Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN

(1)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM DUNIA PERBANKAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.)

S K R I P S I

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Ahmad Fadly

100200415

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM DUNIA PERBANKAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.)

S K R I P S I

Disusun Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : Ahmad Fadly

100200415

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. M. Hamdan,SH, MH NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I

Liza Erwina, SH.,M.Hum NIP. 196110241989032002

Dosen Pembimbing II

Dr. Mahmud Mulyadi,SH.,M.Hum NIP. 197404012002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, taufikdan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya. Adapun judul skripsi ini adalah “kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan (studi putusan nomor:

:

79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.”

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam proses penyusunan dan penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.Untuk itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. OK. Saidin,SH,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Kedua orang tua tercinta Prof. Dr. Edi Warman, SH. M.Hum dan Jasmi Rivai SH yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian dan membimbing serta menyediakan segala kebutuhan penulis


(4)

6. Bapak Dr. M. Hamdan,SH., MH., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Liza Erwina,SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M.Hum selaku dosen pembimbing II 9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing dalam masa perkuliahan.

10.Buat abangku Raufen Rissamdani, S. Ked dan kedua kakakku Serly Dwi Warmi,SH dan Wessy Trisna, SH yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

11.Buat Amelia Sirait, yang telah mengajarkan sesuatu yang berharga dalam menjalani kehidupan serta memberi dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman penulis khususnya teman-teman stambuk 2010 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 13.Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman Kaca Besar yang sudah

membantu dan memberi semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

14.Buat Tek Rat, Om ipan,Bang Ryan, dan keluarga lainnya yang telah memberi semangat kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

15.Dan semua pihak yang telah membantu penulis di dalam penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran serta sumbangan pemikiran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.


(5)

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini nantinya dapat bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memperluas cakrawala dan pengetahuan kita semua.

Medan, Agustus 2014 Penulis

Ahmad Fadly NIM :100200415


(6)

D A F T A R I S I

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan masalah ... 6

C. Tujuan dan manfaat penulisan ... 6

D. Tinjauan kepustakaan ... 7

E. Metode penelitian ... 19

F. Keaslian penelitian ... 22

G. Sistematika penelitian ... 23

BAB II : PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... 24

B. Pengaturan tindak pidana perbankan dalam Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ... 49

C. Titik singgung dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan ... 63


(7)

BAB III : ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN

A. Posisi kasus ... 67

1. Kronolgis ... 67

2. Dakwaan ... 71

3. Tuntutan ... 75

4. Fakta-fakta hukum ... 76

5. Vonis hakim ... 79

B. Analsis kasus (putusan nomor : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.) ... 80

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85


(8)

ABSTRACT

Kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan merupakan suatu kajian normatif kapan seorang pegawai bank yang meyalahgunakan kewenangan di suatu perusahaan perbankan dapat dikatakan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi. Di dalam kasus prudential banking yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbakan terletak bagaimana peraturan yang mengatur pegawai bank yang melakukan tindak pidana dengan melanggar atau mengabaikan tahap-tahap kehati-hatian pada bank.

Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan diperlukan adanya pemahaman mengenai dua undang-undang khusus yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan diperlukan adanya titik singgung dalam kedua tindak pidana tersebut sehingga dapat di temukan mana yang termasuk dalam sebuah perbuatan koruptif dan mana yang termasuk dalam sebuah tindak pidana perbankan.Dalam perbuatan penyalahguunaan jabatan yang dilakukan seorang pegawai bank termasuk dalam perbuatan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perbankan serta penerapan azas lex specialis sistematicderogate lex generalidalam sebuah kasus yang terdapat dua buah undang-undang yang mengaturnya.

Untuk memahami tindak pidana korupsi dalam perusahaan perbankan tersebut, maka diperlukan pemahaman mengenai posisi kasus yang terdapat dalam putusan tersebut sehingga dapat dilakukan analisis hukum mengenai isi putusan yang terdapat dalam kasus ini. Dari hasil penelitian normatif diduga tidak ada perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai bank BNI SKM Medan yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara semasa jabatannya.

Berdasarkan uraian diatas sasaran yang akan dicapai dalam kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan ini adalah meletakkan dasar-dasar hukum kapan seorang dapat dikatakan korupsi dalam perbankan dan memahami seperti apa penerapan hukum yang terdapat seharusnya di dalam kasus putusan tersebut.

Kata kunci : 1. Kajian hukum

2.Tindak pidana Korupsi 3. Dunia Perbankan


(9)

ABSTRACT

Kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan merupakan suatu kajian normatif kapan seorang pegawai bank yang meyalahgunakan kewenangan di suatu perusahaan perbankan dapat dikatakan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi. Di dalam kasus prudential banking yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbakan terletak bagaimana peraturan yang mengatur pegawai bank yang melakukan tindak pidana dengan melanggar atau mengabaikan tahap-tahap kehati-hatian pada bank.

Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan diperlukan adanya pemahaman mengenai dua undang-undang khusus yang mengaturnya yaitu Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan diperlukan adanya titik singgung dalam kedua tindak pidana tersebut sehingga dapat di temukan mana yang termasuk dalam sebuah perbuatan koruptif dan mana yang termasuk dalam sebuah tindak pidana perbankan.Dalam perbuatan penyalahguunaan jabatan yang dilakukan seorang pegawai bank termasuk dalam perbuatan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perbankan serta penerapan azas lex specialis sistematicderogate lex generalidalam sebuah kasus yang terdapat dua buah undang-undang yang mengaturnya.

Untuk memahami tindak pidana korupsi dalam perusahaan perbankan tersebut, maka diperlukan pemahaman mengenai posisi kasus yang terdapat dalam putusan tersebut sehingga dapat dilakukan analisis hukum mengenai isi putusan yang terdapat dalam kasus ini. Dari hasil penelitian normatif diduga tidak ada perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai bank BNI SKM Medan yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara semasa jabatannya.

Berdasarkan uraian diatas sasaran yang akan dicapai dalam kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan ini adalah meletakkan dasar-dasar hukum kapan seorang dapat dikatakan korupsi dalam perbankan dan memahami seperti apa penerapan hukum yang terdapat seharusnya di dalam kasus putusan tersebut.

Kata kunci : 1. Kajian hukum

2.Tindak pidana Korupsi 3. Dunia Perbankan


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa.

Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga di Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini


(11)

sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.1

Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintah bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan milik negara sedangkan langkah-langkah pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai sekarang. Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroninya. Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan-perusahaan milik negara. 2 Pemberantasan korupsi bukanlah perkara mudah yang di atasi, karena sistem penyelenggara pemerintah yang mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan dengan menipiskan pertanggungjawaban publik dan mengedepankan pertanggungjawaban primodialisme yang menggunakan sistem rekruitmen atas dasar koncoisme yang didasarkan pada kesamaan etnis. Korupsi disektor swasta pun sudah sama parahnya dengan korupsi disektor publik, mana kala aktivitas bisnisnya terkait atau berhubungan dengan sektor publik, misalnya sektor perpajakan, perbankan dan pelayanan publik. Penyusunan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) telah mempertimbangkan setiap faktor yang dapat melemahkan sistem peradilan pidana dalam memberantas korupsi yang telah melembaga baik dalam sektor publik maupun swasta. Secara operasional agar

      

1

Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005), halaman 2

2

Romli Atmasasmita, Sektor Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional, (CV. Mandar Maju : Bandung, 2004), halaman 1


(12)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTK) untuk mencapai tujuannya maka keberadaan sebuah lembaga sangat diperlukan dalam pemberantasannya disamping instansi kepolisian dan kejaksaan diharapkan keberadaan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara proaktif dapat meningkatkan kinerja instansi-instansi tersebut dengan inisiatifnya melaksanakan tugas penidikan dan penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, baik di instansi publik yang ada dilembaga eksekutif, legislatif, yudikatf maupun BUMN.3

Secara etimologis atau menurut bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin

corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah

corrumpere. Dari bahasa latin turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di eropa, seperti inggris ; corruptio,corrupt, Perancis : corruption, dan Belanda : corruptie

atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.4 Secara sosiologis, korupsi merupakan perbuatan desosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak mempedulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Mengabaikan kepedulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain.

      

3

Ibid, halaman 2.

4

Andi hamzah (I), Korupsi Di Indonesia Masalah Dan Pemecahannya, (Gramedia Pustaka Utama: Jakata, 1991), halaman 7.


(13)

Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.5 Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara definitif diatur dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi juga menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, bahkan telah kronis seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya.

Tingginya angka korupsi di Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir diseluruh lapisan institusi negara ini. Tingkat korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang jumlahnya dapat mencapai angka triliyunan rupiah.6 Mochammad Jasin mengemukakan lima hal penyebab utama korupsi di Indonesia, di antaranya :

1. Rendahnya integritas dan profesionalisme.

2. Lemahnya komitmen dan konstitensi penegakan hukum dan peraturan perundangan.

      

5

Suyatno, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 2005), halaman 6.

6

Tjandra sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, (Indonesia Lawyer Club : Surabaya, 2010), halaman 9.


(14)

3. Adanya peluang di lingkungan kerja tugas jabatan dan lingungan masyarakat yang mendukung timbulnya korupsi.

4. Sikap yang tamak, lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu; 5. Sistem penggajian yang tidak profesional.7

Dalam praktek tindak pidana tertentu yang sering terjadi di lingkungan usahaperbankan adalah ttindak pidana korupsi, sedangkan tindak pidana ekonomi belum ada yang diterapkan selama ini, meskipun secara umum tindak pidana perbannkan dapat dikatagorikan economic crime. Pada kasus PT. Bank Negara Indonesia (persero) atau yang biasa lebih dikenal dengan BNI 46, seorang pemimpin yang mempunyai wewenang dalam mengatur pemberian kredit kepada para calon debitur menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan dana kredit kepada direktur PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan memanipulasi surat-surat yang ada untuk proses mengajukan kredit dan menggunakan berbagai cara agar dana kredit tersebut bisa keluar atau dicairkan. Kredit tersebut diajukan oleh PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan maksud untuk membeli lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT. Atakana Company. Akan tetapi pada saat PT. Bahari Dwikencana Lestari mengajukan kredit ke BNI belum terlaksana akte jual beli yang baru terlaksana masih perjanjian akan jual beli berdasarkan perjanjian akan jual beli itulah PT. Bahari Dwikenca Lestari meminjam kredit kepada bank BNI dan dikabulkan oleh bank BNI tersebut.

Berdasarkan hal tersebut tampak telah terjadi manipulasi sehingga dana kredit tersebut cair. Dalam kerangka perbuatan korupsi pidana, harus ada

      

7

Mochhamad Jasin, Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi dan MOU Antara KPK Dengan BI, 2007, tanpa halaman.


(15)

kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan terlebih dahulu, di samping unsur lain, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggoran-kelonggoran masyarakat.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbakan

2. Bagaimana analisa hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan (studi putusan nomor: 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui sejauh manakah peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi penyal oleh pejabat perbankan di Indonesia penerapannya telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui bagaimana hukum yang diterapkan dalam putusan nomor: 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.

Adapun yang menjadi kegunaan penulisan ini adalah : 1. Manfaat Teoritis


(16)

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia

2. Manfaat Praktis

Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan oleh pengambilan kebijakan dan para pelaksana hukum dalam bidang korupsi di perbankan, dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana.

D. Tinjauan Keputaskaan 1. Pengertian tindak pidana.

Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. Tata perbuatan mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, tetapi hukum adalah seperangkat peraturan yang kita pahami dalam satu kesatuan yang sistematik. Pernyataan bahwa hukum adalah tata perbuatan manusia, tidak berarti tata hukum hanya berkenaan dengan manusia saja, bahwa tidak ada hal lain kecuali perbuatan manusia yang membentuk isi peraturan hukum. Masyarakat Indonesia pada khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum yaitu :

1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan.

2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan. 3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas

yang diharapkan.

4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis). 5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat.

6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa. 7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintah.

8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik. 9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai.


(17)

10. Hukum diartikan sebagai seni.8

Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, selanjutnya M. Solly Lubis menyatakan bahwa melalui pendekatan kultur, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum nasional.9

Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku

(ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum

adalah norma dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.10

Selama ini orang memandang hukum itu identik dengan peraturan perundang-undangan itu merupakan salah satu unsur dari keseluruhan sistem hukum. Sistem adalah keseluruhan bangunan hukum yang didukung oleh sejumlah asas. Asas-asas tersebut bertingkat-tingkat mulai dari grundorm yaitu pancasila sebagai asas filosofis kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) sebagai asas konstitusional, dan akhirnya Undang-Undang sebagai asas operasional.11 Berbicara tentang sistem hukum, maka sistem hukum itu terdiri dari 7 (tujuh) unsur yaitu:12

      

8

Soerjono soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, (PT. Raja grafindo Persada : Jakarta, 1985), halaman 33.

9

M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Mandar Maju : Bandung), halaman 49.

10

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (PT. Remaja rosdakarya : Bandung, 1993), halaman 94.

11

Bismar Nasution, dkk, Perilaku Hukum Dan Moral Di Indonesia, (USU Pers : Medan, 2004), halaman 29.

12

Sunarti Hartono, Upaya Meyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, (Seminar pembangunan hukum nasional VIII : BPHN Departemen kehakiman dan ham RI, 2003), halaman 227.


(18)

1. Asas-asas hukum.

2. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : a. Undang-undang

b. Peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang c. Yurisprudensi tetap (case law)

d. Hukum kebiasaan.

e. Konvensi-konvensi internasional. f. Asas-asas hukum internasional.

3. Sumber Daya Manusia yang profesional, bertanggunghawab dan sadar hukum.

4. Pranata-pranata hukum (petunjuk-petunjuk hukum) seperti contoh dilarang berhenti dilampu merah, yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat hukum.

5. Lembaga-lembaga hukum ( legislatif,eksekutif,yudikatif), termasuk : a. Struktur organisasinya.

b. Kewenangannya. c. Prsoes dan prosedur. d. Mekanis kerja.

6. Sarana dan prasarana hukum, seperti:

a. Furnitur dan lain-lain alat perkantoraan, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran.

b. Senjata dan lain-lain peralatan terutama untuk polisi. c. Kendaraan.

d. Gaji.

e. Kesejahteraan pegawai/karyawan. f. Anggaran pembangunan dan lain-lain.

7. Budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif,legislatif, maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah, melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.

Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum


(19)

mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya13. Yang menjadi masalah pokok dalam hukum pidana adalah14 :

1. Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi). 2. Pertanggung jawaban pidana (kesalahan).

3. Sanksi yang diancam, baik pidana maupun tindakan.

Adapun yang menjadi unsur tindak pidana dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku, temasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:15

1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP).

3. Macam-macam maksud atau oogmer seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian.

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam pasal 340 KUHP.

Sedangkan unsur objektifnya adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan unsur objektif dari tindak pidana meliputi :16

      

13

Martin Prodjohamidjojo, Memaham Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT Pradnya Paramita), halaman 5.

14

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), halaman 50.

15

A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: Universitass Muhammadiyah Malang,2004), halaman 33.

16

D. Schafmeister, N. Kijzer, E.PH. Sitorus, Hukum Pidana, (Yogyakarta : Libert, 1995), halaman 27.


(20)

1. Sifat melanggar (melawan hukum).

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP.

3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

2. Pengertian Perbankan.

Definisi atau batasan mengenai bank pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain, kalaupun ada perbedaan hanya akan tampak pada tugas dan jenis usaha bank tersebut. Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik, “bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, mana pun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar dan tempat giral.”17

Menurut A. Abdurahman (2001) dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan

dan Pedagangan, “bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan

berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjama, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berhaga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain”. Menurut Undang-Undang Nomo 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang Pokok-pokok Perbankan, “bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Pendapat lain

      

17

Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank Dan Lembaga Keuangan, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013), halaman 2


(21)

mengemukakan “bank sebagai suatu badan yang tugas utamanya; menghimpun uang dan sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit kepada pihak ketiga pada waktu tertentu.”

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pengertian bank diatur pada Pasal 1 angka (1) bahwa bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan pengertian bank menurut perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Kalau dilihat dari fungsinya, maka definisi bank dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan menghimpun uang dari pihak ketiga

2. bank dilihat sebagai pemberi kredit, artinya bahwa bank melaksanakan operasi perkreditan secara akti.f

3. Bank dilihat sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber yang berasal dari modal sendiri, simpanan/tabungan masyarakat maupun melalui penciptaan uang bank.


(22)

Berdasarkan pengertian tersebut, bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan dan bank merupakan suatu pranata sosial yang bersifat finansial, yang melaksanakan jasa-jasa keuangan. Berdasarkan kasus yang di bahas dalam Kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan tidak lepas juga dari penyalahgunaan wewenang pejabat perbankan dalam mengeluarkan suatu kredit (pinjaman). Pengertian pinjaman (kredit) menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjaman melunasi uangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.18

Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa pinjaman atau kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya kesepakatan antar bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitur), bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk jangka waktu serta bunga yang telah ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Pemberian kredit tanpa di analisis terlebih dahulu sangat membahayakan bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif sehingga

      

18


(23)

kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan. Akibatnya jika salah dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit untuk ditagih alias macet.19

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut:

1. Kepercayaan.

Yaitu suatu keyakinan pemberian kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa czuang, barang, atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa yang akan datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara intern maupun ekstern.

2. Kesepakatan.

Kesepakatan ini meliputi kesepakatan antar si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatn ini dituangkan dalam sebuah perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya.

3. Janga waktu.

Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.

4. Risiko.

Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu kondisi tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja. Misalnya bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.

5. Balas jasa.

Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau fase tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank.20

Pejabat perbankan yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan kredit haruslah mengikuti semua unsur di atas. Apabila unsur itu tidak dipenuhi maka pejabat perbankan itu telah menyahlahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan kredit tanpa memikirkan unsur yang harus dipenuhi. Dan apabila

      

19

Ibid, halaman 164.

20


(24)

hal tersebut menimbulkan kerugian negara maka pejabat perbankan tersebut dapat di jatuhi Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau didenda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milliar rupiah).

Jelas di dalam pasal tersebut dikatakan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat di kenakan sanksi pidana begitu juga seorang pejabat perbankan yang menyalagunakan wewenangnya hingga menimbulkan perbuatan tindak pidana korupsi.

3. Pengertian tindak pidana korupsi.

Menganalisis Undang-Undang Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

b. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewnangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang daoat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, atau pasal 435 KUHP, serta pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


(25)

d. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14)

e. Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15) f. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan

bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).21

Pengertian melawan hukum di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) “... secara melawan hukum, dalam pengertian formil dan materil. Dengan perumusan terebut, pengertian melawan hukum tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.”

Menurut Simon yang dimaksud dengan wederrechtelijk (melawan hukum) tidak bertentang dengan hukum pada umumnya, jadi tidak hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, akan tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.22 Sejalan dengan pendapat Simon, Bambang Poernomo menyatakan suatu perbuatan itu dapat dikatakan melawan hukum, bila memenuhi dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum formil ( formele wederrechtelijkheid) dan sifat melawan hukum yang materil (materiele wederrechtelijkheid). Yang menjadi alasan pertimbangan pembuat undang-undang mencamtumkan unsur melawan hukum dalam pengertian formil maupun materil di dalam Undang-Undang Nomor

      

21

Edi Yunara, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korporasi, PT Citra aditya bakti, Bandung, 2005, Halaman 36-37

22

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Balai Lektur Mahasiswa : tanpa tahun), halaman 349.


(26)

31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, yaitu :

Pertama : Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary

crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang

luar biasa

Kedua : Dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi

Ketiga : Dalam upaya merespon perkembangan keutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan didalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.23

Jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:24

1. Perbuatan yang merugikan Negara. 2. Suap-menyuap.

3. Penyalahgunaan jabatan. 4. Pemerasan.

5. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan. 6. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan. 7. Korupsi yang berhubungan dengan grafikasi (hadiah).

Menurut Romli Atmasasmita kriteria korupsi yang utama menurut Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah adanya unsur kerugian bagi negara, tetapi

      

23

Ibid.

24

Dr. Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan


(27)

pada kenyataannya unsur kerugian bagi negara itu sulit pembuktiannya karena deliknya delik maeriel. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian tetap ada kemudian rumusannya diubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktutikan adanya kerugian atau tidak bagi negara. Kriteria berikutnya adalah adanya keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain atau suatu badan karena adanya wewenang atau kesempatan. Kriteria ini sudah diperluas karena ada istilah karena jabatan, kedudukan, dan seterusnya, termasuk juga suap-menyuap, baik antara bukan pegawai negeri maupun pegawai negeri. Begitu juga dengan pemberian hadiah dan janji pada undang-undang yang baru, kriterianya sudah diperluas.25

Dalam Pasal 27 UU PTPK dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang:

a. Bersifat lintas sektoral;

b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau

c. Dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

      

25


(28)

E. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Penelitian mengenai Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif meliputi :

1. Penelitian terhadap sistematik hukum.

2. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. 3. Penelitian hukum in concreto

Penelitian hukum normatif ini bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum mengenai kapan seseorang telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan yang mengakibatkan timbulnya korupsi serta mengenai tindak pidana dan menguji apakah suatu postulat nomatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto

dan sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai korupsi ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

2. Sumber Data

Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.

Data sekunder yang diteliti terdiri atas:

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa: a. Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan korupsi dan


(29)

b. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti KUPidana.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa:

a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana dalam tindak pidana korupsi serta Perbankan. b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejahatan korupsi

yang dilakukan di perusahaan BUMN.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang dipergunakan di dalam penelitian ini antar lain: a. Dokumen atau bahan pustaka

Bahan pustaka dimaksud terdiri atas bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangn yang berkaitan dengan korupsi, perbankan, keuangan negara, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Bahan hukum sekunder berupa karya para ahli termasuk hasil penelitian.

b. Studi Putusan

Studi putusan dilakukan terkait dengan penelitian yang bersangkutan sehingga dapat menemukan data-data yang dapat diambil dan di jadikan dasar untuk menulis penelitian ini.


(30)

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.26

Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan sebagai data primer, selanjutnya akan dianalisa dengan pendekatan kualitatif.27

Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berpikir yang bersifat Deduktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus menjadi yang bersifat umum. Dengan metode deduktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan.

F. Keaslian Penulisan

Tulisan yang berjudul Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan merupakan hasil dari penilitian penulis yang dilakukan di perpustakaan. Dan didalam hasil penilitian itu belum ada mahasiswa yang menulis tentang judul ini. Karena mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini asli dari buah pikiran penulis. Baik dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang

      

26

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 103.

27

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10.


(31)

sama dengan skripsi ini, sebelum ini dibuat, maka saya bertanggungjawab sepenuhnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini terdiri dari :

a. Bab I menceritakan tentang gambaran-gambaran tentang masalah korupsi serta adanya tanggapan penulisan tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam dunia perbankan

b. Bab II menceritakan tentang peraturan-peraturan apa yang berlaku dalam tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan

c. Bab III menceritakan tentang analisis hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan berdasarkan putusan nomor : 79. Pid. Sus. K / 2012/ PN. MDN.

d. Bab IV terdapat adanya kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan dan rekomendasi yang akan diberikan dalam penyalahgunaan wewenang oleh pejabat perbankan yang menimbulkan korupsi


(32)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN

A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Bentuk- bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No. 31Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut yang mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Jenis tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Maka di dalam bab ini akan menjabar kan jenis tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan setiap pasal di atas.

1) Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan dari pasal 2 ayat (1) di atas dapat ditarik unsur-unsur/benstanddelen sebagai berikut:


(33)

1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Pada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaan oleh karena perbuatan tersebut. Misalnya, dengan membeli,menjual,mengambil,memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi bertambah kekayaannya.28

2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum

Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara “melawan hukum” sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tidak diatur dalam undang-undang, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.29

3. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara

Pengertian keuangan negara yang dimaksud pasal 2 ayat 1 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pegurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.

b. Berada dalam penguasaan,pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal

      

28

Lilik Mulyadi, Tindak pidana korupsi, PT. Citra aditya bakti, bandung, 2000, Halaman 17

29


(34)

negara, atau perusahaan yang menyertakan modal dari pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Menurut Barda Nawawi Arief, dengan dicantumkannya kata “dapat” di depan unsur merugikan keuangan negara pada kedua pasal in, merubah delik ini menjadi “delik formil”.30 Pandangan pembuat undang-undang menetapkan kedua pasal ini menjadi delik formil, nampakya merujuk kepada ajaran formele wederrechtelijkheid, yang menyatakan sesuatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat “wederrechtelijk”, yaitu apabila perbuatan memenuhi semua unsur yang terdapat didalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang.31 Maka berdasarkan dari hal tersebut akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa tidak perlu dibuktikan. Pengertian perekono,iam negara menurut penjelasan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan, ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.

Pasal 2 ayat 2, diancam dengan pidana mati, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika dilakukan dalam keadaan tertentu. Yang dimaksud keadaan tertentu :

      

30

Barda Nawawi Arief, Masalah penegaka hukum & kebijakan penanggulangan kejahatan, PT. Citra aditya bakti,Bandung,2001, Halaman 149

31

P.A.F Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana, Sinar baru, Bandung, 1984, Halaman 341


(35)

a. Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional. b. Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana

penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas.

c. Apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan krisis ekonomi dan moneter,dan

d. Apabila tindak pidana korupsi itu merupakan pengulangan (residive) . 2) Pasal 3

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dari ketentuan Pasal 3 tersebut dapatlah ditarik unsur-unsur deliknya sebagai berikut:

1. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Pengertian menyalahgunakan kewenangan berarti menyalahgunakan kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang menunjukan kepada “posisi” subyek hukum selaku Pegawai Negri di institusi tempat dia bekerja, kenudian menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang telah digariskan oleh tujuan pokok dan fungsi institusi, sedangkan menyalahgunakan


(36)

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan atribut yang menjadi instrumen kewajiban sesuai denga tujuan pokok dan fungsi institusi. 32 Menurut Andi Hamzah, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, berarti telah melawan hukum.33

2. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

Apabila ditinjau dari aspek pembuktian, maka elemen “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”, dapat lebih mudah dibuktikan jaksa/Penuntut Umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi menjadi kaya atau bertambah kaya karenanya. Lain dengan aspek “memperkaya diri sendiri atau orang lai atau suatu korporasi” sebagaimana ketentuan pasal 2 UUPTK, dimana relatif lebih sulit membuktikannya.34

3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Konteks merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah dijelaskan sebagaimana pembahasan ketentuan Pasal 2 UUPTK.

3) Pasal 5

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

      

32

Marwan Effendy, Tipologi kejahatan perbankan dari perspektif hukum pidana, Sumber ilmu jaya, Jakarta, 2012, Halaman 84

33

Andi Hamzah, loc cit, halaman 164

34


(37)

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawainegeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai “actieve omkooping” atau suap aktif akan tetapi pasal 5 ayat 2 dikualifikasikan sebagai suap pasif yang di adopsi dari Pasal 209 KUHP.

Dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, unsurnya terdiri dari:

a. Setiap orang

b. Dengan maksud memberi atau menjanjikan sesuatu c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

d. Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pengertian pegawai negeri adalh sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2 UUTPK, meliputi:

a. Pegawai negeri sebbagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian (Undang-Undang No. 43 tahun 1999).

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 KUHP. c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara.


(38)

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lan yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.35

Pengertian penyelenggara negara menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah : pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau judikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pengertian “dengan maksud” disini, terkait dengan batin subjek hukum berupa niat (oogmerk). Menurut Sudarto adalah untuk menggerakkan seorang pejabat agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselebung yang diinginkannya, yang di dorong oleh kepentingan pribadi, agar pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentagan dengan kewajibannya. Meskipun pegawai negeri tersebut menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik ini, mengingat perbuatan sudah selesai (voltoid).

Pasal 5 ayat 1 huruf b, unsurnya terdiri dari: a. Setiap orang

      

35


(39)

b. Memberi sesuatu

c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggar negara.

d. Karena atau hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.36

Sama halnya dengan pasal 5 ayat 1 huruf a, tujuan subjek hukum memberikan sesuatu disini karena adanya “pamrih” yang di dorong kepentingan pribadi, karean ada hubungan yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri yang bersangkutan, baik dilakukan atau tidak dalam jabatannya tersebut. Rumusan unsur a dan b, sama halnya dengan rumusan unsur pasal 5 ayat 1 huruf a, hanya bedanya mengenal wujud sesuatu baik barang atau uang di dalam pasal 5 ayat 1 huruf b sudah nyata, sedangkan di dalam pasal 5 ayat 1 huruf a belum nyata baru berupa penawaran untuk memberi sesuatu atau berjanji.37

Pasal 5 ayat 2, unsurnya terdiri dari :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara. b. Menerima pemberian atau janji.

c. Untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Mengenai pengertian pegawai negeri dan penyelenggara negara telah dibicarakan di atas sehingga tidak pelu dibicarakan lagi.pegawai negeri atau penyelenggara menurut rumusan korupsi suap ayat (2) ini adalah si pembuatnya. Berbeda pada korupsi suap bentuk pertama dan kedua kualitas pegawai negeri

      

36

Marwan Effendy, Op.cit, Halaman 94

37


(40)

dalam rumusanitu adalah sebagai subjek hukum yang kepentingan hukumnya dilindungi dalam hal kepentingan hukum dalam hal kepentingan hukum mengenai kelancaran dan ketertiban pelaksanaan tugas pekerjaannya yang bersifat umum.38

Perbuatan menerima suap menurut rumusan ayat (2) ini cenderung merupakan tindak pidana materil, bukan merupakan tindak pidana formil murni. Apabila pemberian itu belum berpindah ke dalam kekuasaan oknum pegawai negeri si pembuat dan secara nyata dan mutlak misalnya sejumlah uang dalam map plastik oleh si pemberi telah di arahkan kepada orrang yang duduk dibelakang meja untuk diserahkan dan belum dipegang dalam tangannya secara utuh, tiba-tiba terhenti karena digrebek oleh anggota polisi maka adegan perbuatan memberikan itu belum selesai dan kejadian itu barulah merupakan percobaan menerima pemberian yang in casu percobaan suap korupsi ayat (2) pasal 5. Demikian halnya dengan perbuatan yang kedua yakni menerima janji dianggap selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan –keadaan sebagai pertanda/indikator bahwa apa isi yang diperjanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut, tetapi tidak dapat terjadi dengan tidak memberi isyarat apapun atau diam.39

4) Pasal 6

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

      

38

Adami Chazami, Hukum pidana materil dan formil di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, Halaman 78

39


(41)

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai pacieve omkooping atau suap pasif. Rumusan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari Pasal 210 KUHP. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUTPK merumuskan tinddak pidana korupsi suap oleh hakim dan advokat, tetapi ketentuan tindak pidana korupsi suap dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 oleh hakim merupakan korupsi suap bersifat khusus, walaupun hakim adalah pegawai negeri yang telah juga dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 sebagaimana telah di uraikan tetapi tidak diberlakukan kepada hakim. Karena pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 diberlakukan secara khusus atas tindak pidana korupsi suap oleh hakim, maka ketentuan yang bersifat khusu yang diterapkan, karena hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP: “jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana


(42)

yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”, dan juga sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali”.40

5) Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Rumusan tindk pidana korupsi dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang ini merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 387 dan 388 KUHP. Dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat lima jenis tindak pidana korupsi, yaitu:

      

40


(43)

1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemborong bangunan, ahli pembuat bangunan, penjual bahan bangunan pada saat menyerahkan bahan bangunan dengan melakukan kecurangan yang dapat membahayakan orang atau barang, atau keselamatan negara kalau dalam keadaan perang.

2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengawas bangunan, dan pengawas penyerahan bahan bangunan yang membiarkan perbuatan curang pada saat pelaksanaan pembangunan dan penyerahan bahan bangunan.

3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penyerahan barang keperluan tentara nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena melakukan kecurangan yang dapat membahayakan keselamatan negara yang dalam keadaan perang.

4) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pengawas penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang pada saat penyerahan barang tersebut.

5) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penerima penyerahan bahan bangunan atau penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negaran Republik Indonesia, karena membiarkan perbuatan curang dalam penyerahan tersebut.41

6) Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 8, Unsurnya terdiri:

a. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri

b. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.

c. Dengan sengaja.

      

41


(44)

d. Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu melakukan perbuatan tersebut. Delik ini identik dengan delik penggelapan dalam jabatan, seperti yang dirumuskan oleh pasal 415 KUHP. Subjek hukum pasal 8 ini adalah seseorang dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal 5 ayat 1 huruf a. Larangan yang dirumuskan oleh pasal ini, terkait dengan perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.42

7) Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Apabila dirinci maka pasal 9 ini terdiri atas unsur: 1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri.

2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.

3. Dengan sengaja.

4. Memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusu untuk pemeriksaan administrasi.

      

42


(45)

Perbuatan memalsu menurut pasal 9 ini merupakan perbuatan dengan cara bagaimanapun mengubah tulisan pada buku-buku atau daftar-daftar yang sudah ada sehingga isinya menjadi lain dari yang sebenarnya atau menjadi palsu. Buku-buku atau daftar-daftar yang dibuat isinya dapat bermacam-macam, misalnya memuat daftar barang-barang atau alat-alat invetaris kantor, pengeluaran atau belanja dan pemasukan uang, pengadaan alat-alat keperluan kantor, daftar mengenai uang perjalanan, daftar pemeliharaan kendaraan dinas, dan tidak terbatas banyaknya. Buku-buku atau daftar-daftar itulah yang dipalsu dengan perbuatan memalsu seperti yang diterangkan diatas.

Dengan sengaja dalam pasal 9 harus diartikan si pembuat memang menghendaki untuk melakukan perbuatan memalsu dan dia mengetahui bahwa objek yang dia palsu itu mengenai buku-buku atau daftar-daftar. Selain itu dia juga mengetahui bahwa buku-buku atau daftar-daftar dibuat khusus untuk bagi pemeriksaan administrasi.

8) Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau


(46)

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

Rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20 tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 417 KUHP yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUHP tentang kejahatan jabatan. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat tiga jenis tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, yaitu :

1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menurus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yag berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.

3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.43

      

43


(47)

9) Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Jika diperhatikan Pasal 11 terdiri atas unsur-unsur :

a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara. b. Menerima hadiah atau janji.

c. Dikettahui atau patut diduga.

d. Bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Pasal 11 ini dapat di golongkan sebagai penyuapan pasif (passive omkooping) yang berasal dari Pasal 418 KUHP yang diambil oper oleh Undang-Undang ini. Rumusan delik ini merupakan kebalikan dari Pasal 5 ayat 2. Konsekuensi logis dipenuhi unsur menerima hadiah atau janji tersebut, oleh subjek hukum akan menimbulkan beban moril untuk memenuhi permintaan dari si pemberi hadiah atau janji, sebagai imbal balik dari pemberian hadiah atau janji yang diterimanya. Sebaliknya jika ia menolak, maka yang dapat dijerat oleh Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang ini adalah si pemberi hadiah atau janji tersebut.44

      

44


(48)

10) Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;


(49)

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11) Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12B huruf a terdiri atas unsur:

a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara. b. Menerima pemberian suap (gratifikasi)

c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.


(50)

Pengertian gratifikasi menurut penjelasan 12B ayat 1 adalah pemberian dalam arti luas, dapat berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, ticket perjalanan, fasilitas, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan faslitas lainnya, seperti ditraktir main golf, yang nilainya Rp. 10 juta. Perbuatan subjek hukum disini sebagai pegawai negeri menurut pasal 1 angak 2 merupakan kewajibannya secara biasa mendapatkan imbalan jasa dari orang yang urusannya pada bank tersebut menjadi lancar, karena ada bantuan dari pegawai negeri tersebut. Pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bersangkutan).45

Pasal 12B huruf b unsurnya terdiri:

a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara. b. Menerima pemberian suap (gratifikasi).

c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

d. Nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal ini identik dengan pasal 12B huruf a, bedanya hanya terletak ada nilai nominal yang diterima sebagai gratifikasi dan pembuktiannya dilakukan ooleh penuntut umum.

12) Pasal 13

Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan

      

45


(51)

atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Apabila dilihat secara rinci Pasal 13 memiliki unsur yang terdiri :

a. Setiap orang

b. Memberi hadiah atau jaji. c. Kepada pegawai negeri

d. Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan.

Pasal 13 ini dapat digolongkan sebagai penyuapan aktif (actieve omkooping). Unsurnya identik dengan Pasal 12 hruf b dan c. Menurut Andi Hamzah dengan adanya pasal 13 ini, maka hilanglah arti pasal 209 KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi. Pasal 13 ini lebih luas jangkauan perumusannya, sehingga lebih mudah pembuktiannya. Orang disuap meliputi pegawai negeri dalam bentuk membujuk pegawai negeri supaya berbuat atau mengalpakan sesuatu berlawanan dengan kewajibannya seperti tercantum dalam Pasal 209 KUHP.

Sebenarnya jika diamati dengan seksama, delik ini lebih ditujukan untuk menjaring segala macam bentuk hadiah atau janji yang tidak terjaring dalam delik penuapan aktif lainnya, seperti hadiah ulang tahun, bingkisan lebaran, kado perkawinan atau lain yang sejenis yang sifatnya berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mencari muka terhadap pegawain negeri tersebut. Dalam hal ini menurut sudarto, apabila tidak berlebih-lebihan artinya tidak melampui kewajaran, maka bisa diterima. Perkataan bisa diterima disini tergantung dari pandangan


(52)

masyarakat terhadapnya. Jadi kalau masyarakat memang memandang hal tersebut wajar, maka sifat melawan hukumnya perbuatan tidak ada, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang.46

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut dirumuskan dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK mengelompokkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagai berikut:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: Pasal 21.

2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar: Pasal 22 jo. Pasal 28.

3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka: Pasal 22 jo. Pasal 29.

4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu:

Pasal 22 jo. Pasal 35.

5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu:

Pasal 22 jo. Pasal 36.

6. Pengaduan palsu dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 220 KUHP.

7. Menarik, menyembunyikan, menghancurkan, melakukan atau

membiarkan dilakukan kejahatan baik sengaja maupun karena kealpaan terhadap barang sitaan dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-undang tindak pidana korupsi jo. Pasal 231 KUHP. 8. Pejabat dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang

melakukan atau membiarkan sesuatu dalam perkara korupsi:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP.

9. Pejabat dalam perkara korupsi secara memaksa untuk memeras pengakuan atau mendapatkan keterangan:

      

46


(53)

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 422 KUHP.

10.Pejabat dengan melampui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan memaksa masuk rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain atau berada disitu secara melawan hukum, dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak atau atas nama orang itu atau memeriksa, merampas surat-surat, buku-buku, atau kertas-kertas lain:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 429 KUHP.

11.Pejabat yang melampui kekuasaannya menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat-surat yang diserahkan pada lembaga pengangkutan umum, atau menyuruh pejabat telepon atau orang lain ditugasi untuk memberi keterangan suatu percakapan yang dilakukan melalui lembaga tersebut:

Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 430 KUHP.

12.Saksi yang membuka identitas pelapor: Pasal 24 jo. Pasal 31.47

Berbagai jenis tindak pidana korupsi seperti diuraikan di atas tidak seluruhnya mengandung rumusan secara melawan hukum. Hanya terdapat pada dua ketentuan, yaitu : Pasal 2 ayat (1) dan pasal 12 huruf e.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 huruf e Undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

      

47


(1)

administrative penal law dan tindak pidana korupsi yang pada saat ini dimana para hakim lebih sering menggunakan Undang-Undang tindak pidana korupsi di dalam sebuah perkara yang terkait dengan perbankan karena menganggap tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime sehingga penanganannya lebih di utamakan di dalam sebuah kasus yang berkaitan dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Untuk mengantisipasi kekeliruan penerapan hukum sebagaimana dimaksud diatas, dibutuhkan kesamaan persepsi diantara para hakim disemua tingkatan peradilan mengenai keberlakuan azas lex specialis sistematic derogate lex generali dalam konteks Administrative Penal Law dan konteks Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Di dalam hukum pidana terdapat peratutan-peraturan yang mengatur khusus mengenai korupsi dalam dunia perbankan. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tahun 2001 Jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dan juga melanggar dan juga Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan. Diantara kedua peraturan tersebut haruslah dapat diambil titik singgung dimana sebuah perbuatan yang melawan hukum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan.

2. Korupsi merupakan kejahatan yang sampai saat ini masih saja terus terjadi, bahkan semakin maraknya kejahatan korupsi yang terjadi di Indonesia. Di dalam penerapan hukum pidana di Indonesia terutama di bidang perbankan masih terdapat pro dan kontra terhadap suatu perbuatan yang termasuk ke dalam sebuah perbuatan koruptif atau melanggar peraturan yang bersifat administrative yang di tambahkan sanksi pidana atau di sebut administrative penal law seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Dalam kasus putusan nomor : 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN. yang dilakukan terdakwa Drs. Radiyasto dengan cara memberikan kredit kepada Boy Hermansyah selaku direktur PT.


(3)

rupiah) dengan jaminan aset PT. Atakana Company Group merupakan perbuatan melanggar hukum. Hal ini dapat dilihat dengan cara pemberian kredit yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan prosedur yakni belum beralihnya kepemilikan jaminan PT. Atakana Company Group kepada Boy Hermansyah selaku direktur PT. BDL seharusnya sebelum dilakukan pencairan kredit terlebih dahulu harus terjadi proses perikatan jual beli antara PT. Atakana Company Group dengan Boy Hermansyah selaku PT. BDL. Diperlukan adanya kesamaan persepsi diantara para hakim dan penegak hukum disemua tingkatan peradilan mengenai keberlakuan azas lex specialis sistematic derogate lex generali dalam konteks Administrative Penal Law dan konteks Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga tidak terjadi kekeliruan di dalam penerapan hukum pidana di Indonesia.

B. Saran

1. Perlu penegakan hukum mengenai perbankan sebaiknya penyidik harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan No. 7 tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 tahun 1998.

2. Perlu dilakukan pemahaman lebih mengenai dualisme antara pemberlakuan peraturan yang menyangkut administrative penal law dengan perarturan tindak pidana korupsi di dalam penegakan hukum di Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSATAKA

A. BUKU

Arief, Barda nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Atmasasmita, Romli, Sektor Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 2004.

Chazami, Adami, Hukum Pidana Materil dan Formil Di Indonesia, Bayu Media, Malang,2005.

Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta,2010.

Effendy, Marwan, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2002.

E.PH Sitorus, D. Schafmeister, N.kijzer, Hukum Pidana, Libert, Yogyakarta, 1995.

Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1991.

Hartono, Sunarti, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005.

Jasin, Mochhamad, Konvensi PBB Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan MOU Antara KPK dan BI, 2007.


(5)

Lubis, M. Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Cet ke-VII, 2001.

Moleong, Lexy, Metedologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Semarang, 1995.

Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Pradjonggo, Tjandra Sridjaja, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, 2010.

Prodjohamidjojo, Martin, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Pradnya Paramita

Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985.

Sunggono, Bambang, Metedeologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Suyatno, Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

Tantri Francis, dan Thamrin Abdullah, Bank dan Lembaga Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

Tongat, dan A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2004.


(6)

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

C. Internet

Sapardjaja , Komariah Emong, “Bidang Pidana”,Pengadilan Negri Sleman, diakses dari http://www.pn-sleman.go.id/index.php/melawan-hukum-dlm-uu-tipikor-teknikyudisial-139/45-rakernas-makassar/rakernas-makassar/115-bidang-pidana