REFERAT TB PARU KASUS KAMBUH DENGAN KOMP

PENDAHULUAN
Tuberkulosis

(TB)

merupakan

penyakit

infeksius

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini umumnya menyerang paru, namun dapat juga
mengenai organ pencernaan, limpa, dan tulang. Sekitar 10% individu yang terkena infeksi
Mycobacterium tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Tuberkulosis
lebih sering terjadi pada laki-laki dan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya

usia. Individu dengan imunitas rendah seperti usia tua, diabetes, pengguna obat
imunosupresif, dan dengan infeksi HIV/AIDS cenderung lebih mudah terkena tuberkulosis.1
Tuberkulosis masih menjadi masalah penting di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia berada di urutan kelima dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi
TB semua kasus adalah 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per
tahun.2
Kematian yang disebabkan oleh TB juga merupakan yang tertinggi dibanding dengan
penyakit infeksius lainnya. Di Indonesia, jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000
kematian per tahunnya.2
Tuberkulosis kasus kambuh merupakan suatu indikator yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi tingkat kontrol TB pada suatu populasi. 2 Di Indonesia, jumlah kasus TB relaps
pada tahun 2006-2007 dilaporkan sebanyak 275.000 kasus. Namun, belum ada studi nasional
yang dilakukan mengenai kasus TB kambuh ini.3
Tuberkulosis kasus kambuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) pasien yang onset
pertama telah diterapi, namun Mycobacterium tuberculosis yang ada bereaktivasi dan
menjadi onset kedua TB; dan (2) pasien yang mengalami reinfeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis yang baru. Untuk membedakan kedua jenis TB kasus kambuh ini, diperlukan
genotyping namun metode tidak mungkin dilakukan pada semua pasien. Di Indonesia sendiri
kedua jenis TB kambuh ini tidak dibedakan. Angka kekambuhan TB berbeda menurut
insiden maupun kontrol TB suatu negara; 0-27% kasus TB kambuh terjadi dalam waktu 2

tahun setelah terapi selesai dan kebanyakan terjadi setelah 5 tahun. Akan tetapi, beberapa
kasus kambuh terjadi setelah 15 tahun.4

PEMBAHASAN
Definisi
Tuberkulosis paru merupakan penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB paru kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis
yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif.1
Epidemiologi
Hingga saat ini TB masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
dunia meskipun telah dilakukan upaya pengendalian dengan strategi DOTS sejak tahun
1995. Berdasarkan laporan WHO tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada
tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50

tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 34 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 2030%.1
Saat ini Indonesia berada pada urutan kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per
tahunnya.2
Relaps TB juga mulai menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Di Indonesia, jumlah
kasus TB relaps pada tahun 2006-2007 dilaporkan sebanyak 275.000 kasus.3 Terdapat
berbagai faktor resiko terjadinya relaps TB yaitu koinfeksi dengan HIV, ketidakpatuhan
minum obat, infeksi TB MDR, merokok, dan penyakit lain seperti anemia.5,6
Patogenesis
Tuberkulosis

(TB)

merupakan

penyakit

infeksius


yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini umumnya menyerang paru, namun dapat juga

mengenai organ pencernaan, limpa, dan tulang. Sekitar 10% individu yang terkena infeksi
Mycobacterium tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.1
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, yaitu : M. tuberculosis, M. africanum, M.
bovis, M. leprae, dan sebagainya.

Kelompok Mycobacterium selain Mycobacterium

tuberculosis yang dapat menimbulkan gangguan pada saluran napas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang kadang dapat mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TB.1
Secara umum sifat Mycobacterium tuberculosis adalah:1
-


Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.

-

Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Nielsen.

-

Memerlukan media khusus untuk biakan, yaitu Lowenstein Jensen, Ogawa.

-

Kuman tampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di bawah
mikroskop.

-

Tahan terhadap suhu rendah, sehingga dapat bertahan hidup dalah jangka waktu
lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.


-

Kuman sangat peka terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.

-

Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu kurang 1 minggu.

-

Kuman dapat bersifat dorman.

Patofisiologi
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit TB. Tahapan tersebut meliputi tahap
paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yaitu sebagai berikut:1
a. Paparan
Peluang peningkatan paparan berkaitan dengan :
-


Jumlah kasus menular di masyarakat

-

Peluang kontak dengan kasus menular

-

Tingkat daya tular dahak sumber penularan

-

Intensitas batuk sumber penularan

-

Kedekatan kontak dengan sumber penularan

-


Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan

-

Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra violet,
penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan konsentrasi)
Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah

terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja,
menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi
-

Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian
berlangsung reaksi antigen – antibody.

-


Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

c. Sakit TB
Faktor resiko menjadi sakit TB tergantung pada:
-

Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup

-

Lamanya waktu sejak terinfeksi

-

Usia seseorang yang terinfeksi

-


Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi
HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan

demikian

penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses
reaktifasi. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui
aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ
paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah
dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor resiko kematian akibat TB adalah sebagai berikut :
-

Akibat dari keterlambatan diagnosis


-

Pengobatan tidak adekuat

-

Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta

Gambar 1. Perjalanan alamiah TB. 10

Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya TB kambuh, yaitu:7
1. Perubahan morfologi dan fungsional pada makrofag alveolus.
2. Persistensi Mycobacterium tuberculosis di paru.
3. Reaktivasi Mycobacterium tuberculosis laten menjadi TB aktif.
Penegakan Diagnosis1
1. Penemuan kasus
a. Anamnesis :
-

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan.

-

Riwayat TB paru sebelumnya.

b. Pemeriksaan dahak
a) Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS)
·

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di Fasyankes.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

b) Pemeriksaan biakan.
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk
menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
- Pasien TB Ekstra Paru
- Pasien Tb Anak
- Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.
c) Uji kepekaan.
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan
lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut
ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.
2. Diagnosis TB paru
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
 kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
 Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan
sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai
berikut:
TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.

 TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran
klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB
positif.
 TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.

Alur Diagnosis TB Paru1

Gambar 2. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pada pasien dewasa (tanpa
kecurigaan/bukti : hasil tes HIV(+) atau terduga TB resisten obat)1

Tatalaksana1
1. Tatalaksana TB dengan OAT
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap Obat Anti Tuberkulosis(OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)
 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Jenis , sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini
pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. OAT lini pertama

Tabel 2. Dosis OAT lini pertama untuk dewasa

2. Tatalaksana TB paru kasus kambuh.
Terapi yang digunakan untuk TB paru kasus kambuh adalah OAT kategori 2 yaitu
(2HRZES/HRZE/5H3R3E3), yang juga diberikan pasien gagal maupun pasien dengan
pengobatan setelah putus berobat. Adapun dosis OAT kategori 2 adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Dosis OAT kategori 2

Komplikasi8
1. Lesi parenkim
a. Open negative syndrome
Kavitas berdinding tipis dapat terlihat pada penyakit TB yang aktif maupun
inaktif. Kadang dinding kavitas menjadi tipis dan tetap ada sebagai ruang kistik
berisi udara meski setelah pemberian OAT, yang disebut sebagai open negative
syndrome.

Gambar 3. Foto toraks PA dan CT scan toraks yang menunjukkan kavitas
berdinding tipis di lobus atas (panah).8

b. Aspergiloma.
Penyebab tersering aspergilosis pada manusia dan aspergiloma paru adalah
Aspergillus fumigatus. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kolonisasi saprofit di aru yang telah dihancurkan oleh tuberkulosis, sarkoidosis,
bronkiektasis, abses paru dan neoplasma akan menyebabkan aspergiloma
intrakavitas. Dari penyebab tersebut tuberkulosis merupakan etiologi tersering
yang ditemukan. Kebanyakan pasien asimptomatik.
Pasien simptomatik datang dengan keluhan demam, batuk, dan hemoptisis.
Hemoptisis merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kematian. Asal
perdarahan biasanya adalah pembuluh darah bronkus. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan temuan radiografik. Foto toraks menunjukkan masa pada kavitas
yang sebelumnya sudah ada dengan udara berbentuk bulan sabit sehingga disebut
juga ‘air crescent sign’.

Gambar 4. Foto toraks PA dan CT san toraks menunjukkan aspergiloma pada
lobus paru kanan atas.8
c. Destroyed lung
Rajasekaran dkk menganalisa pasien dengan destruksi paru dan mendapatkan
tuberkulosis paru sebagai penyebabnya di 83,3% kasus. Hal ini dapat terjadi
setelah penyakit primer maupun reinfeksi. Berkurangnya volume paru, kavitas,
bronkiektasis dan fibrosis merupakan temuan pada destruksi paru.

Gambar 5. Foto toraks PA dan CT scan toraks menunjukkan destruksi paru
sisi kiri dengan hiperinflasi kompensasi di sisi kanan. 8
2. Lesi vaskular.
a. Hemoptisis
Hemoptisis merupakan batuk berupa darah yang berasal dari paru atau
trakeobronkial. Hemoptisis merupakan gejala yang sering didapatkan pada
penderita tuberkulosis. Fritz Valdemar Rassmusen, seorang dokter dari Denmark
mengemukakan adanya pelebaran aneurisma pembuluh darah paru di dinding
kavitas tuberkulosis sebagai penyebab hemoptisis.

3. Lesi airway
a. Bronkiektasis
Bronkiektasis merupakan dilatasi bronkus yang abnormal dan bersifat
permanen. Tuberkulosis merupakan penyebab terbesar bronkiektasis di seluruh
dunia. Gejala yang dirasakan adalah batuk berulang, sputum purulen, hemoptisis,
dispneu, mengi, lelah, demam, dan gangguan pertumbuhan. Foto toraks dapat
menunjukkan hasil yang nonspesifik. Diagnosis pasti ditegakkan dengan CT scan
toraks.

Gambar 5. Foto polos paru PA dan CT scan toraks menunjukkan bronkiektasis
lobus paru kanan. 8
b. Brokolitiasis.
Bronkolitiasis adalah masa limfonodus yang berkalsifikasi. Hal ini merupakan
komplikasi TB yang jarang terjadi. Bronkolitiasis disebabkan oleh erosi dan
ekstrusi limfonodus berkalsifikasi yang berdekatan dengan lumen bronkus. Gejala
yang ditimbulkannya meliputi batuk, hemoptisis, litoptisis atau gejala yang
berhubungan dengan obstruksi bronkus.
c. Stenosis trakeobronkial
Penyebab tersering stenosis trakeobronkial benigna adalah tuberkulosis
endobronkial di negara Asia. Tuberkulosis endobronkial disebabkan oleh
inokulasi langsung basil dari jaringan parenkim paru atau dengan infiltrasi jalan
napas oleh basil dari kelenjar getah bening mediastinum yang berdekatan.
4. Lesi pleura
a. Efusi pleura
Inflamasi pada pleura disebut dengan pleuritis dan ketika cairan berakumulasi
di rongga pleura, hal ini disebut efusi pleura. Pemeriksaan fisik yang biasa
ditemukan adalah pekak saat perkusi. Efusi pleura tuberkulosis biasanya unilateral
dan biasanya tampak sebagai gambaran opak konkaf yang meluas secara medial
ke atas aksila.

Gambar 6. Foto toraks yang menunjukkan efusi pleura kiri masif.
b. Empiema
Empiema merupakan kumpulan pus di rongga pleura. Pada negara
berkembang, tuberkulosis merupakan penyebab tersering empiema. Empiema
tuberkulosis biasanya terjadi akibat ruptur fokus kaseosa subpleura ke dalam
rongga pleura. Manifestasi klinis yang timbul berupa batuk berdahak, demam,
nyeri dada dan sesak. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan clubbing akibat
infeksi sekunder kronik akibat mikroorganisme piogen.
c. Pneumotoraks spontan
Pneumotoraks spontan merupakan komplikasi kavitas tuberkulosis yang sering
terjadi. Pneumotoraks merupakan adanya udara pada rongga pleura. Gejala yang
dialami oleh pasien adalah nyeri dada dan dispneu. Manifestasi klinis bergantung
pada derajat kolaps paru. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penurunan gerakan
dada dan penurunan vokal fremitus pada paru yang terkena. Gambaran radiologik
menunjukkan daerah hiperlusen tanpa bronkovaskular pada paru yang terkena.

Gambar 7. Foto toraks PA menunjukkan pneumotoraks pada paru kiri.8
d. Kalsifikasi

Kalsifikasi merupakan terkumpulnya garam kalsium di jaringan. Kalsifikasi
dapat bersifat difus maupun terbatas. Pleuritis tuberkulosis dapat meninggalkan
sekuele yang bervariasi dari penebalan pleura minimal hingga kalsifikasi ekstensif
dan paru restriktif. Kalsifikasi luas dapat menyebabkan cor pulmoner atau
kegagalan respirasi.

Gambar 8. Foto toraks PA menunjukkan kalsifikasi luas bilateral. 8
5. Komplikasi umum
a. Cor pulmal
Cor pulmonal merupakan disfungsi ventrikel kanan (pelebaran) akibat
hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru. Tuberkulosis bilateral
dan luas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal akibat fibrosis luas yang
menyebabkan distorsi parenkim paru. Patofisiologi yang mendasarinya adalah
peningkatan resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmoner.

Kemungkinan MDR (Multi Drug Resistancy)

Tuberkulosis resistan obat adalah suatu keadaan dimana Mycobacterium tuberculosis
tidak dapat dibunuh dengan OAT.1
Terdapat 5 kategori resistnsi terhadap OAT, yaitu1 :
1. Monoresistance, yaitu resistansi terhadap salah satu OAT.
2. Polyresistance, yaitu resistan terhadap lebih dari satu OAT selain kombinasi
rifampisin (R) dan isoniazid (H).
3. Multi Drug Resistancy, yaitu resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau
tanpa OAT lini pertama yang lain.
4. Extensively Drug Resistance, yaitu TB MDR disertai dengan resistansi terhadap salah
satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. TB Resistan Rifampisin, yaitu resistan terhadap rifampisin yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau tanpa resistan OAT lainnya.
Relaps dalam jangka waktu 2 tahun setelahs elesai pengobatan, maupun kegagalan
pengobatan, merupakan indikator inektivitas regimen OAT. Pada sebuah studi di Peru,
didapatkan bahwa kekambuhan TB sering ditemukan pada kasus TB MDR. 9 Di Indonesia
sendiri, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis menunjukkan bahwa pasien TB kasus
kambuh merupakan salah satu dari sembilan kriteria TB resistan obat1, sehingga perlu diduga
adanya TB MDR pada pasien kasus kambuh.

Hasil surveilans TB MDR menunjukkan bahwa secara global, kurang dari 4% kasus baru
dan 6% kasus kambuh yang positif TB MDR. Data epidemiologi MDR global ditunjukkan
oleh gambar berikut:

Gambar 9. A. Distribusi persentasi kasus TB baru dengan MDR 1994-2011. B. Distribusi
persentasi kasus TB kambuh dengan MDR 1994-2011. C. negara dengan laporan setidaknya
satu kasus TB XDR 1994-2011.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014.
2. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2011.
3. Global Tuberculosis Control. World Health Organization. 2009
4. Hyungmin, Lee, Kim Jusang. A Study on the Relapse Rate of Tuberculosis and Related
Factors in Korea Using Nationwide Tuberculosis Notification Data. Osong Public Health Res
Perspect.2014 Dec. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4301639/.
5. Piconi, Dornelles Pedro, Sergio Luiz Bassanesi, Maria Luiza Avancini Caramori, Roberto
Luiz Targa Ferreira, Carla Adriane Jarczewski, Patrícia Rodrigues de Borba Vieira. Risk
factors for recurrence of tuberculosis. Jornal Brasileiro de Pneumologia. 2007. Available
fromhttp://www.scielo.br/scielo.php?pid=s18067132007000500013&script=sci_arttext&tlng=en.
6. Dooley, Kelly E et al. Risk factors for tuberculosis treatment failure, default, or relapse and
outcomes of retreatment in Morocco.
7. Bamidele, Iwalokun. Association Between Leptin Receptor Gln223Arg Polymorphism
And Pulmonary Tuberculosis Relapse In Nigerian Patients. Presented at Seventh EDCTP
Forum 30 June – 02 July 2014. Berlin, Germany.
8. Devi, Gayathri. Complication of Pulmonary Tuberculosis. In Tuberculosis : A
Comprehensive Reference. 1st Edition. iConcept Press Ltd: India. 2009.
9. Becerra, Mercedes C, et al. Recurrence after Treatment for Pulmonary Multidrug-Resistant
Tuberculosis. Clinical Infectious Diseases Journal Volume 51 Issue 6. 2010. Available from
http://cid.oxfordjournals.org/content/51/6/709.full.
10. Sharma, Surendra K, Alladi Mohan. Tuberculosis : From an Incurable Scourge to a
Curable Disease-Journey Over a Millenium. Indian Journal of Medical Research. 2013.
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3705655/