BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka - Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

  Kajian pustaka merupakan hasil penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh orang lain, sebagai bahan informasi bagi penulis, apakah penelitian yang akan dilakukan sudah diteliti oleh penulis lain atau belum, Happy Susanto (2008 : 35 ). Tinjauan pustaka dapat berupa buku maupun jurnal dari penulis lain.

  Tinjauan pustaka berguna untuk mengidentifikasi informasi atau ide yang mungkin berhubungan dengan topik yang sedang ditulis.

  Wing R.L. (1986) dalam buku yang berjudul The Tao of Power yang diterjemahkan dari buku Lao Tzu yang berjudul Tao Te Ching, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1994 dengan judul Tao

  

Kekuatan menguraikan kumpulan strategi Lao Tzu tentang kepemimpinan dan

  hubungan antar pribadi. Buku ini menguraikan ke 81 bab konsep Lao Tzu mengenai strategi kepemimpinan dan Wing menambahkan komentar yang membuka kedalaman buku ini.

  Heider John. (1986) dalam buku yang berjudul The Tao of Leadership. Buku ini menjelaskan ulang apa yang telah diajarkan Lao Tzu sejak abad ke 5 SM mengenai nilai dari sebuah kepemimpinan. Buku ini membantu pembaca untuk memahami bahwa metode kepemimpinan yang baik adalah dengan belajar dari alam dan berupaya menyatu dengannya. Manusia yang bijaksana akan mengupayakan agar dirinya selaras dengan alam. Heider menguraikan poin terpenting ajaran Lao Tzu tentang Jalan Kepemimpinan yang menurutnya sangat ampuh jika poin tersebut diterapkan.

  Sunindhia Y.W & Widiyanti Ninik. (1993) Cetakan Kedua dalam buku yang berjudul Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern. Buku ini menjelaskan dengan baik teori-teori kepemimpinan, sifat-sifat kepempimpinan, aspek dan fungsi kepemimpinan. Penulis juga menjelaskan bagaimana seharusnya wujud kepemimpinan dalam masyarakat. Buku ini juga memaparkan bagaimana pandangan para ahli tentang kepemimpinan beserta berbagai aspek yang mempengaruhinya.

  Norris Christopher. (1982) dalam buku yang berjudul Deconstruction :

  

Theory and Practice . Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2003

  dengan judul Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Buku ini menjelaskan tentang teori dekonstruksi sepenuhnya sebagai bagian dari postmodernitas dalam fungsinya sebagai kritik sastra dan menjelaskan manfaat teori ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan akademik.

2.2 Konsep

  Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu objek. Melalui konsep, diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah. Bila seseorang dapat menghadapi benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas atau kategori, maka seseorang telah belajar konsep, Hamidi (2010).

  Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2003 : 588) mengatakan, "...Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata." Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan penelitian.

2.2.1 Kepemimpinan

  Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang sangat menarik dari para ahli sejarah dan filsafat sejak masa dahulu. Socrates yang adalah filsuf Yunani yang paling berpengaruh hingga peradaban modern, berkata bahwa raja dan penguasa adalah bukan orang-orang yang memegang tongkat kekuasaan, bukan yang dipilih oleh siapapun, bukan yang diberi jabatan, bukan yang memaksakan kehendak atau menipu, tetapi orang-orang yang tahu bagaimana memerintah, Rowe&Schofield (2001). Para ahli telah menawarkan ratusan definisi tentang kepemimpinan. Seorang ahli menyimpulkan : "...Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah diobservasi, tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk dipahami", Daft dalam Safaria (2003 : 3). Kepemimpinan disebut sebagai salah satu hal yang sulit untuk didefinisikan karena kepemimpinan merupakan suatu masalah yang kompleks dan sulit. Bennis dalam Yukl (1998 : 2)) mengatakan :

  "...Selalu, tampaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan dan kompleksitasnya. Dengan demikian kita mendapatkan suatu proliferasi dan istilah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi...dan konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan." Namun, perkembangan ilmu pengetahuan saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentang definisi dari kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya, Kouzes & Posner (2004 : 258).

  Definisi kepemimpinan yang dapat dianggap cukup mewakili selama seperempat abad di abad ke-20 adalah :

  1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas- aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal), Hemhill dan Coons dalam Yukl (1998 : 2).

  2. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi, Katz dan Kahn dalam Yukl (1998 : 2).

  3. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu, Tannenbaum, Weschler dan Massarik dalam Yukl (1998: 2).

2.2.2 Taoisme

  Menurut legenda, Taoisme dipelopori oleh seorang filsuf yang dikenal dengan nama Lao Tzu. Nama ini secara harfiah berarti "Tuan Tua". Lao Tzu (yang nama keluarganya dikatakan adalah Li, dan nama pribadinya adalah Tan) merupakan seorang penduduk asli negara Ku yang sekarang berada di sebelah selatan provinsi Honan, RRC. Dia adalah seorang ilmuwan berbakat yang hidup sekitar 26 abad yang lalu dan bekerja sebagai Penjaga Arsip Kerajaan selama pemerintahan Dinasti Chou. Lao Tzu hidup di masa politik yang bergejolak. Dunianya dibagi menjadi ratusan provinsi yang terpisah, masing-masing dengan hukum dan pemimpinnya. Ia melihat pembentukan angkatan bersenjata dan kekerasan karena setiap provinsi bersaing untuk kekuasaan politik, Yu-Lan (2007 : 63). Setiap tindakan agresif dibalas dengan kekerasan dan serangan, sehingga seolah-olah rakyat Cina hidup di ambang kehancuran total dan dunianya akan habis seperti tanah buangan.

  Melihat ketidakberdayaan masa itu, dengan reaksi politik kejam yang berputar di luar kontrol, Lao Tzu berhenti dari jabatannya dan siap meninggalkan dunia peradaban selamanya. Sebelum ia diizinkan melewati gerbang ibu kota menuju ke gunung, Penjaga gerbang yang bernama Yin Hsi, mendesak Lao Tzu menulis apa yang diketahui untuk menerangi mereka yang meninggalkannya.

  Lao Tzu mengarang buku yang menggunakan namanya sebagai judul yaitu

  

Lao-tzu , yang belakangan juga dikenal dengan judul Tao Te Ching (Karya Klasik

tentang Jalan dan Kekuatannya) untuk memberikan petunjuk bagi pribadi yang

  karena jabatannya harus membimbing yang lain - seperti para pangeran, politikus, majikan dan pendidik, Yu-Lan (2007 : 28). Di negara-negara barat, Tao Te Ching jauh lebih populer ketimbang tulisan-tulisan filsuf Cina manapun. Nyatanya, sedikitnya ada 40 macam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan dari buku itu, lebih banyak dari terjemahan buku apa pun, kecuali Injil, Michael (1978: 381). Lao Tzu dalam Wing (1986: xii) mengatakan :

  "...Kenali dirimu. Belajarlah merasakan dunia di sekitarmu secara langsung, dan renungkan kesanmu secara mendalam. Jangan bergantung pada ideologi, karena melakukan hal ini akan merampas makna dari hidupmu dan membuatmu tidak pantas memimpin.

  Peliharalah dan buatlah nalurimu bisa dipercaya, karena seorang pemimpin yang tidak punya naluri tidak bisa meramalkan perubahan. Bangunlah kekuatan pribadimu (Te) melalui kewaspadaan dan pengetahuan tentang hukum fisika yang bekerja di alam dan dalam pikiran orang lain (Tao) - lalu gunakan kekuatan itu untuk mengarahkan kejadian, tanpa menggunakan kekerasan. Bagaimana melakukan hal ini? Gunakan sikapmu, bukan tindakan, dan pimpin orang lain dengan membimbingnya bukan memerintahnya. Atur orang lain dengan membiarkan mereka bertindak terhadapmu, bukan sebaliknya. Dengan cara ini, bawahanmu akanmengembangkan rasa percaya diri, dan kamu sebagai pembimbingnya akan dihargai dengan kesetiaan dan kerjasama mereka. Belajarlah untuk mencapai tujuan tanpa alat, dengan memelihara pandangan yang kuat tentang bagaimana sesuatu harus selesai sendiri secara wajar. Praktikkan kesederhanaan. Teruslah berkembang. " Lao Tzu percaya bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang manusia yang bijaksana. Hanya manusia bijaksana yang dapat dan harus berkuasa. Lao Tzu dalam Yu-Lan (1960) mengatakan :

  " Campakkan kearifan, singkirkan pengetahuan, maka rakyat akan memperoleh manfaat seratus kali lipat. Campakkan rasa kemanusiaan, singkirkan rasa keadilan, maka rakyat akan menjadi penurut dan memiliki rasa kebersamaan. Campakkan keahlian, singkirkan keuntungan, maka pencuri dan perampok akan lenyap " . .... itulah sebabnya manusia yang bijaksana memerintah rakyat dengan jalan mengosongkan pikiran mereka, serta mengencangkan syaraf mereka, dan senantiasa membuat rakyat tanpa pengetahuan dan tanpa keinginan ".

  Menurut Lao Tzu, setiap pemimpin harus memiliki kekuatan yang sejati. Baginya, kekuatan sejati adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengubah dunia dengan hidup sederhana, cerdik dan mengalami keberadaan yang kaya.

  Menurutnya, pemimpin/penguasa negara hendaknya meniru Tao. Tao adalah sesuatu yang menyebabkan adanya segala sesuatu. Ia sendiri bukanlah sesuatu dan oleh sesuatu semacam itu. Meskipun demikian, segala sesuatu menjadi ada. Dengan demikian Tao tidak melakukan apa pun, namun tidak ada sesuatu pun yang tidak dikerjakan. Ia membiarkan masing-masing sesuatu itu melakukan apa yang dapat dikerjakannya sendiri. Itu berarti, bahwa pemimpin/penguasa akan membiarkan rakyat untuk melakukan apa pun yang dapat mereka kerjakan. Dan konsep inilah yang tetap dipertahankan oleh para penganut Taoisme sejak saat itu dan seterusnya.

  Penguasa yang berhasil tahu bagaimana memelihara kepentingan yang dikuasai secara lebih baik ketimbang yang dikuasai itu sendiri, sehingga yang dikuasai menghormatinya karena kegunaannya dan tunduk secara sukarela. Penguasa meninggalkan keinginan akan barang-barang dari komunitas, namun ganjaran paradoksalnya adalah memberi kehormatan penggunaan bebas atas barang-barang ini karena dianggap bermanfaat bagi masyarakat, Rowe & Schofield (2001).

  Chuang Tzu adalah penerus filsafat Taoisme setelah Lao Tzu yang juga mengatakan hal yang sama tentang pemimpin. Dia menulis dalam bukunya yang berjudul Chuang-tzu, dengan mengatakan : "... Pemimpin harus tidak melakukan aktivitas, sehingga dengan demikian mempekerjakan dunia ; tetapi pembantu harus melakukan kegiatan, sehingga dengan demikian dipekerjakan oleh dunia. Inilah cara yang tetap", Yu-Lan (1960).

  Dalam buku Tao Te Ching yang seluruhnya berisi 81 bab akan ditemukan pandangan Lao Tzu tentang nilai kepemimpinan. Dalam bab ke-8 dari buku tersebut, dibawah judul Nilai Tidak Bersaing mengatakan:

  “ Nilai tertinggi seperti air. Nilai dalam air menguntungkan semua benda, ia tinggal di tempat yang diremehkan orang. Dan karena ia dekat dengan Tao. Nilai dalam tempat tinggal adalah lokasi. Nilai dalam pikiran adalah kedalaman. Nilai dalam hubungan adalah kebajikan. Nilai dalam kata adalah ketulusan. Nilai dalam kepemimpinan adalah keteraturan. Nilai dalam kerja adalah kecakapan. Nilai dalam usaha adalah ketepatan waktu. Karena sesungguhnya, mereka tidak menentang, tak ada kebencian.” Berdasarkan filsafat politik Taoisme, sebuah pemerintahan yang baik bukanlah pemerintahan yang banyak melakukan sesuatu, tetapi sebaliknya melakukan sesuatu itu seminimal mungkin. Sebenarnya, prinsip di atas dibuat oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu berkaitan dengan peristiwa yang telah mereka lihat dan alami, masa di mana ketika sebuah pemerintahan bertindak terlalu banyak, maka yang timbul adalah kekacauan, yakni peperangan. Ini berkaitan dengan peristiwa sewaktu dinasti Chou terpecah belah sehingga menimbulkan perang yang tidak terelakkan. Itulah sebabnya kata-kata itu ditulis.

2.2.3 Kaitan Kebudayaan terhadap Nilai Kepemimpinan

  Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia yang besar kemungkinannya akan selalu mengalami perubahan karena waktu dan kemajuan teknologi.

  Walaupun setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, namun kesamaannya adalah kebudayaan masih merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan kita.

  Kebudayaan mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat/kebiasaan dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat, Taylor dalam Soelaeman (2001 : 19).

  Pengertian yang lebih sistematis dan ketat, mengingat kebudayaan merupakan totalitas pandangan hidup, dari kebudayaan adalah : Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai, Kroeber dan Klukhohn dalam Soelaeman (2001 : 20).

  Kebudayaan mencakup seluruh penciptaaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani yang di dalamnya terdapat usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial. Nilai-nilai ditetapkan atau dikembangkan sehingga sempurna. Tidak memisah-misahkan dalam membudayakan alam, memanusiakan hidup, dan menyempurnakan hubungan insani. Manusia memanusiakan dirinya dan memanusiakan lingkungan dirinya, Soelaeman (2000 : 21).

  Kepemimpinan merupakan bagian dari kebudayaan karena kepemimpinan merupakan hasil dari ilmu pengetahuan, wujud dari moral dan kepercayaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang membantu manusia dalam menjalani kehidupan. Kepemimpinan dapat disebut sebagai aspek yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan karena kepemimpinan adalah aspek yang membangun sumber daya manusia ke arah yang lebih baik.

2.2.4 Studi Kasus

  Studi kasus adalah salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu studi-studi kasus eksplanatoris, eksploratolis dan deskriptif. Dalam penggunaannya, penelitian studi kasus perlu memusatkan perhatian kepada aspek pendesainan dan pengerjaan agar lebih mampu menghadapi kritik-kritik tradisional tertentu terhadap metode/tipe pilihannya, Yin (1997:1).

  Secara umum, studi kasus dapat diterapkan melalui 4 aplikasi. Aplikasi pertama adalah menjelaskan keterkaitan kausal dan intervensi kehidupan nyata yang terlalu kompleks bagi strategi survei ataupun eksperimen. Aplikasi yang kedua adalah mendeskripsikan konteks kehidupan nyata di mana intervensi telah terjadi. Aplikasi yang ketiga adalah melalui evaluasi yang bisa memberikan keuntungan, sekali lagi dalam bentuk deskriptif, dari studi kasus ilustratif, bahkan pemikiran jurnalistik tentang intervensi itu sendiri. Aplikasi yang keempat adalah dengan mengeksplorasi situasi-situasi di mana intervensi yang akan dievaluasi tidak memiliki struktrur hasil yang tunggal dan jelas, Yin (1997:20).

  Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan studi kasus dalam bentuk deskriptif dengan menerapkan ke-4 aplikasi diatas dengan seksama sehingga studi kasus dapat menghasilkan suatu informasi yang dapat diandalkan untuk dapat dijadikan sebagai suatu kesimpulan.

2.3 Landasan Teori

  Teori merupakan komponen utama dalam penelitian. Objek penelitian, meskipun penting dan berharga, apabila dianalis dengan peralatan yang tidak tepat tidak akan memberikan hasil yang optimal. Ratna (2011 : 309) mengatakan : "... objek yang sederhana, bahkan mungkin dilupakan orang, apabila dianalis dengan teori yang tepat akan menghasilkan penelitian yang baik. "

  Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Oleh karena itu dalam penelitian skripsi ini, penulis akan menggunakan teori dekonstruksi.

2.3.1 Teori Dekonstruksi

  Teori Dekonstruksi merupakan ciri khas teori-teori postrukturalisme, yaitu pembongkaran terhadap logosentrisme (metafisika kehadiran) dan fonosentrisme.

  Metafisika kehadiran adalah asumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam tuturan, bukan tulisan, Norris (2003 : 10). Meskipun kita tidak dapat membayangkan ataupun menyimpulkan tujuan dari metafisika, kita dapat melaksanakan suatu kupasan tentangnya dengan mengidentifikasi serta memutarbalikkan hirarki yang telah dibentuk. Toeri ini menerapkan suatu mode ganda dalam pembacaan yang menunjukkan teks yang harus dirangkai dari uraian yang tak pernah dapat dihasilkan di dalam suatu sintesa namun secara berkesinambungan menggantikan satu sama lainnya, Sturrock (2004 : 250). Fonosentrisme adalah anggapan tentang ekspresi murni bahasa dari kedalaman diri pembaca. Ketika budaya muncul, bahasa bunyi telah dikorupsi oleh bahasa tulisan.

  Menurut Derrida, pemahaman fonos dan logos inilah yang menjadi fondasi peradaban Barat. Baik logosentrisme dan fonosentrisme sebagai konsep murni metafisika Barat, bagi Derrida adalah mistifikasi, yang harus didekonstruksi atau dilakukan pembongkaran, Norris (2003 : 47).

  Dekonstruksi pada dasarnya diartikan sebagai antitesis aktif terhadap segala sesuatu yang telah dicapai kritik sastra jika nilai-nilai dan konsep tradisionalnya telah diterima orang-orang secara luas. Dekonstruksi bertujuan untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teori ini berkutat pada kerelaan untuk membuka diri pada kenyataan bahwa yang pasti menurut kita atau orang lain hanyalah jejak dari sesuatu yang tidak akan kita temukan tetapi "ada", Norris (2003 : 15).

  Teori dekonstruksi juga bertujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks. Konsep kunci teori dekonstruksi, di antaranya : differance (membedakan sekaligus menunda ideologi yang sudah baku bahkan dianggap universal), trace (makna sebagai jejak), decentering (pusat yang berpindah-pindah). Menurut Derrida, differance merupakan sebuah struktur dan dan sebuah pergerakan yang tak dapat dibayangkan dengan dasar pertentangan/ketidakhadiran, Sturrock (2004 : 268).

  Dekonstruksi merupakan poststrukturalis ketika tidak mau menerima ide tentang struktur sebagai sesuatu yang given atau yang secara objektif telah berada didalam teks.

  Dengan menggunakan teori ini, penulis akan berupaya untuk mengungkapkan kebenaran dibalik teks-teks dalam buku Tao Te Ching yang berkaitan nilai-nilai kepemimpinan, untuk melihat apakah setiap bentuk nasihat dalam teks-teks tersebut masih relevan terhadap kehidupan masyarakat dewasa ini, mengingat ilmu pengetahuan tentang kepemimpinan selalu bertambah dan berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan kemajuan teknologi dan berbagai hal lain yang mempengaruhinya.

Dokumen yang terkait

Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan

2 64 138

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Kepribadian Tokoh Dalam Novel Xueke Karya Chiung Yao Berdasarkan Psikologi Sastra

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 1 10

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Bentuk-bentuk Diskriminasi dalam Kumpulan Puisi Esai Atas Nama Cinta Karya Denny JA: Tinjauan Sosiologi Sastra

0 0 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 - Analisis Kesalahan Penggunaan Pelengkap Arah Laidan Qu dalam Kalimat Bahasa Mandarin

1 2 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan pustaka - Deskripsi Makna Simbol Diagram Ba Gua Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan 八卦在棉兰华裔社区的功用 (Bāguà Zài Mián Lán Huáyi Shèqū De Gōngyòng )

0 0 9

27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka

0 5 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 - Penggunaan Pola Kalimat Shi...De dalam Novel Bian Cheng Kayra ShenCong Wen

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Analisis Kontrastif Struktur, Jenis, dan Ciri Kalimat Tanya dalam Bahasa Mandarindan Bahasa Indonesia

0 4 18