Karekteristik Gambaran Tomografi Komputer Sinus Paranasalis pada Pasien Rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun 2012

(1)

PARANASALIS PADA PASIEN RINOSINUSITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2012.

Oleh :

BANU RAJANDRAM 110100446

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PARANASALIS PADA PASIEN RINOSINUSITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK PADA TAHUN 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

BANU RAJANDRAM 110100446

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

3 pada tahun 2012.

Nama : Banu Rajandram NIM : 110100446

Pembimbing Penguji

(dr. Elvita Rahmi Daulay, (dr.Betty, M.Ked.(PA), Sp.PA)

M.Ked.(Rad), Sp.Rad (K)) NIP: 19681009 199903 2 002 NIP: 19711009 200212 2 002

Penguji II

(dr. Winra Pratita, M.Ked, Sp.A)

NIP: 19831008 200812 2 002 Medan, 2 Januari 2015

Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran

Dekan

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Banyak sekali hambatan dan tantangan yang dialami penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Dengan dorongan, bimbingan, dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan.

2. dr. Elvita Rahmi Daulay, MKed (Rad),Sp Rad(K) selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. dr.Betty M.Ked (PA),Sp PA selaku dosen penguji 1, yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. dr.Winra Pratita, M.Ked,SpA selaku dosen penguji 2, yang telah memberikan, bimbingan dan pengarahan kepada saya.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua dan keluarga penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang, dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

7. Seluruh teman-teman penulis yang ikut membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Untuk seluruh bantuan baik moril atau materi yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis ucapkan terima kasih. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Demikian dan terima kasih.

8 Desember 2014 Penulis,

BANU RAJANDRAM 110100446


(5)

ABSTRAK

Rinosinusitis adalah masalah kesehatan umum. Etiologinya sering diperdebatkan dan tetap menjadi daerah yang signifikan dari penelitian. Rinosinusitis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasalis. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis disesuaikan dengan fasilitas yang ada. Namun, pemeriksaan tomografi komputer merupakan baku emas untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional untuk melihat karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Sampel pada penelitian ini adalah enam puluh tujuh data pasien rinosinusitis yang telah melakukan pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis yang diambil secara total sampling dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis. Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 67 orang pasien rinosinusitis telah melakukan pemeriksaan tomografi komputer di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012, dengan menunjukkan kelompok umur terbanyak adalah pada kelompok umur 31- 45 tahun (31,3%), jenis kelamin perempuan (53,7%), lokasi sinus yang paling banyak terinfeksi adalah sinus maksilaris (47,8%), jumlah sisi sinus terinfeksi lebih sering terjadi secara unilateral (53,7%) dan distribusi komplikasi yang paling banyak adalah mukokel (6,0%).


(6)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is a common health problem. The etiology is often debated and remains a significant area of research. Rhinosinusitis is an inflammation of the mucosa of the nose and paranasal sinuses with symptoms such as nasal congestion , facial pain and flu. Investigations to establish the diagnosis of rhinosinusitis adapted to existing facilities. However, computed tomography examination of paranasal sinuses is the gold standard to diagnose rhinosinusitis chronic.

This aims of these study is to determine the characteristic of computed tomography in patients with rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in the year 2012 .

This research is a descriptive type study with cross-sectional design to see an overview characteristics of computer tomography in patients with rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in the year of 2012. The sample of this study is the secondary data of sixty - seven rhinosinusitis patients whom had computed tomography examinations of paranasal sinuses in Haji Adam Malik General Hospital. Data were analyzed descriptively and presented in tabular form .

The results showed that there are 67 patients with rhinosinusitis that have done computerized tomography in Haji Adam Malik General Hospital in the year of 2012, the largest age group effected with rhinosinusitis is from the age 31- 45 years (31,3%), female gender (53,7%) , sinus location most affected is the maxillary sinus (47,8%), the number of infected sinuses side most often is unilateral (53,7%) and mostly with mucocel as complications (6,0%).


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

Halaman Pengesahan ... i

KataPengantar... .... ii

Abstrak... .... iii

Abstract... .... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Singkatan ... ix

Daftar Lampiran ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Anatomi hidung dan sinus paranasalis ... 6

2.1.1. Anatomi hidung ... 6

2.1.2. Anatomi sinus paranasalis ... 8

2.1.3. Suplai darah ... 11

2.1.4. Sistem limfatik ... 12

2.1.5 Suplai saraf ... 12

2.2. Fungsi sinus paranasalis ... 12

2.3. Fisiologi sinus paranasalis ... 13

2.4 Rinosinusitis ... 14

2.4.1. Definisi ... 14

2.4.2. Etiologi ... 15

2.4.3. Klasifikasi ... 16

2.4.4. Patogenesis ... 17

2.4.5. Gejala dan tanda klinis ... 17

2.4.6. Faktor prediposisi ... 18

2.4.7. Diagnosis ... 18

2.4.8 Terapi ... 27

2.4.9 Komplikasi ... 29

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 31

3.2. Variabel penelitian ... 32


(8)

BAB 4 METODE PENELITIAN... ... 36

4.1. Jenis Penelitian ... 36

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 36

4.3. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ... 36

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 37

4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 37

4.6. Etika Penelitian ... 38

4.7. Rancangan Penelitian ... 39

BAB 5 HASIL PEBELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

5.1 Hasil Penelitian ... 40

5.1.1 Deskriptif Lokasi Penelitian ... 40

5.1.2 Deskriptif Karekterisitk Responden ... 40

5.1.3 Distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan kelompok umur ... 41

5.1.4 Distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan jenis kelamin ... 42

5.1.5 Distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan lokasi sinus yang terinfeksi ... 42

5.1.6 Distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan jumlah sisi sinus yang terinfeksi ... 43

5.1.7 Distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan komplikasi rinosinusitis ... 44

5.2 Pembahasan ... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

6.1 Kesimpulan ... 49

6.2 Saran ... 50

6.2.2 Saran kepada Rumah Sakit ... 50

6.2.3 Saran kepada masyarakat ... 50

6.2.1 Saran kepada peneliti ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 2.1 Kriteria Rinosinusitis Akut Dan Kronik Pada Anak Dan Dewasa Menurut International Conference On Sinus

Disease. ... 19

Tabel 2.2 Parameter Tomografi Komputer Sinus Paranasalis.... ... 23 Tabel 4.1 Waktu Penelitian ... 39 Tabel 5.1 Distribusi Pasien Rinosinusitis Berdasarkan Kelompok

Umur Di RSUP Adam Malik Pada Tahun 2012 ... 41 Tabel 5.2 Distribusi Pasien Rinosinusitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun 2012. ... 42 Tabel 5.3 Distribusi Pasien Rinosinusitis Berdasarkan Lokasi Sinus

Yang Terinfeksi Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun

2012 ... 43 Tabel 5.4 Distribusi Pasien Rinosinusitis Berdasarkan Jumlah Sisi

Sinus Yang Terinfeksi Di RSUP Haji Adam Malik Pada

Tahun 2012 ... 44 Tabel 5.5 Distribusi Pasien Rinosinusitis Berdasarkan Komplikasi

Rinosinusitis Di RSUP Haji Adam Malik Pada Tahun


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1.1 Anatomi hidung (Netter F ) ... 7

Gambar 2.2 Sinus Paranasalis ... ... 9

Gambar 2.3 Kompleks Ostiomeatal (KOM) potongan koronal ... 11

Gambar 2.4 Mesin Tomografi Komputer ... 21

Gambar 2.5 Potongan Aksial Tomografi Komputer ... 23

Gambar 2.6 Potongan Koronal Tomografi Komputer ... 23

Gambar 2.7 Tomografi Komputer Sinus Paranasalis Normal ... 25

Gambar 2.8 Sinus paranasalis tidak normal dengan penebalan perselubungan di sinus maksilaris kanan dan kiri. ... 26

Gambar 2.9 Gambaran tomografi komputer menunjukkan rinosinusitis akut dengan penebalan mukosa di sinus maksilaris... ... 26

Gambar 2.10 Gambaran menunjukkan rinosinusitis kronis dengan penumpukan cairan di sinus maksilaris ... 26

Gambar 2.11 Gambaran koronal menunjukkan kompleks ostomeatal kanan yang normal (terbuka) dan kompleks ostomeatal kiri yang tertutup... ... 27

Gambar 2.12 Kerangka konsep karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis. ... 31


(11)

DAFTAR SINGKATAN

BSEF Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

D.I Daerah Istimewa

FESS Functional Endoscopy Sinus Surgery

Ha Hektar

Ig Immunoglobulin

KOM Komplex ostomeatal

MENKES Menteri kesehatan

MRI Magnectic Resonance Imaging

RS Rumah Sakit

RSCM Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SK Surat Keputusan

SPN Sinus paranasalis

THT-KL Telinga hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher UGM Universitas Gadjah Mada


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... 56

Lampiran 2 Surat Izin Survei Awal Penelitian ... 57

Lampiran 3 Dummy table ... 58

Lampiran 4 Surat Persetujuan Komisi Etik ... ... 60 Lampiran 5 Data SPSS pasien...


(13)

ABSTRAK

Rinosinusitis adalah masalah kesehatan umum. Etiologinya sering diperdebatkan dan tetap menjadi daerah yang signifikan dari penelitian. Rinosinusitis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasalis. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis disesuaikan dengan fasilitas yang ada. Namun, pemeriksaan tomografi komputer merupakan baku emas untuk mendiagnosis rinosinusitis kronis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional untuk melihat karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Sampel pada penelitian ini adalah enam puluh tujuh data pasien rinosinusitis yang telah melakukan pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis yang diambil secara total sampling dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis. Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 67 orang pasien rinosinusitis telah melakukan pemeriksaan tomografi komputer di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012, dengan menunjukkan kelompok umur terbanyak adalah pada kelompok umur 31- 45 tahun (31,3%), jenis kelamin perempuan (53,7%), lokasi sinus yang paling banyak terinfeksi adalah sinus maksilaris (47,8%), jumlah sisi sinus terinfeksi lebih sering terjadi secara unilateral (53,7%) dan distribusi komplikasi yang paling banyak adalah mukokel (6,0%).


(14)

ABSTRACT

Rhinosinusitis is a common health problem. The etiology is often debated and remains a significant area of research. Rhinosinusitis is an inflammation of the mucosa of the nose and paranasal sinuses with symptoms such as nasal congestion , facial pain and flu. Investigations to establish the diagnosis of rhinosinusitis adapted to existing facilities. However, computed tomography examination of paranasal sinuses is the gold standard to diagnose rhinosinusitis chronic.

This aims of these study is to determine the characteristic of computed tomography in patients with rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in the year 2012 .

This research is a descriptive type study with cross-sectional design to see an overview characteristics of computer tomography in patients with rhinosinusitis in Haji Adam Malik General Hospital in the year of 2012. The sample of this study is the secondary data of sixty - seven rhinosinusitis patients whom had computed tomography examinations of paranasal sinuses in Haji Adam Malik General Hospital. Data were analyzed descriptively and presented in tabular form .

The results showed that there are 67 patients with rhinosinusitis that have done computerized tomography in Haji Adam Malik General Hospital in the year of 2012, the largest age group effected with rhinosinusitis is from the age 31- 45 years (31,3%), female gender (53,7%) , sinus location most affected is the maxillary sinus (47,8%), the number of infected sinuses side most often is unilateral (53,7%) and mostly with mucocel as complications (6,0%).


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sinusitis merupakan suatu peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasalis dengan gejala seperti hidung tersumbat, nyeri fasialis dan juga pilek kental (purulen) (Campbell, 2014). Rinitis pula merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membrana mukosa hidung, yang dapat dibedakan menurut perjalanan penyakit menjadi rinitis akut dan rinitis kronis (Adam, 1989).

Pada tahum 1996, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengantikan terminologi sinusitis menjadi rinosinusitis. Rinosinusitis dianggap lebih tepat kerana menggambarkan proses penyakit dengan lebih akurat. Alasan yang mendasari perubahan “sinusitis” menjadi “rinosinusitis” adalah: 1) membran mukosa hidung dan sinus secara embriologi terhubung antara satu sama lain (contiguous); 2) sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis; 3) gejala pilek, hidung tersumbat dan kurangnya penciuman ditemukan pada sinusitis maupun rinitis; dan 4) foto tomografi komputer dari penderita pilek menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi hidung sinus paranasalis.

Rinosinusitis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasalis yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rinitis (Arfandy, 2003).

Menurut National Health Interview Survey (2012), rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika Serikat dan memerlukan kunjungan ke praktek dokter sebanyak 16 juta kali per tahun. Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa 1 dari 7 orang dewasa menderita sinusitis dengan lebih dari 30 juta pasien didiagnosis setiap tahun pada awal musim gugur hingga awal musim semi (Brook, 2012). Pada tahun 1996, pengeluaran total untuk pelayanan kesehatan yang berkaitan langsung dengan rinosinusitis diperkirakan sebesar 5,8 milyar dollar. Dari angka tersebut, 58,7% (sekitar 3,5milyar dollar) berkaitan dengan rinosinusitis kronis (Roos, 1999). Meskipun rinosinusitis kebanyakan disebabkan oleh infeksi virus dan sebagian


(16)

besar sembuh tanpa terapi antibiotik, penyakit ini dilaporkan sebagai salah satu dari lima penyakit terbanyak yang diberi antibiotik dengan hampir 13 juta resep ditulis dokter setiap tahun (FESS, 1996).

Di Kanada pada tahun 2003, diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5% dengan perbandingan wanita dan pria yaitu 6 banding 4 (6:4), lebih tinggi pada kelompok wanita (Hamilos, 2000).

Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, penelitian di Belanda pada tahun 1999, menunjukkan bahwa sekitar 8,4% populasi setidaknya pernah menderita satu episode rinosinusitis akut pertahunnya. Insidensi kunjungan ke dokter-dokter untuk keluhan rinosinusitis akut di Belanda pada tahun 2000 adalah sekitar 20 per 1000 laki-laki dan 33,8 per 1000 wanita (Fokkens, 2007).

Prevalensi rinosinusitis di Indonesia cukup tinggi, terbukti pada data dari DEPKES RI tahun 2003, menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama. Menurut Elise (2003), menyatakan bahawa di Indonesia ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah malah cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa gejala rinosinusitis di Jawa dan Bali meningkat 7,5 persen pertahun. Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana prevalensi dan insidensi rinosinusitis.

Menurut Soejipto (2007) dalam tulisan Multazar (2008), data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada waktu itu adalah 435 pasien, 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis kronis. Di Poliklinik THT-KL RS Hasan Sadikin Bandung pada periode Januari 2007 hingga Desember 2007 menunjukkan terdapat 168 pasien rinosinusitis (64,29%) dari seluruh pasien Rinologi (Lasminingrum, 2008). Di Departemen THT-KL Kedokteran UGM/RS Dr. Sardijito Yogyakarta tahun 2006-2007 didapatkan 118 pasien rinusinusitis kronis (42%) dari seluruh pasien rinologi (Dewanti, 2008).

Rinosinusitis adalah masalah kesehatan umum. Etiologi sering diperdebatkan dan tetap menjadi masalah yang signifikan dari penelitian. Pertama,


(17)

proses patologik mukosa yang berlangsung lama dan kelanjutan dari radang akut akan menghasilkan proliferasi, terbentuknya jaringan granulasi atau radang granulomatik pada mukosa sinus, yang akhirnya akan menebalkan mukosa sinus,

proses ini lebih dikenali sebagai rinosinusitis kronik (Jirapongsananuruk, et al,1998). Keduanya adalah struktur anatomi hidung dan

sinus paranasalis seperti kondisi kompleks ostiomeatal, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya jaringan patologis di sinus dan perluasannya (Zinriech and Gotwald, 2001). Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan obstruksi terhadap kompleks ostiomeatal (KOM) dan mengganggu pembersihan

mukosillia sehingga akhirnya mengakibatkan rinosinusitis kronik (Pinheiro, et al, 2003; Rao, et al, 2005).

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis disesuaikan dengan fasilitas yang ada. Namun, pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis adalah pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik. Gambaran tomografi komputer dapat memperlihatkan abnormalitas anatomi dan luas kelainan mukosa sinus (Mangunkusumo, 2002).

Menurut Newcastle University Institute of Health and Society tomografi komputer adalah salah satu jenis pemeriksaan penunjang medis yang merupakan alat diagnostik radiologi yang menggunakan komputer untuk melakukan rekonstruksi data dari daya serap suatu jaringan atau organ tubuh tertentu yang telah ditembus oleh sinar X sehingga terbentuk gambar. Berbagai kelainan dari beberapa jaringan maupun organ tubuh dapat dideteksi dengan pemeriksaan tomografi komputer.

Pemeriksaan tomografi komputer mampu memberikan gambaran struktur anatomi sinus paranasalis dan pemeriksaan ini baik dalam memperlihatkan sel-sel etmoid anterior, dua pertiga atas kavum nasi dan resessus frontalis. Pada daerah ini juga dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis, yaitu KOM (Zinriech and Gotwald, 2001).

Penyakit rinosinusitis pada tahun 2012 di RSUP Haji Adam Malik Medan ada sebanyak 475 orang pasien. Sehingga kini, belum ada penelitian tentang


(18)

rinosinusitis pada tahun 2012 di rumah sakit tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin mencoba untuk melakukan penelitian mengenai karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu: bagaimana karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karekteristik gambaran tomografi komputer pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui angka kejadian rinosinusitis di RSUP Adam Malik pada tahun 2012.

2. Untuk mengetahui angka pasien rinosinusitis yang dirujuk ke Departemen Radiologi untuk mengambil tomografi komputer di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

3. Untuk mengetahui distribusi jenis kelamin pasien rinosinusitis. 4. Untuk mengetahui distribusi kelompok umur pasien rinosinusitis.

5. Untuk mengetahui distribusi pasien rinosinusitis berdasarkan lokasi sinus yang terinfeksi berdasarkan tomografi komputer sinus paranasalis.

6. Untuk mengetahui jumlah sisi sinus yang terinfeksi berdasarkan tomografi komputer sinus paranasalis.

7. Untuk mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan komplikasi yang timbul.


(19)

1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Untuk Peneliti

1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam angka kejadian rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik.

2. Untuk mengetahui peranan tomografi komputer dalam mendiagnosis rinosinusitis dengan lebih tepat.

3. Sebagai sarana menambahkan pengalaman dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Untuk RSUP Haji Adam Malik

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi pihak RSUP Haji Adam Malik dalam mengambil kebijakan guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

2. Hasil data penelitian dapat dimanfaatkan oleh dokter untuk mendiagnosis serta melakukan penatalaksanaan yang baik.

1.4.3 Untuk Masyarakat

1. Memberikan data yang mendukung bagi penelitian lain di masa yang akan datang.

2. Diharapkan hasil karya ilmiah ini nantinya dapat menjadi sumber informasi dan bahan bacaan tambahan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa kedokteran tenaga kesehatan, maupun masayarakat pada umumnya.


(20)

18

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi hidung dan sinus paranasalis

2.1.1 Anatomi hidung

Menurut Peter (1989), hidung merupakan organ penting, yang mempunyai beberapa fungsi yang penting yaitu sebagai indra penciuman menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.

2.1.1.1.1 Hidung luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tidak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian -bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung (bridge); 2) batang hidung (dorsum nasi); 3) puncak hidung (hip); 4) ala nasi; 5) kolumela; dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os nasal); 2) prosesus frontalis os maksila; dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior; 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor; dan 3) tepi anterior kartilago septum (Soetjipto dan Wardani, 2007).

2.1.1.1.2 Hidung dalam

Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi


(21)

merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya pada dinding lateral hidung pula terdapat konka denggan rongga udara yang tidak teratur diantara-meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampak menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume alian udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta dan deposit atau sekret mukosa (Hilger, 1997).

Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunar dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis (Hilger, 1997).

Gambar 2.1 : Anatomi Hidung (Netter, 2006)

Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan atas hingga kubah hidung. Deformitas


(22)

struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat menggangggu penciuman. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior, lamian perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostum sfenoidalis di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista maksial dan palatina (Hilger, 1997).

2.1.2 Anatomi sinus paranasalis

Menurut Ballenger (2002), terdapat delapan buah sinus paranasalis, empat buah di setiap sisi hidung. Sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoidalis kanan dan kiri, sinus maksilaris kanan dan kiri dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga hidung tersebut merupakan kelanjutan dari mukosa hidung yang

berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Sinus paranasalis pada fase embriologik berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan berkembang sejak usia fetus 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoidalis dan sinus frontalis (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus maksilaris berkembang pada bulan ketiga masa gestasi sedangkan sinus etmoidalis berkembang pada bulan kelima masa gestasi (Lee, 2008). Sinus frontalis berkembang dari sinus etmoidalis anterior ketika berusia kurang dari 8 tahun. Sinus sfenoidalis berkembang dari usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus ini akan mencapai perkembangan maksimal pada usia 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus paranasalis terdiri daripada sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus etmoidalis dan sinus sfenoidalis.

Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontalis ialah: tinggi 3,0 cm, lebar 2,0-2,5 cm, dalam 1,5-2,0 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu dipliok, terutamanya pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus


(23)

merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kala kedua frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997).

Gambar 2.2 : Sinus Paranasalis (Adam, 1997)

Pada waktu lahir, sinus maksilaris merupakan celah kecil di sebelah medial orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada rongga hidung, kemudian terus mengalami penurunan sehingga pada usia delapan tahun menjadi sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan membentuk sempurna setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18- 20 x 19- 20 mm dan isinya kira-kira 15ml (Ballanger, 2002).

Sinus maksilaris berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya


(24)

ialah prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus (Ballanger, 2002). Yang perlu diperhatian dari anatomi sinus maksilaris adalah; dasar sinus maksilaris berdekatan dengan akar gigi rahang atas, akar gigi menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi dapat naik ke atas dan menyebabkan sinusitis; sinusitis maksilaris dapat menyebabkan komplikasi orbita; ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya bergantung dari gerakkan silia yang juga harus melalui infundibulum yang sempit (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Sinus etmoidalis pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4,0-5,0 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoidalis, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarnya letaknya, sinus etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Di daerah etmoidalis anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksilaris. Pembengkakan di resesus frontalis dapat menyebabkan sinusitis frontalis dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan menyebabkan sinusitis maksilaris (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Sinus sfenoidalis terletak di os sfenoidalis, di belakang sinus etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2.5 x 2.5 x 1.5 mm, pada usia 9 tahun 15,0 x 12,0 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5ml ( 0,05-30 ml) (Ballanger, 2002). Batas- batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa,


(25)

sebelah inferiornya atap nasofaring sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterir di daerah pons (Maqbool, 2001).

Gambar 2.3: Kompleks Ostiomeatal (KOM), Potongan Koronal (Adam, 1997)

Kompleks ostiomeatal (KOM), terdiri dari sel-sel udara dari etmoidalis dan ostiumnya, infundibulum etmoidalis, ostium sinus maksilaris, ostium sinus frontalis dan meatus media, seperti terlihat di gambar 2.4 (Kennedy, 2005). Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosessus unsinatus, bula etmoidalis, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontalis, maksilaris, dan etmoidalis anterior (Kamel, 2003).

2.1.3 Suplai darah

Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus, dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena -vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah


(26)

septum di mana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina (Hilger, 1997).

2.1.4 Sistem limfatik

Suplai limfatik hidung amat kaya di mana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan muara di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini menghubung saluran limfatik untuk hampir seluruh anatomi hidung-vestibulum dan daerah prekonka (Hilger, 1997).

Jaringan limfatik posterior menghubung mayoritas anatomi hidung, mengabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang - saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustakius, dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna (Hilger, 1997).

2.1.5 Suplai saraf

Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penciuman divisi oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar, dan sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sfenopalatina, tujuan untuk mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran udara (Hilger, 1997).

2.2 Fungsi sinus paranasalis

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai untuk membuktikan teori tersebut. Antara teori dikemukakan ialah:


(27)

Menurut Maqbool (2001), sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1) pengatur kondisi udara, sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk

memanaskan dan mengatur kelembaban udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung; 2) membantu untuk keseimbangan kepala dengan mengurangi berat tulang muka. Namun begitu, teori menunjukkkan bahawa jika sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberi pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna; dan 3) sebagai resonansi suara, sinus berfungsi sebagai rongga untuk menambahkan resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Namun ada yangberpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.

Menurut Soetjipto dan Mangunkusumo (2007), sinus paranasalis berfungsi sebagai: 1) penahan suhu (buffer) yang melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Namun kenyataannya sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ- organ yang dilindungi; 2) sebagai peredam perubahan tekanan udara, bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya waktu bersin dan beringus; dan 3) untuk memproduksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasalis sedikit jumlahnya jika dibanding mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk melalui udara.

2.3 Fisiologi sinus paranasalis

Peranan sinus paranasalis hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Namun fungsi yang paling penting dari sinus paranasalis adalah peningkatan fungsi nasal. Fungsi sinus paranasalis antara lain fungsi ventilasi, penghangatan, humidifikasi, filtrasi, dan pertahanan tubuh. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosilliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor


(28)

transport mukosilliar sangat bergantung kepada karekteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transpor mukosilliar (Jackman and Kennedy, 2006).

2.4 Rinosinusitis

Menurut Lee (2008), istilah rinosinusitis mengacu pada spektrum yang luas dari gangguan inflamasi yang mempengaruhi kedua-dua sinus paranasalis dan hidung rongga. Sejak pertengahan 1990an, istilah ini telah menggantikan istilah 'sinusitis' kerana sinusitis jarang berlaku tanpa rinitis dan rinitis biasanya mendahului sinusitis.

2.4.1 Definisi

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyp srinosinusitis adalah suatu proses inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasalis, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstuksi nasal, nyeri di daerah wajah, nasal discharge/ purulence/ discoloured postnasal drainage. Faktor minornya pula ialah kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk dan nyeri di telinga/ terasa penuh pada telinga (Fokkens, 2007). Menurut Mangunkusumo (2007), definisi rinosinusitis ialah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat dari alergi atau infeksi dari virus, jamur dan bakteri.

Lee (2008), dalam Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery mendefinisikan rinosinusitis secara klinis, yaitu; rinosinisitis akut, iaitu apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu; rinosinusitis subakut, apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu hingga 12 minggu; dan rinosinusitis kronis, apabila gejalanya berlangsung lebih dari 12 minggu.

Terdapat 4 jenis sinus yaitu; sinus frontalis, sinus maksilaris, etmoidalis, dan sfenoidalis. Rinosinusitis yang terjadi pada beberapa sinus, maka dikenali sebagai multisinusitis, sedangkan bila rinosinusitis terjadi pada semua sinus, dikenali sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007).


(29)

2.4.2 Etiologi

Terdapat beberapa etiologi yang menyebabkan infeksi pada sinus paranasalis. Antaranya ialah infeksi virus, bakteri, jamur, alergi, kelainan anatomi dan struktur hidung dan hormonal serta lingkungan.

Virus yang biasanya menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus, virus parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap- tiap virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus sering menginfeksi orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza sering merusakkan silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi (Fergurson, 2005).

Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut ialah S. pneumoniae dan H. influenzae. S.aureus, staphylococcus koagulase

negatif, bakteri anaerob dan bakteri gram negative (Fergurson, 2005; Brown, 2008).

Jamur yang paling banyak ditemui ialah Aspergilosis. Aspergilosis menginfeksi sinus paranasalis dengan ciri khas yaitu sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukomikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi patogen pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplsmosis, koksidiomiloss, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis yang jarang mengenai hidung (Adam, 1997).

Alergi (rinitis) ialah suatu reaksi yang diperantarai oleh immunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya Ig, yang mana bagian antibodi

melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian dari antibodi ini berintereaksi

dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien (Adam, 1997). Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat dari pelepasan mediator


(30)

dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag, dan trombosit (Adam, 1997). Kelainanan anatomi hidung dan sinus dapat menganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan berhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 1997).

Pengaruh hormonal juga mengakibatkan rinosinusitis. Pada penelitian Sobot et al, didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion, namun patogenesisnya masih belum jelas (Brook, 2012).

Paparan dari lingkungan yang terpolusi, udara dingin dan kering akan mengakibatkan perubahan mukosa dan kerusakan silia. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama (Mungunkusumo, 2007).

2.4.3 Klasifikasi

Secara klinis rinosinusitis terbagi berdasarkan durasi penyakit yaitu, rinosinusitis akut: durasi terkena rinosinusitis dibawah 4 minggu; rinosinusitis subakut: durasi terkena rinosinusitis dari 4 – 12 minggu; rinosinusitis kronis: durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu; dan rinosinusitis rekuren: durasi menderita sama atau lebih dari 4 kali menderita episodik

rinosinusitis, tapi episodik lebih kurang durasinya 7-10 hari (Mangunkusomo, 2007).

Berdasarkan penyebabnya, rinosinusitis terbagi kepada sinusitis rinogen dan sinusitis dentogen. Sinusitis rinogen penyebabnya adalah kelainan atau masalah dihidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis dentogen penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar) (Mangunkusomo, 2007).


(31)

2.4.4 Patogenesis

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan (Hilger, 1997). Organ-organ yang membentuk kompleks osteo meatal terletak berdekatan, maka apabila terjadi edema, mukosa yang saling berhadapan akan bertemu sehingga menyebabkan gerakan silia terhambat dan ostium tersumbat. Akibatnya muncul tekanan negatif di dalam rongga sinus yang seterusnya menyebabkan terjadinya transudasi. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous (Mangunkusumo, 2007).

Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri (Mangunkusumo, 2007). Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin dilakukan tindakan operasi (Mangunkusumo, 2007).

2.4.5 Gejala dan tanda klinis

The American Academy of Otolartngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah klasifikasikan gejala yang timbul kepada kriteria mayor dan minor untuk mendiagnosis rinosinusitis. Setiap gejala rinosinusitis, keparahan serta durasinya harus didokumentasi bagi menegakkan diagnosis. Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor.

Gejala mayor terdiri dari: 1) hidung tersumbat/obstruksi hidung; 2) sekret pada hidung/sekret belakang hidung atau lebih dikenali sebagai PND


(32)

(Postnasal drip); 3) sakit kepala; 4) nyeri/kongesti/rasa tertekan pada wajah; 5) kelainan penciuman (hiposmia/anosmia); 6) demam (hanya pada durasi akut); 7) keluar sekret hidung yang purulen/discoloured.

Gejala minornya terdiri dari: 1) sakit kepala; 2) demam (semua nonakut rinosinusitis); 3) halitosis (nafas berbau); 4) lemah; 5) sakit gigi;

6) batuk; dan 7) sakit/sensasi penuh/terasa tekanan di telinga.

Menurut (Rosenfeld, 2007), gejala klinis juga dapat dikategorikan kepada gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif terdiri dari: 1) nyeri; 2) sakit kepala; 3) nyeri pada penekanan; dan 4) gangguan penciuman manakala gejala objektif terdiri dari: 1) pembengkakan serta edema; dan 2) sekret dari nasal.

2.4.6 Faktor prediposisi

Antara faktor resiko yang dapat menyebabkan rinosinusitis ialah penyakit asma, upper respiratory tract infection, riwayat alergi, merokok, ketidakseimbangan hormon (kehamilan), diabetes mellitus, inhalasi bahan irritant (cocaine), iatrogenic (eg. nasogastric tubes, mechanical ventilation), sakit gigi (trauma, infeksi), aktiviti sukan (berenang, meyelam), obstruksi mekanis (variasi anatomis, nasal polip), riwayat trauma (hidung, pipi), dan immunosupresi (Rosenfeld, 2007).

2.4.7 Diagnosis

Penyakit rinosinusitis dapat didiagnosis menerusi gambaran klinis, rinoskopi anterior, endoskopi nasal, pemeriksaan mikrobiologi, foto polos kavitas nasal dan sinus paranasalis, tomografi komputer, pencitraan magnetik resonansi.

Gambaran klinis pasien rinosinusitis akut dan kronis dapat dikategorikan menjadi pada penderita dewasa dan anak yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.


(33)

Tab el 2.1 Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy, 1995)

No Kriteria Rinosinusitis akut Rinosinusitiskronik

Dewasa Anak Dewasa Anak

1 Lama gejala dan tanda

<12 minggu <12 minggu >12 minggu >12 minggu 2 Jumlah episode

serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

<4 kali/tahun <6 kali/tahun >4 kali/ Tahun

>6kali/ tahun

3 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung minimal 10 hari

Dapat sembuh sempurna dengan pengobatan

medikamentosa

Tidak dapat sembuh sempurna dengan

pengobatan medikamentosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fizik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fizik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah pus di meatus medius atau di daerah meatus superior (Mangunkusumo, 2007).

Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fizik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Pemeriksaan ini tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas (Benninger, 2003).

Endoskopi nasal memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosis rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut: 1) gejala-gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosis rinosinusitis; 2) endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat


(34)

anamnesis, pemeriksaan mahupun pemeriksaan pencitraan; 3) perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal; dan 4) kultur endoskopi berguna untuk organisme yang menyebabkan rinosinusitis (Rosenfeld, 2007).

Pemeriksaan mikrobiologi merupakan biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membunuh mikroorganisme penyebab penyakit ini (Brown, 2008).

Foto polos rongga sinus dan sinus paranasalis untuk rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa: 1) penebalan mukosa; 2) opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi); 3) gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dilihat pada foto waters. Bagaimanapun juga, harus ingat bahawa foto polos ini memiliki kekurangan dimana foto polos gagal menunjukkan anatomi sinus yang diperlukan dan gagal menunjukkan peradangan uang meluas (Rosenfeld, 2007).

Tomografi komputer adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi anatomi tulangnya yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis mahupun akut. Walaupun demikian, harus ingat bahwa tomografi komputer menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata (Rosenfeld, 2007).

2.4.8 Pemeriksaan tomografi komputer

Tomografi komputer telah diterima sebagai alat diagnostik yang berharga dimana- mana. Di Indonesia, tomografi komputer mulai dipakai pada tahun 1983 di rumah sakit pusat Dr.Cipto Mangunkusumo dan rumah sakit lainnya. Sekarang alat ini mulai menyebar ke rumah sakit-rumah sakit besar di luar Jakarta (Gani dan Bambang, 2005).

Pemeriksaan tomografi komputer pada saat ini sudah merupakan kebutuhan rutin, tidak saja karena hasilnya lebih baik, tetapi juga diagnostik


(35)

penyakit lebih mudah ditegakkan sehingga penanganan pasien menjadi lebih cepat dan lebih tepat (Ganidan Bambang, 2005).

Pembelian tomografi komputer harus diperhitungkan dengan cermat, jangan menjadi beban untuk rumah sakit di kemudian hari. Di samping itu, dari segi klinis-diagnostik, alat tomografi komputer perlu sekali untuk rumah sakit kelas A dan B. Diagnostik dipertajam dan hari perawatan di rumah sakit dapat dipersingkat. Sama seperti pemeriksaan ultrasonografi (USG), maka tomografi komputer juga dapat digunakan untuk keperluan biopsi. Tomografi komputer juga

bermanfaat dalam pembuatan rencana radioterapi (radiotherapy planning) (Gani Ilyas dan Bambang Budyatmoko, 2005).

Syarat-syarat bagian radiologi suatu rumah sakit yang merencanakan

penggunaan tomografi komputer seperti yang dianjurkan oleh WHO (Technical Report Series, No 723) antara lain; 1) mengerjakan 50 000

pemeriksaan radiodiagnostik setahun; 2) sudah mengerjakan pemeriksaan angiografi, mielografi; dan 3) sudah ada pemeriksaan ultrasonografi, terutama dibagian radiologi.

Gambar 2.4: Mesin Tomografi Komputer

2.4.9 Teknik Pemeriksaan Tomografi Komputer Sinus Paranasalis (SPN) Teknik pemeriksaan tomografi komputer SPN merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasalis baik secara aksial maupun koronal. Tomografi komputer SPN memberikan tampilan yang


(36)

memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus. Tomografi komputer SPN baik dalam memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal- hal tersebut merupakan kelebihan tomografi komputer SPN dibandingkan dengan foto polos SPN biasa (Amstrong, 1989).

Prosedur pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis terdiri dari persiapan pasien dan persiapan alat dan bahan. Persiapan pasien untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN adalah sebagai berikut: 1) semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut; 2) pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika menggunakan media kontras intra vena menyebabkan vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil; 3) jika menggunakan media kontras, alasan penggunaannya harus dijelaskan kepada

pasien; 4) komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform consern) agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan

sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik. Alat dan bahan untuk pemeriksaan tomografi komputer SPN ialah pesawat tomografi komputer dan alat-alat fiksasi kepala (Ballinger, 1995).

Pemeriksaan tomografi komputer SPN menggunakan dua jenis potongan, yaitu potongan aksial dan potongan koronal (Ballinger, 1995). Pada teknik pemeriksaan potongan aksial, pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest (bantalan kepala). Posisi pasien diatur senyaman mungkin. Kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid aksial kepala tepat pada sumber terowongan gantry (Weisberg, 1984).


(37)

Gambar 2.5: Potongan Aksial Tomografi Komputer

Potongan koronal merupakan teknik khusus dimana posisi pasien berbaring telungkup di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah. Posisi objek pula, kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak (Lowge, 1989).

Gambar 2.6: Potongan Koronal Tomografi Komputer Parameter tomografi komputer sinus paranasalis

Tab el 2.2 Parameter tomografi komputer sinus paranasalis Skanogram : cranium lateral

Tebal irisan

- aksial : 5 mm

- koronal : 3 mm ( Seeram, 2001 ) Anatomi Coverage


(38)

aksial : 5 mm di bawah sinus maksilaris sampai sinus frontalis koronal : 5 mm posterior sinus sfenoidalis sampai sinus frontalis Standar algoritma

- aksial : algorithma tulang - koronal : algorithma standar kV : 130

mAs : 60 ( Seeram, 2001)

Menurut Patel (2007), kegunaan tomografi komputer ialah: 1) agar setiap bagian tubuh dapat dipindai, otak, leher, abdomen, pelvis, dan tungkai; 2) staging tumor primer seperti pada kolon dan paru untuk mengetahui adanya peyebaran

sekunder, untuk menentukan kelayakan operasi atas dasar kemoterapi; 3) perencanaan radioterapi; 4) mendapatkan detail anatomis yang tepat jika tidak

berhasil dengan ultrasonografi. Keuntungan mengunakan tomografi komputer ialah bagi membantu mendiagnosis penyakit ialah: 1) tomografi komputer memiliki resolusi kontras yang baik,memberikan detail anatomis yang tepat; 2) suatu teknik pemeriksaan yang cepat, sehingga baik untuk pasien yang sakit; 3) berlawanan dengan ultrasonografi, citra diagnostik dapat diperoleh dari pasien obes walaupun terdapat lemak yang memisahkan organ-organ abdomen

Kerugian daripada penggunaan tomografi komputer ialah 1) biaya yang tinggi untuk peralatan dan permindahan; 2) artefek tulang pada pemindahan otak, biasanya pada fosa posterior, menurunkan kualitas citra; 3) pemindaian sebagian besar terbatas pada bidang transversal, walaupun pengulangan dapat dilakukan pada bidang lain; 4) menimbulkan radiasi ionisasi dosis tinggi pada setiap pemeriksaan (Patel, 2007).

2.4.10 Karekteristik gambaran tomografi komputer Sinus Paranasalis pada pasien rinosinusitis

Tanda-tanda fisik yang khas yang ditemui dengan pasien rinosinusitis termasuk bilateral edema mukosa hidung, ingus, hidung sumbat dan rasa sakit yang dirasakan seperti ketika disentuh. Namun, hal ini tidak menemukan sensitif tertentu. Lokasi sakit sinus bergantung pada sinus yang terinfeksi. Nyeri pada


(39)

palpasi dahi atas sinus frontalis dapat menunjukkan bahwa sinus frontalis terinfeksi; namun, ini juga merupakan tempat yang sangat umum untuk tension headaches. Infeksi di sinus maksilaris dapat menyebabkan rahang atas rasa sakit dan gigi, dengan daerah malar sakit disentuh. Oleh karena sinus ethmoidalis antara mata dan dekat saluran air mata, ethmoidalis sinusitis dapat dikaitkan dengan pembengkakan, dan rasa sakit di kelopak mata dan jaringan di sekitar mata. Sinus sfenoidalis lebih mendalam dan tersembunyi, dan sinusitis ini timbul

dengan gejala sakit telinga, sakit leher dan sakit di bagian atas kepala (Christine Radojicic, 2009).

Namun, pada sebagian besar pasien yang diagnosis rinosinusitis, daerah yang dirasakan sakit biasanya tidak jelas dan tidak menggambarkan sinus yang meradang. Oleh itu, pemeriksaan tomografi komputer diperlukan bagi mendiagnosis sinus yang terinfeksi atau bermasalah dengan lebih tepat.

Gambar 2.7 Tomografi Komputer Sinus Paranasalis Normal (Christine Radojicic, 2009).


(40)

Gambar 2.8 Sinus paranasalis tidak normal dengan penebalan/

perselubungan di sinus maksilaris kanan dan kiri (Christine Radojicic, 2009).

Gambar 2.9 Gambaran tomografi tomputer menunjukkan rinosinusitis akut dengan penebalan mukosa di sinus maksilaris (Christine Radojicic, 2009).

Gambar 2.10 Gambaran menunjukkan rinosinusitis kronis dengan penumpukan cairan di sinus maksilaris (Christine Radojicic, 2009).


(41)

Gambar 2.11 Gambaran koronal menunjukkan kompleks osteomeatal kanan yang normal (terbuka) dan kompleks osteomeatal kiri yang tertutup

(Christine Radojicic, 2009).

Walaupun pencitraan magnetik resonansi tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasalis seperti tomografi komputer, namun Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik (Rosenfeld, 2007).

2.4.11 Terapi

Terapi bagi rinosinusitis dapat dibagi kepada terapi rinosinusitis akut, terapi rinosinusitis subakut dan rinosinusitis kronis (Fokkens, 2007).

Terapi rinosinusitis diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotic empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk melancarkan drainase dan analgetik untuk menghilangkan rada nyeri. Pada pasein atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteriod topikal. Jika

ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II

selama 7 hari yakni amoksisilin klavulanat/ampisilin sulbaktam, sephalosporingenerasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika tidak ada perbaikan


(42)

maka dilakukan rontgen polos atau tomografi komputer dan atau endoskopi nasal. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Apabila tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis

yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus (McCort 2005; Fokkens, 2007).

Terapi rinosinusitis subskut, mula-mula diberikan medikamentosa bila perlu dibantu dengan tindakan, yakni diatermi atau pencucian sinus. Obat- obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10-4 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan.Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti-histamin dan mukolitik. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Waves Diathermy) sebanyak 5-6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vakularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoidalis, frontalalis atau sfenoidalis yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Fokkens, 2007).

Bagi terapi rinosinusitis kronis, jika ditemukan faktor prediposisinya, dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberikan terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. Jika faktor prediposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II dan terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau bedah konvensional. Walau bagaimanapun, jika tidak ada obstruksi maka kembali melakukan evaluasi diagnosis (Fokkens, 2007).

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi


(43)

adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur (Mangunkusumo, 2002).

2.4.12 Komplikasi

Rinosinusitis dapat mengakibatkan pelbagai komplikasi. Antara komplikasinya ialah: 1) kelainan pada orbita; 2) kelainan intrakranial; 3) kelainan tulang; 4) mukokel; 5) piokel dan 6) kelainan paru.

Kelainan pada orbita utamanya disebabkan oleh sinusitis etmoidalis karena letaknya berdekatan mata. Komplikasi dapat melalui 2 jalur, yaitu direk/langsung dan retrograde tromboplebitis. Jalur direk/langsung adalah melalui dehisensi kongenital ataupun erosi pada tulang barier terutama lamina papirasea. Jalur retrograde tromboplebitis adalah melalui anyaman pembuluh darah yang berhubungan langsung antara wajah, rongga hidung, sinus dan orbita. Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita (Casiano, 1999; Fokkens, 2007).

Kelainan intrakranial terdiri: 1) meningitis akut;salah satu komplikasi sinusitis yang terberat; infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau berlangsung dari sinus yang berdekatan, sepeti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara etmoidalis; 2) abses dura; kumpulan pus diantara dura dan tabula internakranium dan sering mengikuti sinusitis frontalis. Durasinya agak lama, dimana pasien hanya mengeluh nyeri kepala kerana pus yang berkumpul memberikan tekanan intracranial; 3) abses subdural; kumpulan pus diantara duramater dan araknoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul ialah nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak akan timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses pecah ke dalam ruang subaraknoid; dan 4) abses otak; sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam


(44)

otak. Namun, abses otak biasanya karena tromboflebitis yang meluas secara langsung. Lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan archnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri (Casiano, 1999; Fokkens, 2007).

Kelainan tulang yang tersering ialah osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sengat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan mengigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan, Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tualng dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh (Rosenfeld, 2007).

Mukokel ialah suatu kista yang mengandungi mukus yang timbul dalam sinus., paling sering ditemui di sinus maksilaris. Kista ini disebut kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, etoidalis, sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan malalaui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini bermanifestsi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestera nasalis dan mengeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).

Piokel merupakan mukokel terinfeksi. Gejala piokel sama dengan mukokel tetapi lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliteras sinus (Brook, 2012).

Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasalis disertai dengan kelainan paru yang disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Mangunkusumo, 2010).


(45)

43

Dalam penelitian ini, yang diamati adalah angka kejadian rinosinusitis, jumlah pasien yang dirujuk untuk pemeriksaan tomografi komputer, umur, jenis kelamin, lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sinus yang terinfeksi, dan komplikasi yang timbul akibat dari rinosinusitis. Kerangka konsep mengenai karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis:

Gambar 3.1: Kerangka konsep karekteristik gambaran tomografi komputersinus paranasalis pada pasien rinosinusitis.

Rinosinusitis

Data klinis Data radiologis

- umur pasien - jenis kelamin

- lokasi sinus - Jumlah sisi sinus - Komplikasi


(46)

3.2 Variabel penelitian 3.2.1 Variabel independen

Pasien yang didiagnosa rinosinusitis dan dirujuk untuk pemeriksaan tomografi komputer.

3.2.2 Variabel dependen

Data rekam medis pasien rinosinusitis yaitu jumlah pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk tomografi komputer sinus paranasalis, umur, jenis kelamin, lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sisi sinus yang terinfeksi, dan komplikasi. 3.3 Definisi operasional

Penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan rekam

medis (alat ukur) pasien. Hasil penelitian setiap rumusan masalah (hasil ukur) dalam penelitian ini dikategorikan dan akan dibahaskan dan

dibandingkan dalam bentuk persentase. Penelitian dilakukan untuk mengambarkan karesteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012. Peneliti akan mengelompokan data yang diperoleh dari rekam medis kepada data klinis dan data radiologis. Data klinis terdiri daripada jumlah pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk tomografi komputer sinus paranasalis, umur pasien dan jenis kelamin pasien. Data radiologis terbagi kepada lokasi sinus yang terinfeksi, jumlah sisi sinus yang terinfeksi, faktor predisposisi dan komplikasi rinosinusitis.

3.3.1Umur pasien

Umur pasien adalah jumlah tahun hidup, yaitu sejak lahir sampai didiagnosis menderita rinosinusitis yang dinyatakan dalam satuan tahun. Umur dikelompokkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prasetyo (2013): 1) 0 – 15 tahun; 2) 16 – 30 tahun; 3) 31 – 45 tahun; 4) 46 – 60 tahun; 5) > 60 tahun.

- Cara ukur : membaca rekam medis - Alat ukur : rekam medis


(47)

- Hasil ukur : Umur pasien dalam penelitian ini dikategorikanmenjadi:

1) 0 – 15 tahun 2) 16 – 30 tahun 3) 31 – 45 tahun 4) 46 – 60 tahun 5) > 60 tahun - Skala ukur : ordinal

3.3.2 Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan dua makluk sebagai laki-laki dan perempuan. Penilaian karekteristik ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu laki- laki dan perempuan.

- Cara ukur : membaca rekammedis - Alat ukur : rekam medis

-Hasil ukur : Jenis kelamin dalam penelitian ini dikategorikan menjadi:

1. Laki-laki 2. Perempuan - Skala ukur : nominal

3.3.3 Lokasi sinus yang terinfeksi

Lokasi sinus yang terlibat adalah rongga sinus yang mengalami kelainan pada pasein rinosinusitis. Anatomi sinus maksilaris menyebabkan ia mudah terinfeksi. Dasar sinus maksilaris terletak lebih rendah dari ostium sehingga ia bergantung penuh kepada pergerakan silia untuk mengeluarkan kuman dan benda asing. Selain itu, prosesus alveolaris adalah dasar sinus maksilaris, dimana ia menempatkan akar gigi premolar dan molar atas, sehingga infeksi akar gigi dapat

mengakibatkan bakteri sebar melalui pembuluh darah (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis dan sfenoidalis bermuara


(48)

Gangguan drainase dan ventilasi pada sinus ini akan mengakibatkan rinosinusitis. Penilaian karakteristik dikelompokan seperti dibawah bagi mengetahui total sinus yang terinfeksi kerana seorang pasien rinosinusitis bisa terinfeksi satu sinus paranasalis (single rinosinsusitis), terinfeksi dua atau lebih, sinus paranasalis (multirinosinusitis) atau terinfeksi seluruh sinus paranasalis (pansinusitis) (Rosenfeld, 2007).

Pembagian lokasi sinus adalah berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Dalimunthe (2012), yaitu sinusitis maksilaris; sinusitis etmoidalis; sinusitis sfenoidalis; sinusitis frontalis; sinusitis maksilaris serta etmoidalis; sinusitis maksilaris serta sfenoidalis; sinusitis maksilaris serta frontalis; sinusitis etmoidalis serta sfenoidalis; sinusitis etoidalis serta frontalis; sinusitis sfenoidalis dan frontalis; sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis; sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan frontalis; sinusitis etmoidalsi serta sfenoidalis dan frontalis; dan sinusitis maksilaris serta etmoidalis, sfenoidalis dan frontalis.

- Cara ukur : membaca rekam medis

- Alat ukur : hasil tomografi komputer scan SPN

- Hasil ukur : Lokasi sinus dalam penelitian ini dikategori menjadi: 1. sinusitis maksilaris

2. sinusitis etmoidalis 3. sinusitis sfenoidalis 4. sinusitis frontalis

5. sinusitis maksilaris serta etmoidalis 6. sinusitis maksilaris serta sfenoidalis 7. sinusitis maksilaris serta frontalis 8. sinusitis etmoidalis serta sfenoidalis 9. sinusitis etoidalis serta frontalis 10. sinusitis sfenoidalis dan frontalis

11. sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan sfenoidalis 12. sinusitis maksilaris serta etmoidalis dan frontalis 13. sinusitis etmoidalsi serta sfenoidalis dan frontalis


(49)

- Skala ukur : norminal

3.3.4 Jumlah sisi sinus yang terinfeksi

Jumlah sisi sinus yang terlibat adalah jumlah rongga sinus yang mengalami kelainan pada pasein rinosinusitis. Penilaian dikelompokan menjadi

- Unilateral – jika ditemukan keterlibatan satu sisi sinus paranasalis

- Bilateral – jika diketemukan keterlibatan pada kedua sisi sinus paranasalis (Mangunkusomo, 2007).

- Cara ukur : membaca rekam medis - Alat ukur : rekam medis

- Hasil ukur : Jumlah sisi sinus yang terinfeksi dikategorikan menjadi : 1. unilateral

2. bilateal - Skala ukur : norminal

3.3.5 Komplikasi

Penyakit lain yang bisa timbul yang diakibatkan oleh rinosinusitis. Antaranya ialah kelainan pada orbita, kelainan intrakranial, kelainan tulang, mukokel, piokel,dan kelainan paru (Rosenfeld, 2007).

- Cara ukur : membaca rekam medis - Alat ukur : rekam medis

- Hasil ukur : Komplikasi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi: 1. kelainan pada orbita

2. kelainan intrakranial

3. kelainan tulang

4. mukokel

5. piokel

6. kelainan paru


(50)

48

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional untuk melihat karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Besarnya sampel pada penelitian ini adalah semua pasien rinosinusitis yang telah melakukan pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis di RSUP Haji Adam Malik (total sampling).

4.2 Waktu dan tempat penelitian 4.2.1 Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan juga merupakan rumah sakit rujukan yang memiliki data rekam medis yang baik.

Penelitian ini telah dilakukan di Departemen THT RSUP Haji Adam Malik, dan Departemen Radiologi RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini bermula dari bulan Maret 2014 hingga Desember 2014 yaitu dimulai dengan persiapan proposal, pembacaan presentasi proposal, pengambilan dan pengolahan data sehingga pembacaan penelitian. Data diambil dari rekam medis pasien rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik dari Januari 2012 hingga Desember 2012.

4.3 Populasi, sampel dan teknik sampling 4.3.1 Populasi Penelitian

Penelitian ini adalah seluruh data pasien rinosinusitis yang datang ke Departemen THT, RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Populasi target


(51)

adalah rekam medis pasien rinosinusitis yang telah dirujuk ke Departemen Radiologi, RSUP Haji Adam Malik untuk pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah penderita rinosinusitis yang dilakukan tomografi komputer sinus paranasalis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Pengambilan sampel adalah berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria inklusi penelitian ini ialah pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini ialah pasien dengan riwayat trauma, tumor, kista retensi dan kanker.

4.3.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi (Sugiyono, 2007).

4.4 Teknik pengumpulan data

Proses pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari Institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kemudian, data pasien diambil dari rekam medis di mana data yang digunakan adalah data pasien rinosinusitis yang dirujuk untuk pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis pada tahun 2012 di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

4.5 Metode pengolahan dan analisa data

Pengolahan dilakukan dengan cara menganalisa data pasien yang telah diambil dari rekam medis di RSUP Haji Adam Malik. Analisa data ini akan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer Windows SPSS ( Statistical Package for Social Science).


(1)

Lampiran 5

“ KAREKTERISTIK GAMBARAN TOMOGRAFI KOMPUTER SINUS

PARANASALIS PADA PASIEN RINOSINUSITIS DI RSUP HAJI ADAM

MALIK PADA TAHUN 2012”.

DATA PASIEN PENELITIAN

N O

MEDI

S UMUR

KELAMI

N SINUS TERINFEKSI SISI

KOMPLIKA SI 1 49895 3 16-30

tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 2 43091 6 31-45tahun perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 3 50050 4 0-15

tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 4 14406 5 31-45tahun perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 5 23845

5 >60tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 6 49936 0

31-45tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 7 45241 7 46-60

tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 8 50125 4 16-30 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis+sfenoidalis

bilatera l tiada komplikasi 9 50228 1

31-45tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 10 50482 1

31-45tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 11 50272 1 31-45tahun perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 12 47603

2 >60tahun laki-laki Maksilaris

unilater al

tiada komplikasi 13 27977

46-60 tahun

perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 14 53012

1 >60tahun

perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 15 53064

6 >60tahun laki-laki Maksilaris

unilater al kelainan tulang 16 21085 2 46-60 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 17 52532 8 16-30

tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 18 53465 9 0-15 tahun perempua n maksilaris+ etmoidalis+sfenoidalis+frontalis bilatera l tiada komplikasi 19 53490 7 16-30

tahun laki-laki Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 20 52977 6 31-45tahun perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 21 53444 6 0-15 tahun perempua

n Maksilaris

unilater al tiada komplikasi 22 53103

3 >60tahun

perempua n maksilaris+ etmoidalis+sfenoidalis+frontalis bilatera l tiada komplikasi 23 53502

3 >60tahun laki-laki maksilaris

unilater al

tiada komplikasi


(2)

24 85580

16-30 tahun

perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 25 27879 1 46-60 tahun perempua

n frontalis

bilatera l tiada komplikasi 26 47550 9 31-45tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 27 43489 3 0-15 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 28 49589 5 46-60 tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 29 37200 9 46-60

tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 30 54191 6 16-30 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 31 54179 4 16-30 tahun perempua

n maksilaris

unilater

al Mukokel 32

42866 4

46-60

tahun laki-laki maksilaris+etmoidalis+frontalis

bilatera l tiada komplikasi 33 50742 4 46-60

tahun laki-laki sfenoidalis

unilater al tiada komplikasi 34 50798 9

31-45tahun laki-laki maksilaris+frontalis

bilatera l tiada komplikasi 35 50869 1

31-45tahun laki-laki etmoidalis+ sfenoidalis

bilatera

l Mukokel 36

13454 1

31-45tahun laki-laki maksilaris

unilater al tiada komplikasi 37 36171 1 31-45tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 38 51024 1 31-45tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 39 51045 0 16-30 tahun perempua

n maksilaris+sfenoidalis

bilatera l tiada komplikasi 40 50916 1 16-30 tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 41 50971 4 16-30 tahun perempua

n maksilaris+frontalis

bilatera l tiada komplikasi 42 51008 3 46-60 tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 43 50510 0 16-30

tahun laki-laki maksilaris

unilater al tiada komplikasi 44 49343 1 16-30

tahun laki-laki maksilaris

unilater al tiada komplikasi 45 46254 3 31-45tahun perempua

n maksilaris

unilater al tiada komplikasi 46 51101 5 31-45tahun perempua

n maksilaris+etmoidalis+frontalis

bilatera l tiada komplikasi 47 50458 3

31-45tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 48 51272 6 0-15 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 49 51306 6

31-45tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis+sfenoidalis

bilatera l tiada komplikasi 50 47820

4 >60tahun

perempua n maksilaris+ etmoidalis+sfenoidalis+frontalis unilater al tiada komplikasi 51 51439 0 16-30

tahun laki-laki etmoidalis+ sfenoidalis

bilatera l tiada komplikasi 52 33373 0 46-60 tahun perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l tiada komplikasi 53 41894 3 46-60

tahun laki-laki maksilaris+frontalis

bilatera l

tiada komplikasi


(3)

54

51717 1

31-45tahun

perempua

n maksilaris+ etmoidalis

bilatera l

tiada komplikasi 55

31558

5 >60tahun

perempua

n maksilaris

unilater al

tiada komplikasi 56

51854 3

16-30

tahun laki-laki

maksilaris+

etmoidalis+sfenoidalis+frontalis

bilatera l

tiada komplikasi 57

36887 1

46-60 tahun

perempua

n etmoidalis

unilater al

tiada komplikasi 58

31433

4 >60tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

bilatera l

tiada komplikasi 59

51927 4

31-45tahun

perempua n

maksilaris+

etmoidalis+sfenoidalis+frontalis

bilatera l

tiada komplikasi 60

51780 9

31-45tahun laki-laki

maksilaris+

etmoidalis+sfenoidalis+frontalis

bilatera l

tiada komplikasi 61

52304 2

16-30 tahun

perempua

n etmoidalis+ sfenoidalis

bilatera

l Mukokel 62 88309 >60tahun laki-laki maksilaris

bilatera l

tiada komplikasi 63

52147

7 >60tahun laki-laki maksilaris

unilater al

tiada komplikasi 64

30651 9

31-45tahun

perempua n

maksilaris+

etmoidalis+sfenoidalis+frontalis

bilatera l

tiada komplikasi 65

52385 9

16-30 tahun

perempua

n etmoidalis

unilater al

tiada komplikasi 66

25282 0

46-60

tahun laki-laki maksilaris+ etmoidalis

unilater al

tiada komplikasi 67

51211 0

46-60

tahun laki-laki maksilaris

unilater


(4)

Data SPSS

Karekteristik gambaran tomografi komputer sinus paranasalis pada pasien

rinosinusitis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

umur pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 5 7.5 7.5 7.5

2 16 23.9 23.9 31.3

3 21 31.3 31.3 62.7

4 14 20.9 20.9 83.6

5 11 16.4 16.4 100.0

Total 67 100.0 100.0

kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 31 46.3 46.3 46.3

2 36 53.7 53.7 100.0

Total 67 100.0 100.0

jumlah sisi sinusyang terinfeksi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 36 53.7 53.7 53.7

2 31 46.3 46.3 100.0


(5)

lokasi sinus yang terinfeksi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 32 47.8 47.8 47.8

11 2 3.0 3.0 50.7

12 2 3.0 3.0 53.7

15 7 10.4 10.4 64.2

2 2 3.0 3.0 67.2

3 1 1.5 1.5 68.7

4 1 1.5 1.5 70.1

5 13 19.4 19.4 89.6

6 1 1.5 1.5 91.0

7 3 4.5 4.5 95.5

8 3 4.5 4.5 100.0

Total 67 100.0 100.0

komplikasi rinosinusitis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 3 1 1.5 1.5 1.5

4 4 6.0 6.0 7.5

7 62 92.5 92.5 100.0


(6)