Contoh Proposal Skripsi Ilmu Politik Pen

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Semua umat manusia baik individu maupun kelompok memiliki keyakinan

keagamaan. Namun keyakinan keagamaan seseorang itu berbeda-beda, karena
telah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Hal ini menjadi persoalan menarik
untuk dikaji sebab agama menjadi faktor yang memiliki peran penting dalam
kehidupan masyarakat, karena agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.
Bagi masyarakat yang tidak memiliki komitmen dan pemahaman
keagamaan, agama bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan
dalam kehidupan mereka. Namun bagi masyarakat yang memiliki pemahaman
keagamaan, maka agama memiliki peran penting dalam tatanan sosial. Faktor
peran dan pengaruh agama memang menjadi hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia.
Agama adalah refleksi atas wujud rohaniah yang ada pada diri manusia,
dipandang mampu menjadi pedoman yang memberikan ketenangan hidup. Oleh
karena itu, menurut Zakiah Daradjat, agama mempunyai peran penting dalam
pengendalian seseorang.1

Sedangkan

menurut

Harun

Nasution

menyatakan

bahwa

agama

mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang
dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia
sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun
mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.2

1

2

Zakiah Daradjat. 1993. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.2.
Nasution Harun. 1974.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang. Hal.10.

1

Begitu juga seperti yang dikatakan Emile Durkheim bahwa, agama
merupakan kontrol terhadap manusia, dengan cara menetapkan aturan-aturan yang
pada akhirnya akan menciptakan keteraturan natural perekatan hubungan sosial.
Di dalam suatu kondisi masyarakat yang masih memiliki keyakinan agama
yang

kuat,

masyarakat

masih

cenderung


mengutamakan

persamaan

keyakinan/kepercayaan untuk membuat suatu pilihan atau membuat suatu
kelompok dan lain lain. Hal itu juga tidak lepas dengan kegiatan politik yang
terjadi pada suatu daerah, yang dalam hal ini diwujudkan dalam proses Pemilihan
Umum.
Pemilihan Umum atau yang biasa kita kenal dengan Pemilu merupakan
suatu wadah yang membuktikan adanya pilihan atas dasar persamaan yang
digunakan untuk mencapai

tujuan umum. Menurut Ramlan Surbakti Pemilu

diartikan sebagai Mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan
kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Lebih lanjut Ramlan
Surbakti mengatakan bahwa, pemilihan umum berkedudukan sebagai mekanisme
untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif kebijakan umum, mekanisme
untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembaga-lembaga

perwakilan melalui wakil rakyat yang terpilih, sehingga integrasi masyarakat tetap
terjaga. Dia juga mengatakan bahwa Pemilu juga merupakan Sarana untuk
memobilisasikan dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan
jalan ikut serta dalam proses politik.3
Pemilihan umum juga merupakan sebuah tempat perlombaan yang
mewadahi kompetisi antar aktor politik untuk memenangkan kontestasi dan
meraih kekuasaan serta partisipasi politik rakyat untuk menentukan liberalisasi
hak-hak sipil dan politik warga Negara.4

3

Surbakti Ramlan. 1992.Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Hal.181.
Robert A. Dahl. 1985.Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta:
Rajawali Press. Hal .8-10.
4

2

Pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955, jumlah
partai politik peserta pemilu sebanyak 26 partai politik. Pada pemilu 1971 jumlah

partai politik peserta pemilu sebanyak 10 partai politik dan Pada pemilu 1977
jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 3 partai politik (Golkar, PPP, dan
PDI). Pada pemilu 1982 sampai dengan 1999 jumlah partai politik peserta pemilu
sebanyak 3 partai politik. Kemudian Pada pemilu 1999 jumlah partai politik
peserta pemilu membludak sebanyak 48 partai politik. Pada pemilu 2004 jumlah
partai politik peserta pemilu sebanyak 24 partai politik. Dan pada pemilu 2009
dengan jumlah partai politik peserta pemilu sebanyak 44 partai politik, termasuk 6
partai lokal di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Dan terakhir pada tahun
2014, Peserta Partai Politik menurun menjadi 12 Partai.5
Sistem pemilu yang lebih demokratis terjadi setelah runtuhnya Orde Baru.
Hal ini merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut
dianggap sebagai tindakannyata dari tuntutan reformasi kelembagaan dalam
melakukan praktek konsolidasi

demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa

Pemerintahan Orde Baru yang cendrung otoriter. Sejak itu, Indonesia memasuki
fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan demokratis serta ditandai dengan
pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam
amandemen Undang-Undang


Dasar 1945 salah

satunya adalah pemilihan

pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional dan lokal.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, politik sangat ditentukan sepenuhnya
oleh pemerintah pusat, kini para aktor lokal di tingkat lokal mempunyai
kesempatan yang semakin luas dalam melakukan aktivitas dan manuver
politiknya. Oleh karena itu, desentralisasi memberi warna lain dalam proses
demokratisasi di Indonesia. Keragaman aktor dalam proses politik dan
pemerintahan tidak hanya ada di arena politik nasional, tetapi juga di daerah.
5

https://jefrihutagalung.wordpress.com/2014/04/08/sejarah-pemilihan-umum-di-indonesiahingga-pemilu-2014-indonesia-election-2014/ diakses: Rabu, 15 Februari 2018, jam:
00.05

3


Melalui proses demokratisasi dan desentralisasi, para orang kuat lokal dan
bos lokal semakin memperoleh kesempatan untuk menjabat kursi sentral di
lembaga pemerintah daerah dibandingkan masa sebelumnya. Peran serta orang
kuat lokal ini dilandasi oleh harapan akan masa depan atas pembagian kue
pembangunan di daerah baru dan lainnya sehingga memotifasi mereka untuk
membela mati-matian para birokrat sokongannya. Menurut Migdal, orang kuat
lokal telah berhasil menempatkan diri mereka, konco-konco dan keluarganya,
dalam posisi yang strategis untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya berada
dalam arahan, dan kepentingan mereka.6
Awal mula munculnya Demokrasi di tingkat Lokal adalah sejak di
tetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Undang-Undang
tentang pemerintahan Daerah terus mengalami perubahan demi mewujudkan
sistem pemerintahan daerah yang maksimal. Sudah terjadi perubahan sebanyak
lebih dari lima kali semenjak ditetapkannya Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Pada era kepemimpinan presiden baru ini, Undang-Undang Pemerintahan
Daerah diatur dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2016 yang diharapkan dapat
mewujudkan sistem pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih demokratis.
Di dalam Undang-Undang pemerintahan daerah, proses demokrasi tidak

hanya terjadi pada wilayah Provinsi dan Kabupaten saja, namun juga sudah
mencapai tingkat terkecil yaitu Desa. Pelaksanaan Demokrasi di tingkat desa juga
bisa menjadi bukti bahwa perkembangan politik di Indonesia sudah berkembang
pesat dengan melibatkan masyarakat lokal, sehingga mampu menjalankan fungsi
kekuasaan pemerintahan daerah dalam rangka tercapainya tujuan untuk
memajukan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat.

6

Zuhro Siti, dkk. 2009.Demokrasi Lokal Peran Aktor Dalam Demokratisasi. Yogyakarta:
Ombak.Hal.10.

4

Pelaksanaan Demokrasi tingkat desa juga tercantum dalam UndangUndang. Dalam UU No. 23 Tahun 2014, Desa adalah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus Urusan Pemerintahan,kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.7
Adanya aturan yang menjelaskan tentang pemilihan kepala desa ini,

semakin memperkuat landasan untuk menerapkan semangat Demokratisasi di
seluruh wilayah Indonesia dan juga menjadi landasan dalam penyempurnaan
otonomi daerah.
Demokrasi di tingkat desa dapat ditandai dengan terlaksananya Pemilihan
Kepala Desa secara langsung. Pemilihan kepala desa secara langsung dan serentak
di masa ini menjadi bukti bahwa Indonesia sudah menjalankan demokrasi tingkat
daerah dengan baik. Hal ini juga sesuai dengan hakikat pancasila dan menjunjung
semangat otonomi yang diwujudkan di desa.
Perjalanan

pelaksanaan

Pemilihan

Kepala Desa ditandai

dengan

munculnya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang ini yang
menjadi landasan utama untuk pertama kalinya Indonesia melakukan Pemilihan

kepala desa secara langsung. Kemudian demi mewujudkan sistem demokrasi yang
lebih baik, Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004. Di dalam UU No. 32 tahun 2004, terdapat total 240 pasal
yang mengatur tentang pemerintahan desa dan terdapat perubahan, diantaranya
mengganti masa jabatan Kepala desa dari 10 tahun menjadi 6 tahun. 8 Dan pada
masa sekarang ini, Undang-Undang pemerintahan daerah di atur dalam UndangUndang nomor 6 tahun 2014 mengantikan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.
Proses pelaksanaan pilkades dalam UU ini dilakukan secara serentak demi
7

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 1 Ayat 43.
https://www.boyyendratamin.com/2011/09/kilasan-perkembangan-otonomi.html diakses: Rabu,
15 Februari 2018, jam: 03.55
8

5

memberikan kekuatanakan otonomi desadan kemandirian desa dalam menentukan
masa depan desa itu sendiri.
Peraturan teknis mengenai Pemilihan Umum Kepala Desa lebih jelasnya
terdapat di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 yang

Menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014. Didalam
Permendagri ini di jelaskan secara terperinci teknis pelaksanaan Pilkades mulai
dari kepanitiaan sampai pengangkatan Kepala desa terpilih.
Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar Masilam
Tahun 2016, Peraturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 112 Tahun 2014 dan atas berdasarkan Peraturan Bupati Simalugun Nomor
10 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Pangulu9 Serentak. Pada Tahun
2016 Tepatnya pada bulan Agustus, Kecamatan Bandar Masilam Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, melakukan Pemilihan Umum Kepala Desa
secara Serentak sesuai dengan Undang-Undang no 6 Tahun 2016 dan perintah
pelaksanaan nya diatur dalam Perbut Simalugun

no 10 tahun 2016. Dalam

Pilkades ini Terdapat 9 Desa yang mengikutinya sedangkan 1 Desa lagi yaitu
Desa Partimbalan, tidak mengikuti karena baru saja melakukan Pemilihan di
Tahun 2015.
Salah satu parameter pemilu yang demokratis adalah dengan adanya
komponen pemilih yang semakin plural seiring dengan semakin kompleknya
pemilu. Ini artinya pemilih adalah pendukung utama yang sangat penting dalam
proses pemilu yang demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Setiap
pemilih dalam pemilihan umum tidak akan terlepas dari latar belakang politis
maupun sosiologis pada saat itu, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam
menentukan pilihan mereka, inilah yang disebut voting behavior atau prilaku
pemilih. Dinamika prilaku pemilih sangat kompleks dalam setiap pemilihan
9

Panghulu dalam kata lain berarti Kepala Desa atau seorang yang memimpin dalam suatu Daerah.
Lihat wikipedia/panghulu. Panghulu dalam peraturan Bupati ini bersifat umum, artinya
penggunakan nya memungkinkan masih digunakan dalam daerah lain. Sedangkan Kecamatan
Bandar Masilam menggunakan nama Kepala Desa.

6

umum.10 Apalagi Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu lebih dari lima kali.
hal ini dipengaruhi oleh pergolakan politik dan juga tingkat pendidikan serta
tingkat ekonomi pemilih dalam pemilihan umum. Tingkat pendidikan maupun
ekonomi serta kepercayaan Masyarakat Indonesia terbukti dalam beberapa pemilu
setelah masa reformasi sangat berpengaruh.
Kepluralan masyarakat desa di kecamatan Bandar Masilam juga terlihat
dalam Pilkades serentak pada tahun 2016. Bandar Masilam adalah salah satu dari
31 Kecamatan yang berada di Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.
Bandar Masilam memiliki Luas daerah 84,86 km2 dan memiliki 10 Desa/Nagori di
dalamnya dengan pusat Kecamatan berada pada Desa/Nagori Bandar Masilam.11
Kecamatan Bandar Masilam memiliki jumlah penduduk sebesar 26.868 jiwa
dengan mayoritas Penduduk di dominasi oleh Agama Islam. Hampir Setengah
dari wilayah di Kecamatan Bandar Masilam adalah Perkebunan Kelapa Sawit
Sehingga sebagian besar profesi Masyarakat di Kecamatan Bandar Masilam
adalah Petani Kebun. 12
Kecamatan Bandar Masilam memiliki Mayoritas Penduduk beragama
Islam. Terdapat Sekitar 90% total penduduk di Kecamatan Bandar Masilam
adalah Islam sedangkan Sisanya beragama Kristen dan Budha. Meskipun
mayoritas masyarakat di Kecamatan Bandar Masilam adalah Agama Islam,
namun terdapat beragam etnis di dalamnya, salah satunya adalah Suku Banjar,
Simalungun, Batak dan juga Etnis Cina yang beragama Budha. Keberagaman
Budaya yang ada di dalam Kecamatan Bandar Masilam mungkin menjadi
pembeda di dalam Pilkades Tahun 2016.
Pada Pilkades serentak di kecamatan Bandar Masilam, terdapat Desa yang
memiliki jumlah penduduk yang seimbang atau 50%-50% antar Agama Islam dan
Kristen yaitu Desa Bandar Gunung . Dalam Pemilihan Umum Kepala Desa
10

Imam Hidajat. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.Hal.170.
Bandar Masilam Dalam Angka 2015.Simalugun: Badan Pusat Statistika Kabupaten
Simalungun.hal.2.
12
Ibid.hal.27.
11

7

Bandar Gunung Juga terdapat Calon Kepala Desa yang seimbang yaitu 2 pasang
calon beragama islam dan 2 pasang calon beragama kristen. jika dilihat deri segi
Agama. Namun pada hasil Pemilihannya tetap saja bahwa Calon yang beragama
Islam lah yang memenangkan Pemilihan Umum. Padahal jika di lihat dari segi
Geografis bahwa Agama Islam bukan lah agama yang mendominasi pada Desa
tersebut. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari Jumlah Rumah Ibadah dan
Kegiatan sehari hari Warga Desa tersebut. Hasil Perhitungan Suara juga
menunjukkan bahwa Calon Kepala Desa Muslim meraih suara hampir dua kali
lipat dari Calon yang beragama Kristen. Hal ini menimbulkan pertanyaan
sebenarnya apakah agama berperan atau menjadi landasan utama masayarakat di
Kecamatan Bandar Masilam dalam memilih Calon Kepala Desa?
Kemudian hasil perolehan suara dari 3 desa juga menunjukkan pertanyaan
lain yaitu Desa Bandar Silou, Lias Baru dan Gunung Serawan . Hasil suara yang
di dapat antar calon yang berbeda agama memiliki persentase yang tidak
berbanding jauh antara 70% banding 30%, padahal di dalam 3 desa tersebut
terdapat perbedaan agama yang berbanding jauh sebesar 90% banding 10%. Hal
tersebut juga menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Di desa lain
juga yang semua calonnya beragama islam juga dapat menjadi pertanyaan,
kemana suara dari agama non muslim mengalir, melihat angka golput yang tidak
terlalu tinggi berkisar 20%-30%.
Oleh karena itu, berangkat dari pemikiran pemikiran diatas, maka
penelitian ini bermaksud melakukan kajian agama sebagai faktor utama prilaku
pemilih dalam pemilihan kepada desa di Kecamatan Bandar masilam Kabupaten
Simalungun tahun 2016. Melihat adanya hubungan agama dengan prilaku pemilih
dengan kata lain jika X maka Y, (X=Agama Y=Prilaku) artinya menimbulkan
pertanyaan apakah ada proses mempengaruhi dan ada yang dipengaruhi. Dan
Aapakah agama menjadi faktor utama dalam Pemilu kepala desa di Kecamatan
Bandar Masilam.

8

Berdasarkan Uraian di atas saya tertarik untuk melakukan penelitian
dengan Judul Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar
Masilam Tahun 2016.

1.2.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa

masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang
menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lengkap dan rinci mengenai
ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi masalah dan
pembatasan masalah.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah di
atas, maka Penulis mengambil Garis Besar rumusan masalahnya yaitu :
Bagaimana Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Studi Kasus : Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan
Bandar Masilam Kabupaten Simalungun Tahun 2016) ?

1.3.

Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian penulis perlu membuat pembatasan masalah

tehadap masalah yang akan dibahas, agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang
dari tujuan yang diinginkan, dan agar penelitian ini mencapai tujuan dan tidak
mempengaruhi kefokusan peneliti dalam melakukan penelitian dilapangan.
Pada penelitian ini penulis hanya membahas masalah :

9

1. Bagaimana Pola Prilaku Pemilih Masyarakat di Kecamatan Bandar
Masilam dalam memilih Calon Kepala Desa pada Pemilihan Umum
Kepala Desa secara serentak di Kecamatan Bandar Masilam.
2. Apakah terdapat pengaruh agama dalam Prilaku Memilih Masyarakat di
Kecamatan Bandar Masilam Kabupaten Simaungun Pada Pemilihan
Umum Kepala Desa serentak di Kecamatan Bandar Masilam.

1.4.

Tujuan Penelitian
Yang menjadi Tujuan Penulis dalam melakukan penelitian ini adalah
1. Untuk Mendeskripsikan Pola Prilaku Masyarakat dalam memilih Calon
Kepala Desa Pada Pemilihan Umum Kepala Desa di Kecamatan Bandar
Masilam Tahun 2016
2. Untuk Menganalisa apakah Agama menjadi pengaruh terhadap Prilaku
Masyarakat dalam memilih Kepala Desa pada Pemilihan Umum Kepala
Desa di Kecamatan Bandar Masilam.

1.5.

Manfaat Penelitian
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat,

adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menjadi media untuk
mengaplikasikan berbagai teori yang di pelajari, sehingga akan berguna
dalam pengembangan pemahaman, penalaran, dan pengalaman penulis,
juga pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu sosial.
Diantaranya adalah tentang Teori Prilaku Politik, Teori Prilaku Pemilih
dan Pemilihan Umum Kepala Daerah.

10

2. Secara Kelembagaan, penelitian ini diharapkan dapat menambah Referensi
penelitian sosial tentang Peran Agama Terhadap Prilaku Pemilih Dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah bagi Departemen Ilmu Politik, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta Universitas Sumatera Utara.
3. Bagi masyarakat umum, lebih khususnya masyarakat di Kecamatan
Bandar Masilam Kabupaten Simalungun dalam penelitian ini diharapkan
menjadi bahan pengetahuan tentang Pemilihan Umum Kepala Desa di
Kecamatan Bandar Masilam dan Pengaruh Agama yang menjadi Landasan
masyarakat dalam memilih calon kepala desa dan berharap agar
masyarakat juga dapat meningkatkan partisipasi politiknya dalam agenda
agenda Demokrasi.

1.6.

Kerangka Teori
Teori dapat kita pahami sebagai generalisasi sebuah fenomena dari

interaksi yang muncul dan yang menarik untuk dipahami secara konsep yang
terukur menjadi sebuah alat kajian tehadap suatu peristiwa guna membantu kita
dalam melihat dan menganalisi sebuah Fenomena, dimana akan dipahami sebagai
sebuah sebab-akibat terhadap fenomena tersebut. Teori selalu memakai konsepkonsep. Konsep lahir dari dalam pemikiran manusia dan karena itu bersifat
abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. 13 Tentunya
teori sangat membantu penelitian dalam menganalisi masalah yang menjadi
penelitiannya. Sehingga Penelitian ini, teori-teori yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan yang diteliti oleh peneliti adalah :
1.6.1

Prilaku Politik
Menurut Ramlan Surbakti Perilaku Politik dapat dirumuskan sebagai

kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
13

Budiarjo Miriam. 2009.Dasar-Dasar Ilmu Politk. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal.43.

11

politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan
yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi- fungsi pemerintahan yang
dipegang oleh pemerintah dan fungsi- fungsi politik yang dipegang oleh
masyarakat14
Sedangkan Menurut Sudijono Sastroadmojo Perilaku Politik adalah
Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antarlembaga pemerintah dan antara
kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan,
pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku
politik. Perilaku politik merupakan salah satu dari perilaku secara umum karena
disamping perilaku politik masih ada perilaku yang lain seperti perilaku ekonomi,
perilaku budaya, perilaku keagamaan dan sebagainya.15
Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan
dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Interaksi antara
pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok
dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan,
penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku
politik dapat dijumpai didalam negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan
yang diperintah. Pada dasarnya, manusia yang melakukan kegiatan dibagi menjadi
dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi pemerintahan (penjabat
pemerintahan), dan warga negara biasa yang tidak memiliki fungsi pemerintahan
tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang memiliki fungsi
pemerintahan (fungsi politik). Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya
ditentukan oleh fungsi (tugas dan wewenang) yang melekat pada lembaga yang
mengeluarkan keputusan (sedangkan fungsi itu sendiri merupakan upaya
mencapai tujuan masyarakat, negara atau nilai-nilai politik), tetapi juga
dipengaruhi oleh kepribadian (keinginan dan dorongan, persepsi dan motivasi,

14
15

Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.167.
Sastroatmodjo Sudijono.1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal.2- 3.

12

sikap dan orientasi, harapan dan cita-cita, ketakutan dan pengalaman masa lalu)
individu yang membuatkeputusan tersebut.16
Dalam pelaksanaan pemilu di suatu negara ataupun dalam pelaksanaan
pilkada langsung di suatu daerah, perilaku politik dapat berupa perilaku
masyarakat dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau
pilkada tersebut. Perilaku politik dapat dibagi dua, yaitu:17
1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah.
2. Perilaku politik warga negara biasa (individu maupun kelompok).
Pihak pertama bertanggung jawab membuat, melaksanakan, dan
menegakkan keputusan politik, sedangkan yang kedua berhak mempengaruhi
pihak yang pertama dalam melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan
pihak pertama menyangkut kehidupan pihak kedua. Kegiatan politik yang
dilakukan warga negara biasa (individu maupun kelompok) disebut partisipasi
politik.
Dalam

Teorinya,

Prilaku

Politik

memiliki

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya. Faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:18
1. Historis/Sejarah. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi
oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkab
budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan
berubah dan berkembang sepanjang masa.
2. Geografis. Georafis memberikan pengaruh dalam perilaku politik
masyarakat sebagai kawasan geostrategis, walaupun kemajemukan
budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya
disintegrasi. Kondisi ini mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi
16

Surbakti Ramlan, Op cit. Hal.131.
Ibid.Hal.15-16.
18
Asep Ridwan. 2000.Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2000, Jurnal Demokrasi dan
HAM. Jakarta: The Habibie Center. Hal.25.
17

13

politik masyarakat, kesenjangan pemerataan bangunan, kesenjangan
informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi
politik.
3. Budaya Politik. Budaya Politik memiliki pengaruh dalam perilaku
politik masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh
tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya.
Kemajuan budaya Indonesia memepengaruhi budaya budi bangsa.
Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada
terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya
politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku
politik.
4. Agama dan Keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral
politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku
politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan normanorma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku
politik sesuai agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi
warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
pemahaman agama seseorang.
5. Pendidikan dan komunikasi. Hal ini juga mempengaruhi perilaku
politik seseorang. Semakin tinggi pendiidkan masyarakat maka
semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens
akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan
politiknya.
6. Lingkungan Sosial Politik. Faktor ini mempengaruhi aktor politik
secara

langsung

seperti

keadaan

keluarga,

cuaca,

ancaman.

Lingkungan sosial politik saling memepengaruhi dan berhubungan
satu dengan yang lain dan bukannya sebagai factor yang berdiri
sendiri.

14

Di negara-negara demokrasi, pada umumnya menganggap bahwa lebih
banyak partisipasi masyarakat, maka lebih baik. Dalam pikiran ini, tingginya
tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga mengikuti dan memahami masalah
politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat
partisipasi juga menunjukan bahwa rezim yang sedang berkuasa memiliki
keabsahan yang tinggi. Dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di suatu
Negara dianggap kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga
terhadap masalah politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga
menunjukkan lemahnya legitimasi dari enzim yang sedang berkuasa.
Partisispasi sebagai suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu:19
1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output dan input
politik. Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih
pemimpin pemerintah.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan hanya berorentasi pada output politik.
Pada masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya
menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah tanpa mengajukan kritik dan usulan perbaikan.
Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori ini,
yaitu masyarakat yang menganggap telah terjadinya penyimpangan sistem politik
dari apa yang telah mereka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis
(golput).

1.6.1.2 Perilaku Pemilih
19

Surbakti Ramlan.1997.Partai, Pemilih dan Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.170.

15

Perilaku pemilih dan partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat
dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu
wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup
suara,sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan,
mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk
mempengaruhi hasil proses pemilihan.20
Menurut Surbakti perilaku pemilih adalah: “Aktivitas pemberian suara
oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk
memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) didalam suatu pemilihan
umum (pilkada secara langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote)
maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.21
Jack C Plano mendefinisikan perilaku pemilih sebagai “suatu studi yang
memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan
pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka
melakukan pemilihan itu”.22
Sedangkan menurut J. Kristiadi Prilaku pemilih sebagai suatu keterikatan
seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan
psikologis, faktor sosiologis dan faktor rasionalitas si pemilih atau disebut dengan
teori Voting Behaviour.23
Dalam mengetahui tingkah laku pemilih harus dilakukan beberapa
pendekatan terkait dengan perilaku politik seseorang dalam menggunakan hak
pilihnya karena pendekatan tersebut akan menentukan bagaimana seseorang
dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok.
Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu
20

Samuel P. Hutington dan Joan Nelson. 1990.Partisipasi Politik di Negara Berkemba. Jakarta :
Rineka Cipta. Hal.16.
21
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.172.
22
Jack C. Plano, Robert E. Ringgs dan Helenan S. Robin. 1985.Kamus Analisa Politik. Jakarta:
C.V. Rajawali Press. Hal.280.
23
Kristiadi J.1996.Pemilihan Umum dan Prilaku Pemilih di Indonesia.Jakarta: Prisma 3 hal.76.

16

yaitu, “Mazhab Colombia dan Mazhab Michigan.” Mazhab Colombia
menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam
menentukan pilihan di pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu
kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang
teratas. Dalam kegiatannya Affan Gafar yang merupakan penganut pendekatan ini
mengungkapkan bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial
yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status
sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup
menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi
pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik
sosial individu yang bersangkutan.24Selain itu terdapat juga pendekatan pilihan
rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang
didapat oleh individu tersebut”.25
A. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini biasa juga disebut dengan mazhab Colombia. Cikal
bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para
sosiolog Amerika Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa. Menurut
mazhab ini, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik
sosial dan pengelompokan usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang
keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kegiatan formal dan informal lainnya
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pilihan-pilihan
politik.26Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor
sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini
menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai
pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. 27
24

Affan Gafar. 1996.Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi. Jakarta : Grafindo. hal. 67-68
Surbakti Ramlan. 1992. Op. Cit. Hal.187.
26
Adman Nursal. 2004.Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Umum. Hal.55.
27
Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.145.
25

17

Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis
(terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku memilih
seseorang. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis
voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi
pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik
sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan
seterusnya. Dalam status social ekonomi terdapat beberapa indicator yang
digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu
antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, atau kekayaan.28
Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal,
seperti organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, organisasi profesi maupun
pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil
lainnya akan sangat berguna bagi penjelasan perilaku pemilih seseorang.
Pengelompokan ini memiliki peranan besar dalam membentuk sikap,persepsi,dan
orientasi seseorang, yang nantinya sebagai dasar atau preferensi dalam
menentukan pilihan politiknya.
B. Pendekatan Psikologis
Pendekatan psikologis merupakan fenomena Amerika Serikat karena
dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat melalui melalui Survey Research
Center di Universitas Michigan. Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas
ketidakpuasan beberapa ilmuwan politik terhadap pendekatan sosiologis.
Beberapa ilmuwan yang menganut pendekatan psikologis ini menganggap
pendekatan sosiologis secara metodologis sulit dilaksanakan, terutama dalam
aspek pengukurannya. Misalnya, bagaimana mengukur secara tepat sejumlah
indikator kelas sosial, kelompok primer atau sekunder, kelompok agama,
masyarakat dan sebagainya. Apakah variabel tersebut benar-benar memberikan
sumbangan pada perilaku pemilih.
28

Damsar. 2010.Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. hal 200

18

Pendekatan psikologis berasumsi bahwa keputusan seorang individu
dalam memberikan suara kepada kandidat tertentu merupakan persoalan respons
psikologis. Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan
rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis
penekanan lebih pada individu itu sendiri. Menurut psikologis, ada tiga faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor tersebut adalah
identifikasi partai, orientasi isu atau teman dan orientasi kandidat. Indentifikasi
partai yang dimaksud disini adalah bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi
juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut. Menurut Philip
Converse dalam Affan Gaffar, “identifikasi partai diartikan sebagai keyakinan
yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan
tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar
selama masa dewasa”.29
Greenstein menyatakan dalam menjelaskan perilaku (dalam kaitannya
dengan pendekatan psikologis) seseorang terdapat dua konsep khusus yaitu,
“konsep sikap dan sosialisasi”. Konsep sikap merupakan variabel sentral dalam
menjelaskan perilaku pemilih, karena menurut Greenstein ada tiga fungsi sikap
yakni, Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan, artinya penilaian terhadap
suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang
tersebut. Kedua sikap merupakan fungsi penyesuaian diri, artinya seseorang
bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama dan tidak sama
dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan
ekternaliasasi dan pertahanan diri, artinya sikap seseorang merupakan upaya
untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud
mekanisme pertahanan. Pembentukan sikap tidaklah bersifat begitu saja terjadi,
melainkan proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang
kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Kedekatan
inilah yang menentukan seseorang memilih atau tidak. “Makin dekat seseorang
29

Surbakti Ramlan. Op cit. Hal.10.

19

dengan partai atau kandidat tertentu makin besar kemungkinan seseorang terlibat
dalam pemilihan”.30
C. Pendekatan Rasional
Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang
kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa
perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di
bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
kampanye dimulai.Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi,
pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah
pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh
ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah
preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang mempengaruhi perilaku
pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang
dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan pertimbangan yang penting dimana
para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu
politik. Artinya pemilih pemula dapat menentukan pilihannya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan rasional.31
Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih
benar-benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi,
misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi,
prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah
karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk kepetingan
diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan
pertimbangannya yang logis
D. Konfigurasi Pemilih
30

Muhamad Asfar. 1998.Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Prilaku Pemilih. Jurnal Ilmu
Politik Edisi No. 16. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal.52.
31
Ibid hal.34.

20

Perilaku pemilih merupakan sebuah studi yang memusatkan pemilih
sebagai objek dari masalah yang diteliti. Berikut ini merupakan konfigurasi
pemilih atau tipe- tipe pemilih:32
1. Pemilih Rasional
Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter), di
mana pemilih memiliki orientasi tinggi pada ‘policy-problem-solving’ dan
berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih
mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program
kerjanya.
Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan
ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti “faham,
asal-usul,

nilai

tradisional,

budaya,

agama,

dan

psikografis

memang

dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan”. Hal yang terpenting bagi
jenis pemilih adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai
atau seorang kontestan, daripada faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh
karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik
perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis
akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan
luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih
tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan
ke partai politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu
menyelesaikan permasalahan nasional.
2. Pemilih Kritis
Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada
kemampuan

partai

politik

atau

seorang

kontestan

dalam

menuntaskanpermasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal32

Firmanzah. 2007. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Hal.134- 138.

21

hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas
pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak
semudah ‘rational vote’ untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi
pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme.
Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan
untuk menentukan kepada partai politik mana mereka akan berpihak dan
selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah
dilakukan.
Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program
kerja yang ditawarkan sebuah partai/kontestan baru kemudian mencoba
memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah
kebijakan. Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai
partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul
ketika terdapat perbedaan antara nilai ideologi dengan ‘platform’ partai: (1)
memberikan kritik internal, (2) frustasi, dan (3) membuat partai baru yang
memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama.
Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah
kebijakan partai politik atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya
tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung
menyuarakannya melalui mekanisme eksternal partai, umpamanya melalui media
massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi merupakan posisi yang sulit
bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai
atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter mereka, tapi di
sisi lain mereka merasakan adanyaketidaksesuaian dengan kebijakan yang akan
dilakukan partai. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu (wait and see)
sebelum munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru.
Pembuatan partai biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas
kebijakan suatu partai. Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa,

22

ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai tandingan dengan nilai ideologi
yang biasanya tidak berbeda jauh dengan partai sebelumnya.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak
terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu
yang penting dalam pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat
mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, faham, dan agama
sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi,
kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, dan pengurangan angka
inflasi dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih jenis ini lebih
mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah
partaipolitik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis
pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam
memegang nilai serta faham yang dianut.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan
sebuah

partai

politik

atau

seorang

kontestan,

juga

tidak

menjadikan

kebijakansebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah
partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka
memang rendah sekali. Mereka juga kurang memedulikan ‘platform’ dan
kebijakan sebuah partai politik. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara,
biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan
bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa
membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka
tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang
kontestan.

23

E. Pola Pengelompokan Pemilih
Meskipun tampak relatif, pola pengelompokkan pemilih mencerminkan
kecenderungan saling terkait dan mempengaruhi. Lingkup pengelompokkan atau
segmentasi itu dapat didasarkan pada : 33
1. Lingkup agama (keluarga)
Diantara beberapa jenis pengelompokan sosial lainnya, lingkup agama merupakan
salah satu faktor pembentukan perilaku memilih. Setiap orang yang mengaku
beragama akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok agamanya
dan pilihan politiknya biasanya disejalankan dengan agama yang dianutnya.
Misalnya pemilih yang beragama Islam akan memiliki kecenderungan memilih
kontestan beragama Islam juga.
2. Lingkup gender
Lingkup gender mengidentifikasikan bahwa perbedaan jenis kelamin antara
perempuan dan laki-laki turut mempengaruhi perbedaan perilaku politik yang
dilakukan.

3.

Lingkup kelas sosial

Individu yang berasal dari kelas sosial yang berbeda biasanya memiliki perilaku
yang berbeda, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan pendidikan.
4.

Lingkup geografi

Lingkup geografi berkaitan dengan pengelompokan pemilih berdasarkan aspek
geografi atau lingkungan.
33

Agung Wibawanto,dkk.2005. Memenangkan Hati dan Pikiran Rakyat. Yogyakarta : Pembaruan
hal. 24-26.

24

5.

Lingkup usia

Lingkup usia pada dasarnya mampu mengelompokkan individu. Dimana usia
seringkali mempengaruhi pilihan atau tindakan yang diambil oleh seseorang
dalam menjatuhkan pilihannya terhadap calon-calon kandidat yang ikut dalam
pemilihan. Ruang lingkup usia yang berdasarkan pada individu juga dapat
menjadi faktor penentu dalam rasionalisasi pemilih.
6. Lingkup demografi
Lingkup demografi mengelompokkan masyarakat terkait dinamika kependudukan
meliputi ukuran, struktur, dan distribusi penduduk.
7.

Lingkup psikografis

Lingkup psikografis dapat diartikan sebagai segmentasi pemilih berdasarkan gaya
hidup yaitu bagaimana pola hidup seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas,
minat, dan opininya.
8.

Lingkup perilaku

Lingkup perilaku adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri sebagai respon
terhadap sesuatu yang terjadi. Perilaku seseorang dapat mempengaruhi perilaku
individu lainnya.

1.6.2

Pemilihan Umum
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan mekanisme utama yang harus ada

dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu
dipandang sebagai bentuk palingnyata dari kedaulatan yang berada di tangan
rakyat dalam penyelenggaran negara. Oleh karena itu, sistem penyelenggaraan
Pemilu selalu menjadi perhatian utama. Hasil Pemilu menjadi dasar pembentukan

25

kelembagaan negara yang menentukan jalannya pemerintahan lima tahun
berikutnya.
Pengertian Pemilu pun diartikan sebagai sarana utama mewujudkan
demokrasi dalam suatu negara. Substansi Pemilu adalah penyampaian suara
rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai
penyelenggaran negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih, yaitu
hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu hak, hak
memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan
tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh KPU sebagai
lembaga penyelenggaran Pemilu.
Pemilihan umum bertujuan mengimplementasikan kedaulatan rakyat dan
kepentingan rakyat dalam lembaga politik negara. Melalui pemilihan umum,
rakyat mempunyai kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk
dalam lembaga perwakilan. Secara ideal wakil yang duduk di lembaga perwakilan
adalah mereka yang dipilih sendiri oleh rakyat melalui pemilihan menurut hukum
yang adil. Dengan demikian, pemilihan umum merupakan komponen penting
dalam negara demokrasi karena berfungsi sebagai alat penyaring bagi mereka
yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga perwakilan.34
Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melaluiPemilu
secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang
akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik
rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta
merumuskan anggaran pendapatan dan belanja dalam membiayai pelaksanaan
fungsi tersebut.

34

Moh. Mahfud, MD. 1999.Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media.
Hal.221-222.

26

Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melaluiPemilu
secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-Menurut Aurell
Croissant, dalam prespektif politik sekurang-kurangnya ada tiga fungsi pemilihan
umum, yakni35 :
1. Fungsi Keterwakilan. Fungsi Keterwakilan merupakan urgensi di negara
demokasi baru dalam beberapa Pemilu.
2. Fungsi

Integrasi.

Fungsi

ini

menjadi

kebutuhan

negara

yang

mengkonsolidasikan demokrasi.
3. Fungsi Mayoritas. Fungsi Mayoritas merupakan kewajiban bagi negara
yang

hendak

mempertahankan

stabilitas

dan

kepemerintahan

(governability).

1.6.2.1 Asas Pemilihan Umum
Pemilu diperlukan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip
kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan
menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program
yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya. Oleh karena
itu tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya
pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu yang tidak mampu
mencapai tujuan itu hanya akan menjadi mekanisme pemberian legitimasi bagi
pemegang kekuasaan negara. Pemilu demikian adalah pemilu yang kehilangan roh
demokrasi.
Untuk mencapai tujuan itu, Pemilu harus dilaksanakan menurut asas- asas
tertentu. Asas-asas mengikat keseluruhan proses Pemilu dan semua pihak yang
terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pemerintah.

35

Joko J, Prihatmoko. 2008.Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen Teknis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal.18.

27

Berdasarkan UU No 10 Tahun 2006 Tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adanya pedoman dalam
penyelenggaran Pemilu, yaitu : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Penyelenggaran

Pemilu,

tentunya

memiliki

tujuan

bagi

rakyat,

diantaranya:36
a. Untuk

memungkinkan

terjadinya

peralihan

kepemimpinan

pemerintahan secara tertib dan damai.
b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.
c. Untuk

melaksanakan

prinsip

kedaulatan

rakyat.d.

Untuk

melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Menurut Sukarna pelaksanaan Pemilu harus dilaksanakan secara bebas.
Syarat Pemilu agar berlangsung secara bebas ada sepuluh, yakni:37
a. Aman. Dalam suatu negara yang tidak aman tidak akan dapat
dilakukan pemilihan umum.
b. Tertib. Suatu pemilihan umum yang tidak berjalan tertib tidak akan
menjamin suatu hasil yang baik.
c. Adil. Suatu pemilihan umum dalam suatu negara demokrasi harus
tetap menjunjung tinggi keadilan yaitu tidak adanya penindasan
dan paksaan.
d. Kemerdekaan Perorangan. Pemilihan umum yang bebas hanya
akan dapat dilakukan apabila setiap orang sebagai warga negara
dilindungi atau dijamin kemerdekaannya oleh undang-undang.
36

Jimly Asshiddiqie. 2012.Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajagrafindo
Persada.Hal. 417.
37
Sukarna. 1981.Sis