BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Upacara Adat Kematian Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Secara umum konsep adalah suatu abstraksi yang menggambarkan ciri-ciri umum sekelompok objek, peristiwa atau fenomena lainnya. Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 588) adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

  “Woodruff (dalam Amin, 1987) mendefinisikan konsep sebagai berikut: (1) suatu gagasan/ide yangrelatif sempurna dan bermakna, (2) suatu pengertian tentang suatu objek, (3) produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda).” Selain itu, konsep juga dapat diartikan sebagai abstrak dimana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam eksistensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu. Pengertian konsep sendiri adalah universal dimana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap eksistensinya.

  Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti, baik merupakan gejala sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:

2.1.1 Kebudayaan

  Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952), dengan mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi. Membagi kebudayaan atas 6 golongan, yaitu:

  “(1) Deskriptif, yang menekan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif , yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.” Kebudayaan Tionghoa adalah karya orang Tionghoa dalam sejarah perkembangannya yang sangat panjang dan merupakan kristalisasi kecerdasan serta daya cipta orang Tionghoa. Dalam sejarah selama ribuan tahun, budaya Tionghoa selalu bersinar, dan memiliki pengaruh yang luar biasa bagi orang-orang Tionghoa baik masa lalu maupun sekarang. Disamping itu, dengan setelah adanya jalur sutera pada zaman dinasti Han, budaya Tionghoa juga menyumbang dan berpengaruh terhadap sejarah dan kebudayaan barat. Terlebih pada saat ini, dimana komunikasi secara global tidak menemui halangan, maka penyebarannya sangat cepat dan pengaruhnya juga semakin luas bagi dunia. Saat ini, orang-orang semakin tertarik terhadap budaya Tionghoa, misalnya untuk mempelajari bahasa Mandarin. Semakin banyaknya sekolah, kursus ataupun kelas untuk belajar bahasa Mandarin yang dibuka adalah salah satu contoh dari segi bahasa, juga aspek-aspek lain seperti masakan tradisional, seni pertunjukan, karya sastra seperti buku seni perang Sun zi/Sunzi

  Bingfa 孙子兵法, kisah tiga kerajaan san guo yanyi 三国演义, dan lainnya.

2.1.2 Masyarakat Tionghoa Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia.

  Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tang

  ren

  (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari China selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara yang berasal dari China utara menyebut diri mereka sebagai Han ren (orang Han).

  Leluhur orang Tionghoa Indonesia migrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

  Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarga- negaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan China di Indonesia, yang berasal dari kata zhong hua dalam Bahasa Mandarin.

  Zhong hua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

  Tionghoa (dialek Hokkien dari kata 中华 [中華], yang berarti Bangsa Tengah, dalam Bahasa Mandarin ejaan pinyin, kata ini dibaca "zhong hua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "China" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat China seperti, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

  Populasi masyarakat Tionghoa sendiri di Indonesia berdasarkan volkstelling (sensus) di masa Hindia Belanda, mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930. Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun 1961.

  Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.

2.1.3 Upacara Adat Kematian

  Adat adalah kebiasaan, lembaga, rasam, peraturan, hukum (Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia,1994:7). Upacara adalah alat tanda kerajaan seperti payung kerajaan. Upacara adat adalah upacara yang dilaksanakan sesuai dengan adat (Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia,1994:1595).

  Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain upacara kematian, upacara perkawinan dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat juga merupakan salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia, dimana pada masa praaksara jejak- jejak sejarah tersebut banyak dijumpai dalam upacara-upacara adat. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara yang dimaksud bukanlah upacara dalam pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara penghormatan bendera. Melacak melalui upacara, yaitu upacara yang pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

  Upacara kematian merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan kepercayaan bahwa roh orang meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal semasa hidupnya, dimana sewaktu-waktu roh tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat jika ada bahaya atau kesulitan.

  Masyarakat Tionghoa adalah tipe masyarakat yang sangat menjunjung tinggi keharmonisan antara kehidupan manusia dengan alam itu sendiri. Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus dilalui oleh semua orang. Kematian bagi masyarakat Tionghoa merupakan sesuatu yang sangat tabu dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut komunitas ini, kematian berarti sesuatu yang sangat buruk, meskipun pada dasarnya mereka percaya kepada kehidupan setelah kematian, baik itu kehidupan di alam neraka ataupun terlahir kembali di dunia (reinkarnasi).

2.2 Landasan Teori

  Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.

  Dalam penelitian ini penulis mempergunakan teori strukturalisme dan fungsionalisme kebudayaan. Teori strukturalisme adalah salah satu teori yang dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia yakni struktur dari proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya. Strukturalisme beramsusi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan (Saifuddin, 2005:64-65).

  Bagi Levi-Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau atau atau konfigurasi sistem perlambangan. Lebih lanjut untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Levi-Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagi sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik.

  Yang ia perhatiakan adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara logis untuk membentuk sistem keseluruhan. Pengertian struktur dalam hal ini adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagai komponen masyarakat, pola-pola yang secara relatif bertahan lama karena interaksi- interksi tersebut terjadi dalam cara yang kurang-lebih terorganaisasi (Kaplan dan Manners, 1999:239).

  Berdasarkan pengertian teori tersebut penulis akan mencoba mengkaji bagaimana berlangsungnya upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo dari awal hingga akhir.

  Selain menggunakan teori strukturalisme, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teori fungsionalisme untuk mengkaji fungsi dari pada pelaksanaan upacara kematian tersebut. Fungsi yang dimaksud penulis dalam hal ini adalah fungsi dari setiap upacara yang dilaksanakan dalam upacara adat kematian masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi.

  Teori fungsionalisme sendiri dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski. Ia mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan atau a funcitional theory of culture.

  Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat tempat unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pandangan Malinowski terhadap fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan (Ember dan Ember, 1996:59-60).

  Model kajian fungsional memungkinkan secara pragmatik tentang suatu simbol dan untuk membuktiakan bahwa dalam realitas budaya tindakan verbal maupun tindakan yang lain menjadi jelas setelah meleui efek yang dihasilakannya. Titik terpenting dari fungsisonalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tak jauh berbeda dengan organisme yang bagian-bagiannya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan semua sistem budaya memeiliki syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya (Saifuddin, 2005:64).

  Berdasarkan defenisi tersebut, penulis akan menggunakan teori ini untuk mengkaji fungsi daripada peranan dari setiap individu yang ikut terlibat didalamnya ikut mempengaruhi hingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dalam upacara kematian tersebut.

2.3 Kajian Pustaka

  Sabriandi Edrian, tesis (2008): Analisis Semiotik Syair-Syair Kematian Etnis China di Kota Medan. Dalam tesisnya membagi pelaksanaan upacara kematian kedalam empat tahap: (1) Belum masuk peti (2) Upacara masuk peti dan penutupan peti, (3) Upacara pemakaman, dan (4) Sesudah pemakaman. Tesis ini akan penulis gunakan sebagai pembagian dasar dalam tahapan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa. Perasamaan penelitian yang penulis lakukan dengan tesis tersebut adalah objek yang sama-sama membahas mengenai upacara kematian etnis Tionghoa.

  Perbedaan antara penelitian yang penulis lakuakan dengan tesis tersebut terletak pada pembahasannya, dimana objek yang penulis teliti dalam penulisan ini adalah upacara adat kematiannya sedangakan tesis itu sendiri membahas mengnai syair-syair doa dalam upacara kematian etnis Tionghoa dan dalam tesis tersebut juga belum manjelaskan bagimana upacara adat kematiannya, hanya menjelaskan secara garis besarnya dimana upacara kematian etnis Tionghoa dibagi menjadi empat tahapan.

  Defri Elias Simatuapang, skripsi (2008): Konsep “Kematian Ideal” Pada Masyarakat Batak. Dalam skripsinya mengklasifikasikan kematian berdasarkan usia dan status yang mati, upacara adat yang dijalankan akan disesuaikan dengan usia dan status yang mati. Skripsi ini penulis gunakan sebagai gambaran dalam membedakan upacara adat kematian masyarakat Tionghoa berdasarkan usia dan status yang mati.

  Fatimah, artikel USU (Edisi No.23/Tahun XI/Januari 2007): Upacara Kematian pada Masyarakat Melayu di Medan. Dalam artikelnya membedakan palaksanaan upacara kemataian berdasarkan status sosial, antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate degan PT. Sari Sawit Kencana Labuhan Batu

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Promosi Penjualan terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Bisnis pada Depot Air Minum Isi Ulang Faqih Water Kelurahan Sei Putih Baru Medan)

0 0 7

B. Identitas Responden - Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank - Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 0 19

Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Perbankan di Kota Medan

0 1 11

Analisis Permintaan Impor Bawang Merah di Indonesia

0 1 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan terhadap Kehilangan Minyak (Losses) pada Air Kondensat di Stasiun Sterilizer dengan Sistem Tiga Puncak (Triple Peak) di Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV (Persero) Pulu Raja

0 1 24

PENGARUH TEKANAN DAN WAKTU PEREBUSAN TERHADAP KEHILANGAN MINYAK (LOSSES) PADA AIR KONDENSAT DI STASIUN STERILIZER DENGAN SISTEM TIGA PUNCAK (TRIPLE PEAK) DI PABRIK KELAPA SAWIT PTPN IV (Persero) PULU RAJA TUGAS AKHIR - Pengaruh Tekanan dan Waktu Perebusan

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak dan Lemak - Penentuan Stabilitas Panas (Heat Stability) dari FAH (Triple Pressed Stearic Acid) pada PT. Socimas Medan

0 1 18