Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan

(1)

NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM TAOISME: STUDI KASUS MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN.

老子教导的领导价值 (Lǎozi jiàodǎo de lǐngdǎo jiàzhí

SKRIPSI DISUSUN OLEH: JUNITA PURBA

090710020

DEPARTEMEN SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ABSTRACT

The title of this paper is "Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan". Taoism is a school of philosophy that originated in China and was pioneered by Lao Tzu. One of his teaching is leadership values. Nowadays, the study of leadership is always evolving and changing from time to time in line with advances of technology and information as well as human needs. Therefore, the writer wanted to see whether the values of leadership in Taoism is still relevant or useful to the leaders of today. The writer use descriptive qualitative method as a research method. Data sources obtained through the library research by books and field research by the form of interviews with informants. As the conclusion, writer found that the values of leadership in Taoism is still relevant or useful to the leaders of today, when applied in life. Key Words : Chinese Philosophy, Taoism Teachings, Leadership on Taoism


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan perlindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan masa perkuliahan dan tugas akhir semester berupa skripsi yang berjudul " Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan". Skripsi ini dibuat untuk melengkapi salah satu syarat kelulusan Program Sarjana di Departemen Program Studi Sastra Cina Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, semangat, waktu, materi serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada :

• Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

• Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku Ketua Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara.

• Bapak Dr. Jhonson Pardosi M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat banyak membantu memberikan kritik dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

• Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Universitas Sumatera Utara.


(4)

• Laoshi Cao Xia, M.A., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membantu saya dalam proses penulisan skripsi Bahasa Mandarin. Dan juga kepada Laoshi Shen Mi, M.A., selaku dosen pengajar yang juga telah membagikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

• Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya Program Studi Sastra Cina, Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama di perkuliahan.

• Seluruh dosen Jinan University, Republik Rakyat Cina dari semester awal hingga akhir perkuliahan, yaitu Zhu Xiao Hong Ph.D., Yu Xin M.A., Wu Qiao Ping M.A., Liu Jin Feng M.A., Cao Li Min M.A., Liang Yun Chuan M.A., Yu Xue Ling M.A. dan Chen Shu Shu M.A.

• Kedua orang tua penulis, Mangiring Purba dan Lidia Nababan beserta seluruh keluarga besar penulis yang selama ini selalu siap setiap waktu untuk mendukung penulis, memberikan semangat dan doa demi terselesaikannya skripsi ini.

• Kepada seluruh mahasiswa Sastra Cina Stambuk 2009 yang selalu menjadi teman kerja yang baik dalam memberikan motivasi, dukungan serta waktu yang membantu penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.


(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna dan masih terdapat kekurangan di dalamnya. Penulis berharap agar di tahun-tahun berikutnya para peneliti lain yang ingin meneliti ataupun melanjutkan penelitian dengan judul yang sama, dapat menelitinya dengan jauh lebih baik dari ini.

Demikianlah kata pengantar dari penulis, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan perlindungan-Nya kepada kita semua. Terima kasih.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Batasan Masalah... 5

1.3 Rumusan Masalah... 6

1.4 Tujuan Penelitian... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEOR 8 2.1 Tinjauan Pustaka... 8

2.2 Konsep... 9

2.2.1 Kepemimpinan... 10

2.2.2 Taoisme... 11

2.2.3 Kaitan Nilai dan Kebudayaan terhadap Kepemimpinan... 15

2.2.4 Studi Kasus... 16

2.3 Landasan Teori... 17

2.3.1 Teori Dekonstruksi... 17

BAB III METODE PENELITIAN... 18

3.1 Metode Penelitian... 19

3.1.1 Lokasi Penelitian... 19

3.1.2 Data dan Sumber Data... 20


(7)

3.1.3.1 Data Primer/Riset Kepustakaan (Library Research)... 20

3.1.3.2 Data Sekunder/Riset Lapangan (Field Research)... 21

3.1.3.3 Teknik Pengolahan Data... 21

3.2 Teknik Analisis Data... 22

BAB IV GAMBARAN UMUM... 23

4.1 Gambaran Umum Masyarakat Tionghoa di Medan... 23

4.1.1 Sistem Kepercayaan... 24

4.1.1.1 Konfusianisme………... 25

4.1.1.2 Taoisme………... 26

4.1.1.3 Buddhisme………... 27

4.1.2 Sistem Mata Pencaharian... 28

4.2 Masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman Medan... 29

BAB V NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM TAOISME... 30

5.1 Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme... 30

5.1.5 Mempertahankan Kekuatan dengan Kewaspadaan…… 36

5.1.2 Mengamalkan Perkataan dengan Tindakan dan Memiliki Keper- cayaan terhadap Orang Lain……… 43

5.1.3 Mengutamakan Kepentingan Bersama dari pada Kepentingan Pribadi……… 46

5.1.4 Keterbukaan Diri dan Fokus pada Tujuan Bersama…….. 49

5.1.5 Keseimbangan terhadap Kebenaran dan Kesalahan ….... 52

5.1.6 Keikhlasan dalam Menjalankan Tugas……… 54

5.1.7 Keselarasan antara Berpikir dan Bertindak………... 56

5.1.8 Keadilan dalam Memperlakukan Bawahan……… 58

5.1.9 Kejujuran dan Ketulusan dalam Memimpin……… 60


(8)

5.1.11 Mengayomi dan Tidak Berfokus pada Kesalahan Pekerja… 65 5.1.12 Kebijaksanaan dalam Menunjukkan Kemampuan Intelektual67

5.1.13 Kerendahan Hati dan Rela Berkorban……… 68

5.1.14 Mengasihi dan Menyayangi Para Bawahan……… 70

5.1.15 Kesabaran dalam Menghadapi Orang Lain……… 73

5.1.16 Menerima Kekurangan Orang Lain……… 75

5.2 Sikap Masyarakat Tionghoa di Medan terhadap Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme………... 59

5.2.1 Masyarakat Tionghoa yang Menganut agama Buddha dan Konghucu……… 78

5.2.2 Masyarakat Tionghoa yang Menganut agama Kristen…… 79

5.2.3 Masyarakat Tionghoa Penikmat Filsafat……… 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 82

6.1 Kesimpulan... 82

6.2 Saran... 82


(9)

ABSTRACT

The title of this paper is "Nilai-Nilai Kepemimpinan dalam Taoisme : Studi Kasus Masyarakat Tionghoa di Medan". Taoism is a school of philosophy that originated in China and was pioneered by Lao Tzu. One of his teaching is leadership values. Nowadays, the study of leadership is always evolving and changing from time to time in line with advances of technology and information as well as human needs. Therefore, the writer wanted to see whether the values of leadership in Taoism is still relevant or useful to the leaders of today. The writer use descriptive qualitative method as a research method. Data sources obtained through the library research by books and field research by the form of interviews with informants. As the conclusion, writer found that the values of leadership in Taoism is still relevant or useful to the leaders of today, when applied in life. Key Words : Chinese Philosophy, Taoism Teachings, Leadership on Taoism


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk hidup yang cerdas karena dikaruniai kemampuan untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang benar, yang sama sekali tidak dimiliki oleh makhluk hidup lain manapun. Keistimewaan ini membuat pola kehidupan manusia dengan makhluk hidup lainnya begitu berbeda. Filsuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650) menegaskan cogito ergo sum yang artinya 'saya berpikir karena itu saya ada'. Pepatah kuno ini secara langsung menunjukkan bahwa berpikir adalah sumber dari perilaku manusia. Moeljono (2003 : 12) mengatakan, "... berpikir adalah kegiatan manusia yang paling utama." Manusia dikaruniai kemampuan berpikir sehingga dapat merancang apapun demi kelangsungan hidupnya dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan disaat yang dibutuhkan, bertindak dengan bijaksana dan mampu mengutarakan perasaannya. Semua keistimewaan ini membuat kehidupan manusia menjadi begitu bermakna.

Manusia juga memiliki keinginan untuk belajar. Otak yang cerdas membuat manusia memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan segala sesuatu, keinginan untuk memperoleh lebih banyak pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu


(11)

pengetahuan bisa terbentuk. Ilmu pengetahuan melahirkan peraturan, hukum, nilai sebagai aspek-aspek utama kehidupan manusia, beserta berbagai aspek penting lainnya. Nilai sebagai salah satu aspek yang unggul dalam kehidupan didefinisikan sebagai ukuran tentang kebaikan atau kebenaran yang dipraktekkan dalam kehidupan individu maupun organisasi. Nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik dan yang buruk, Pepper (1958 : 7). Sebagai suatu ukuran, nilai memiliki peranan penting dalam menentukan suatu hal atau suatu perbuatan dapat digolongkan baik atau buruk. Kepemimpinan sebagai salah satu penggerak sumber daya manusia dan sumber lain, merupakan salah satu kemampuan unik manusia yang membutuhkan nilai, Sumidjo & Soebedjo (1986 : 27).

Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata "pimpin" lahirlah kata kerja "memimpin" yang artinya membimbing atau menuntun. Kepemimpinan pada dasarnya diartikan sebagai kemampuan dalam mempengaruhi kegiatan suatu kelompok atau organisasi untuk mencapai tujuan, kemudian definisi ini dikembangkan menjadi kemampuan dalam membawakan visi dengan jelas.

Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa kepemimpinan nyata peranannya sebagai salah satu aspek yang memiliki kemampuan dalam membuat pengaruh untuk menghasilkan kekuasaan yang besar. Figur seorang penguasa/pemimpin berpengaruh besar terhadap maju atau tidaknya suatu negara.

Romawi kuno sebagai tempat kelahiran para penguasa terkenal dan menyandang gelar sebagai negara terkuat dalam suatu masa, menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan kunci utama dari kemajuan suatu bangsa. Mereka yang


(12)

memimpin di masa itu selalu membuat strategi yang ampuh untuk mengorganisasi wilayah kekuasaannya. Kekuasaan itu menjadi tolok ukur imperium dapat bertahan atau sebaliknya akan berakhir.

Sejarah mencatat tentang keberhasilan kepemimpinan beberapa kaisar

Romawi yang begitu berpengaruh, sampai-sampai pengaruh kekuasaanya meliputi seluruh dunia. Strategi perang yang unggul dan sistem hukum yang rapi, membuat

Romawi berhasil dalam mencetak rekornya. Meski pada akhirnya imperium ini runtuh karena beberapa kepemimpinan yang ambisius dan mementingkan diri, sejarah mengukir prestasi gemilang mereka dalam pencapaian kekuasaan yang terbilang cukup hebat. Demikianlah negara-negara kuat yang berkuasa silih berganti di dunia ini memperoleh tujuannya masing-masing menjalankan kepemimpinan yang hebat dan unggul dari yang lainnya. Sebenarnya, baik sejarah maupun filsafat, keduanya sama-sama mencatat hal-hal penting tentang kepemimpinan.

Filsafat sebagai cabang ilmu pengetahuan, mengkaji nilai-nilai kepemimpinan dengan lebih mendalam. Para pemikir yang hidup berabad-abad silam menyatakan pandangan mereka tentang nilai kepemimpinan. Lao Tzu (600 SM) sebagai salah satu filsuf Cina yang berpengaruh di dunia, mengungkapkan pemikirannya tentang tentang nilai-nilai kepemimpinan.

Lao Tzu yang diakui sebagai pendiri Taoisme, hidup sekitar tahun 600 SM dimasa kekuasaan dinasti Chou. Pada waktu itu, dinasti Chou menganut sistem feodal, yakni orang-orang yang pernah berjasa pada raja di beri gelar


(13)

kebangsawanan secara turun-temurun serta tanah-tanah kekuasaan. Penerapan sistem ini sama sekali tidak berhasil. Orang-orang yang pernah berjasa pada kaisar dan diberi gelar kebangsawanan ini kemudian mulai memerintah wilayah mereka sendiri. Akhirnya, Dinasti Chou terpecah menjadi banyak negara-negara feodal yang saling berperang yang terus berlangsung hingga tahun 221 SM, Wing (1986: xii). Dimasa inilah Lao Tzu hidup dan membaktikan dirinya untuk memikirkan jalan hidup dengan mempelopori Taoisme. Ajarannya kemudian dikenal sebagai

Tao atau jalan. Ajaran ini mengajak manusia untuk hidup selaras dengan alam. Salah satu ajarannya adalah bahwa manusia yang hidup harus belajar dari air. Lao Tzu mengatakan bahwa manusia mengambil hukum dari bumi dan bumi mengambil hukum dari langit dan langit mengambilnya dari Tao. Heider (1986 : 11) mengatakan :

"Can you learn to become open and receptive, quiet and without desires or the need to do something? Imagine that there is a pond in this valley. When no fears or desires stir the surface of the pond, the water forms a perfect mirror. In this mirror, you can see the reflection of Tao. You can see God and you can see creation. Go into the valley, be still, and watch the pond. Go as often as you wish. Your silence will grow. The pond will never run dry. The valley, the pond, and Tao are all within you."

Heider mengajukan pertanyaan sudut pandang yang menganjurkan untuk bersikap terbuka dan reseptif, tenang, seolah-olah memiliki hasrat atau tak ingin berbuat sesuatu. Kemudian membayangkan di lembah itu ada danau. Bila tidak ada kekhawatiran dan hasrat yang mengacaukan permukaan danau itu, maka airnya akan membentuk sebuah cermin yang sempurna. Dalam cermin itu, akan


(14)

terlihat pantulan Tao. Bersikap tenang dan kesunyian di dalam jiwa akan tumbuh. Lembah, danau dan Tao akan bersemayam di dalamnya.

Sebagai bagian dari penggerak pertumbuhan ekonomi, masyarakat Tionghoa di Medan memahami betapa bernilainya aspek kepemimpinan sebagai modal penting dalam menjalankan usaha. Masyarakat Tionghoa di Medan menerima Taoisme sebagai falsafah yang menarik, berguna dalam kehidupan mereka dan merupakan bagian dari sistem kepercayaan leluhur mereka yang diwariskan kepada keturunannya sebagai bagian penting dari kebudayaan mereka.

Seperti masyarakat lain pada umumnya, masyarakat Tionghoa di Medan juga memahami konsep kepemimpinan sebagai aspek yang dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai masyarakat yang berbudaya, masyarakat Tionghoa mengerti bahwa kepemimpinan adalah salah satu aspek yang tak terpisahkan dari kebudayaan yang begitu luas. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan atau tradisi mereka untuk selalu melibatkan para leluhur, khususnya dalam kegiatan-kegiatan spiritual sebagai wujud dari kepercayaan mereka yang menganggap bahwa para leluhur memiliki wewenang atas diri mereka. Masyarakat Tionghoa di wilayah sekitar Jalan S.Parman merupakan salah satu contoh kecil dari masyarakat Tionghoa di Medan yang menganggap penting nilai kepemimpinan.

Masyarakat Tionghoa di wilayah sekitar Jalan S.Parman memiliki peran besar dalam kemajuan wilayah sekitar Jalan S.Parman serta meningkatnya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman


(15)

merintis hidup mereka dengan membuka serta mengembangkan berbagai bidang usaha yang turut meluaskan peluang kerja bagi orang lain, khususnya masyarakat pribumi di Medan. Masyarakat Tionghoa di wilayah sekitar Jalan S.Parman tampak sejahtera secara ekonomi dan dengan giat mengembangkan berbagai potensi usaha yang menghasilkan keuntungan besar secara finansial dan tidak pernah berhenti bekerja.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme dan sejauh mana pengaruh ajaran tersebut terhadap pola pikir dan budaya masyarakat Tionghoa di Medan.

1.2.Batasan Masalah

Penulis mencoba membatasi wilayah objek penelitian hanya di wilayah sekitar Jalan S.Parman, Medan. Penulis juga akan membatasi ruang lingkup kepustakaan dengan membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam buku yang berjudul Tao (Kekuatan)/Tao Te Ching. Buku

Tao Te Ching terdiri atas 81 bab yang terbagi dalam 6 subjudul besar. Dalam buku ini, aspek yang berkaitan dengan kajian penulis hanyalah berjumlah 16 bab dari 81 bab secara keseluruhan dibawah subjudul Kekuatan dalam Kepemimpinan

yang secara spesifik menjelaskan hubungan ideal antara pemimpin dan bawahannya serta menjelaskan metode paling efektif untuk memimpin orang lain dan mencapai tujuan.


(16)

Ke-5 subjudul besar lain yang dimaksud adalah 12 bab di bawah subjudul

Kekuatan dalam Alam. Setiap bab dibawah subjudul ini berpusat pada hukum fisika yang sangat mendasar yang menjelaskan filsafat Taoisme dan berhubungan dengan kosmologi Tao dan asal-usul jagat raya. 10 bab di bawah subjudul

Kekuatan dalam Kesadaran membahas lebih jauh tentang hukum fisika yang bekerja di alam dan juga asumsi filsafat dasar dalam Taoisme. 9 bab di bawah subjudul Kekuatan dalam Organisasi menguraikan tentang perilaku individu yang terlibat dalam usaha kelompok, juga tentang sikap organisasi sehingga menghasilkan keharmonisan. 23 bab di bawah subjudul Kekuatan dalam Proyeksi

memuat serangkaian eksperimen pemikiran atau ide yang membantu individu menggunakan sikap dan perilaku untuk mengembangkan kekuatan pribadi dan mendapatkan pengaruh dalam lingkungan. 11 bab di bawah subjudul Kekuatan dalam Tidak Mencampuri membahas secara terperinci penggunaan teknik "lepas tangan" untuk mencapai pengaruh lama dalam urusan duniawi. Dengan demikian, penulis hanya akan membahas ke-16 bab dibawah subjudul Kekuatan dalam Kepemimpinan.

1.3.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah :


(17)

2. Bagaimana sikap masyarakat Tionghoa di Medan terhadap nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme?

1.4.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme.

2. Untuk mengetahui sikap masyarakat Tionghoa di Medan terhadap nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Meningkatkan pemahaman masyarakat luas akan nilai kepemimpinan dalam Taoisme.

2. Menjadi salah satu bahan referensi bagi para penulis lain yang membahas kebudayaan maupun filsafat.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian skripsi ini bermanfaat sebagai salah satu alat bantu bagi mahasiswa dan masyarakat untuk menempah kerangka berpikir terhadap ilmu pengetahuan, dimana konsep Taoisme mengenai nilai kepemimpinan merupakan salah satunya.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan hasil penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh orang lain, sebagai bahan informasi bagi penulis, apakah penelitian yang akan dilakukan sudah diteliti oleh penulis lain atau belum, Happy Susanto (2008 : 35 ). Tinjauan pustaka dapat berupa buku maupun jurnal dari penulis lain. Tinjauan pustaka berguna untuk mengidentifikasi informasi atau ide yang mungkin berhubungan dengan topik yang sedang ditulis.

Wing R.L. (1986) dalam buku yang berjudul The Tao of Power yang diterjemahkan dari buku Lao Tzu yang berjudul Tao Te Ching, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1994 dengan judul Tao Kekuatan menguraikan kumpulan strategi Lao Tzu tentang kepemimpinan dan hubungan antar pribadi. Buku ini menguraikan ke 81 bab konsep Lao Tzu mengenai strategi kepemimpinan dan Wing menambahkan komentar yang membuka kedalaman buku ini.

Heider John. (1986) dalam buku yang berjudul The Tao of Leadership. Buku ini menjelaskan ulang apa yang telah diajarkan Lao Tzu sejak abad ke 5 SM mengenai nilai dari sebuah kepemimpinan. Buku ini membantu pembaca untuk memahami bahwa metode kepemimpinan yang baik adalah dengan belajar dari alam dan berupaya menyatu dengannya. Manusia yang bijaksana akan


(19)

mengupayakan agar dirinya selaras dengan alam. Heider menguraikan poin terpenting ajaran Lao Tzu tentang Jalan Kepemimpinan yang menurutnya sangat ampuh jika poin tersebut diterapkan.

Sunindhia Y.W & Widiyanti Ninik. (1993) Cetakan Kedua dalam buku yang berjudul Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern. Buku ini menjelaskan dengan baik teori-teori kepemimpinan, sifat-sifat kepempimpinan, aspek dan fungsi kepemimpinan. Penulis juga menjelaskan bagaimana seharusnya wujud kepemimpinan dalam masyarakat. Buku ini juga memaparkan bagaimana pandangan para ahli tentang kepemimpinan beserta berbagai aspek yang mempengaruhinya.

Norris Christopher. (1982) dalam buku yang berjudul Deconstruction : Theory and Practice. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2003 dengan judul Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Buku ini menjelaskan tentang teori dekonstruksi sepenuhnya sebagai bagian dari postmodernitas dalam fungsinya sebagai kritik sastra dan menjelaskan manfaat teori ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan akademik.

2.2 Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu objek. Melalui konsep, diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan satu istilah. Bila seseorang dapat menghadapi


(20)

benda atau peristiwa sebagai suatu kelompok, golongan, kelas atau kategori, maka seseorang telah belajar konsep, Hamidi (2010).

Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2003 : 588) mengatakan, "...Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata." Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan penelitian.

2.2.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan salah satu topik yang sangat menarik dari para ahli sejarah dan filsafat sejak masa dahulu. Socrates yang adalah filsuf Yunani yang paling berpengaruh hingga peradaban modern, berkata bahwa raja dan penguasa adalah bukan orang-orang yang memegang tongkat kekuasaan, bukan yang dipilih oleh siapapun, bukan yang diberi jabatan, bukan yang memaksakan kehendak atau menipu, tetapi orang-orang yang tahu bagaimana memerintah, Rowe&Schofield (2001). Para ahli telah menawarkan ratusan definisi tentang kepemimpinan. Seorang ahli menyimpulkan : "...Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah diobservasi, tetapi menjadi salah satu hal yang paling sulit untuk dipahami", Daft dalam Safaria (2003 : 3). Kepemimpinan disebut sebagai salah satu hal yang sulit untuk didefinisikan karena


(21)

kepemimpinan merupakan suatu masalah yang kompleks dan sulit. Bennis dalam Yukl (1998 : 2)) mengatakan :

"...Selalu, tampaknya, konsep tentang kepemimpinan menjauh dari kita atau muncul dalam bentuk lain yang lagi-lagi mengejek kita dengan kelicinan dan kompleksitasnya. Dengan demikian kita mendapatkan suatu proliferasi dan istilah-istilah yang tak habis-habisnya harus dihadapi...dan konsep tersebut tetap tidak didefinisikan dengan memuaskan."

Namun, perkembangan ilmu pengetahuan saat ini telah membawa banyak kemajuan sehingga pemahaman tentang definisi dari kepemimpinan menjadi lebih sistematis dan objektif. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya, Kouzes & Posner (2004 : 258).

Definisi kepemimpinan yang dapat dianggap cukup mewakili selama seperempat abad di abad ke-20 adalah :

1. Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal), Hemhill dan Coons dalam Yukl (1998 : 2).

2. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi, Katz dan Kahn dalam Yukl (1998 : 2).

3. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian


(22)

satu atau beberapa tujuan tertentu, Tannenbaum, Weschler dan Massarik dalam Yukl (1998: 2).

2.2.2 Taoisme

Menurut legenda, Taoisme dipelopori oleh seorang filsuf yang dikenal dengan nama Lao Tzu. Nama ini secara harfiah berarti "Tuan Tua". Lao Tzu (yang nama keluarganya dikatakan adalah Li, dan nama pribadinya adalah Tan) merupakan seorang penduduk asli negara Ku yang sekarang berada di sebelah selatan provinsi Honan, RRC. Dia adalah seorang ilmuwan berbakat yang hidup sekitar 26 abad yang lalu dan bekerja sebagai Penjaga Arsip Kerajaan selama pemerintahan Dinasti Chou. Lao Tzu hidup di masa politik yang bergejolak. Dunianya dibagi menjadi ratusan provinsi yang terpisah, masing-masing dengan hukum dan pemimpinnya. Ia melihat pembentukan angkatan bersenjata dan kekerasan karena setiap provinsi bersaing untuk kekuasaan politik, Yu-Lan (2007 : 63). Setiap tindakan agresif dibalas dengan kekerasan dan serangan, sehingga seolah-olah rakyat Cina hidup di ambang kehancuran total dan dunianya akan habis seperti tanah buangan.

Melihat ketidakberdayaan masa itu, dengan reaksi politik kejam yang berputar di luar kontrol, Lao Tzu berhenti dari jabatannya dan siap meninggalkan dunia peradaban selamanya. Sebelum ia diizinkan melewati gerbang ibu kota menuju ke gunung, Penjaga gerbang yang bernama Yin Hsi, mendesak Lao Tzu menulis apa yang diketahui untuk menerangi mereka yang meninggalkannya.


(23)

Lao Tzu mengarang buku yang menggunakan namanya sebagai judul yaitu

Lao-tzu, yang belakangan juga dikenal dengan judul Tao Te Ching (Karya Klasik tentang Jalan dan Kekuatannya) untuk memberikan petunjuk bagi pribadi yang karena jabatannya harus membimbing yang lain - seperti para pangeran, politikus, majikan dan pendidik, Yu-Lan (2007 : 28). Di negara-negara barat, Tao Te Ching

jauh lebih populer ketimbang tulisan-tulisan filsuf Cina manapun. Nyatanya, sedikitnya ada 40 macam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan dari buku itu, lebih banyak dari terjemahan buku apa pun, kecuali Injil, Michael (1978: 381). Lao Tzu dalam Wing (1986: xii) mengatakan :

"...Kenali dirimu. Belajarlah merasakan dunia di sekitarmu secara langsung, dan renungkan kesanmu secara mendalam. Jangan bergantung pada ideologi, karena melakukan hal ini akan merampas makna dari hidupmu dan membuatmu tidak pantas memimpin.

Peliharalah dan buatlah nalurimu bisa dipercaya, karena seorang pemimpin yang tidak punya naluri tidak bisa meramalkan perubahan. Bangunlah kekuatan pribadimu (Te) melalui kewaspadaan dan pengetahuan tentang hukum fisika yang bekerja di alam dan dalam pikiran orang lain (Tao) - lalu gunakan kekuatan itu untuk mengarahkan kejadian, tanpa menggunakan kekerasan. Bagaimana melakukan hal ini?

Gunakan sikapmu, bukan tindakan, dan pimpin orang lain dengan membimbingnya bukan memerintahnya. Atur orang lain dengan membiarkan mereka bertindak terhadapmu, bukan sebaliknya. Dengan cara ini, bawahanmu akanmengembangkan rasa percaya diri, dan kamu sebagai pembimbingnya akan dihargai dengan kesetiaan dan kerjasama mereka. Belajarlah untuk mencapai tujuan tanpa alat, dengan memelihara pandangan yang kuat tentang bagaimana sesuatu harus selesai sendiri secara wajar. Praktikkan kesederhanaan. Teruslah berkembang. "

Lao Tzu percaya bahwa negara ideal adalah negara yang dipimpin oleh seorang manusia yang bijaksana. Hanya manusia bijaksana yang dapat dan harus berkuasa. Lao Tzu dalam Yu-Lan (1960) mengatakan :


(24)

" Campakkan kearifan, singkirkan pengetahuan, maka rakyat akan memperoleh manfaat seratus kali lipat. Campakkan rasa kemanusiaan, singkirkan rasa keadilan, maka rakyat akan menjadi penurut dan memiliki rasa kebersamaan. Campakkan keahlian, singkirkan keuntungan, maka pencuri dan perampok akan lenyap " . .... itulah sebabnya manusia yang bijaksana memerintah rakyat dengan jalan mengosongkan pikiran mereka, serta mengencangkan syaraf mereka, dan senantiasa membuat rakyat tanpa pengetahuan dan tanpa keinginan ".

Menurut Lao Tzu, setiap pemimpin harus memiliki kekuatan yang sejati. Baginya, kekuatan sejati adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengubah dunia dengan hidup sederhana, cerdik dan mengalami keberadaan yang kaya. Menurutnya, pemimpin/penguasa negara hendaknya meniru Tao. Tao adalah sesuatu yang menyebabkan adanya segala sesuatu. Ia sendiri bukanlah sesuatu dan oleh sesuatu semacam itu. Meskipun demikian, segala sesuatu menjadi ada. Dengan demikian Tao tidak melakukan apa pun, namun tidak ada sesuatu pun yang tidak dikerjakan. Ia membiarkan masing-masing sesuatu itu melakukan apa yang dapat dikerjakannya sendiri. Itu berarti, bahwa pemimpin/penguasa akan membiarkan rakyat untuk melakukan apa pun yang dapat mereka kerjakan. Dan konsep inilah yang tetap dipertahankan oleh para penganut Taoisme sejak saat itu dan seterusnya.

Penguasa yang berhasil tahu bagaimana memelihara kepentingan yang dikuasai secara lebih baik ketimbang yang dikuasai itu sendiri, sehingga yang dikuasai menghormatinya karena kegunaannya dan tunduk secara sukarela. Penguasa meninggalkan keinginan akan barang-barang dari komunitas, namun ganjaran paradoksalnya adalah memberi kehormatan penggunaan bebas atas


(25)

barang-barang ini karena dianggap bermanfaat bagi masyarakat, Rowe & Schofield (2001).

Chuang Tzu adalah penerus filsafat Taoisme setelah Lao Tzu yang juga mengatakan hal yang sama tentang pemimpin. Dia menulis dalam bukunya yang berjudul Chuang-tzu, dengan mengatakan : "... Pemimpin harus tidak melakukan aktivitas, sehingga dengan demikian mempekerjakan dunia ; tetapi pembantu harus melakukan kegiatan, sehingga dengan demikian dipekerjakan oleh dunia. Inilah cara yang tetap", Yu-Lan (1960).

Dalam buku Tao Te Ching yang seluruhnya berisi 81 bab akan ditemukan pandangan Lao Tzu tentang nilai kepemimpinan. Dalam bab ke-8 dari buku tersebut, dibawah judul Nilai Tidak Bersaing mengatakan:

“ Nilai tertinggi seperti air. Nilai dalam air menguntungkan semua benda, ia tinggal di tempat yang diremehkan orang. Dan karena ia dekat dengan Tao. Nilai dalam tempat tinggal adalah lokasi. Nilai dalam pikiran adalah kedalaman. Nilai dalam hubungan adalah kebajikan. Nilai dalam kata adalah ketulusan. Nilai dalam kepemimpinan adalah keteraturan. Nilai dalam kerja adalah kecakapan. Nilai dalam usaha adalah ketepatan waktu. Karena sesungguhnya, mereka tidak menentang, tak ada kebencian.”

Berdasarkan filsafat politik Taoisme, sebuah pemerintahan yang baik bukanlah pemerintahan yang banyak melakukan sesuatu, tetapi sebaliknya melakukan sesuatu itu seminimal mungkin. Sebenarnya, prinsip di atas dibuat oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu berkaitan dengan peristiwa yang telah mereka lihat dan alami, masa di mana ketika sebuah pemerintahan bertindak terlalu banyak, maka yang timbul adalah kekacauan, yakni peperangan. Ini berkaitan dengan peristiwa


(26)

sewaktu dinasti Chou terpecah belah sehingga menimbulkan perang yang tidak terelakkan. Itulah sebabnya kata-kata itu ditulis.

2.2.3 Kaitan Kebudayaan terhadap Nilai Kepemimpinan

Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia yang besar kemungkinannya akan selalu mengalami perubahan karena waktu dan kemajuan teknologi. Walaupun setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, namun kesamaannya adalah kebudayaan masih merupakan salah satu bagian penting dalam kehidupan kita.

Kebudayaan mengandung pengertian yang luas, meliputi pemahaman suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat/kebiasaan dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat, Taylor dalam Soelaeman (2001 : 19).

Pengertian yang lebih sistematis dan ketat, mengingat kebudayaan merupakan totalitas pandangan hidup, dari kebudayaan adalah : Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai, Kroeber dan Klukhohn dalam Soelaeman (2001 : 20).

Kebudayaan mencakup seluruh penciptaaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani yang di dalamnya terdapat usaha memanusiakan diri di dalam


(27)

alam lingkungan, baik fisik maupun sosial. Nilai-nilai ditetapkan atau dikembangkan sehingga sempurna. Tidak memisah-misahkan dalam membudayakan alam, memanusiakan hidup, dan menyempurnakan hubungan insani. Manusia memanusiakan dirinya dan memanusiakan lingkungan dirinya, Soelaeman (2000 : 21).

Kepemimpinan merupakan bagian dari kebudayaan karena kepemimpinan merupakan hasil dari ilmu pengetahuan, wujud dari moral dan kepercayaan yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang membantu manusia dalam menjalani kehidupan. Kepemimpinan dapat disebut sebagai aspek yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan karena kepemimpinan adalah aspek yang membangun sumber daya manusia ke arah yang lebih baik.

2.2.4 Studi Kasus

Studi kasus adalah salah satu metode penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu studi-studi kasus eksplanatoris, eksploratolis dan deskriptif. Dalam penggunaannya, penelitian studi kasus perlu memusatkan perhatian kepada aspek pendesainan dan pengerjaan agar lebih mampu menghadapi kritik-kritik tradisional tertentu terhadap metode/tipe pilihannya, Yin (1997:1).

Secara umum, studi kasus dapat diterapkan melalui 4 aplikasi. Aplikasi pertama adalah menjelaskan keterkaitan kausal dan intervensi kehidupan nyata yang terlalu kompleks bagi strategi survei ataupun eksperimen. Aplikasi yang


(28)

kedua adalah mendeskripsikan konteks kehidupan nyata di mana intervensi telah terjadi. Aplikasi yang ketiga adalah melalui evaluasi yang bisa memberikan keuntungan, sekali lagi dalam bentuk deskriptif, dari studi kasus ilustratif, bahkan pemikiran jurnalistik tentang intervensi itu sendiri. Aplikasi yang keempat adalah dengan mengeksplorasi situasi-situasi di mana intervensi yang akan dievaluasi tidak memiliki struktrur hasil yang tunggal dan jelas, Yin (1997:20).

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan studi kasus dalam bentuk deskriptif dengan menerapkan ke-4 aplikasi diatas dengan seksama sehingga studi kasus dapat menghasilkan suatu informasi yang dapat diandalkan untuk dapat dijadikan sebagai suatu kesimpulan.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan komponen utama dalam penelitian. Objek penelitian, meskipun penting dan berharga, apabila dianalis dengan peralatan yang tidak tepat tidak akan memberikan hasil yang optimal. Ratna (2011 : 309) mengatakan : "... objek yang sederhana, bahkan mungkin dilupakan orang, apabila dianalis dengan teori yang tepat akan menghasilkan penelitian yang baik. "

Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Oleh karena itu dalam penelitian skripsi ini, penulis akan menggunakan teori dekonstruksi.


(29)

2.3.1 Teori Dekonstruksi

Teori Dekonstruksi merupakan ciri khas teori-teori postrukturalisme, yaitu pembongkaran terhadap logosentrisme (metafisika kehadiran) dan fonosentrisme. Metafisika kehadiran adalah asumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam tuturan, bukan tulisan, Norris (2003 : 10). Meskipun kita tidak dapat membayangkan ataupun menyimpulkan tujuan dari metafisika, kita dapat melaksanakan suatu kupasan tentangnya dengan mengidentifikasi serta memutarbalikkan hirarki yang telah dibentuk. Toeri ini menerapkan suatu mode ganda dalam pembacaan yang menunjukkan teks yang harus dirangkai dari uraian yang tak pernah dapat dihasilkan di dalam suatu sintesa namun secara berkesinambungan menggantikan satu sama lainnya, Sturrock (2004 : 250). Fonosentrisme adalah anggapan tentang ekspresi murni bahasa dari kedalaman diri pembaca. Ketika budaya muncul, bahasa bunyi telah dikorupsi oleh bahasa tulisan. Menurut Derrida, pemahaman fonos dan logos inilah yang menjadi fondasi peradaban Barat. Baik logosentrisme dan fonosentrisme sebagai konsep murni metafisika Barat, bagi Derrida adalah mistifikasi, yang harus didekonstruksi atau dilakukan pembongkaran, Norris (2003 : 47).

Dekonstruksi pada dasarnya diartikan sebagai antitesis aktif terhadap segala sesuatu yang telah dicapai kritik sastra jika nilai-nilai dan konsep tradisionalnya telah diterima orang-orang secara luas. Dekonstruksi bertujuan untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks.


(30)

Teori ini berkutat pada kerelaan untuk membuka diri pada kenyataan bahwa yang pasti menurut kita atau orang lain hanyalah jejak dari sesuatu yang tidak akan kita temukan tetapi "ada", Norris (2003 : 15).

Teori dekonstruksi juga bertujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks. Konsep kunci teori dekonstruksi, di antaranya : differance (membedakan sekaligus menunda ideologi yang sudah baku bahkan dianggap universal), trace (makna sebagai jejak), decentering (pusat yang berpindah-pindah). Menurut Derrida, differance

merupakan sebuah struktur dan dan sebuah pergerakan yang tak dapat dibayangkan dengan dasar pertentangan/ketidakhadiran, Sturrock (2004 : 268). Dekonstruksi merupakan poststrukturalis ketika tidak mau menerima ide tentang struktur sebagai sesuatu yang given atau yang secara objektif telah berada didalam teks.

Dengan menggunakan teori ini, penulis akan berupaya untuk mengungkapkan kebenaran dibalik teks-teks dalam buku Tao Te Ching yang berkaitan nilai-nilai kepemimpinan, untuk melihat apakah setiap bentuk nasihat dalam teks-teks tersebut masih relevan terhadap kehidupan masyarakat dewasa ini, mengingat ilmu pengetahuan tentang kepemimpinan selalu bertambah dan berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan kemajuan teknologi dan berbagai hal lain yang mempengaruhinya.


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian terhadap nilai kepemimpinan dalam Taoisme untuk studi kasus masyarakat keturunan Tionghoa di Medan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus penulisan ini yaitu dengan memperhatikan dinamika hubungan antara nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme terhadap masyarakat Tionghoa di Medan dengan menggunakan logika ilmiah.

Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk menyajikan fakta secara sistematis sehingga lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Kemudian, penulis akan melakukan observasi lapangan yang akan dilanjutkan dengan metode wawancara.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih penulis adalah wilayah sekitar Jalan S.Parman terhitung mulai dari Gedung Swissbel Hotel sampai dengan simpang jalan menuju Pusat Perbelanjaan Pajak Petisah. Wilayah sekitar Jalan S.Parman adalah daerah sibuk yang berada di pusat kota Medan dan merupakan salah satu wilayah yang ramai dikunjungi orang setiap hari. Wilayah ini dihuni oleh kebanyakan masyarakat Tionghoa yang umumnya berprofesi sebagai pedagang


(32)

yang setidaknya memahami konsep Taoisme dalam berbagai tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Wilayah ini merupakan daerah bisnis yang selalu bertumbuh secara ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian, wilayah sekitar Jalan S.Parman cocok dijadikan lokasi penelitian.

3.3 Data dan Sumber Data

Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk mendapatkan kebenaran. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 187) menyatakan: "... data adalah keterangan yang benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian." Data dalam penelitian ini dibagi menjadi library research

(riset kepustakaan) dan field research (riset lapangan). Riset kepustakaan yang dimaksud adalah ke-16 dari 81 Bab buku Tao Te Ching yang berisi nilai-nilai kepemimpinan oleh Lao Tzu.

Dalam buku ini, aspek yang berkaitan dengan kajian penulis hanyalah berjumlah 16 bab dari 81 bab secara keseluruhan dibawah subjudul Kekuatan dalam Kepemimpinan yang secara spesifik menjelaskan hubungan ideal antara pemimpin dan bawahannya serta menjelaskan metode paling efektif untuk memimpin orang lain dan mencapai tujuan. Penulis juga akan menggunakan tulisan-tulisan (buku, artikel) dari penulis lain yang ruang lingkup pembahasannya berkaitan dengan apa yang sedang diteliti penulis. Sedangkan riset lapangan yang dimaksud berupa data yang telah diperoleh dari tinjauan ke lokasi penelitian, yaitu wilayah sekitar Jalan S.Parman untuk menemukan segala informasi yang berhubungan dengan objek penelitian. Kemudian, riset lapangan akan dilanjutkan


(33)

dengan melakukan wawancara dengan narasumber, sehingga data yang lebih akurat dapat diperoleh.

1.8.3 Teknik Pengumpulan Data

1.8.3.1 Data Sekunder/Riset Kepustakaan (Library Research)

1. Mengunjungi perpustakaan untuk mencari daftar judul-judul buku lalu mencari buku-buku yang berkaitan dengan kajian penulis.

2. Melihat daftar isi setiap buku yang sudah ditemukan, memeriksa setiap subjudul yang berkaitan dengan objek yang sedang dikaji penulis.

3. Membaca segala informasi yang tertera di bawah subjudul buku yang berkaitan dengan kajian penulis.

4. Penulis akan mengumpulkan seluruh data yang diperoleh agar selanjutnya dapat dianalisis.

1.8.3.2 Data Primer/Riset Lapangan (Field Research)

1. Menentukan lokasi penelitian yang cocok dengan apa yang ingin diteliti penulis. 2. Melakukan observasi lapangan dengan meninjau lokasi secara langsung.

3. Penulis akan berfokus untuk melihat dan mengamati setiap keadaan yang berlangsung di lokasi penelitian, segala fenomena yang berkembang di wilayah tersebut.


(34)

4. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lokasi penelitian, akan timbul keinginan penulis untuk melanjutkan riset lapangan dengan melakukan wawancara terhadap berbagai narasumber di hari yang berbeda.

5. Selama melakukan wawancara, penulis mencatat segala informasi yang disampaikan oleh narasumber.

6. Setelah catatan wawancara dikumpulkan, penulis membaca seluruh catatan wawancara tersebut.

1.8.3.3 Teknik Pengolahan Data

1. Semua data yang bersumber dari kepustakaan serta lapangan dikumpulkan menjadi satu.

2. Data disusun dan diklasifikasikan berdasarkan konsep atau struktur yang telah ditentukan penulis.

3. Data dibagi berdasarkan berbagai aspek dalam nilai-nilai kepemimpinan, Taoisme serta masyarakat Tionghoa.

1.8.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teori dekonstruksi. Sebagai contoh, penulis akan menerapkan teori dekonstruksi untuk menganalisis sepenggal kalimat dalam bab ke-3 dari buku Tao Te Ching yang mengatakan : "Karena itu, Orang Bijaksana memimpin yang lain


(35)

dengan membuka pikirannya,...". Dalam penerapannya, kata "membuka pikiran" dapat memaksudkan bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menerapkan segala potensi yang ada dalam pikirannya. Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi dan usaha. Baik di dunia bisnis maupun dunia pendidikan, kesehatan, perusahaan, religi, sosial, politik dan pemerintahan negara, kualitas pemimpin menentukan keberhasilan lembaga dan organisasi yang dipimpin. Itulah sebabnya, pemimpin harus cermat dan teliti dalam menjalankan urusannya. Sebab pemimpin yang sukses mampu mengelola organisasi, bisa mempengaruhi orang lain secara konstruktif dan menunjukkan jalan serta perilaku benar yang harus dikerjakan bersama-sama, Kartono (1998 : v).


(36)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Masyarakat Tionghoa di Medan

Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Dalam bahasa Mandarin, mereka disebut tangren atau orang Tang. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia mayoritas berasal dari Cina Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara masyarakat Cina Utara menyebut diri mereka sebagai hanren atau orang Han.

Leluhur masyarakat Tionghoa di Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Daratan Cina. Mereka di datangkan karena tenaga mereka dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda, Suryadinata dalam Revida (2006 : 23). Setelah Indonesia merdeka, setiap keturunan Tionghoa kemudian di integrasikan serta di berbaurkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan asas-asas Pancasila. Sejak saat itu juga, etnik Tionghoa menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, termasuk ke daerah Sumatera. Pemerintahan Pantai Timur Sumatera dibagi ke dalam lima wilayah, yaitu Deli dan Serdang, Langkat, Asahan, Bengkalis, Simalungun dan Karo.


(37)

Orang-orang Tionghoa memasuki daerah Deli karena terdapat banyak perkebunan disana. Bangsa Tionghoa pada saat itu sebagian besar berprofesi sebagai buruh perkebunan. Menurut catatan sejarah terdapat orang Tionghoa yang pertama kali diangkat menjadi Mayor oleh pemerintah Belanda. Dia adalah Tjong Yong Hian. Berselang beberapa waktu kemudian, digantikan oleh Tjong A Fie sebagai Mayor menggantikan Tjong Yong Hian. Pada pertengahan tahun 1920-an, seorang pengusaha Belanda bernama J. Neinhuis merintis usaha perkebunan tembakau di Deli. Adanya perluasan dalam bidang perkebunan tembakau, karet dan teh serta dimulainya kegiatan pengeboran minyak di Langkat, menyebabkan ribuan etnik Tionghoa berbondong-bondong dan kemudian bermukim di pantai Timur Sumatera untuk memulai usaha seperti berdagang dan bertukang, Fatima dalam Siahaan (2004 : 29-30).

Setelah Kemerdekaan Indonesia diperoleh, masyarakat Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sebagian besar dari masyarakat Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Namun, Sumatera Utara juga merupakan salah satu daerah tujuan dari masyarakat Tionghoa. Medan sebagai ibu kota di Sumatera Utara merupakan kota perdagangan dan letaknya dekat dengan Singapura dan Malaysia. Itulah sebabnya banyak masyarakat Tionghoa memilih untuk bermukim disana.


(38)

4.1.1 Sistem Kepercayaan

Kementrian Agama menetapkan agama yang resmi yang di akui di Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenal penduduk. Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan. Meski penduduk Indonesia mayoritas beragama Muslim, tetapi etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di Tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen Etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam, Ananta, Arifin dan Bakhtiar dalam Siahaan (2012 : 34). Namun, etnik Tionghoa masih dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan turun-temurun dari leluhur mereka. Beberapa ajaran atau kepercayaan itu adalah Konfusianisme, Taoisme.

4.1.1.1 Konfusianisme

Agama Konfusius atau konfusionisme adalah agama tertua di Cina. Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah

rujiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memang bukanlah pencipta agama ini. Kong Hu Cu hanyalah pribadi yang menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum


(39)

kelahirannya. Kepercayaan ini mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut ren dao dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (tian dao) yang disebut dengan istilah

tian atau shang di.

Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengna manusia di bumi dengan baik. Penganut kepercayaan ini diajar supaya tetap mengingat nenek moyang mereka seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.

4.1.1.2 Taoisme

Ajaran Taoisme didasari oleh kitab Tao Te Ching. Kitab ini menurut tradisi dianggap sebagai peninggalan Lao Tzu, yang dipercaya sebagai pelopor Taoisme. Ajaran ini mengundang para penganutnya agar selaras dengan alam. Ajaran ini menitikberatkan pada usaha untuk tidak melakukan apapun atau wuwei sehingga dunia akan menjadi lebih baik. Setelah agama Buddha memasuki Tiongkok, para Pengikut Taoisme mengubah pengajaran filsafat Lao Tzu menjadi peneladanan agama Buddha, sehingga memiliki Trimurti pada pucuknya, dengan Lao Tzu sebagai dewa tertingginya. Itulah sebabnya filsafat Taoisme perlahan diubah menjadi sebuah agama. Pada masa Orde Baru di Indonesia, agama Tao terbelenggu dengan pemerintah. Tidak boleh ada yang berbau Taoisme. Bahkan peringatan Tahun Baru Imlek, upacara-upacara keagamaan dan yang lainnya tidak


(40)

boleh dilaksanakan atau dirayakan. Akibatnya, generasi muda yang lahir pada zaman orde baru menjadi kehilangan identitas dan tidak tahu apa Taoisme itu sebenarnya.

Secara Umum, masyarakat Tionghoa menerima ajaran Taoisme sebagai falsafat turun-temurun, namun isi dari ajaran itu masih dipertahankan sebagai sebuah ajaran yang baik untuk dilakukan, sehingga sedikit banyaknya ajaran ini masih diingat dan diterapkan oleh masyarakat Tionghoa di Medan.

4.1.1.3 Buddhisme

Agama Buddha berasal dari India bagian utara yang dipelopori oleh Buddha Gautama atau Bhagava. Beliau adalah seorang pangeran yang dinamai Siddharta. Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM, sekitar 2600 tahun yang lalu. Konsep ajaran agama Buddha yang terkenal adalah kepercayaan mereka tentang teori karma. Kata karma diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai did

(perbuatan) atau action (tindakan), tetapi arti yang sebenarnya lebih luas dari pada itu, cakupannya tidak hanya sebatas tindakan yang bersifat lahiriah, tetapi juga termasuk segala yang ada dalam ucapan dan pikiran seorang individu.

Menurut Buddhisme, semua fenomena yang terjadi pada alam semesta atau lebih spesifik pada individu, merupakan manifestasi dari jiwanya. Kapan pun individu itu bertindak, berbicara atau bahkan berpikir, maka jiwanya saat itu juga sedang berbuat sesuatu, dan sesuatu yang diperbuatnya itu pasti akan menghasilkan akibatnya, entah kapan pun waktunya di masa yang akan datang.


(41)

Akibatnya itu merupakan balasan Karma. Karma adalah sebab dan balasannya adalah akibat. Keberadaan seorang individu disusun dari rangkaian sebab dan akibat.

Hidup yang berlangsung saat ini hanya merupakan satu aspek dari keseluruhan proses yang ada. Kematian bukan akhir dari keberadaan, melainkan hanya aspek lain dari proses yang ada. Menjadi apa seorang individu dalam hidupnya saat ini, merupakan akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan di masa lampau, dan apa yang dilakukannya saat ini akan menentukan keberadaannya di masa yang akan datang. Rangkaian kausa ini disebut Samsara dan Roda Kelahiran . Inilah sumber utama timbulnya penderitaan hidup dalam keberadaan individu.

Di Indonesia, penyebaran agama Buddha dimulai di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit. Agama buddha berkembang dengan pesat . Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi bercorak agama buddha seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat tinggi.

Agama buddha di Medan diakui keberadaannya oleh penduduk setempat. Banyak masyarakat Tionghoa di Medan memeluk agama Buddha sebagai kepercayaan mereka. Tempat-tempat beribadah bagi penganut agama Buddha juga banyak didirikan di wilayah sekitar kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Medan


(42)

yang memeluk agama Buddha merayakan hari besar atau hari suci mereka setiap tahun, yang disebut dengan Hari Waisak dan dijadikan sebagai hari libur nasional.

4.1.2 Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat Tionghoa di Medan umumnya bekerja sebagai pedagang, buruh, karyawan di pabrik atau industri. Masyarakat Tionghoa di Medan dikenal sebagai orang-orang yang ulet bekerja, dan tahu caranya menjalankan usaha dengan baik. Mereka dikenal sebagai pribadi-pribadi yang optimis dan tidak kenal lelah. Barang dagangan yang biasa dijual adalah barang-barang elektronik, pakaian, sepatu dan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Selain itu, mereka juga dikenal baik sebagai pembuat makanan lezat. Sejumlah besar masyarakat Tionghoa di Medan membuka usaha restoran atau rumah makan.

4.2 Masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman Medan

Seperti masyarakat Tionghoa di Medan pada umumnya, Masyarakat Tionghoa di wilayah sekitar Jalan S.Parman Medan hidup dengan cara berdagang. Pada umumnya, mereka memiliki usaha otomotif, rumah makan dan restoran. Mereka bekerja sejak pagi sampai sore hari, sama seperti para pedagang pada umumnya.

Meski yang bermukim di wilayah Jalan S.Parman umumnya adalah masyarakat Tionghoa, namun mereka dikenal ramah dengan masyarakat pribumi yang juga bermukim disana. Selain itu, masyarakat Tionghoa di sana juga


(43)

mempekerjakan banyak masyarakat pribumi untuk membantu mereka dalam menjalankan usaha. Sebagaimana hakikat dari bangsa Indonesia, masyarakat Tionghoa mengamalkan sifat-sifat luhur terhadap masyarakat pribumi, meskipun dibedakan oleh kepercayaan, warna kulit dan taraf ekonomi. Masyarakat Tionghoa di wilayah sekitar Jalan S.Parman menganut agama yang umum dianut oleh Masyarakat Tionghoa di Medan yaitu Buddhisme. Namun nilai ajaran dari Konfusianisme dan Taoisme masih dipegang sebagai falsafah yang berguna dan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari.


(44)

BAB V

NILAI-NILAI KEPEMIMPINAN DALAM TAOISME : STUDI KASUS MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

5.1 Nilai-Nilai kepemimpinan dalam Taoisme

Nilai-nilai kepemimpinan dalam Taoisme oleh Lao Tzu didasarkan atas buku yang berjudul Tao Te Ching. Buku ini merupakan sebuah kitab peninggalan Lao Tzu yang berusia ribuan tahun. Lao Tzu begitu prihatin atas segala keadaan buruk pada masa hidupnya. Peperangan yang berkecamuk, ketidakadilan dan segala bentuk penyimpangan lainnya terjadi di depan mata Lao Tzu. Hal itu sangat mempengaruhi perasaan Lao Tzu. Segala keadaan buruk itu menyadarkan Lao Tzu untuk mengambil sebuah langkah yang tidak terduga. Lao Tzu memilih untuk pergi meninggalkan kehidupan lamanya dan pergi menuju alam yang bebas untuk menyendiri disana. Perjalanan Lao Tzu dalam pencarian kebahagiaan, sepenuhnya diperoleh melalui pendekatan dirinya terhadap alam bebas. Buku Tao Te Ching

merupakan rangkuman segala ide-ide pemikiran Lao Tzu, pengetahuan yang diperolehnya dengan belajar dari alam. Salah satu bagian penting dari ide-ide itu adalah nilai-nilai kepemimpinan. Berikut ini ada 16 bab nilai-nilai kepemimpinan yang didasarkan atas buku Tao Te Ching di bawah subjudul "Kekuatan dalam kepemimpinan".


(45)

5.1.1 Mempertahankan Kekuatan dengan Kewaspadaan

“Jangan mengagungkan yang sangat pandai, Dan rakyat tak akan menentang.

Jangan menyimpan benda yang sulit didapat Dan rakyat tak akan menjadi pencuri. Jangan mementingkan nafsu,

Dan pikiran rakyat tak akan bingung.

Karena itu, Orang Bijaksana memimpin yang lain dengan Membuka pikirannya,

Memperkuat pusatnya, Mengurangi nafsunya, Memperkuat sifatnya,

Biarkan orang selalu bertindak tanpa strategi atau nafsu; Biarkan orang pintar tidak berusaha bertindak.

Bertindak tanpa tindakan,

Dan tak ada yang teratur, Wing(1994 : 7).”

Bab ini dimulai dengan ungkapan "Jangan mengagungkan yang sangat pandai, dan rakyat tak akan menentang". Ungkapan ini menyiratkan sebuah peringatan agar para pemimpin tidak menganggap bahwa kepandaian merupakan satu-satunya hal yang paling mutlak untuk dimiliki sebagai seorang pemimpin. Ketika kepandaian tidak seimbang dengan sifat-sifat yang luhur, maka respon orang-orang yang berada di bawah kepemimpinan mereka akan melakukan pertentangan. Sebaliknya, jika seorang pemimpin lebih menonjolkan sifat-sifat yang luhur, orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya akan selalu tunduk dan loyal.

Kemudian, dilanjutkan dengan ungkapan "Jangan menyimpan benda yang sulit didapat, dan rakyat tak akan menjadi pencuri". Sebuah benda berharga memang layak untuk disimpan atau disembunyikan. Namun, bila benda tersebut ternyata sangat dibutuhkan dan dapat menyelamatkan orang lain, maka benda


(46)

tersebut seharusnya diambil dari tempat penyimpanan dan diberikan kepada orang yang sedang membutuhkan. Dalam ungkapan ini, Lao Tzu sedang menekankan pentingnya bagi pemimpin untuk memberikan segala sesuatu yang layak diperoleh orang-orang yang berada di bawah kepemimpinan mereka. Segala sesuatu yang menjadi "hak" dari para pekerja hendaknya tidak disimpan atau disembunyikan oleh para pemimpin. Bila hak-hak dari para pekerja terpenuhi, maka mereka tidak akan menjadi "pencuri". Pencuri adalah seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Jadi, dengan memenuhi segala hak mereka, para pekerja tidak akan berhasrat untuk mengambil yang bukan hak mereka. Sebaliknya, mereka akan bekerja dengan giat, menjalankan kewajiban mereka dan menyenangkan hati pemimpin mereka.

Ungkapan selanjutnya adalah "Jangan mementingkan nafsu, dan pikiran rakyat tak akan bingung". Nafsu merupakan keinginan hati atau keinginan daging yang dimiliki setiap orang. Namun, keinginan ini begitu identik dengan kepuasan pribadi semata. Seorang pemimpin yang mementingkan nafsu hanya berfokus pada keinginan hati dan kebutuhan pribadinya saja, tanpa mementingkan perasaan orang lain. Sehingga, hal itu akan menimbulkan kebingungan dalam pikiran orang-orang yang berada di bawah kepemimpinan mereka. Selanjutnya, kebingungan akan melahirkan ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan dapat membuat organisasi yang dibangun menjadi runtuh atau hancur seketika. Itulah sebabnya, pemimpin yang bijaksana tidak akan berfokus pada keinginannya saja, namun akan memikirkan segala hal yang dapat mendatangkan faedah bagi orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.


(47)

Nilai selanjutnya terdapat dalam ungkapan "Orang bijaksana memimpin yang lain dengan membuka pikirannya, memperkuat pusatnya, mengurangi nafsunya, memperkuat sifatnya." Dalam penerapannya, kata "membuka pikiran" dapat memaksudkan bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menerapkan segala potensi yang ada dalam pikirannya, kemudian mencocokkannya dengan situasi atau masalah yang sedang terjadi. Setelah itu, pemimpin tersebut akan mencari jalan keluar berdasarkan pengamatan yang jeli sampai membuahkan sebuah hasil yang optimal dan bermanfaat bagi orang lain.

Berpikir merupakan potensi psikis yang sangat istimewa, yang kualitasnya pada manusia jauh melampaui makhluk hidup lainnya. Hasil berpikir tidak sekedar menggambarkan apa yang dipikirkan, tetapi juga menunjukkan kualitas prosesnya. Seorang pemimpin harus mampu menampilkan kualitas berpikir yang tinggi, sebagai gambaran bahwa prosesnya berlangsung kritis, logis, rasional, kreatif dan produktif, Nawani dan Hadari (2004 : 160). Dalam penerapannya, setiap pemimpin adalah orang-orang yang merumuskan strategi dan mengetahui kapan strategi itu dapat digunakan dalam menangani masalah yang mereka hadapi, Welter dan Egmon (2009 : 2).

Pemimpin harus mampu untuk "Membuka pikirannya" yang berarti bahwa pemimpin akan bertindak dengan cara yang bijaksana pada waktu yang dibutuhkan. Sehingga, segala masalah dapat terselesaikan dengan tuntas. Dewasa ini, organisasi maupun perusahaan-perusahaan masih membutuhkan pemimpin


(48)

yang mampu “Membuka pikirannya”. Dalam sebuah studi kepemimpinan, ditemukan bahwa ada 3 jenis pemikiran yang harus dimiliki oleh para pemimpin.

Pertama adalah pemikiran strategis. Pemikiran strategis adalah kemampuan untuk berpikir dari segi bagaimana tindakan pemimpin bisa membantu organisasi untuk beradaptasi dengan dunia luar. Pemikiran ini menyangkut pemahaman dampak jangka panjang dari pemikiran pemimpin tersebut.

Kedua adalah pemikiran sistem. Seorang pemikir sistem berusaha memahami bagaimana perubahan pada satu bagian sistem atau organisasi akan menimbulkan perubahan di bagian lain dari sistem atau organisasi tersebut. Seorang pemikir sistem memiliki kemampuan untuk meramalkan bagaimana perubahan hari ini akan memengaruhi perusahaan di masa depan.

Ketiga adalah pemikiran besar. Orang yang berpikiran kerdil harus berusaha keras untuk menjadi seorang pemikir besar. Dalam rangka menjadi pemikir besar, pemimpin hendaknya tidak mengabaikan setiap hal kecil yang membantu organisasi semakin maju. Pemikir besar yang efektif mengkombinasikan pemikiran sistem yang berhubungan dengan menjalankan organisasi yang dibangun, DuBrin (2009 : 32,33).

Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu organisasi dan usaha. Baik di dunia bisnis maupun dunia pendidikan, kesehatan, perusahaan, religi, sosial, politik dan pemerintahan negara, kualitas pemimpin menentukan keberhasilan lembaga dan organisasi yang dipimpin. Sebab pemimpin yang sukses mampu mengelola organisasi, bisa mempengaruhi orang lain secara


(49)

konstruktif dan menunjukkan jalan serta perilaku benar yang harus dikerjakan bersama-sama, Kartono (1998 : v).

Pemimpin yang bijaksana dari berbagai organisasi maupun perusahaan mengetahui bahwa sikap mereka memiliki pengaruh yang lebih besar daripada tindakan mereka. Pemimpin yang bijaksana mengetahui bahwa hal-hal yang mereka hormati dan hargai segera menjadi kekuatan yang mendorong dibelakang orang-orang yang dipimpin. Karena itu, para pemimpin dengan terbuka menghargai kualitas berharga yang bisa dicapai setiap orang yaitu berupa integritas, fleksibilitas dan spontanitas, Wing (1994 : 7). Setelah membuka pikiran, pemimpin juga harus "Memperkuat pusatnya". Arti harfiah dari pusat adalah bekas pangkal tali pusar pada perut, tempat yang berada di tengah-tengah. Kata ini kemudian mengalami perluasan makna menjadi titik tengah dari lingkaran. Pusat merupakan pertahanan utama yang dimiliki para prajurit dalam peperangan, harus dijaga agar tidak diserang oleh musuh mereka. Panglima perang akan mengerahkan sebagian besar prajurit untuk berjaga-jaga di lokasi pusat atau pertahanan utama. Ketika pertahanan utama atau pusat telah diserang musuh, maka seluruh kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kelompok akan dilumpuhkan dengan cepat dan berakhir dengan kekalahan. Itulah sebabnya, Lao Tzu memperingatkan pentingnya bagi pemimpin untuk memperkuat pertahanan utama mereka.

Setelah "Memperkuat pusatnya", para pemimpin dianjurkan untuk "Mengurangi nafsunya". Dalam peperangan, bila pertahanan utama atau pusat telah dijamin kekuatannya, para prajurit biasanya akan menjadi kurang waspada


(50)

dan mulai tersimpangkan oleh hal-hal lain. Penyimpang perhatian tersebut akan melonggarkan kewaspadaan para prajurit, dan menghasilkan kesempatan besar bagi musuh untuk menyerang. Itulah sebabnya, Lao Tzu memperingatkan agar para pemimpin menghindari segala keinginan-keinginan yang dapat mengurangi kewaspadaan. Sebaliknya, para pemimpin harus tetap memastikan bahwa organisasi mereka tetap kuat dan terjaga. Setelah itu, para pemimpin akan berupaya untuk "Memperkuat sifatnya". Memiliki kewaspadaan merupakan sebuah sifat yang bijaksana. Itulah sebabnya, para pemimpin harus memastikan bahwa mereka tetap mempertahankan sifat ini, demi kekuatan organisasi yang dibangunnya.

Setelah itu, para pemimpin hendaknya membiarkan "Orang selalu bertindak tanpa strategi atau nafsu", membiarkan "Orang pintar tidak berusaha bertindak." Setelah para pemimpin memiliki sifat yang kuat dalam dirinya, mereka akan mampu untuk membantu bawahannya untuk memiliki sifat yang sama. Namun, para pemimpin harus tetap memastikan bahwa kendali utama masih tetap berada dalam genggaman mereka dan terhindar dari orang-orang yang berniat untuk merebutnya.

Kata "Dan tak ada yang teratur" bukanlah menyiratkan bahwa Lao Tzu sama sekali tidak menjunjung tinggi nilai dari hal-hal yang tertata rapi atau teratur. Ungkapan itu sepertinya menyiratkan bahwa para pemimpin hendaknya tidak menjadikan hukum sebagai satu-satunya hal yang menjadi tolak ukur yang tidak bisa diubah posisinya dalam menjalankan kekuasaan. Hal itu juga berarti bahwa


(51)

para pemimpin tidak menekankan prestasi yang luar biasa atau milik yang mengesankan karena para pemimpin mengetahui bahwa hal ini akan merongrong keselarasan dan kesesuaian di antara orang-orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, Pemimpin yang bijaksana akan mampu untuk membawa ketenangan dan kemajuan bagi organisasinya melalui kekuatan dari sikap yang benar. Mereka mempraktekkan sikap tidak saling mencampuri dan membentuk peristiwa dengan kekuatan sikap dan mental yang baik, Wing ( 1986 : 7).

Masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman yakin bahwa nilai kepemimpinan dalam bab ini sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka bila dipraktekkan. Alex merupakan salah satu masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman yang meyakini benarnya strategi kepemimpinan oleh Lao Tzu. Beliau mengatakan bahwa dengan memberikan segala hal yang menjadi hak dari para bawahannya, beliau terhindar dari perasaan cemas dan perasaan dikhianati. Alex setuju bahwa dengan memberikan apa yang menjadi hak dari para bawahannya, keuntungan besar akan diperoleh karena para bawahannya akan bekerja dengan lebih antusias dan sepenuh hati.

Menurut Santi, memperkuat kewaspadaan sangat penting bahkan dalam sebuah usaha toko roti. Santi yang berprofesi sebagai manager tersebut menyadari betapa pentingnya memperkuat kewaspadaan. Beliau berpendapat bahwa kewaspadaan diperoleh melalui pikiran yang terbuka dan pengamatan yang teliti. Beliau yakin bahwa setiap pemimpin harus memiliki kewaspadaan dan menjadikannya sebuah sifat yang kuat dalam dirinya.


(52)

5.1.2 Mengamalkan Perkataan dengan Tindakan dan Memiliki Kepercayaan terhadap Orang Lain

“Pemimpin yang terbaik adalah mereka yang kehadirannya diketahui; Yang terbaik kedua adalah yang dicintai dan dihormati;

Berikutnya adalah yang disegani; Yang terakhir adalah yang dicemooh. Mereka yang kekurangan kepercayaan Takkan dipercayai.

Tapi bila perintah datang dari jauh

Dan pekerjaan dilaksanakan, tujuan tercapai,

Orang mengatakan, "Kita melakukannya secara wajar, Wing (1994 : 35).” Baris pertama dalam bab ini dimulai dengan ungkapan "Pemimpin yang terbaik adalah mereka yang kehadirannya diketahui". Kata "Kehadirannya diketahui" mengandung sejumlah makna yang berkaitan dengan perbuatan/tindakan seorang pemimpin di mata para bawahannya. Pemimpin yang kehadirannya diketahui adalah pemimpin yang tidak hanya berbicara di mulut saja, tetapi mengamalkan seluruh perkataannya melalui perbuatan/tindakan. Kemudian, terdapat ungkapan "Yang terbaik kedua adalah yang dicintai dan dihormati". Kata "Dicintai" memaksudkan adanya perasaan kasih yang tulus dari para bawahan terhadap seorang pemimpin. Perasaan kasih ini mendorong para bawahan untuk mulai menghormati pemimpin mereka. Itulah sebabnya, ketika seorang pemimpin telah merasakan bahwa mereka dicintai, pemimpin tersebut juga akan merasakan bahwa mereka "Dihormati" oleh orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.


(53)

Kemudian, pemimpin yang terbaik berikutnya adalah yang "Disegani". Perasaan hormat terhadap seorang pemimpin akan menimbulkan perasaan "segan" dari para bawahan. Para pemimpin yang disegani akan mendapat perilaku terhormat dari para bawahan mereka. Para bawahan yang segan terhadap pemimpin, tidak akan memiliki keberanian untuk berbuat jahat atau memberontak. Para bawahan yang segan terhadap pemimpin mereka, akan berupaya untuk bekerja dengan baik dan tanpa kesalahan, meskipun terkadang bisa saja gagal. Selanjutnya, pemimpin yang terbaik terakhir adalah yang "Dicemooh". Biasanya, kekuasaan seorang pemimpin tidak akan selalu berjalan dengan mulus dan lancar. Meski mendapat perlakuan yang istimewa, seorang pemimpin bisa saja diterpa cemoohan. Seorang pemimpin bisa saja menerima tentangan dari orang-orang yang bahkan sangat dekat terhadap dirinya. Pemimpin yang terbaik akan siap untuk menerima tentangan yang tidak terduga meskipun tampaknya begitu sulit. Pemimpin yang siap menghadapi cemoohan akan teruji mental kepemimpinannya.

Pemimpin hendaknya berupaya untuk menahan diri dan menetapkan tujuan secara tidak langsung yaitu dengan mempercayai dan menyatakan perintah dengan cermat, sehingga orang-orang yang dipimpin akan menemukan kepuasan dalam pekerjaan mereka dan menjadi lebih produktif. Dengan tidak mencampuri, pemimpin bijak mampu untuk tetap tidak menonjolkan diri mereka. Semakin banyak seorang pemimpin menutupi kekuasaannya, semakin efektif kekuasaan itu dapat digunakan. Paulus merupakan salah satu masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman yang setiap hari bekerja sebagai seorang teknisi handal di sebuah perusahaan kecil otomotif. Sebagai pemimpin dari para teknisi, Paulus merasakan


(54)

pentingnya menaruh kepercayaan terhadap orang lain. Beliau berkata bahwa kepercayaan terhadap orang lain adalah sebuah sikap yang wajib dimiliki dalam dunia pekerjaan. Rasa kepercayaan akan memunculkan ketenangan serta kenyamanan terhadap orang lain. Hal itu juga dapat memunculkan semangat dari orang lain untuk melakukan yang terbaik.

Pemimpin yang baik juga harus memiliki kepercayaan, seperti yang terdapat dalam ungkapan “Mereka yang kekurangan kepercayaan, tak akan dipercayai”. Kepercayaan merupakan lem yang mengikat orang dalam kelompok. Kepercayaan merupakan hasil dari tindakan dan perilaku kepemimpinan. Jadi, pemimpin yang baik harus memiliki kepercayaan terhadap orang-orang yang berada di bawah wewenangnya. Dalam segala tugas yang dijalankan oleh orang-orang yang dipimpin, para pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mempercayai apa yang mereka kerjakan, namun tetap mengawasi mereka dengan baik. Sewaktu pemimpin memiliki kepercayaan, maka respon orang-orang dipimpinnya juga akan sama. Orang-orang yang dipimpin juga tidak akan merasa diperalat atau dimanipulasi oleh pemimpin mereka untuk mencapai ego pribadi pemimpin ataupun sasaran kekuasaan atau bahkan mencapai sasaran sah organisasi. Itulah sebabnya, kepercayaan harus diupayakan. Kepercayaan merupakan hal yang sulit diusahakan, mudah untuk dimusnahkan, O’toole (2002 : 287,288).

Pemimpin bijak tidak memihak, tetapi waspada. Itulah sebabnya, akan lebih baik bila seorang pemimpin menggunakan energinya untuk membimbing,


(55)

bukan mengatur. Bila hal itu dapat dilakukan, seperti baris terakhir dalam bab ini, orang akan mengatakan "Kita melakukannya secara wajar" atau dengan kata lain, "Apa adanya", Wing (1994 : 35).

5.1.3 Mengutamakan Kepentingan Bersama dari pada Kepentingan Pribadi

“Buanglah yang suci, abaikan strategi; Rakyat akan beruntung seratus kali.

Buanglah kedermawanan, abaikan moralitas; Rakyat akan kembali pada cinta alami. Buanglah kepintaran, abaikan keserakahan; Pencuri tak akan ada lagi.

Tetapi, bila tiga hal ini tidak cukup, Berpeganglah pada prinsip ini; Rasakan kemurnian;

Peluklah kesederhanaan; Kurangi kepentingan diri;

Batasi keinginan, Wing (1994 : 39).”

Bab ini dimulai dengan ungkapan "Buanglah yang suci, abaikan strategi; Rakyat akan beruntung seratus kali". Bagi seorang pemimpin, sesuatu yang dianggap suci akan dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya dan tidak akan pernah dibuang. Sedangkan, strategi merupakan metode atau alat yang dimiliki seorang pemimpin yang akan selalu digunakan dan tidak boleh untuk diabaikan. Namun bagi Lao Tzu, membuang yang suci dan mengabaikan strategi akan membuat "Rakyat beruntung seratus kali". Biasanya, sesuatu yang suci milik seorang pemimpin merupakan sesuatu yang diwariskan oleh leluhur atau pendahulu mereka, yang harus dijaga dan dipelihara. Hal yang disebut suci ini dapat berupa kebiasaan wajib tertentu atau hukum yang telah dianut sejak lama. Namun sering kali, sesuatu yang dianggap suci itu tidak cocok dengan kebutuhan


(56)

atau kesejahteraan para bawahan. Itulah sebabnya, pemimpin yang bijaksana akan menyesuaikan segala kebiasaan, hukum dan peraturan tetap selaras dengan kesejahteraan para bawahan. Sehingga, para bawahan akan merasa "beruntung seratus kali" atau mendapatkan manfaat yang luar biasa dari pemimpin mereka.

Masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman merintis sejumlah bidang usaha dan mempekerjakan orang-orang dari berbagai macam suku. Kebiasaan atau adat-istiadat dari masyarakat Tionghoa tentu saja berbeda dari suku-suku lain. Bisa saja kebiasan tertentu tidak sesuai dengan perasaan orang-orang yang bekerja dengan mereka. Meskipun mempertahankan kebiasaan yang luhur itu penting, beberapa masyarakat Tionghoa di Jalan S.Parman yakin bahwa mengesampingkan kebiasaan tertentu demi kesejahteraan orang lain tidak salah untuk dilakukan. Bahkan, ada yang berpendapat, ketenggangrasaan seperti itu telah melanggengkan hubungan dari pemilik usaha dengan para pekerja mereka.

Kemudian, terdapat pula ungkapan "Buanglah kedermawanan, abaikan moralitas; Rakyat akan kembali pada cinta alami". Dalam sebuah pemerintahan atau kekaisaran, ukuran moralitas berbeda-beda tergantung dari hukum atau kebiasaan yang dianut. Pada kenyataannya, tingkat moralitas yang dimiliki orang-orang mulia dalam pemerintahan sama sekali berbeda dengan yang dimiliki para bawahan. Sesuatu yang disebut orang-orang mulia sebagai moralitas, bisa saja merupakan sebuah penghinaan bagi para bawahan. Itulah sebabnya, Lao Tzu ingin agar para pemimpin tetap mengingat bahwa baik pemimpin maupun bawahan adalah sesama manusia. Dengan mengingat hal itu, para pemimpin tidak akan


(57)

menjadikan diri mereka menjadi begitu mulia. Mereka tidak akan membiarkan segala kemuliaan dan harga diri menjauhkan mereka dari orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Bila pemimpin dapat menerapkan hal itu, maka para bawahan akan "Kembali pada cinta alami". Mereka akan sangat menghargai pemimpin yang demikian, dan bekerja dengan tulus bagi pemimpin mereka.

Selanjutnya, terdapat ungkapan "Buanglah kepintaran, abaikan keserakahan; pencuri tak akan ada lagi". Keserakahan dari seorang pemimpin tidak akan bertahan lama dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk disingkirkan. Itulah sebabnya, para pemimpin tidak akan menjadikan kepintaran mereka sebagai dasar untuk mementingkan diri atau mencari kepuasan untuk diri sendiri. Sehingga, para bawahan tidak akan berniat untuk mencelakai pemimpin mereka atau mengambil yang bukan milik mereka.

Baris selanjutnya dikatakan bahwa bila ke-3 hal di atas tidak cukup, para pemimpin hendaknya terus menerapkan "Kesederhanaan". Hal ini diterapkan dengan lebih mengutamakan hal yang berguna untuk kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri. Ketika seorang pemimpin mampu untuk mengutamakan kepentingan bersama, hal itu berarti bahwa pemimpin tersebut telah membatasi keinginannya.

Dewasa ini, nilai kesederhaan masih diinginkan oleh mereka yang merupakan orang-orang yang dipimpin. Para pengikut masih menginginkan sifat kesederhanaan dari pemimpin mereka. Kesederhanaan dapat mencakup penampilan luar serta sifat-sifat dari dalam diri seorang pemimpin. Namun, dalam


(58)

dunia yang menuntut kesempurnaan khususnya dalam penampilan, para pemimpin dituntut untuk dapat berdandan dengan lebih rapi dan gagah. Jika seorang pemimpin mengabaikan kebijaksanaan umum untuk tampil rapi dan gagah, maka pemimpin tersebut akan tampak tidak penting dan kurang berkarisma. Sedangkan, karisma adalah salah satu kualitas utama dari kepemimpinan. Itulah sebabnya, pemimpin harus berpakaian dengan rapi dan bersih serta gagah yang akan membantu mereka untuk tampil lebih percaya diri, DuBrin (2009 : 53).

5.1.4 Keterbukaan Diri dan Fokus pada Tujuan Bersama

“Gravitasi adalah dasar kecerobohan. Diam adalah induk hasutan

Maka Orang Bijak dapat berjalan sepanjang hari Tanpa meninggalkan muatan mereka dibelakang Betapapun menawannya pemandangan,

Mereka tetap tenang dan tidak tertarik

Bagaimana pemimpin dengan sepuluh ribu kereta perang Memiliki kedudukan yang lemah di dunia?

Jika mereka lemah, mereka akan kehilangan dasar.

Jika mereka terhasut, mereka kehilangan kekuasaan, Wing (1994 : 54).” Gravitasi pada dasarnya diartikan sebagai gaya tarik-menarik yang terjadi antara semua partikel yang mempunyai massa di alam semesta. Kata gravitasi dalam bab ini dikaitkan dengan kekakuan. Dalam penerapannya, Lao Tzu menganggap bahwa keseriusan atau kekakuan dari seorang pemimpin dapat menghancurkan hubungan baik dengan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Pemimpin yang bijaksana bertanggung jawab untuk


(59)

menciptakan suasana yang tenang yang akan menjadi fondasi yang baik untuk organisasinya.

Selanjutnya, terdapat ungkapan "Orang bijak dapat berjalan sepanjang hari tanpa meninggalkan muatan mereka di belakang. Seperti seorang ibu yang selalu memastikan bahwa bayi yang digendonggnya masih tetap bersandar dipunggungnya, para pemimpin yang bijaksana juga akan memastikan kesejahteraan para bawahan mereka. Pemimpin yang bijaksana akan melakukan tugas mereka, namun tidak akan melupakan bahwa memenuhi kesejahteraan para bawahan adalah hal yang terpenting.

Ungkapan di atas dilanjutkan dengan kata-kata "Betapapun menawannya pemandangan, mereka akan tetap tenang dan tidak tertarik". Pemimpin yang bijaksana adalah pribadi-pribadi yang memiliki fokus yang tinggi terhadap setiap apa yang dilakukannya. Pemimpin yang bijaksana tidak akan menyimpang ke kiri atau ke kanan. Meskipun ada berbagai kesempatan yang dimiliki untuk memperkaya diri sendiri, pemimpin yang bijaksana akan lebih memilih untuk mengutamakan kepentingan bersama. Mereka tidak akan membiarkan penyimpang perhatian memalingkan mata mereka terhadap satu tujuan penting yang harus diraih, sekalipun hal-hal yang menyimpangkan perhatian mereka adalah hal-hal yang menggiurkan layaknya pemandangan yang menawan.

Seorang pemimpin yang bijaksana akan menjalankan kepemimpinannya tanpa melupakan segala aturan dan prinsip yang berlaku. Hal itu juga berarti bahwa dalam setiap hal yang mereka lakukan, para pemimpin hendaknya


(60)

mengingat bahwa baik buruknya segala tugas yang mereka jalankan sangat berpengaruh terhadap para bawahan. Dalam sebuah studi kepemimpinan diketahui bahwa pemimpin yang memiliki fokus kepada tugas serta kebutuhan para bawahan adalah pemimpin yang memiliki integritas. Sebaliknya, pemimpin yang tidak memiliki fokus akan lebih berpusat pada dirinya sendiri dan memiliki ambisi pribadi dan mengorbankan kenyamanan para bawahan, Yukl (1994 : 222). Di pihak lain, meskipun seorang pemimpin tidak boleh kaku dalam menjalankan kepemimpinannya, pemimpin yang bijaksana juga harus memiliki keseriusan terhadap apa yang mereka lakukan.

Konsep "Sepuluh ribu kereta perang" merupakan kekuatan yang mengerikan bagi orang Cina kuno, kemungkinan besar sama dengan kekuatan nuklir sekarang. Lao Tzu percaya bahwa pemimpin yang menjalankan kekuasannya dengan kekuatan demikian, memiliki tanggung jawab yang menakjubkan dan tidak berhati lemah dan mudah dihasut, Wing (1994 : 54). Ketika seorang pemimpin tidak memiliki kekuatan yang besar, maka akan muncul berbagai kelemahan. Selanjutnya, kelemahan akan menghasilkan hasutan dari berbagai pihak yang berujung kepada "Kehilangan kekuasaan". Itulah sebabnya, pemimpin yang bijaksana akan mengerahkan segala upaya untuk memastikan kekuatan organisasinya, sehingga ketika berbagai tentangan datang menghampiri, mereka dapat berdiri melawan tanpa harus takut bahwa mereka akan kehilangan kekuasaan.

Alex menyetujui nasihat dari Lao Tzu di atas. Beliau mengalami benarnya kata-kata tersebut. Sebagai pemilik usaha dan seorang manager, Alex merasakan


(61)

pentingnya menghindari sifat kekakuan yang sama sekali tidak disenangi para bawahan. Menurut beliau, pemimpin harus memiliki sifat yang lentuk dan mudah untuk didekati. Alex merasa bahwa sifat ini telah membuat para bawahannya betah untuk bekerja bersamanya selama bertahun-tahun. Meskipun beliau sering kali harus mengorbankan perasaan pribadinya, Alex yakin bahwa sifatnya yang tidak kaku telah membuahkan hasil yang sangat menguntungkan bagi kemajuan usahanya. Beliau yakin bahwa para pekerja adalah aset berharga yang membuat Alex mendapatkan keuntungan besar secara finansial.

5.1.5 Keseimbangan terhadap Kebenaran dan Kesalahan

“Mengenal pria, Memegang wanita; Menjadi aliran dunia.

Dengan menjadi aliran dunia, Kekuatan tak akan pernah pergi. Ini kembali ke Masa Kanak-Kanak. Mengenal yang putih,

Memegang yang hitam; Menjadi pola dunia.

Dengan menjadi pola dunia,

Kekuasaan tak akan pernah bimbang. Kembali kepada Yang Tak Terbatas. Mengenal kemuliaan,

Memegang kegelapan; Menjadi lembah dunia.

Dengan menjadi lembah dunia, Kekuasaan akan cukup.

Kembali kepada Kesederhanaan. Bila kesederhanaan terpisah, Ia dibuat menjadi alat.

Orang Bijak yang menggunakannya, Ditentukan menjadi pemimpin.


(1)

文人的代表如孔子,孔子在画像上带剑,

因为古代的文人文武并重,没有偏废。另一个观念,所谓“士”,代表了“ 士卒”,就是作战的战斗成员,后来古书上叫做“侠客”。另外武功好的人 ,古代称为“壮士”或“勇士”。老子说“善为士者不武”,不是说他们不 会武功,而是说勇武之士平常并没有粗暴的行为。我们国家在军事方面的训 练,是教导一个军人要行为良好,不可以有粗暴的行为,应该有“士”的修 养。

现在写武侠小说的人不一定懂得武功,更少了解“士”的修养,只是凭他们 自己的想法去写,所以并不一定正确。

第二句话很重要,“善战者不怒”,做一个大将军,

他的修养是温和好像没有脾气,不轻易动怒。他有高度的智慧,有真正的智 慧,也就是具备了战略最高中心的领导能力,所以“善战者不怒”。

在“道德经 的书 :

善于带兵打仗的将帅,不逞其勇武;善于打仗的人,不轻易激怒;善于胜敌 的人,不与敌人正面冲突;善于用人的人,对人表示谦下。这叫做不与人争 的品德,这叫做运用别人的能力,这叫做符合自然的道理。

这一章是专从用兵的意义上讲战略战术的原则。其中心意思在于阐明上 一章所讲“夫慈,以战则胜,以守则固”的道理。他要求人们不逞勇武,不


(2)

轻易激怒,避免与人正面冲突,充分发挥人的才智能力,善于利用别人的力 量,以不争达到争的目的。老子认为,这是符合于天道的,是古老的准则。

老子认为,

最专业和最强大的领导者是那些谁搞谦虚,温柔,宁静。在冷静和力量的同 情的力量将让一位能干的领导者和组织他人实现共同的目标,不浪费使用工 具。事件发生自然,没有毁灭性的反弹。


(3)

4.1 Kouzes,Posner的教导价值

领导力是一种可确认,这是存在于每个人的技能和实践相结合。领导者 必须具备以下条件:

1.诚实

诚信是一个特点,不能分开的领导者。诚实是密切相关的完整的固体。诚实 是最高质量的追捧和崇拜的人的一个领导者。诚信也是密切相关的价值观和 道德观,从而产生对他人的好处。

2.胜任

领导者必须具备卓越的能力和有效的,它可以提高他人的信仰。将被视 为一个领导者在与他人合作的能力。主管领导应启发和挑战。

3.前瞻性

领导者必须具备的能力,以确定或选择所需的目的地,提供方向,可以 使每个人的能力,规划到未来的补救措施,他们的每一个动作。


(4)

领导者必须能够给生活的梦想和愿望,他的下属。鼓舞人心的领导,以 满足人民的需求,他所领导就在生活中的意义和目的。

4.2 Hughes、Ginnet和Curphy的教导价值

领导既涉及人类经验的理性和感性的两侧。领导力包括行动和影响力的 基础上的理性和逻辑,以及那些基于灵感和激情。各级领导人面临的伦理困 境,最好的领导人认识到,面对他们的承诺做什么是正确的,没有什么是权 宜之计。领导人自己不孝敬真理不激发别人的失败。领导人大多关注与自己 的进步不激发别人的无私。领导者应了一套强有力的道德原则的权利的行为 ,更多的价值或系统内部。领导者必须有个性。个性的大模型是:

1.霸主地位.霸主地位的程度,一个人喜欢或需要控制或影响他人。寻求主

导地位更高的个人的权威地位,喜欢领导别人,往往是主导地位的领导下竞 争,而往往是更加恭敬和协作。

2.宜人, 是由三个相关的人格特质:爱心,温暖,社交宜人。

3.可靠性.

人谁更高的可靠性往往是如此充满了计划和辛勤工作,通过与他们的承诺, 很少烦恼。


(5)

4.调整.个人调整趋向平静,而且往往不采取个人的错误或失败,而那些调

整可能会变得紧张,焦虑,或强调或批评时,表现出情绪的爆发。

4.3 领导价值和文化的关系

4.3.1 文化

文化是人创造的,将可能永远改变。虽然每个社区都有不同的文化,但 文化的相似之处仍然是我们的生活一个重要组成部分。文化意味着一个广阔 的,全方位的了解一个复杂的国家,包括知识,信仰,艺术,道德,法律, 习俗。

4.3.2 领导价值的文化内涵

文化包括人类价值观的建立,控制和处理,人性化的任何企图自己在自 然的环境中,无论是身体上和社会。值分配或发展得如此完美。不是分裂的 文明性质,人性化的生活,改善人与人之间的关系。人类人性化,人性化, 他自己和他的环境。领导是企业文化的一部分,因为领导是科学的结果,道 德和信仰,其中有价值观,帮助人们居住生活的一种形式。可以被称为领导 的一个方面,不能脱离文化,因为它是领导方面的人力资源,建立一个更好 的方向发展。


(6)

棉兰华裔他们认为道教的领导值仍然是有利于他们的生活,现在虽然这 一学说是几百年前写的。根据访谈,作者获得的信息,棉兰华裔仍然记得一 些道教的教义的基础知识。然而,大多数人不研究的深入,关于道教的哲学 ,他们的见解也不是那么宽。据桑蒂,道教哲学是不容易学习。因为,老子 的话最普遍使用的文字是很难理解的,并具有一定的含义,是难以预料的, 所以不厌其烦地了解这种教学。即便如此,一些领导技巧教老子,桑蒂努力 回忆。据他介绍,每个人谁运行的领导,应该学会从老子。