Pengajaran Bahasa Asing UNY 2

1
Pengajaran Bahasa Asing
Peng-’indo”-an atau Pencerahan Bangsa?
Manneke Budiman
Universitas Indonesia

Pendahuluan
To trouble oneself with the task of dealing with something that has been adequately
dealt with before is superfluous, a result of ignorance, or a sign of evil intent.
Abu Bakar Muhammad Ibn Bajjah, Tadbir al-mutawahhid

Mempersoalkan dampak bahasa asing pada identitas kultural suatu kelompok manusia
pada masa seperti sekarang ini bisa dilihat sebagai suatu tindakan kesiangan, sebagai
pseudo-problem, dan bahkan sebagai ilusi neurotik untuk kembali ke keadaan masa
lampau yang hanya ada dalam imajinasi. Hal ini menjadi lebih gamblang, khususnya
ketika bahasa asing yang dipersoalkan adalah bahasa Inggris, yang de facto telah
menjadi lingua franca komunitas internasional. Masihkah ada gunanya berteriakteriak tentang dampak kultural bahasa Inggris pada pemahaman kita tentang diri
sendiri maupun dunia tempat kita hidup di kala kita sendiri nyaris tak lagi dapat
bertahan hidup tanpa penguasaan atas bahasa Inggris?
Namun demikian, jawaban sekaligus akar permasalahan justru terletak dalam
pertanyaan itu sendiri. Bahwa bahasa asing, atau tepatnya bahasa Inggris, yang telah

sedemikian mendominasi hidup kita sebagai bagian dari masyarakat internasional dan,
dengan demikian, cenderung diterima begitu saja sebagai suatu fakta yang tak dapat
diganggu-gugat, seharusnya dilihat sebagai suatu persoalan serius. Kita tak lagi
merasa perlu bertanya mengapa karena kita telah menerima kebutuhan untuk mampu
berbahasa Inggris sebagai suatu keniscayaan, seperti juga dengan kebutuhan kita
untuk makan, bernapas, dan tidur. Dengan kata lain, bahasa Inggris telah menjadi
bagian dari darah dan daging kita, meskipun itu tidak serta-merta berarti bahwa kita
telah menguasai bahasa Inggris dengan sempurna.
Kenyataan ini menjadi cukup mengusik terlebih karena keistimewaan serupa tidak
dinikmati oleh bahasa-bahasa asing lainnya, baik yang berasal dari Eropa maupun
Asia. Argumen terkuat yang diajukan untuk menjelaskan situasi ini, sejauh yang saya
tahu, adalah yang berbasis pada sejarah imperialisme Inggris. Dunia modern,
singkatnya, dibentuk oleh imperialisme Inggris: ‘The way of England is the way of
the world,’ yang dengan tepat diungkapkan oleh seorang raja Siam kepada guru
bahasa Inggris istana yang didatangkan dari Britania dalam film klasik The King and
I. Sang raja sadar betul bahwa melalui bahasa Inggris-lah pintu menuju dunia dapat
dibuka, dan itu sebabnya mengapa seorang guru dengan susah-payah didatangkan dari
Inggris: untuk membawa modernisasi dalam cara berpikir keluarga istana melalui
pelajaran bahasa Inggris.
Masih ada alasan lain untuk kembali mempertanyakan kedigdayaan bahasa Inggris,

khususnya pada saat ini, ketika dunia tak lagi dapat melepaskan diri dari dominasi
bahasa Inggris dan sudah sangat terlambat untuk bertanya mengapa. Dalam

2
kecenderungan studi budaya masa kini, kemapanan selalu menjadi sasaran kajian
kritis karena dalam dan lewat kemapananlah cara pandang dan sistem nilai dominan
disebarluaskan serta dilestarikan. Kita perlu memahami secara kritis mengapa dan
bagaimanakah kemapanan itu terbentuk, apakah dampaknya pada realitas hidup kita,
dan masih adakah ruang untuk menyiasati kemapanan itu. Dalam konteks globalisasi
bahasa Inggris, pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih mendesak untuk dilontarkan
sekarang ketimbang pada masa dalam latar film The King and I.
Dalam paparan berikut, persoalan-persoalan tersebut akan didalami tanpa harus
mundur terlalu jauh ke sejarah masa lalu dan dengan berorientasi pada pemikiran
mengenai apa yang (masih) dapat kita lakukan sekarang. Itu pun jika kita sepakat
bahwa identitas budaya adalah sebuah persoalan serius dan jauh dari usang.
Globalisasi, lepas dari baik buruknya, ternyata mengusung juga wacana bahwa,
dengan mulai terwujudnya global village yang cair batas-batas teritorialnya, identitas
budaya pun akan kian kehilangan relevansinya. Tulisan ini juga akan mengaji cara
pandang tersebut untuk memperlihatkan problematikanya, terutama dalam kaitan
dengan bahasa Inggris.

Secara lebih spesifik, dalam konteks pengajaran bahasa Inggris, akan disoroti
bagaimana cara pandang global terhadap bahasa Inggris di atas turut membentuk cara
kita mengajarkan bahasa Inggris dalam kelas-kelas bahasa. Namun, karena kajian ini
bukanlah sebuah kerja berbasis riset lapangan, titik-tolak yang digunakan adalah
pelbagai asumsi di atas yang, sebagai semacam ideologi atau paradigma berpikir
dengan perangkat-perangkat nilai yang ada di belakangnya, mewujudkan dirinya
dalam bahasa dan perilaku kita. Tentu saja, harus diakui bahwa kenyataan lapangan
jauh lebih dinamis, dan mungkin juga lebih kompleks, dibandingkan dengan kritik
ideologi yang dikerjakan di sini. Saya menerimanya sebagai kekurangan tulisan ini,
dan ini perlu ditegaskan sejak awal untuk menghindari salah pengertian atau
kekecewaan.

Imperialisme dan mimicry
One cannot learn except by imitation. Just as children learn to speak by imitating the
speech of adults, to act by imitating the actions of adults, so do uncivilized and
uneducated people learn by imitating the ways of the civilized and the educated. Thus
it is reasonable and rational that Bengalis should imitate the English.
Bankimchandra Chattopadhyay

Bangsa-bangsa Eropa Barat, dengan Inggris, Prancis, dan Jerman sebagai ujung

tombaknya, telah lama belajar untuk memandang dirinya sebagai sekelompok bangsa
yang selangkah lebih maju daripada bangsa-bangsa lain, baik dari segi budaya
(peradaban Barat), ekonomi (kapitalisme liberal), maupun politik (demokrasi). Oleh
karena itu, standar kemajuan di dunia diukur berdasarkan standar-standar kemajuan
yang telah dicapai di Eropa Barat. Inilah yang melahirkan Orientalisme sebagai
sebuah paradigma berpikir dan, belakangan, sebagai sebuah disiplin pengetahuan.
Pandangan ini pula yang menjadi pembenaran bagi misi pemberadaban dunia dengan
bangsa-bangsa Eropa sebagai agen utamanya. Orientalisme dan misi luhur
pemberadaban pada akhirnya bersama-sama menjadi tiang-tiang penopang proyek
imperialisme Barat di belahan dunia yang disebut dengan “Dunia Ketiga” itu.

3
Dalam praktiknya, imperialisme menghadapi sebuah dilema: keuntungan ekonomi
dan politik yang diraih dari koloni-koloni sangat berlimpah, dan hal ini dapat
dipertahankan dengan melestarikan “ketertinggalan” bangsa-bangsa di koloni.
Namun, “ketertinggalan”, “kebodohan”, atau “primitivisme” itu juga menakutkan
karena berada di luar pagar keberadaban. Dalam pandangan kolonial, subjek yang
bodoh dan liar sama saja dengan hewan yang tak dapat dikendalikan dan diperkirakan
jalan pikirannya. Persoalannya adalah bagaimana koloni dapat diberadabkan dan
menjadi warga kemajuan tanpa mengakibatkan tumbuhnya perlawanan terhadap

kolonialisme sebagai hasil dari bangkitnya kesadaran yang merupakan produk
pemberadaban itu sendiri.
Di India, misalnya, secara intensif dilakukan pendidikan atas orang-orang terpilih,
sehingga mereka pun menjadi fasih dalam berpikir secara Inggris dan bertutur-kata
dalam bahasa Inggris. Inilah kaum elit berkulit gelap yang memandang dunia, orang
lain, dan dirinya sendiri dengan kaca mata baru yang disediakan oleh pendidikan
Barat itu. Bhabha (1994) menyebutnya mimicry, suatu jalan keluar yang bersifat
ironis bagi dilema yang dihadapi oleh kekuatan imperial. Ada keinginan untuk
menciptakan suatu Liyan yang sudah mengalami “reformasi” dan tak lagi “primitif.”
Agar dapat secara efektif mendukung pemberadaban dan imperialisme secara
keseluruhan, sang Liyan ini harus mampu berpikir dan bertindak seperti penciptanya,
tetapi tetap dapat dibedakan dari penciptanya: sebuah subyek yang ‘nyaris serupa,
tetapi tak betul-betul sama’ dengan tuannya. 1
Di Indonesia, hal serupa pernah dilakukan Belanda lewat Politik Etis-nya, dan untuk
pertama kali anak-anak bumiputra dapat menikmati pendidikan sekolah dan belajar
bahasa Belanda serta kebudayaan Barat, meskipun sekolah mereka dipisahkan dari
sekolah anak-anak Belanda totok. Banyak di antara kita tentu ingat bahwa
pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, melalui apparatus seperti NICA dan
KNIL, juga didukung oleh kelompok-kelompok elit bumiputra yang memperoleh
kesempatan mengenyam pendidikan Belanda. Dengan adanya kelompok elit

bumiputra yang terdidik, mesin-mesin pemerintahan kolonial dapat dijalankan dengan
efisien dan produktif. Secara lebih spesifik, Thomas B. Macaulay menyebutkan
bahwa tujuan pendidikan kolonial di India adalah untuk membentuk ‘sebuah
kelompok juru bahasa antara kita dan jutaan orang yang ‘kita perintah’ yang ‘darah
dan warna kulitnya India, tetapi citarasa, pandangan, moral dan intelektualitasnya
Inggris’ (dikutip dalam Bhabha, hal. 87).
Jadi, sejak semula—lama sebelum era “globalisasi” yang kini kerap didengungdengungkan itu—di koloni-koloni Barat di Asia telah ada semacam kelompok “indo”
dalam masyarakat, bukan dalam artian kelompok blasteran hasil perkawinan antaretnik, melainkan kelompok kecil elit yang bumiputra tetapi dididik secara Barat. Jika
kita betul-betul mencermati masyarakat kita kini, fenomena ini masih berlangsung;
1

Bhabha menyebutkan bahwa mimicry, sembari berupaya untuk “mencerdaskan” bangsa terjajah,
harus membuahkan hasil yang tidak terlalu sempurna. Keterbatasan dan perbedaan subjek kolonial
yang dicetak lewat mimicry harus dapat dibandingkan secara jelas dengan model aslinya, yaitu orang
Eropa yang tercerahkan. Jadi, mimicry dalam derajat tertentu harus mengandung kegagalan. Subyek
kolonial yang berhasil sepenuhnya dicerahkan lewat pendidikan Barat hanya akan menjadi ancaman
yang serius bagi kekuasaan kolonial—sama berbahayanya dengan atau bahkan lebih berbahaya
daripada subjek yang terbelakang dan bodoh (hal. 86). Periksa Homi K. Bhabha, ‘Of Mimicry and
Man: The ambivalence of colonial discourse,’ dalam The Location of Culture, London: Routledge
(1994)


4
bedanya barangkali adalah bahwa proses mimicry atau pem-barat-an kini terjadi
secara meluas dengan media massa sebagai agen sentralnya dan tidak hanya terbatas
dilakukan melalui sekolah-sekolah modern. Di mana-mana citarasa dan gaya hidup
Barat mendominasi dan menjadi acuan dalam menentukan mana yang lebih “maju”
dan mana yang “ketinggalan zaman”, mana yang trendy” dan mana yang “udik.”
Menariknya, sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya kelompok elit yang kecil
jumlahnya inilah yang menjadi pelopor pelbagai gerakan nasionalis di “Dunia Ketiga”
yang berusaha membebaskan diri dari imperialisme Barat. Gagasan-gagasan tentang
kebebasan yang dipelajari dari sekolah-sekolah Barat melahirkan kesadaran akan
kemerdekaan dan perlunya mengusir kekuasaan kolonial dari tanah jajahan. Namun,
para elit yang memimpin gerakan nasionalis di negeri-negeri terjajah juga
menghadapi dilema yang pelik. Di satu pihak, mereka ingin melepaskan diri dari
kekuasaan kolonial asing dan mengejar ketertinggalan dari Barat. Di lain pihak,
standar-standar kebebasan dan kemajuan yang hendak dicapai tak bisa tidak harus
ditiru dari Barat.
Nasionalisme Timur, menurut John Plamenatz, tumbuh di tengah bangsa-bangsa yang
belum lama menjadi bagian dari peradaban yang sebelumnya asing bagi mereka, dan
bangsa-bangsa itu tidak memiliki standar keberhasilan dan keunggulan (dikutip dalam

Chatterjee 1993:2). Akibatnya, kata Plamenatz lagi, mereka harus mengukur
keterbelakangan dan kemajuan mereka dari ‘standar global’ yang ditetapkan oleh
bangsa-bangsa Eropa Barat. Jadi, ada kesadaran bahwa standar-standar yang
dibutuhkan memang berasal dari kebudayaan asing, sehingga untuk mencapai standar
tersebut bangsa-bangsa yang baru merdeka itu harus melengkapi dirinya lagi secara
kultural agar dapat beradaptasi. 2
Sampai di sini kita berhadapan dengan fakta bahwa mimicry adalah strategi kolonial
yang tak dapat ditolak, dan strategi tersebut menjadi sebuah kendala untuk
sepenuhnya melepaskan diri dari pengaruh kolonialisme sekaligus pembuka peluang
untuk menjadi bagian dari kemajuan global. Pembelajaran bahasa asing dapat
diteropong dari konteks yang problematik karena bahasa asing juga terletak di antara
persilangan kedua perspektif yang saling bertolak belakang ini. Di satu pihak, bahasa
asing membuka jalan bagi pembelajar untuk menjadi bagian dari warga dunia dan
keluar dari isolasi dunianya yang lokal yang dibentuk oleh bahasa ibu/lokal. Namun,
pada saat yang sama, mempelajari bahasa asing sama artinya dengan menyerap dan
membiarkan diri dibentuk oleh nilai-nilai asing yang mewujudkan diri dalam bahasa.
Oleh sebab itu, sebelum kita berbicara tentang penyiasatan atas dilema ini, ada
baiknya kita meneliti pengaruh infiltrasi ideologis lewat bahasa pada kesadaran dan
identitas secara lebih lanjut.


Dampak dan perlawanan

2

Partha Chatterjee melihat situasi ini sebagai sebuah kontradiksi: nasionalisme di Timur bersikap
meniru Barat sebagai model bagi kemajuannya, tetapi pada saat yang sama juga memusuhi model yang
ditirunya itu (hal. 2). Dengan demikian, jelas bahwa mimicry tetap bertahan di bekas koloni, meskipun
kekuasaan kolonial dalam wujud fisiknya telah berakhir. Lebih lanjut, periksa Partha Chatterjee,
Nationalist Thought and the Colonial World: A derivative discourse, Minneapolis: University of
Minnesota Press (1993).

5
Is it right that a man should abandon his mother tongue for someone else’s? It looks
like dreadful betrayal and produces a guilty feeling. But for me there is no other
choice. I have been given the language and I intend to use it.
Chinua Achebe, dalam pidato berjudul “The African Writer and the English
Language (1964)

Tahun 1962, dalam sebuah konferensi para penulis Afrika di Makarere University
College di Nairobi, Kenya, terjadi perdebatan apakah seorang penulis Afrika harus

menulis dalam bahasa lokal (Swahili, Kikuyu, dll) atau dalam bahasa asing (Prancis,
Inggris, dll). Sebagian peserta, termasuk penulis Kenya Ngugi wa Thiong’o—yang
saat itu masih menjadi mahasiswa Makarere University College di Nairobi, saat itu
cenderung memilih untuk mengungkapkan pengalaman Afrika mereka dalam bahasa
asing, baik bahasa Inggris, Prancis, atau Portugis, yang di mata banyak orang sudah
diterima sebagai bagian yang alamiah dari kenyataan Afrika. Tahun 1977, Ngugi wa
Thiong’o memproklamasikan bahwa ia akan berhenti menulis drama, novel, dan
cerpen dalam bahasa Inggris dan beralih ke bahasa Gikuyu dan Kiswahili. Bukunya
yang cukup radikal, Decolonizing the Mind (1981) menjadi semacam talak resmi bagi
pemutusan hubungan dengan bahasa Inggris sebagai medium ekspresi kreatifnya.
Ia mengecam penulis-penulis Afrika lain, seperti Chinua Achebe dan Gabriel Okara,
yang secara fatalistik menerima begitu saja posisi dominan bahasa Inggris sebagai
medium ekspresi, bahkan ketika yang hendak diekspresikan adalah gagasan, falsafah,
kisah, dan citraan Afrika (1981:7-9). Di mata Ngugi, bahasa memiliki kemampuan
untuk menyihir jiwa dan memenjarakannya seperti seorang tawanan. Jika peluru
adalah sarana penaklukan fisik, bahasa adalah sarana penaklukan jiwa. Ia teringat
masa sekolahnya dahulu, ketika setiap prestasi dalam bahasa Inggris diberi pujian,
hadiah, dan penghargaan tinggi, sementara berbicara dalam bahasa lokal sama sekali
tidak memberikan kebanggaan apa-apa. Bahasa dan sastra (Barat) yang dipelajarinya
justru menjauhkan ia dari diri dan dunianya sendiri, dan ini semua membuatnya

bertanya-tanya: Apa yang telah dilakukan oleh sistem kolonial pada anak-anak
Kenya? 3
Dari perspektif internasional, penguasaan bahasa asing memberikan akses ke politik,
bisnis, dan pendidikan, serta membantu penutur bahasa asing tersebut menjelaskan
tentang dirinya kepada dunia. Sementara itu, dari perspektif domestik, para bumiputra
penutur bahasa asing menjadi kian dikukuhkan kelas sosialnya dalam masyarakat.
Bahasa asing, dengan kata lain, memberikan ‘kepercayaan diri’ kepada penuturnya
(1981:20-21).
Uniknya, di banyak negara “Dunia Ketiga” pihak yang justru gencar mempromosikan
penggunaan bahasa asing adalah para elit yang tak jarang merupakan pemimpin
gerakan nasionalis. Di Afrika, para penulis yang serius memikirkan Afrika, seperti
3

Bagi Ngugi, bahasa bukan sekadar alat komunikasi dan penyebaran pengetahuan, tetapi juga
merupakan senjata dalam pergulatan untuk meraih kekuasaan. Ia percaya bahwa kekuasaan kolonial
didukung oleh bahasa kolonial karena melalui bahasalah cara seseorang berpikir dan memandang
dunianya dibentuk sekaligus dikendalikan. Oleh sebab itu, menciptakan kebanggaan atas penguasaan
suatu bahasa asing dan keengganan untuk menyintai bahasa ibu sendiri dinilai sebagai strategi penting
kolonialisme untuk mengukuhkan kekuasaannya atas bangsa-bangsa di koloni. Ketika hal ini terwujud,
pikiran dan kesadaran pun menjadi “tanah jajahan” yang baru. Periksa lebih lanjut Decolonising the
Mind: The Politics of Language in African Literature, Nairobi: Heinemann Kenya (1981; cetak ulang
1991)

6
Achebe, Senghor, Soyinka, dan Ousmane, lebih suka menyuarakan ke-Afrika-an
mereka dalam bahasa Inggris atau Prancis. Di India, ketika negeri itu meraih
kemerdekaannya dari Inggris, para tokoh nasionalislah, seperti Bankimchandra
Chattopadhyay dan Jawaharlal Nehru, yang menyepakati bahwa bahasa resmi Negara
yang baru merdeka itu adalah bahasa Inggris, dan bukan bahasa Hindi, Tamil,
Bengali, atau bahasa lokal lainnya. Di Indonesia, sudah umum diketahui bahwa R.A.
Kartini dalam surat-suratnya secara konsisten berpendapat bahwa bahasa Belanda-lah
yang akan dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemajua, dan bukan
bahasa Indonesia.
Tentu saja, ini tidak serta-merta berarti bahwa nasionalisme mereka adalah
nasionalisme palsu atau bahwa mereka kurang memiliki patriotisme. Namun, janganjangan, mereka menghadapi dilema atau ambivalensi seperti yang telah diuraikan di
atas. Mereka sepakat bahwa kemerdekaan dari penjajah perlu diraih, tetapi model
acuan untuk mendirikan sebuah bangsa modern yang merdeka mau tak mau harus
dipinjam dari mantan penjajah, termasuk dalam hal ini bahasanya, jika benar apa yang
dikatakan Ngugi bahwa bahasa menyediakan akses ke kekuasaan. Frantz Fanon
mendukung pernyataan ini ketika ia berkata, ‘Mastery of language affords remarkable
power’ (1972:13-14) karena bertutur kata dalam suatu bahasa (asing) berarti
menempatkan diri dalam budaya bahasa itu, yang menjadi tiang penyangga suatu
peradaban. 4
Kini, dalam era yang disebut dengan “globalisasi,” yang konon membuat dunia
menjadi lebih cair batas-batasnya, dan semua orang secara teoritis punya kesempatan
untuk berpartisipasi di dalamnya, ambivalensi peninggalan masa kolonial tersebut
bukannya mereda. Fatalisme yang terkait dengan penerimaan dominasi bahasa asing
tanpa pertanyaan di mana-mana kian dikukuhkan. Namun, pada saat yang sama
tanggapan kritis dan perlawanan terhadap kuasa hegemonik bahasa asing juga kian
mengeras, sama persis dengan apa yang terjadi pada tataran ekonomi dan politik
dunia saat ini. Penerimaan terhadap gagasan globalisasi kian hari juga kian
menunjukkan sifat yang fatalistik. Globalisasi dipandang sebagai satu-satunya opsi
masa depan, dan tak ada lagi yang dapat diperbuat untuk menolak atau menentangnya.
Penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping penguasaan atas
pengetahuan yang berasal dari Barat, dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam
menyambung hidup di era ini. Namun, barangkali sikap fatalistik itu tidak sepenuhnya
tepat, dan tidak sepenuhnya benar bahwa tak ada hal lain yang bisa dilakukan
terhadap globalisasi selain menerimanya dengan kedua tangan terbentang lebar.

4

Fanon berpendapat bahwa seseorang yang menguasai bahasa memiliki dunia yang dinyatakan atau
disiratkan oleh bahasa tersebut. Gagasan ini tidak bertentangan dengan pandangan pascastruktural
tentang bahasa, yakni bahwa realitas tidak berada di luar bahasa, melainkan diciptakan oleh bahasa
karena kata tidak lagi diposisikan sebagai yang sekunder dalam hubungannya dengan objek atau
kenyataan yang direpresentasikannya dan, oleh sebab itu, mampu menciptakan realitasnya sendiri.
Sebagai ilusrasi, Fanon menceritakan masa kecilnya sendiri sebagai seorang berkulit hitam, tetapi yang
tidak serta-merta menyadari bahwa ia berkulit hitam semata-mata karena kenyataan warna kulitnya
belaka. Apa yang dikatakan orang tentang dirinyalah yang menyadarkan ia akan kenyataan itu.
Katanya, ‘I am a Negro—but of course I do not know it, smply because I am one. When I am at home
my mother sings me French love songs in which there is never a word about Negroes. When I disobey,
when I make too much noise, I am told to “stop acting like a nigger”.’ Periksa Frantz Fanon, Black Skin
White Masks, London: Paladin (1970; cetak ulang 1972).

7
Berbagai peristiwa yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir ini jelas
memperlihatkan bahwa globalisasi tidaklah se-omnipoten sebagaimana yang mungkin
dibayangkan sebagian orang. Serangan atas simbol-simbol hegemoni ekonomi dan
dominasi militer Amerika Serikat, yakni gedung kembar WTC dan Pentagon,
perlawanan kelompok-kelompok radikal dan kubu World Social Forum pada
organisasi perdagangan dunia WTO, dan bangkitnya fundamentalisme religius di
banyak tempat, adalah beberapa ilustrasi yang membuktikan hal itu. Dalam proses
perencanaan dan persiapan serangan atas Amerika, misalnya, para pelaku tidak segansegan memanfaatkan temuan dan peralatan teknologi mutakhir, seperti telpon
genggam, komputer, dan jaringan internet, untuk belajar navigasi udara dan membuat
bahan peledak. Ini semua adalah produk globalisasi yang sebelumnya hanya identik
dengan kemajuan dan kecanggihan peradaban. Di tangan mereka yang marah dan
frustrasi terhadap globalisasi, yang seringkali dianggap sebagai sekadar nama yang
lebih halus untuk “Amerikanisasi,” penanda-penanda kemajuan itu digunakan secara
destruktif untuk melancarkan pukulan balik kepada penciptanya.
Perubahan luar biasa yang dibawa oleh globalisasi, menurut Kevin Robins (1997)
telah menyebabkan terjadinya disorientasi. Identitas kita dari hari ke hari dibanjiri
oleh air bah berupa barang, jasa, dan informasi yang membuat kita bahkan nyaris tak
lagi dapat mengenali kesadaran diri kita sendiri. Namun, Robins mengingatkan,
globalisasi belum sepenuhnya mengubah segala-galanya. Ada perbenturan yang
terjadi antara unsur-unsur baru dan unsur-unsur lama. Tambahan lagi, ternyata tidak
semua orang dapat memiliki akses yang sama ke globalisasi (hal. 44). Di matanya,
globalisasi lebih tampak sebagai sebuah proses yang tidak merata dan mengandung
banyak kontradiksi. Ada yang muncul sebagai pemenang, tetapi banyak pula yang
tersingkirkan, dan mereka inilah yang lalu giat mengobarkan perlawanan. 5 Jelasnya,
globalisasi lebih mirip segelondong benang ruwet yang letak ujung dan pangkalnya
tidak jelas daripada seutas garis yang linear dan berujung pada kemajuan.

Hegemoni dalam pengajaran bahasa
The facile assumption to make is that because of improved communications and
awareness of global connections differences between cultures area also being erased.
The spread of English as a lingua franca around around the world contributes to this
idea: if we all understand English, we can easily overcome any minor, local
differences. But this is a very Anglo-centric concept.
Susan Bassnett, ‘Making Sense of the Global Village’ (2005)

Di pelbagai negara bekas jajahan Inggris, seperti di India dan Afrika Selatan, telah
tumbuh suatu kebutuhan untuk melakukan pengajaran bahasa Inggris dalam kerangka
pengakuan terhadap kemajemukan bahasa dan dengan dilandasi oleh kesadaran akan
bahaya hegemoni bahasa Inggris (Joseph dan Ramani, 1998:214). Jadi, para
profesional pengajar bahasa Inggris, yang kebanyakan juga merupakan bagian dari
kaum elit di kedua tempat itu, merasa perlu untuk mulai melihat bahasa Inggris dari
‘mata seorang India’ atau dari ‘mata seorang Afrika Selatan. 6 Strategi ini
5

Kevin Robins, ‘What in the World’s Going On?’ dalam Paul du Gay (peny.), Production of Culture/
Cultures of Production, London: sage Publications & Open University (1997).
6
Tanpa melupakan sasaran pengajaran bahasa, yakni memberikan akses terbaik ke bahasa yang
dipelajari kepada para siswa (dalam hal ini, bahasa Inggris), para pengajar ini juga ingin menjadikan

8
kedengarannya tidak hanya kontradiktif dengan tujuan pembelajaran bahasa asing,
tetapi juga bertolak belakang dengan cara pandang pembelajar sendiri tentang hakikat
belajar bahasa asing. Pentingnya pengembangan keberaksaraan (literacy) bahasa ibu
dalam kelas-kelas bahasa Inggris jelas tidak menarik para siswa di Afrika Selatan,
seperti yang dilaporkan oleh Joseph dan Ramani (hal. 217).
Apabila Joseph dan Ramani mencium adanya bahaya kehilangan bahasa sendiri di
kalangan pembelajar bahasa Inggris karena kecenderungan mereka untuk merasa
lebih kerasan dengan bahasa Inggris, Markku Ninioja—lewat studi kasus
pembelajaran bahasa Inggris di Finlandia—melihat persoalan dengan lebih optimis
(2005:126). Ia mengakui bahwa dengan integrasi yang terjadi di Eropa saat ini, bahasa
Finlandia bisa jadi terancam oleh hegemoni bahasa Inggris. Namun demikian, ia juga
melihat adanya potensi pengayaan bahasa Inggris oleh bahasa Finlandia, meskipun
dalam skala yang terbatas. Sebaliknya, di mata seorang skeptis seperti Ngugi,
misalnya, pertanyaannya adalah mengapa kita sedemikian bangganya apabila bahasa
ibu kita memperkaya bahasa Inggris? Pertanyaan ini menjadi penting, terutama di saat
penguasaan bahasa nasional kita sendiri masih berada dalam taraf memprihatinkan
(1981; 1991:8). Sementara itu, Joseph dan Ramani mengusulkan agar kita
memanfaatkan saja hegemoni dan kecanggihan bahasa Inggris, khususnya dari segi
metode pengajaran, untuk membekali para guru pengajar bahasa-bahasa lokal.
Dengan demikian, bahasa-bahasa lokal yang terpinggirkan dapat dilestarikan melalui
pengajaran yang dilakukan dengan metode-metode mutakhir, dan diharapkan minat
orang untuk mempelajari bahasa lokal pun akan dapat ditumbuhkan (1998:218-220).
Namun, bahkan dalam strategi semacam ini pun hegemoni bahasa Inggris bertambah
menjadi kian kukuh.
Bila betul bahwa dominasi bahasa ini tak dapat ditolak, adakah strategi kultural
tertentu yang dapat membantu kita memanfaatkan ruang gerak yang masih ada,
walaupun mungkin sudah sangat terbatas, untuk bermanuver mempertahankan
identitas kultural kita? Bagaimana sebuah bahasa asing dapat diserap dan dikuasai
tanpa menyebabkan kita menjadi “indo-indo” berkulit sawo matang dengan kepala
penuh berisi gagasan dari Barat dan selalu mengukur taraf keberadaban diri sendiri
lewat standar-standar kemajuan Barat? Bagaimana caranya untuk tidak dipandang
sebagai “udik” di negeri sendiri semata karena tidak menguasai bahasa Barat atau
karena tidak menjadikan Barat sebagai acuan utama dalam memaknai diri sendiri? Ini
semua bukan pertanyaan yang mudah dijawab, meskipun telah ada sejumlah tawaran
jawaban yang diajukan dalam perspektif pengajaran bahasa asing selama ini.
Barangkali, sebagian dari para guru masih dapat mengingat adanya kecenderungan
tertentu yang terjadi saat mengajarkan pelbagai ekspresi dalam bahasa Inggris. Kita
secara tak sadar menanamkan pada para siswa kita di kelas untuk tidak bertanya ‘How
old are you?’, ‘Are you married?’, atau ‘Where are you going?’ kepada seorang

kelas-kelas bahasa Inggris sebagai lahan tempat mempromosikan kemajemukan bahasa. Oleh sebab itu,
mereka mendorong para siswa untuk menggunakan bahasa lokal dalam diskusi-diskusi kelas. Akan
tetapi, perlawanan justru datang dari para siswa sendiri yang menuntut bahwa mereka ‘datang untuk
belajar bahasa Inggris’ (hal. 217). Ini mengukuhkan kebenaran pemikiran Bhabha dan lain-lain
mengena kecenderungan untuk memuja bahasa asing dan merendahkan bahasa ibu sendiri. Untuk
rincian lebih jauh, periksa Michael Joseph dan Esther Ramani, ‘The ELT Specialist and Linguistic
Hegemony’ dalam ELT Journal Vol. 52/3 (Juli 1998), hal. 214-222.

9
penutur asli bahasa Inggris karena dalam budaya Barat pada umumnya pertanyaanpertanyaan semacam itu melanggar privacy individu.
Para siswa, secara tanpa sadar, dididik lewat pengajaran bahasa, untuk
memperlihatkan toleransi yang sangat besar pada perasaan orang asing sampai pada
taraf menyensor diri sendiri dan mengabaikan cara pandang budaya lokal terhadap
sifat dan maksud pertanyaan-pertanyaan di atas. Kita tidak selalu ingat bahwa dalam
budaya lokal, pertanyaan-pertanyaan, seperti ‘Umur Anda berapa?’, ‘Anda sudah
menikah?’, ‘Anda mau ke mana?’ dan yang sejenisnya tidak selalu merupakan
ungkapan referensial yang bertujuan untuk mencari informasi. Seringkali, dalam
komunikasi sosial di masyarakat kita, pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih berfungsi
secara fatis, yakni sebagai strategi pembuka atau penyambung percakapan, sama
seperti bila seorang Inggris berkomentar tentang cuaca atau bertanya ‘How are you
today?’ Kita tidak selalu menyadari bahwa diperlukan toleransi yang sama besar dari
seorang penutur asli sebuah bahasa ketika bahasanya digunakan sebagai medium
komunikasi oleh seorang nonpenutur asli dalam suatu hibriditas dengan cara berpikir
dan bertutur kata lokal.
Pelajaran yang melekat dalam benak para siswa itu adalah ‘Tidak baik bertanya a, b,
c, d pada seorang penutur asli bahasa Inggris karena hal itu dapat menyinggung
perasaannya.’ Tidak terlalu menjadi soal bahwa dalam budaya kita sendiri
pertanyaan-pertanyaan seperti itu lazim diujarkan dalam komunikasi sosial dan jarang
berkaitan dengan privacy (sebuah kata asing yang hingga saat ini belum ada
padanannya dalam bahasa Indonesia!). Ada kemungkinan bahwa pelajaran seperti ini
akan diturunkan oleh para siswa kita itu ke orang lain sebagai semacam model
“pemberadaban”. Mereka menjadi warga baru kelompok elit yang mengerti
bagaimana cara memuja budaya asing, tetapi tidak memiliki cukup bekal untuk
mampu menghargai budaya sendiri. Di India, tidak mudah untuk mengajari para siswa
mengucapkan ‘Thank you’ karena cara mengungkapkan rasa terima kasih yang lazim
di negeri itu berwujud non-verbal, yakni dengan mengatupkan kedua telapak tangan
di depan dada tanpa disertai sepatah kata pun. Apakah tindakan ini akan ditafsirkan
oleh seorang non-India sebagai suatu sikap tidak tahu berterima kasih hanya karena
ucapan ‘Thank you’ tidak keluar dari mulut seorang India?
Dalam sebuah seminar yang menghadirkan seorang antropolog peneliti
berkebangsaan Amerika bertahun-tahun lampau, saya dibuat terhenyak tanpa mampu
berkata apa-apa oleh cara antropolog itu menafsirkan, ‘Masak apa hari ini?’ yang
diucapkan oleh ibu-ibu PKK dalam penelitiannya. Ia melakukan penelitian tentang
PKK dan berangkat dari dugaan bahwa PKK adalah salah satu aparatus ideologis
pemerintah yang digunakan untuk mengawasi gerak-gerik warganya sendiri.
Penelitian dilakukan selama kira-kira setahun di sebuah kampung di Yogyakarta, dan
selama itu, menurutnya, setiap hari selalu saja ada ibu-ibu anggota PKK yang
mampir ke rumah kontrakannya (tanpa membuat perjanjian dahulu tentu saja) untuk
bertanya, ‘Masak apa hari ini?’ Dalam penafsirannya, antropolog itu membaca
kunjungan dan pertanyaan tersebut sebagai kedok bagi tindakan memata-matai gerakgerik seorang warga asing yang sedang melakukan penelitian di daerah itu. Tidak
terbersit dalam benaknya bahwa ‘Masak apa hari ini?’ secara sederhana bisa jadi
hanyalah suatu strategi pendekatan para ibu itu untuk dapat mengenal “tamu”-nya
dengan lebih dekat. Bagi si antropolog, ucapan itu tak bisa lain berarti manifestasi

10
pengawasan terselubung yang dilakukan negara melalui tangan PKK, sebagaimana
yang telah didiktekan oleh paradigma teoritis risetnya!
Dalam dunia bisnis, tidak sedikit manajer Amerika yang brilyan dan ditugaskan
ditempat-tempat lain di dunia oleh perusahaan tempat mereka bekerja, tetapi mereka
gagal memperlihatkan kinerja yang baik. Akar masalahnya seringkali terletak pada
komunikasi yang dilakukannya dengan para bawahan lokalnya. 7 Para manajer itu
selalu membeberkan rencana mereka dalam menangani suatu persoalan kepada anak
buahnya dan meminta tanggapan atas rencana tersebut. Para anak buahnya secara
kompak menyatakan persetujuan mereka terhadap rencana itu. Ketika rencana itu
tidak berjalan dengan baik dan dilakukan evaluasi, anak buahnya mampu
menunjukkan kelemahan rencana itu yang menyebabkannya gagal.
Manajer Amerika ini tidak dapat mengerti mengapa selama ini anak buahnya setuju
saja dan tidak mengkritisi rencana itu, padahal mereka tahu bahwa rencana itu
mengandung kelemahan. Ia menganggap para anak buahnya kurang peduli pada hasil
dan tidak punya orientasi pada kinerja. Di lain pihak, para anak buahnya memilih
untuk tidak mengkritik rencana atasannya karena mereka tidak ingin mempermalukan
atasan dengan menunjukkan kekurangannya. Di mata mereka, atasan yang meminta
pendapat anak buah tidak memiliki kepercayaan diri dan, oleh sebab itu, kurang
berwibawa.
Dalam situasi seperti ini, persoalan utamanya adalah siapa yang paling mendesak
untuk dibekali dengan ketrampilan kepekaan lintas-budaya? Biasanya, tekanan lebih
besar diberikan kepada para anak buah. Merekalah yang harus belajar memahami dan
memberikan toleransi kepada atasannya yang berkebangsaan asing. Jadi, bahkan di
negeri sendiri mereka harus belajar menerapkan kode-kode budaya asing dalam
berkomunikasi dengan orang asing yang tinggal dan bekerja di situ. Bandingkan
dengan berbagai persiapan yang rinci, khususnya di bidang kemahiran berbahasa dan
pengenalan budaya, yang harus kita tempuh sebelum kita dapat tinggal di sebuah
negara asing. Di sadari atau tidak, ada persoalan hegemoni di sini. Budaya yang posisi
tawarnya dipersepsikan lebih rendah harus mengalah kepada budaya yang
dipersepsikan lebih dominan. Kecenderungan serupa bukannya mustahil terjadi dalam
kelas-kelas pengajaran bahasa asing.
Hegemoni ini ternyata berdampak negatif tidak hanya pada budaya dan bahasa yang
marginal dari segi kuasa, melainkan juga pada budaya dan bahasa dominan, seperti
Inggris misalnya. 8 Di satu pihak, penyebaran bahasa Inggris secara global telah
memungkinkan orang di seluruh dunia saling berkomunikasi satu sama lain. Namun,
sesungguhnya motivasi penutur bahasa Inggris untuk belajar bahasa-bahasa non7

Edgar H. Schein, Organisational Culture and Leadership, San Fransisco & Oxford: Jossey-Bass Inc.
Publishers (1991), khususnya hal. 19-20 yang membahas tentang betapa rumitnya melangsungkan
komunikasi antar dua budaya yang berbeda.
8
Basnett berpendapat bahwa tidak cukup bagi orang untuk belajar bahasa Inggris. Penutur asli bahasa
Inggris pun harus belajar menjangkau budaya-budaya lain. Alasan mengapa bahasa-bahasa lain tetap
hidup dan digunakan, meskipun ada terpaan gencar bahasa Inggris melalui internet, bisnis internasional
dan media pemberitaan global, adalah karena setiap bahasa mencerminkan realitas sosial yang berbeda.
Pergerakan dari satu bahasa ke bahasa lain melibatkan proses-proses negosiasi yang rumit karena
makna berubah seiring dengan berubahnya kata dan struktur kalimat. Dunia tidaklah seragam di manamana. Lebih jauh periksa Susan Bassnett, ‘Making Sense of the Global Village’, dalam Warwick, The
Magazine, Issue 6, Spring (2005), hal. 28-30.

11
Inggris juga menurun. Akibatnya, berjuta-juta orang di dunia kini mampu bergerak
dengan leluasa dari satu bahasa ke bahasa lain, sedangkan jutaan penutur bahasa
Inggris sama sekali tak mempunyai pemahaman apapun tentang budaya-budaya lain.
Pada gilirannya, hal ini menumbuhkan sikap monokulturalis, yang menganggap
bahwa semua orang berpikir dengan cara yang sama, dan setiap perbedaan dari cara
berpikir ini dinilai sebagai penyimpangan (Bassnett, 2005:30).
Di Indonesia, persoalan-persoalan ini sudah mulai dipikirkan secara serius oleh
beberapa sarjana. Jelas bahwa sudah ada kesadaran mengenai ancaman hegemoni
bahasa Inggris dan perlunya penguasaan yang cukup baik atas bahasa dan budaya
lokal di dalam proses pembelajaran bahasa asing pada umumnya. Athriana Pattiwael,
misalnya, melihat bahwa pembelajaran bahasa asing berpotensi menyebabkan
terjadinya gegar budaya. Dalam hal ini, budaya justru menjadi kendala bagi proses
penguasaan suatu bahasa asing (2005:57). Ia juga sepakat dengan banyak pemikir
yang telah dikutip di atas bahwa ada juga kemungkinan tumbuhnya sikap elitis
sebagai akibat dari penguasaan bahasa asing, yang bisa jadi memperlebar jurang
antara yang kaya dan yang miskin, menghambat proses keaksaraan dalam bahasa ibu,
dan merugikan budaya lokal. Aktivitas kelas-kelas pengajaran bahasa asing malahan
kerap mengukuhkan stereotipe-stereotipe di atas alih-alih memperluas cakrawala atau
perspektif internasional para pembelajar.
Sebagai solusinya, Pattiwael mengusulkan agar bahan ajar disesuaikan dengan
konteks budaya pembelajar. Kelas-kelas pengajaran bahasa Inggris justru harus
dimanfaatkan untuk mempersempit kesenjangan antara budaya Barat yang dominan
dan budaya-budaya lokal yang ‘minoritas’ (hal. 61). Senafas dengan Joseph dan
Ramani, ia berkeyakinan bahwa para guru perlu menjadikan kelas-kelas bahasa asing
mereka sebagai ajang penciptaan ‘mosaik’ tempat etnisitas dan latar belakang budaya
pembelajar dapat dengan penuh kebanggaan dipertunjukkan (hal. 62).
Luciana (2005) juga menekankan pada pentingnya mempertimbangkan budaya lokal
dalam pembelajara bahasa Inggris. Seorang pengajar bahasa Inggris mau tidak mau
harus memahami budaya bahasa yang diajarkannya demi kepentingan praktis.
Namun, jika kemudian pengetahuan akan budaya asing ini diajarkan secara gegabah,
penilaian yang salah kaprah tentang budaya lain juga bisa terjadi (hal. 75). Sepakat
dengan pemikiran Bassnett, Luciana mengemukakan bahwa citarasa suatu budaya
terwujud dalam kosakata, tata kalimat, dan bentuk ungkapan lain dalam bahasa yang
berasal dari budaya tersebut (hal. 76).
Menurutnya, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia harus mampu mengembangkan
identitas kita sendiri yang diperkaya oleh budaya lain. Kedua, budaya asing
bermanfaat sejauh dapat menjadi sarana untuk membangun keluasan wawasan. Selain
itu, guru harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan budaya lokal secara ceroboh dari
perspektif ‘ke-Inggris-an’ mereka sendiri (hal. 77). Sama seperti Pattiwael, Luciana
menyerukan perlunya pembelajar bahasa Inggris untuk dapat melakukan refleksi
objektif maupun subjektif pada budaya lokal dan budaya asing yang memungkinkan
terjadinya perkembangan perspektif pribadi mereka.
Oleh karena itu, Kelas-kelas pengajaran bahasa harus mampu mengubah peranannya
sendiri sebagai forum tempat “subversi” (meminjam isitilah Postman & Weingarter
dalam Teaching as a Subversive Activity [1969]) dikembang-biakkan. Artinya, para

12
siswa perlu dibantu menempuh suatu proses penemuan bahwa bahasa suatu bangsa
terbatas, bersisi tunggal, dan bahkan terkadang bisa menyesatkan. Kemampuan
melihat jauh ke balik kata yang memberi bentuk pada suatu ideologi ini akan
membuat siswa sulit untuk dibuai oleh suatu ideologi tertentu. ‘Suatu pelajaran,’
menurut Postman dan Weingarter (1969) hanyalah ‘apa yang kita katakan dari sudut
pandang kita’ (hal.93) dan, oleh karenanya, diperlukan siswa yang mampu menjadi
‘pemberi makna’ (meaning makers). Dengan kata lain, apa yang dipelajari di kelas
harus bermakna atau masuk akal bagi para siswa alih-alih sekadar informasi yang
mereka serap hanya karena mereka harus menerimanya.
Di dalam proses belajar-mengajar bahasa asing yang “subversif,” daya kritis siswa
harus dirangsang pada setiap tahapan pembelajaran. Mereka selayaknya didorong
untuk menanggapi metode yang digunakan sebuah buku teks, mempertanyakan fotofoto dan ilustrasi-ilustrasi yang muncul di dalamnya, dan mempersoalkan mengapa
suatu gagasan dinyatakan dengan cara tertentu dalam bahasa asing yang dipelajari
untuk melihat letak “keanehan” cara berpikir budaya yang melahirkan bahasa
tersebut.
Akan menarik juga bagi para siswa untuk mendiskusikan bersama, misalnya,
mengapa pasir hisap, misalnya, dalam bahasa Inggris disebut dengan quicksand,
padahal proses penghisapan terjadi dengan perlahan-lahan. Atau, mengapa arena tinju
disebut dengan boxing ring, sementara bentuk arena tersebut tidak melingkar
melainkan persegi? Mengapa vegetarian berarti pemakan sayur-sayuran, sedangkan
humanitarian tidak berarti pemakan manusia melainkan sesuatu yang terkait dengan
kemanusiaan? Demikian pula ketika kita mengajarkan bahwa bangsa Inggris
mempunyai tradisi minum teh yang sudah mendarah daging, apakah kita juga
menunjukkan kepada para siswa keanehan tradisi ini? Sedemikian mengakarnya
tradisi ini hingga ada anekdot bahwa bangsa Inggris dapat ditaklukan oleh Julius
Caesar dari Roma karena di tengah-tengah pertempuran tiba-tiba para pejuang Briton
berhenti berperang bersamaan dengan tibanya saat minum teh. Namun, barangkali tak
banyak yang menyadari bahwa tanaman teh sama sekali tak dapat tumbuh di Inggris,
dan yang disebut dengan English tea, atau Earl Grey tea, dan yang semacamnya
diimpor bahan mentahnya dari India. Ini semua dimungkinkan oleh kolonialisme
Inggris yang panjang di India. Jadi, sebuah tradisi nasional bisa saja tercipta bukan
karena faktor “asli” yang berasal dari dalam bangsa itu sendiri, melainkan berasal dari
pengaruh luar sebagai akibat imperialisme.
Terakhir, globalisasi secara umum dan perlunya penguasaan bahasa asing pada
khususnya memang tidak dapat sepenuhnya ditolak. Yang perlu disikapi secara kritis
adalah paradigma globalisasi seperti apa dan penguasaan bahasa asing untuk tujuan
apa yang harus kita formulasikan agar gegar yang dialami oleh identitas kultural dan
bahasa ibu kita tidak membuat kita mengadopsi cara pandang hegemonik yang di satu
pihak bersifat universalistik terhadap dunia dan melihat perbedaan sebagai
penyimpangan atau tanda ketakberadaban. Kenichi Ohmae (1991) menyatakan
bahwa, pada era globalisasi ini, kita dilahirkan bukan untuk menjadi bagian dari
sesuatu, melainkan untuk membeli (‘not to belong but to buy’). Jadi, identitas kita
ditentukan oleh apa yang kita konsumsi. Andaikata hal ini benar, maka kegalauan
Bhabha, Ngugi, Fanon, dll bahwa dalam “mengonsumsi” budaya dan bahasa asing
kita terancam kehilangan diri kita menjadi kian beralasan.

13
Bila para guru bahasa asing ingin memainkan peranan yang strategis dalam era
globalisasi tersebut, dalam artian mampu merekayasa arah pendidikan kaum muda
pembelajar bahasa asing agar tidak tenggelam dalam jenis identitas yang dilukiskan
Ohmae dan dirisaukan oleh Bhabha dkk, proses berpikir kritis harus dimulai dari
mereka sendiri. Ini merupakan conditio sine qua non bagi keberhasilan dalam
menanamkan kemampuan berpikir kritis pada para siswa dalam kelas-kelas
pengajaran bahasa asing. Dengan demikian, pengajaran bahasa asing tidak sekadar
berurusan dengan bagaimana membuat para pembelajar mahir berbahasa asing, tetapi
juga dengan bagaimana mereka dapat menjadi kritikus budaya yang berwawasan
plural. Jika sasaran ini dapat dicapai dengan efektif, maka potensi ancaman yang
terkandung dalam pembelajaran bahasa asing akan dapat diubah menjadi
kemungkinan-kemungkinan pemerkayaan, sebagaimana didambakan oleh Pattiwael,
Luciana, dan para sarjana pengajaran bahasa asing di Indonesia lainnya.

**********

Daftar Pustaka
Bassnett, Susan (2005), ‘Making Sense of the Global Village,’ dalam Warwick The
Magazine, Issue 6, Spring (edisi ulang tahun ke-40)
Bhabha, Homi (1994), ‘Of Mimicry and Man: The ambivalence of colonial
discourse,’ dalam Homi Bhabha (peny.), The Location of Culture, London:
Routledge
Edgar H. Schein (1991), Organisational Culture and Leadership, San Fransisco &
Oxford: Jossey-Bass Inc. Publishers
Fanon, Frantz (1970; cetak ulang 1972), Black Skin White Masks, London: Paladin
Joseph, Michael and Esther Ramani (1998), ‘The ELT Specialist and Linguistic
Hegemony: A response to Tully and Mathhew,’ dalam ELT Journal Volume 52/3,
July
Kevin Robins (1997), ‘What in the World’s Going On?’ dalam Paul du Gay (peny.),
Production of Culture/ Cultures of Production, London: sage Publications &
Open University
Luciana (2005), ‘Whose Culture: Your Culture? My Culture? A case of English
language learning in Indonesia,’ dalam Stuart A. Bruce & Antonius Suratno
(peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in Language and
Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University
Ngugi, wa Thiong’o (1981; cetak ulang 1991), Decolonising the Mind: The Politics of
Language in African Literature, Nairobi: Heinemann Kenya
Ninioja, Markku (2005), ‘Language and Cultural Identity,’ dalam Stuart A. Bruce &
Antonius Suratno (peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in
Language and Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University
Ohmae, Kenichi (1991), ‘Global Consumers Want Sony not Soil,’ dalam New
Perspectives Quarterly, Fall
Partha Chatterjee (1993), Nationalist Thought and the Colonial World: A Derivative
Discourse, Minneapolis: University of Minnesota Press
Pattiwael, Athriyana (2005), ‘Developing Culture Sensitive Language Instructional
Activity: Some emerging issues and considerations,’ dalam Stuart A. Bruce &

14
Antonius Suratno (peny.), Proceeding Representation of Cultural Values in
Language and Literature, Semarang: Soegijapranata Chatolic University
Postman, Neil dan Charles Weingarter (1969), Teaching as a Subversive Activity,
New York: Dell Publishing Co. Inc.