BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam masyarakat Indonesia. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana tidak hanya di

  lembaga legislatif, yudikatif maupun eksekutif, namun korupsi dapat terjadi pada semua sisi kehidupan dan aktivitas masyarakat. Korupsi telah menjadi ciri penyelenggaraan birokrasi dan bisnis nasional. Korupsi bukanlah semata-mata atau bahkan terutama masalah yang dihadapi oleh negara-negara berkembang saja.

  Kejadian-kejadian di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan secara jelas bahwa tidak pada tempatnya negara-negara industri menggurui negara-negara sedang berkembang mengenai korupsi. Seperti halnya masalah korupsi di Italia, demokrasi

   dan pasar bebas bukanlah satu-satunya alat penangkal korupsi.

  Gunar Myrdal menyebut korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak wajar yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak wajar, serta kegiatan lainnya seperti penyokongan. Sementara Myrdal tampaknya menggunakan istilah korupsi dalam arti yang luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme. Sedangkan

   Edelhers lebih senang menggunakan istilah white collar crime untuk perbuatan 1 Jeremi Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 1. 2 White collar crime adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan ilegal yang dilakukan

secara non fisik dan dengan sembunyi-sembunyi atau tipu muslihat, untuk mendapatkan uang atau korupsi ini, sedangkan menurut Hamzah menyebutkan pengertian korupsi di Malaysia disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai peraturan anti

   kekuasaan.

  Hamzah menyebutkan pengertian korupsi secara harfiah (literal/ mendasar) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas pengertiannya. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragam pula. Pendekatan sosiologis seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau terhadap hal yang sama dilakukan pendekatan normatif, politik ataupun

   ekonomi.

  Undang-undang tindak pidana korupsi mensyaratkan untuk adanya tindak pidana korupsi haruslah terjadi kerugian negara. Kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

  Menurut Djoko Sumaryanto, kerugian negara dalam hal ini bukanlah kerugian negara dalam pengertian di dunia perusahaan/ perniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam kaitan ini faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian negara adalah penerapan kebijakan yang tidak benar, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.

  

barang, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang atau barang, atau untuk mendapatkan

keuntungan bagi perusahaan maupun bagi diri sendiri. 3 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 11. 4 Ibid hal. 10

  Sebenarnya pengelolaan keuangan negara melupakan identitasnya pada saat diserahi tugas untuk mengurus keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian.

  Kerugian keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik disengaja

   maupun kelalaian.

  Ketika faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara tersebut dikaji dalam aspek hukum, kerugian negara berada dalam rana hukum publik, seperti hukum keuangan negara dan hukum pidana. Kedua jenis hukum ini memiliki substansi yang berbeda tetapi tetap pada tujuan yang sama berupa menempatkan keuangan negara dalam kedudukan normal. Hal ini didasarkan bahwa keuangan negara merupakan daya dukung dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksudkan dalam alenia keempat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

  Kerugian negara dan tuntutan ganti kerugian merupakan substansi dalam hukum keuangan negara yang melibatkan pihak pengelola keuangan negara dengan pihak berwenang melakukan tuntutan ganti kerugian. Ketika salah satu pihak tidak dapat melaksanakan fungsinya, berarti terdapat kendala terhadap penegakan hukum keuangan negara. Kendala itu harus dikesampingkan sehingga tujuan negara yang

5 Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara , (Jakarta: Prestasi Belajar Publisher, 2009), hal.

  29. hendak dicapai dapat memperoleh pembiayaan sebagaimana yang diamanatkan

   dalam anggaran negara.

  Modus operandi korupsi yasng bersifat individual sudah mulai tertinggal,

  dimensi baru kejahatan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pejabat publik, dikenal dengan korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan, yaitu selalu berkaitan dengan masalah kebijakan. Di satu sisi kebijakan yang ada, dimanfaatkan untuk melakukan korupsi. Di sisi lain ada keterbatasan pemahaman dari sebagian aparat penegak hukum terhadap makna “penyalahgunaan wewenang” dalam ranah Hukum Administrasi Negara yang dipersamakan dengan unsur “melawan hukum” dalam ranah hukum pidana

  Terkaitnya hukum pidana dalam masalah kerugian negara karena perbuatan itu dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara atau bahkan perekonomian negara. Hal ini didasarkan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian perekonomian negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di lain pihak, sebenarnya hukum perdata tidak menjangkau mengenai kerugian negara dan penyelesaiannya walaupun terdapat prosedur tuntutan ganti kerugian negara dan penyelesaiannya, maupun penjatuhan sanksi berupa ganti kerugian. Ketidakterjangkauan hukum perdata disebabkan substansi hukum yang terkandung di 6 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 110. dalamnya hanya bersifat keperdataan, yakni mengatur hubungan hukum antara

   seseorang dengan orang lain saja.

  Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein sangat terkait dengan berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan

  

  utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Ketika negara mengalami kerugian karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian berdasarkan hukum keuangan negara. Prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai akibat kerugian negara tanpa melalui peradilan. Pada hakikatnya, pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan lebih difokuskan kepada aspek administrasi tetapi tetap berada dalam koridor hukum keuangan negara.

  Sebenarnya pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan melalui peradilan. Hal ini didasarkan bahwa pengembalian kerugian negara tanpa melalui peradilan sangat mudah penyelesaiannya karena tidak menggunakan prosedur yang berbelit-belit. Disamping itu, waktu yang dibutuhkan sangat singkat karena tidak dikenal upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali berbeda dengan prosedur melalui peradilan yang membutuhkan waktu yang cukup lama, namun tidak berarti terjadi perbuatan

  7 8 Ibid, hal. 111.

  Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, (Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima, 2008), hal. 7. yang sewenang-wenang atas diri yang diminta pertanggung jawabannya terhadap

   kerugian negara akibat perbuatan pada saat mengelola keuangan negara.

  Tatkala prosedur tanpa melalui peradilan ternyata pengembalian kerugian negara tidak dapat dikembalikan, berarti prosedur melalui peradilan harus digunakan agar keuangan negara berada pada posisi yang sama sebelum dikelola. Prosedur melalui peradilan didasarkan pada instrumen hukum perdata, tetapi keduanya mengandung prosedur bukan merupakan hambatan atau kendala untuk mengembalikan kerugian negara karena substansi hukum itu yang menyebabkan timbulnya perbedaan dalam penerapannya di pengadilan termaksud.

  Kerugian negara akibat dari pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum wajib dikembalikan agar keuangan negara berada dalam keadaan semula untuk membiayaai pelaksanaan pemerintahan negara dalam rangka mencapai tujuan negara. Upaya negara untuk mengembalikan kerugian akibat ditimbulkan oleh pengelolaan keuangan negara yang menyimpang atau melanggar hukum, telah disiapkan instrumen hukum yang berada dalam konteks hukum pidana.

  Walaupun telah ada, bila moral dan komitmen penegak hukum tidak menunjang untuk ditegakkan berarti instrument hukum pidana hanya bersifat cita-cita hukum belaka.

  Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan hukum pidana (dalam hal ini tertuang dalam produk 9 Muhammad Djafar Saidi, Op. Cit, hal. 136-137 perundang-undangan) dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. Instrumen hukum pidana yang terkait dengan pengembalian kerugian negara melalui peradilan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Perubahan itu dilakukan karena tindak pidana korupsi tergolong sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra

  

ordinary crime ). Dengan demikian, kerugian negara dalam kacamata instrumen

  hukum pidana adalah tindak pidana korupsi yang memerlukan pemberantasan dengan tindak pidana lainnya seperti pembunuhan.

10 Menurut Barda Nawawi Arief berbagai langkah kebijakan penanggulangan

  korupsi yang ada, terkesan bahwa strategi kebijakan lebih terfokus pada upaya melakukan pembaruan undang-undang (law reform). Upaya melakukan pembaharuan undang-undang memang merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan. Masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka

  

  seyogyanya ditempuh pendekatan integral . Tidak hanya melakukan law reform (reformasi hukum), akan tetapi juga seyogyanya disertai dengan social economic

  

political cultural, moral and administrative reform (reformasi sosial, ekonomi,

politik dan adminstrasi).

  10 Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Beberapa

Catatan terhadap RUU tentang Perubahan UU No. 31/1999), makalah Seminar Nasional

Pemberantasan dan Penanggulangan Korupsi dengan Sistem Pembuktian Terbalik, (Surakarta:

Fakultas Hukum UNS, 10 Juli 2001), hal. 2. 11 Pendekatan integral yaitu pendekatan melalui perpaduan antara sarana penal dan non penal.

   Menurut Barda Nawawi Arief dilihat sebagai suatu kesatuan proses, maka

  tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis. Dari tahap kebijakan legislatif inilah diharapkan adanya suatu garis pedoman untuk tahap-tahap berikutnya. Dalam konteks pembicaraan tentang pidana pembayaran uang pengganti, dimana melalui kebijakan legislatif telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No.

  31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka akan sangat menarik untuk mengkaji apakah pidana tambahan pembayaran uang pengganti tersebut telah memenuhi syarat untuk dipakai sebagai garis pedoman untuk tahap- tahap berikutnya.

  Upaya pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, merupakan salah satu tujuan utama dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Salah satu upaya untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi adalah dengan diadakannya ketentuan tentang pembayaran uang pengganti. Keputusan tentang pembayaran uang pengganti ini pertama kali muncul dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu di dalam Pasal 34 sub c, sebagai pidana tambahan. Di dalam penjelasan Undang-Undang No.

  3 Tahun 1971 disebutkan bahwa tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti adalah untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari usaha pengembalian kerugian negara ataupun perekonomian negara.

  Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/ atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang 12 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 173. besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. Dalam praktiknya hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana yang tidak mau atau mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan, menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.

  Konsep pidana uang pengganti menurut ahli hukum pidana Romli Atmasasmita dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Menilik sistem pemidanaan yang dianut undang-undang korupsi baik yang lama maupun yang baru, setiap orang

   memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi.

  Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu tindak pidana korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi dari korupsi itu sendiri. Menurut undang-undang, salah satu unsur tindak pidana korupsi adalah adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Dengan adanya unsur ini maka setiap terjadi suatu tindak pidana korupsi maka akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.

  Ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti di dalam Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur 13 Romli Atmasasmita dalam “Uang Pengganti: Devisa Negara Tanpa Aturan Jelas”, http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2007/08/uang-pengganti-1-devisa-negara-tanpa.html.

  Diakses tanggal 27 Februari 2012.

  Pasal 18 sub b yang menyatakan “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”. Ketentuan ini sedikit berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan pidana pembayaran yang ada dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 ada ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana yang lamanya tidak melebihi ancaman dari pidana pokoknya. Ketentuan demikian itu tidak terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.

  Dalam persfektif politik kriminal, maka pidana pembayaran uang pengganti

  

  dipandang sebagai suatu usaha rasional untuk menekan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Perumusan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kebijakan legislatif, pidana pembayaran uang pengganti sebagai suatu produk kebijakan legislatif tentu saja harus dirumuskan secara hati-hati dan tidak boleh menimbulkan kebingungan dan pelaksanaannya nanti.

  Sebagai sarana yang cukup strategis untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, pidana tambahan pembayaran uang pengganti harus dapat dilaksanakan seoptimal mungkin. Kalau melihat materi ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang ada dalam Undang-Undang No. 31 14 Rasional dalam hal ini adalah suatu hal yang di dalam prosesnya dapat dimengerti sesuai dengan kenyataan dayang ada. tahun 1999, seakan-akan memberikan harapan yang besar bahwa kerugian negara dapat dipulihkan. Harapan yang begitu besar tersebut seakan-akan menjadi redup, setelah melihat kenyataan yang sesungguhnya, dimana dari tahun ketahun kerugian negara akibat tindak pidana korupsi berhasil dipulihkan justru semakin mengecil.

  Tentu saja patut dipertanyakan keefektifan dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku korupsi.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa masalah di seputar ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti cukup banyak dan sangat menarik untuk dilakukan pengkajian melalui penelitian. Dalam penelitian ini, akan dilakukan kajian penelitian terhadap beberapa aspek dari ketentuan tentang pidana pembayaran uang pengganti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

B. Permasalahan

  Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi?

  2. Bagaimanakah penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?

3. Apa hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang lahirnya pengaturan tentang uang pengganti dalam kebijakan hukum tindak pidana korupsi

  2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dikaitkan dengan tujuan pemidanaan

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

  1. Teoretis a.

  Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

  b.

  Menambah pengetahuan mengenai upaya pengembalian kerugian keuangan negara melalui penerapan pembayaran uang pengganti

  2. Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang dalam melakukan peninjauan terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan kosenp pembayaran uang pengganti. Penyempurnaan atau perbaikan terhadap ketentuan pidana pembayaran uang pengganti perlu dilakukan agar ketentuan itu bisa dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

  Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi”. Penulisan ini dilakukan berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan juga hukum keuangan negara. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan:

  1. Abu Bokar Tombak/ 037005001, Judul Penelitian “Pengembalian Kerugian

  Keuangan Negara sebagai Salah Satu Faktor yang Meringankan Hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi.” Permasalahan dalam penelitian ini adalah: a.

  Konsep dan ketentuan-ketentuan bagaimana yang mendasari peraturan perundang-undangan untuk menanggulagi kerugian keuangan negara dalam tindak pidaua korupsi? b. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang mengembalikan kerugian keuangan negara?

  2. Haswandi/ 982105011, Judul Penelitian “Tanggung Jawab Pelaku Tindak

  Pidana Korupsi Atau Ahli Warisnya Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata

  (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”, Permasalahan yang diteliti adalah a.

  Bagaimana pelaksanaan pengembalian dan pembayaran uang pengganti kerugian yang diderita negara oleh pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya yang diputus oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam ditinjau dari aspek hukum perdata? b.

  Masalah-masalah apa saja yang dihadapi jaksa selaku pengacara negara dalam melakukan penuntutan tanggungjawab perdata terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya maupun sebagai eksekutor dalam pelaksanaan putusan hakim tentang pembayaran uang pengganti kerugian terhadap negara serta bagaimana upaya mengatasinya?

  Jika dibandingkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat dipertanggung- jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang

  

  dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu. Fungsi teori adalah untuk

  

  menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi. Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

  

  ketidakbenarannya. Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang

  

  menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini.

  Barda Nawawi Arief mengemukakan beberapa tahap dalam pemidanaan, yaitu: a.

  Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang; b. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang, yaitu hakim;

   c.

  Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

  Secara keseluruhan pelaksanaan pemidanaan diharapkan merupakan satu jalinan mata rantai yang saling berkaitan dalam satu kebulatan sistem. Sebagai satu kesatuan dalam keseluruhan mekanisme penanggulangan kejahatan, maka harus ada 15 J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2. 16 J. J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt. M. Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203. 17 18 Ibid, hal. 16. 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

  Barda Nawawi Arief, hal. 91. Sedangkan dalam Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan

dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Adhiyta Bakti, 1998), hal. 30 Barda Nawawi

Arief membaginya dalam: (1) tahap kebijakan legislatif/formulasi: (2) tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif, dan (3) kebijakan eksekutif/administratif. jalinan mata rantai antara setiap tahap pemidanaan. Ini berarti tahap pemberian pidana tidak dapat dilepaskan dari tahap penetapan pidana dan pelaksanaan pidana dan menjalin ketiga tahap pemidanaan itu menjadi satu kesatuan tidak lain adalah

   tujuan pemidanaan itu sendiri.

  Dari semua tujuan pemidanaan yang ada, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat tujuan pemidanaan yang utama, yaitu: a.

  Incapacitation, yang berarti mencegah orang melakukan kembali kejahatan dengan menahannya. Sanksi diberikan untuk mengasingkan tidak untuk mengurangi kecendrungan pelaku kejahatan pada kejahatan kemudian, dengan memberikan perlakuan untuk mengubah tingkah laku atau kepribadian seseorang, tetapi menghalangi kemungkinan perilaku jahat setidak-tidaknya bila pelaku kejahatan berada dalam pengawasan.

  b.

  Deterrence, pada umumnya berarti mencegah kejahatan dalam masyarakat luas dengan memberikan contoh seseorang yang melakukan kejahatan. Jadi sekalipun tidak diperlukan membatasi pelaku kejahatan secara khusus dengan memenjarakannya, dia masih dapat menerima bentuk penjara jangka panjang sebagai peringatan bagi pelaku kejahatan potensial yang mungkin sebaliknya melakukan kejahatan yang sama. Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu:

21 Specific deterrence yang dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan

  20 21 Barda Nawawi Arief, Ibid, hal. 115.

  Pencegahan dengan meyakinkan narapidana untuk tidak berbuat perbuatan pidana lainnya

  

  melakukan kembali kejahatan dan general deterrence (pencegahan secara umum) dirancang untuk mencegah pelaku kejahatan potensial dengan membuat contoh menangkap pelaku kejahatan; c. Rehabilitation, adalah termasuk tujuan pidana yang dirancang untuk memberikan perlakuan, terhadap perilaku para pelaku kejahatan, kepribadian, atau sejarah umum pribadi yang mungkin memiliki peranan penting bagi perilaku jahat. Menghukum orang ke penjara untuk direhabilitasi sama dengan mengirim orang sakit ke rumah sakit untuk menerima perawatan untuk orang sakit; d.

  Punishment, tujuan pemidanaan ini agak berbeda dari tiga tujuan ide masing- masing komponen incapacitation, deterrence dan rehabilitation adalah bersifat future-oriented (berorientasi ke masa depan), dimana mereka telah dirancang untuk mencegah kejahatan tambahan oleh pelaku kejahatan atau lainnya. Pemidanaan bagaimanapun juga berfokus pada perilaku jahat dimasa lalu pelaku kejahatan dan diberikan untuk perilaku tersebut. Sekarang tujuan pemidanaan sering disebut “just deserts (ganjaran yang setimpal)” atau “commensurate deserts (ganjaran yang sepadan)” yang menyiratkan bahwa hal tersebut adalah tujuan yang tepat dari sistem peradilan pidana sesuai

   kerugian akibat perbuatannya.

  22 Pencegahan dengan pemberian hukuman berfungsi sebagai contoh yang akan menghalangi mereka yang berniat melakukan kejahatan. 23 Patrick R. Anderson and Donald J. Newman, Introduction to Criminal Justice, (Mc Graw-Hill, Inc: Fifth Edition, 2001), hal. 228. Sementara itu Anthoni Duff dan David Garland sebagaimana dikutip Harkristuti Harkrisnowo mengelompokkan berbagai tujuan pemidanaan yang ada ke dalam dua golongan besar, yakni “konsekuensialis”, benar tidaknya sesuatu tergantung semata-mata pada konsekuensi secara menyeluruh. Ringkasnya, jika konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsikuensinya buruk, maka tindakan itu salah. Oleh karenanya, untuk mencari pembenaran bagi pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa: a) pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; dan c) tidak ada alternatif lain yang

   dapat memberikan hasil yang setara baiknya.

  Dalam persfektif ini, pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial) yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikenakan kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana. Hal ini patut dilakukan agar tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar dimasa depan. Aliran ini berkarakter instrumentalis (berdasarkan ketentuan hukum positif) dan berorientasi ke depan (forwardlooking), dan menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat terkenal di kalangan para penganut utilitarian klasik (meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum) yang menggarisbawahi the greatest happiness for the greatest number (kebahagiaan

24 Anthoni Duff dan David Garland, A Reader on Punishment, dalam Harkristuti

  

Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan

Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003, hal. 11.

  

  terbesar untuk jumlah terbesar). Bentham dengan tegas menyatakan bahwa the

greaest happiness of the greatest number hanya dapat diperoleh jika hukum ditaati.

  Hanya penderitaan dan kesenangan yang dapat memberikan manfaat nyata tindakan dan dalam kehidupan pribadi serta publik berada dalam analisis terakhir dimana

   segala perhatian dengan kebahagiaan maksimum.

  Dalam hal penetapan pidana, Beccaria sebagai pelopor teori utilitarian yang mendasarkan pada teori kontrak sosial menyatakan bahwa tiap-tiap individu menyerahkan kebebasannya kepada negara. Dimana perbuatan manusia adalah bersifat purposive (bertujuan) dan ini didasarkan pada sifat hedonism atau prinsip kesenangan dan kesusahan, dimana manusia memilih perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan. Sedangkan Bentham memperkenalkan prinsip-prinsip moral dan legislasi dengan kalimat klasiknya: “Nature has place mankind under

  

governance of two sovereign master, pain and pleasure. It is for them alone to point

out what we ought to do, as well as determine what we shall do (Alam telah

  menempatkan manusia di bawah perintah dua kekuasaan utama, penderiaan dan kesenangan. Hal itu untuk mereka sendiri menunjukkan apa yang dilakukan, seperti

  

  halnya menetapkan apa yang dikerjakan).” Sehingga dari keduanya kelihatan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan kehendak (free will) dalam memilih perbuatan-perbuatan yang akan memberikan kesenangan dan menghindari perbuatan- perbuatan yang membawa kesusahan. 25 26 Ibid , hal. 11-12.

  Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History & Problems, Fourt Adition, (McGraw-Hill International Editions, 1989), hal. 365. 27 Ibid Konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari prinsip-prinsip tersebut adalah

  

  sebagai berikut: Pertama; hukum dapat memerintahkan menghukum kejahatan dimana kekuasaan ini hanya terletak pada legislator yang merupakan representasi dari masyarakat keseluruhan kesatuan dari kontrak sosial. Hal ini karena tiap-tiap individu telah menyerahkan kebebasannya kepada negara agar masyarakat dapat hidup sehingga hukum melindungi / mempertahankan keseluruhan kebebasan yang dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan orang yang dikorbankan oleh orang lain.

  Kedua: kekuasaan yang berkuasa yang merupakan representasi masyarakat itu sendiri hanya dapat membuat hukum secara umum yang mengikat pada semua anggota tetapi dia secara jelas tidak dapat menghakimi seseorang yang melanggar kontrak sosial, sehingga negara hanya membuat undang-undang tetapi tidak memberikan kekuasaan untuk menentukan siapa yang melanggar undang-undang tersebut tetapi dilakukan oleh pihak lain yaitu hakim.

  Ketiga; kekerasan yang ekstrim dari pemidanaan dapat menunjukkan sesuatu menjadi tidak berguna, hal ini akan bertentangan dengan keadilan dan sifat dari kontrak sosial itu sendiri.

  Beccaria tidak percaya dengan pidana yang berat atau kejam, pencegahan akan datang tidak dari pidana yang berat tetapi dari pidana yang patut (appropriate) 28 Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishment, (New York: Marsilio Publisher, 2002),

  hal. 14-15 yang tepat (prompt) dan pasti (inevitable). Penjatuhan pidana harus dilakukan dengan alasan utama yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Dan pidana harus dirancang untuk masing- masing kejahatan menurut tingkatnya yang akan menghasilkan lebih banyak kesusahan daripada kesenangan terhadap mereka yang melakukan perbuatan.

  Dalam penerapan pidana; kekuasaan untuk menginterpretrasikan hukum pidana tidak dapat diletakkan pada hakim pidana, hal ini tepat karena mereka bukan pembuat hukum. Sehingga dengan demikian tugas seorang hakim hanya semata-mata sebagai alat undang-undang yang hanya menentukan salah tidaknya seseorang dan kemudian menetapkan pidananya.

  Bentham mengemukakan bahwa sanksi adalah apa yang dapat memberikan kekuatan mengikat (what gives binding force) kepada tuntutan perilaku (rule of

  

conduct ) atau hukum. Sanksi tersebut dibagi menjadi empat yaitu: sanksi fisik/ badan

  (physical), politik, moral dan agama. Legislator memahami bahwa seseorang merasa terikat untuk melakukan hanya jika undang-undang yang jelas ketika undang-undang mempunyai sanksi yang jelas yang berhubungan dengannya dan sanksi berisi beberapa bentuk penderitaan jika model perilaku dinyatakan legislator sebagai kejahatan terhadap masyarakat. Kesepakatan telah memberikan arti konkrit pada konsep pidana Bentham, sekarang tidak berarti kewajiban-kewajiban yang tidak ditentukan tetapi berprospek penderitaan jika seseorang tidak mentaati moral atau

   kewajiban hukum.

  Dalam pelaksanaan pidana pada akhirnya, apapun jenis dan bentuk sanksi dalam hukum pidana yang akan ditetapkan, tujuan pemidanaan yang harus menjadi patokan. Karena itu, tujuan pemindanaan yang harus menjadi patokan. Oleh karena itu harus ada kesamaan pandang atau pemahaman yang sama pada setiap tahap kebijakan legislasi tentang apa hakikat atau maksud dari sanksi pidana dan atau tindakan itu sendiri. Adanya tujuan pemidanaan yang harus dijadikan patokan dalam rangka menunjang bekerjanya sistem peradilan ini, menurut istilah Muladi untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, yaitu sinkronisasi structural (structural

  

synchronization ), sinkronisasi substansial (substantial synchroni-zation), dan dapat

  pula bersifat sinkronisasi cultural (cultural synchronization). Dalam sinkronisasi struktural, keserempakan dan keselarasan ditentukan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka keserampakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan- 29 Ibid, hal. 366. Bentham mengakui bahwa beberapa motif yang lebih

  

memungkinkan/dominan dari pada yang lain mengarahkan pada perilaku yang lebih berguna. Yaitu

perilaku yang meningkatkan kebahagiaan, tetapi masih menyenangkan dan bukan motif bahwa

kebalikan dari moralitas di atas undang-undang. Hukum dapat menghukum hanya kepada siapa yang

mempunyai kenyataan pemberian penderitaan apapun kemungkinan motifnya untuk beberapa

perkecualian diperkenalkan. Bila hal itu benar bahwa legislator permasalahan motif nampak luas

dalam moralitas. Bentham menerima moral dan legal obligation sebagai satu persamaan bahwa kedua kasus konsekuensi eksternal dari perlakuan dipertimbangkan lebih dari pada motif-motif lain. pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Persoalan dalam menetapkan sanksi dalam hukum pidana, apapun jenis dan bentuk sanksinya harus didasarkan dan diorientasikan pada tujuan pemidanaan. Setelah tujuan pemidanaan ditetapkan, barulah jenis dan bentuk sanksi

   apa yang paling tepat bagi pelaku kejahatan ditentukan.

2. Konsepsi

  Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan

  

  pertimbangan. Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi,

  

  antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan

   defenisi operasional.

  Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut: a.

  Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat 30 dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun 31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal 95.

  Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122. 32 Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34. 33 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 3. berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan

   pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

  b.

  Kerugian negara adalah berkurangnya uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum

   baik sengaja maupun lalai.

  c.

  Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam

   bentuk pembayaran uang pengganti.

  d.

  Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang tercantum pada Pasal 2 s/d

  Pasal 16 Undang-Undang ini, yang meliputi: delik merugikan keuangan Negara (Pasal 2 dan Pasal 3); delik penyuapan (Pasal 5, 6, dan 11); delik penggelapan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10); delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12); delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7); dan delik gratifikasi (Pasal 12 B, 12 C dan Pasal 13).

  34 35 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 angka 22 Uang Pengganti, http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/UangPengganti.pdf.

  Diakses tanggal 27 Februari 2012.

G. Metode Penelitian Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”.

  Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-

  

  kemungkinan sebagai berikut: 1.

  Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

  Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan

   untuk mencapai suatu tujuan penelitian.

  Penulisan sebagai salah satu jenis karya tulis ilmiah membutuhkan data-data yang mempunyai nilai kebenaran yang dapat dipercaya. Untuk memperoleh data-data sebagaimana yang dimaksud, maka dilakukan suatu metode tertentu, karena setiap cabang ilmu pengetahuan mempunyai metode penulisan tersendiri.

  Maka dalam tulisan hukum secara otomatis metode yang dipakai adalah metode penulisan hukum. Metode penulisan ini merupakan pedoman atau petunjuk dalam mempelajari, menganalisa, memahami serta menemukan penyelesaian bagi permasalahan yang dihadapi.

  37 38 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2000), Hal. 5.

  Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Alumni, 1986), Hal. 15.

1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada ilmu hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai ketentuan pidana tambahan uang pengganti .

  Menurut Sunaryati Hartono, “dalam penelitian hukum normatif dapat mencari

   asas hukum dan pembentukan asas hukum baru”.

  Sedangkan menurut Bagir Manan, “penelitian normatif adalah penelitian

   terhadap kaedah dan asas hukum yang ada”.

  Soerjono Soekanto menyatakan penelitian hukum normatif adalah “penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum,

   dan perbandingan hukum”.

  Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sitematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan. Jadi deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analisis permasalahan yang dikemukakan terperinci tentang hal tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini, 39 40 C. F. G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., Hal. 141.

  Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Hal. 13. 41 Ibid., hal 15. peneliti sudah mendapatkan atau mempunyai gambaran yang berupa awal tentang

  

  permasalahan yang akan diteliti. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah “suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai tugas dan tanggung jawab Pengurus, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap

   dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti”.

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Pendekatan normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, serta kemudian

   dihubungkan dengan perkembangan yang ada di tengah masyarakat.

2. Sumber Data a.

  Bahan Hukum Primer Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

  

  berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahannya, Undang-Undang No.

  17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. 42 43 Ibid, hal 63.

  Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 36 44 Johnny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Jakarta: Banyumedia, 2007), Hal. 295 45 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Liberty, 2002), hal. 19. b.

  Bahan Hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan akibat hukum terhadap pembayaran uang pengganti sebagai salah satu bentuk pengembalian kerugian keuangan negara, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

  c.

  Bahan Hukum Tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

  4. Analisis Data

  Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang menggunakan dan memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan jaksa, yang dicari hubungan antara data yang satu dengan data yang lain kemudian disusun secara sistematis.

  “Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian

   menarik kesimpulan”.

Dokumen yang terkait

Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

15 150 114

Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

2 48 143

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Faktor Yang Meringankan Hukuman Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 40 121

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Eksistensi Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi Terkait Tujuan Pemidanaan

0 21 73

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkembangan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatasan Transaksi Tunai Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Syarat Pemberian Remisi kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi (Koruptor)

0 0 27

BAB II LATAR BELAKANG PENGATURAN TENTANG UANG PENGGANTI DALAM KEBIJAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Sejak Reformasi 1998 - Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Salah Satu Bentuk Pengembalian Kerugian Keuanga

0 0 28