BAB II PENGATURAN MERGER PERSEROAN TERBATAS LINTAS NEGARA A. Merger Dalam UU Perseroan Terbatas di Indonesia - Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Suatu Perusahaan yang Melakukan Merger Lintas Negara

BAB II PENGATURAN MERGER PERSEROAN TERBATAS LINTAS NEGARA A. Merger Dalam UU Perseroan Terbatas di Indonesia Pengertian Penggabungan (merger) telah diatur secara normatif dalam

  beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

  Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa: “Pengabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.”

  Black’s Law Dictionary memberikan definisi mengenai merger: “Merger is combination of two or more corporations, where the dominant unit absorbs the passive unit, the former continuing operations, usually under the same name.”

  (Penggabungan (Merger) adalah suatu kombinasi dari 2 (dua) atau lebih perusahaan, di mana perusahaan yang dominan mengabsorpsi perusahaan yang pasif; perusahaan yang dominan melanjutkan kegiatan, pada umumnya dengan nama yang sama.)

  Sedangkan Encyclopedia of Banking and Finance memberikan pula

  

  definisi mengenai penggabungan (merger) :

  “Merger is the fusion or absorption of one into another.”

  (Penggabungan (merger) adalah fusi atau pengabsorpsian dari satu kepada yang lainnya.) Istilah merger ini dimaksudkan adalah sebagai suatu “fusi” atau

  “absorpsi” dari suatu benda atau hak pada benda atau hak lainnya. Undang- Undang Perseroan Terbatas menggunakan istilah “penggabungan” untuk pengertian merger ini.

  Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam hal ini, fusi atau absorpsi tersebut dilakukan oleh suatu subjek yang kurang penting dengan subjek lain yang lebih penting. Subjek yang kurang penting tersebut kemudian membubarkan

   diri.

  Perkembangan merger dalam sejarah mengalami pasang surut. Yang dapat ditarik dari sejarah tersebut adalah bahwa pasang surutnya merger mempunyai korelasi positif dengan pasang surutnya bisnis dinegara yang bersangkutan. Artinya, pada saat keadaan bisnis dan ekonomi suatu negara sedang berkembang, maka pada prinsipnya merger pun banyak dilakukan. Sebaliknya, pada saat ekonomi dalam keadaan resesi, maka kegiatan merger pun menurun. Hal ini wajar

68 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan-Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Cet.Pertama, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hlm. 77-78.

  69 karena merger dipandang sebagai salah satu cara memperluas usaha yang tentu memerlukan orang jika prospek bisnis di tempat tersebut tidak baik.

   1.

  Pertimbangan pasar Merger memiliki tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan sinergi perusahaan. Sinergi akibat merger ini disebabkan adanya beberapa keuntungan, yaitu

  Pertimbangan pasar dimaksudkan untuk memperluas pangsa pasar, menghasilkan mata rantai produksi yang lengkap dan untuk memperluas distribusi produk dalam satu area, atau memperluas area distribusi.

  2. Penghematan Distribusi Sistem distribusi termasuk sales, dealer, retail outlets dan transportation

  facilities , diharapkan dapat menangani dua produk yang mempunyai metode distribusi dan pasar yang serupa melalui efisiensi biaya.

  3. Diversifikasi Diversifikasi merupakan salah satu cara penganekaragaman jenis, untuk meminimalisasikan risiko terhadap pasar tertentu dan/ atau untuk dapat berpartisipasi pada bidang-bidang yang baru tumbuh.

  4. Keuntungan Manufaktur Alasan ini dapat mengefisiensikan kelemahan, kapasitas dan overhead, sehingga permasalahan-permasalahan temporer dapat segera diatasi.

  5. Riset dan Pengembangan

  Riset dan Pengembangan tentunya harus didukung dengan biaya yang cukup, namun dengan dilakukannya merger maka biaya untuk melakukan riset dan pengembangan dapat ditekan setinggi mungkin karena riset, dan pendidikan atau pelatihan dapat dilakukan dengan menggunakan laboratorium bersama.

  6. Pertimbangan Keuangan

   Pertimbangan keuangan diharapkan dapat berpengaruh kepada: a.

   Earning per share b. Corporate’s Image Improvement c. Security and Stability Financial 7.

  Optimalisasi Akses Kekayaan (Capital Access Optimalization).

  Optimalisasi Akses Kekayaan dapat lebih didayagunakan oleh perusahaan dominan dan target.

  8. Pertimbangan Sumber Daya Manusia Setiap perusahaan yang mengalami kekurangan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, maka dapat dilakukan knowledge atau experience transfer.

  9. Kecanggihan dan Otomatisasi Perkembangan bisnis menuju kepada penggunaan sarana yang semakin canggih dan otomatisasi. Sehingga diperlukan biaya tinggi dan kemampuan SDM yang tangguh. Perusahaan-perusahaan kecil akan sulit mengikuti perkembangan ini kecuali dengan membesarkan diri, antara lain dilakukan dengan merger.

   10.

  Penghematan Pajak.

   Untuk mengadakan suatu merger ada 2 (dua) macam metode, yaitu: 1.

  Fusi saham (aandolfusio) Pada fusi saham dapat terjadi karena adanya pengoperan saham.

  2. Fusi perusahaan (lodrijf fusio) Pada fusi perusahaan terjadi dengan penggabungan perusahaan dari Perseroan Terbatas – Perseroan Terbatas yang berfungsi.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) merupakan tonggak sejarah hukum tentang merger. Hal ini disebabkan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas tersebutlah yang memulai mengatur merger yang lumayan komprehensif di tingkat undang-undang. Sebelumnya terdapat pengaturan merger, yang bersifat sektoral dan pengaturannya masih pada tingkat di bawah undang-undang. Oleh karena itu, sejarah hukum tentang merger dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu Periode Pra-UUPT dan Periode Pasca-UUPT.

  1. Periode Sebelum Undang- Undang Perseroan Terbatas.

  Di Indonesia sejarah hukum tentang merger masih terbilang baru. Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang merger di Indonesia baru dimulai sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

  Praktik merger di Indonesia sudah mulai dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas pada dasarnya

  

  didasari pada dasar hukum sebagai berikut: 72 73 .Johannes Ibrahim, Op. Cit. , hlm. 82- 83.

  Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: Mandar Maju, a.

  Dasar hukum kontraktual Ada dua macam ketentuan dalam KUH Perdata, khususnya buku ke-III yang berlaku terhadap suatu merger, yaitu:

  1) Ketentuan tentang perikatan pada umumnya

  Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus mengenai perjanjian merger. Tidak ada satu Pasal pun yang berbicara tentang perjanjian merger. Akan tetapi, dalam KUH Perdata tersebut buku ke-III terdapat ketentuan umum tentang perikatan yang diberlakukan terhadap setiap jenis perjanjian, termasuk perjanjian merger. Ketentuan umum mengenai perikatan ini diatur mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456. 2)

  Ketentuan tentang perjanjian jual beli Dalam suatu deal merger antarperusahaan dalam teknik pelaksanaan diperlukan adanya jual beli saham. Itu sebabnya dalam Pasal 11 dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 222/KMK.017/1993 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, ditentukan bahwa salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam mengajukan permohonan untuk memperoleh izin merger (izin tetap) di samping akta perjanjian merger adalah akta jual beli saham.

  Untuk suatu perjanjian jual beli, termasuk untuk jual beli saham, di samping berlaku ketentuan umum tentang perikatan yang terdapat di bagian awal dari buku ke-II KUH Perdata sebagaimana telah disebutkan di atas, berlaku pula ketentuan khusus mengenai jual beli, yang terdapat mulai dari Pasal 1457 sampai dengan termasuk Pasal 1540 KUH Perdata. Teknis pelaksanaan merger antara dua perusahaan sering dipakai metode inbreng saham sebagai gantinya jual beli saham.

   b.

  Dasar hukum bidang usaha khusus Ada perseroan terbatas bidang tertentu yang mempunyai dasar hukum tersendiri sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang

  Perseroan Terbatas. Bidang yang diatur merger secara langsung oleh perundang-undangan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas adalah perseroan-perseroan terbatas bidang perbankan.

  Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, merger bank diatur dalam perundang-undangan. Untuk merger dibidang perbankan, memang telah ada beberapa perundang- undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu

  1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 614/ MK/ II/ 8/ 1971 tentang

  Pemberian Kelonggaran Perpajakan kepada Bank-Bank Swasta Nasional yang melakukan penggabungan (merger).

  2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 278/ KMK. 01/ 1989 Tanggal 25 Maret 1989 tentang Peleburan dan Penggabungan Usaha Bank.

  3) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/ 15/ BPPP Tanggal 25 Maret 1989 tentang Peleburan Usaha dan Penggabungan Usaha bagi Bank

  Umum Swasta Nasional, Bank Pembangunan, dan Bank Perkreditan Rakyat.

  4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 222/ KMK. 017/ 1993 Tanggal

  26 Februari 1993 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank. Keputusan Nomor 222 ini menggantikan Keputusan Nomor 278/ KMK. 01/ 1989 tersebut di atas dan akuisisi bank.

76 Praktik merger juga terjadi ketika pemerintah Republik Indonesia

  membongkar pasang perusahaan-perusahaan belanda yang dinasionalisasi pada dekade 1950- an. Ketika itu pula The Big Five perusahaan Belanda dibongkar pasang oleh pemerintah Republik Indonesia. The Big Five tersebut adalah:

  1) Borsumij;

  2) Jacoberg;

  3) Geo Wehry;

  4) Lindeteves;dan

  5) Internatio.

  2. Periode Pasca-UUPT Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas mengatur tentang merger dengan komprehensif. Dapat dikatakan era merger setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dicatat dalam sejarah hukum bisnis sebagai era kepastian hukum bagi tindakan merger. salah satu kelebihan dari Undang-Undang Perseroan Terbatas yang tidak dimiliki oleh pasal-pasal tentang Perseroan Terbatas dalam Kitab Undang-Undang

  Hukum Dagang adalah diaturnya mengenai merger, akuisisi, dan konsolidasi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tersebut mengatur tentang merger, akuisisi, dan konsolidasi mulai dari Pasal 102 sampai dengan Pasal 109 plus Pasal 76 mengenai kuorum dan voting dalam rapat umum pemegang saham untuk merger, akuisisi, dan konsolidasi.

  Pada tanggal 24 Februari 1998 telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 yang mengganti ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kemudian, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah memperbaiki dan mencatat Undang-Undang Perseroan Terbatas yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.

  Dalam bidang perbankan, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, telah dikeluarkan beberapa perundang- undangan yang berkenaan dengan merger, khususnya mengenai merger bank, yaitu a.

  Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 Tanggal 7 Mei 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank. b.

  Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 32/ 51/ KEP/ DIR Tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank Umum.

  c.

  Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/ 52/ KEP/ DIR Tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger,

   Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.

  Pengaturan Undang-Undang Perseroan Terbatas mengenai merger pada prinsipnya terfokus pada dua hal berikut: a.

  Masalah prosedural Apabila dilihat ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, terlihat bahwa sebagian besar pengaturan tentang merger adalah berkenaan dengan

   aspek prosedural tentang merger tersebut.

  Prosedur penggabungan berdasakan UUPT bersifat mengikat dan ketentuan ini tidak bisa tidak ditaati sebab penyimpangan terhadap peraturan ini berakibat batalnya penggabungan perseroan yang bersangkutan.

  1) Tahap I (rencana)

  Menurut Pasal 123 (1) UUPT, Direksi perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan menyusun

   rancangan penggabungan. 77 Rancangan ini sekurang-kurangnya harus memuat: 78 Ibid, hlm. 24.

  Ibid, hlm. 110- 111. a) Nama dan tempat kedudukan perseroan yang akan melakukan penggabungan; b)

  Alasan serta penjelasan Direksi yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan; c)

  Tata cara penilaian dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang menerima penggabungan;

  d) Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan apabila ada; e)

  Laporan keuangan;

  f) Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan melakukan penggabungan; g)

  Neraca performa perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; h)

  Cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota Direksi, dan Dewan Komisaris dan Karyawan perseroan; i)

  Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga; j)

  Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan perseroan; k)

  Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris perseroan yang menerima penggabungan; l) Perkiraan jangka waktu pelaksanaaan penggabungan; m)

  Laporan mengenai keadaan, perkembangan dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan; n)

  Kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; o)

  Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan, yang mempengaruhi kegiatan beserta yang akan melakukan

   penggabungan.

  2) Tahap II (pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS)

  Menurut Pasal 123 (3) UUPT, rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud, setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris dari setiap perseroan kemudian diajukan kepada RUPS masing- masing untuk mendapat persetujuan.

  3) Tahap III (pelaksanaan penggabungan)

  4) Tahap IV (permohonan izin penggabungan) Ditujukan kepada instansi terkait, khususnya perseroan yang bergerak di bidang tertentu.

  5) Tahap V (pengumuman pelaksanaan penggabungan)

  Menurut Pasal 133 (1), Direksi perseroan yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dalam satu surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari 80 terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan.

  6) Tahap VI (penyelenggaraan RUPS perseroan penerima penggabungan)

  7) Tahap VII (pengajuan permohonan kepada Menteri Hukum dan HAM, untuk pengesahan perubahan anggaran dasar).

  8) Tahap VIII (pengesahan perubahan anggaran dasar oleh Menteri

  Hukum dan HAM)

  

  9) Tahap IX (tindak lanjut pembubaran yang digabungkan) b.

  Masalah protektif Disamping hal-hal yang bersifat prosedural, Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur hal- hal yang bersifat protektif. Terdapat satu misi dari Undang-Undang Perseroan Terbatas dalam hal pengaturan tentang merger, yakni misi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak tertentu. Adapun yang merupakan pihak-pihak yang oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas dipandang perlu untuk diberikan perlindungan khusus adalah sebagai berikut: 1) Perlindungan kepentingan perseroan. 2) Perlindungan kepentingan pemegang saham minoritas. 3) Perlindungan kepentingan karyawan perusahaan. 4) Perlindungan kepentingan masyarakat. 5) Perlindungan kepentingan persaingan sehat. 6) Perlindungan kepentingan kreditor. 7) Perlindungan kepentingan mitra usaha.

  Salah satu metode terhadap perlindungan para pihak, terutama kepentingan masyarakat adalah dengan diwajibkan melakukan pengumuman- pengumuman (di surat kabar dan berita negara) terhadap tindakan atau tahap-tahap tertentu dalam proses pelaksanaan merger tersebut. Ini penting agar pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengetahuinya dan dapat mengambil langkah-langkah tertentu untuk melindungi dirinya dari perbuatan merger yang mungkin merugikan kepentingannya.

   Pelaksanaan merger dapat terjadi dengan 2 (dua) cara yaitu merger yang

  dilakukan secara sukarela/ ramah (friendly merger) dan merger yang dilakukan dengan paksaan (unfriendly/ hostile merger)

   1.

   Friendly Merger

Friendly merger merupakan merger yang dilakukan melalui Direksi masing-

  masing perseroan yang akan melakukan merger di mana perseroan yang akan mengakuisisi (acquiring company) perseroan sasaran (target company) terlebih dahulu menghubungi Direksi perseroan sasaran sebelum suatu

  merger plan disampaikan perseroan yang mengakuisisi kepada pemegang saham perseroan sasaran (target company).

   2.

   Unfriendly/Hostile Merger

  Kebalikan dari friendly merger, suatu unfriendly merger (atau biasa disebut

  hostile merger ) merupakan merger yang dilakukan oleh perseroan yang akan

  mengakuisisi (acquiring company) dengan membeli saham perseroan sasaran 82 Ibid, hlm 111 83 Cornelius Simanjuntak, Hukum Merger Perseroan Terbatas Teori dan Praktek,

  (target company) secara langsung kepada pemegang saham perseroan sasaran (target company) tanpa terlebih dahulu menghubungi Direksi perseroan

   sasaran.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas memperkenalkan merger dengan atau tanpa likuidasi. Artinya bahwa para pihak

  

  dapat memilih apakah perusahaan yang bubar karena merger tersebut: 1.

  Dilikuidasi atau 2. Tidak dilikuidasi.

  Untuk lebih jelasnya, kedua hal tersebut dapat diterangkan satu per satu berikut ini.

1. Merger dengan likuidasi

  Seperti telah disebutkan bahwa dalam suatu merger, salah satu perusahaan tetap hidup dan menjalankan bisnisnya sementara perusahaan-perusahaan lain yang menggabungkan diri dibubarkan. Pembubaran perusahaan tersebut dapat dilakukan dengan likuidasi atau tanpa likuidasi.

  Jika yang dipilih adalah merger dengan pembubaran perusahaan disertai likuidasi, berlaku hukum tentang likuidasi biasa secara mutatis mutandis.

  Jadi, terhadap perusahaan yang bubar dan yang dilikuidasi karena merger tersebut berlaku hal-hal sebagai berikut: a.

  Pendaftaran likuidasi dalam daftar perusahaan.

  b.

  Diumumkan likuidasi dalam berita negara.

  c.

  Likuidasi diumumkan dalam dua surat kabar harian. 85 d.

  Likuidasi diberitahukan kepada Menteri Kehakiman.

  e.

  Pendaftaran, pengumuman, dan pemberitahuan tersebut dilakukan oleh pihak likuidator.

  f.

  Dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham untuk likuidasi yang dapat dilakukan sekaligus dengan Rapat Umum Pemegang Saham untuk merger.

  g.

  Perusahaan yang dilikuidasi dibereskan boedelnya oleh likuidator. Jadi, aktiva, pasiva, dan karyawan dari perusahaan yang di likuidasi tidak

   otomatis beralih kepada perusahaan hasil merger.

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak lagi mengenal merger dengan likuidasi, tetapi yang diakui hanyalah merger tanpa likuidasi.

2. Merger tanpa likuidasi

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya mengenal suatu merger tanpa dilakukan likuidasi terhadap perusahaan yang bubar. Jadi, perusahaan yang bubar karena merger, bubar tanpa dilikuidasi. Terhadap merger dengan pembubaran perusahaan tanpa likuidasi ini, berlaku ketentuan sebagai berikut: a.

  Seluruh aktiva perusahaan yang dibubarkan beralih secara hukum kepada perusahaan yang eksis.

  b.

  Seluruh kewajiban perusahaan yang dibubarkan beralih secara hukum kepada perusahaan yang eksis. c.

  Pemegang saham dari perusahaan yang dibubarkan beralih secara hukum menjadi pemegang saham perusahaan yang eksis, kecuali pemegang saham minoritas yang tidak setuju dengan merger, dalam hal ini dia dapat menjual sahamnya dengan harga yang wajar.

  d.

  Sungguhpun dalam setiap merger harus memerhatikan kepentingan karyawan, perusahaan yang bubar karena merger (tanpa likuidasi) tidak mesti mengalihkan semua karyawan kepada perusahaan yang eksis. Pasal 122 ayat (3) juncto Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas.

  e.

  Perusahaan yang bubar tidak perlu dibereskan secara hukum sebab tidak ada dokumen yang perlu dibereskan, tetapi perlu dilakukan penyelesaian administrasi terhadap perusahaan yang bubar tersebut dengan cara dan kegiatan yang sama dengan pembubaran dengan likuidasi, yaitu berupa: 1) Pendaftaran pembubaran perusahaan dalam daftar perusahaan. 2) Diumumkan pembubaran perusahaan dalam berita negara. 3) Pembubaran perusahaan diumumkan dalam dua surat kabar harian. 4) Pembubaran perusahaan diberitahukan kepada Menteri Kehakiman. 5)

  Pendaftaran, pengumuman, dan pemberitahuan tersebut dilakukan oleh pihak yang ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham untuk pembubaran perusahaan yang bersangkutan.

  

  6) Dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham.

B. Merger Lintas Negara

  Merger lintas negara (cross boarder merger) merupakan merger yang cukup banyak dilakukan. Dalam hal ini yang bergabung adalah perusahaan dari dua negara yang berbeda. Terdapat perselisihan antara hukum di kedua negara tersebut, tetapi untuk merger lintas negara, dalam banyak hal, yang berlaku adalah hukum di mana perusahaan itu berkedudukan. Tidak berarti hukum di negara asal perusahaan tersebut tidak diperhatikan. Disebabkan pada prinsipnya para pihak sampai batas tertentu dapat memperjanjikan hal yang dikehendaki dalam kontrak merger. Karena itu, jika terdapat kaidah hukum yang ingin diberlakukan, sebaiknya dan biasanya diatur dalam kontrak merger tersebut.

  Sebenarnya latar belakang dan tujuan dilakukannya merger lintas negara sama saja dengan latar belakang dan tujuan merger secara umum, seperti untuk menambah sinergi, memperluas pasar, dan lain-lain.

  Akan tetapi, ada juga motif untuk melakukan merger lintas negara, yaitu untuk meningkatkan nama baik dari perusahaan tersebut. Motif seperti ini berbahaya bagi perusahaan yang bersangkutan. Sebab ini menandakan sebenarnya merger lintas negara tersebut tidak dilandasi oleh kebutuhan ekonomis dari perusahaan tersebut sehingga sebenarnya, bagi perusahaan yang bersangkutan, merger tersebut tidak membawa manfaat apa-apa, bahkan mungkin dapat merugikan. Belum lagi kemungkinan adanya masalah-masalah teknis dan operasional yang akan dihadapi, misalnya, pihak manajemen yang tidak terintegrasi, budaya perusahaan yang tidak menyatu, dan lain-lain. Jadi, merger

   lintas negara dengan motif seperti ini haruslah dihindari.

  Adapun yang merupakan motivasi dilakukannya merger lintas negara adalah sebagai berikut

1. Peningkatan kwalitas perusahaan.

  2. Pengembangan sayap secara internasional.

  4. Mengeksploitasi sinergi internasional.

  

Hal ini dimotivasi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1.

  9. Pengembangan dan perluasan pasar.

  8. Mencapai skala ekonomis.

  7. Memperkecil biaya produksi.

  6. Memperkuat bisnis utama.

  5. Mencapai ukuran kompetitif.

  3. Mendapatkan produk pendukung.

  3. Memperkuat kompetisi pasar.

  2. Menyebar risiko (produk dan keuangan) secara geografis.

  Mengintensifkan hubungan dengan blok perdagangan yang lebih luas.

  merger lintas negara adalah sebagai berikut: 1.

   Dapat disebutkan bahwa di antara motif-motif terpenting untuk melakukan

  5. Untuk mendapatkan biaya (termasuk) buruh yang relatif murah.

  4. Sebagai jalan keluar manakala pertumbuhan perusahaan secara domestik terbatas.

  Lingkup domestik yang terbatas; 2. Kebutuhan untuk melindungi posisi dan persaingan; 3. Mempertahankan pasar yang ada; 4. Mendapatkan akses ke produk baru; 5. Memperkuat komitmen internasional. 90

  Banyak aspek yuridis yang perlu diperhitungkan dalam rangka melakukan merger lintas negara. Jika aspek-aspek ini diabaikan, merger yang bersangkutan terancam gagal.

  Banyak juga aspek yuridis yang mesti diperhitungkan yang sebenarnya berlaku bukan hanya untuk merger secara lintas negara, melainkan aspek yuridis tersebut berlaku juga bagi suatu merger pada umumnya.

  Karena itu, di samping aspek yuridis yang umum yang mesti diperhitungkan tersebut, seperti yang telah dijelaskan dalam bagian-bagian yang lain, terhadap suatu merger lintas negara, perlu perhatian serius terhadap aspek- aspek yuridis berikut ini:

  1. Kontrak, komitmen, dan provitabilitas.

  2. Asuransi.

  3. Masalah Pensiun.

  4. Kewajiban terhadap pihak ketiga.

  5. Kemungkinan digugat.

  6. Masalah pengaturan dan pembayaran pajak 7.

  Masalah pendanaan.

  8. Arus dividen.

  9. Realisasi kekayaan.

  10. Pertukaran mata uang.

  11. Kewajiban keuangan selain pajak.

  12. Keterbukaan terhadap publik.

  13. Peraturan antitrust.

14. Persyaratan bursa saham (jika terlibat perusahaan terbuka).

  

15.

  Pengaturan tentang perusahaan asing.

  Selanjutnya untuk suatu merger yang bersifat lintas negara (cross boarder) selain harus diperhatikan faktor untuk merger biasa seperti disebutkan di atas, maka harus pula diperhatiakn beberapa faktor tambahan sebagai berikut: 1.

  Bagaimana potensi, perkembangan, dan segmen pasar.

  2. Bagaimanakah bisnis inti dan produk.

  3. Bagaimanakah biaya produksi dan ekonomis.

  4. Bagaimanakah sinergi internasionalnya.

  5. Bagaimanakah penerimaan kulturalnya.

  6. Bagaimanakah gaya manajemennya 7.

  Bagaimanakah lingkungan bisnisnya.

  8. Bagaimanakah kualitas, ketersediaan, dan hubungan perburuhan.

  9. Bagaimanakah keinginan untuk memikul risiko.

  10. Kisah kesuksesan dan kegagalan perusahan di luar negeri pada masa lalu.

  11. Bagaimanakah alternatif bentuk pertumbuhan dan kerja sama.

  12. Bagaimanakah pengalaman orang lain di daerah target yang potensial.

  13. Bagaimanakah keuntungan dan risiko yang khas dari negara target.

  14. Apakah sudah dilakukan pemeriksaaan yang rutin terhadap kinerja dan profitabilitas.

  15. Apakah manajemennya ahli dan konsisten.

  16. Kewaspadaan yang terus menerus dan keterlibatan kantor pusat.

  17. Status perusahaan target (asing) yang sama dengan rekan domestiknya.

  18. Memikul tanggung jawab penuh pada investasi.

  19. Memberikan penghargaan terhadap negara setempat serta kulturnya.

  20. Memberikan pengalaman serta peranan para ahli dari kantor pusat.

  21. Bagaimanakah tingkat keuntungan yang telah diramalkan.

  22. Bagaimanakah integrasi produk.

  23. Bagaimanakah eksploitasi sinerginya.

  24. Bagaimanakah jaringan kerja kelompoknya.

   Banyak hambatan yang akan ditemukan apabila dilakukan merger lintas

  negara. Karena itu, perlu terlebih dahulu dipertanyakan apakah memang perusahaan tersebut perlu melakukan apa yang disebut dengan merger lintas negara tersebut.

  Setidaknya ada tiga hambatan yang selalu menghambat pelaksanaan merger lintas negara, yaitu:

1. Hambatan Yuridis

  Banyak hambatan yuridis akan dialami jika dilakukan merger lintas negara. Hal ini berkenaan dengan fakta bahwa adanya perbedaan perlakuan hukum antara perusahaan asing dan perusahaan domestik. Dengan demikian, dapat saja terjadi bahwa merger lintas negara tidak menarik, bahkan dalam bidang-bidang tertentu tidak mungkin sama sekali.

  Sungguhpun begitu, sedikit demi sedikit perbedaan perlakuan antara perusahaan asing dan perusahaan domestik ini semakin mengecil. Hal ini

  

  disebabkan oleh dua faktor yaitu: a.

  Sejalan dengan prinsip di kebanyakan negara yang mengundang modal asing sebanyaknya masuk ke negaranya sehingga hambatan atau perbedaan perlakuan antara perusahaan domestik dan perusahaan asing akan menjadi disintensif.

  b.

  Sejalan dengan arus globalisasi dalam era perdagangan bebas bersamaan dengan adanya AFTA, APEC, dan GATT, yang mengarahkan perlakuan yang sama atas bisnis dan perdagangan antara negara satu dengan negara yang lain, antara lain, dengan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan.

  2. Hambatan Politis Hambatan lain terhadap merger lintas negara ini adalah yang berkenaan dengan hambatan politis.

  Hambatan politis, antara lain, yang berhubungan dengan adanya perlakuan khusus, resmi, atau tidak resmi, terhadap perusahaan-perusahaan domestik, terutama terhadap perusahaan-perusahaan besar, perlakuan khusus itu belum tentu didapatkan dengan merger dengan perusahaan dinegara lain.

  3. Hambatan Fiskal Masalah perlakuan fiskal yang berbeda juga dapat mengganjal pelaksanaan merger lintas negara. Bisa jadi perlakuan khusus perpajakan yang telah didapatkan akan hilang dengan adanya merger dengan perusahaan dari negara lain tersebut. Kemudahan pajak atas capital gain bisa jadi hilang. kerugian di suatu negara belum tentu dapat di kompensasi dengan keuntungan di negara lain. Dan adanya double taxation treaties juga tidak sepenuhnya dapat membantu menyelesaikan masalah perpajakan antara negara ini.

  Tidak jarang terjadi kejutan terhadap pihak yang menggabungkan diri dalam merger lintas negara, yakni kejutan yang datang dari masalah yang tidak pernah teridentifikasi sebelumnya. Karena itu, berikut ini disebutkan beberapa sumber masalah tidak terduga dalam merger lintas negara, yaitu:

  1. Kontrol dari pemegang saham.

  2. Sikap dan gaya manajemen.

  3. Partisipasi persekutuan dagang.

  4. Hukum perburuhan.

  5. Hukum pajak.

  6. Metode akuntansi.

  7. Kalkulasi keuntungan.

  8. Birokrasi setempat.

  9. Peraturan perdagangan.

  10. Pengaturan pensiun.

  11. Kewajiban pelatihan dan peralihan teknologi.

   12.

  Peraturan-peraturan yang berlebihan.

  Terdapat beberapa fenomena yang dapat dijadikan suatu peringatan tentang akan adanya hambatan-hambatan dalam melakukan merger lintas negara.

  Fenomena-fenomena peringatan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Ketidak stabilan politik.

  2. Infrastruktur yang buruk.

  3. Laporan tahunan yang tidak memadai, tidak lengkap, dan terlalu optimis.

  4. Pembatasan yang tidak logis atau berlebihan terhadap orang asing.

  5. Jaringan komunikasi yang tidak memadai, tidak dapat dipercaya, dan tidak dapat dimonitor.

  6. Kondisi lingkungan yang sulit dengan tingkat polusi yang tinggi.

  7. Pembatasan pada arus modal.

  8. Ketidakmampuan untuk mendapatkan jaminan dalam bentuk asuransi yang layak.

  9. Mutu sumber daya manusia yang rendah.

  10. Ancaman dari mogok dan demonstrasi masyarakat serta jeleknya hubungan perburuhan.

  11. Adat istiadat setempat yang dapat menyebabkan salah pengertian.

  12. Kekurangan pusat pelatihan khusus dan fasilitas dalam perusahaan.

  13. Mesin yang ada sudah ketinggalan zaman atau tidak berguna lagi.

  14. Kekurangan para pelatih yang terampil untuk teknik industri modern.

  15. Sumber daya manusia tidak terbiasa dengan sistem pengendalian mutu dan output .

  16. Ketidakmampuan memenuhi tanggal pengiriman.

  17. Terlalu banyak karyawan.

  18. Para manajer dipilih karena alasan politis atau kolusi, bukan karena kemampuan.

  19. Tenaga kerja segan untuk mengikuti training dan pendidikan.

  20. Adanya sikap konservatif dan alergi terhadap perubahan.

  Demikianlah, diantara fenomena yang harus diperhitungkan dalam melakukan merger lintas negara. Jika hal tersebut diabaikan, akan terjadi kesusahan, bahkan hambatan tersebut dapat mengagalkan merger yang

   bersangkutan.

  Pihak-pihak lainnya (selain dari konsumen dan pesaing bisnis) yang cenderung dirugikan karena tindakan merger tersebut adalah

  1. Salah satu atau kedua perusahaan yang melakukan merger, 2.

  Pihak pemegang saham minoritas dalam perusahaan-perusahaan tersebut, 3. Pihak karyawannya, dan

   4.

  Pihak kreditur.

  96