Sugondo Kartoprojo: Pendidik Dan Pejuang Kemerdekaan Di Sumatera Utara

(1)

SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

DIKERJAKAN O

L E H

LESTARI DARA CINTA UTAMI GINTING 090706015

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

LESTARI DARA CINTA UTAMI GINTING 090706015

Pembimbing

Dr. Suprayitno, M.Hum N.I.P : 196101191988031004

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA UTARA

Yang diajukan oleh

Nama : Lestari Dara Cinta Utami Ginting Nim : 090706015

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Dr. Suprayitno, M.Hum

N.I.P : 196101191988031004 tanggal……….

Ketua Departemen Sejarah tanggal……….

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP 196409221989031001


(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Fakultas Ilmu Budaya dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada : Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis. M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum……… (……….) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si…………..……. (……….) 3. Dr. Suprayitno, M.Hum ………. (……….) 4. Dra. Fitriaty Harahap, S.U……….. (……….) 5. Dra. Lila Pelita Hati, M.Si………... (……….)


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan rezekiNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari dunia penuh kebodohan menuju dunia penuh harapan baik ini. Adapun skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul, SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN DI SUMATERA UTARA

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan saran dan kritik membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.

Medan, Juli 2013

Penulis,

Lestari Dara Cinta Utami Ginting


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karuniaNya, kesempatan, rezeki, kesehatan dan berkat serta perlindungan yang diberikanNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik sesuai target yang ditentukan.

Adapun pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang membantu dan dengan sabar memberikan dorongan moril dan spiritual kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat:

1. Papaku (Hendrik Ginting, SE) dan juga Mamaku (Yusseri Rezeki Halida Lubis) yang tersayang dan terkasih. Kalian adalah orang tua terbaik di dunia. Menjadi anak kalian adalah berkah tersendiri bagi penulis. Kesabaran, kasih sayang, cinta kasih, kebijaksanaan kalianlah yang menjadikan penulis seperti ini..

2. Adik-adik penulis yang terkasih. Aida Caroline Aprilla, Gadis Vania Yasmine dan Sarah Zulaika. Kalian adalah adik-adik nomor satu di dunia. Tidak lupa kepada Nenek, Ibu Enny dan seluruh keluarga besar yang telah banyak memotivasi penulis. 3. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Syahron

Lubis, M.A, Pembantu Dekan II, Bapak Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III, Bapak Yuddi Adrian Muliadi, M.A, berkat bantuan serta segala fasilitas yang penulis terima selama perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

4. Bapak Drs. Edi Soemarno, M.Hum sebagai Ketua Departemen Sejarah yang selalu senantiasa memperhatikan dan membimbing penulis selama di bangku perkuliahan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Tidak luput penulis juga


(8)

berterima kasih kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si sebagai Sekretaris Departemen Sejarah.

5. Bapak Dr. Suprayitno, M.Hum selaku dosen pembimbing penulis yang tidak kenal lelah membimbing, menasehati, menuntun penulis di dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

6. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U selaku dosen wali penulis yang selama penulis duduk di bangku perkuliahan dan terkhusus dengan semua dosen penguji penulis ketika sidang meja hijau.

7. Terima kasih penulis haturkan kepada Bapak/Ibu dosen Departemen Sejarah yang telah membimbing penulis sehingga penulis selalu merasa bersyukur telah diterima di Departemen Sejarah USU. Terkhusus penulis ucapakan kepada Ibu Dra. Ratna, MS yang selama penulis duduk di bangku perkuliahan menjadi seorang ibu yang baik yang penulis miliki selama perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada bang Ampera Wira selaku Tata Usaha Departemen Sejarah yang telah banyak memberi kemudahan di dalam urusan akademis penulis.

8. Seluruh informan penulis yang senang hati dan banyak memberikan bantuan demi penyelesaian skripsi penulis. Penulis meminta maaf tidak dapat menyebutkan nama informan satu per satu, tetapi jasa-jasa yang para informan berikan tidak akan pernah penulis lupakan seumur hidup penulis.

9. Para gadis 2009. Nurlailisa, Elisa, Ratna, Mustika, Wifky, Toti Noven, Suryania, dan Shinta. Penulis merasa senang bergaul dengan kalian. Terkhusus kepada temanku Roni Rezeki. Penulis merasa senang bertemu dan bersahabat dengan kalian.

10.Kepada seluruh teman-teman 2009 yang baik hati. Tidak lupa juga kepada seluruh kakak dan abang senior dan adik-adik junior yang telah memberi banyak motivasi kepada penulis.


(9)

11.Boaz Febry Christian, Sahabat terbaik dan teman bertengkar penulis. Terima kasih dengan semua pengertian yang diberikan kepada penulis.

12.Teman-teman di BT/BS BIMA. Terima kasih atas semua bimbingan dan arahan serta pertemanan yang dijalin selama penulis menjadi tentor.

Dengan rasa rendah hati dan penuh suka cita penulis memohon kepada Allah SWT agar kiranya kita selalu dilindungi dan diberkati di dalam menjalankan aktifitas dan kegiatan kita sehari-hari. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak baik yang disebutkan atau yang tidak dapat disebutkan, karena dengan kebaikan hati semua pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu besar harapan penulis agar semua pihak dapat memberikan saran dan kritik membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

Penulis

Lestari Dara Cinta Utami Ginting


(10)

ABSTRAK

Biografi adalah riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Biografi merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah sehingga di dalam penulisannya tentu tidak lepas dari metode sejarah. Di dalam penulisan biografi, seorang tokoh memainkan peranan yang sangat penting, karena tokoh inilah yang dijadikan sebagai objek di dalam penulisan biografi.

Sugondo Kartoprojo adalah seorang tokoh pendidikan dan juga pejuang kemerdekaan. Sebagai tokoh pendidik, jasa-jasa beliau di dalam membimbing anak bangsa sungguhlah besar. Sugondo jugalah yang merintis Taman Siswa Kutaraja Aceh, dan di bawah kepemimpinannya jugalah sekolah partikelir seperti Taman Siswa mendapatkan hati di masyarakat Aceh. Ketika Taman Siswa Medan mendapatkan permasalahan, Majelis Luhur Pusat Taman Siswa tetap mempercayakan kepiawaian Sugondo di dalam menyelesaikan masalah. Terbukti setelah kedatangan Sugondo pulalah, Taman Siswa Medan menjadi semakin maju.

Jika jasa-jasa Sugondo di dunia pendidikan sangat besar, maka begitu pula dengan jasa-jasa beliau di kancah perjuangan. Sebagai seseorang yang cukup terkenal dikalangan para pemuda berkat Taman Siswa yang dipimpinnya, Sehingga Sugondo dipercayakan menjadi ketua umum BPI di dalam upaya menegakkan proklamasi di kota Medan. Ketika Indonesia berada di masa RIS, dan Sumatera Timur berbentuk Negara Sumatera Timur, Sugondo pun turut aktif di dalam memperjuangkan bersatunya kembali Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan masa kecil Sugondo, perjuangan Sugondo di dalam memperjuangkan kemerdekaan sampai kehidupan Sugondo PascaRevolusi hingga akhir hayat Sugondo, di mana tujuan penulisan skripsi ini tergambar jelas di dalam rumusan masalah skripsi ini.

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sejarah sebagai panduannya yang terdiri dari Heuristik (Pengumpulan sumber-sumber), Verifikasi (Kritik sumber), Interpretasi (Analisis data) dan Historiografi (Tahapan penulisan).

Skripsi ini bersifat deskriptif naratif sehingga penulis mencoba untuk mengungkapkan data dan menceritakan secara menyeluruh tentang biografi SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN.


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

UCAPAN TERIMA KASIH………ii

ABSTRAK……….iii

DAFTAR ISI……….iv

BAB I PENDAHULUAN………..1

1.1Latar Belakang Masalah……….1

1.2Rumusan Masalah………..5

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………..6

1.4Tinjauan Pustaka……….8

1.5Metodologi Penelitian………...11

BAB II KEHIDUPAN DAN PENDIDIKAN KI SUGONDO KARTOPROJO…14 2.1 Yogyakarta Pada Awal Abad Ke- 20………14

2.2 Pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo………..19

2.3 Falsafah Hidup Ki Sugondo Kartoprojo………27

BAB III KI SUGONDO KARTOPROJO SEBAGAI PENDIDIK………..33

3.1 Mengawali Karir Sebagai Pendidik di Yogyakarta dan Cepu………33

3.2 Mengemban Tugas di Kutaraja………37

3.3 Membangun Dunia Pendidikan di Medan………43


(12)

BAB IV KI SUGONDO KARTOPROJO SEBAGAI PEJUANG KEMERDEKAAN….59

4.1 Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota PARINDRA Sumatera Timur………59

4.2 Peranan Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota BOMPA………66

4.3 Peranan Ki Sugondo Kartoprojo Sebagai Pejuang Kemerdekaan……….73

4.3.1 Sugondo Kartorprojo Sebagai Ketua Umum BPI………..73

4.3.2 Sugondo Kartoprojo Sebagai Anggota Front Nasional Sumatera Timur…………...98

4.4 Aktifitas Ki Sugondo Kartoprojo di Masa Tua………. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………118

5.1 Kesimpulan……….118

5.2 Saran………120

DAFTAR PUSTAKA………..121

DAFTAR INFORMAN


(13)

ABSTRAK

Biografi adalah riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Biografi merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah sehingga di dalam penulisannya tentu tidak lepas dari metode sejarah. Di dalam penulisan biografi, seorang tokoh memainkan peranan yang sangat penting, karena tokoh inilah yang dijadikan sebagai objek di dalam penulisan biografi.

Sugondo Kartoprojo adalah seorang tokoh pendidikan dan juga pejuang kemerdekaan. Sebagai tokoh pendidik, jasa-jasa beliau di dalam membimbing anak bangsa sungguhlah besar. Sugondo jugalah yang merintis Taman Siswa Kutaraja Aceh, dan di bawah kepemimpinannya jugalah sekolah partikelir seperti Taman Siswa mendapatkan hati di masyarakat Aceh. Ketika Taman Siswa Medan mendapatkan permasalahan, Majelis Luhur Pusat Taman Siswa tetap mempercayakan kepiawaian Sugondo di dalam menyelesaikan masalah. Terbukti setelah kedatangan Sugondo pulalah, Taman Siswa Medan menjadi semakin maju.

Jika jasa-jasa Sugondo di dunia pendidikan sangat besar, maka begitu pula dengan jasa-jasa beliau di kancah perjuangan. Sebagai seseorang yang cukup terkenal dikalangan para pemuda berkat Taman Siswa yang dipimpinnya, Sehingga Sugondo dipercayakan menjadi ketua umum BPI di dalam upaya menegakkan proklamasi di kota Medan. Ketika Indonesia berada di masa RIS, dan Sumatera Timur berbentuk Negara Sumatera Timur, Sugondo pun turut aktif di dalam memperjuangkan bersatunya kembali Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan masa kecil Sugondo, perjuangan Sugondo di dalam memperjuangkan kemerdekaan sampai kehidupan Sugondo PascaRevolusi hingga akhir hayat Sugondo, di mana tujuan penulisan skripsi ini tergambar jelas di dalam rumusan masalah skripsi ini.

Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sejarah sebagai panduannya yang terdiri dari Heuristik (Pengumpulan sumber-sumber), Verifikasi (Kritik sumber), Interpretasi (Analisis data) dan Historiografi (Tahapan penulisan).

Skripsi ini bersifat deskriptif naratif sehingga penulis mencoba untuk mengungkapkan data dan menceritakan secara menyeluruh tentang biografi SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN.


(14)

Bab I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, biografi adalah riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain1

Kita dapat melihat bagaimana sejarah Indonesia dengan historiografi tradisionalnya sangat mengagung-agungkan peranan seorang tokoh. Pandangan ini sebenarnya dilandasi oleh suatu kepercayaan masyarakat bahwa kehidupan manusia itu merupakan sebagian dari proses Kosmo-Magis dan asal usul yang serba mitologis. Kita kenal misalnya Kitab Pararaton, Babad Diponegoro, Sejarah Melayu ataupun hikayat Raja-raja Pasai dan sebagainya

. Biografi dalam penulisan sejarah barangkali merupakan yang paling tua di dalam sejarah. Penulisan biografi seringkali tidak digolongkan ke dalam historiografi, karena sejarah dunia maupun nasional menunjukkan betapa sejarah konvensional hanya mengungkapkan kejadian-kejadian besar saja seperti politik, militer ataupun perang yang terjadi. Padahal dahulu orang lebih menyukai biografi daripada sejarah politik, ekonomi dan sebagainya. Hal ini dikarenakan pada saat itu individu sangat berperan penting.

2

Dalam penulisan biografi, peranan seorang tokoh sangatlah penting. Tokoh adalah seseorang yang memiliki kelebihan atau keunikan dalam kehidupannya di dalam masyarakat

. Semua hal di atas memperlihatkan adanya peranaan tokoh yang dianggap memiliki kharisma.

3

1

V.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,1984, hal.144.

2

Suwandi Syafei, Penulisan Biografi:Dalam Pemikiran Biografi dan Kesejarahan Jilid II, Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek IDSN,1982,hal.85.

3

Ibid., hal. 81.


(15)

lahirnya saja tetapi juga memaparkan sejarah kehidupannya mulai dari lahir sampai dia meninggal.

Dalam menulis biografi kita harus memperhatikan empat hal. Pertama, bagaimana kepribadian sang tokoh. Kepribadian atau perwatakan tidaklah mudah diungkapkan ketika kita menuliskan biografi. Oleh karena itu di dalam menulis biografi, seorang penulis membutuhkan bantuan ilmu psikologi untuk memahami watak sang tokoh tersebut. Dengan adanya ilmu psikologi tesebut, penulis dapat dengan mudah mengungkapkan perwatakan tokoh dengan menonjolkan tindakan-tindakan khas atau pun memaparkan ucapan-ucapan yang khas yang biasa dikatakan sang tokoh.

Kedua, latar sosial atau latar budaya di mana sang tokoh hidup. Dalam mengungkapkan latar sosial atau latar budaya di mana sang tokoh hidup di sinilah biasanya penulis memperoleh kesukarannya. Hal ini dikarenakan di dalam mendeskripsikan keadaan zaman sang tokoh tersebut hidup dibutuhkan ketelitian yang khusus. Selain itu biographer juga harus memahami permasalahan-permasalahan yang timbul dalam historiografi zaman yang bersangkutan.4

Ketiga, sensibilitas. Yang dimaksud dengan sensibilitas dalam hal ini adalah kekuatan emosional pada sebuah kurun sejarah. Keempat, adalah poin-poin di mana sang tokoh itu berubah. Melihat faktor-faktor di atas, penulis merasa tertarik untuk menulis biografi sebagai skripsinya. Apalagi tokoh yang penulis tulis dalam biografi adalah tokoh yang berperan membawa perubahan bagi bangsa ini dan memberikan efek bagi kehidupan masyarakat di Disinilah dibutuhkan ketelitian dan kecermatan penulis di dalam melakukan analisa yang komprehensif terhadap zaman sang tokoh agar dapat diungkapkan dengan baik dengan cara mengetahui latar belakang sang tokoh.

4

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Pemikiran Biografi dan Kesejarahan:Suatu Kumpulan Prasaran Pada Berbagai Lokakarya Jilid III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan


(16)

sekitarnya, dan dalam hal ini, penulis merasa Ki Sugondo Kartoprojo dapat mewakili defenisi tokoh di atas.

R.M Soegondo Kawuri Kusman atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Sugondo Kartoprojo dan sering disapa masyarakat dengan panggilan pak Gondo adalah seorang tokoh pendidikan dan pejuang pergerakan di Sumatera Utara. Beliau lahir di Onder Distrik

Watukarang daaerah Yogyakarta pada 15 Juli 1908. Sugondo adalah anak dari Raden Ngabehi yang bekerja sebagai kepala Onder Distrik. Keluarga Sugondo masih memiliki keturunan bangsawan dari Sultan Hamengku Buwono I dari Mataram. Oleh karena itu, Sugondo kecil sudah diasuh layaknya anak-anak Bangsawan Jawa pada umumnya.

Sugondo kecil memperoleh pendidikan di sekolah rendah yang pada saat itu bernama H.I.S (Holand Indlands School) di Desa Tangka Yogyakarta, tetapi karena adanya suatu permasalahan pada saat itu dan mengganggu prinsip hidupnya, Sugondo keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di sekolah Adi Dharmo. Dari sekolah inilah Sugondo nantinya berkenalan dan mendapatkan pendidikan langsung dari Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.

Selanjutnya, Sugondo melanjutkan pendidikannya di Perguruan Taman Siswa. Terbiasa memperoleh nasihat nasionalisme dari Ki Hajar Dewantara akhirnya mengantarkan Sugondo untuk terjun ke dunia politik praktis. Dimulai dari keikutsertaan Sugondo menjadi pengurus Jong Java lalu ke PNI sampai akhirnya menjadi komisaris PARINDRA (Partai Indonesia Raya), Sugondo pun turut andil di dalam memperjuangkan kemerdekaan.


(17)

Keikutsertaan Sugondo di dalam beberapa partai menjadikan Sugondo sebagai tokoh pergerakan yang disegani pada saat itu. Selain itu, Sugondo juga menjadi anggota

Gemeenteeraad Medan pada tahun 1938-19425

Sampai sejauh ini belum ada penulisan khusus tentang beliau yang ditulis oleh para peneliti. Memang, nama beliau ada disebutkan di dalam beberapa sumber tertulis, seperti dalam buku Medan Area Mengisi Proklamasi, Mencoba lagi Menjadi Indonesia atau beberapa skripsi Departemen Sejarah tentang Sekolah Taman Siswa. Melihat jasa beliau yang

.

Ketika masa Jepang, beliau menjadi anggota Badan Oentuk Membantu Perang Asia (BOMPA), di mana organisasi itu dimanfatkan beliau dan kawan-kawan untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan di jiwa pemuda-pemuda Indonesia. Beliau juga terplilih sebagai ketua umum BPI (Barisan Pemuda Indonesia) yang tujuan gerakan tersebut adalah mempertahankan kemerdekaan.

Tidak hanya menjadi tokoh pergerakan, Sugondo pun aktif memajukan dunia pendidikan pada saat itu. Sebagai tokoh pendidikan, beliau pernah menjabat sebagai ketua perguruan Taman Siswa Medan sejak tahun 1934, yang sebelumnya beliau dipindahkan dari perguruan Taman Siswa Kutaraja pada 1932. Tidak hanya itu, beliau juga menjabat sebagai Ketua Pinisepuh Persatuan Taman Siswa, Ketua Pembimbing Taman Siswa Daerah Subaria (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Aceh), serta Ketua Musyawarah Perguruan Swasta (MPS).

Pada 14 April 1995, beliau meninggal dunia dan dimakamkan di perkuburan Muslim Kayu Besar Jalan Thamrin Medan. Sudah pasti kepergian beliau menjadi luka yang mendalam bagi bangsa ini, melihat perjuangan yang telah beliau lakukan untuk bangsa ini selama hidupnya.

5

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 116.


(18)

sangat besar bagi pendidikan dan perjuangan kemerdekaan maka sudah seharusnya beliau dikenang di dalam sebuah tulisan yang berisi riwayat sejarah hidup beliau.

Dari paparan di atas, tentu menjadi suatu pembahasan yang sangat menarik untuk menulis dan mengikuti perkembangan sejarah kehidupan beliau yang peranannya sampai sekarang masih dirasakan khususnya di dunia pendidikan. Sebagai seorang tokoh yang multitalenta tentu beliau pantas dijadikan sebuah biografi yang bagus untuk ditulis sejarahwan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menjadikan beliau sebagai objek untuk ditulis. Untuk itu, ditulislah sebuah judul SUGONDO KARTOPROJO: PENDIDIK DAN PEJUANG KEMERDEKAAN. Adapun skop temporal yang diangkat adalah sekitar abad ke 20 yaitu antara 1908 sampai dengan 1995. Pada 1908 adalah tahun di mana sang tokoh dilahirkan. Tahun 1995 merupakan batas akhir skop temporal penelitian sejarah dan merupakan tahun akhir hayat sang tokoh. Rentang waktu antara 1908-1995 akan dibahas bagaimana pengalaman hidup sang tokoh.

1.2RUMUSAN MASALAH

Dalam melakukan sebuah penulisan, sudah seharusnya ada yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas. Pokok permasalahan ini sangat penting karena pokok permasalahan inilah yang menjadi landasan dan dasar sebuah penelitian. Dengan adanya pokok permasalahan sangat membantu peneliti agar penelitian yang dilakukan menjadi terarah dan tepat sasaran sesuai dengan objek yang telah ditentukan.

Sesuai dengan judul skripsi Sugondo Kartoprojo: Pendidik dan Pejuang Kemerdekaan maka dibuatlah beberapa pokok pertanyaan yang bertujuan sebagai batasan dalam pembahasan penelitian. Adapun pokok permasalahan yang telah ditentukan untuk mempermudah pembahasan adalah sebagai berikut:


(19)

1. Bagaimana latar belakang kehidupan keluarga dan riwayat pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo?

2. Bagaimana peranan Ki Sugondo Kartoprojo dalam membangun sekolah Taman Siswa?

3. Bagaimana peranan Ki Sugondo Kartoprojo dalam memperjuangkan dan mempertahahankan kemerdekaan di Sumatera Utara khususnya kota Medan?

4. Bagaimana kehidupan Ki Sugondo Kartoprojo pada masa PascaRevolusi hingga akhir hayat beliau?

1.3TUJUAN DAN MANFAAT

Dalam melakukan sebuah penulisan tentang Sugondo Kartoprojo: Pendidik dan Pejuang Kemerdekaan ini tentu mempunyai tujuan dan manfaat yang dapat diberikan kepada pembaca dan seluruh jajaran sejarawan serta akademisi dan para pejuang kemerdekaan pada masa sekarang ini. Adapun tujuannya antara lain:

1. Menjelaskan latar belakang kehidupan Sugondo Kartoprojo dari kecil hingga dewasa, pendidikan dan pengalaman organisasi beliau.

2. Menjelaskan peranan Sugondo Kartoprojo dalam membangun sekolah Taman Siswa.

3. Menjelaskan peranan Sugondo Kartoprojo dalam memperjuangkan hingga PascaRevolusi di Sumatera Utara khususnya kota Medan.

4. Menjelaskan kehidupan beliau di masa tua hingga akhir hayat beliau. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:


(20)

1. Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam penulisan biografi dewasa ini.

2. Memperkaya khasanah penelitian sejarah terutama dalam rangka menulis biografi tokoh sejarah.

3. Sebagai sumber inspirasi bagi para akademisi, sejarawan, masyarakat, pemerintah maupun para pengambil keputusan untuk lebih menghargai jasa-jasa para pahlawan. Diharapkan ketika membaca biografi ini, pemerintah maupun para pengambil kebijakan dapat menetapkan kebijakan yang lebih memahami dan menghargai perjuangan para pahlawan bangsa ini.

4. Sebagai sumber informasi bagi peneliti lain apabila membahas tentang biografi seorang tokoh, sejarah berdirinya sekolah Taman Siswa, atau tentang perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan di Medan.

1.4TINJAUAN PUSTAKA

Ketika kita menulis karya ilmiah, maka diperlukanlah beberapa literatur untuk mendukung penulisan tersebut. Literatur-literatur itulah yang penulis sebut dengan tinjauan pustaka. Tinjauan adalah literatur yang relevan dan memiliki keterkaitan secara dekat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka berisi tentang uraian-uraian yang mengarahkan penulis tentang betapa pentingnya literatur sehingga digunakan sebagai sumber acuan yang menimbulkan ide, sumber informasi dan pendukung penelitian. Adapun literatur yang digunakan untuk mendukung penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Suwandi Syafei dalam bukunya yang berjudul “Penulisan Biografi: Dalam Pemikiran Biografi dan Kesejarahan, Jilid II” sangat membantu penulis dalam menjelaskan defenisi biografi dan tokoh. Dalam buku tersebut, penulis semakin menyadari bahwa salah satu cara


(21)

kita menghargai jasa-jasa para pahlawan adalah dengan mengabadikan kisahnya di dalam sebuah tulisan. Di samping itu juga, buku ini dapat menjadi sumber informasi bagi penulis untuk menulis biografi yang lebih baik lagi dan menghilangkan unsur kesubjektifan kepada sang tokoh. Di sinilah pentingnya pengetahuan sejarah jika mau menulis biografi seseorang. Dan di sini pula ia sebagai penutur kisah perkembangan umat manusia akan menghadapi masalah seleksi bahan, di samping ia akan terlibat dalam alam filsafat dan sosiologi. 6

Biro Sejarah Prima dalam bukunya “Medan Area Mengisi Proklamasi “ menguraikan sangat jelas peranan Sugondo dalam mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur, terutama tentang peranaan beliau selama di BPI (Badan Pemuda Indonesia). Terpilihnya beliau menjadi ketua umum BPI dikarenakan melihat bahwa para anggota pengurus itu

muda-Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan Di Sumatera” menguraikan tentang terpilihnya Sugondo sebagai pemimpin BPI (Badan Pemuda Indonesia), dimana tujuan gerakan tersebut adalah mempertahankan kemerdekaan. Dalam buku itu juga dipaparkan bagaimana beliau merupakan seorang tokoh yang populer di kalangan para pemuda, setelah keberhasilan beliau dengan sekolah Taman Siswanya.

Suprayitno dalam bukunya yang berjudul “Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia”

menguraikan dengan sangat baik bagaimana keadaan Negara Sumatera Timur (NST) selama tahun 1946 sampai tahun 1949 yang merupakan masa kritis bagi bangsa kita dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam buku ini juga dipaparkan bagaimana Sugondo memainkan peranan penting sebagai tokoh yang memobilisasi massa dengan BPInya ke gedung Taman Siswa di Jalan Amplas untuk mendengarkan pembacaan proklamasi oleh Gubernur Sumatera Mr. T.M Hasan.

6


(22)

muda dan semuanya mengusulkan supaya diangkat orang yang lebih dewasa menjadi ketua umumnya, yaitu Sugondo Kartoprojo7. Dalam buku ini juga dipaparkan bagaimana situasi Indonesia setelah proklamasi dibacakan memuculkan banyaknya organisasi-organisasi pemuda yang nantinya menjadi problematika serius yang ada. Banyaknya organisasi-organisasi tersebut memaksa Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin menginstruksikan untuk menggabungkan organisasi-organisai pemuda di seluruh Indonesia menjadi Pemuda Republik Indonesia. Di Sumatera Timur, pemfusian antara dua organisasi pemuda Indonesia, BPI dan BKPI juga berlangsung dengan lancar sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lainnya8

Tuanku Lukman Sinar dalam bukunya “Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur” menguraikan tentang Indonesia yang memasuki masa RIS (Republik Indonesia Serikat) membuat keadaan Sumatera Timur mulai bergejolak kembali. Kalau negara-negara bagian yang lain dan daerah-daerah istimewa yang lain di Indonesia sudah berantakan dan kemudian bergabung kembali dengan NRI, tidak demikian halnya dengan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST).

. Sugondo yang sebelumnya menjabat menjadi ketua BPI akhirnya mengundurkan diri dari kepengurusan BPI tersebut.

9

7

Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hal .111.

8

Ibid., hal 201.

9

Tuanku Lukman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan, hal. 588.

Akhirnya NRI meminta RIS untuk mencapai kesepakatan dengan kedua negara bagian tersebut agar dapat terbentuk negara kesatuan yang dicapai dengan adanya Piagam Persetujuan antara RIS dengan NRI pada 19 Mei 1950. Dan untuk mempersiapakan Negara Kesatuan Sumatera Timur maka dibentuklah sebuah panitia yang bernama Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatera Timur (PPNKST), dan dalam tugasnya PPNKST tersebut dibantu dengan 2 badan yaitu


(23)

Badan Penasehat dan Badan Penempatan Pegawai. Dan Sugondo Kartoprojo terpilih sebagai salah satu Badan Penasehat.

Ali nur dalam skripsinya yang berjudul Taman Siswa Medan Dalam Perspektif Sejarah menguraikan bagaimana keadaan sekolah Taman Siswa di Medan pada tahun 1930an sampai 1960an. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bagaimana terjadinya konflik di tubuh Taman Siswa sehingga membuat Majelis Luhur memindahkan Sugondo dari Taman Siswa Kutaraja ke Taman Siswa Medan. Dengan kedatangan beliaulah kemelut yang terjadi dapat diatasi, dan beliau membangun Taman Siswa sehingga berhasil menghasilkan murid-murid yang nantinya menjadi orang penting bagi kota Medan.

Asmaulina Revira Khairitina dalam skripsinya yang berjudul Peranan Taman Siswa Pemantang Siantar Dalam Mengokohkan Pendidikan Bangsa Sejak Tahun 1935-1960

menguraikan tentang perkembangan sekolah Taman Siswa di Pemantang Siantar. Skripsi ini cukup membantu penulis dalam memahami struktur organisasi sekolah Taman Siswa dan perkembangan sekolah Taman Siswa itu sendiri. Sugondo sendiri pernah menjabat sebagai pembimbing Taman Siswa Daerah Subaria (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Riau) pada tahun 1948-1985 sehingga skripsi ini dapat membantu penulis dalam menjelaskan peranan beliau bagi sekolah Taman Siswa.

1.5METODE PENELITIAN

Di dalam suatu penulisan sejarah yang ilmiah pemakaian metode sejarah sangatlah penting10

10

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994, hal. 94-97.

. Metode sejarah adalah suatu tahapan yang digunakan dalam penelitian sejarah ilmiah. Dengan adanya metode penelitian dapat menjadi petunjuk peneliti untuk memperoleh sumber-sumber yang relevan terhadap pokok pembahasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.


(24)

Adapun tahap-tahap yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah”

1. Heuristik adalah tahapan paling awal dalam metode sejarah. Pada tahapan ini peneliti berusaha mengumpulkan sumber atau data melalui dua metode, yaitu metode kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research).

Penelitian dengan metode kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data tertulis melalui buku-buku, artikel ataupun sumber tertulis lainnya seperti puisi.

Sedangkan pengumpulan data dengan metode penelitian lapangan dilakukan dengan teknik wawancara terhadap beberapa informan khususnya yang mengenal langsung dengan Sugondo Kartoprojo ataupun masyarakat yang terlibat langsung ketika beliau memimpin BPI ataupun Taman Siswa.

2. Kritik Sumber adalah tahapan kedua dalam metode sejarah. Pada tahapan ini peneliti bertugas untuk mengkritik terhadap sumber-sumber yang diteliti agar peneliti lebih dekat lagi dengan nilai kebenaran dan keaslian dari sumber yang diperoleh. Dalam melakukan kritik terhadap sumber dapat dilakukan dengan cara meng-croschek data dengan menelaah kembali kebenaran isi atau fakta dari sumber buku, arsip ataupun hasil wawancara dengan informan, dan kemudian diuji kembali keaslian sumber tersebut demi menjaga keobjektifan suatu data.

3. Interpretasi adalah tahapan ketiga dalam metode sejarah. Pada tahapan ini peneliti hendaknya menafsirkan data-data yang diperoleh agar menjadi suatu data yang objektif. Dalam hal ini, peneliti menginterpretasi pengumpulan sumber dan mengkritik tentang objek kajian Sugondo Kartoprojo. Dengan adanya interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

4. Historiografi adalah tahapan terakhir dalam metode sejarah. Tahapan ini dapat disebut juga sebagai penulisan laporan. Pada tahap ini, peneliti menjabarkan secara


(25)

kronologis dan sistematis fakta-fakta yang diperoleh agar menghasilkan tulisan yang ilmiah dan bersifat objektif. Pada penulisan biografi ini, penulis dalam menjelaskan atau menerangkan dunia sang tokoh tentu memiliki pendekatan tertentu. Dengan adanya pendekatan ilmiah ini diharapkan dapat memudahkan orang lain untuk memahami maksud dan pengetahuan bagi orang yang membacanya. Yang perlu diperhatikan ialah hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan zamannya, dengan dunia sekelilingnya dan bahwa kehidupannya itu terjalin erat dengan riwayat orang-orang lain yang hidup sejamannya.11

11

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Pemikiran Biografi, dan Kesejarahan: Suatu Kumpulan Prasarana pada Berbagai Lokakarya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982/1983.


(26)

Bab II

KEHIDUPAN DAN PENDIDIKAN KI SUGONDO KARTOPROJO 2.1 Yogyakarta Pada Awal Abad Ke-20

Daerah Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang wilayahnya meliputi sekitar 3100 kilometer persegi, di mana 105 kilometer persegi daerah enclave dahulunya merupakan wilayah kesultanan Surakarta dan Mangkunegara. Secara geografis letak Yoyakarta berada sepanjang 110”24”19” sampai 110” 28”53” Bujur Timur dan 07”15’24” sampai 07” 49’ 26” Lintang Selatan.

Dari 3100 kilometer persegi ini, lebih dari separuh yakni 1.784 kilometer persegi dipakai untuk usaha-usaha pertanian, dan 838 kilometer persegi digunakan untuk tempat tinggal dan pekarangan. Sisanya yang 478 kilometer persegi ditumbuhi oleh hutan-hutan atau digunakan sebagai jalan-jalan dan tempat penggembalaan atau belum dimanfaatkan sama sekali, seperti pantai-pantai serta lereng-lereng gunung yang curam.12

Nama Yogyakarta sendiri jika kita menelusuri sejarahnya maka semula bernama Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki status kasultanan dan dipimpin oleh Sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan pecahan dari kerajaan Mataram akibat adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1775. Di dalam Yogyakarta secara administratif berbatasan dengan keresidenan Kedu yang terletak di bagian barat dan setengahnya berada di bagian utara. Sedangkan di bagian timur laut dan bagian timur Yogyakarta berbatasan dengan keresidenan Surakarta yang memiliki pemerintahan sendiri pada masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. Samudera Hindia membatasi pantai-pantai selatan Yogyakarta.

12

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1981, hal.1.


(27)

perjanjian Giyanti disepakati bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang berkedudukan di Surakarta, sedangkan di sebelah barat dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi atau dikenal dengan Sultan Hamengkubuwono I dan berkedudukan di Yogyakarta.

Kekuasaan- kekuasaan tradisional sultan inilah yang dimanfaatkan Kolonial Belanda ketika menjajah Yogyakarta. Kolonial Belanda memanfaatkan sultan di bawah pengawasannya secara langsung dan memasukkan ide-ide politiknya kepada rakyat melalui sultan. Dengan cara tersebut kolonial Belanda membuat rakyat percaya bahwa sultan masih menjadi pemimpin mereka. Mereka tak banyak tahu tentang perjanjian politik itu, yang “tak lain daripada tangan besi dalam sarung tangan beludru yang secara perlahan tapi pasti menyumbat nafas kemerdekaan”.13

Kedudukan sultan sangat penting bagi masyarakat Jawa saat itu, begitu pula dengan daerah Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menganggap sultan memiliki kedudukan yang tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat. Adalah merupakan suatu aturan yang sudah mantap bahwa raja Jawa termasuk sultan harus merupakan keturunan langsung dari para raja yang memerintah sebelumnya, terutama putera pertama dari istri pertama.

Pemerintah Belanda pun tetap mengizinkan Sultan Hamengkubuwono memakai atribut gelar kerajaannya bahkan ketika Indonesia telah merdeka, sultan yang memerintah pada saat itu tetap diakui secara resmi gelar kerajaannya.

14

Kedudukan sultan semakin kuat di masyarakat Yogyakarta karena adanya anggapan bahwa sultan dapat berkomunikasi langsung dengan penguasa lautan selatan Nyi Roro Kidul yang juga dipercayai masyarakat sebagai pelindung sultan. Masyarakat percaya bahwa Nyi Roro Kidul akan membantu sultan bila terjadi kesulitan dan akan melindungi keselamatan rakyat. Selain karena adanya anggapan bahwa sultan dapat menjadi perantara dengan Nyi

13

Ibid., hal.22

14


(28)

Roro Kidul, rakyat Yogyakarta sudah menjadikan segala perkataan yang keluar dari bibir sultan merupakan kata-kata sakti yang telah mendapat persetujuan dari pusaka-pusaka kerajaan yang bagi rakyat mengandung nilai magis dan selalu membantu sultan.

Perintah dari sultan adalah hukum, tiap keinginannya adalah perintah bagi rakyatnya.15

Melihat kedudukan sultan yang secara sosial dan kultural sangat penting bagi rakyat Yogyakarta, maka pemerintahan kerajaan pun bersifat otokratis. Berarti dapat dikatakan bahwa sultan adalah sumber segala kekuasaan yang ada. Belanda yang mengetahui hal Selain itu sultan juga identik dengan kepemilikan pusaka-pusaka yang ada disekitarnya. Bahkan ada suatu anggapan yang ada dibenak rakyat Yogyakarta bahwa tanpa adanya pusaka-pusaka disekitar sultan maka sultan tak dapat memperoleh kepercayaan serta kesetiaan yang tinggi dari rakyat karena sultan diangap tidak sanggup memerintah kerajaan. Adapun pusaka-pusaka yang dimaksud seperti tombak, keris, ataupun panji yang dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat membantu sultan di dalam memimpin kerajaan.

Pada masyarakat Yogyakarta sendiri memiliki sistem pelapisan sosial atau stratifikasi sosial pada masyarakatnya. Apabila sultan memegang kedudukan yang tertinggi pada stratifikasi maka tepat dibawah sultan adalah kaum bangsawan. Mereka ini biasanya adalah putera-putera sultan dari istri lainnya, kerabat sultan yang biasanya menduduki jabatan pegawai tinggi pemerintahan. Setelah kaum bangsawan maka yang menempati stratifikasi sosial berikutnya adalah kaum priyayi. Kaum priyayi ini biasanya terdiri dari rakyat-rakyat biasa yang diangkat menjadi pegawai-pegawai pemerintahan. Tingkatan terakhir pada stratifikasi sosial adalah mayarakat Yogyakarta itu sendiri. Masyarakat Yogyakarta inilah yang biasanya disebut kelas orang biasa dan biasanya berprofesi sebagai petani, pedagang dan sebagainya.

15


(29)

tersebut tetap membiarkan keadaan berlangsung seperti biasanya dan memberikan kekuasaan kepada Sultan untuk mengatur sembari mengawas jalannya pemerintahan baik di lingkungan kraton, perkotaan hingga pedesaan.

Yogyakarta memiliki penduduk yang mayoritas adalah etnis Jawa. Layaknya etnis lain yang ada di Indonesia, suku Jawa memiliki bahasa dan kebudayaannya sendiri. Yogyakarta yang wilayahnya sebagian besar berada di sekitar Jawa Tengah tentunya menjadi salah satu pusat kebudayaan Jawa. Seperti yang kita ketahui Jawa Tengah adalah “Jantung” kebudayaan Jawa. Suku Jawa memiliki karakteristik kepribadian yang lemah dan lembut serta bertutur sapa yang sopan, tetapi suku Jawa juga terkenal akan sifatnya yang tertutup dan kurang mau berterus terang, hal ini dikarenakan suku Jawa senang menjaga keharmonisan dengan sesama dan tidak mau terlibat pertikaian lisan dengan sesama.

Di dalam kehidupan sehari-hari, suku Jawa menggunakan bahasa Jawa di dalam percakapan sehari-hari. Yang menarik dari bahasa Jawa adalah terdapat perbedaan kaidah bahasa halus dan kasarnya atau disebut juga dengan Bahasa Ngoko dan Bahasa Krama. Penggunaan Bahasa Ngoko biasanya banyak digunakan oleh anak-anak kepada teman-temannya. Bahasa Ngoko merupakan bahasa yang memiliki tingkatan paling rendah dan dianggap kasar. Pada umumnya masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan banyak yang menggunakan bahasa ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Surakarta juga dikenal sebagai bahasa Krama Desa yang tingkatannya sama dengan Jawa Ngoko dan digunakan oleh masyarakat desa. Sedangkan bahasa Krama merupakan tingkatan bahasa yang lebih halus dan sopan. Penggunaan bahasa Krama lebih dianggap masyarakat sebagai orang yang memiliki kesopanan dan berbudi pekerti. Bahasa Krama biasanya digunakan kepada seseorang yang tidak dikenal, lebih tua atau memiliki derajat dan status sosial yang lebih tinggi.


(30)

Dihuni mayoritas etnis Jawa, wilayah Yogyakarta sangat kental dengan tradisinya terutama dengan adanya kraton ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Lingkungan kraton sendiri adalah tempat sultan dan keluarganya tinggal dan memerintah. Sultan adalah jantung dari kraton Yogyakarta. Sultan adalah sumber satu-satunya dari segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala sesuatu di dalam kerajaan, dan karena itu dia diindentikkan dengan kerajaan.16

Dinamika permukiman kota Yogyakarta sejak akhir abad ke-19 menampakkan suatu keadaan yang semakin plural karena akibat semakin banyaknya orang-rang asing yang menetap di kota Yogyakarta. Selain orang-orang Belanda yang memang telah ada semenjak abad ke 17, orang-orang Cina dan orang-orang Barat lainnya juga banyak yang menetap di kota ini. Etnis Jawa yang merupakan penduduk asli kota Yogyakarta pun telah berbaur dengan kedatangan etnis-etnis pendatang tersebut. Mereka itu adalah para pejabat pemerintah Belanda, para pengusaha perkebunan, atau pengusaha lainnya.

Karena pentingnya peranan kraton Yogyakarta maka sampai sekarang daerah kraton Yogyakarta dijadikan ibukota pemerintahan atau provinsi.

Kedudukan kraton yang begitu sakral bagi masyarakat Yogyakarta menjadikan kraton sebagai pusat dan pemerintahan Yogyakarta bahkan sampai sekarang ini. Konsep dan struktur kerajaan ini sudah ada semenjak masa Sultan Agung ketika memerintah Kerajaan Mataram hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Begitu pula dengan perkembangan penduduk Yogyakarta itu sendiri.

17

16

Selo Soemadjan, op.cit., hal.28

Selain kedatangan orang-orang asing di kota Yogyakarta, kedatangan orang-orang-orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya juga mulai datang untuk menetap di tempat ini. Seperti yang terjadi dengan penduduk di kota-kota kolonial lainnya, warga kota Yogyakarta pun mengalami stratifikasi sosial yang dibedakan atas tiga golongan penduduk, yaitu Golongan Orang Eropa, golongan Orang Asing

17

Pukul 14.00 Wib.


(31)

Timur dan golongan Orang Bumi Putra. Akibat adanya perjanjian Palihan Nagari tercatat penduduk Kesultanan Yogyakarta pada saat itu berkisar antara 522.300 Jiwa.18

Apabila kita berada di sebuah pertemuan-pertemuan penting, diskusi, upacara kepahlawanan atau seminar-seminar pendidikan, kita akan melihat seorang tua yang bertubuh mungil, memakai peci hitam dan syal di leher serta tidak lupa membawa termos minum selalu hadir. Orang tua tersebut pembawaanya ramah tamah, penuh semangat, dan sangat berwibawa. Orang tua itu juga selalu duduk di barisan depan bersama orang-orang besar dan penting lainnya. Orang tua tersebut juga sangat disegani oleh para tokoh masyarakat, pemerintah, para pemuda, para pemuka adat dan agama, dan lain-lain. Apabila ada yang belum mengenal orang tua tersebut pasti bertanya-tanya siapa beliau itu? Orang tua yang kita bicarakan inilah yang bernama Ki Sugondo Kartoprojo.

Sedangkan pada tahun 1930, penduduk Kesultanan Yogyakarta meningkat menjadi 1.447.022 jiwa.

2.2 Pendidikan Ki Sugondo Kartoprojo

19

Ki Sugondo Kartoprojo atau yang bernama asli dengan nama R.M Soegondo Kuwuri Kusman lahir di Onder Distrik Watukarang Yogyakarta pada 15 Juli 1908. Sugondo merupakan anak kedua dari tiga orang bersaudara. Abang tertua Sugondo bernama Sundoro Kartoprojo. Sugondo merupakan anak dari Raden Ngabehi Pringgo Kartoprojo yang menjabat sebagai kepala Onder Distrik Gunung Kidul. Sebagai seorang kepala Onder Distrik

atau sekarang ini disebut dengan kepala camat, Raden Ngabehi sering dipindah tugaskan dari satu kota ke kota lainnya menurut perintah kesultanan. Kedudukan terakhir Raden Ngabehi adalah sebagai Asisten wedana Kl.1. Sehingga semasa kecil, Sugondo sering berpindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan ayahnya. Keluarga Sugondo masih memiliki keturunan bangsawan dari Sultan Hamengku Buwono I dari Mataram. Oleh karena itu, Sugondo kecil

18

Ibid., hal.2 19


(32)

sudah diasuh layaknya anak-anak Bangsawan Jawa pada umumnya dengan penuh kasih sayang dan tata krama.

Ketika masih kecil, Sugondo senang mendengar cerita sebelum tidur dari nenek dan ibunya tentang wayang. Topik yang disenangi Sugondo adalah tentang kepahlawanan, keberanian dan kejujuran. Sugondo mengangumi kepahlawanan Raja-raja Mataram yang merupakan leluhurnya sendiri. Ayah Sugondo berharap dengan menanamkan cerita-cerita leluhurnya maka Sugondo kelak menjadi seorang anak yang baik, jujur dan membela keadilan. Ternyata sikap yang diharapkan ayah Sugondo telah dimiliki Sugondo semenjak kecil. Hal ini terlihat dari kehidupan Sugondo semasa sekolah.

Pada awalnya, Sugondo bersekolah di sekolah rendah yang pada saat itu bernama H.I.S (Holand Indlands School) di Desa Tangka Yogyakarta. Sugondo sangat menyenangi mata pelajaran sejarah dan bahasa. Walaupun merupakan murid yang paling kecil di kelas, Sugondo memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan. Sifat kepemimpinan Sugondo tercermin dari usaha Sugondo di dalam mempertahankan kebenarannya, beliau berani menanggung segala akibat dan perbuatannya. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas empat, pernah terjadi suatu peristiwa di kelasnya, karena adanya suatu keperluan, guru meninggalkan kelas, dan pada saat itulah murid-murid yang lainnya melakukan permainan perang-perangan kertas di dalam kelas. Kelas yang awalnya sunyi menjadi gaduh dan kotor karena kertas-kertas berserakan di lantai. Sugondo sendiri memilih diam di kelas dan tidak ikut bermain. Sugondo yang melihat keadaan kelas menjadi kotor akhirnya mengutip kertas yang berserakan di lantai, dan pada saat itulah guru masuk ke kelas dan melihat keadaan kelas menjadi gaduh. Guru menangkap murid-murid yang bermain perang-perangan tersebut dan menghukumnya termasuk Sugondo kecil. Sugondo yang merasa tidak ikut bermain menolak hukuman


(33)

tersebut. Dengan tegas beliau menolak dan mengatakan bahwa: “Saya tidak ikut bermain”.20

Setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Adi Dharmo kemudian Sugondo meneruskan pendidikannya ke sekolah Taman Dewasa Taman Siswa. Sekolah Taman Siswa tersebut setara dengan Mulo Kweek School. Di sekolah inilah, Sugondo menerima pendidikan mata pelajaran umum dan ilmu kependidikan. Pada sekolah ini pulalah Sugondo menerima didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara.

Teman-teman lainnya ikut membenarkan pernyataan Sugondo tersebut. Namun gurunya tetap menyatakan Sugondo bersalah dan tidak mau menerima pernyataan Sugondo. Akibat merasa dirinya benar dan ketidakpercayaan gurunya kepadanya, Sugondo memutuskan untuk keluar dari sekolah bersama kelima temannya.

Untuk melanjutkan pendidikannya, Sugondo pindah ke sekolah Adi Dharmo. Sekolah Adi Dharmo dipimpin dan diasuh oleh R.M Suryo Pranoto atau dikenal sebagai Raja Pemogokan yang merupakan abang kandung Ki Hajar Dewantara, beliau juga salah satu pemimpin Serikat Islam juga teman H.O.S Cokroaminoto dan H.Agus Salim. Sekolah yang berlafaskan Islam inilah Sugondo menamatkan pendidikannya. Sugondo juga menamatkan pendidikan dalam Kleine Amternar Eropen yaitu ijazah Bahasa Belanda untuk pegawai rendah dengan nilai terbaik.

21

20

Ki Drs H. Asuhaimi S, Ki Sugondo Kartoprojo: Pendidik, Perintis dan Pejuang, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1986, hal. 3

21

Ibid., hal.4

Ki Hajar Dewantara mengajarkan Sugondo pelajaran pendidikan Etika dan Ketatanegaraan. Di dalam pengajarannya, Ki Hajar Dewantara menekankan bagaimana seharusnya etika manusia yang merdeka. Beliau menegaskan bahwa orang Indonesia hendaknya memiliki rasa persatuan yang kokoh, kreatif, aktif dan jujur serta rela berkorban demi kebenaran dan keadilan. Ajaran yang diajarkan Ki Hajar Dewantara sangat meresap dalam kehidupan Sugondo. Hal ini terbukti dari beberapa


(34)

peristiwa berikut yang sangat mempengaruhi kepribadian Sugondo selama mendapat didikan langsung dari Ki Hajar Dewantara. Peristiwa-peristiwa berikut adalah:

 Ketika di sekolah, Sugondo memiliki guru pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah Umum yaitu Bapak Suwandi yang pada saat itu juga menjadi penasehat dari Surat Kabar De Clock. Ketika itu surat kabar tersebut mendapat sorotan tajam dari pemerintah Belanda karena dianggap menyebarkan berita yang kontroversi, Suwandi yang saat itu menjadi takut terhadap pemerintahan Belanda kemudian memilih untuk melarikan diri. Ki Hajar Dewantara yang melihat sikap pengecut Suwandi menjadi murka dan menasehati murid-muridnya agar jangan mencontoh sikap guru mereka tersebut. Ki Hajar Dewantara menekankan kepada murid-muridnya bahwa manusia itu hendaknya memiliki budi yang luhur dan berani bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Ki Hajar Dewantara menegaskan kepada murid-muridnya hanya orang penakut yang lari karena mengaku salah tetapi jika kita benar maka kita haruslah berani.

 Pernah suatu ketika Sugondo ditugaskan untuk memimpin kegiatan di sekolah. Sugondo dan kawan-kawan mempersiapkan segalanya sebaik mungkin dan serapi mungkin, tetapi tiga hari sebelum kegiatan dilaksanakan ayah dari Ki Hajar Dewantara yaitu Kanjeng Pangeran Harya Suryaningrat meninggal dunia. Melihat segala persiapan telah selesai, biaya telah banyak dikeluarkan dan semua undangan telah disebar, Sugondo merasa kegiatan tersebut haruslah tetap dilaksanakan maka Sugondo memberanikan diri meminta izin kepada Ki Hajar Dewantara untuk tetap membiarkan acaranya berlangsung, dan ternyata Ki Hajar Dewantara mengizinkannya. Sepuluh hari setelah acara selesai diselenggarakan, Ki Hajar Dewantara memanggil Sugondo. Ki Hajar Dewantara menasehati Sugondo apabila ada kejadian seperti itu hendaknya jangan bertanya atau meminta izin kepada yang


(35)

sedang mengalami musibah tetapi mintalah nasehat dari orang tua yang lainnya saja. Ki Hajar Dewantara berpesan janganlah menambah duka kepada orang yang mendapat kemalangan.

 Ketika Sugondo duduk dibangku sekolah rendah, Sugondo senang naik sepeda ontel. Ketika sedang mengendarai sepedanya, Sugondo tidak sengaja menabrak seorang anak Belanda. Anak Belanda yang tertabrak itu terjatuh dan kesakitan, tetapi karena pada saat kejadian anak Belanda itu sendirian, dia memilih untuk diam dan tidak berbuat apa-apa kepada Sugondo. Tetapi keesokkan harinya, anak Belanda itu membawa kawan-kawannya dan mendatangi Sugondo. Mereka mengeroyoki Sugondo sampai jatuh ke parit. Mengalami kejadian yang memilukan tersebut, dan melihat ketidakadilan yang diterimanya, Sugondo berjanji kepada dirinya untuk belajar bela diri dan rajin berolahraga agar orang tidak berlaku semena-mena kepada dirinya lagi. Setelah kejadian tersebut Sugondo rajin latihan pencak silat dan siap digunakan kapan saja demi membela dirinya. Untuk mempraktekkan kemampuannya Sugondo pernah memimpin kawan-kawannya berkelahi dengan anak-anak Belanda. Perbuatan tersebut dilakukan Sugondo untuk mengembalikan harga dirinya dan di perkelahian tersebut anak-anak Belanda itu kalah. Melihat kekalahan anak-anak Belanda tersebut, Sugondo semakin sadar bahwa Belanda tidaklah istimewa, mereka tetap saja manusia biasa. Ki Hajar Dewantara yang mengetahui perbuatan murid-muridnya tidaklah marah tetapi menuruti kehendak murid-muridnya. Sugondo sendiri selalu mengenang kejadian tersebut dan dipraktekkannya di dalam kehidupannya.

 Bukan hanya Ki Hajar Dewantara saja yang menjadi guru dari Sugondo, namun ada Bapak Prono Widigdo yang mengajarkan pelajaran Sejarah Babat Tanah Jawa dan


(36)

Bapak Oesman Sastro Amidjojo. Pada saat itu kedua guru Sugondo tersebut juga merupakan tokoh pergerakan.

 Bakat memimpin Sugondo telah diperlihatkannya semenjak Sugondo kecil dan semakin nyata setelah dididik langsung oleh Ki Hajar Dewantara. Ketika Sugondo duduk di bangku kelas satu Taman Dewasa, Sugondo mendirikan kelompok Klaver Blad Van Vier atau kelompok perdamaian dan ketertiban. Kelompok ini terdiri dari empat orang anggota. Alasan Sugondo mendirikan kelompok ini adalah sebagai saingan dari kelompok Tengkorak atau yang dikenal dengan kelompok Doodskep

yang lebih dulu ada. Kelompok Tengkorak ini selalu membuat keonaran dan perkataan-perkataannya selalu kasar dan kotor.22

Pada tahun 1922, Sugondo masuk ke dalam organisasi kepanduan yang bernama

Javansche Padvnders Organisation (J.P.O). J.P.O kemudian bergabung dengan Jong Java Padvinderiy (J.J.P) pada tahun 1924. Dalam kongres Jong Java akhir bulan Desember 1925, Sugondo turut aktif sebagai anggota dengan mengadakan kegiatan khusus mengenai jurusan kepanduan.

Kelompok Tengkorak ini terdiri dari para remaja yang berusia 17 tahun ke atas. Demi menghindari pertikaian diantara kedua kelompok ini, Bapak Suwandi mengajak kedua kelompok ini untuk mengadakan semacam dialog. Dalam dialog yang diadakan akhirnya kelompok Tengkorak menyadari kesalahannya. Setelah itu kedua kelompok ini bersatu dan selalu mengadakan kegiatan diskusi. Diskusi diadakan setiap bulan dan membahas tentang pelajaran yang sulit ataupun kejadian-kejadian yang terjadi di kelas. Sugondo yang menjadi pemimpin kelompok diskusi ini.

Selain aktif di dalam organisasi kepanduan dan kepemudaan, Sugondo juga ikut terlibat di bagian kesenian dan olahraga. Dalam olahraga, Sugondo mengikuti bidang

22


(37)

gymnastic, gerak jalan serta berkereta angin dari kota ke kota. Sugondo pun senang ikut kegiatan berkemah atau senang berjalan kaki.

Dalam bidang kesenian, Sugondo menyenangi seni menulis cerita terutama untuk cerita sandiwara. Sugondo juga tidak segan mementaskan cerita yang ditulisnya sendiri walaupun tidak ikut bermain di dalamnya. Namun sekali-kali Sugondo juga ikut terlibat di dalam sandiwara lawak. Ketika menjadi anggota pengurus Indonesia Muda, Sugondo terpilih sebagai ketua dari Toneel Vereeniging Mataram, di mana akan mengadakan sebuah pertunjukkan pada bulan April 1929 dengan judul “Kakek Yang Merindukan Cucunya Yang Tinggal di Kota Digul”. Ketika Sugondo sedang membacakan pidato pembukaan, tiba-tiba puluhan polisi masuk dari semua pintu yang dipimpin oleh wedana polisi dari PID (Politieke Inchlichtingen Diens). Pertunjukkan tersebut dilarang dan seluruh pemain serta penonton dibubarkan, setelah itu Sugondo sendiri ditangkap untuk diperiksa PID.23

23

Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah,

Medan:Pemerintah Propinsi Tingkat I Sumatera Utara,1984,hal.427

Sampai sekarang belum ditemukan alasan penangkapan Sugondo tersebut, namun melihat cerita yang akan dipentaskan, sepertinya Pemerintah Belanda takut cerita tersebut membangkitkan rasa nasionalisme di benak para penonton yang hadir.

2.3 Falsafah Hidup Ki Sugondo Kartoprojo

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang berpikir dan penuh ingin tahu. Rasa ingin tahu itulah yang menuntun manusia untuk mencari kebenaran hingga sedalam-dalamnya. Hakikat mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala hal yang menjadi permasalahan dengan berfikir secara kritis, radikal dan sistematik itulah yang sering kita sebut dengan berfalsafah. Ketika seseorang berfikir demikian ketika menyelesaikan suatu permasalahan maka orang itu telah memasuki falsafah.


(38)

Sebagai makhluk yang berpikir maka manusia juga tidak lepas dari pandangan hidup. Pandangan hidup itu sendiri merupakan pendapat, pertimbangan atau panutan yang dijadikan pegangan, penuntun, pedoman, petunjuk arah di dalam kehidupan di dunia ini. Pandangan hidup itu adalah sebuah rangkaian jalur yang dibuat untuk menentukan arah kehidupan manusia.

Oleh karena itu, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari falsafah ataupun pandangan hidup itu sendiri. Falsafah adalah usaha manusia untuk mencari kebenaran, sedangkan pandangan hidup adalah pola pikir atau pandangan manusia mengenai kehidupan ini. Paduan kedua hal tersebutlah yang merupakan aspek yang membangun karakter manusia sekaligus menjadi arahan hidup manusia. Tingkah laku manusia lebih banyak dikendalikan oleh sikap, pendapat dan norma yang hidup dalam masyarakat ditambah dengan pengalaman yang diperoleh bertahun-tahun.24

Di dalam 87 tahun kehidupan Sugondo di dunia ini, di dalam menjalankan peran, fungsi dan kedudukannya di keluarga, masyarakat ataupun lingkungan sekitar, Sugondo juga memiliki falsah dan pandangan hidupnya sendiri. Perlu diketahui, Sugondo secara kepribadian adalah orang yang sangat tegas dan jujur. Ketegasan Sugondo terbukti dari bagaimana Sugondo memimpin sekolah Taman Siswa hingga sebesar sekarang. Menurut Prof. Dr. Soegarda Poerbawakatja, kepribadian adalah keseluruhan dari sikap-sikap subjektif emosional serta mental yang mencirikan watak seseorang terhadap lingkungannnya dan keseluruhan dari reaksi-reaksi itu yang sifatnya psikologis dan sosial, dan untuk itu Poerbawakatja menyimpulkan bahwa kepribadian itu juga menyangkut dari bagaimana reaksi-reaksi yang ditimbulkan manusia terhadap situasi tertentu.25

24

Muslimin, Hubungan Masyarakat dan Konsep Kepribadian, Malang: UMM Press, 2004, hal.130

25

Muslimin, op.cit., hal.11


(39)

Sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang tegas dan pemberani, Sugondo tidak segan-segan melawan jika hal itu dirasakan tidak baik. Hal ini tercermin dari sikap Sugondo waktu menghadapi situasi di pertemuan Taman Siswa di Yogyakarta yang dirangkum dari kutipan wawancara berikut ini:

“Di Yogja, haah sementara seluruh daripada pengurus sekarang yang intinya di pusat juga gak ada lagi, tapi kalo sekedar tapi Probosutedjo sendiri sebagai muridnya juga sebagai guru di Siantar tempo hari taman siswa siantar dan pusat, pernah juga dilawan sama pak Gondo pada waktu ini. Waktu mengadakan temu wicara ya, bukan temu wicara atau apa, pertemuan nasional, reuni, reuni seluruh Indonesia pertama kali yang mengadakan karena banyak duit ya kan pak probo, pada waktu itu pak Probo menyatakan dalam pidatonya yang sudah tertulis dalam satu buku akhirnya bukunya itu pun buyar gak dilaunching lagi, dibatalkan karena dalam kata-kata pengantar untuk melaunching bukunya itu, mengatakan bahwa saya mau memberikan, menghibahkan tanah seluas 5 hektar di Sunter dan sekarang menjadi Sunter Podomoro, dulu itu 5 ha. Cuma saya yang mau bangun dan saya yang mau memimpin sendiri perguruan itu yang ada, waah itu langsung dia pak Gondo dia kebetulan di belakang saya tiba-tiba teriak merdeka, berhenti dulu aah begitu, sodara sebagai pengusaha bukan orang taman siswa atau orang taman siswa, kalo seorang taman siswa tidak mengatakan seperti itu, kalo memang dikasihkan lepas kasihkan, bahwa ada sifatnya kalo dilepaskan baik yang dipokoknya yang dihibahkan untuk apa saja terserah pada taman siswa iya kan, misalnya mau didirikan ini untuk ini tapi untuk kepentingan taman siswa itu urusan saya, jangan ikut campur lagi, batal, saya tidak mau terima, dia sebagai pinisepuh memang waktu itu masih. Akhirnya Sultan Hamengkubuwono sebagai Pembina itu menarik walikota Jakarta waktu itu (suara bising) itu juga menarik supaya tidak jadi kisruh pertemuan itu, ya ujungnya sultan menggantikan tanah yang mau diberi itu dibatalkan, Jogja memberikan 50 ha tanah tapi di jogja bukan disini, haaah itu lah prinsip kan masalah prinsip”26

26


(40)

Selain dikenal sebagai seseorang yang tegas dan pemberani, Sugondo memiliki pandangan dan falsafah bahwa manusia itu memiliki azas, di mana Sugondo menyadari bahwa azas manusia itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa pada dasarnya manusia ada dan berbudaya itu tidak pernah lepas dari kodrat ilahi. Sugondo juga menerapkan dalam hidupnya bahwa bagaimana membangun pribadi bangsa untuk dapat berkembang dalam masyarakat kemudian bagaimana membangun negara dan ujungnya bagaimana mengembangkan kepribadian manusia itu tidak lepas dari yang dalam bahasa jawa yaitu mamayu ayu neng sariro. Mamayu itu adalah bagaimana manusia membangun badan, fisik, atau pribadi, kemudian bagaimana manusia membangun bangsa atau dalam bahasa Jawa disebut mamayu ayu ne woso dan yang terakhir adalah mamayu ayu neng mangunso, di mana mangunso itu adalah bagaimana manusia di dalam membangun prinsip. Di mana jika kita kaitkan dengan perjuangkan Sugondo dalam membangun Taman Siswa, dan dalam hal ini Sugondo menganggap taman siswa itu adalah badan perjuangan. Perjuangan di dalam membangun diri manusia supaya manusia menyadari bahwa manusia itu sebenarnya memiliki persamaan hak yang kemudian menyatu dalam kelompok yang lebih besar yaitu kehidupan berbangsa. Sugondo berharap agar kita sebagai manusia bisa saling mengenal satu dengan yang lain dan kiranya juga memahami siapa Tuhanmu. Jadi, walaupun Negara Indonesia ini sedang dijajah tetapi kita jangan mau merasa dijajah. Prinsip inilah yang juga dipegang oleh seluruh Taman Siswa khususnya para pimpinan Taman Siswa lainnya termasuk Sugondo itu sendiri.

Kepribadian Sugondo yang penuh kejujuran juga tercermin dari bagaimana Sugondo menyikapi suatu keadaan di mana Sugondo menegakkan kebenaran walau harus merasa berhadapan dengan muridnya sendiri. Hal tersebut tercermin dari kutipan wawancara berikut ini:


(41)

“Jadi suatu ketika memang Taman siswa mau diberi bantuan untuk diamplas karena secara gedung itu bersejarah dianggap merupakan asset pada waktu itu, kemerdekaan itu BPI kan disitu jadi itu mau dapat bantuan 5 juta, waktu itu 5 juta sangat besar, pada tahun-tahun barangkali 60an, waktu itu ya sudah itu sudah dinyatakan situ sekian jadi pak gondo gak mau ngambil sendiri tapi bendahara perguruanlah yang mengambil jadi waktu ngambil itu harus dipotong tetapi bukan kata pak Mara Halim namun kata kantor keuangan dan kantor gubernur, potong bagaimana orang diterimanya segitu, jadi dilaporkanlah bendahara ini katanya ngambil lapor dulu gak diterima sebagian besarnya jadi lapor gak mau harus yang ambil keseluruhan menurut hitam puih itu 5 jt harus 5 juta jadi tetap bertahan di kantor keuangan itu mengatakan ini harus dipotong pajak katanya kan, potong pajak atau ada potongan agak khusus lah istilahnya, jaman-jaman sekarang kayak korupsi itulah dipotong. Kemudian karena gak berani nerima si bendahara sekolah ini melapor sama pak gondo, pak gondo langsung terus menghampiri saya kemari, menuju ke rumah pak gubernur, jadi diawalnya saya pikir itu baik-baik saja pada waktu datang itu, pak gondo lihat Mara Halim masih ada di rumah disuruh duduk pak gondo gak mau, “udah disini aja bung Mara Halim” kira-kira begitulah, “gak itu masalah itu gimana ini berapa tanda tangan saudara untuk mengesahkan memberi bantuan pada taman siswa”, “ya 5 juta kan pak”, “iya tapi enggak gitu kita urus kesana, barangkali 5 juta kasih kalo tidak gak usah, kalo itu tetap harus dipotong lebih bagus itu turunkan siapa si kepala keuangan disana”, nah itu sibuklah akhirnya karena itu berjarak antara mengiyakan maupun dikeluarkan 5 juta dengan pengeluaran itu jaraknya jauh dari apa yang dimaui pak gondo, pak gondo langsung menyatakan gak mau lagi seperti itu, kayak nyembah-nyembah walau dia gubernur, walaupun memang bekas murid, dimana dia juga memang kepala pemerintahan. yang gak benar nah itu seperti itu, sehingga kan antara benci segan dan macam-macam itu orang kalo sifatnya barangkali pak gondo ini buruk tujuannya seperti benci atau dendam, tetapi lantaran pak gondo ini tujuannya semua baik, akhirnya segan yang ada..”27

Di dalam memajukan Taman Siswa, Sugondo memiliki prinsip bahwa setiap anak itu memiliki kharakter dan kemampuannya sendiri-sendiri. Sugondo tidak pernah memaksa anak didiknya untuk pintar dalam semua bidang. Tindakan Sugondo ini tercermin dari kutipan wawancara berikut ini:

27


(42)

“ini kalau menurut cerita karakter anak didiknya itu seperti mengembangkan apa namanya, ayam yang mengerami telur ayam dan telur itik, telur ayam dan telur itikkan masing-masing mempunyai karakter, kalau karakter ayam kan makannya di daratan, paruhnya kecil makanya di daratan, sementara itik karakternya makan di air kalau di daratan pasti dia tak bisa makan, pandai berenang, artinya jiwa anak dididik itu tidak sama jadi kalo ada yang pandai matematika dan tidak ada yang pandai matematika jangan dipaksa, karena mempunyai bidang sendiri-sendiri, kalau jiwanya tidak bisa agama jangan dipaksa masuk ke pesantren akibatnya nanti akan berontak, bisa merugikan dirinya sendiri. Jadi falsafah beliau cukup jelas disana, mengajar disesuaikan dengan kodrat alam itu dan kemerdekaan, pilih mana yang bisa dikerjakan”28

28

Wawancara: Ki H. Muhammad Marzuki pada 14 November 2012

Dengan keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sugondo adalah pribadi yang tegas, disiplin, berbudaya, jujur dan sedikit keras kepala. Kepribadian itulah yang membawa Sugondo bisa sebesarnya ini. Sikap bertanggung jawab dan tidak mau menyerah inilah yang ditunjukkan Sugondo ketika Sugondo bertanggung jawab secara peunuh dengan peristiwa di Jalan Bali wakapun Sugondo sendiri tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa tersebut. Sikap kasih sayang Sugondo terhadap anak didiknya dan dunia pendidikanlah yang membawa sekolah Taman Siswa menjadi jaya ditangannya. Terbukti dari alumni-alumni yang berhasil dihasilkan Taman Siswa selama masa kepemimpinannya. Terhadap tiga orang puterinya, Sugondo juga menerapkan sikap tegas, dan ketegasan Sugondo jugalah yang menghantarkan ketiga puterinya berhasil di masyarakat.


(43)

Bab III

KI SUGONDO KARTOPROJO SEBAGAI PENDIDIK 3.1 Mengawali Karir Sebagai Pendidik Di Yogyakarta dan Cepu

Salah satu isi dari politik etis yang diterapkan Belanda adalah menyelenggarakan pendidikan. Berangkat dari hal itu, Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara bersama teman-temannya mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Di dalam perkembangannya, Perguruan Taman Siswa tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat terutama bagi orang-orang pergerakan terutama sekolah-sekolah Budi Utomo yang menyatakan diri menjadi bagian dari Perguruan Taman Siswa.

Perlulah dicatat bahwa perjalanan hidup suatu bangsa tidak dapat dilepaskan dari peranan para pemuda didalamnya. Dengan semangat juang dan jiwa muda mereka telah membawa pengaruh besar bagi bangsa ini. Bagaimana tidak, dikala kaum tua masih terjerat dengan dogma-dogma pemikiran yang lama, kaum muda hadir membawa penyegaran baru bagi dogma pemikiran kaum tua tersebut. Begitu pula dengan perguruan Taman Siswa.

Bermula dari adanya dua grup pemuda dalam lingkungan Mulo KweekSchool Taman Siswa (Sekolah Menengah Taman Siswa berpendidikan guru yang kelak menjadi bagian dari Taman Dewasa dan Taman Guru) yaitu grup Klaverblad van Vieren dibawah pimpinan Sugondo Kartoprojo dan grup Doodskop dibawah pimpinan Ki Soendhoro Notodipoetro yang kemudian pada tahun 1927 kedua grup ini bersatu dalam M.K.V.T.S (Mulo Kweekschool Vereniging Taman Siswa) yang nantinya dari grup inilah melahirkan tunas pemuda Taman Siswa yang kelak menjadi organisasi kader-kader Taman Siswa.


(44)

Setelah tamat dari Mulo KweekSchool Taman Siswa pada tahun 1928, Sugondo melanjutkan karirnya menjadi pamong/guru sukarela di Taman Muda Yogyakarta. Pada saat itu, Sugondo merasa ada sesuatu yang kurang di Perguruan Taman Siswa. Sugondo melihat bagaimana sekolah Muhammadiyah memiliki badan penyokongnya yaitu anggota perkumpulan Muhammadiyah. Begitu pula dengan sekolah-sekolah Katholik yang memiliki badan penyokongnya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan perguruan Taman Siswa. Sugondo berpendapat sudah seharusnya perguruan Taman Siswa memiliki penyokong seperti sekolah-sekolah tersebut. Maka pada tahun 1928, Sugondo memprakarsai pembentukan perkumpulan bekas guru, bekas murid dan pecinta Taman Siswa. Perkumpulan ini disingkat dengan PBMTS. Sugondo sendiri menjadi ketua PBMTS periode 1929 s/d 1930. Sugondo berharap perkumpulan ini dapat menjadi pemprakarsa perguruan Taman Siswa apabila hendak mendirikan Cabang Taman Siswa dimana-mana.

Perlu diketahui bahwa perguruan Taman Siswa berbeda dengan perguruan lainnya yang melebarkan sayapnya dari pusat ke cabang. Apabila ingin mendirikan Taman Siswa disuatu daerah maka masyarakat daerah tersebut harus terlebih dahulu membentuk panitia. Panitia inilah yang mendirikan sekolah yang bernama Persiapan Cabang Taman Siswa.29

Selanjutnya seperti kita ketahui sebelumnya Sugondo juga turut aktif dalam grup pemuda yang kemudian menjadi M.K.V.T.S (Mulo Kweekschool Vereniging Taman Siswa). M.K.V.T.S dalam pertumbuhannya menjelma menjadi P.T.S (Pemuda Taman Siswa) tahun Kemudian panitia meminta bantuan dari cabang Taman Siswa yang terdekat untuk membimbingnya. Apabila persiapan cabang ini telah dirasakan matang dan mampu berdiri sendiri barulah dilepaskan menjadi cabang. Hal ini diharapkan agar Taman Siswa menjadi kepunyaan masyarakat dan Taman Siswa dapat mandiri serta tidak mengganggu cabang-cabang lainnya.

29


(45)

1931 dan satu konferensi berikutnya pada tahun 1933 telah meningkatkanya menjadi perserikatan pemuda Taman Siswa, sedang pada tahun 1934 nama organisasi ini lebih disempurnakan lagi menjadi Persatuan Pemuda Taman Siswa (P.P.T.S).30

Merasa ilmunya belum cukup, Sugondo memutuskan berhenti menjadi pamong setelah setahun mengajar di Yogyakarta. Sugondo memilih kembali ke bangku sekolah dengan menjadi murid di Taman Guru Dewasa Taman Biasa yang dikenal dengan nama TGD Taman Siswa. Adapun keistimewaan Taman Guru ini adalah murid-murid yang dilahirkan banyak menjadi pemimpin sehingga sering disebut juga sebagai Taman Guru Pemimpin. Selain itu, keistimewaannya semakin dirasa bagaimana murid-murid yang bersekolah adalah

P.P.T.S dalam perkembangannya tumbuh menjadi penggerak kader-kader Taman Siswa dan turut menggerakkan kader-kader Taman Siswa menjadi penggerak pejuang bangsa yang dilandasi oleh jiwa Taman Siswa. Dalam membina kader-kader Taman Siswa, berbagai kegiatan dilakukan di P.P.T.S seperti adanya klub berdebat, kegiatan kesenian, olah raga, dan sebagainya. Adapun pemuda-pemuda Taman Siswa yang memiliki peranan dalam memajukan P.P.T.S tersebut selain Ki Sugondo Kartoprojo dan Ki Sundoro Notodipoetro adalah Ki Sadono, Ki Suroso, Ki Sayogo, Ki Asrar, Ki Ida Wayan Ghose, Ki Suwardi, Ki Syamsu Harya Udaya, Ki Sapardi, Ki Suwitarjo, Nyi Tarsiyah Winarno, Ki Toha Reksosubroto, Ki Moh. Sofindadi, Ki Supardo, Ki Sukaton, Ki Iman Sudiyat, Ki Sjamsu Hadjar Lelono, Ki Sada, Ki Moh. Tachir Huseini, Ki Moh. Gani, Ki Muchasim Hadiprabowo, Nyi Darmiyati Hadiprabowo, Nyi Suratmi Iman Sudiyat, dan lain-lain. Keberhasilan P.P.T.S menghimpun kader-kadernya sebagai pejuang bangsa membuat Perguruan Taman Siswa kebanjiran murid-murid dari seluruh penjuru tanah air. Begitu pula dengan cabang-cabang di daerah lainnya mengalami perkembangan yang serupa.

30

Majelis Luhur Taman Siswa, 50 Tahun Taman Siswa, Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1976, hal.275


(46)

murid-murid yang sudah pernah bekerja. Ada bekas guru, ada bekas pegawai, tetapi karena merasa kurang ilmunya, mereka kembali bersekolah. Agak lucu juga sekolah ini, karena muridnya ada yang lajang, ada yang sepasang suami istri dan ada pula yang sudah janda.31

1. Pengetahuan dan Jiwa bagi Taman Siswa

Tetapi mereka memiliki satu tujuan yaitu menambah ilmu dan mendapat bimbingan langsung dari Ki Hajar Dewantara.

Dengan bantuan guru-guru yang berpengalaman Ki Hajar Dewantara membina sekolah ini sebaik-baiknya. Adapun mata pelajaran yang diperdalam dalam Taman Guru ini adalah:

2. Ilmu Pendidikan dan Keguruan 3. Ilmu Organisasi

4. Ilmu Kepemimpinan 5. Bahasa Jerman.

Ki Hajar Dewantara langsung mendidik murid-muridnya. Beliau berharap agar setelah tamat dari Taman Guru dapat menjadi guru, pemimpin dan pejuang di kemudian hari.

Sugondo sendiri sangat tekun dan rajin memperdalam ilmunya di sekolah tersebut. Sehingga suatu ketika terjadi perselisihan antar guru-guru di Taman Siswa Cabang Cepu pada tahun 1931. Melihat hal yang terjadi, Ki Hajar Dewantara berinisiatif mengirim Sugondo untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Taman Siswa Cabang Cepu. Padahal saat itu, Sugondo sendiri belumlah menamatkan pendidikannya, dan Sugondo sendiri merupakan murid termuda diantara murid Taman Guru tersebut.

Dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, Sugondo langsung menghubungi pihak yang berselisih, selain itu Sugondo juga menghubungi masyarakat setempat dan teman-teman

31


(47)

yang ada di Cepu. Setelah mengetahui dengan jelas permasalahan yang ada, barulah Sugondo bertindak. Hanya memerlukan waktu beberapa bulan, Sugondo berhasil menyelesaikan permasalahan yang ada di Cepu dan Taman Siswa Cabang Cepu kembali maju ditangannya. Permasalahan yang ada di Cepu adalah batu lonjakan pertama bagi kepemimpinan Sugondo. Ki Hajar Dewantara sendiri menilai Sugondo telah berhasil dengan baik menyelesaikan permasalahan yang ada. Sugondo bertugas di Cepu hanya selama tujuh bulan saja.

3.2 Mengemban Tugas di Kutaraja

Seperti yang kita ketahui, Aceh merupakan daerah yang kental dengan suasana Islaminya, begitu pula dengan pendidikan yang diajarkan kepada rakyatnya. Adapun pendidikan yang diterima Rakyat Aceh adalah pendidikan tradisional agama dan Al-Quran yang diterima mereka dari para ulama. Pada pendapat Belanda, semua pendidikan dan pelajaran tradisional yang diberikan kaum ulama kepada anak-anak Aceh hanya menanamkan “rasa benci dan kutukkan terhadap kafir” dan sanggup “terus-menerus menyalahkan isi Al-Quran”.32

Sehingga sampai tahun 1938, telah berdiri sekolah-sekolah seperti Holland Inlandse School (HIS) yang berjumlah delapan sekolah dan memiliki 1500 murid. Tidak hanya itu pada tahun 1930 juga telah berdiri sekolah menengah pertama (MULO) di daerah Kutaraja. Bagi rakyat biasa, sejak tahun 1907 telah berdiri Sekolah Desa untuk tiga tahun yang bertujuan untuk mengajarkan rakyat baca tulis dan huruf latin. Walaupun begitu sekolah Oleh karena itu, pemerintah kolonial merasa dibutuhkannya suatu pendidikan khusus yang menggantikan sistem pendidikan tradisional kaum ulama tersebut. Kebijakan untuk mengganti sistem pendidikan tradisional ini bukan karena pemerintah kolonial membutuhkan tenaga terpelajar untuk duduk di kantor-kantor pemerintah tetapi karena adanya keinginan untuk menertibkan rakyat Aceh dan melakukan “pasifikasi” wilayah Aceh.

32


(48)

buatan Belanda ini tetap mendapat hambatan berarti dari rakyat karena mereka beranggapan sekolah-sekolah ini akan mengajarkan mereka menjadi kafir, tetapi sampai tahun 1919 jumlah murid VolksSchool ini telah berjumlah kurang lebih 15.000, walaupun terjadi pemaksaan kepada rakyat untuk mengikuti pelajaran. Apabila anak-anak tidak mau bersekolah maka orang tua mereka harus menerima hukuman dengan bekerja paksa melakukan perawatan jalan-jalan.

Pada tahun-tahun permulaan dapat dirasakan bagaimana sekolah rakyat tersebut mendapat hambatan tetapi pada tahun 1935 jumlah murid VolksSchool meningkat hingga 33.000 murid bahkan lebih besar daripada jumlah murid di pulau Jawa. Kegairahan bersekolah ini dapat ditandai dengan banyaknya berdirinya sekolah-sekolah tiga tahun ini disekitar kota-kota dan di pinggir-pinggir jalan raya luar kota.33

33

Anthony reid, loc.cit., hal 52-53

Tetapi sekolah-sekolah dasar rakyat tersebut belumlah memberi kepuasan bagi rakyat Aceh. Untuk menambah kebutuhan ini, pihak gubernemen menambah sekolah pendidikan dua tahun yang dikenal dengan nama Sekolah Melayu Lima Tahun bagi anak-anak Aceh yang berasal dari keluarga yang berada. Pemerintah gubernemen tetap saja tidak memberi kesempatan bagi anak-anak biasa Aceh untuk memperoleh pendidikan Eropa. Harapan anak-anak Aceh untuk memperoleh pendidikan tersebut justru mereka dapatkan dari sekolah-sekolah partikelir yang berdiri di Aceh. Dua organisasi partikelir pendidikan terbesar di Indonesia pada saat itu adalah Muhammadiyah dan Taman Siswa yang membuka cabangnya di Aceh.

Pada tahun 1932, Perguruan Taman Siswa melebarkan sayapnya dengan membangun cabang di Kutaraja, Banda Aceh. Maka dibentuklah panitia pendiri Taman Siswa yang terdiri dari pemuka masyarakat setempat beserta hulubalang yang memiliki wawasan luas. Adapun panitia tersebut terdiri dari:


(49)

• Mr. Teuku Muhammad Arif yang dikenal juga sebagai Pahlawan Nasional

• T.M Usman yang merupakan ayah dari penyanyi Hj. Ivo Nilakresna

• T. Hasan Dik

• T. Hasan Mesjid Raya

• T. Johan

• Cut Hasan

Panitia tersebutlah yang mendirikan cabang Taman Siswa Kutaraja yang terdiri dari: Taman Indria, Taman Muda, dan Taman Dewasa. Adapun tujuan utama perguruan ini adalah untuk mendidik putra-putri tanah air untuk hidup merdeka lahir batin.34

R.A Sumarni yang kelak menjadi R.A Sumarni Sugondo Kartoprojo lahir di Magelang, Jawa Timur pada 9 Maret 1912. Sumarni menamatkan pendidikannya di HIS, MULO dan kemudian melanjutkan di Taman Guru Dewasa Yogyakarta. Pada usianya yang ke 18 tahun, Sumarni menamatkan pendidikannya di Taman Guru, kemudian ia menjadi Ketika perguruan telah dibangun, muncullah masalah baru yaitu kekurangan tenaga guru Taman Siswa, sehingga Majelis Luhur Taman Siswa mengirimkan tiga orang guru. Seperti yang diketahui, Aceh merupakan daerah dengan basis Islam yang fanatik. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara benar-benar memilih guru yang terbaik untuk menjadi pemimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, dan pilihan jatuh kepada Ki Sugondo Kartoprojo. Sugondo yang sebelumnya bertugas di Taman Siswa Cabang Cepu dipanggil pulang dan ditugaskan ke Kutaraja. Dalam memimpin cabang Taman Siswa hendaknya memenuhi sebuah syarat yaitu telah berumah tangga. Oleh karena itu sebelum berangkat ke Kutaraja, Sugondo terlebih dahulu berumah tangga. Sugondo sendiri ternyata telah memiliki tambatan hati yang telah dikenal beliau semenjak sekolah di Taman Guru yaitu R.A Sumarni.

34


(50)

pamong di Taman Muda Yogyakarta. Setelah setahun menjadi pamong di Taman Muda kemudian Sumarni menjadi pamong di Taman Antara Yogyakarta hingga tahun 1932. Pertengahan tahun, Sumarni dan Sugondo melangsungkan pernikahan mereka.

Sugondo melangsungkan pernikahannya pada 23 Juni 1932. Lima hari setelah pernikahannya, Sugondo beserta istri berangkat melaksanakan tugas ke Kutaraja ditemani Bapak Suwandi dan Bapak Sutikno Padmosoemarto. Bapak Sutikno Padmo soemarto inilah ketika pembentukkan propinsi Sumatera yang mewakili rakyat Aceh di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera.35

Pada tanggal 7 Juli 1932, Ki Sugondo Kartoprojo beserta rombongan tiba di Banda Aceh.

Ketiga sekawan inilah yang berangkat dari Yogyakarta untuk merantau dan membangun Taman Siswa di Aceh.

36

Dalam mengelola Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo dan istri dibantu oleh putra-putra Aceh. Salah satunya adalah Bapak Semaun Gaharu. Beban yang dipikul Sugondo dan istri cukup berat terutama dalam menjalankan Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo dan istri beserta Bapak Suwandi da Bapak Sutikno hanya dibantu oleh tiga orang guru yang harus mengelola pendidikan Taman Indria (Taman Kanak-kanak), Taman Muda (SD) dan Taman Dewasa (SMP). Selain beban berat memimpin sekolah yang harus dipikul Sugondo dan istri, beliau pun harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan Mereka disambut oleh panitia dengan suka cita. Sugondo dan istri menghabiskan bulan madunya dengan membangun Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut. Seperti yang diketahui, Taman Siswa Cabang Kutaraja cukup diawasi oleh pemerintah kolonial, hal ini dikarenakan menganggap Sugondo dengan Taman Siswanya sangat berbahaya bagi politik kolonial terutama karena Taman Siswa memegang peranan dalam menyebarluaskan cita-cita pendidikan bangsa.

35

Pemerintah Propinsi Tingkat 1, op.cit., hal. 426

36


(51)

dan masyarakat Aceh yang tentunya berbeda jauh dengan lingkungan dan masyarakat Jawa. Pembukaan Taman Siswa dilaksanakan pada 11 Juli 1932.

Ketika memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut, Sugondo selalu menerapkan rasa nasionalisme ke murid-muridnya. Hal ini terbukti bagaimana Sugondo dengan berani menyanyikan lagu Indonesia Raya disetiap kesempatan yang ada. Sudah menjadi kewajiban Sugondo dan istri untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Pertama kalinya masyarakat Aceh mengenal lagu Indonesia Raya, juga lagu “Merah Putih” yang membangkitkan rasa perjuangan, turut diajarkan oleh Ibu Sugondo yang luwes tetapi juga cukup gigih dalam menyebarluaskan lagu tersebut.37

Rasa nasionalisme yang dimiliki Sugondo juga terbukti dari peristiwa tanggal 31 Agustus, yang waktu itu merupakan hari besar Kerajaan Belanda. Sugondo pada saat itu dengan berani tidak menutup Taman Siswa dan tetap menyuruh murid-muridnya belajar seperti biasanya. Tentu saja perbuatan Sugondo tersebut membuat Pemerintah Belanda marah besar, karena Sugondo menolak merayakan hari besar mereka. Walaupun demikian pemerintah Belanda sendiri tidak berani menutup Taman Siswa, tetapi sebagian besar muridnya yang tergolong anak militer Belanda ditarik, mereka tidak disekolahkan lagi di Taman Siswa.

Padahal hampir sebagian besar murid-murid Taman Siswa merupakan anak-anak militer Belanda. Sumarni sendiri ketika itu menjabat sebagai ketua perguruan Taman Muda atau setingkat SD dari kelas I sampai VII.

38

Pemerintah Belanda menyadari bahwa Taman Siswa mengajarkan faham keras dalam menentang penjajahan. Pemerintah Belanda mengeluarkan bukti-bukti bahwa Taman Siswa berusaha mempengaruhi pemikiran murid-murid dengan mendengarkan lagu “Indonesia Raya’ dan “Merah Putih”. Akibat bukti-bukti yang dikeluarkan tersebut, jumlah murid

37

Ki Suparman, op.cit,.hal.30

38


(52)

Taman Siswa Cabang Kutaraja semakin berkurang. Hal ini dikarenakan Pemerintah Belanda memutuskan mengeluarkan siswa-siswa mereka dari sekolah Taman Siswa tersebut. Namun demikian, Sugondo berhasil memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja tersebut dengan baik. Kurang lebih dua tahun Sugondo memimpin Taman Siswa Cabang Kutaraja, dan Sugondo berhasil melahirkan kader-kader perjuang bangsa. Sebut saja Brigjen Purnawiran Samaun Gaharu, Bapak Usman Abdillah yang merupakan salah satu dosen Universitas Padjajaran, Bapak Suwandi yang merupakan eks anggota DPRD Daerah Istimewa Aceh, Said Abu Bakar yang merupakan saudagar ternama, serta murid-murid lainnya yang tak dapat disebutkan namanya. Tidak hanya itu prestasi yang Sugondo capai karena selain menjadi Ketua Perguruan Taman Siswa Kutaraja, Sugondo juga menjadi Pembimbing Taman Siswa Seluruh Aceh.

3.3 Membangun Dunia Pendidikan di Medan

Membicarakan sekolah Taman Siswa cabang Medan maka tidak terlepas dari pengalaman para tokoh yang mendirikannya. Dimulai pada hari Sabtu 22 Desember 1928 di Gedung Budi Utomo yang terletak di Jalan Cong Yong Hian (Jalan Bogor sekarang) diadakanlah sebuah pertemuan yang bertujuan untuk membangun sebuah perguruan kebangsaan.39

39

Ali Nur, Taman Siswa Dalam Perspektif Sejarah, Skripsi tidak diterbitkan, Medan,1983,hal.1

R. W Prawirosumo yang merupakan seorang pendiri Budi Utomo memimpin rapat dan menjelaskan keinginannya membangun perguruan kebangsaan tersebut. Akhirnya dibentuklah sebuah komite pendirian sekolah yang pada awalnya bernama Ngudi Tomo. Adapun yang menjadi presiden komite ini adalah R. Mangundinoto, dan wakil presidennya adalah Sastrosumito. Komite ini berusaha keras untuk mencari murid bagi sekolah ini.


(53)

Setelah mendapatkan 14 murid maka didatangkanlah pamong dari Taman Siswa Galang yaitu Munar Sastromijoyo.40

Maka pada hari Minggu 6 Januari 1929 resmilah sekolah Ngudi Tomo dibuka, dan keesokan harinya sekolah sudah memulai aktifitas pembelajarannya. Sekolah Ngudi Tomo juga merupakan perguruan swasta di Medan yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Berkat kepiawaian Munar Sastromijoyo dan kerja keras para pengurus komite maka murid-murid sekolah Ngudi Tomo terus bertambah setiap harinya. Ledakan murid-murid-murid-murid yang bersekolah menyebabkan gedung Budi Utomo yang awalnya menjadi tempat para murid belajar menjadi over kapasitas sehingga memaksa para pengurus komite untuk mencari tempat yang baru. Akhirnya dapatlah gedung baru di Jalan Amplas Medan pada 1 Februari 1929. Kekurangan tenaga pengajar juga dirasakan sekolah Ngudi Tomo sehingga para pengurus mendatangkan dua orang guru dari Jawa yang bernama Sukoco dan Sunarji.

41

Munar sendiri merupakan alumni perguruan Taman Siswa, sehingga Munar pulalah yang berusaha untuk mengganti nama sekolah Ngudi Tomo menjadi sekolah Taman Siswa. Ternyata para pengurus komite serta guru-guru menyetujui keinginan Munar, namun sekolah Budi Utomo tetap menjadi badan penyokong sekolah ini. Oleh karena itu pada 19 Desember 1929, Komite Ngudi Tomo dibubarkan dan diganti dengan nama Instituut-Raad Taman Siswa. Adapun badan pengurusnya masih sama tetapi hanya ditambah dengan beberapa orang lagi. Pimpinan dipegang oleh R.W Prawirosumo. Selanjutnya pada bulan Juli 1930 berdiri pula Taman Antara untuk menampung murid-murid keluaran sekolah desa dan sekolah lanjutan.42

40

Ibid., hal.2

41

Ibid., hal.3

42


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

17 Agustus 1995

DIBAKTIMU KAMI MENGACA

Di tahun emas ini,

Kami tahu kau sedang tidur lelap, Dan tak mau lgi di ganggu, Baktimu sudah berlalu. Di tahun emas ini,

Kau tak mau lagi diganggu, Kami cemburu, mengapa begitu, Baktimu kaca kami dn kacaku. Di tahun emas ini,

Kami sedang mengaca di keningmu, mengaca di dadamu dan mengaca di telapak tanganmu, Ah, tak berarti aku,

Bila mengaca baktimu.

Lembutmu lembutnya sepoi-sepoi bayu, Sejukmu, sesejuk pelepas rindu, Tapi teguhmu seteguh karngmu, Dan tegarmu setegar batinmu. Tonggak tonggak sejarahmu, Tercantap di hati kami, dihatiku. Diawal mula peristiwa cepu, Tujuh bulan berbilang waktu, Di tahun tiga puluh satu. Di tahun tiga puluh dua, Memanggil sayup kotaraja Ujung barat negeri tercinta

Merindukan kehadirian Taman Siswa

Sepasang pengantin baru meninggalkan yogya. Tugas memanggil semakin berpacu,

Kau tinggalkan kadermu Samaun Gaharu, Di medan terjadi kemelut baru,

Di tahun tiga puluh empat ketika itu. Medan memang medan untukmu, Bakti, juang dan usia kau habiskan disitu. Enam puluh tahun usia baktimu,

Kau pun pergi tanpa sendu, tanpa rindu, Namun, benih terbesar sudah lah tentu.

Enam belas agustus seribu sembilan ratus empat Puluh lima, B.M Diah member aba-aba

Pak Gondo! “Aku disini, kau disana” Baktimu, baktiku jua.

Kepada : Ki. Sugondo Kartoprojo

Oleh : Ki. Mukmil Dumairi

Buktikan! Taman siswa adalah badan Perjuangan

Manusia perkasa bekerja pada waktu orang alpa.

Berani maju pada waktu orang melarikan diri Jepang, nica kau tantang dengan berani. Hatipun bertemu semangat baja pun bersua. datangnya pak gubernur dari Jakarta mencari dukungan kemana-mana akhirnya tiba di tamansiswa.

Tiga puluh September empat puluh lima Tiga pejuang tancapkan tonggak sejarah

peristiwa. Proklamsi Republik untuk Sumatera. Di dukung Barisan Pemuda Indonesia.

Di tahun enam puluh enam. Pohonpun berbuah pula. Effendi Nasution di kalangan pemuda. Marahalim Harahap membangun Sumatera Utara.

Satu dasa warsa dua pelita. Lima puluh tahun sudah.

Kini kami sedang mengaca kembali. Kembali kami rindu, kami sendu dan kami cemburu.

Baktimu sedang di ukir di batu. Kini istirahatlah pahlawan kami

Lelaplah diatas permadani bakti dan juangmu. Kami tidak lagi cemburu, Karena itu milikmu. Kami rela kami berdoa dan selamat jumpa. Biarlah benihmu bergulat duka

Dan baktimu tidak mengenal usia Ani Idrus di Waspada dan Eria, Ki. Mustafa Siregar di Badan Pembina, Ki. Faisal Tanjung Pengawal Bangsa. Bergulat membuat rencana menjadi realita, salam dn bahagia Tamansiswa,