BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis 2.1.1 Anatomi hidung - Karekteristik Gambaran Tomografi Komputer Sinus Paranasalis pada Pasien Rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis

2.1.1 Anatomi hidung

  Menurut Peter (1989), hidung merupakan organ penting, yang mempunyai beberapa fungsi yang penting yaitu sebagai indra penciuman menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.

  2.1.1.1.1 Hidung luar

  Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian -bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge); 2) batang hidung (dorsum nasi); 3) puncak hidung (hip); 4) ala nasi; 5) kolumela; dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os nasal); 2) prosesus frontalis os maksila; dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior; 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor; dan 3) tepi anterior kartilago septum (Soetjipto dan Wardani, 2007).

  2.1.1.1.2 Hidung dalam

  Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya pada dinding lateral hidung pula terdapat konka denggan rongga udara yang tidak teratur diantara-meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampak menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume alian udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa (Hilger, 1997).

  Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunar dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis (Hilger, 1997).

Gambar 2.1 : Anatomi Hidung (Netter, 2006)

  Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat menggangggu penciuman. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior, lamian perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostum sfenoidalis di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan palatina (Hilger, 1997).

2.1.2 Anatomi sinus paranasalis

  Menurut Ballenger (2002), terdapat delapan buah sinus paranasalis, empat buah di setiap sisi hidung. Sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoidalis kanan dan kiri, sinus maksilaris kanan dan kiri dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga hidung tersebut merupakan kelanjutan dari mukosa hidung yang berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

  Sinus paranasalis pada fase embriologik berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan berkembang sejak usia fetus 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus maksilaris berkembang pada bulan ketiga masa gestasi sedangkan sinus etmoidalis berkembang pada bulan kelima masa gestasi (Lee, 2008). Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior ketika berusia kurang dari 8 tahun. Sinus sfenoidalis berkembang dari usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus ini akan mencapai perkembangan maksimal pada usia 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus paranasalis terdiri daripada sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus etmoidalis dan sinus sfenoidalis.

  Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontalis ialah: tinggi 3,0 cm, lebar 2,0-2,5 cm, dalam 1,5-2,0 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu dipliok, terutamanya pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kala kedua frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997).

Gambar 2.2 : Sinus Paranasalis (Adam, 1997)

  Pada waktu lahir, sinus maksilaris merupakan celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18- 20 x 19- 20 mm dan isinya kira-kira 15ml (Ballanger, 2002).

  Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral ialah prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus (Ballanger, 2002). Yang perlu diperhatian dari anatomi sinus maksilaris adalah; dasar sinus maksilaris berdekatan dengan akar gigi rahang atas, akar gigi menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis; sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi orbita; ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya bergantung dari gerakkan silia yang juga harus melalui infundibulum yang sempit (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

  Sinus etmoidalis pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4,0-5,0 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoidalis, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarnya letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Di daerah etmoidalis anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksilaris. Pembengkakan di resesus frontalis dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan menyebabkan sinusitis maksilaris (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

  Sinus sfenoidalis terletak di os sfenoidalis, di belakang sinus etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2.5 x 2.5 x 1.5 mm, pada usia 9 tahun 15,0 x 12,0 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5ml ( 0,05-30 ml) (Ballanger, 2002). sebelah inferiornya atap nasofaring sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterir di daerah pons (Maqbool, 2001).

  

Gambar 2.3: Kompleks Ostiomeatal (KOM), Potongan Koronal

(Adam, 1997)

  Kompleks ostiomeatal (KOM), terdiri dari sel-sel udara dari etmoidalis dan ostiumnya, infundibulum etmoidalis, ostium sinus maksilaris, ostium sinus frontalis dan meatus media, seperti terlihat di gambar 2.4 (Kennedy, 2005). Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosessus unsinatus, bula etmoidalis, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior (Kamel, 2003).

2.1.3 Suplai darah

  Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena -vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina (Hilger, 1997).

  2.1.4 Sistem limfatik

  Suplai limfatik hidung amat kaya di mana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan muara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini menghubung saluran limfatik untuk hampir seluruh anatomi hidung-vestibulum dan daerah prekonka (Hilger, 1997).

  Jaringan limfatik posterior menghubung mayoritas anatomi hidung, mengabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang - saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius, dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna (Hilger, 1997).

  2.1.5 Suplai saraf

  Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penciuman divisi oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, tujuan untuk mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran udara (Hilger, 1997).

2.2 Fungsi sinus paranasalis

  Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai untuk membuktikan teori tersebut.

  Menurut Maqbool (2001), sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1) pengatur kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung; 2) membantu untuk keseimbangan kepala dengan mengurangi berat tulang muka. Namun begitu, teori menunjukkkan bahawa jika sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberi pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna; dan 3) sebagai resonansi suara, sinus berfungsi sebagai rongga untuk menambahkan resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada yangberpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.

  Menurut Soetjipto dan Mangunkusumo (2007), sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1) penahan suhu (buffer) yang melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Namun kenyataannya sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ- organ yang dilindungi; 2) sebagai peredam perubahan tekanan udara, bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu bersin dan beringus; dan 3) untuk memproduksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis sedikit jumlahnya jika dibanding mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk melalui udara.

2.3 Fisiologi sinus paranasalis

  Peranan sinus paranasalis hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Namun fungsi yang paling penting dari sinus paranasalis adalah peningkatan fungsi nasal. Fungsi sinus paranasalis antara lain fungsi ventilasi, penghangatan, humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan tubuh. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosilliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan transport mukosilliar sangat bergantung kepada karekteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transpor mukosilliar (Jackman and Kennedy, 2006).

2.4 Rinosinusitis

  Menurut Lee (2008), istilah rinosinusitis mengacu pada spektrum yang luas dari gangguan inflamasi yang mempengaruhi kedua-dua sinus paranasalis dan hidung rongga. Sejak pertengahan 1990an, istilah ini telah menggantikan istilah 'sinusitis' kerana sinusitis jarang berlaku tanpa rinitis dan rinitis biasanya mendahului sinusitis.

2.4.1 Definisi

  Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp

  

s rinosinusitis adalah suatu proses inflamasi pada organ hidung dan sinus

  paranasalis, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstuksi nasal, nyeri di daerah wajah, nasal discharge/ purulence/ discoloured postnasal

  

drainage. Faktor minornya pula ialah kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk

  dan nyeri di telinga/ terasa penuh pada telinga ( Fokkens , 2007). Menurut Mangunkusumo (2007), definisi rinosinusitis ialah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat dari alergi atau infeksi dari virus, jamur dan bakteri.

  Lee (2008), dalam Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery mendefinisikan rinosinusitis secara klinis, yaitu; rinosinisitis akut, iaitu apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu; rinosinusitis subakut, apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu hingga 12 minggu; dan rinosinusitis kronis, apabila gejalanya berlangsung lebih dari 12 minggu.

  Terdapat 4 jenis sinus yaitu; sinus frontalis, sinus maksilaris, etmoidalis, dan sfenoidalis. Rinosinusitis yang terjadi pada beberapa sinus, maka dikenali sebagai multisinusitis, sedangkan bila rinosinusitis terjadi pada semua sinus,

2.4.2 Etiologi Terdapat beberapa etiologi yang menyebabkan infeksi pada sinus paranasalis.

  Antaranya ialah infeksi virus, bakteri, jamur, alergi, kelainan anatomi dan struktur hidung dan hormonal serta lingkungan.

  Virus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus

  parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap- tiap

  virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus sering menginfeksi orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza sering merusakkan silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi (Fergurson, 2005).

  Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut ialah S. pneumoniae dan H. influenzae. S.aureus, staphylococcus koagulase bakteri anaerob dan bakteri gram negative

  negatif, (Fergurson, 2005; Brown, 2008).

  Jamur yang paling banyak ditemui ialah Aspergilosis. Aspergilosis menginfeksi sinus paranasalis dengan ciri khas yaitu sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukomikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi patogen pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplsmosis, koksidiomiloss, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis yang jarang mengenai hidung (Adam, 1997).

  Alergi (rinitis) ialah suatu reaksi yang diperantarai oleh immunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya Ig, yang mana bagian antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian dari antibodi ini berintereaksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran.

  Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien (Adam, 1997). Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag, dan trombosit (Adam, 1997).

  Kelainanan anatomi hidung dan sinus dapat menganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan berhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997).

  Pengaruh hormonal juga mengakibatkan rinosinusitis. Pada penelitian Sobot et al, didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita

  nasal congestion , namun patogenesisnya masih belum jelas (Brook, 2012).

  Paparan dari lingkungan yang terpolusi, udara dingin dan kering akan mengakibatkan perubahan mukosa dan kerusakan silia. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama (Mungunkusumo, 2007).

2.4.3 Klasifikasi

  Secara klinis rinosinusitis terbagi berdasarkan durasi penyakit yaitu, rinosinusitis akut: durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu; rinosinusitis subakut: durasi terkena rinosinusitis dari 4 – 12 minggu; rinosinusitis kronis: durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu; dan rinosinusitis rekuren: durasi menderita sama atau lebih dari 4 kali menderita episodik rinosinusitis, tapi episodik lebih kurang durasinya 7-10 hari (Mangunkusomo, 2007).

  Berdasarkan penyebabnya, rinosinusitis terbagi kepada sinusitis rinogen dan sinusitis dentogen. Sinusitis rinogen penyebabnya adalah kelainan atau masalah dihidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar) (Mangunkusomo, 2007).

  2.4.4 Patogenesis

  Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan (Hilger, 1997). Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negatif di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous (Mangunkusumo, 2007).

  Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri (Mangunkusumo, 2007). Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin dilakukan tindakan operasi (Mangunkusumo, 2007).

  2.4.5 Gejala dan tanda klinis

  The American Academy of Otolartngology-Head and Neck Surgery

  (AAO-HNS) telah klasifikasikan gejala yang timbul kepada kriteria mayor dan

  minor untuk mendiagnosis rinosinusitis. Setiap gejala rinosinusitis, keparahan serta durasinya harus didokumentasi bagi menegakkan diagnosis. Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor.

  Gejala mayor terdiri dari: 1) hidung tersumbat/obstruksi hidung; 2) sekret

  (Postnasal drip); 3) sakit kepala; 4) nyeri/kongesti/rasa tertekan pada wajah;

  5) kelainan penciuman (hiposmia/anosmia); 6) demam (hanya pada durasi akut); 7) keluar sekret hidung yang purulen/discoloured.

  Gejala minornya terdiri dari: 1) sakit kepala; 2) demam (semua nonakut rinosinusitis); 3) halitosis (nafas berbau); 4) lemah; 5) sakit gigi; 6) batuk; dan 7) sakit/sensasi penuh/terasa tekanan di telinga.

  Menurut (Rosenfeld, 2007), gejala klinis juga dapat dikategorikan kepada gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif terdiri dari: 1) nyeri; 2) sakit kepala; 3) nyeri pada penekanan; dan 4) gangguan penciuman manakala gejala objektif terdiri dari: 1) pembengkakan serta edema; dan 2) sekret dari nasal.

  2.4.6 Faktor prediposisi

  Antara faktor resiko yang dapat menyebabkan rinosinusitis ialah penyakit asma, upper respiratory tract infection, riwayat alergi, merokok, ketidakseimbangan hormon (kehamilan), diabetes mellitus, inhalasi bahan irritant (cocaine), iatrogenic (eg. nasogastric tubes, mechanical ventilation), sakit gigi (trauma, infeksi), aktiviti sukan (berenang, meyelam), obstruksi mekanis (variasi anatomis, nasal polip), riwayat trauma (hidung, pipi), dan immunosupresi

  Rosenfeld, 2007).

  (

  2.4.7 Diagnosis

  Penyakit rinosinusitis dapat didiagnosis menerusi gambaran klinis, rinoskopi anterior, endoskopi nasal, pemeriksaan mikrobiologi, foto polos kavitas nasal dan sinus paranasalis, tomografi komputer, pencitraan magnetik resonansi.

  Gambaran klinis pasien rinosinusitis akut dan kronis dapat dikategorikan menjadi pada penderita dewasa dan anak yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

  

Tab el 2.1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa

menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995)

  No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitiskronik Dewasa Anak Dewasa Anak

  1 Lama gejala dan <12 minggu <12 minggu >12 minggu >12 tanda minggu

  2 Jumlah episode <4 kali/tahun <6 kali/tahun >4 kali/ >6kali/ serangan akut, Tahun tahun masing-masing berlangsung minimal 10 hari

  3 Jumlah episode Dapat sembuh sempurna Tidak dapat sembuh serangan akut, dengan pengobatan sempurna dengan masing-masing medikamentosa pengobatan berlangsung medikamentosa minimal 10 hari

  Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fizik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fizik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah pus di meatus medius atau di daerah meatus superior (Mangunkusumo, 2007).

  Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fizik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Pemeriksaan ini tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas (Benninger, 2003).

  Endoskopi nasal memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosis rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut: 1) gejala-gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis rinosinusitis; 2) endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang anamnesis, pemeriksaan mahupun pemeriksaan pencitraan; 3) perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal; dan 4) kultur endoskopi berguna untuk organisme yang menyebabkan rinosinusitis (Rosenfeld, 2007).

  Pemeriksaan mikrobiologi merupakan biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit ini (Brown, 2008).

  Foto polos rongga sinus dan sinus paranasalis untuk rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa: 1) penebalan mukosa; 2) opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi); 3) gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus ingat bahawa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan uang meluas (Rosenfeld, 2007).

  Tomografi komputer adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi anatomi tulangnya yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis mahupun akut. Walaupun demikian, harus ingat bahwa tomografi komputer menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata (Rosenfeld, 2007).

2.4.8 Pemeriksaan tomografi komputer

  Tomografi komputer telah diterima sebagai alat diagnostik yang berharga dimana- mana. Di Indonesia, tomografi komputer mulai dipakai pada tahun 1983 di rumah sakit pusat Dr.Cipto Mangunkusumo dan rumah sakit lainnya. Sekarang alat ini mulai menyebar ke rumah sakit-rumah sakit besar di luar Jakarta (Gani dan Bambang, 2005).

  Pemeriksaan tomografi komputer pada saat ini sudah merupakan penyakit lebih mudah ditegakkan sehingga penanganan pasien menjadi lebih cepat dan lebih tepat (Ganidan Bambang, 2005).

  Pembelian tomografi komputer harus diperhitungkan dengan cermat, jangan menjadi beban untuk rumah sakit di kemudian hari. Di samping itu, dari segi klinis-diagnostik, alat tomografi komputer perlu sekali untuk rumah sakit kelas A dan B. Diagnostik dipertajam dan hari perawatan di rumah sakit dapat dipersingkat. Sama seperti pemeriksaan ultrasonografi (USG), maka tomografi komputer juga dapat digunakan untuk keperluan biopsi. Tomografi komputer juga bermanfaat dalam pembuatan rencana radioterapi (radiotherapy planning) (Gani Ilyas dan Bambang Budyatmoko, 2005).

  Syarat-syarat bagian radiologi suatu rumah sakit yang merencanakan penggunaan tomografi komputer seperti yang dianjurkan oleh WHO antara lain; 1) mengerjakan 50 000

  (Technical Report Series, No 723)

  pemeriksaan radiodiagnostik setahun; 2) sudah mengerjakan pemeriksaan angiografi, mielografi; dan 3) sudah ada pemeriksaan ultrasonografi, terutama dibagian radiologi.

  Gambar 2.4: Mesin Tomografi Komputer

2.4.9 Teknik Pemeriksaan Tomografi Komputer Sinus Paranasalis (SPN)

  Teknik pemeriksaan tomografi komputer SPN merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasalis baik secara memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. Tomografi komputer SPN baik dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal- hal tersebut merupakan kelebihan tomografi komputer SPN dibandingkan dengan foto polos SPN biasa (Amstrong, 1989).

  Prosedur pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis terdiri dari persiapan pasien dan persiapan alat dan bahan. Persiapan pasien untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN adalah sebagai berikut: 1) semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut; 2) pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika menggunakan media kontras intra vena menyebabkan vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil; 3) jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus dijelaskan kepada pasien; 4) komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform consern) agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik. Alat dan bahan untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN ialah pesawat tomografi komputer dan alat-alat fiksasi kepala (Ballinger, 1995).

  Pemeriksaan tomografi komputer SPN menggunakan dua jenis potongan, yaitu potongan aksial dan potongan koronal (Ballinger, 1995). Pada teknik pemeriksaan potongan aksial, pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas

  headrest (bantalan kepala). Posisi pasien diatur senyaman mungkin. Kepala

  diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid aksial kepala tepat pada sumber terowongan gantry (Weisberg, 1984).

  Gambar 2.5: Potongan Aksial Tomografi Komputer

  Potongan koronal merupakan teknik khusus dimana posisi pasien berbaring telungkup di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah. Posisi objek pula, kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak (Lowge, 1989).

  Gambar 2.6: Potongan Koronal Tomografi Komputer Parameter tomografi komputer sinus paranasalis Tab el 2.2 Parameter tomografi komputer sinus paranasalis

  Skanogram : cranium lateral Tebal irisan

  • aksial : 5 mm
  • koronal : 3 mm ( Seeram, 2001 )
aksial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis koronal : 5 mm posterior sinus sfenoidalis sampai sinus frontalis Standar algoritma

  • aksial : algorithma tulang
  • koronal : algorithma standar kV : 130 mAs : 60 ( Seeram, 2001)

  Menurut Patel (2007), kegunaan tomografi komputer ialah: 1) agar setiap bagian tubuh dapat dipindai, otak, leher, abdomen, pelvis, dan tungkai; 2) staging tumor primer seperti pada kolon dan paru untuk mengetahui adanya peyebaran sekunder, untuk menentukan kelayakan operasi atas dasar kemoterapi; 3) perencanaan radioterapi; 4) mendapatkan detail anatomis yang tepat jika tidak berhasil dengan ultrasonografi. Keuntungan mengunakan tomografi komputer ialah bagi membantu mendiagnosis penyakit ialah: 1) tomografi komputer memiliki resolusi kontras yang baik,memberikan detail anatomis yang tepat; 2) suatu teknik pemeriksaan yang cepat, sehingga baik untuk pasien yang sakit; 3) berlawanan dengan ultrasonografi, citra diagnostik dapat diperoleh dari pasien obes walaupun terdapat lemak yang memisahkan organ-organ abdomen

  Kerugian daripada penggunaan tomografi komputer ialah 1) biaya yang tinggi untuk peralatan dan permindahan; 2) artefek tulang pada pemindahan otak, biasanya pada fosa posterior, menurunkan kualitas citra; 3) pemindaian sebagian besar terbatas pada bidang transversal, walaupun pengulangan dapat dilakukan pada bidang lain; 4) menimbulkan radiasi ionisasi dosis tinggi pada setiap pemeriksaan (Patel, 2007).

2.4.10 Karekteristik gambaran tomografi komputer Sinus Paranasalis pada pasien rinosinusitis

  Tanda-tanda fisik yang khas yang ditemui dengan pasien rinosinusitis termasuk bilateral edema mukosa hidung, ingus, hidung sumbat dan rasa sakit yang dirasakan seperti ketika disentuh. Namun, hal ini tidak menemukan sensitif tertentu. Lokasi sakit sinus bergantung pada sinus yang terinfeksi. Nyeri pada palpasi dahi atas sinus frontalis dapat menunjukkan bahwa sinus frontalis terinfeksi; namun, ini juga merupakan tempat yang sangat umum untuk tension . Infeksi di sinus maksilaris dapat menyebabkan rahang atas rasa sakit

  headaches

  dan gigi, dengan daerah malar sakit disentuh. Oleh karena sinus ethmoidalis antara mata dan dekat saluran air mata, ethmoidalis sinusitis dapat dikaitkan dengan pembengkakan, dan rasa sakit di kelopak mata dan jaringan di sekitar mata. Sinus sfenoidalis lebih mendalam dan tersembunyi, dan sinusitis ini timbul dengan gejala sakit telinga, sakit leher dan sakit di bagian atas kepala (Christine Radojicic, 2009).

  Namun, pada sebagian besar pasien yang diagnosis rinosinusitis, daerah yang dirasakan sakit biasanya tidak jelas dan tidak menggambarkan sinus yang meradang. Oleh itu, pemeriksaan tomografi komputer diperlukan bagi mendiagnosis sinus yang terinfeksi atau bermasalah dengan lebih tepat.

Gambar 2.7 Tomografi Komputer Sinus Paranasalis Normal (Christine Radojicic, 2009).Gambar 2.8 Sinus paranasalis tidak normal dengan penebalan/ perselubungan di sinus maksilaris kanan dan kiri (Christine Radojicic, 2009).Gambar 2.9 Gambaran tomografi tomputer menunjukkan rinosinusitis akut dengan penebalan mukosa di sinus maksilaris (Christine Radojicic, 2009).Gambar 2.10 Gambaran menunjukkan rinosinusitis kronis dengan penumpukan cairan di sinus maksilaris (Christine Radojicic, 2009).Gambar 2.11 Gambaran koronal menunjukkan kompleks osteomeatal kanan yang normal (terbuka) dan kompleks osteomeatal kiri yang tertutup (Christine Radojicic, 2009).

  Walaupun pencitraan magnetik resonansi tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasalis seperti tomografi komputer, namun Magnetic

  Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik (Rosenfeld, 2007).

2.4.11 Terapi

  Terapi bagi rinosinusitis dapat dibagi kepada terapi rinosinusitis akut, terapi rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis (Fokkens, 2007). Terapi rinosinusitis diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotic empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk melancarkan drainase dan analgetik untuk menghilangkan rada nyeri. Pada pasein atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteriod topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama

  7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, sephalosporingenerasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen polos atau tomografi komputer dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus

  Fokkens, (McCort 2005; 2007).

  Terapi rinosinusitis subskut, mula-mula diberikan medikamentosa bila perlu dibantu dengan tindakan, yakni diatermi atau pencucian sinus. Obat- obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10-4 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan.Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti-histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Waves Diathermy) sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vakularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoidalis, frontalalis atau sfenoidalis yang letak muaranya dibawah,

  Fokkens, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz ( 2007).

  Bagi terapi rinosinusitis kronis, jika ditemukan faktor prediposisinya, dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberikan terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor prediposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II dan terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau bedah konvensional. Walau bagaimanapun, jika tidak ada obstruksi maka kembali melakukan evaluasi

  Fokkens, diagnosis ( 2007).

  Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur (Mangunkusumo, 2002).

2.4.12 Komplikasi

  Rinosinusitis dapat mengakibatkan pelbagai komplikasi. Antara komplikasinya ialah: 1) kelainan pada orbita; 2) kelainan intrakranial; 3) kelainan tulang; 4) mukokel; 5) piokel dan 6) kelainan paru.

  Kelainan pada orbita utamanya disebabkan oleh sinusitis etmoidalis karena letaknya berdekatan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur, yaitu direk/langsung dan retrograde tromboplebitis. Jalur direk/langsung adalah melalui dehisensi kongenital ataupun erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea. Jalur retrograde tromboplebitis adalah melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan

  Fokkens, infeksi isi orbita (Casiano, 1999; 2007).

  Kelainan intrakranial terdiri: 1) meningitis akut;salah satu komplikasi sinusitis yang terberat; infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau berlangsung dari sinus yang berdekatan, sepeti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis; 2) abses dura; kumpulan pus diantara dura dan tabula internakranium dan sering mengikuti sinusitis frontalis. Durasinya agak lama, dimana pasien hanya mengeluh nyeri kepala kerana pus yang berkumpul memberikan tekanan intracranial; 3) abses subdural; kumpulan pus diantara duramater dan araknoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul ialah nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak akan timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses pecah ke dalam ruang subaraknoid; dan 4) abses otak; sistem vena dalam mukoperiosteum otak. Namun, abses otak biasanya karena tromboflebitis yang meluas secara langsung. Lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan archnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan

  Fokkens, grisea korteks serebri (Casiano, 1999; 2007).

  Kelainan tulang yang tersering ialah osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sengat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan mengigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan, Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tualng dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh (Rosenfeld, 2007).

  Mukokel ialah suatu kista yang mengandungi mukus yang timbul dalam sinus., paling sering ditemui di sinus maksilaris. Kista ini disebut kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etoidalis, sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan malalaui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini bermanifestsi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestera nasalis dan mengeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).

  Piokel merupakan mukokel terinfeksi. Gejala piokel sama dengan mukokel tetapi lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliteras sinus (Brook, 2012).

  Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasalis disertai dengan kelainan paru yang disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Mangunkusumo, 2010).

Dokumen yang terkait

Karekteristik Gambaran Tomografi Komputer Sinus Paranasalis pada Pasien Rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012

0 61 80

Profil penderita osteosarkoma pada Instalasi Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2012

12 97 13

Variasi Anatomi pada Rinosinusitis Kronis di RS H. Adam Malik Medan

2 44 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkus 2.1.1 Anatomi bronkus - BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bronkus

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.Sistem Saraf - Gambaran Psikologis dan Kognitif pada Pasien Gangguan Sistem Saraf di RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Respon Berduka Pada Pasien Stroke di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Gambaran Histopatologi Tumor Phyllodes dengan Pulasan Van Gieson di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2010-2011

0 0 42

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan tentang Penanganan Awal Kegawatdaruratan pada Perawat dan Bidan di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 2 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jantung dan Pembuluh Darah Jantung 2.1.1. Anatomi Jantung dan Pembuluh Darah Jantung - Profil Pasien Penyakit Jantung Koroner di Poli Jantung Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2013

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisologi payudara 2.1.1 Anatomi Payudara - Karakteristik Klinis Penderita Kanker Payudara dengan Tampilan Imunohistokimia Triple Negative (TNBC) di RSUP Haji Adam Malik dan Departemen Patologi Anatomi FK USU Medan p

0 1 14