hubungan kepribadian terhadap kemam puan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Perdagangan bebas antar negara pada wilayah regional maupun global sudah
menjadi kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketersediaan produk
dan jasa dalam masyarakat. Perdagangan bebas adalah suatu sistem di mana
barang, arus modal, dan tenaga kerja secara bebas antara negara-negara, tanpa
hambatan yang bisa menghambat proses perdagangan (Sridianti, 2016). Sejumlah
hambatan akan diminimalkan tertuang dalam perjanjian perdagangan bebas, yaitu
permasalahan pajak, tarif, dan kuota impor. Pembatasan aliran mata uang juga
diangkat, seperti juga peraturan yang dapat dianggap penghalang untuk
perdagangan

bebas.

Sederhananya,

perdagangan

bebas


memungkinkan

perusahaan asing untuk berdagang seefisien mungkin, mudah, dan efektif seperti
produsen dalam negeri.
Linville (2012) menyatakan bahwa lebih dari 850.000 anak dari perusahaan
multinasional saat ini beroperasi secara global. Pada tahun 2002, diperkirakan
bahwa ada 3,3 juta ekspatriat warga AS di seluruh dunia dan diperkirakan akan
terus tumbuh di masa mendatang (Hechanova, dkk., 2003 dalam Linville, 2012).
Investasi yang diberikan pada setiap expatriate untuk bisnis multi nasional ini
yaitu $2 milion (dua puluh enam miliar rupiah) dalam kurun waktu empat tahun
(Klaff, 2002; dalam Evans, 2012).

1

2

Indonesia sendiri telah sepakat dan menandatangani perjanjian perdagangan
bebas regional ASEAN, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), yang sudah
berlaku sejak tahun 2015 akhir (Ariyanti, 2015). Dengan demikian perdagangan

produk dan jasa dari dalam negeri dan luar negeri se-ASEAN akan sangat mudah
dilakukan. Selain itu, Indonesia juga memberikan kemudahan bagi perusahaanperusahaan asing untuk berinventasi dan mendirikan pabrik atau cabang
perusahaannya di Indonesia.
Perdagangan bebas juga dapat mendorong kerja sama internasional, dengan
mendorong negara-negara untuk bebas bertukar barang dan warga negara.
Perjanjian antara mitra dagang juga dapat memperbaiki keunggulan pendidikan,
seperti mengirim insinyur untuk berlatih dengan orang-orang di bagian atas
bidang teknik dalam satu negara, atau mengirim ahli pertanian ke daerah pedesaan
untuk mengajar orang tentang teknik pertanian baru dan praktek keamanan
pangan (Sridianti, 2016). Selain itu, dengan adanya cabang-cabang perusahaan
asing, maka akan ada pula pengiriman pemimpin dari negara asing, yang disebut
sebagai expatriate leader, yaitu seorang pemimpin dari organisasi atau perusahaan
yang mendapat tugas untuk memimpin salah satu cabang organisasi atau
perusahaan yang ada di negara tertentu di luar negara asal mereka.
Pada artikel berita Pekerja Asing untuk Pekerjaan Langka (2010), tidak hanya
karena adanya cabang perusahaan dan penanaman modal asing yang ada di
Indonesia, tetapi kebutuhan akan expatriate di Indonesia untuk pekerjaan tertentu
memang dibutuhkan. Direktur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Firdaus Badrun, mengatakan bahwa penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di


3

Indonesia hanya untuk pekerjaan yang memerlukan keterampilan dan keahlian
tinggi yang masih langka dan tidak bisa terpenuhi dengan pekerja lokal. Hal
tersebut

menunjukan

bahwa

dalam

beberapa

bidang

memang

sengaja


mempekerjakan expatriate untuk memenuhi kebutuhan perusahaan yang tidak
bisa menyerap tenaga kerja dari Indonesia sendiri.
Kesuksesan expatriate leader dalam menjalankan tugas salah satunya
dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi lintas budaya. Lenville (2012) menyatakan
bahwa adaptasi lintas budaya dianggap mewakili elemen penting dari kesuksesan
expatriate. Mereka akan meninggalkan negaranya dan mulai hidup serta bekerja
di negara dengan budaya dan orang-orang baru. Pada situasi tersebut sangat rawan
terjadi culture shock, yaitu ketika individu tidak mengenal kebiasaan sosial dari
kultur baru atau jika dia mengenalnya maka dia tidak dapat atau tidak mampu
menampilkan perilaku yang sesuai aturan itu (Furnham & Bochner, 1970; dalam
Dayakisni & Yuniardi, 2008).
Kegagalan expatriate leader dalam menjalankan tugas akan berdampak pada
perusahaan dan individu (Lenville, 2012). Perusahaan akan mengalami kerugian
secara finansial, yaitu biaya kompensasi, pelatihan, relokasi dan lain sebagainya.
Sedangkan bagi individu yang mengalami kegagalan akan mengakibatkan
hilangnya kepercayaan diri, harga diri dan kurangnya penghargaan serta reputasi
di mata rekan-rekan kerjanya (Mendenhall & Oddou, 1986; dalam Lenville,
2012).
Sebanyak 20%-50% expatriate tidak mampu menyelesaikan tugas di
negara tujuan, sehingga para expatriate ini harus kembali ke negara asal dalam


4

waktu satu tahun pertama masa kerja mereka (Black & Gregersen, 1998; dalam
Evans, 2012). Linville (2012) menjelaskan bahwa kebanyakan dari expatriate
leader yang disebar ke berbagai belahan dunia oleh Amerika Serikat banyak yang
menemui kegagalan yang disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam
beradaptasi dengan lingkungan dan budaya lokal tempat mereka ditugaskan.
Lebih buruk lagi, setelah melakukan investasi dengan mengirimkan expatriate
mereka, beberapa perusahaan kehilangan mereka untuk pesaing yang lebih tahu
bagaimana memanfaatkan keterampilan mereka (Hechanova, dkk., 2003 dalam
Linville, 2012).
Kemampuan adaptasi lintas budaya adalah proses yang kompleks dimana
individu mampu berfungsi secara efektif dalam budaya lain. Individu yang tidak
mampu beradaptasi dalam budaya asing akan berpengaruh terhadap keberadaan
individu tersebut (Haslberger, 2005). Adaptasi lintas budaya melibatkan
manajemen stres yang efektif, hal ini menandakan adanya korelasi dengan
kekuatan ego, dan bagaimana tetap berfungsi efektif di bawah tekanan (Meyers,
dkk., 2008). Sedangkan Gardner (1962; dalam Meyers, dkk., 2008) menyatakan
bahwa adaptasi budaya dikaitkan dengan kemampuan untuk menjadi "universal

komunikator”,

individu

dengan

keterampilan

ini

memiliki

kemampuan

berintegrasi secara psikologis. Selain itu, dijelaskan juga bahwa individu yang
mampu beradaptasi secara budaya sebagai pemilik "values all men".
Para ahli mengungkapkan beberapa prediktor spesifik yang menentukan
keberhasilan dalam hubungan antar budaya salah satunya adalah faktor
kepribadian (Dayakisni & Yuniardi, 2008). Pendekatan melalui pembedaan dua


5

bentuk adaptasi. Yang pertama, yaitu adaptasi psikologis yang menunjukan
kemampuan intrapsikis untuk menghadapi lingkungan baru yang dikehendaki.
Yang kedua, yaitu adaptasi sosiokultural yang menunjukan kemampuan untuk
melakukan negosiasi interaksi dengan anggota-anggota budaya tuan rumah yang
baru. Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh pusat kendali internal, beberapa
perubahan kehidupan, kontak dengan teman sebangsa yang lebih banyak untuk
mendapatkan dukungan sosial, dan kesulitan yang lebih rendah dalam mengelola
kontak sosial sehari-hari. Sedangkan adaptasi sosiokultural meningkat dengan
adanya tingkat perbedaan yang lebih rendah antar budaya tuan rumah dan
pendatang, interaksi yang lebih banyak dengan tuan rumah, ekstroversi, dan
tingkat gangguan mood yang lebih rendah.
Dayakisni & Yuniardi (2008) juga menjelaskan bahwa ekstroversi,
agreeableness, conscientiousness, stabilitas emosional, dan keterbukaan yang
lebih tinggi akan bersifat prediktif bagi penyesuaian antar budaya; meskipun
tingkat pengaruhnya relatif bervariasi terhadap konteks yang berbeda dalam
kontak lintas budaya. Variabel kepribadian berhubungan dengan faktor-faktor
sosial lain dalam memprediksi kesuksesan hubungan antar budaya, seperti tingkat
hubungan dengan tuan rumah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka kemampuan adaptasi lintas budaya
penting sekali dalam mendukung kesuksesan seorang expatriate leader dalam
menjalankan tugasnya. Kemampuan adaptasi lintas budaya ini salah satunya
dipengaruhi oleh kepribadian. Dengan demikian, penelitian ini ingin mengungkap

6

hubungan antara kepribadian dengan kemampuan adaptasi lintas budaya pada
expatriate leader.

1.2. Identifikasi Masalah
Perdagangan bebas memungkinkan adanya kerjasama internasional dengan
mendorong negara-negara untuk bebas bertukar barang, jasa dan warga negara.
Indonesia menandatangani perjanjian perdagangan bebas ASEAN yang disebut
sebagai MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Indonesia juga memberikan
kemudahan bagi perusahaan-perusahaan asing untuk berinventasi dan mendirikan
pabrik atau cabang perusahaannya di Indonesia. Dengan demikian perusahaan
asing tersebut mengirimkan pemimpin dari negaranya, yang disebut sebagai
expatriate leader, yaitu seorang pemimpin dari organisasi atau perusahaan yang
mendapat tugas untuk memimpin salah satu cabang organisasi atau perusahaan

yang ada di negara tertentu di luar negara asal mereka. Tidak hanya karena cabang
perusahaan atau penanaman modal asing di Indonesia, tetapi memang beberapa
pekerjaan yang membutuhkan keahlian expatriate, hal ini dikarenakan pekerjaan
tersebut masih tergolong langka atau membutuhkan keahlian yang belum dimiliki
oleh pekerja lokal.
Lenville (2012) menyatakan bahwa adaptasi lintas budaya dianggap mewakili
elemen penting dari kesuksesan expatriate. Kemampuan adaptasi lintas budaya
adalah proses yang kompleks dimana individu mampu berfungsi secara efektif
dalam budaya lain. Individu yang tidak mampu beradaptasi dalam budaya asing
akan berpengaruh terhadap keberadaan individu tersebut (Haslberger, 2005).

7

Kegagalan expatriate leader dalam menjalankan tugas akan berdampak pada
perusahaan dan individu (Lenville, 2012). Perusahaan akan mengalami kerugian
secara finansial, yaitu biaya kompensasi, pelatihan, relokasi dan lain sebagainya.
Sedangkan bagi individu yang mengalami kegagalan akan mengakibatkan
hilangnya kepercayaan diri, harga diri dan kurangnya penghargaan serta reputasi
di mata rekan-rekan kerjanya (Mendenhall & Oddou, 1986; dalam Lenville,
2012). Para ahli mengungkapkan beberapa prediktor spesifik yang menentukan

keberhasilan dalam hubungan antar budaya salah satunya adalah faktor
kepribadian (Dayakisni & Yuniardi, 2008).

1.3. Batasan Masalah
Pembatasan masalah ini bertujuan agar penelitian dapat fokus dan tidak
melebar atau menyimpang dari permasalahan yang ditetapkan dalam penelitian
ini. Dalam penelitan ini dirumuskan pembatasan masalah sebagai berikut:
1.3.1. Kepribadian
Kepribadian adalah karakteristik unik individu dalam
berperilaku, berpikir dan merasa

sepanjang waktu dan pada

berbagai situasi berbeda yang didasari oleh kecenderungan
dasar, yaitu trait-trait yang dimiliki individu. Diasumsikan
kepribadian dapat diukur melalui skala likert berdasarkan faktor
dan faset dari McCrae & Costa (dalam Cervone & Pervin, 2012).
Berikut ini penjabaran dari lima faktor dan masing-masing fasetnya:

8


a. Faktor Extroversion (Ekstraversi), terdiri dari faset: keterbukaan, tingkat
aktivitas, asertivitas, pencarian kesenangan, emosi positif, dan kehangatan.
b. Faktor agreeableness (Kesepakatan), terdiri dari faset: langsung pada
pokok permasalahan, kepercayaan, altruisme, kesederhanaan, kelembutan
dalam berpikir, dan kepatuhan.
c. Faktor conscientiousness (Kegigihan), terdiri dari faset: disiplin diri,
kepatuhan terhadap tugas, kompeten, teratur, pemikir, dan pencari
kesuksesan.
d. Faktor Neuroticism terdiri dari faset: kecemasan, kesadaran diri, depresi,
kerentanan, impulsive, dan mudah marah.
e. Faktor openness (Keterbukaan) atau intellect, terdiri dari faset: fantasi,
etestika, perasaan, ide-ide, perbuatan-perbuatan, dan nilai-nilai.
1.3.2. Adaptasi Lintas Budaya
Adaptasi lintas budaya didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dan bernegosiasi terhadap budaya asing sehingga tetap dapat
merespon secara efektif ketika berinteraksi dengan orang asing dan terhadap
intensitas pengalaman emosional. Diasumsikan kemampuan adaptasi budaya
dapat diukur menggunakan Cross-Cultural Adaptability Inventory (CCAI) yang
dirancang oleh Meyers & Kelley (1992 dalam Montagliani, 1996). CCAI terdiri
dari empat dimensi, yaitu: Emotional Resilience;
Perceptual Acuity; Personal Autonomy.

Flexibility/Openness;

9

1.3.3. Expatriate Leader
Expatriate adalah seseorang yang tinggal sementara maupun menetap di luar
negara di mana dia dilahirkan dan dibesarkan, atau dengan kata lain, orang yang
berkewarganegaraan asing yang tinggal di suatu negara, biasanya oleh karena
suatu tugas negara atau profesional. Sedangkan Expatriate Leader adalah seorang
pemimpin dari organisasi atau perusahaan yang mendapat tugas untuk memimpin
salah satu cabang organisasi atau perusahaan yang ada di negara tertentu di luar
negara asal mereka.

1.4. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah ada hubungan
antara kepribadian dengan kemampuan adaptasi lintas budaya pada expatriate
leader?

1.5. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepribadian
dengan kemampuan adaptasi lintas budaya pada expatriate leader.

1.6. Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan yang berharga untuk
memperkaya khasanah ilmu psikologi, khususnya Psikologi Industri dan
Organisasi pada bidang perilaku organisasi dan kepemimpinan lintas budaya.

10

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang diperlukan
bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengembangkan studi yang lebih spesifik
dan komprehensif mengenai keterkaitan antara kepribadian dengan kemampuan
adaptasi lintas budaya pada expatriate leader.
1.6.2. Manfaat Praktis
a. Bagi Expatriate Leader. Penelitian ini dapat memberikan gambaran
kepribadian dan kemampuan adaptasi lintas budaya para expatriate leader.
Informasi tersebut dapat menjadi acuan dalam memilih solusi yang sesuai
dengan kepribadian dan kemampuan adaptasi yang dimiliki.
b. Bagi HRD perusahaan multinasional. Penelitian ini dapat memberikan
masukan

untuk

para

HRD

perusahaan

multinasional

dalam

mempertimbangkan memilih tenaga expatriate leader yang akan
bergabung pada perusahaan tersebut, berdasarkan profil kepribadian dan
kemampuan adaptasi lintas budaya.