Fenomena Hoax dan Hate Speech di Indones

FENOMENA HOAX DAN HATE
SPEECH DI INDONESIA
Ranadya Kartika Nadhila Putri (8111416065)
Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang (UNNES)
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Email: rakartikanp@students.unnes.ac.id

Abstrak—
Seiring
dengan
perkembangan
teknologi,
dengan
kehadiran media online banyak
membawa hal positif dan kemudahan
untuk masyarakat dalam mencari dan
mendapatkan
informasi
dan
memudahkan
masyarakat

untuk
berinteraksi dengan pengguna media
online lainnya. Media Sosial merupakan
media paling efektif dalam menerima
dan menyebarkan informasi dari satu
tempat ke tempat lainnya. Namun dalam
menerima dan menyebarkan informasi
di media sosial tidak dapat langsung
diketahui fakta kebenarannya, terdapat
beberapa orang atau kelompok yang
tidak bijak dalam menggunakan media
online. Mereka yang tidak bijak dalam
menggunakan media online adalah
orang atau sekelompok orang yang
dengan
sengaja
menyebarkan
pemberitaan palsu (hoax) dan ujaran
kebencian (hate speech) di media
online

dengan
tujuan
untuk
mempengaruhi sikap dan pikiran orang
atau masyarakat yang membaca
informasi palsu dan ujaran kebencian
tersebut. Pemberitaan palsu (hoax) dan
ujaran kebencian (hate speech) bukan
rahasia umum di masyarakat khususnya
di Indonesia, kedua hal tersebut saling
berkaitan dan dapat kita jumpai hampir
di seluruh sosial media. Semakin tinggi
penggunaan media online, tentu dapat
meningkatkan aktivitas hoax dan hate
speech online. Faktor utama yang

XXX-X-XXXX-XXXX-X/XX/$XX.00 ©20XX IEEE

menyebabkan informasi palsu mudah
tersebar di Indonesia adalah karakter

masyarakat Indonesia yang dinilai
belum terbiasa berbeda pendapat atau
berdemokrasi secara sehat. Ancaman
global yang dapat menyebabkan
perpecahan persatuan dan kesatuan
Indonesia, salah satunya dengan
maraknya isu berita hoax atau fake
news dan juga ujaran kebencian. Fokus
dalam
pembahasan
ini
untuk
mendeskripsikan keadaan Indonesia
yang
sedang
marak
fenomena
pemberitaan palsu (hoax) dan ujaran
kebencian (hate speech) dan apa saja
faktor penyebab penyebaran hoax dan

hate speech, serta sanksi pidana pada
pihak yang terkait.
Kata Kunci— (Hoax Information,
Hate Speech, Sosial Media)

I. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk
sosial yang membutuhkan interkasi,
dalam interaksi tersebut menimbulkan
adanya komunikasi anatara manusia
satu dengan manusia lainnya. Media
Sosial merupakan sarana yang paling
efektif
dan
efisien
dalam
menyampaikan informasi kepada pihak

lain. Media sosial digunakan secara
produktif oleh seluruh masyarakat,

dunia bisnis, politik, media, periklanan,
polisi, dan layanan gawat darurat.
Media sosial menjadi kunci yang
digunakan untuk memprovokasikan
pemikiran, dialog, dan tindakan isu
sosial. Saat ini media online mengalami
kemajuan yang sangat pesat, semua
dapat dijangkau dengan mudah melalui
internet termasuk untuk mendapatkan
informasi dan berita terkini. Haenlein
mendifinisikan media sosial sebagai
sebuah kelompok aplikasi berbasis
internet yang membangun diatas dasar
ideologi dan teknologi web 2.0, dan
yang memungkinkan penciptaan dan
pertukaran user-generated content.1
Sedangkan menurut Kietzmann media
sosial diaktifkan
dengan teknik
komunikasi ubiquitoushy diakses dan

terukur, media sosial secara substansial
mengubah cara komunikasi antara
organisasi, masyarakat dan individu.2
Berita ialah laporan terkini
tentang fakta atau pendapat yang
penting atau menarik bagi masyarakat
dan disebarluaskan melalui media masa,
“News is newly report of fact or opinion
which is important or interesting for the
audience and published through mass
media”.3 Berita seharusnya berisi suatu
fakta yang nyata benar adanya, namun
saat ini berita sudah terbumbui oleh
kepalsuan atau kebohongan yang
disebut dengan hoax. Media sosial
merupakan tempat atau wadah untuk
seseorang mengemukakan pendapat
serta
menyuarakan
pikirannya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari

berbagai situs web, di tahun 2016
terdapat 132,7 juta orang di Indonesia
yang menggunakan internet 40% nya
merupakan pengguna aktif media sosial
dari 256,2 juta orang penduduk di
Indonesia. Pengguna internet terbanyak
berada di Pulau Jawa dengan jumlah
pengguna sebesar 86.399.350 pengguna
atau sekitar 65% dari total pengguna
internet di Indonesia.4 Jumlah tersebut
meningkat 51,8% dari tahun 2014 yang
pada saat itu hanya terdapat 88 juta
orang pengguna internet. Berdasarkan
servey Brandwatch 2016 didapatkan
fakta dan statistik media sosial dari 7,3
miliar penduduk dunia pada Juli 2015
tercatat hasil “bahwa sebanyak 3,7
miliar pengguna internet, sebanyak 2,3

miliar pengguna aktif yang rata-rata
memiliki 5 akun sosial media, pada
tahun 2016 pengguna sosial naik 176
juta, dan setiap hari ada 1 juta pengguna
media sosial mobile yang setara dengan
12 orang per detik)”. Dan berdasarkan
data dari Kementerian Komunikasi dan
Informasi, pengguna internet di
Indonesia berada di peringkay ke enam
setelah China, Amerika Serikat, India,
Brazil, dan Jepang.
Saat ini Indonesia sedang marak
fenomena pemberitaan palsu (hoax) dan
ujaran kebencian (hate speech) online di
media sosial. Pemberitaan Palsu (hoax)
merupakan informasi palsu yang dibuat
dengan sengaja oleh seseorang atau
sekelompok orang yang kemudian
disebarluaskan di media online, yang
sesungguhnya informasi tersebut tidak

bisa dibuktikan kebenarannya atau
merupakan fakta palsu namun dibuat

1 Andreas M Kaplan & Michael Haenlein.
Business Horizons 53: User of the world, unite!
The Challenges and opportunities of Social
Media, 2010.

3 Jani Josef, To Be A Journalist: Menjadi
Jurnalis TV, Radio dan Surat Kabar yang
Profesional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.
22
4 Yanti Dwi Astuti, Peperangan Generasi Digital
Natives Melawan Digital Hoax Melalui
Kompetisi Kreatif. INFORMASI Kajian Ilmu
Komunikasi Volume 47. Nomor 2. Desember
2017.

2 Jan H Kietzmann, Kris Hermkens, Ian P.
McCarthy, and Bruno S. Silvestre. Business

Horizons 54: Understanding the functional
building blocks of social media, 2011.

seolah-olah benar adanya. Hoax
bertujuan untuk mebuat opini publik,
menggiring opini publik, menguji
kecermatan dan kecerdasan pengguna
internet dan media sosial. Sedangkan
Ujaran Kebencian (hate speech) dapat
diartikan sebagai sebuah pesan atau
perkataan
dari
seseorang
yang
mendorong kebencian terhadap individu
atau golongan tertentu. Salah satu
alasan hate speech sangat mudah terjadi
dan tersebar di media sosial, karena
kemudahan penggunaan media sosial itu
sendiri yang sifatnya terhubung antara

situs berita online. Holmes, mengatakan
bahwa
media
sosial
memiliki
karakteristik khusus tidak terpusat
(desentralisasi), komunikasi secara dua
arah, diluar kontrol pemerintah,
demokratis, menimbulkan kesadaran
individu dan juga orientasi kesadaran
individu.5Fenomena penyebaran hoax
dan hate speech ini sangat meresahkan
masyarakat di Indonesia, karena banyak
pihak yang dirugikan atas fenomena
tersebut.
Berdasarkan informasi dari situs
web Kementerian Komunikasi dan
Informatika
Republik
Indonesia,
sepanjang tahun 2016 Direktorat
Reskrimus Polda Metro Jaya telah
berhasil memblokir 300 lebih akun
media sosial dan media online yang
menyebarkan
informasi
hoax,
provokasi, hate speech, hingga ujaran
SARA dari 800 ribu situs di Indonesia
yang telah terbukti sebagai penyebar
berita palsu dan ujaran kebencian yang
akan terus diawasi pemerintah. Bramy
Biantoro (2016) menyebutkan ada
empat bahaya yang ditimbulkan dari
berita hoax, yakni hoax membuang
waktu dan uang, hoax menjadi
pengalihan isu, hoax sebagai sarana
penipuan publik, dan juga hoax sebagai
5 Holmes, David. (2005). Communication
Theory: Media, Technology, and Society. Sage
Publications: London.

pemicu kepanikan publik. Hasil survey
tentang wabah hoax nasional yang
dilakukan oleh Mastel (2017) bahwa
saluran penyebar berita atau informasi
yang berisi konten hoax tertinggi adalah
media sosial berupa facebook sebesar
92,40%, aplikasi chatting 62,80% dan
situs web 34,90%. Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
Ruri
Rosmalinda (2017) tentang “fenomena
penyesatan berita di media sosial”
menyatakan
bahwa
pengaruh
perkembangan teknologi bisa menjadi
ancaman global termasuk terhadap
Indonesia
yang
terkait
dengan
penyebaran berita palsu / hoax.
Perilaku
penyebaran
hoax
melalui media sosial sangat dipengaruhi
oleh pembuat berita baik individu
maupun
kelompok,
dari
yang
berpendidikan tinggi sampai dengan
berpendidikan rendah dan terstruktur
sangat
rapi.
Masyrakat
sebagai
konseumen informasi dapat dilihat
masih belum bisa membedakan mana
informasi yang benar dan mana
informasi yang palus atau hoax.
Terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi terjadinya hal tersebut,
salah satunya yaitu ketidaktahuan
masyarakat dalam menggunakan media
sosial secara bijaksana. Kegaduhan
dalam media sosial dapat berimbas pada
kehidupan riil atau nyata, karena media
sosial ini juga membentuk konstruksi
pemaknaan tentang asumsi sosial.
Pihak-pihak penyebar hoax dan hate
speech semakin dimudahkan karena
kurangnya penyaringan berita di media
sosial sehingga berita dan informasi
apapun yang diunggah oleh seseorang
dapat dengan mudah beredar.
Maka dari itu, berdasarkan latar
belakang diatas penulis berkeinginan
untuk membahas fenomena hoax dan
hate speech yang membuat warga
Indonesia ini secara lebih lanjut dengan
merumuskan beberapa masalah yang

akan dibahas dalam penulisan ini,
diantaranya :
1) Bagaimana perkembangan
fenomena hoax dan hate
speech di Indonesia
2) Apa saja faktor penyebab
terjadinya hoax dan hate
speech di Indonesia
3) Bagaimana penerapan sanksi
pidana terhadap pihak yang
terkait dalam penyebaran
berita palsu atau hoax dan
ujaran kebencian atau hate
speech
4) Bagaimana peran pemerintah
dalam penanganan fenomena
hoax dan hate speech

II.

METODE PENULISAN

Metode
penulisan
yang
digunakan pada analisis yang berjudul
“Fenomena Hoax dan Hate Speech” ini
adalah deskriptif kualitatif yang
dirancang
untuk
mengumpulkan
informasi tentang keadaan-keadaan
yang sedang berlangsung. Penelitian
deskriptif kualitatif adalah suatu metode
dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek dengan tujuan
membuat deskriptif, gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta atau fenomena yang
diselidiki.6
Berdasarkan teori fenomenologi
oleh Alfred Schutz, dalam The
Penomenologi of Sosial World,
mengemukakan bahwa orang secara
aktif
menginterprestasikan
pengalamannya dengan memberi tanda
dan arti tentang apa yang mereka lihat.
6 Convello G. Cevill, dkk, Pengantar Metode
Penelitian, Jakarta : Universitas Indonesia,
1993,71.

Schutz
menjelaskan
pengalaman
inderawi sebenarnya tidak mempunyai
arti,
hanya
objeknyalah
yang
7
bermakna. Maka muncul yang ketika
dihubungkan
oleh
pengalaman
sebelumnya serta dengan proses
interaksi dengan orang lain. Karema itu,
terdapat makna individual, dan ada
makna
kolektif
tentang
sebuah
8
fenomena.
Sumber Data : dalam metode
penulisan, sumber data yang digunakan
oleh penulis adalah data sekunder yang
digunakan
oleh
penulis
untuk
memperoleh data dengan penelitian
kepustakaan yaitu dengan mempelajari
literatur-literatur maupun sumber data
lainnya yang berkaitan dengan masalah
penulisan ini.

III. HASIL DAN
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Hoax dan
Hate Speech di Indonesia

7 Afdjani, Hadiono, Soemirat, Soleh. Makna
Iklan Televisi,Studi Fenomenologi Pemirsa di
Jakarta terhadap Iklan Televisi Minuman “Kuku
Bima Energi”Versi Kolam Susu, Jurnal Ilmu
Komunikasi, Vol. 8, No. 1, Januari-April 2010.
8 O. Hasbiansyah, “Pendekatan fenomenologi:
Pengantar Praktik penelitian dalam Ilmu Sosial
dan Komunikasi”, Journal Of Mediator, Vol. 9
No. 1 (Juni, 2008), 165

Berita palsu atau hoax menjadi
fenomena di Indonesia yang membuat
masyarakat resah setiap harinya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa berita-berita
bernuansa profokatif di media massa
banyak menarik perhatian masyarakat.
Pemanfaatan media sosial menjadi
tempat masyrakat menyampaikan opini
publik terhadap isu yang sedang
berkembang dimasyarakat. Dengan
adanya internet masyarakat bisa
beropini melalui media sosial baik
Twitter, Facebook, Line, Instagram dan
lain sebagainya. Pemerintah seharusnya
mulai serius untuk menangani fenomena
penyebaran hoax dan hate speech di
media sosial. Guru besar Ilmu
Komunikasi Universitas Padjajaran,
Bandung, Deddy Mulyana mengatakan
bahwa faktor utama yang menyebabkan
informasi palsu (hoax) mudah tersebar
di Indonesia yakni faktor dari karakter
asli manusia itu sendiri yang dinilai
tidak terbiasa berbeda pendapat atau
berdemokrasi secara sehat. Hal tersebut
merupakan salah satu faktor mudahnya
masyarakat menelan hoax yang
disebarkan dengan sengaja. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh
Atik Astrini dalam jurnalnya yang
berjudul
“Hoax
Dan
Banalitas
Kejahatan” mengemukakan bahwa
penyebaran hoax di media sosial dan
media online tidaklah terjadi begitu saja
tanpa adanya kepentingan individu yang
melatarbelakanginya.
Kepentingan
tersebut baik dalam politik kekuasaan,
ekonomi, ideologis, sentiment pribadi
dan hanya untuk menghibur dirinya
sendiri.9
Dalam
riset
Mastel
(Masyarakat Telematika Indonesia) hal
yang paling sering diangkat menjadi
materi untuk konten hoax adalah isu
politik dan SARA. Isu sensitif tentang
politik dan SARA dimanfaatkan oleh
9 Astrini, Atik (2017), Hoax Dan Banalitas
Kejahatan, Transformasi No. 32 Tahun 2017,
Vol. II, 76-77.

penyebar
hoax
guna
untuk
mempengaruhi opini publik sebesar
91,8%, isu SARA sebesar 88,6%.
Pemberitaan media siber tidak sama
dengan media cetak. Media siber
dituntut segala hal berlangsung cepat,
sehingga tidak memverifikasi ke sumber
resmi dan tidak tepat dalam proses
pencarian informasi dan pengolaan
berita. Sehingga dapat me10nimbulkan
tersebarnya berita palsu.11 Berita
seharusnya mengandung fakta, namun
salah satu contoh pemberitaan yang
terjadi kesalahan adalah pada media
Detikcom yaitu pemberitaan bahwa
terdapat seorang WNI yang tewas di
Mesir. Terdapat mekenismne yang tidak
tepat pada saat pencarian informasi,
Detikcom tidak menguji informasi atau
melakukan check and recheck tentang
kebenaran informasi tersebut. Sehingga
saat itu Detikcom dianggap memuat
berita palsu.
Di Indonesia belum ada data
kuantitatif
yang
menunjukkan
peningkatan pesan kebencian (hate
speech) online. Namun terdapat
beberapa peritiwa yang memberikan
dampak mengerikan dari beredarnya
hate speech, seperti contoh kasus
kerusuhan Tanjung Balai. Terjadi pada
Juli
2016,
berawal
pada
kesalahpahaman beberapa orang yang
kemudian disebarluaskan melalui media
sosial. Masyarakat yang menerima
pesan tanpa memahami permasalahan
yang sesungguhnya akan tersulut
amarah,
dan
kemudian
turut
menyebarkan pesan tersebut. Semakin
10 Anninditya Annisa. 2012. “Etika dan Prinsip
Jurnalisme Media Siber Detikcom Mengenai
Mekanisme Pemberitaan Tewasnya WNI di
Kerusuhan Mesir”. e-Jurnal Mahasiswa
Universitas Padjajaran Vol 1 No. 1
11 Vibriza Juliswara. Mengembangkan Model
Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam
Menganalisis Informasi Palsu (Hoax) di Media
Sosial. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4
No. 2, 2017

berlanjut penyebaran pesan tersebut
mengakibatkan kemarahan massa dan
perusakan sebuah tempat ibadah.
Sebelum kasus ini juga terdapat kasus
ujaran kebencian pada saat pesta politik
seperti pemilihan legislatif, bahkan
dalam pemilihan presiden. Para
pendukung
masing-masing
calon
pemimpin saling menjelekkan bahkan
ujaran kebencian, mereka saling serang
dengan pesan-pesan kebencian di media
sosial.
Menurut
UNESCO,
pesan
kebencian merujuk pada ekspresi
hasutan untuk menyakiti (khususnya
diskriminasi,
permushuan
dan
kekerasan) terhadap sasaran kelompok
sosial atau demografis tertentu,
misalnya
perkataan
membela,
mengancam, atau mendorong tindakantindakan kekerasan.12 Konsep ini
kadang diperluas pada ekspresi yang
menumbuhkan iklim prasangka dan
intoleransi yang diasumsikan menjadi
bahan bakar diskriminasi, permusuhan,
dan serangan kekerasana.13
B.
Faktor
penyebab
terjadinya hoax dan hate speech di
Indonesia dan penerapan sanksi
pidana terhadap pihak yang terkait
penyebaran berita palsu dan ujaran
kebencian
Segala sesuatu yang terjadi pasti
terdapat faktor yang memicu fenomena
tersebut terjadi dan semakin melebar
luas.
 Faktor terjadinya hoax
Hoax merupakan berita bohong
yang kebenarannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan bahkan oleh
pembuat berita itu sendiri. Berikut
12 Keong, Yuen Che, Sidra Naim, Noor Darliza
Mohamad Zamri. 2014. “Online News Report
Headlines of Education Malaysia Global
Services”,
Malaysian
Journal
of
Communication,Vol. 30 No. 2, Pp. 159-182.
13 Gagliardon, et.al. 2015. Countering Online
Hate Speech. Paris: UNESCO Publishing

beberapa faktor
mengapa hoax
mudah tersebar di media sosial :
1. Sebuah
keisengan
untuk
hiburan. Setiap orang memiliki
cara sendiri untuk membuat
dirinya senang merasa terhibur,
dengan adanya media sosial
setiap orang yang merasa
membutuhkan hiburan akan
melakukan hal-hal aneh yang
penuh dengan fantasi.
2. Hanya untuk mencari perhatian
atau sensasi para pengguna
media sosial lainnya.
3. Beberapa orang lain melakukan
atau menyebarkan hoax untuk
mendapatkan
banyak
uang
dengan bekerja sama dengan
para oknum. Hal ini dapat
dilihat dalam Kasus Saracen
4. Adanya keinginan menyebarkan
berita hoax hanya agar lebih
seru. Ini merupakan salah satu
cara
marketing
dengan
menyuguhkan suatu konten
berita yang judulnya dilebihlebihkan.
5. Hoax juga mudah tersebar
karena adanya keinginan untuk
menyudutkan pihak lain atau
dalam hal ini disebut black
campaign. Hal ini sering terjadi
pada saat pilkada/ pilgub/
pilpres
hanya
untuk
menjatuhkan kelompok lain.
6. Adanya orang yang memang
sengaja ingin menimbulkan
keresahan masyarakat dan dapat
mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya.
7. Adanya niat ingin mengadu
domba
merupakan
faktor
terpenting juga dalam terjadinya
penyebaran hoax. Tujuannya
mengadu domba pihak satu

dengan pihak yang lainnya tanpa
adanya kepentingan tertentu
dengan niat menjatuhkan kedua
lawan tersebut.
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan oleh Ruri Rosmalinda,
terdapat penyebab munculnya hoax
ada beberapa faktor, diantaranya :
1. Kemudahan bagi masyarakat
dalam memiliki alat komunikasi
yang modern dan murah. Dalam
hal ini adalah pengguna
smartphone
sebagai
media
pencarian informasi
2. Masyarakat mudah terpengaruh
oleh isu yang belum jelas tanpa
memverifikasi
atau
mengkonfirmasi
kebenaran
informasi tersebut, sehingga
masyarakat
dengan
mudah
menyebarkan informasi tersebut
3. Kurangnya minat membaca pada
masyarakat.
Sehingga
ada
kecenderungan membahas berita
tidak berdasarkan data akurat
dan bersumber yang tidak jelas.
 Faktor terjadinya hate speech
Ujaran kebencian adalah tindakan
komunikasi yang dilakukan oleh
individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi, hasutan ataupun
hinaan
kepada
individu
atau
kelompok lain. Pada umumnya,
ujaran kebencian berisikan hal yang
berkaitan dengan aspek ras, warna
kulit,
etnis,
gender,
cacat,
kewarganegaraan, agama dan lainlain. Ujaran kebencian merupakan
ujaran atau ekspresi verbal dan
nonverbal yang digunakan untuk
merendahkan, menindas atas dasar
keanggotaan
mereka
dalam
kelompok sosial atau etnis.14 Jika
14 Alief Sutantohadi, Rokhimatul Wakhidah.
Bahaya Berita Hoax Dan Ujaran Kebencian

ujaran yang disampaikan dengan
berkobar-kobar dan bersemangat itu
ternyata dapat mendorong orang lain
untuk melakukan kekerasan atau
menyakiti orang atau kelompok lain,
maka pada saat itu juga hasutan
kebencian
itu
berhasil
15
dilakukan. Terdapat
beberapa
penyebab terjadinya hate speech di
media sosial, diantaranya sebagai
berikut :16
1. Salah paham, dalam hal ini
ujaran kebencian bisa saja terjadi
karena adanya kesalahpahaman
individu akan suatu informasi
yang ia dapat. Orang tersebut
akan langsung menuliskan pesan
kebencian tanpa mengkonfirmasi
kebenaran informasi terebut
2. Terbawa emosi, salah satu faktor
terjadinya hate speech karena
terlalu terbawa emosi. Hal ini
sering sekali terjadi, sehingga
bisa memancing keributan dan
kebencian pada siapapun.
3. Tidak sependapat, hal ini
merupakan
suatu
ekspresi
seseorang apabila ia tidak
menyukai dan tidak sependapat
pada
informasi
tersebut.
Sehingga individu menuliskan
pesan
yang
kasar
dan
menyinggung pihak yang di
kritik.
4. Faktor yang paling berpengaruh
karena adanya kebencian pribadi.
Pada Media Sosial Terhadap Toleransi
Bermasyarakat. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, Dikemas Vol.1, No.1 Tahun 2017
15 M. Chirul Aman dan Muhammad Hafix, “SE
Kapolri Tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) dalam rangka Hak Asasi
Manusia”. Jurnal Keamanan Nasional, Vol 1 No
3 (2005), hlm 345
16 Moh. Putra Pradipta Duwila. Tinjauan
Sosiologi Hukum Terhadap Ujaran Kebencian
Di Media Sosial. Makassar : 2016. Hlm 65

C. Penerapan
sanksi
pidana
terhadap pihak yang terkait
dalam penyebaran berita palsu
dan ujaran kebencian
Ketentuan tentang penyebaran
berita bohong dapat menerbitkan
keonaran yang diaturu dalam dua
ketentuan melalui UU No 1 tahun
1946 tentang Hukum Pidana. Pasal
14 UU a quo menegaskan : ayat 1
“barangsiapa, dengan menyiarkan
berita atau pemberitahuan bohong,
dengan
sengaja
menerbitkan
keonaran
dikalangan
rakyat,
dihukum dengan penjara setinggitingginya sepuluh tahun”; ayat 2
“barangsiapa
mengeluaran
pemberitahuan
yang
dapat
menerbitkan kenaran dikalagan
rakyat sedangkan dia patut dapat
menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu bohong, dihukum
dengan penjara setinggi-tingginya
tiga tahun”.
Melihat
maraknya
pesan
kebencian di Indonesia, pemerintah
melalui
kepolisian
(Polri)
mengeluarkan edaran khusus yang
memberi ancaman terhadap pelaku
penyebar kebencian. Dalam Surat
Edaran
(SE)
Kapolri
Nomor
SE/6/X/2015 itu disebutkan bahwa
persoalan ujaran kebencian semakin
mencapatkan perhatian masyarakat
baik nasional ataupun internasional
seiring meningkatnya kepedulian
terhadap perlindungan hak asasi
manusia (HAM). Pada Nomor 2
huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa
“ujaran kebencian dapat berupa
tindak pidana yang diatur dalam
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana (KUHP) dan ketentuan [idana
;ainnya di luar KUHP, yang
berbentuk antara lain :
1. Penghinaan
2. Pencemaran nama baik
3. Penistaan

4.
5.
6.
7.

Perbuatan tidak menyenangkan
Memprovokasi
Menghasut
Penyebaran berita bohong
dan semya tindakan di atas
memiliki tujuan atau bisa
berdampak
pada
tindak
diskriminasi,
kekerasan,
penghilangan nyawa dan/atau
konflik sosial”.17

Penyebar
berita
hoax
akan
dikenakan
pasal
terkait
ujaran
kebencian dan telah diatur dalam KUHP
dan UU lain di luar KUHP. Dalam
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008
yang telah diperbaharui menjadi
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016
tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik telah diatur mengenai tindak
pidana yang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan berita bohong atau
hoax yang menyebabkan kerugian
konsumen transaksi elektronik dan
menyebarkan
informasi
untuk
menimbulkan rasa kebencian dan
pemusuhan (pasal 28 jo pasal 45A).18
Dituliskan dalam naskah “setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik, dipidana dengan denda
penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau
denda
paling
banyal
Rp.1.000.000.000,00
(satu
miliar
rupiah)”19
17 Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor. SE/6/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate
Speech)
18 Nur Aisyah Siddiq. Penegakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Berita Palsu
(Hoax) Menurut Undang-Undang No.11 Tahun
2008 Yang Telah Dirubah Menjadi UndangUndang No.19 Tahun 2016 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik. Jurnal Lex Et
Societatis Vol. V/No. 10/Des/2017
19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi danTransaksi

Meskipun telah jelas tercantum
hukum yang berlaku bagi penyebar
hoax dalam Undang-Undang tersebut,
nyatanya masih saja banyak berita yang
memuat unsur provokasi yang beredar
di media sosial.

D. Peran pemerintah dalam fenomena
hoax dan hate speech di Indonesia
Peran
pemerintah
pada
terjadinya hoax dan hate speech telah
dipaparkan pada beberapa pasal yang
akan diberikan pada penyebar hoax,
diantaranya dalam KUHP, UndangUndang No.11 tahun 2008 tentang ITE,
Undang-Undang No.40 tahun 2008
tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis. Pemerintah telah memblokir
sekitar 11 situs yang mengandung
konten
negatif,
namun
kasus
pemblokiran tersebut tidak sampai ke
pengadilan. Pemerintah telah mulai
serius dalam penanganan fenomena
hoax dan hate speech. Salah satunya
dengan revisi UU ITE yang baru guna
untuk menjerat para pembuat berita
hoax
dan
juga
mereka
yang
menyebarkan berita hoax tersebut.
Pemerintah telah melakukan
literasi media guna untuk mecegah
penyebaran hoax. Literasi media adalah
perspektif yang dapat digunakan ketika
berhubungan dengan media agar dapat
menginterpretasikan suatu pesan yang
disampaikan oleh pembuat berita.
Literasi media merupakan pendidikan
yang mengajarkan khalayak media agar
memiliki kemampuan menganalisis
pesan media, memahami bahwa media
memiliki tujuan komersial/bisnis dan
politik sehingga mereka mampu untuk
bertanggungjawab dan memberikan
respon yang tepat.20
Elektronik.
20 Rochimah. Gerakan
Melindungi Anak-Anak

Literasi Media:
dari Gempuran

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa
hoax dan hate speech merupakan satu
kesatuan yang saling berkaitan di media
online. Kedua hal tersebut merupakan
fenomena yang hampir dialami oleh
seluruh lapisan kalangan masyarakat.
Nyatanya di Indonesia masih banyak
orang yang tidak cermat dalam memilih
dan menyebarkan berita atau informasi
yang ia dapat. Kebanyakan masyarakat
di Indonesia tidak terlebih dahulu
mencari tau tentang fakta dan kebenaran
informasi yang beredar luas. Kurangnya
kecermatan pada masyarakat inilah
yang memberi keutungan untuk para
pihak penyebar berita palsu.
Kasus hoax dan hate speech
semakin memanas dan membuat
masyarakat resah. Hate speech sering
kali dilontarkan oleh individu kepada
individu lain guna untuk melampiaskan
kekesalannya atau untuk menjatuhkan
pihak lain. Semakin tinggi tingkat
keresahan masyarakat maka dengan ini
membuat pemerintah menjadi lebih
serius dalam penangan kasus hoax dan
hate speech. Terbukti dengan revisi UU
ITE guna untuk menjerat para pembuat
berita hoax dan hate speech, namun
ancaman pidana pada UU ini dinilai
masih kurang efisien karena penyebaran
berita hoaxx sudah sangat masif dan
dilakukan
hampir
oleh
seluruh
masyarakat
pengguna
internet.
Pemerintah diharapkan lebih cepat
dalam merespon feomena hoax yang
beredar dimasyarakat dan memberi
pemahaman kepada masyarakat dengan
mensosialisasikan UU ITE.
Hal ini dapat di sikapi oleh para
pengguna media sosial yang cerdas,
Pengaruh Media. 2011. Yogyakarta : Rumah
Sinema. Hlm 36

sebagai generasi penerus bangsa
harusnya bijak dalam segala hal
termasuk
ketika
mengggunakan
internet. Jangan mudah terprovokasi
dan percaya pada berita yang
disebarkan, langkah pertama yang harus
dilakukan
adalah
mengkonfirmasi
kembali kebenaran suatu berita dengan
cara membandingakan pada sumber
yang lebih valid, serta dengan tidak
menyebarkan informasi tersebut apabila
belum yakin dengan kebenarannya.

[9]

[10]

REFERENSI
[1]

[2]

[3]
[4]

[5]

[6]

[7]

[8]

Andreas M Kaplan & Michael
Haenlein. Business Horizons 53:
User of the world, unite! The
Challenges and opportunities of
Social Media, 2010.
Convello G. Cevill, dkk,
Pengantar Metode Penelitian,
Jakarta : Universitas Indonesia.
1993.
Gagliardon, et.al. Countering
Online Hate Speech. Paris:
UNESCO Publishing. 2015.
Holmes, David. Communication
Theory: Media, Technology, and
Society.
Sage
Publications:
London. 2005.
Jan
H
Kietzmann,
Kris
Hermkens, Ian P. McCarthy, and
Bruno S. Silvestre. Business
Horizons 54: Understanding the
functional building blocks of
social media, 2011.
Jani Josef, To Be A Journalist:
Menjadi Jurnalis TV, Radio dan
Surat Kabar yang Profesional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Moh. Putra Pradipta Duwila.
Tinjauan
Sosiologi
Hukum
Terhadap Ujaran Kebencian Di
Media Sosial. Makassar : 2016.
Rochimah. Gerakan Literasi

[11]

[12]

[13]

[14]

Media: Melindungi Anak-Anak
dari Gempuran Pengaruh Media.
Yogyakarta : Rumah Sinema.
2011.
Afdjani, Hadiono, Soemirat,
Soleh.
Makna
Iklan
Televisi,Studi
Fenomenologi
Pemirsa di Jakarta terhadap Iklan
Televisi Minuman “Kuku Bima
Energi”Versi Kolam Susu, Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol. 8, No. 1,
Januari-April 2010.
Alief Sutantohadi, Rokhimatul
Wakhidah. Bahaya Berita Hoax
Dan Ujaran Kebencian Pada
Media Sosial Terhadap Toleransi
Bermasyarakat.
Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat,
Dikemas Vol.1, No.1 Tahun 2017
Anninditya Annisa. 2012. “Etika
dan Prinsip Jurnalisme Media
Siber
Detikcom
Mengenai
Mekanisme
Pemberitaan
Tewasnya WNI di Kerusuhan
Mesir”. e-Jurnal Mahasiswa
Universitas Padjajaran Vol 1 No.
1
Astrini, Atik (2017), Hoax Dan
Banalitas
Kejahatan,
Jurnal
Transformasi No. 32 Tahun 2017,
Vol. II
Nur Aisyah Siddiq. Penegakan
Hukum
Pidana
Dalam
Penanggulangan Berita Palsu
(Hoax) Menurut Undang-Undang
No.11 Tahun 2008 Yang Telah
Dirubah
Menjadi
UndangUndang No.19 Tahun 2016
Tentang Informasi Dan Transaksi
Elektronik. Jurnal Lex Et
Societatis
Vol.
V/No.
10/Des/2017
Keong, Yuen Che, Sidra Naim,
Noor Darliza Mohamad Zamri.
2014. “Online News Report
Headlines of Education Malaysia
Global Services”, Malaysian
Journal of Communication,Vol.

[15]

[16]

[17]

[18]

[19]

[20]

30 No. 2, Pp. 159-182
M. Chirul Aman dan Muhammad
Hafix, “SE Kapolri Tentang
Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech) dalam rangka Hak
Asasi
Manusia”.
Jurnal
Keamanan Nasional, Vol 1 No 3
(2005), hlm 345
O. Hasbiansyah, “Pendekatan
fenomenologi: Pengantar Praktik
penelitian dalam Ilmu Sosial dan
Komunikasi”,
Journal
Of
Mediator, Vol. 9 No. 1 (Juni,
2008), 165
Yanti Dwi Astuti, Peperangan
Generasi
Digital
Natives
Melawan Digital Hoax Melalui
Kompetisi
Kreatif.
Jurnal
INFORMASI
Kajian
Ilmu
Komunikasi Volume 47. Nomor
2. Desember 2017
Vibriza
Juliswara.
Mengembangkan Model Literasi
Media yang Berkebhinnekaan
dalam Menganalisis Informasi
Palsu (Hoax) di Media Sosial.
Jurnal
Pemikiran
Sosiologi
Volume 4 No. 2, 2017
Surat Edaran Kepala Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
Nomor. SE/6/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech)
Republik Indonesia, UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi danTransaksi
Elektronik.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24