jual beli adalah bentuk paling lazim dari pertukaran kebutuhan
dalam masyarakat.
Produksi Nilai Tukar
Dalam setiap barang dagangan terkandung 2 nilai sekaligus yaitu nilai pakai dan
nilai tukar. Pada sistem ekonomi sebelumnya (komune primitif dan feodalisme)
proses produksi terutama adalah dalam rangka memproduksi nilai pakai. Ini
berbeda dengan masyarakat kapitalis dimana kerja terutama dicurahkan untuk
memproduksi nilai tukar. Produksi dalam sistem kapitalis adalah untuk mencari
keuntungan bukan memenuhi kebutuhan.
Pertukaran antar nilai pakai
Apa yang terjadi dalam perdagangan adalah pertukaran nilai pakai. Artinya
pertukaran itu terjadi antara nilai pakai yang berbeda. Jika nilai pakai yang
dipertukarkan sama, maka tidak perlu ada pertukaran. Contohnya dalah
pertukaran pisau dengan pisau. Uang dalam hal ini sebenarnya hanyalah
DN Aidit (1964), Tentang Marxisme.... ibid. Hal 74.
merupakan perantara dari pertukaran nilai pakai tersebut. Dalam kasus
lanjutannya, ketika uang itu sendiri sudah menjadi barang dagangan(seperti dalam
kasus perdagangan antar mata uang), maka logika pertukaran itu sendiri menjadi
semakin absurd.
Dari poin tersebut dimuka maka timbul pertanyaan: apa indikator untuk menentukan nilai
suatu barang dalam perdagangan? Menurut logika stratifikasi kenyataan seperti pernah
diterangkan sebelumnya, terlihat bahwa nilai pakai adalah prakondisi bagi adanya nilai
tukar. Keberadaan nilai tukar hanyalah pantulan saja dari keberadaan nilai pakai sehingga
nilai tukar itu sendiri tidak bisa jadi basis pengukuran dalam pertukaran. Di sisi lain,
pertukaran terjadi antar nilai pakai yang berbeda sehingga tidak dapat dihitung berapa
nilai perbandingan nilai pakai sepatu (sebagai alas kaki) dengan nilai pakai topi (sebagai
penutup kepala).
Marx kemudian menemukan basis keseukuran dalam proses pertukaran antar nilai pakai
dalam “kerja kemasyarakatan yang dicurahkan untuk memproduksinya”. Teori nilai kerja
ini berakar jauh sampai pemikiran Aristoteles mengenai basis keseukuran dalam proses
pertukaran. Sebelum Marx, sudah ada beberapa orang yang mencoba menganalisa
mengenai teori nilai kerja ini (misalnya Adam Smith, David Ricardo, William Petty).
Kerja kemsyarakatan bukanlah kerja sosial dalam pengertian awam (kerja bakti,
menggalang sumbangan untuk korban bencana, aksi donor darah dll). Kerja
kemasyarakatan yang dimaksud oleh Marx adalah kerja yang dicurahkan untuk
memproduksi suatu barang dibandingkan dengan kerja keseluruhan masyarakat. Kerja
kemasyarakatan tidak mempertimbangkan bentuk kerja kongkrit yang dilakukan
(misalnya menjahit, menanam, mengukir, dsb) tapi memandang itu dalam substansinya
saja yaitu “kerja”. Oleh karena itu, kerja kemasyarakatan bisa diistilahkan sebagai “kerja
abstrak”.
Kerja abstrak adalah pembentuk nilai suatu barang. Karena kerja abstrak tidak
mempertimbangkan bentuk kerja kongkritnya, maka yang diukur adalah lama waktu yang
dicurahkan untuk memproduksi suatu barang itu. Semakin lama waktu kerja abstrak yang
diperlukan untuk memproduksi suatu barang, semakin tinggi nilai barang tersebut.
Apakah ini berarti semakin malas seorang pekerja memproduksi suatu barang akan
semakin menghasilkan nilai yang tinggi? Jawabannya adalah bukan. Waktu kerja abstrak
yang dimaksud adalah optimal rata-rata masyarakat dan dengan rata rata teknologi yang
digunakan maupun intensitas yang dicurahkan. Pendek kata: kerja sosial bukan dihitung
secara individual tapi secara sosial.
Laba dalam Kapitalisme
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai tukar adalah pantulan dari nilai pakai. Nilai
tukar tidak dapat dilihat dari bendanya. Misalnya kita tidak dapat melihat nilai tukar
sepatu dari sepatu itu sendiri. Untuk melihat nilai tukar, kita harus membandingkannya
dengan barang lain. Misalnya kita akan menggunakan analogi sederhana:
1 ekor ayam = 3 bungkus rokok = 2 potong kaos oblong.
4 bungkus rokok = 3 piring siomay = 1 buah buku
Dalam analogi tesebut tampak sangat sederhana, namun di dalam prakteknya menjadi
sangat rumit karena melibatkan berbagai barang dan berbagai keperluan, tentunya
melibatkan berbagai orang pula. Oleh karena itu secara alamiah mulai muncul apa yang
dinamakan dengan alat tukar yang pada perkembangannya sampai pada bentuknya yang
paling maju yaitu “uang”. Uang pada mulanya hanya berfungsi sebagai alat tukar dalam
skema pertukaran :
Barang A uang Barang B
Barang B uang Barang C
Dalam skema pertukaran tersebut, uang hanya digunakan sebagai perantara kebutuhan
produsen barang A terhadap barang B. Demikian pula terlihat bahwa uang hanyalah
perantara kebutuhan produsen barang B terhadap barang C. Pendek kata dalam
pertukaran model ini uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Sifat pertukaran dalam
perdagangan semacam ini adalah “untuk memenuhi kebutuhan”.
Dalam skema kapitalisme, maka model pertukaran sebelumnya menjadi terbalik karena
funsi uang bukan sebagai alat tukar saja melainkan sebagai alat penumpuk kekayaan.
Pertukaran dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan “untuk mencari
keuntungan”. Dalam titik ekstrimya, uang menjadi barang dagangan itu sendiri. maka
akan terlihat analogi sederhana sebagai berikut:
Uang x Barang Uang y (uang x + laba)
Jumlah uang dalam perdagangan model ini tentu bebeda antara uang x dengan uang y.
Uang y tentu lebih banyak dari uang x karena sudah bertambah dengan laba. Jika uang y
lebih kecil dari uang x maka pedagang bisa dikatakan rugi. Sedangkan jika uang x sama
dengan uang y maka pedagang tidak mendapat apa-apa. Pedagang bertindak sebagi
pemodal, dan hanya dialah yang bisa mendapat keuntungan dari skema seperti ini.
Kenapa demikian? Karena dalam kapitalisme, pekerja terpisah sama sekali dari produk
yang dibuatnya sekaligus dari alat produksi yang digunakanya. Alat produksi dan produk
itu dimiliki oleh kapitalis sedangkan pekerja sudah dibeli tenaga kerjanya dengan “upah”.
Inilah yang kemudian disebut dengan “Alienasi”.
Darimana uang itu berasal? Ekonom-ekonom kapital menyatakan bahwa pertambahan itu
ada dari selisih antara ongkos produksi dan harga jual. Maka ongkos produksi + Laba =
harga jual. Benarkan demikian? Marx punya jawaban lain mengenai hal ini yang akan
coba diilustrasikan lewat analogi berikut ini:
Ongkos produksi untuk menciptakan barang A adalah 3 yang terdiri dari
komponen bahan mentah (1),tenaga kerja (1) dan laba (1). Maka total harga jual
untuk 1 unit barang x adalah 1+1+1=3
Untuk membuat 1 unit barang A diperlukan waktu 1 jam, sementara pabrik
beroperasi selama 8 jam sehingga jumlah barang yang dibuat dalam sehari adalah
8 unit barang A. Artinya pendapatan yang didapat oleh pemodal dari penjualan 8
barang A dalam sehari adalah 8 x 3 = 24.
Maka dapat kita lihat bahwa ongkos produksi yang sebenarnya ditanggung oleh
pemodal dalam sehari hanyalah tenaga kerja sebanyak 8 dan bahan mentah
sebanyak 8 sehingga total jumlahya adalah 8 + 8 = 16.
Maka sebenarnya dengan bekerja selama 6 jam saja sudah tercipta 6 unit barang
A yang artinya harga jualnya 6 x 3 = 18. Artinya pemodal sudah untung sebanyak
18 – 16 = 2
Faktanya setelah 6 jam bekerja dan menghasilkan laba sebesar 2 kepada kapitalis,
buruh masih harus bekerja lagi selama 2 jam karena pabrik beroperasi selama 8
jam, jadi kapitalis masih mendapat tambahan laba lagi sebesar 2 unit barang A x 3
= 6. Total dalam sehari kapitalis mendapat keuntungan 8.
Dari persamaan tersebut bisa dilihat bahwa laba kapitalis bukanlah sekedar selisih antara
harga produksi dengan harga jual. Laba itu dimungkinkan karena ada kelebihan jam kerja
yang diberikan buruh namun keuntungannya diambil oleh kapitalis. Kenapa hal itu bisa
terjadi? Karena kerja buruh sudah dibeli oleh kapitalis bukan berdasarkan nilai barang
yang akan diciptakannya melainkan berdasarkan jamnya. Pekerja tidak pernah mendapat
bagian dari laba atas penjualan barang yang diciptakannya karena dia sudah dibeli dengan
upah.
Persamaan matematis seperti ini oleh Marx disebut sebagai teori “Nilai Lebih”. Seorang
kapitalis untuk mendapatkan keuntungan harus membelanjakan uangnya untuk membeli
dagangan yang apabila digunakan dapat memberikan pertambahan nilai dari barang
dagangan itu sendiri dan barang lain. Satu-satunya barang yang punya sifat khas seperti
itu adalah tenaga kerja. Nilai lebih dari tenaga kerja inilah yang menjadi keuntungan bagi
kapitalis.
Pola perdagangan dengan skema kapitalisme ini mempunyai konskuensi. Kekayaan akan
semakin terkonsentrasi kepada segelintir kapitalis, sementara pekerja mendapat
penghasilan yang konstan atau bahkan berkurang jika dihadapkan pada kecenderungan
kenaikan harga. Di sisi lain, kenaikan harga adalah kebutuhan tak terelakkan dari
kapitalis untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan serta menghadapi persaingan
dengan perusahaan lain. Kenyataan ini tentu tak dapat dilepaskan dari fakta bahwa
keuntungan bagi sebagian orang berarti kerugian bagi sebagian yang lain.
Imperialisme Sebagai Perkembangan Tertinggi Kapitalisme18
Apa itu imperialisme? Imperialisme adalah tingkat kematangan yang tinggi dari
kapitalisme yang beroperasi. Terdapat perbedaan pandangan mengenai hal ini:
1. Imperialisme muncul sebagai nafsu dari negara industri maju untuk menguasai
perekonomian negara yang industrinya terbelakang. Pandangan ini meskipun
memandang negatif terdap imperialisme namun lebih dekat ke tradisi pemikiran
idealis yaitu memandang imperialisasi dilandasi oleh nafsu subjektif negara
industri maju.
2. Imperialisme adalah konskuensi tak terhindarkan akibat “ruang hidup”
kapitalisme di negara maju sudah terlalu sempit sehingga perlu mencari ekosistem
baru untuk mepertahankan hidupnya. Imperialisme bukan sekedar nafsu menjajah
negara industri maju ke negari agraris.19 Pandangan ini lebih dekat ke tradisi
materialis yaitu memandang imperialisme adalah produk suatu hubungan
produksi pada tahap tertentu.
Dari dua pendapat tersebut, pandangan kedua lebih mampu menjelaskan gejala yang
bernama “imperialisme” karena disitulah kita bisa menganalisanya lebih dari sekedar
nafsu, tapi sebuah implikasi dari sebuah proses.20 Imperialisme adalah kapitalisme
sekarat yang mencari ruang hidup baru untuk mempertahankan hidup. Kenapa
kapitalisme bisa sekarat? Sebab kapitalisme mempunyai kontradiksi tak terdamaikan
dalam dirinya sendiri yaitu kontradiksi antar kelas antara buruh dan kapitalis. Jika
kontradiksi ini terus berlanjut, maka akan tercipta suatu kondisi dimana konflik antara
buruh dan majikan menemui titik klimaksnya terjadi menjadi suatu revolusi. Untuk
menghindari titik klimaks inilah, maka kontradiksi dari operasi kapital yang sudah jenuh
di suatu tempat harus dipindahkan ke tempat lain yang masih memungkinkan.
Titik jenuh kapitalisme adalah karena sifat inheren dalam sistem itu sendiri dimana modal
akan semakin terkonsentrasi ke segelintir kapitalis. Dalam kondisi ini, maka akan terjadi
apa yang disebut surplus kapital. Surplus kapital ini tidak bisa tidak, harus diputar
kembali dalam proses produksi untuk meningkatkan laba (dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup perusahaan sekaligus menghadapi persaingan dengan kapitalis lain).
Kapitalis-kapitalis di negara industri maju kemudian harus mencari ruang baru untuk
memutar surplus kapital ini di negeri-negeri yang masih terbelakang.
18
Bagian tulisan ini dirangkum dari beberapa tulisan yaitu: Lihat Bab VIII dari VI Lenin (2011),
Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme, tulisan terjemahan Ted Sprague yang diunduh penulis dari
website marxis.org pada bulan Mei 2011. Lihat juga: Ken Budha Kusumandaru (2004), Memperkenalkan
Konsep Lenin Tentang Imperialisme dalam: Jurnal Demokrasi Vol 2 No 3 Mei 2004, Yogyakarta, Forum
LSM DIY. Hal 3-25.
19
VI Lenin, Imperialisme, Tahapan... ibid.
20
Ini gagasan yang kemudian dilanjutkan oleh Bung Karno ketika melakukan analisa mengenai
Imperialisme Belanda di Indonesia. BK Merekam perbedapat mengenai imperialisme sebagai nafsu
maupun sebabagi konskuensi beroperasinya kapital yang kemudian mencapai titik jenuh. Berbagai
peendapat soal imperialisme dibandingkan seperti pendapat dari Otto Bauer, Rosa Luxemburg, VI Lenin,
Karl Kautsky, dan Rudolf Hilferding. Selengkapnya lihat dalam: Soekarno (1964) Swadhesi dan Massa
Aksi Di Indonesia, artikel dalam DBR Jilid 1. Hal 121-158.
Pada titik inilah kita dapat membaca bahwa proses tejadinya kolonialisasi bukanlah
sekedar didorong oleh nafsu negeri maju untuk menjajah negeri terbelakang, bukan pula
didorong oleh motivasi “pemberadaban” ala gold-glory-gospel. Kolonialisme adalah
imperialisme itu sendiri dimana bukan sekedar tentara kolonial menyerbu negeri jajahan
namun lebih dari itu: sistem dan investasi dari kapitalisme itulah yang berpindah ke
negeri jajahan.
Marhaen Muncul Sebagai Produk Imperialisme Belanda di Indonesia
Marhaen adalah orang melaratnya Indonesia sebagai akibat imperialisme. Maka untuk
masuk ke bahasan mengenai marhaen, kita harus membedah imperilaisme di Indonesia.
Imperialisme yang masuk ke Indonesia adalah imperialisme Belanda. Untuk melihat
seperti apa imperialisme Belanda, kita harus melihat kapitalisme yang melahirkannya,
yaitu kapitalisme Belanda. Menurut Bung Karno: corak imperialisme ditentukan oleh
corak kapitalisme yang melahirkannya. Sebagai negara dengan wilayah yang relatif kecil
serta miskin sumber daya alam, kapitalisme Belanda adalah kapitalisme yang mencari
bahan baku bagi industrinya. Mengapa demikian? Sebab wilayah Belanda yang kecil itu
tidak memungkinkan tersedianya bahan baku industri secara optimal bagi proses
produksinya. Karena sifat kapitalismenya yang mencari bahan baku itu, maka
kepentingan imperialisme Belanda di Indonesia adalah ketersediaan bahan baku dengan
harga murah.21
Ketika imperialisme Belanda mulai masuk ke wilayah nusantara, dia berjumpa dengan
tradisi tradisi pra-kapitalis baik itu masyarakat feodal maupun masyarakat pra-feodal.
Kecenderungan di barat (eropa) kepentingan kapitalis dan penguasa feodal itu
berseberangan, namun ternyata hal itu tidak terjadi di Indonesia. Feodalisme justru
mempunyai kepentingan yang sebangun dengan kapitalisme, sehingga jika di Eropa
datangnya kapitalisme mengakhiri feodalisme, di Indonesia justru feodalisme dihidupi
oleh imperialsme.22 Mungkin perbedaan kecenderungan ini terasa janggal. Maka untuk
melihat itu kita perlu untuk menengok penjelasan Prof. JH Boeke. Pertama tama kita
perlu melihat bagaimana feodalisme itu hidup di Indonesia saat awal kapitalisme
datang.23
Pada masa feodalisme, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di unit-unit ekonomi
mandiri bernama “desa”.24 Corak produksinya terutama bersifat subsisten yaitu
menghasilkan nilai pakai (bahan makanan untuk dimakan), bukan nilai jual. Pertukaran
masih sangat sedikit, dan apabila terjadi surplus, masyarakat lebih memilih
menyimpannya di lumbung sebagai cadangan makanan apabila datang masa paceklik.25
21
Soekarno (1964), Swadhesi dan Massa Aksi... ibid.
DN Aidit (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Jakarta, Yayasan Pembaruan. Hal 9.
23
Pada bagian ini saya terinspirasi oleh teori Boeke tentang “Ekonomi Dialistik”. Selengkapnya lihat: JH
Boeke (1983) Masyarakat Pra-kapitalis Asia, Jakarta, Sinar Harapan. Hal 15.
24
Dede Mulyanto (2011), Antropologi Marx, Bandung, Ultimus. Hal 67-75.
25
Bahkan di masa sekarangpun kita masih dapat menjumpai sisa-sisa masyarakat dengan corak produksi
seperti ini di pedalaman-pedalaman luar jawa. Bagaimanapun cepat atau lambat model-model seperti ini
akan semakin bersentuhan dengan kapitalisme.
22
Arus barang produksi dari desa ke kota terutama berstatus sebagai upeti kepada
penguasa-penguasa feodal yaitu raja dan bangsawan-bangsawan. Kota-kota terutama
bersifat administratif dan sangat minim terjadi proses produksi. Perdagangan di kota
terutama terjadi antara para penguasa feodal dengan orang-orang asing. Orang-orang desa
yang bekerja di kota biasanya hanya bersifat kerja sampingan saja. Perkerjaan utamanya
adalah bertani. Kerja di kota hanya bersifat mencari tambahan penghasilan dan secara
periodik (apabila musim tanam selesai – sesuai periode masa tanam tertentu).
Lalu dimanakah letak perbedaan kepentingan tuan tanah – kapitalis di Eropa dan di
Indonesia? kita akan lihat lewat poin-poin berikut ini. Pertama kita akan melihat apa yang
terjadi di belahan dunia barat (Eropa)
1. Di Eropa Karakter kapital yang menyedot banyak tenaga kerja dari pedesaan
(agraris) ke arah perkotaan (industri) membuat kepentingan kapitalis dan para
tuan tanah menjadi berseberangan karena:
2. Dengan tersedotnya tenaga kerja pedesaan ke perkotaan, maka desa menjadi
kekurangan tenaga kerja sehingga para tuan tanah harus mengupah tenaga kerja
untuk mengerjakan tanahnya. Semakin berkurang tenaga kerja di pedesaan,
semakin tinggi upah yang harus dibayar tuan tanah kepada pekerja. Ini tentu
merugikan para tuan tanah.
3. Di sisi lain, para kapitalis industri akan semakin berusaha menyedot banyak
tenaga kerja ke kota industrial karena kepentingian mereka jelas: Dengan semakin
banyaknya tenaga kerja di perkotaan, maka harga tenaga kerja (upah) akan
semakin murah.
Ketiga poin tadi menjelaskan latar belakang konflik antara para tuan tanah dan para
kapitalis di Eropa. Di Indonesia hal itu tidak terjadi karena:
1. Kepentingan Belanda mencari bahan baku bisa didapat dari para tuan tanah dan
bangsawan feodal. Mereka tinggal membeli saja komoditas yang sudah
disediakan oleh para tuan tanah dengan harga murah karena:
2. Para tuan tanah dan bangsawan feodal mendapatkan komoditas yang akan
dijualnya kepada Belanda secara gratis yaitu upeti dari rakyat yang menyewa
tanah darinya.
3. Para pekerja industri perkotaan (yang mulai tumbuh namun minim) justru
menguntungkan para tuan tanah karena mereka berasal dari petani pedesaan yang
hanya mencari tambahan penghasilan pada periode tertentu. Tambahan
penghasilan bagi petani berarti tambahan kemampuan membayar sewa tanah
kepada tuan tanah. Kondisi ini bisa dimanfaatkan para tuan tanah untuk
menaikkan harga sewa tanah.
4. bagi para bangsawan, tambahan penghasilan petani dari kerja sampingan di kota
juga menguntungkan. Para petani bisa meningkatkan produksi mereka shingga
para bangsawan bisa meminta tambahan upeti dari para petani.
Dalam kondisi imperialisme yang seperti ini, maka yang muncul bukanlah kelas proletar
melainkan para petani yang dimanfaatkan oleh tuan tanah dan kapitalis. Apakah di
Indonesia tidak tumbuh kelas proletar? Tentu saja tumbuh, namun sangat terbatas. Pada
fase awal VOC, Kepentingan VOC terutama mencari bahan baku yaitu komoditas
pertanian. Hal ini menyebabkan VOC tidak membuatnya perlu mendirikkan pabrikpabrik besar di Indonesia sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan kelas pekerja.
Kelas yang tertindas dalam sistem imperialisme seperti ini sebagian besar adalah kaum
tani. Maka dari itulah Bung Karno mengasosiasikan marhaen sebagai sosok petani yang
ditemuinya di Cigereleng.
Seperti apa Bung Karno menganalisa imperialisme Belanda di Indonesia? Pengetahuan
akan ini menjadi penting agar kita dapat mengikuti alur pikiran Soekarno yang kemudian
melahirkan pemikiran tentang marhaen. Dalam artikelnya “Swadeshi dan Massa Aksi di
Indonesia (1932), Bung Karno mencoba membuat distingsi antara Imperialisme Inggris
di India dengan Imperialisme Belanda di Indonesia.26
Imperialisme Inggris di India lahir dari kapitalisme pasca revolusi industri yang
menyebabkan adanya surplus produksi di negara asalnya (Inggris) sehingga mereka harus
membuat barang-barang itu laku agar sirkulasi keuangan tidak macet. Dari karakter itu
kita dapat melihat bahwa sifat Imperialisme inggris adalah “menjual hasil produksi”.
Untuk itu, koloni-koloni Inggris, harus dibuat mempunyai daya beli namun juga tidak
boleh mempunyai kekuatan produksi yang terlalu kuat (karena akan mengancam
dominasi perdagangan barang hasil produksi Inggris).
Imperialisme Inggris disebut banci oleh Bung Karno karena sifatnya yang ambivalen:
menghambat tumbuh berkembangnya produsen pribumi, namun tidak membunuhnya
sama sekali (karena dengan mematikan produsen dalam pribumi, maka daya beli
masyarakat India akan hilang). Dalam kasus ini, perlawanan menggunakan strategi
Swadhesi yang dilancarkan oleh Mahatma Gandhi (semacam gerakan boikot produk
asing) menjadi signifikan dilakukan karena akan menghantam kepentingan utama
Imperialis.
Berbeda dengan Imperialisme Inggris, Imperialisme Belanda lahir dari Kapitalisme yang
berbeda. Imperialisme Belanda tidak lahir akibat surplus produksi yang timbul karena
revolusi industri. Sebaliknya imperialisme Belanda justru mencari hasil-hasil produksi
agraris dari negeri jajahanya (tentunya dengan harga yang semurah-murahnya).
Imperialisme Belanda adalah Imperialisme kolot. Dia lahir dari negeri yang tidak
mempunyai syarat cukup baik bagi timbulnya industri (miskin sumber daya alam sebagai
bahan baku maupun sebagai bahan bakar). Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan
industri bumiputera bukan hanya dihambat, namun kalau perlu dimatikan. Kenapa? Agar
bumiputera tak punya pilihan selain menjual hasil hasil agrarianya dengan harga
berapapun.
26
Analisa Soekarno terhadap imperialisme di Indonesia sertidaknya bisa di baca di 3 tulisan: Swadhesi dan
Massa Aksi di Indonesia (Suluh Indonesia Muda 1923), Mencapai Indonesia Merdeka (1933), dan dalam
pidatonya yang terkenal ssebagai pembelaanya di persidangan Landraad Bandung: Soekarno (2010),
Indonesia Menggugat, Jakarta, Yayasan Bung Karno.
Bagaimana dengan Situasi Saat Ini?
Di muka telah diuraikan tentang latar belakang yang menjadi setting dari lahirnya
konsepsi marhaen. Dari uraian itu, terlihat bahwa imperialisme saat itu menghasilkan
pandangan Bung Karno tentang marhaen. Lantas bagaimana dengan saat ini? Kita harus
melihat perkembangan situasi imperialisme di Indonesia untuk dapat melakukan analisa
yang tepat. Ini penting untuk menakar anasir-anasir kontemporer, memetakan peluang
dan tantangan. Tanpa mengenali karakter jaman kita terjebak dogma mati. Jika sudah
teerjatuh sebatas sebagai dogma, Marhaenisme menjadi tidak up to date lagi menghadapi
jaman yang sudah berkembang pesat.
Tulisan Bung Karno “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” dibuat tahun 1932. Kini
setelah sekitar lebih dari 170 tahun sejak tulisan itu dibuat, kondisi objektif di Indonesia
berubah. Imperialisme yang bercokol bukan sekedar mencari bahan baku. Indonesia
adalah pasar potensial dari produk-produk kapitalisme yang membludak itu.. Dengan
mata telanjangpun kita bisa melihat betapa membanjirnya barang-barang import di negeri
ini. Pertanda bahwa daya beli masyarakat di Indonesia mulai kuat. Kelas menengah di
Indonesia sudah mulai tumbuh. Di sisi lain, investor-investor berkepentingan dengan
ketersediaan tenaga kerja murah bagi pabrik-pabriknya di Indonesia. Selain itu produksi
dalam negeri juga sudah mulai ada. Secara sederhana kita dapat melihat bahwa
kepentingan imperialis di Indonesia sekarang masih sama dengan yang pernah dikatakan
Aidit27:
1.
2.
3.
4.
Ketersediaan bahan baku dengan harga murah
Ketersediaan Tenaga Kerja Murah
Ketersediaan pasar potensial
Tempat penanaman modal
Perkembangan jaman membuat modus imperialisme pun berubah, tidak melulu
menggunakan senjata namun menggunakan cara-cara halus (meskipun dalam kasus-kasus
ekstrim perang tetap tak terhindarkan). Sekarang mari kita lihat sekilas setting
kontemporer yang kondisinya antara lain:
1. Sistem ekonomi nasional semakin terintegrasi dengan sitem kapitalisme
internasional
2. Peran negara semakin melemah berhadapan dengan korporasi internasional
wacana perdagangan bebas dan globalisasi.
3. Muncul dan semakin aktifnya gerakan gera
4. kan buruh (menuntut kenaikan UMP, bukan merebut kepemilikan alat produksi)
5. Maraknya sengketa agraria (bukan hanya dari kelompok-kelompok tani namun
juga kelompok adat)
27
DN Aidit (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi.. ibid. Hal 8.
Dewasa ini kita juga menyaksikan apa yang disebut dengan “Gelombang Demokratisasi
Ketiga” (Samuel Huntington). Saya sendiri sering menganggap ada kesebangunan antara
gelombang demokrasi ini dengan gelombang konsentrasi modal mencari ruang investasi
baru. Konskuensinya, rezim rezim yang menghalangi investasi betatapun demokratisnya
akan “didemokratiskan” termasuk dengan cara kekerasan, kalau perlu digulingkan (
seperti yang menimpa Muammar Khadaffy di Libya, Saddam
Oleh: Pandu Yuhsina Adaba2
Pengantar
Kategori Marhaen diajukan oleh Bung Karno tahun 1923, tercatat di DBR (Djilid 1)
melalui chapter marhaen dan proletar, kemudian diulangi lagi dalam pidato Lahirnya
Pancasila3. Secara sederhana Marhaen adalah kaum melaratnya Indonesia.4 Hal ini
kemudian dianggap kontradiktif dengan model analisa kelas bebasis kepemilikan alat
produksi seperti yang sering digunakan oleh analisis Marxian. Kenapa kontradiktif?
Karena dalam kategori Marhaen tercakup unsur-unsur pemilik faktor produksi dalam
jumlah kecil seperti tani, nelayan, tukang becak, tukang sayur, dan lain-lain. Pemisahan
kelas berdasarkan analisis Marxian adalah dengan melihat kepemilikan faktor produksi,
sementara Marhaen seolah tidak setegas itu dalam mendikotomi elemen penyusun
masyarakat. Maka jika dilihat dari sudut pandang ini, pemikiran Bung Karno (yang dalam
beberapa tulisannya mengakui dirinya adalah seorang pengagum pemikiran Karl Marx)
seolah mengandung kontradiksi:
1. Marhaenisme adalah marxisme (salah satu poin penting marxisme adalah analisa
kepemilikan faktor produksi) yang diterapkan dalam sikon Indonesia
2. Marhaen bisa punya alat produksi, tapi proletar (yang tidak punya alat produksi)
termasuk marhaen.
Dari dua poin diatas kemudian banyak orang yang bingung soal bagaimana pandangan
marhaenis terhadap kepemilikan faktor produksi? Pertanyaan ini menjadi hantu yang
bergentayangan menteror para pengkhotbah marhaenisme. Tentu masih dibutuhkan
serangkaian upaya untuk menemukan jawaban valid atas pertanyaan ini.
Di sisi lain, ada kesalahan yang cukup mengkhawatirkan. Seringkali pemikiran Bung
Karno direduksi sebatas pada slogan/jargon nasionalisme, padahal sebenarnya
marhaenisme bukan sekedar soal nasionalisme. Pandangan sempit seperti ini berpotensi
menimbulkan kesalahan chauvinistik: pembelaan membabi buta terhadap segala sesuatu
yang berbau “nasional” termasuk kapitalis nasional maupun komprador dari kalangan
pribumi. Seringkali kesalahan chauvinistik seperti ini berakhir pada slogan kosong
semacam “NKRI Harga Mati”5 yang jika ditarik ke level landasan maupun definisi
1
Disusun sebagai Materi Diklat Kaderisasi Tingkat Dasar (KTD) GMNI Komisariat Fisipol UGM tahun
2013.
2
Kader GMNI Komisariat Fisipol UGM angkatan 2006. Kepala Biro Penguatan Kader GMNI Komisariat
Fisipol Perode 2007-2008. Pendiri penerbitan pers mandiri sayap organisasi GMNI Komisariat Fisipol
UGM “PRIBOEMI”. Pegiat Penelitian Sosial.
3
Soekarno (1945), Lahirnya Pantjasila, Pidato di Sidang BPUPKI Tanggal 1 Juni 1945. Arsip pribadi RM
AB Kusuma yang dimuat dalam: AB Kusuma (2010), Lahirnya UUD 1945, Jakarta, Fakultas Hukum UI.
4
Soekarno (1964), Marhaen dan Proletar dalam: Di Bawah Bendera Revolusi (Djilid 1), Jakarta, Panitya
Pembina Jiwa Revolusi. Hal 253.
5
Saya secara pribadi memandang bahwa slogan “NKRI harga mati” ini adalah justru yang dikhawatirkan
Soekarno terhadap potensi chauvinistik nasionalisme. Potensi chauvinistik sudah diantisipasi Soekarno
dengan rumusan Sosio-Nasionalisme untuk mencegah paham pembelaan memabi-buta terhadap segala hal
berbau “nasional”. Selengkapnya lihat: Soekarno (1945), Lahirnya Pancasila.. Ibid.
operasionalnya ternyata tidak ditemukan jawaban yang jelas. Resiko lain dari pandangan
sempit ini adalah potensi munculnya sikap xenophobia yaitu sikap anti terhadap segala
sesuatu yang berbau “asing” secara membabi-buta.
Kontradiksi seperti ditunjukkan tersebut seringkali berujung tuduhan bahwa marhaenisme
adalah pandangan yang kontradiktif, jargonistik, dan inkonsisten sehingga dengan
sendirinya menjadi tidak relevan untuk diperjuangkan lagi. Jawaban tentang hal ini?
seringkali kita sebagai marhaenis gagal merumuskan jawaban, dan menurut saya ini
disebabkan oleh beberapa hal:
1. Menganggap pikiran Soekarno adalah dogma yang harus ditelan mentah-mentah
serta tidak boleh ditambah maupun dikurangi. Kesalahan ini menyebakan adanya
kesalahan kedua yaitu:
2. Kegagalan kita memberikan tafsir kreatif terhadap pemikiran Soekarno tersebut
membuat pemahaman kita atas marhaenisme menjadi statis sehingga
marhaenisme menjadi tidak up to date lagi ketika berhadapan dengan perubahan
jaman.
Dari poin ke 2 itu maka kita harus menafsirkan ajaran Soekarno secara kreatif sehingga
benalu dogmatis (pada poin 1) otomatis menjadi batal. Tafsiran yang kreatif ini tentu
bukan tafsiran yang asal aneh, namun harus didasari oleh perenungan mendalam maupun
pemahaman-pemahaman baru yang muncul seiring perjalanan jaman yang tentunya
diikuti pula dengan beberapa perubahan sosial. Kita harus mengkontekskan kembali
pemikiran-pemikiran Soekarno ini ke dalam realitas jaman yang terus berubah.
Kita akan memulai paparan ini dengan berupaya menjawab pertanyaan: Perjalanan
pemikiran seperti apa yang dialami Soekarno sehingga menghasilkan pemikiran model
marhaenisme ini? Untuk menjawab hal itu (dimana ini merupakan dialog antara marxis
dan marhaenis) kita perlu menengok terlebih dahulu pokok-pokok pikiran Marx sebagai
pendahuluan. Tentu uraiannya akan tidak menangkap keseluruhan pemikiran Karl Marx
melainkan hanya beberapa poin saja yang kemudian terkait dengan sikon yang melandasi
lahirnya pemikiran Marhaenisme. Hal ini perlu untuk memudahkan kita memahami
sistematika berpikir Marxian dengan model Materialisme Dialektik Historis (MDH).
Tentang Materialisme
Pandangan Materialisme ini BUKANLAH seperti yang sering kita dengar saat ini
mengenai “sikap yang mementingkan mengejar materi” atau dalam istilah gaulnya
“Matre”. Istilah materialisme seperti pengertian tadi merupakan reduksi atau bahkan
penyelewengan yang dibuat oleh lawan-lawan politik kaum materialis untuk
memunculkan kesan bahwa kaum materialis adalah kaum hedonis yang hanya suka
mengejar kenikmatan dunia dengan cara menumpuk materi atau kekayaan. Dalam
definisinya yang direduksi itu, materialisme yang telah direduksi maknanya itu kemudian
dilawankan dengan “istilah idealis” yang sering diartikan: orang yang punya bayangan
ideal terhadap sesuatu, teguh memegang prinsip, orang yang tindakannya didasari
gagasan yang ideal mengenai sesuatu hal.
Pandangan Materialis adalah pandangan yang menyatakan bahwa kenyataan yang nyata
adalah materi itu sendiri, bukan sekedar pantulan inderawi dari otak manusia. Dalam hal
ini pandangan materialisme memang berlawanan dengan pandangan idealisme. Apa itu
pandangan idealisme? Pandangan idealisme menganggap kenyatan hanya merupakan
pantulan/citra yang berhasil ditangkap oleh otak manusia lewat proses penginderaanya.
Ringkasnya, kenyataan adalah kesadaran manusia itu sendiri. maka kemudian muncul
istilah “aku berpikir maka aku ada”. Kenyataan dalam pandangan idealis adalah
kenyataan subjektif – psikologis.6
Sebagai lawan dari Idealisme, Materialisme berkeyakinan bahwa yang senyatanya ada
adalah materi itu sendiri. Materi bisa ada tanpa ada pengetahuan manusia tentangnya.
Sebagai ilustrasi misalnya sebuah ponsel bisa tetap ada tanpa ada manusia yang
melihatnya. Contoh lain misalnya, gravitasi tetap ada walaupun pengetahuan manusia
tentangnya tidak ada (hukum gravitasi baru bisa ditemukan sejak Isaac Newton
merumuskannya). Kenyataan dalam pandangan materialis adalah kenyataan objektif –
fisikalis.7
Perbedaan ontologis antara idealisme dan materialisme itu merupakan distingsi yang
sangat penting yang kemudian turun ke level ilmu pengetahuan sektoral lainnya termasuk
ilmu sosial seperti sejarah, filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi dan politik. Salah satu
contohnya adalah perbedaan dalam memandang kesejahteraan. Bagi kalangan idealis,
kesejahteraan itu letaknya di dalam kesadaran manusia, sehingga dimungkinkan orang
yang secara matematis-ekonomis sangat miskin (dalam artian punya nilai kesejahteraan
sangat minim) namun merasa sejahtera karena pikirannya menyatakan demikian.
Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, namun kurang lengkap.8 Materialisme yang
melengkapinya: bahwa untuk timbul sebuah kesadaran harus ada manusia yang sadar.
Syarat minimal dari adanya manusia yang sadar itu (yaitu cukup kebutuhan ekonominya
untuk mempertahankan hidupnya) harus dipenuhi dulu sebelum timbul kesadaran
darinya. Mengenai perbedaan ini selanjutnya akan dibahas lebih lanjut saat kita
membahas soal basis-bangunan atas.
Soal Basis – Suprastruktur9
Basis adalah prakondisi yang memungkinkan adanya suprastruktur. Dalam uraian
sebelumnya kita sudah membahas bahwa untuk timbul sebuah kesadaran, syarat yang
harus dipenuhi adalah adanya objek yang sadar yaitu manusia itu sendiri. Dalam
6
Martin Suryajaya (2012), Marxisme Sebagai Ilmu, Makalah disampaikan dalam diskusi di PMB LIPI,
Jakarta. (tidak diterbitkan). Hal 7.
7
Martin Suryajaya (2013), Asal Usul Kekayaan, Yogyakarta, Resist Book. Hal 168-170.
8
Martin Suryajaya memperlihatkan distingsi ini dengan analogi Teori Heliosentris: dalam pandangan mata
subjek pengamat terlihat bahwa matahari mengelilingi bumi, padahal kenyataan objektifnya justru
sebaliknya. Disitulah letak keterbatasan pendekatan idealisme yang mengandalkan kesadaran subjektif
psikologis. Ibid hal: 158 (Asal Usul Kekayaan).
9
Pemahaman saya mengenai relasi basis suprastruktur ini banyak saya ambil dari tulisan-tulisan (Asal Usul
Kekayaan dan Marxisme Sebagai Ilmu) maupun diskusi dengan Martin Suryajaya. Untuk itu saya sangat
berterimakasih kepada Martin. Sebagai pembanding, saya gunakan tulisan Romo Magnis dalam: Franz
Magnis Suseno (1999), Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Hal 135-151.
preposisi itu maka didapati bahwa manusia yang sadar menjadi basis dari adanya
kesadaran tentang sesuatu:
1. Adanya obyek yang sadar yaitu manusia. (prakondisi)
2. Adanya kesadaran yang timbul. (dimungkinkan karena adanya prakondisi)
Logika sederhana itulah yang mendasari pemikiran Karl Marx mengenai basissuprastruktur. Untuk memberi pemahaman sedikit lebih detail mengenai dasar berpikir
yang kemudian melandasi pemikiran tentang basis-bangunan atas akan saya gunakan
sebuah ilustrasi tentang segelas kopi.10
1. Segelas kopi adalah realitas ekonomis (bisa diperjual-belikan, hasil dari proses
produksi)
2. Segelas kopi adalah realitas kimia (tersusun dari senyawa senyawa hidrogenoksigen dan senyawa lain)
3. Segelas kopi adalah realitas biologi (kopi adalah bagian dari tanaman sebagai
makhluk hidup)
4. Segelas kopi sebagai realitas fisika (ada struktur atomik di dalam butir-butir kopi)
5. Dan lain lain.
Dari poin poin yang diajukan terlihat bahwa dalam segelas kopi itu terkandung banyak
kenyataan tak beraturan yang menyusunnya. Pemikiran tentang basis-bangunan atas
merapikan berbagai kenyataan tak beraturan itu menjadi sebuah susunan yang logis:
1. Segelas kopi adalah realitas fisika (atomik) yang menjadi prakondisi bagi:
2. Adanya segelas kopi sebagai realitas kima (persenyawaan antar atom) yang
menjadi prakondisi bagi:
3. Adanya segelas kopi sebagai realitas biologi (organisme tanaman yang tersusun
dari berbagai sel-sel yang didalamnya adalah persenyawaan) yang menjadi
prakondisi bagi:
4. Segelas kopi sebagai realitas ekonomis (barang dagangan yang berasal dari
tanaman tertentu)
Dari relasi itu terlihat, realitas fisika segelas kopi menjadi basis bagi realitas segelas kopi
sebagai entitas kimia, biologi, dan ekonominya. Stratifikasi kenyataan seperti inilah yang
menjadi dasar berpikir Karl Marx dalam merumuskan pemikiran tentang basissuprastruktur. Ada prakondisi yang menjadi syarat bagi adanya sesuatu. Stratifikasi
kenyataan itu ketika diterapkan dalam menganalisa masyarakat kemudian menemukan
fenomena:
1. Adanya sistem ekonomi masyarakat (adanya proses produksi, distribusi, sirkulasi,
konsumsi).
2. Adanya sistem politik masyarakat (pemilu, kekuasaan, demokrasi, diktator, dll)
3. Adanya sistem kebudayaan masyarakat (seni, arsitektur, sastra, iptek, agama, dll)
10
Analogi segelas kopi saya pinjam dari Martin Suryajaya ketika menjelaskana mengenai stratifikasi
kenyataan ala Roy Bhaskar dalam: Martin Suryajaya “Marxisme Sebagai Ilmu”.. ibid hal 11-13 .
4. Dll.
Dari berbagai fenomena kemasyarakatan tersebut kemudian Marx melihat bahwa
keberadaan sistem ekonomi masyarakatlah yang menjadi prakondisi bagi adanya sistem
kemasyarakatan yang lain (politik-dan kebudayaan). Mengapa demikian? Sebab adanya
(produksi-distribusi-sisrkulasi-konsumsi) adalah syarat masyarakat untuk tetap hidup.
Ketika masyarakat tetap hidup maka adanya ekspresi politik dan kebudayaan menjadi
dimungkinkan. Tidak mungkin ada sistem politik dan kebudayaan dari kumpulan mayatmayat. Tanpa adanya masyarakat yang hidup maka tidak mungkin ada politik dan
kebudayaan. Marx menyebut sistem ekonomi masyarakat ini sebagai basis dan sistem
yang ada atas prakondisi itu (politik-kebudayaan) sebagai suprastruktur.
Seperti apa relasi basis dengan suprastruktur? Apakah basis yang mempengaruhi
suprastruktur atau sebaliknya? Pertanyaan ini seringkali menimbulkan perdebatan
lingkaran setan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa meskipun basis menentukan
keberadaan suprastruktur, namun suprastruktur kemudian dapat menentukan basis.
Misalnya:
1. kebijakan pertanian soal impor komoditas pangan (politik) membuat petanipetani rugi sehingga menjadi miskin (ekonomi).
2. Namun disisi lain kegagalan petani miskin memproduksi komoditas pangan
(ekonomi) menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor komoditas
pangan (politik).
Alternatif jawaban terhadap pertanyaan tentang relasi ini adalah bahwa keduanya saling
mempengaruhi namun sifatnya yang berbeda.11 Relasi basis dengan suprastruktur adalah
relasi absolut, sedangkan relasi suprastruktur terhadap basis adalah relasi relatif. Perlu
dicatat juga bahwa relasi antara basis dengan suprastruktur tidaklah selalu berupa relasi
saling menentukan melainkan relasi kondisi-prakondisi.
Di sisi lain juga timbul pertanyaan yang muncul berdasarkan fakta-fakta empirik:
mengapa perubahan basis tidak selalu ekuivalien dengan perubahan struktur? Misalnya
adalah kegagalan petani di sebuah negara untuk memproduksi komoditas pangan ternyata
tidak berujung kepada kebijakan impor karena pemimpin pemerintahannya membenci
kebijakan impor? Analisa dengan skema basis-suprastruktur yang diterapkan untuk
melihat sebuah fenomena tertentu adalah valid sejauh faktor-faktor yang lain dianggap
konstan (dalam kajian ekonomi dikenal istilah ceteris paribus), sehingga analisa dengan
skema itu merupakan analisa sistem tertutup.12 Fenomena yang dianalisa ditutup dalam
sistem yang memuat kategorisasi tertentu. Pengisolasian antar elemen dalam sebuah
fenomena sosial itu sebenarnya merupakan metode umum dalam riset-riset sosial dan
bahkan dalam ilmu-ilmu alam.13
11
Aidit mengungkapkan jawaban tentang hal ini dengan konsep “peranan aktif daripada ide”. Lihat: DN
Aidit (1964), Tentang Marxisme.. ibid. Hal 31.
12
Martin Suryajaya, Marxisme Sebagai Ilmu.... ibid.
13
Mengenai model riset yang menggunakan metode ini misalny dijumpai dalam gagasan yang diajukan
Wallace. Selengkapnya lihat: Walter Wallace (1990), Metode Logika Ilmu Sosial, Jakarta, Bumi Aksara.
Tentang Dialektika
Pengertian sederhana dari Dialektika adalah cara berpikir tiga tahap yaitu dari tesis –
antitesis – sintesis. Model berpikir seperti ini merupakan sumbangan filsafat dari seorang
tokoh bernama GWF Hegel yang merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam
pikiran-pikiran Karl Marx. Menurut Hegel, perkembangan suatu hal itu ditentukan oleh
kontradiksi intern dalam hal itu. kontradiksi itu ketika mencapai titik klimaksnya akan
menghasilkan suatu lompatan (sprong) kepada kualitas baru atas hal itu. Proses dialektika
ini memandang dunia sebagai satu kesatuan organik. Gejala-gejala yang ada didalamnya
memuat kesalinghubungan sebagai suatu badan kesatuan. Selain terjadi dalam gejala
semesta, dialektika juga terjadi di dalam akal manusia.14 Ilustrasi dari dialektika misalnya
seperti ini:
1. Pulau adalah tanah (tesis)
2. Pulau bukan hanya tanah. Dipinggir pulau ada air (antitesis)
3. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (sintesis).
Proses Dialektika berhenti setelah mencapai tahap sintesis? Tidak, sintesis itu akan
menjadi tesis baru yang akan menemui antitesisnya lagi sehingga tercipta sintesis baru.
Demikian proses itu terus berulang hingga mencapai apa yang dinamakan dengan
“kebenaran absolut”. Ilustrasi dari hal itu misalnya bisa kita lihat:
1. Pulau adalah tanah yang dikelilingi air (tesis baru yang berasal dari sintesis)
2. Tanah yang dikelilingi air belum tentu pulau, misalnya tanah yang ada di kolam
kecil. (antitesis)
3. Pulau adalah tanah luas yang dikelilingi air lautan (sintesis yang akan menjadi
tesis baru)
Demikianlah ilustrasi sederhana itu untuk menjelaskan mengenai contoh dialektika.
Metode dialektika ini sebenarnya mirip dengan beberapa pandangan tradisional semacam
“panta rhei”, cokro manggilingan dan berbagai istilah lokal yang pada intinya
memandang “ proses perkembangan suatu hal adalah gerak daripada kontradiksi
internal dalam hal itu”.
Pandangan Tentang Sejarah15
Pandangan Sejarah Marx adalah hasil aplikasi dari metode Materialisme-Dialektis untuk
menganalisa perkembangan sejarah. Untuk masuk ke dalam bahasan ini tentu harus
diingat kembali apa itu materialisme dan apa itu dialektika.
Materialisme memandang bahwa kenyataan itu berada di objek bukan di subjek. Maka
sejarah tidak terjadi dalam otak atau kesadaran manusia melainkan terjadi secara objektif.
Epos-epos sejarah yang ditulis oleh subjek-subjek itu bisa jadi benar atau bisa jadi salah,
namun itu hanyalah bagian dari sejarah objektif yang senyatanya terjadi. Apa konskuensi
14
DN Aidit (1964), Tentang Marxisme, Jakarta, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham. Hal 26.
Pemahaman tentang bagian ini banyak didapat dari buku DN Aidit (1964), Tentang Marxisme... ibid. hal
48-71.
15
dari pandangan ini? Pandangan ini memandang sejarah bukan sekedar perjalanan cerita
orang-orang besar (penguasa-pahlawan) yang saling berebut kekuasaan secara silih
berganti. Sejarah bagi materialisme juga mencakup sejarah mengenai orang-orang yang
tak tertulis di dalam sejarah bahkan lebih jauh: sejarah juga mencakup apapun (orang dan
bukan orang misalnya benda-benda mati) dalam lintasan sejarah itu.
Jika sejarah dominan diwarnai oleh cerita mengenai tokoh-tokoh besar (raja-pahlawansuperhero-pendekar sakti dll) yang dengan konsepnya atau pemikirannya berhasil
membuat cerita sejarah, Marx menunjukkan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya.
Sejarah adalah sebenarnya soal kelas-kelas pekerja yang berjalan bersama tokoh-tokoh
besar itu dalam lintasan waktu. Seorang raja mengarungi lintasan waktu sejarah bersama
lebih dari seribu pengikutnya. Uniknya raja inilah justru yang jadi cerita sejarah
sementara seribu lebih pengikutnya tidak.
Yang ingin ditunjukkan oleh pendekatan materialisme adalah bukan selalu menyalahkan
epos-epos sejarah soal tokoh-tokoh besar (meskipun epos-epos itu seringkali memuat
cerita-cerita misktik yang tak masuk akal). Yang ingin ditunjukan sebenarnya adalah
bahwa sejarah mengenai raja-raja maupun penguasa-penguasa adalah hanya sebagian
(atau sebagian kecil) dari sejarah yang terjadi sebenarnya. Sejarah tokoh besar bisa jadi
(hanya) merupakan kenyataan yang berhasil ditangkap oleh keterbatasan subjektif si
pengamat (dimungkinkan karena pengamat/penulis terfokus pada tokoh-tokoh besar yang
ditulisnya).
Ketika pandangan materialis ini dilengkapi pisau analisa dialektis untuk membaca sejarah
maka konskuenasinya adalah: perkembangan sejarah suatu masyarakat merupakan
perkembangan kontradiksi internalnya masyarakat tersebut. Ada gerak dialektis dalam
perkembangan sejarah masyarakat. Lantas apa yang berkontradiksi dalam sebuah
masyarakat itu?
Dimuka telah dibahas mengenai pemikiran basis-suprastruktur yang memperlihatkan
bahwa sistem ekonomi masyarakat adalah basis sedangkan suprastruktur adalah sistem
politik dan kebudayaan sehingga untuk melihat gerak dialektis sejarah masyarakat
haruslah kita lihat gerak dialektis dalam sistem ekonominya. Pembacaan dengan cara
inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Materialisme-DialektikaHistoris (MDH).
Melalui MDH, Marx melihat bahwa kontradiksi dalam perkembangan sejarah adalah
kontradiksi dalam ranah ekonomi yaitu: antara yang untung dengan yang rugi, antara
yang ditindas dengan yang menindas, antara yang dikuasai dengan yang menguasai dll.
Melaui pembacaanya itu kemudian dia berkesimpulan bahwa sejarah perkembangan
masyarakat adalah sejarah kontradiksi antara masyarakat pekerja dengan masyarakat
yang mempekerjakannya atau lebih ringkasnya: kontradiksi antara kelas pekerja dan yang
mempekerjakannya.
Soal Tingkat Perkembangan Masyarakat dan Proses Produksi yang Menjadi
Basisnya.
Melalui penerapan MDH, Marx menemukan bahwa pembeda kelas dalam sistem
ekonomi ada di ranah produksi yaitu: kepemilikannya atas faktor produksi. Melalui
pembeda itu marx membuat kategorisasi antara kelas pemilik faktor produksi dengan
kelas yang tidak memiliki faktor produksi. Mengapa ranah produksi menjadi unit analisa
signifikan? Karena produksi adalah proses yang menjadi prakondisi bagi kegiatan
ekonomi sesudahnya (lihat kembali uraian dimuka tentang logika stratifikasi kenyataan).
tanpa adanya ranah produksi maka tidak mungkin ada ranah distribusi-sirkulasikonsumsi. Melalui MDH, Marx mencoba membuat analisa sejarah mengenai tingkat
perkembangan masyarakat berdasarkan kepemilikan atas faktor produksi16.
16
Masyarakat Komune Primitif : Belum ada Pembagian kerja yang dominan atar
anggota masyarakat. Kegiatan produksi terutama diarahkan untuk mendapat “nilai
pakai”. Kepemilikan bersama atas faktor produksi (seperti alat alat berburu
hewan) maupun hasil produksi. Masyarakat masih bersifat nomaden (belum
menetap) karena sumber kesejahteraan (terutama makanan) tersedia melimpah di
alam sehingga tinggal mencari saja (tidak perlu memproduksi). Corak ekonomi
subsisten yaitu produksi dan distribusi hanya dilakukan untuk mempertahankan
hidup. Apakah dalam tingkat masyarakat seperti ini belum ada penindasan? Tentu
saja ada: pemimpin-pemimpin dari komune-komune itu (biasanya adalah orang
yang secara fisik paling kuat) seringkali hanya mendapat jatah makanan dari
anggota-anggotanya (padahal dia menjadi pemimpin karena fisiknya yang kuat
sehingga bisa bertarung dengan hewan-hewan buruan). Pada perkembangannya,
gesekan antar komune adalah gesekan yang didasari perebutan lahan perburuan
makanan. Selain itu, tak jarang juga ada kontradiksi dalam internal komune yaitu
antara pemimpin dengan anggota dimana anggota yang tertindas ingin menjadi
pemimpin untuk hidup lebih enak dan mendapat penghormatan lebih.
Masyarakat Feodal : tingkatan ini adalah perkembangan dari masyarakat komune
primitif. Perkembangan penegetahuan manusia soal bercocok tanam dan ilmu
peternakan membuat mereka tidak lagi harus bergantung pada makanan yang
yang disediakan oleh alam. Ini kemudian berimbas juga kepada corak
produksinya. Masyarakat tidak lagi hidup nomaden namun mulai tinggal secara
menetap di sebidang tanah tertentu. Dalam perkembangan ini, kepemilikan atas
tanah sebagai faktor produksi menjadi penting. Muncul dua kelas dalam
masyarakat yaitu: tuan tanah dan penyakap/petani. Tuan tanah tidak perlu
mengerjakan tanahnya sendiri karena dia cukup memungut sewa tanah dan
meminta upeti dari para petani. Dalam konsep kerajaan, posisi raja adalah pemilik
tanah yang menerima upeti dari para bawahannya (para punggawa, adipati,
senopati dll) yang sebenarnya merupakan hasil dari kerja para petani yang tinggal
di wilayah kekuasaanya.
Pemahaman hal ini saya dapat dari buku DN Aidit (1964), Tentang Marxisme.... ibid. Hal 67.
Masyarakat Kapitalis : berkembangnya sistem perdagangan memunculkan kelas
baru yang menjadi dominan dalam sistem ekonomi yaitu pemodal. Di dalam
sistem kapitalis, kelas dalam produksi adalah pemodal dan pekerja. Dengan modal
yang dia punya, pemodal membeli tenaga kerja untuk memproduksi barang. Jika
dalam sistem feodal para petani masih punya hubungan langsung dengan barang
yang diproduksinya, maka dalam sistem kapitalis pekerja terpisah sama sekali
dari barang yang telah diproduksinya. Barang itu otomatis menjadi milik pemodal
yang telah membeli tenaga kerjanya. Apabila pekerja ingin memiliki barang yang
diproduksinya, maka dia harus membelinya pada pemodal. Jika pada masa feodal
sumber pendapatan petani adalah produksinya sendiri (yang sebagian harus
diberikan kepada tuan tanah), maka dalam sistem kapitalis seumber penghidupan
pekerja adalah upah dari pemodal. Dalam skema feodalisme proses produksi
masih didominasi oleh penciptaan/penambahan nilai pakai suatu barang,
sedangkan dalam sistem kapitalis proses produksi terutama dilakukan untuk
penciptaan/penambahan nilai tukar.
Kontradiksi Dalam Masyarakat Kapitalis17
Dalam bagian ini kita akan membahas mengenai beberapa poin dalam masyarakat
kapitalis yang perlu kita kenali. Tentu tidak semua poin diajukan disini karena aspek
aspek yang dibahas sebenarnya sangatlah luas. Yang akan dibahas disini hanyalah poinpoin pentingnya saja. Sebagai awalan kita akan membahas mengenai ekonomi barang
dagangan.
17
Ekonomi barang dagangan:
Seperti diterangkan dimuka bahwa ciri dari ekonomi kapitalis adalah adanya jual
beli sebagai proses pertukaran paling dominan dalam kehidupan masyarakat. Ciri
ini bukan berarti bahwa dalam sistem masyarakat selain kapitalisme tidak ada
perdagangan. Dalam feodalisme misalnya, pertukaran barang dagangan sudah ada
namun belum menjadi sesuatu yang dominan. Pertukaran dengan cara barter, gift
dan bahkan rampasan masih banyak dijumpai. Lain halnya dengan kapitalisme
dimana proses jual beli adalah bentuk paling lazim dari pertukaran kebutuhan
dalam masyarakat.
Produksi Nilai Tukar
Dalam setiap barang dagangan terkandung 2 nilai sekaligus yaitu nilai pakai dan
nilai tukar. Pada sistem ekonomi sebelumnya (komune primitif dan feodalisme)
proses produksi terutama adalah dalam rangka memproduksi nilai pakai. Ini
berbeda dengan masyarakat kapitalis dimana kerja terutama dicurahkan untuk
memproduksi nilai tukar. Produksi dalam sistem kapitalis adalah untuk mencari
keuntungan bukan memenuhi kebutuhan.
Pertukaran antar nilai pakai
Apa yang terjadi dalam perdagangan adalah pertukaran nilai pakai. Artinya
pertukaran itu terjadi antara nilai pakai yang berbeda. Jika nilai pakai yang
dipertukarkan sama, maka tidak perlu ada pertukaran. Contohnya dalah
pertukaran pisau dengan pisau. Uang dalam hal ini sebenarnya hanyalah
DN Aidit (1964), Tentang Marxisme.... ibid. Hal 74.
merupakan perantara dari pertukaran nilai pakai tersebut. Dalam kasus
lanjutannya, ketika uang itu sendiri sudah menjadi barang dagangan(seperti dalam
kasus perdagangan antar mata uang), maka logika pertukaran itu sendiri menjadi
semakin absurd.
Dari poin tersebut dimuka maka timbul pertanyaan: apa indikator untuk menentukan nilai
suatu barang dalam perdagangan? Menurut logika stratifikasi kenyataan seperti pernah
diterangkan sebelumnya, terlihat bahwa nilai pakai adalah prakondisi bagi adanya nilai
tukar. Keberadaan nilai tukar hanyalah pantulan saja dari keberadaan nilai pakai sehingga
nilai tukar itu sendiri tidak bisa jadi basis pengukuran dalam pertukaran. Di sisi lain,
pertukaran terjadi antar nilai pakai yang berbeda sehingga tidak dapat dihitung berapa
nilai perbandingan nilai pakai sepatu (sebagai alas kaki) dengan nilai pakai topi (sebagai
penutup kepala).
Marx kemudian menemukan basis keseukuran dalam proses pertukaran antar nilai pakai
dalam “kerja kemasyarakatan yang dicurahkan untuk memproduksinya”. Teori nilai kerja
ini berakar jauh sampai pemikiran Aristoteles mengenai basis keseukuran dalam proses
pertukaran. Sebelum Marx, sudah ada beberapa orang yang mencoba menganalisa
mengenai teori nilai kerja ini (misalnya Adam Smith, David Ricardo, William Petty).
Kerja kemsyarakatan bukanlah kerja sosial dalam pengertian awam (kerja bakti,
menggalang sumbangan untuk korban bencana, aksi donor darah dll). Kerja
kemasyarakatan yang dimaksud oleh Marx adalah kerja yang dicurahkan untuk
memproduksi suatu barang dibandingkan dengan kerja keseluruhan masyarakat. Kerja
kemasyarakatan tidak mempertimbangkan bentuk kerja kongkrit yang dilakukan
(misalnya menjahit, menanam, mengukir, dsb) tapi memandang itu dalam substansinya
saja yaitu “kerja”. Oleh karena itu, kerja kemasyarakatan bisa diistilahkan sebagai “kerja
abstrak”.
Kerja abstrak adalah pembentuk nilai suatu barang. Karena kerja abstrak tidak
mempertimbangkan bentuk kerja kongkritnya, maka yang diukur adalah lama waktu yang
dicurahkan untuk memproduksi suatu barang itu. Semakin lama waktu kerja abstrak yang
diperlukan untuk memproduksi suatu barang, semakin tinggi nilai barang tersebut.
Apakah ini berarti semakin malas seorang pekerja memproduksi suatu barang akan
semakin menghasilkan nilai yang tinggi? Jawabannya adalah bukan. Waktu kerja abstrak
yang dimaksud adalah optimal rata-rata masyarakat dan dengan rata rata teknologi yang
digunakan maupun intensitas yang dicurahkan. Pendek kata: kerja sosial bukan dihitung
secara individual tapi secara sosial.
Laba dalam Kapitalisme
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai tukar adalah pantulan dari nilai pakai. Nilai
tukar tidak dapat dilihat dari bendanya. Misalnya kita tidak dapat melihat nilai tukar
sepatu dari sepatu itu sendiri. Untuk melihat nilai tukar, kita harus membandingkannya
dengan barang lain. Misalnya kita akan menggunakan analogi sederhana:
1 ekor ayam = 3 bungkus rokok = 2 potong kaos oblong.
4 bungkus rokok = 3 piring siomay = 1 buah buku
Dalam analogi tesebut tampak sangat sederhana, namun di dalam prakteknya menjadi
sangat rumit karena melibatkan berbagai barang dan berbagai keperluan, tentunya
melibatkan berbagai orang pula. Oleh karena itu secara alamiah mulai muncul apa yang
dinamakan dengan alat tukar yang pada perkembangannya sampai pada bentuknya yang
paling maju yaitu “uang”. Uang pada mulanya hanya berfungsi sebagai alat tukar dalam
skema pertukaran :
Barang A uang Barang B
Barang B uang Barang C
Dalam skema pertukaran tersebut, uang hanya digunakan sebagai perantara kebutuhan
produsen barang A terhadap barang B. Demikian pula terlihat bahwa uang hanyalah
perantara kebutuhan produsen barang B terhadap barang C. Pendek kata dalam
pertukaran model ini uang hanya berfungsi sebagai alat tukar. Sifat pertukaran dalam
perdagangan semacam ini adalah “untuk memenuhi kebutuhan”.
Dalam skema kapitalisme, maka model pertukaran sebelumnya menjadi terbalik karena
funsi uang bukan sebagai alat tukar saja melainkan sebagai alat penumpuk kekayaan.
Pertukaran dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan “untuk mencari
keuntungan”. Dalam titik ekstrimya, uang menjadi barang dagangan itu sendiri. maka
akan terlihat analogi sederhana sebagai berikut:
Uang x Barang Uang y (uang x + laba)
Jumlah uang dalam perdagangan model ini tentu bebeda antara uang x dengan uang y.
Uang y tentu lebih banyak dari uang x karena sudah bertambah dengan laba. Jika uang y
lebih kecil dari uang x maka pedagang bisa dikatakan rugi. Sedangkan jika uang x sama
dengan uang y maka pedagang tidak mendapat apa-apa. Pedagang bertindak sebagi
pemodal, dan hanya dialah yang bisa mendapat keuntungan dari skema seperti ini.
Kenapa demikian? Karena dalam kapitalisme, pekerja terpisah sama sekali dari produk
yang dibuatnya sekaligus dari alat produksi yang digunakanya. Alat produksi dan produk
itu dimiliki oleh kapitalis sedangkan pekerja sudah dibeli tenaga kerjanya dengan “upah”.
Inilah yang kemudian disebut dengan “Alienasi”.
Darimana uang itu berasal? Ekonom-ekonom kapital menyatakan bahwa pertambahan itu
ada dari selisih antara ongkos produksi dan harga jual. Maka ongkos produksi + Laba =
harga jual. Benarkan demikian? Marx punya jawaban lain mengenai hal ini yang akan
coba diilustrasikan lewat analogi berikut ini:
Ongkos produksi untuk menciptakan barang A adalah 3 yang terdiri dari
komponen bahan mentah (1),tenaga kerja (1) dan laba (1). Maka total harga jual
untuk 1 unit barang x adalah 1+1+1=3
Untuk membuat 1 unit barang A diperlukan waktu 1 jam, sementara pabrik
beroperasi selama 8 jam sehingga jumlah barang yang dibuat dalam sehari adalah
8 unit barang A. Artinya pendapatan yang didapat oleh pemodal dari penjualan 8
barang A dalam sehari adalah 8 x 3 = 24.
Maka dapat kita lihat bahwa ongkos produksi yang sebenarnya ditanggung oleh
pemodal dalam sehari hanyalah tenaga kerja sebanyak 8 dan bahan mentah
sebanyak 8 sehingga total jumlahya adalah 8 + 8 = 16.
Maka sebenarnya dengan bekerja selama 6 jam saja sudah tercipta 6 unit barang
A yang artinya harga jualnya 6 x 3 = 18. Artinya pemodal sudah untung sebanyak
18 – 16 = 2
Faktanya setelah 6 jam bekerja dan menghasilkan laba sebesar 2 kepada kapitalis,
buruh masih harus bekerja lagi selama 2 jam karena pabrik beroperasi selama 8
jam, jadi kapitalis masih mendapat tambahan laba lagi sebesar 2 unit barang A x 3
= 6. Total dalam sehari kapitalis mendapat keuntungan 8.
Dari persamaan tersebut bisa dilihat bahwa laba kapitalis bukanlah sekedar selisih antara
harga produksi dengan harga jual. Laba itu dimungkinkan karena ada kelebihan jam kerja
yang diberikan buruh namun keuntungannya diambil oleh kapitalis. Kenapa hal itu bisa
terjadi? Karena kerja buruh sudah dibeli oleh kapitalis bukan berdasarkan nilai barang
yang akan diciptakannya melainkan berdasarkan jamnya. Pekerja tidak pernah mendapat
bagian dari laba atas penjualan barang yang diciptakannya karena dia sudah dibeli dengan
upah.
Persamaan matematis seperti ini oleh Marx disebut sebagai teori “Nilai Lebih”. Seorang
kapitalis untuk mendapatkan keuntungan harus membelanjakan uangnya untuk membeli
dagangan yang apabila digunakan dapat memberikan pertambahan nilai dari barang
dagangan itu sendiri dan barang lain. Satu-satunya barang yang punya sifat khas seperti
itu adalah tenaga kerja. Nilai lebih dari tenaga kerja inilah yang menjadi keuntungan bagi
kapitalis.
Pola perdagangan dengan skema kapitalisme ini mempunyai konskuensi. Kekayaan akan
semakin terkonsentrasi kepada segelintir kapitalis, sementara pekerja mendapat
penghasilan yang konstan atau bahkan berkurang jika dihadapkan pada kecenderungan
kenaikan harga. Di sisi lain, kenaikan harga adalah kebutuhan tak terelakkan dari
kapitalis untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan serta menghadapi persaingan
dengan perusahaan lain. Kenyataan ini tentu tak dapat dilepaskan dari fakta bahwa
keuntungan bagi sebagian orang berarti kerugian bagi sebagian yang lain.
Imperialisme Sebagai Perkembangan Tertinggi Kapitalisme18
Apa itu imperialisme? Imperialisme adalah tingkat kematangan yang tinggi dari
kapitalisme yang beroperasi. Terdapat perbedaan pandangan mengenai hal ini:
1. Imperialisme muncul sebagai nafsu dari negara industri maju untuk menguasai
perekonomian negara yang industrinya terbelakang. Pandangan ini meskipun
memandang negatif terdap imperialisme namun lebih dekat ke tradisi pemikiran
idealis yaitu memandang imperialisasi dilandasi oleh nafsu subjektif negara
industri maju.
2. Imperialisme adalah konskuensi tak terhindarkan akibat “ruang hidup”
kapitalisme di negara maju sudah terlalu sempit sehingga perlu mencari ekosistem
baru untuk mepertahankan hidupnya. Imperialisme bukan sekedar nafsu menjajah
negara industri maju ke negari agraris.19 Pandangan ini lebih dekat ke tradisi
materialis yaitu memandang imperialisme adalah produk suatu hubungan
produksi pada tahap tertentu.
Dari dua pendapat tersebut, pandangan kedua lebih mampu menjelaskan gejala yang
bernama “imperialisme” karena disitulah kita bisa menganalisanya lebih dari sekedar
nafsu, tapi sebuah implikasi dari sebuah proses.20 Imperialisme adalah kapitalisme
sekarat yang mencari ruang hidup baru untuk mempertahankan hidup. Kenapa
kapitalisme bisa sekarat? Sebab kapitalisme mempunyai kontradiksi tak terdamaikan
dalam dirinya sendiri yaitu kontradiksi antar kelas antara buruh dan kapitalis. Jika
kontradiksi ini terus berlanjut, maka akan tercipta suatu kondisi dimana konflik antara
buruh dan majikan menemui titik klimaksnya terjadi menjadi suatu revolusi. Untuk
menghindari titik klimaks inilah, maka kontradiksi dari operasi kapital yang sudah jenuh
di suatu tempat harus dipindahkan ke tempat lain yang masih memungkinkan.
Titik jenuh kapitalisme adalah karena sifat inheren dalam sistem itu sendiri dimana modal
akan semakin terkonsentrasi ke segelintir kapitalis. Dalam kondisi ini, maka akan terjadi
apa yang disebut surplus kapital. Surplus kapital ini tidak bisa tidak, harus diputar
kembali dalam proses produksi untuk meningkatkan laba (dalam rangka menjaga
kelangsungan hidup perusahaan sekaligus menghadapi persaingan dengan kapitalis lain).
Kapitalis-kapitalis di negara industri maju kemudian harus mencari ruang baru untuk
memutar surplus kapital ini di negeri-negeri yang masih terbelakang.
18
Bagian tulisan ini dirangkum dari beberapa tulisan yaitu: Lihat Bab VIII dari VI Lenin (2011),
Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme, tulisan terjemahan Ted Sprague yang diunduh penulis dari
website marxis.org pada bulan Mei 2011. Lihat juga: Ken Budha Kusumandaru (2004), Memperkenalkan
Konsep Lenin Tentang Imperialisme dalam: Jurnal Demokrasi Vol 2 No 3 Mei 2004, Yogyakarta, Forum
LSM DIY. Hal 3-25.
19
VI Lenin, Imperialisme, Tahapan... ibid.
20
Ini gagasan yang kemudian dilanjutkan oleh Bung Karno ketika melakukan analisa mengenai
Imperialisme Belanda di Indonesia. BK Merekam perbedapat mengenai imperialisme sebagai nafsu
maupun sebabagi konskuensi beroperasinya kapital yang kemudian mencapai titik jenuh. Berbagai
peendapat soal imperialisme dibandingkan seperti pendapat dari Otto Bauer, Rosa Luxemburg, VI Lenin,
Karl Kautsky, dan Rudolf Hilferding. Selengkapnya lihat dalam: Soekarno (1964) Swadhesi dan Massa
Aksi Di Indonesia, artikel dalam DBR Jilid 1. Hal 121-158.
Pada titik inilah kita dapat membaca bahwa proses tejadinya kolonialisasi bukanlah
sekedar didorong oleh nafsu negeri maju untuk menjajah negeri terbelakang, bukan pula
didorong oleh motivasi “pemberadaban” ala gold-glory-gospel. Kolonialisme adalah
imperialisme itu sendiri dimana bukan sekedar tentara kolonial menyerbu negeri jajahan
namun lebih dari itu: sistem dan investasi dari kapitalisme itulah yang berpindah ke
negeri jajahan.
Marhaen Muncul Sebagai Produk Imperialisme Belanda di Indonesia
Marhaen adalah orang melaratnya Indonesia sebagai akibat imperialisme. Maka untuk
masuk ke bahasan mengenai marhaen, kita harus membedah imperilaisme di Indonesia.
Imperialisme yang masuk ke Indonesia adalah imperialisme Belanda. Untuk melihat
seperti apa imperialisme Belanda, kita harus melihat kapitalisme yang melahirkannya,
yaitu kapitalisme Belanda. Menurut Bung Karno: corak imperialisme ditentukan oleh
corak kapitalisme yang melahirkannya. Sebagai negara dengan wilayah yang relatif kecil
serta miskin sumber daya alam, kapitalisme Belanda adalah kapitalisme yang mencari
bahan baku bagi industrinya. Mengapa demikian? Sebab wilayah Belanda yang kecil itu
tidak memungkinkan tersedianya bahan baku industri secara optimal bagi proses
produksinya. Karena sifat kapitalismenya yang mencari bahan baku itu, maka
kepentingan imperialisme Belanda di Indonesia adalah ketersediaan bahan baku dengan
harga murah.21
Ketika imperialisme Belanda mulai masuk ke wilayah nusantara, dia berjumpa dengan
tradisi tradisi pra-kapitalis baik itu masyarakat feodal maupun masyarakat pra-feodal.
Kecenderungan di barat (eropa) kepentingan kapitalis dan penguasa feodal itu
berseberangan, namun ternyata hal itu tidak terjadi di Indonesia. Feodalisme justru
mempunyai kepentingan yang sebangun dengan kapitalisme, sehingga jika di Eropa
datangnya kapitalisme mengakhiri feodalisme, di Indonesia justru feodalisme dihidupi
oleh imperialsme.22 Mungkin perbedaan kecenderungan ini terasa janggal. Maka untuk
melihat itu kita perlu untuk menengok penjelasan Prof. JH Boeke. Pertama tama kita
perlu melihat bagaimana feodalisme itu hidup di Indonesia saat awal kapitalisme
datang.23
Pada masa feodalisme, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di unit-unit ekonomi
mandiri bernama “desa”.24 Corak produksinya terutama bersifat subsisten yaitu
menghasilkan nilai pakai (bahan makanan untuk dimakan), bukan nilai jual. Pertukaran
masih sangat sedikit, dan apabila terjadi surplus, masyarakat lebih memilih
menyimpannya di lumbung sebagai cadangan makanan apabila datang masa paceklik.25
21
Soekarno (1964), Swadhesi dan Massa Aksi... ibid.
DN Aidit (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi, Jakarta, Yayasan Pembaruan. Hal 9.
23
Pada bagian ini saya terinspirasi oleh teori Boeke tentang “Ekonomi Dialistik”. Selengkapnya lihat: JH
Boeke (1983) Masyarakat Pra-kapitalis Asia, Jakarta, Sinar Harapan. Hal 15.
24
Dede Mulyanto (2011), Antropologi Marx, Bandung, Ultimus. Hal 67-75.
25
Bahkan di masa sekarangpun kita masih dapat menjumpai sisa-sisa masyarakat dengan corak produksi
seperti ini di pedalaman-pedalaman luar jawa. Bagaimanapun cepat atau lambat model-model seperti ini
akan semakin bersentuhan dengan kapitalisme.
22
Arus barang produksi dari desa ke kota terutama berstatus sebagai upeti kepada
penguasa-penguasa feodal yaitu raja dan bangsawan-bangsawan. Kota-kota terutama
bersifat administratif dan sangat minim terjadi proses produksi. Perdagangan di kota
terutama terjadi antara para penguasa feodal dengan orang-orang asing. Orang-orang desa
yang bekerja di kota biasanya hanya bersifat kerja sampingan saja. Perkerjaan utamanya
adalah bertani. Kerja di kota hanya bersifat mencari tambahan penghasilan dan secara
periodik (apabila musim tanam selesai – sesuai periode masa tanam tertentu).
Lalu dimanakah letak perbedaan kepentingan tuan tanah – kapitalis di Eropa dan di
Indonesia? kita akan lihat lewat poin-poin berikut ini. Pertama kita akan melihat apa yang
terjadi di belahan dunia barat (Eropa)
1. Di Eropa Karakter kapital yang menyedot banyak tenaga kerja dari pedesaan
(agraris) ke arah perkotaan (industri) membuat kepentingan kapitalis dan para
tuan tanah menjadi berseberangan karena:
2. Dengan tersedotnya tenaga kerja pedesaan ke perkotaan, maka desa menjadi
kekurangan tenaga kerja sehingga para tuan tanah harus mengupah tenaga kerja
untuk mengerjakan tanahnya. Semakin berkurang tenaga kerja di pedesaan,
semakin tinggi upah yang harus dibayar tuan tanah kepada pekerja. Ini tentu
merugikan para tuan tanah.
3. Di sisi lain, para kapitalis industri akan semakin berusaha menyedot banyak
tenaga kerja ke kota industrial karena kepentingian mereka jelas: Dengan semakin
banyaknya tenaga kerja di perkotaan, maka harga tenaga kerja (upah) akan
semakin murah.
Ketiga poin tadi menjelaskan latar belakang konflik antara para tuan tanah dan para
kapitalis di Eropa. Di Indonesia hal itu tidak terjadi karena:
1. Kepentingan Belanda mencari bahan baku bisa didapat dari para tuan tanah dan
bangsawan feodal. Mereka tinggal membeli saja komoditas yang sudah
disediakan oleh para tuan tanah dengan harga murah karena:
2. Para tuan tanah dan bangsawan feodal mendapatkan komoditas yang akan
dijualnya kepada Belanda secara gratis yaitu upeti dari rakyat yang menyewa
tanah darinya.
3. Para pekerja industri perkotaan (yang mulai tumbuh namun minim) justru
menguntungkan para tuan tanah karena mereka berasal dari petani pedesaan yang
hanya mencari tambahan penghasilan pada periode tertentu. Tambahan
penghasilan bagi petani berarti tambahan kemampuan membayar sewa tanah
kepada tuan tanah. Kondisi ini bisa dimanfaatkan para tuan tanah untuk
menaikkan harga sewa tanah.
4. bagi para bangsawan, tambahan penghasilan petani dari kerja sampingan di kota
juga menguntungkan. Para petani bisa meningkatkan produksi mereka shingga
para bangsawan bisa meminta tambahan upeti dari para petani.
Dalam kondisi imperialisme yang seperti ini, maka yang muncul bukanlah kelas proletar
melainkan para petani yang dimanfaatkan oleh tuan tanah dan kapitalis. Apakah di
Indonesia tidak tumbuh kelas proletar? Tentu saja tumbuh, namun sangat terbatas. Pada
fase awal VOC, Kepentingan VOC terutama mencari bahan baku yaitu komoditas
pertanian. Hal ini menyebabkan VOC tidak membuatnya perlu mendirikkan pabrikpabrik besar di Indonesia sehingga mereka tidak terlalu membutuhkan kelas pekerja.
Kelas yang tertindas dalam sistem imperialisme seperti ini sebagian besar adalah kaum
tani. Maka dari itulah Bung Karno mengasosiasikan marhaen sebagai sosok petani yang
ditemuinya di Cigereleng.
Seperti apa Bung Karno menganalisa imperialisme Belanda di Indonesia? Pengetahuan
akan ini menjadi penting agar kita dapat mengikuti alur pikiran Soekarno yang kemudian
melahirkan pemikiran tentang marhaen. Dalam artikelnya “Swadeshi dan Massa Aksi di
Indonesia (1932), Bung Karno mencoba membuat distingsi antara Imperialisme Inggris
di India dengan Imperialisme Belanda di Indonesia.26
Imperialisme Inggris di India lahir dari kapitalisme pasca revolusi industri yang
menyebabkan adanya surplus produksi di negara asalnya (Inggris) sehingga mereka harus
membuat barang-barang itu laku agar sirkulasi keuangan tidak macet. Dari karakter itu
kita dapat melihat bahwa sifat Imperialisme inggris adalah “menjual hasil produksi”.
Untuk itu, koloni-koloni Inggris, harus dibuat mempunyai daya beli namun juga tidak
boleh mempunyai kekuatan produksi yang terlalu kuat (karena akan mengancam
dominasi perdagangan barang hasil produksi Inggris).
Imperialisme Inggris disebut banci oleh Bung Karno karena sifatnya yang ambivalen:
menghambat tumbuh berkembangnya produsen pribumi, namun tidak membunuhnya
sama sekali (karena dengan mematikan produsen dalam pribumi, maka daya beli
masyarakat India akan hilang). Dalam kasus ini, perlawanan menggunakan strategi
Swadhesi yang dilancarkan oleh Mahatma Gandhi (semacam gerakan boikot produk
asing) menjadi signifikan dilakukan karena akan menghantam kepentingan utama
Imperialis.
Berbeda dengan Imperialisme Inggris, Imperialisme Belanda lahir dari Kapitalisme yang
berbeda. Imperialisme Belanda tidak lahir akibat surplus produksi yang timbul karena
revolusi industri. Sebaliknya imperialisme Belanda justru mencari hasil-hasil produksi
agraris dari negeri jajahanya (tentunya dengan harga yang semurah-murahnya).
Imperialisme Belanda adalah Imperialisme kolot. Dia lahir dari negeri yang tidak
mempunyai syarat cukup baik bagi timbulnya industri (miskin sumber daya alam sebagai
bahan baku maupun sebagai bahan bakar). Dalam situasi seperti ini, pertumbuhan
industri bumiputera bukan hanya dihambat, namun kalau perlu dimatikan. Kenapa? Agar
bumiputera tak punya pilihan selain menjual hasil hasil agrarianya dengan harga
berapapun.
26
Analisa Soekarno terhadap imperialisme di Indonesia sertidaknya bisa di baca di 3 tulisan: Swadhesi dan
Massa Aksi di Indonesia (Suluh Indonesia Muda 1923), Mencapai Indonesia Merdeka (1933), dan dalam
pidatonya yang terkenal ssebagai pembelaanya di persidangan Landraad Bandung: Soekarno (2010),
Indonesia Menggugat, Jakarta, Yayasan Bung Karno.
Bagaimana dengan Situasi Saat Ini?
Di muka telah diuraikan tentang latar belakang yang menjadi setting dari lahirnya
konsepsi marhaen. Dari uraian itu, terlihat bahwa imperialisme saat itu menghasilkan
pandangan Bung Karno tentang marhaen. Lantas bagaimana dengan saat ini? Kita harus
melihat perkembangan situasi imperialisme di Indonesia untuk dapat melakukan analisa
yang tepat. Ini penting untuk menakar anasir-anasir kontemporer, memetakan peluang
dan tantangan. Tanpa mengenali karakter jaman kita terjebak dogma mati. Jika sudah
teerjatuh sebatas sebagai dogma, Marhaenisme menjadi tidak up to date lagi menghadapi
jaman yang sudah berkembang pesat.
Tulisan Bung Karno “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” dibuat tahun 1932. Kini
setelah sekitar lebih dari 170 tahun sejak tulisan itu dibuat, kondisi objektif di Indonesia
berubah. Imperialisme yang bercokol bukan sekedar mencari bahan baku. Indonesia
adalah pasar potensial dari produk-produk kapitalisme yang membludak itu.. Dengan
mata telanjangpun kita bisa melihat betapa membanjirnya barang-barang import di negeri
ini. Pertanda bahwa daya beli masyarakat di Indonesia mulai kuat. Kelas menengah di
Indonesia sudah mulai tumbuh. Di sisi lain, investor-investor berkepentingan dengan
ketersediaan tenaga kerja murah bagi pabrik-pabriknya di Indonesia. Selain itu produksi
dalam negeri juga sudah mulai ada. Secara sederhana kita dapat melihat bahwa
kepentingan imperialis di Indonesia sekarang masih sama dengan yang pernah dikatakan
Aidit27:
1.
2.
3.
4.
Ketersediaan bahan baku dengan harga murah
Ketersediaan Tenaga Kerja Murah
Ketersediaan pasar potensial
Tempat penanaman modal
Perkembangan jaman membuat modus imperialisme pun berubah, tidak melulu
menggunakan senjata namun menggunakan cara-cara halus (meskipun dalam kasus-kasus
ekstrim perang tetap tak terhindarkan). Sekarang mari kita lihat sekilas setting
kontemporer yang kondisinya antara lain:
1. Sistem ekonomi nasional semakin terintegrasi dengan sitem kapitalisme
internasional
2. Peran negara semakin melemah berhadapan dengan korporasi internasional
wacana perdagangan bebas dan globalisasi.
3. Muncul dan semakin aktifnya gerakan gera
4. kan buruh (menuntut kenaikan UMP, bukan merebut kepemilikan alat produksi)
5. Maraknya sengketa agraria (bukan hanya dari kelompok-kelompok tani namun
juga kelompok adat)
27
DN Aidit (1964), Kibarkan Tinggi Panji Revolusi.. ibid. Hal 8.
Dewasa ini kita juga menyaksikan apa yang disebut dengan “Gelombang Demokratisasi
Ketiga” (Samuel Huntington). Saya sendiri sering menganggap ada kesebangunan antara
gelombang demokrasi ini dengan gelombang konsentrasi modal mencari ruang investasi
baru. Konskuensinya, rezim rezim yang menghalangi investasi betatapun demokratisnya
akan “didemokratiskan” termasuk dengan cara kekerasan, kalau perlu digulingkan (
seperti yang menimpa Muammar Khadaffy di Libya, Saddam