BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk

  sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

  Harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena

  1 sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

  Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintah bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan milik negara sedangkan langkah-langkah pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai sekarang. Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroninya. Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang

  2 disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan-perusahaan milik negara.

  Pemberantasan korupsi bukanlah perkara mudah yang di atasi, karena sistem penyelenggara pemerintah yang mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan dengan menipiskan pertanggungjawaban publik dan mengedepankan pertanggungjawaban primodialisme yang menggunakan sistem rekruitmen atas dasar koncoisme yang didasarkan pada kesamaan etnis. Korupsi disektor swasta pun sudah sama parahnya dengan korupsi disektor publik, mana kala aktivitas bisnisnya terkait atau berhubungan dengan sektor publik, misalnya sektor perpajakan, perbankan dan pelayanan publik. Penyusunan dari Undang-Undang Pidana Korupsi (UU PTPK) telah mempertimbangkan setiap faktor yang dapat melemahkan sistem peradilan pidana dalam memberantas korupsi yang telah melembaga baik dalam sektor publik maupun swasta. Secara operasional agar

                                                               1 Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005), halaman 2 2 Romli Atmasasmita, Sektor Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional, (CV.

  Mandar Maju : Bandung, 2004), halaman 1

  Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTK) untuk mencapai tujuannya maka keberadaan sebuah lembaga sangat diperlukan dalam pemberantasannya disamping instansi kepolisian dan kejaksaan diharapkan keberadaan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara proaktif dapat meningkatkan kinerja instansi-instansi tersebut dengan inisiatifnya melaksanakan tugas penidikan dan penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, baik di instansi publik yang ada dilembaga eksekutif, legislatif, yudikatf

  3 maupun BUMN.

  Secara etimologis atau menurut bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin

  

corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah

corrumpere. Dari bahasa latin turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di eropa,

  seperti inggris ; corruptio,corrupt, Perancis : corruption, dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.

  Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,

  4

  dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Secara sosiologis, korupsi merupakan perbuatan desosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain.

                                                               3 4 Ibid, halaman 2.

  Andi hamzah (I), Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, (Gramedia Pustaka Utama: Jakata, 1991), halaman 7.

  Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada

  5

  disiplin ilmu yang dipergunakan. Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara definitif diatur dalam undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi juga menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, bahkan telah kronis seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya.

  Tingginya angka korupsi di Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir diseluruh lapisan institusi negara ini. Tingkat korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan hingga

  6 korupsi besar-besaran yang jumlahnya dapat mencapai angka triliyunan rupiah.

  Mochammad Jasin mengemukakan lima hal penyebab utama korupsi di Indonesia, di antaranya : Rendahnya integritas dan profesionalisme.

2. Lemahnya komitmen dan konstitensi penegakan hukum dan peraturan perundangan.

                                                               5 Suyatno, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 2005), halaman 6. 6 Tjandra sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Indonesia Lawyer Club : Surabaya, 2010), halaman 9.

  3. Adanya peluang di lingkungan kerja tugas jabatan dan lingungan masyarakat yang mendukung timbulnya korupsi.

  4. Sikap yang tamak, lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu;

  7 5.

  Sistem penggajian yang tidak profesional.

  Dalam praktek tindak pidana tertentu yang sering terjadi di lingkungan usahaperbankan adalah ttindak pidana korupsi, sedangkan tindak pidana ekonomi belum ada yang diterapkan selama ini, meskipun secara umum tindak pidana perbannkan dapat dikatagorikan economic crime. Pada kasus PT. Bank Negara Indonesia (persero) atau yang biasa lebih dikenal dengan BNI 46, seorang pemimpin yang mempunyai wewenang dalam mengatur pemberian kredit kepada para calon debitur menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan dana kredit kepada direktur PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan memanipulasi surat-surat yang ada untuk proses mengajukan kredit dan menggunakan berbagai cara agar dana kredit tersebut bisa keluar atau dicairkan. Kredit tersebut diajukan oleh PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan maksud untuk membeli lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT. Atakana Company. Akan tetapi pada saat PT. Bahari Dwikencana Lestari mengajukan kredit ke BNI belum berdasarkan perjanjian akan jual beli itulah PT. Bahari Dwikenca Lestari meminjam kredit kepada bank BNI dan dikabulkan oleh bank BNI tersebut.

  Berdasarkan hal tersebut tampak telah terjadi manipulasi sehingga dana kredit tersebut cair. Dalam kerangka perbuatan korupsi pidana, harus ada

                                                               7 Mochhamad Jasin, Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi dan MOU Antara KPK Dengan BI, 2007, tanpa halaman.

  kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan terlebih dahulu, di samping unsur lain, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggoran-kelonggoran masyarakat.

  B. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbakan

  2. Bagaimana analisa hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan (studi putusan nomor: 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.)

  C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui sejauh manakah peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi penyal oleh pejabat perbankan di Indonesia berlaku.

2. Untuk mengetahui bagaimana hukum yang diterapkan dalam putusan nomor: 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.

  Adapun yang menjadi kegunaan penulisan ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia 2. Manfaat Praktis

  Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan oleh pengambilan kebijakan dan para pelaksana hukum dalam bidang korupsi di perbankan, dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana.

D. Tinjauan Keputaskaan 1.

  Pengertian tindak pidana.

  Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. Tata perbuatan mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, tetapi hukum adalah seperangkat peraturan yang kita pahami dalam satu kesatuan yang sistematik. Pernyataan bahwa hukum adalah tata perbuatan manusia, tidak berarti tata hukum hanya berkenaan dengan manusia saja, bahwa tidak ada hal lain kecuali perbuatan manusia yang membentuk isi peraturan hukum. Masyarakat Indonesia pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum yaitu :

  1.

  2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan.

  3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan.

  4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis).

  5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat.

  6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa.

  7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintah.

  8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik.

  9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai.

  8 10.

  Hukum diartikan sebagai seni.

  Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, selanjutnya M. Solly Lubis menyatakan bahwa melalui pendekatan kultur, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin

  9 menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum nasional.

  Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku (ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang

  10 memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.

  Selama ini orang memandang hukum itu identik dengan peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu unsur dari keseluruhan sistem hukum. Sistem adalah keseluruhan bangunan hukum yang didukung oleh sejumlah asas. Asas-asas tersebut bertingkat-tingkat mulai dari grundorm yaitu pancasila sebagai asas filosofis kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai asas konstitusional, dan akhirnya Undang-Undang sebagai asas

  11

  operasional. Berbicara tentang sistem hukum, maka sistem hukum itu terdiri dari

  12                                                              8 Soerjono soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, (PT. Raja grafindo Persada : Jakarta, 1985), halaman 33. 9 M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Mandar Maju : Bandung), halaman 49. 10 Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (PT. Remaja rosdakarya : Bandung, 1993), halaman 94. 11 Bismar Nasution, dkk, Perilaku Hukum Dan Moral Di Indonesia, (USU Pers : Medan, 2004), halaman 29. 12 Sunarti Hartono, Upaya Meyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, (Seminar pembangunan hukum nasional VIII : BPHN Departemen kehakiman dan ham RI, 2003), halaman 227.

  1. Asas-asas hukum.

  2. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : a.

  Undang-undang b.

  Peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang c. Yurisprudensi tetap (case law) d.

  Hukum kebiasaan.

  e.

  Konvensi-konvensi internasional.

  f.

  Asas-asas hukum internasional.

  3. Sumber Daya Manusia yang profesional, bertanggunghawab dan sadar hukum.

  4. Pranata-pranata hukum (petunjuk-petunjuk hukum) seperti contoh dilarang berhenti dilampu merah, yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat hukum.

  5. Lembaga-lembaga hukum ( legislatif,eksekutif,yudikatif), termasuk : a.

  Struktur organisasinya.

  b.

  Kewenangannya.

  c.

  Prsoes dan prosedur.

  d.

  Mekanis kerja.

  6. Sarana dan prasarana hukum, seperti: a.

  Furnitur dan lain-lain alat perkantoraan, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran.

  b.

  Senjata dan lain-lain peralatan terutama untuk polisi.

  c.

  Kendaraan.

  d.

  Gaji.

  e.

  Kesejahteraan pegawai/karyawan.

  f.

  Anggaran pembangunan dan lain-lain.

  7. Budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif,legislatif, maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah, melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

  Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum

  13

  mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya . Yang

  14

  menjadi masalah pokok dalam hukum pidana adalah : 1.

  Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi).

  2. Pertanggung jawaban pidana (kesalahan).

  3. Sanksi yang diancam, baik pidana maupun tindakan.

  Adapun yang menjadi unsur tindak pidana dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, temasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam

  15

  hatinya. Unsur subjektif dari tindak pidana meliputi: 1.

  Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).

  2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP).

  3. Macam-macam maksud atau oogmer seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian.

  4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam pasal 340 KUHP.

  Sedangkan unsur objektifnya adalah unsur-unsur yang ada hubungannya

  16

  dari si pelaku itu harus dilakukan unsur objektif dari tindak pidana meliputi :

                                                               13 Martin Prodjohamidjojo, Memaham Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT Pradnya Paramita), halaman 5. 14 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), halaman 50. 15 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: Universitass Muhammadiyah Malang,2004), halaman 33. 16 D. Schafmeister, N. Kijzer, E.PH. Sitorus, Hukum Pidana, (Yogyakarta : Libert, 1995), halaman 27.

  1. Sifat melanggar (melawan hukum).

  2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP.

  3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

  2. Pengertian Perbankan.

  Definisi atau batasan mengenai bank pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain, kalaupun ada perbedaan hanya akan tampak pada tugas dan jenis usaha bank tersebut. Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, “bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, mana pun dengan

  17

  jalan memperedarkan alat-alat penukar dan tempat giral.” Menurut A. Abdurahman (2001) dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan

  dan Pedagangan , “bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan

  berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjama, mengedarkan mata uang, benda berhaga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain”. Menurut Undang-Undang Nomo 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang Pokok-pokok Perbankan, “bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Pendapat lain 17                                                              Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank Dan Lembaga Keuangan, (PT. Raja Grafindo

  Persada, Jakarta, 2013), halaman 2 mengemukakan “bank sebagai suatu badan yang tugas utamanya; menghimpun uang dan sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit kepada pihak ketiga pada waktu tertentu.”

  Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pengertian bank diatur pada Pasal 1 angka (1) bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

  Sedangkan pengertian bank menurut perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

  Kalau dilihat dari fungsinya, maka definisi bank dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun uang dari pihak ketiga melaksanakan operasi perkreditan secara akti.f 3. Bank dilihat sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber yang berasal dari modal sendiri, simpanan/tabungan masyarakat maupun melalui penciptaan uang bank.

  Berdasarkan pengertian tersebut, bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan dan bank merupakan suatu pranata sosial yang bersifat finansial, yang melaksanakan jasa-jasa keuangan. Berdasarkan kasus yang di bahas dalam Kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan tidak lepas juga dari penyalahgunaan wewenang pejabat perbankan dalam mengeluarkan suatu kredit (pinjaman). Pengertian pinjaman (kredit) menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjaman melunasi uangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan

  18 atau pembagian hasil keuntungan.

  Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa pinjaman atau kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan antar bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam jangka waktu serta bunga yang telah ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Pemberian kredit tanpa di analisis terlebih dahulu sangat membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif sehingga

                                                               18 Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, loc.cit, halaman 163.

  kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan. Akibatnya jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit untuk ditagih alias macet.

19 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas

  kredit adalah sebagai berikut: 1.

  Kepercayaan.

  Yaitu suatu keyakinan pemberian kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa czuang, barang, atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa yang akan datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara intern maupun ekstern.

  2. Kesepakatan.

  Kesepakatan ini meliputi kesepakatan antar si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatn ini dituangkan dalam sebuah perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya.

  3. Janga waktu.

  Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.

  4. Risiko.

  Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu kondisi tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja. Misalnya bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.

  5. Balas jasa.

  Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau fase tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank.

  20 Pejabat perbankan yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan

  kredit haruslah mengikuti semua unsur di atas. Apabila unsur itu tidak dipenuhi maka pejabat perbankan itu telah menyahlahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan kredit tanpa memikirkan unsur yang harus dipenuhi. Dan apabila

                                                               19 Ibid, halaman 164. 20 Ibid, halaman 166. hal tersebut menimbulkan kerugian negara maka pejabat perbankan tersebut dapat di jatuhi Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang

  lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau didenda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milliar rupiah).

  Jelas di dalam pasal tersebut dikatakan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat di kenakan sanksi pidana begitu juga seorang pejabat perbankan yang menyalagunakan wewenangnya hingga menimbulkan perbuatan tindak pidana korupsi.

3. Pengertian tindak pidana korupsi.

  Menganalisis Undang-Undang Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

  Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

  b.

  Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewnangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang daoat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

  c.

  Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, atau

  pasal 435 KUHP, serta pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 d.

  Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang- Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14) e. Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15) f.

  Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana

  21 korupsi (Pasal 16).

  Pengertian melawan hukum di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) “... secara melawan hukum, dalam pengertian formil

  

dan materil. Dengan perumusan terebut, pengertian melawan hukum tindak

pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut

perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.”

  Menurut Simon yang dimaksud dengan wederrechtelijk (melawan hukum) tidak bertentang dengan hukum pada umumnya, jadi tidak hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, akan tetapi juga bertentangan dengan hukum

  22

  yang tidak tertulis. Sejalan dengan pendapat Simon, Bambang Poernomo menyatakan suatu perbuatan itu dapat dikatakan melawan hukum, bila memenuhi dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum formil ( formele wederrechtelijkheid) dan alasan pertimbangan pembuat undang-undang mencamtumkan unsur melawan hukum dalam pengertian formil maupun materil di dalam Undang-Undang Nomor

                                                               21 Edi Yunara, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korporasi, PT Citra aditya bakti, Bandung, 2005, Halaman 36-37 22 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Balai Lektur Mahasiswa : tanpa tahun), halaman 349.

  31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, yaitu : Pertama : Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary

  crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang

  luar biasa Kedua : Dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi

  Ketiga : Dalam upaya merespon perkembangan keutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan didalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan

  23 rumit.

  Jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai

  24

  berikut: 1.

  Perbuatan yang merugikan Negara.

  2. Suap-menyuap.

  3. Penyalahgunaan jabatan.

  4. Pemerasan.

  5. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan.

  Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan.

  7. Korupsi yang berhubungan dengan grafikasi (hadiah).

  Menurut Romli Atmasasmita kriteria korupsi yang utama menurut Undang- Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah adanya unsur kerugian bagi negara, tetapi

                                                               23 24 Ibid.

  

Dr. Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) , Jakarta : Sinar Grafika, 2010), halaman 53. pada kenyataannya unsur kerugian bagi negara itu sulit pembuktiannya karena deliknya delik maeriel. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian tetap ada kemudian rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktutikan adanya kerugian atau tidak bagi negara. Kriteria berikutnya adalah adanya keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain atau suatu badan karena adanya wewenang atau kesempatan. Kriteria ini sudah diperluas karena ada istilah karena jabatan, kedudukan, dan seterusnya, termasuk juga suap- menyuap, baik antara bukan pegawai negeri maupun pegawai negeri. Begitu juga dengan pemberian hadiah dan janji pada undang-undang yang baru, kriterianya

  25 sudah diperluas.

  Dalam Pasal 27 UU PTPK dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang: a.

  Bersifat lintas sektoral; b.

  Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau c. Dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

                                                               25 Edi yunara,ibid, Halaman 39

E. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian

  Penelitian mengenai Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif meliputi :

  1. Penelitian terhadap sistematik hukum.

  2. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

  3. Penelitian hukum in concreto Penelitian hukum normatif ini bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum mengenai kapan seseorang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan yang mengakibatkan timbulnya korupsi serta mengenai tindak pidana dan menguji apakah suatu postulat nomatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto dan sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai korupsi ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

  2. Sumber Data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.

  Data sekunder yang diteliti terdiri atas: 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa: a.

  Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan korupsi dan Perbankan. b.

  Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti KUPidana.

  2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa: a.

  Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dalam tindak pidana korupsi serta Perbankan.

  b.

  Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejahatan korupsi yang dilakukan di perusahaan BUMN.

  3. Alat Pengumpul Data

  Alat pengumpul data yang dipergunakan di dalam penelitian ini antar lain: a. Dokumen atau bahan pustaka

  Bahan pustaka dimaksud terdiri atas bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangn yang berkaitan dengan korupsi, perbankan, keuangan negara, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Bahan hukum sekunder berupa karya para ahli termasuk hasil penelitian.

  b.

  Studi Putusan sehingga dapat menemukan data-data yang dapat diambil dan di jadikan dasar untuk menulis penelitian ini.

  4. Analisis Data

  Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

  26 dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

  Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan sebagai data primer, selanjutnya akan dianalisa

  27 dengan pendekatan kualitatif.

  Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berpikir yang bersifat Deduktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus menjadi yang bersifat umum. Dengan metode deduktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan.

F. Keaslian Penulisan

  Tulisan yang berjudul Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan merupakan hasil dari penilitian penulis yang dilakukan di perpustakaan. Dan didalam hasil penilitian itu belum ada mahasiswa yang menulis tentang judul ini. Karena mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran penulis. Baik dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang

                                                               26 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 103. 27 Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10. sama dengan skripsi ini, sebelum ini dibuat, maka saya bertanggungjawab sepenuhnya.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan ini terdiri dari : a.

  Bab I menceritakan tentang gambaran-gambaran tentang masalah korupsi serta adanya tanggapan penulisan tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam dunia perbankan b.

  Bab II menceritakan tentang peraturan-peraturan apa yang berlaku dalam tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan c.

  Bab III menceritakan tentang analisis hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan berdasarkan putusan nomor : 79. Pid. Sus. K / 2012/ PN. MDN.

  d.

  Bab IV terdapat adanya kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan dan rekomendasi yang akan diberikan dalam penyalahgunaan wewenang oleh pejabat perbankan yang menimbulkan korupsi

Dokumen yang terkait

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

1 55 94

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Syarat Pemberian Remisi kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

0 0 29