1.5 Metode Penelitian - Analisis Kesan Terjemahan AL-QUR’AN Ke Dalam Bahasa Indonesia Mushaf Syaamil AL-QUR’AN Pada Surah Ali Imran
3. Diketahui alasan ketidakkonsistenan penterjemahan satu kata yang sama yaitu adanya konteks situasi pada kata yang diterjemahkan.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan membaca buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah terjemahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah yang dilakukan dengan cara menjelaskan dan menggambarkan tentang hal-hal yang teliti.Adapun tahap-tahap yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendata kata-kata lazim terpilih dalam surah Ali ‘Imran.
2. Mencari makna kata-kata lazim terpilih.
3. Klasifikasi data 4.
Menentukan data kata-kata lazim yang layak di kaji.
5. Kata-kata lazim terpilih seperti dalam 1.3 yaitu:
- Mendatakata-kata lazim terpilih yang mana-mana saja pada terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia Mushaf Syaamil Al-Qur’an surah Ali ‘Imran.
- Mendata kesan-kesan pada terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa
Indonesia Mushaf Syaamil Al-Qur’an pada kata-kata Lazim Terpilih dalam Surah Ali ‘Imran 6. Dan menyusunnya dalam bentuk laporan karya ilmiah (Skripsi).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Terdahulu
Penelitian dan tulisan tentang terjemahan sudah banyak dikaji dan diteliti oleh para peneliti, baik para mahasiswa ataupun dosen, terutama beberapa Mahasiswa dan Dosen Bahasa Arab Universitas Sumatera Utara (USU) antara lain : a.
Saiful Bahri Sidabalok (2010) dengan judul Analisis Teknik Penerjemahan
Surah Al Kahfi Sebagai Penjabaran Ekuiavalensi Pada Al-Qur’an
Terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia. Penelitian ini
membahas tentang pemakaian atau penerapan prosedur ekuivalensi dalam terjemahan surah Al Kahfi pada Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia, yang telah ditashih oleh dewan pentashih Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2005, serta membahas ketepatan makna dari hasil terjemahan tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa semua teknik dan pola penerjemahan yang ada pada Prosedur Ekuivalensi dipakai dalam penerjemahan surah Al KahfiAl-Qur’an terjemahan Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2005, kecuali satu pola, yakni pola Kt F=F1[Kt=F2(Kt +Kt)]. Secara keseluruhan, pemakaian teknik dan pola penerjemahan penjabaran Prosedur ekuivalensi dalam terjemahan surah Al Kahfi tersebut terdapat pada 215 tempat.
b.
Baihaqi Hasibuan (2010) dengan judul Analisis Prosedur Transfer Dalam
Terjemahan Surah Al Baqarah Pada Syamil Al-Qur’an. Penelitian ini
membahas tentang cara atau proses penerjemahan surah Al Baqarah pada Syamil Al-quran menurut prosedur transfer serta menilik seberapa konsistenkah prosedur transfer dalam penerjemahan surah Al Baqarah pada Syamil Al-Qur’an. Permasalahan yang diteliti adalah bagaimanakah prosedur transfer dalam penerjemahan surah Al Baqarah pada Syamil Al-Qur’an dan konsistensi prosedur transfer dalam penerjemahan surah Al Baqarah pada Syamil Al-Qur’an. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya terdapat 54 data yang berupa terjemahan menurut prosedur transfer yang terdiri dari kata, frase, dan juga kalimat. Dan adanya ketidak konsistenan prosedur transfer dalam penerjemahan surah Al Baqarah pada Syamil Al-Qur’an.
c.
M.Husnan Lubis (2004) dengan judul Pemilihan Kata Bahasa Indonesia
Yang Asalnya Bahasa Arab Dalam Tiga Teks Terjemahan Al-Qur’an Bahasa
Indonesia : Analisis Perbandingan Dan Strategi Penerjemahan. Tujuan
penelitian ini membandingkan tiga teks terjemahan Al-Qur’an secara umum. Adapun tiga teks terjemahan yang dimaksud : pertama, Mahmud Yunus.
Kedua, Departemen Agama RI. Ketiga, Hamka.
Sejauh yang diketahui penulis hingga saat ini, belum ada satu kajian yang ditulis oleh pihak manapun tentang analisis kesan terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia Mushaf Syaamil Al-Qur’an pada Surah Ali ‘Imran.
2.2 Kerangka Konsep
Menterjemahkan adalah pekerjaan yang melibatkan sekumpulan teori atau ilmu, tetapi kemampuan menterjemahkan dengan baik adalah seni. Menterjemahkan, dengan demikian adalah keterampilan yang melibatkan lebih banyak seni (bakat) daripada upaya dan teori. Oleh sebab itu, penterjemahan sangat bergantung pada rasa kebahasaan seseorang. Rasa bahasa ini berbeda pada satu individu dengan individu lainnya. Atau dengan kata lain, kepandaian menterjemahkan lebih merupakan suatu yang “diberikan” daripada yang “diperoleh”, (Mufid dan Kaseruan, 2007:5-6).
Namun demikian, kita tidak dibenarkan menafikan upaya, latihan, dan teori-teori tentang menerjemahkan. Sebab betapapun kuat dan baiknya bakat dan rasa bahasa seseorang, jika tidak dibareng dengan latihan, praktik yang terus- menerus dan berkelanjutan, dan teori (meski tanpa disadari), maka sulit kita bayangkan dia akan menjadi penerjemah yang baik. Jadi, keduanya yaitu bakat dan latihan yang baik adalah sama pentingnya, (Mufid dan Kaseruan, 2007:6).
Menurut kamus ﻡﻼﻋﻷﺍ ﻲﻓ ﺪﺠﻨﻤﻟﺍedisi 1986 dalam Mufid (2007 : 6) disebutkan bahwa:
,
ﻪﻨﻋ ﻢﺟﺮﺗ ,ﻰﻛﺮﺘﻟﺍ ﻥﺎﺴﻠﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﻪﻠﻘﻧ ْﻱﺃ ﺔﻴﻛﺮﺘﻟﺎﺑ ﻪﻤﺟﺮﺗ : َﺮﺧﺍ ﻥﺎﺴﻠﺑ ُﻩﺮﺴﻓ : ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻢﺟﺮﺗ
.
ﺮﻴﺴﻔﺘﻟﺍ : ِﻢﺣﺍﺮﺘﻟﺍ ﺝ ﺔﻤﺟﺮﺘﻟﺍ , ُﻩﺮﻣﺃ ﺢﺿﻭﺃ
/tarjamal kalama : fassarahu bilis
ảnin ảkhara : tarjamahu bitturkiyati ai naqalahu ilal lis ảni atturkiyyi, tarjama ‘anhu, auḍaḥa amrahu, attarjamatu jama’ attar ảjimu : attafsỉru’ / Menerjemahkan kalimat : menafsirkannya dengan bahasa
lain : terjemah bahasa Turki berarti memindahkannya kepada lisan orang Turki, menerjemahkannya, menjelaskan perkaranya, ‘at-tarjamatu’ bentuk jamaknya’at-
tarājimu’ ; ‘at-tafsiru’ (menafsirkan), (Mufid dan Kaseruan, 2007:6).
Adapun secara terminologis, menerjemah didefinisikan sebagai berikut :
ﻪﻴﻧﺎﻌﻣ ﻊﻴﻤﺠﺑ ءﺎﻓﻮﻟﺍ ﻊﻣ ﻯﺮﺧﺃ ﺔﻐﻟ ﻦﻣ ﺮﺧﺁ ﻡﻼﻜﺑ ﺔﻐﻟ ﻰﻓ ﻡﻼﻛ ﻰﻨﻌﻣ ﻦﻋ ﺮﻴﺒﻌﺘﻟﺍ
/Atta’biru ‘an ma’na kalami fi lughati bikalami akhiri min lughati ukhra ma’al
wafāi bijami’i ma’ānīhi / menerjemah berarti mengungkapkan makna tuturan
suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi seluruh makna dan maksud
tuturan itu, (Syihabuddin, 2002 : 7).Secara etimologis kata terjemah digunakan untuk mengacu pada empat makna. Pertama, berarti menyampaikan pembicaraan kepada orang lain yang pembicaraan tersebut tidak sampai kepadanya. Kedua, berarti menafsirkan pembicaraan dengan bahasa yang sama dengan bahasa pembicaraan itu. Ketiga, berarti menafsirkan pembicaraan dengan bahasa bukan bahasa pembicaraan, dan yang Keempat, berarti proses pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Perlu dibedakan pula antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan, (Syihabuddin, 2002 :6-7).
Penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Meskipun sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini, disini akan disoroti dua definisi saja sebagai pijakan memasuki pembahasan, (Rochayah, 2009:25)
Menurut Newmark, (1981) dalam Husnan, (2010 : 3) , memberikan definisi penterjemahan adalah proses penggantian pesan atau pernyataan secara tertulis dalam satu bahasa. Pesan dalam bahasa sumber itu harus sama dengan pesan yang sudah dipindahkan ke dalam bahasa sasaran untuk menggantikan pasan atau pernyataan yang telah ada.
Berdasarkan definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa penerjemahan adalah usaha memindahkan pesan atau amanat dari teks bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan padanan yang paling dekat dan wajar.
Proses terjemahan dilakukan dengan tiga tahap utama yaitu memahami makna nash sumber, mengungkapkan pemahaman tersebut di dalam nash penerima, dan menyusun kembali hasil pengungkapan tersebut agar sesuai dengan karateristik nash penerima. Pada tahap pengungkapan ini penerjemah menggunakan metode, prosedur, dan teknik penerjemahan. Ketiga cara tersebut berinteraksi secara intensif dalam mengungkapkan dan mereproduksi amanat nash sumber, sehingga diperolehlah padanan yang wajar di dalam nash penerima, (Syihabuddin, 2002: 77).
Menurut E.Sadtono, (1985) menyatakan bahwa setiap proses penerjemahan memiliki tujuan. Adapun tujuan-tujuan penerjemahan antara lain :
1. Untuk menyampaikan berita, informasi dan pesan dari bahasa sumber dalam bentuk bahasa penerima. Akan tetapi, dalam menyampaikan berita melalui bahasa penerima, diperlukan tata bahasa dan pebendaharaan kata.
2. Untuk menghasilkan suatu karya terjemahan dari bahasa sumber dengan membawa makna yang sepadan pada bahasa penerima.
3. Untuk menyebarkan ilmu pengetahuan.
Terjemahan adalah merupakan produk yang didapati darimenterjemahkan fakta yang tersimpan dalam suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran. Oleh karena itu, beberapa masalah pasti akan timbul sebagai akibat dari kegiatan penerjemahan tersebut. Setiap usaha penerjemahan mengakibatkan sedikit banyaknya terjadi penghilangan makna, penggantian makna, penambahan makna atau penafsiran makna. Perkara-perkara seperti itu muncul disebabkan oleh beberapa faktor tertentu, (Husnan, 2008:4).
Penterjemahan merupakan proses atau rangkuman kegiatan pemindahan sesuatu ide atau proses memahami pesan makna, maksud atau fikiran yang terkandung dalam bahasa sumber ke bahasa sasaran harus mengikuti kaedah bahasa sasaran. Penerjemahan tersebut bertujuan untuk menghasilkan kesan yang sama atau hampir sama kepada pembacanya dengan kesan yang didapat oleh pembaca bahasa teks aslinya, (Husnan, 2008:7).
Kegiatan penerjemahan, tidak dapat terlepas dari apa yang dinamakan dengan teori. Adapun kerangka teori tentang kesan terjemahan yang digunakan antara lain: 1.
Newmark, (1992) dalam Husnan (2008:10 )yaitu :
- Kaedah terjemahan yang sesuai dengan teks yaitu terjemahan komunikatif dan terjemahan semantik.
- Terjemahan perlu menghasilkan kesan yang sama kepada pembaca seperti kesan penulis bahasa sumber.
- Terjemahan perlu menghasilkan setepat mungkin rangkuman makna penulis bahasa sumber.
- Terjemahan yang bersifat informatif bukan ekspresif, pembaca harus diberi penjelasan tambahan untuk memahaminya dan juga terjemahan itu harus menggunakan kata yang ada.
2. Nida, (1964) dalam Husnan (2008:10), yaitu :
- Penerjemahan harus menyesuaikan budaya teks sumber dengan budaya bahasa sasaran. Terjemahan yang berupa Dinamik ialah terjemahan yang memberikan penyesuaian antara bahasa, kebudayaan, konteks isi kandungan teks asli dengan teks bahasa sasaran.
- Terjemahan perlu memperhatikan dua jenis kepadanan kata, yaitu kepadanan Formal dan kepadanan Dinamik.
Pendapat Newmark dan Nida tersebut mengasaskan pada teori analisis komponen makna untuk digunakan menganalisis kata. Maka, kesan terjemahan dapat kita lihat melalui analisis Komponen Makna. Tentang perubahan-perubahan makna dapat dilihat dari sifat perubahan makna-makna dalam terjemahan kata bahasa sumber ke dalam bahasa Indonesia mengalami terjemahan makna berlebihan/meluas, terjemahan makna menyempit/kurang, terjemahan makna kata salah atau terjemahan taksa/ambigu ?. Untuk memastikan semua itu, dengan menggunakan kaedah atau teori analisis komponen makna, (dalam kutipan Husnan, 2008:26).
Komponen Makna atau Komponen Semantik (semantic feature, semantic
property , atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur
leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain. Pengertian komponen ialah keseluruhan makna dari suatu kata, terdiri atas sejumlah elemen, yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang berbeda- beda, (http//www.sciencehacker2991.wordpress.com/komponenmakna(semantikba -hasaIndonesia)/.
Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu- persatu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya. Umpama kata
ayah yang memikili komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /-
betina /, /+kawin/, dan /-melahirkan anak/; dan kata ibu memiliki komponen
makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/, /+betina/, /+kawin/, dan /+melahirkan anak/. Kalau dibandingkan komponen kata ayah dan ibu adalah kelihatan sebagai bagan berikut:
Komponen makna Ayah Ibu
1.
- Manusia
- 3.
- Jantan 4.
- betina 5.
- 2.
Dewasa
Kawin
- 6.
- Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan bentuk-bentuk yang bersinonim. Umpamanya, kata ayah dan bapak adalah dua kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia. Tetapi, maknanya tidak persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dan bapak pun, meskipun bersinonim tentu ada perbedaan maknanya. Dimanakah letak bedanya itu ? kalau kita analisis komponen makna yang dimiliki kata ayah dan bapak akan terlihat sebagai berikut: Komponen makna Ayah Bapak 1.
Melahirkan anak
Manusia
- 3.
- Sapaan kepada orang tua laki-laki 4.
- 2.
Dewasa
Sapaan kepada orang yang dihormati
- Dari bagan itu kelihatan bahwa kata ayah dan bapak sama-sama memiliki komponen makna 1 sampai 3 ; bedanya, kata ayah tidak memiliki komponen 4, sedangkan kata bapak memiliki komponen makna itu. Dengan demikian, kita bisa melihat beda makna kata ayah dan bapak yang hakiki, yang menyebabkan kata
bapak dalam ujaran tersebut, tidak dapat ditukar dengan kata ayah,,
(Chaer,2003:318-321) Dalam kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan. Menurut
Wikipedia, penerjemahan diartikan suatu aktivitas yang terdiri dari menafsirkan makna teks dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dan membuat teks yang baru yang sepadan dalam bahasa lain (bahasa sasaran),
erjemahan/)
Problematika kesulitan dalam penerjemahan adalah pada pencarian padanan atau ekuivalensi yang sesuai antara bahasa sumber dan bahasa penerima, sehingga dituntut kegiatan penerjemahan yang lebih memahami pada tataran tersebut, agar menghasilkan terjemahan yang tepat. Karena masalah padanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan. Dan praktek menerjemahkan sebagai realisasi dari proses penerjemahan selalu melibatkan pencarian padanan, (http://www.kom -pasiana.com/ padanandalam terjemahan/)
Pemilihan padanan bagi kata-kata yang sesuai dalam bahasa sasaran perlu meneliti fungsi semantik disekeliling kata-kata tersebut melalui konteks dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Pentingnya konteks dalam penggunaan suatu kata untuk mengenal pasti fungsi semantiknya dalam ayat dapat diperlihatkan, (Husnan, 2008:122)
Istilah konteks pertama kali diperkenalkan oleh Malinowski (1923: 307) dalam blog www.miftahnugroho.wordpress.comdengan sebutan konteks situasi. Ia merumuskan konteks situasi seperti di bawah ini “Exactly as in the reality of
spoken or written languages, a word without linguistic context is a mere figment
and stands for nothing by itself, so in the reality of spoken living tongue, the
utterance has no meaning except in the context situation (Persis seperti dalam
realitas bahasa lisan atau tertulis, kata tanpa konteks linguistik adalah isapan
jempol belaka dan berdiri untuk apa-apa dengan sendirinya, sehingga dalam
realitas yang diucapkan, ucapan tidak ada artinya kecuali dalam situasi
konteks )”, -atik/).Ketika pertama kali Malinowski mengembangkan pandangan- pandangannya ini, dia mempunyai pikiran bahwa kita membutuhkan konsep konteks situasi hanya jika kita sedang mempelajari suatu bahasa yang primitif, bahasa budaya yang tak tertulis, tetapi kita tidak akan membutuhkan konsep- konsep semacam itu untuk pemerian bahasa suatu peradaban yang sudah maju. Akan tetapi, setelah lebih kurang sepuluh tahun kemudian, dia keliru pada kesimpulan gagasan umum tentang konteks situasi untuk pemahaman bahasa Inggris atau bahasa besar lainnya sama perlunya sebagaimana untuk pemahaman bahasa kiriwinia. Masalahnya hanyalah bahwa konteks budayanya yang khas untuk setiap kelompok masyarakat di setiap tingkat perkembangan, (Ruqaiya, 1992:9-10)
Ada seorang ahli bahasa yang menjadi koleganya yaitu J.R Firth. Firth tertarik pada latar belakang budaya bahasa dan ia mengambil alih pemikiran Malinowski tentang konteks situasi dan memasukkannya ke dalam teori kebahasaannya sendiri, (Ruqaiya, 1992:10)
Meskipun demikian, dalam arti tertentu Firth menemukan bahwa pemikiran Malinowski tentang konteks situasi, tidak begitu lengkap untuk tujuan- tujuan kebahasaan, sebab pandangannya belum cukup umum. Malinowski berkepentingan dengan kajian teks-teks tertentu, dan karenanya pandangannya tentang konteks situasi dirancang untuk menjelaskan dan merinci makna contoh- contoh tertentu dalam pemakaian bahasa. Untuk itulah Firth membuat suatu kerangka untuk konteks situasi yang dapat digunakan untuk kajian teks sebagai bagian dari teori kebahasaan umum, (Ruqaiya, 1992:10-11)
Pokok-pokok pandangan Firth adalah sebagai berikut :
- Pelibat (participants) dalam situasi : yang dimaksud Firth ialah orang dan tokoh-tokoh, yang lebih kurang sepadan dengan yang disebut oleh para sosiolog sebagai kedudukan dan peran pelibat;
- Tindakan Pelibat : hal yang sedang mereka lakukan, meliputi baik tindakan tutur (verbal action) maupun tindakan yang bukan tutur (non verbal action);
- Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan : benda-benda dan kejadian- kejadiansekitar sepanjang hal itu mempunyai sangkut paut tertentu dengan hal yang sedang berlangsung;
- Dampak-dampak tindakan tutur: bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi, (Ruqaiya, 1992:11)
Dalam analisis teks, terdapat pedoman yang dapat kita manfaaatkan yaitu kerangka konseptual konteks situasi yang sederhana dengan tiga pokok bahasan antara lain:
1. Medan wacana menunjukan pada hal yang sedang terjadi, pada sifat
tindakan sosial yang sedang berlangsung
2. Pelibat wacana menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian, pada
sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis-jenis hubungan peran apa yang terdapat diantara para pelibat, termasuk hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalam percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan-hubungan yang secara kelompok mempunyai arti penting yang melibatkan mereka.
3. Sarana wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal
yang diharapkan oleh para pelibat diperankan bahasa dalam situasi itu: organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya, dan fungsinya dalam konteks, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan atau semacam gabungan keduanya) dan juga mode retoriknya, (Ruqaiya, 1992:16)
Dapat di ringkas bahwa kerangka teori Firth dan Malinowski dalam Husnan (2008:11) tentang keperihalan keadaan yang berikut akan digunakan, yaitu keperihalan keadaan melibatkan yang seperti berikut :
- Ciri-ciri relevan mengenai peserta, orang, kepribadiannya.
a.
Gerak ujaran si peserta.
b.
Gerak bukan ujaran si peserta.
- Objek-objek yang relevan.
- Kesan gerak ujaran tersebut.
Menurut Firth dan Malinowski untuk menginterpretasikan sesuatu maksud atau pesan, konteks keperihalan keadaan budaya dan aspek praktik kehidupan seharian perlu dilihat dan diperhatikan. Dengan demikian, makna suatu kata ucapan sangat erat kaitannya dengan suatu masalah yang dimaksudkan melalui ucapan tersebut. Dalam hal ini penerjemah harus menimbang kesan perkataan terhadap semua ayat dan seluruh teks untuk memastikan penyelewengan makna tidak terjadi, (Husnan, 2008:11).
Dari beberapa teori yang diterangkan di atas. Maka dalam kajian ini, teori
yang sesuai adalah teori Newmark dan Nida yang mengasaskan pada teori analisis komponen makna untuk digunakan menganalisis kata dan teori Firth dan Malinowski dapat digunakan untuk menganalisis keperihalan keadaan pada makna kata tersebut.