BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Partisipasi politik Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013” (Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Fakta Sosial

  Paradigma fakta sosial terdiri dari sekumpulan teori para teoritisi sosial yang memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut Durkheim sebagai fakta sosial; struktur dan institusi sosial berskala luas beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu sebagai subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang masuk dalam paradigma fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro. Mereka mengasumsikan bahwa terdapat situasi dalam kehidupan manusia dan di dalam situasi tersebut ada perubahan dalam suatu waktu tertentu, serta tidak ada suatu fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya.

  Menurut Emile Durkheim, fakta sosial ialah barang (thing) yang berbeda dengan ide yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif), akan tetapi melalui pengumpulan data yang nyata di luar pemikiran manusia. Menurutnya fakta sosial dapat dibagi menjadi dua, yakni dalam bentuk barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi, contohnya adalah arsitektur, norma, hukum, dan lainnya. Kedua dalam bentuk non-material, yakni fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri, hanya muncul dalam kesadaran manusia, contohnya kelompok, egoisme dan sebagainya. (Zamroni, 1992: 24)

2.1.1 Teori Sistem Sosial

  Menurut Parsons, sistem sosial merupakan jaringan hubungan antar aktor atau kerangka hubungan interaktif. Ia menyediakan kerangka konseptual untuk berinteraksi antar manusia dalam berbagai situasi sehingga sistem sosial dibentuk oleh norma, kepercayaan, nilai-nilai yang diorganisasikan dengan harapan peran. Aktor sangat ditentukan oleh peran

  

12

    diukur sebagai kelompok yang terpola dari peran-peran sosial yang dapat berjalan secara baik. (Rachmad K. Dwi Susilo, 2008: 117) Teori sistem sosial Talcot Parsons merupakan analisa melalui persyaratan-persyaratan fungsional yang harus dimiliki sebuah sistem sosial atau sistem sosial dapat dikembangkan jika memenuhi beberapa persyaratan fungsional dalam kerangka AGIL. Menurut Parsons (Susilo, 2008: 121), pada dasarnya AGIL merupakan empat persyaratan fungsional yang harus dimiliki oleh sistem sosial, yaitu:

  1. Adaptation (adaptasi) yaitu melindungi dan mendistribusikan alat-alat bertahan dari lingkungan atau menyesuaikan tuntutan dari lingkungannya. Setiap masyarakat harus menemukan kebutuhan fisik dari anggota-anggotanya jika ingin siap.

  2. Goal attainment (pencapaian tujuan) yakni menentukan, mengatur, dan memfasilitasi pencapaian tujuan, dan kesepakatan. Konsekuensinya, ia harus memiliki alat dan sumber daya untuk mengidentifikasi, menyeleksi, dan menetapkan tujuan kolektif termasuk menyediakan susunan kultural untuk pencapaian tujuan ini.

  3. Integration (integrasi). Hubungan sosial yang melindungi secara kooperatif dan terkoordinasi dalam sistem. Jadi, ada koordinasi internal yang membangun cara yang berpautan. Masyarakat harus menjamin ukuran koordinasi dan kontrol di elemen-elemen internal dari berbagai bagian pada sistem sosial, layaknya peran dan status sosial yang telah merumuskan mana yang boleh dan tidak.

  4. Latency (laten) terdapat pemeliharaan pola yang di dalamnya terdapat motivasi perilaku yang diinginkan. Sistem harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan seimbang. Ide-ide sistem budaya membuat cita-cita dan nilai-nilai umum yang disepakati.

  

13

 

 

  

14

 

 

  bahwa setiap sistem sosial harus bisa beradaptasi dalam menghadapi lingkungannya dan harus memiliki tujuan sehingga setiap tindakan para anggota dalam sistem sosial itu berarah pada tujuannya. Pada setiap sistem sosial juga harus memiliki persyaratan integrasi agar sistem sosial dapat berfungsi secara efektif sebagai satu tujuan sehingga dalam sistem sosial tingkat solidaritas di antara individu merupakan suatu keharusan dan integrasi menjadi kebutuhan untuk menjamin adanya ikatan emosional. Dalam strategi mempertahankan pola juga merupakan suatu keharusan bagi sistem sosial agar interaksi yang dibangun dalam sistem sosial itu tetap masih dapat dipertahankan.

  Soejono Soekanto (Natzir, 2008: 69) mengatakan bahwa secara kultural sistem sosial memiliki unsur pokok yaitu sebagai berikut:

  1. Kepercayaan, yaitu hipotesa tentang gejala yang dihadapi dan dianggap benar.

  2. Perasaan, yakni sikap yang didasarkan pada emosi atau prasangka.

  3. Tujuan yang merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu.

  4. Kaedah, yaitu pedoman tentang tingkah laku yang pantas.

  5. Kedudukan peranan dan pelaksanaan peranan yang merupakan hak dan kewajiban serta penerapannya di dalam proses interaksi sosial.

  6. Tingkatan atau jenjang, yaitu posisi sosial yang menentukan alokasi hak dan kewajiban.

  7. Sanksi yaitu suatu persetujuan (sanksi positif) atau penolakan (sanksi negatif) terhadap pola-pola perikelakuan tertentu.

  8. Kekuasaan yang merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar dia berbuat sesuai dengan kemauan pemegang kekuasaan.

  9. Fasilitas yang merupakan saran-sarana untuk mencapai tujuan. interaktif. Mereka memiliki pandangan tentang alat serta tujuan yang didapat pada situasi yang dibentuk oleh kepercayaan, norma, dan nilai yang diorganisasikan dalam harapan peran.

  Mereka tidak menghadapi situasi sebagai individu, tetapi memiliki peran sosial yang menghasilkan suatu tujuan.

  Dalam perkembangan di Indonesia, aktivitas perpolitikan etnis Tionghoa mengalami pasang surut. Adanya kebebasan bagi etnis Tionghoa setelah reformasi untuk ikut dalam dunia politik membuat mereka memiliki peran. Indikasi ini dapat dilihat dengan membentuk partai politik dan mencalonkan diri baik sebagai kepala daerah maupun anggota legislatif.

  Keputusan mereka untuk membentuk partai politik bukan tanpa alasan. Adanya pengalaman pahit yang mereka alami membuat etnis Tionghoa merasa harus bersatu dan membentuk kelompok, yaitu partai politik. Walaupun belum mendominasi, tetapi etnis Tionghoa sudah mulai tampak dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

2.2 Politik

  Menurut Robert H. Soltau dalam karyanya “An Introduction to Politics”, menyatakan bahwa politik merupakan hal yang berkaitan tentang tujuan dan maksud-maksud negara, berkaitan dengan kajian tentang lembaga-lembaga yang akan merealisasikan tujuan dan maksud tersebut. Selain itu, Iwa Kusuma Sumantri dalam karyanya “Pengantar Ilmu Hukum” menjelaskan bahwa politik merupakan pengetahuan tentang segala sesuatu ke arah usaha penguasa negara dan alat-alatnya, mempertahankan kekuasaan atas negara untuk melaksanakan hubungan tertentu dengan negara lain. (Sobari, 2004: 10)

  15

 

 

  Masyarakat

  Berdasarkan sejarah, diperoleh keterangan bahwa Yunani kuno sejak 450 SM telah lahir pemikir-pemikir politik yang terkenal seperti Herodotus dan Plato. Dibelahan bumi Asia juga terdapat karya pemikiran politik yang cemerlang seperti di India dan Cina dan di antara mereka terdapat nama besar Confusius pada 500 SM. Pada perkembangan selanjutnya pendekatan dalam politik juga berkembang ke arah pendekatan tingkah laku. Perkembangan ini terjadi setelah berakhir Perang Dunia II. Gerakan dan perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh ahli-ahli seperti Max Weber dan Talcot Parson dengan basis sosiologi. (Faturohman, 2004: 16)

  Politik berhubungan dengan sosiologi dalam hal memahami dan menelusuri pola-pola budaya dan segala hal yang berkaitan dengan interaksi masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan masyarakat akan organisasi negara dan hasrat berkuasa dengan perjuangan dan kompetisi yang dilakukan. Sebagai salah satu contoh adalah pemahaman akan masyarakat dengan segala variasinya akan membantu negara atau pemerintah dalam membuat kebijakan publik untuk pembangunan. (Faturohman, 2004: 17)

  Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah atau badan atau organisasi tertentu biasanya pada tahap awal melakukan perencanaan yang matang agar dapat memperoleh hasil yang baik. Adapun hal yang harus dilihat pada masyarakat dalam hal pembangunan politik (Sahid, 2011: 27) antara lain:

  1.7.1 Pola interaksi sosial dan pola interaksi politik. Dengan mengetahui pola interaksi sosial dan politik yang ada dalam masyarakat, maka dapat digariskan kebijakan untuk memperkuat pola interaksi yang mendukung. Pola interaksi yang didasarkan efisiensi perlu terus diperkuat secara meluas untuk memacu perkembangan politik.

  16

 

 

  17

 

 

  Kelompok sosial dan politik yang menjadi bagian masyarakat. Ada kelompok sosial dan politik yang mendukung pembangunan dan mungkin juga ada yang kurang mendukung, hal ini perlu diketahui untuk pengambilan garis kebijakan.

  1.7.3 Kebudayaan yang berintikan nilai-nilai. Dalam masyarakat ada nilai yang mendukung pembangunan dan tidak. Terhadap nilai kebudayaan yang menghalangi pembangunan perlu proses dan diperlukan pendidikan politik.

  1.7.4 Lembaga atau pranata sosial dan politik yang merupakan kesatuan kaidah yang berkisar pada kebutuhan dasar manusia dan kelompok sosial atau politik.

  1.7.5 Stratifikasi sosial untuk menentukan pihak mana yang dijadikan pelopor pembangunan politik.

2.4 Budaya Politik

  Secara konseptual, Almond dan Verba (Sahid, 2011: 150) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem tersebut. Batasan ini memperlihatkan kepada kita akan adanya unsur individu, yakni warga negara dan sistem politik serta keterkaitannya.

  Terdapat tiga tipe-tipe dalam budaya politik menurut Gabriel A.Almond dan Sidney (Sahid, 2011: 155) antara lain: 1. budaya politik parokial dengan ciri-ciri tidak adanya peran politik yang bersifat khusus, kepala suku, kepala kampung yang bersifat politis dan keagamaan, tidak adanya harapan terhadap perubahan oleh sistem politik. Contoh masyarakat yang memiliki budaya politik parokial adalah masyarakat suku di Afrika budaya politik subjek dengan ciri-ciri para subjek menyadari adanya otoritas pemerintahyang memungkinkan adanya suka atau ketidaksukaan masyarakat terhadap sistem yang ada. Contoh dari tipe orientasi ini adalah golongan bangsawan Perancis.

  3. Budaya politik partisipan dengan ciri-ciri anggota masyarakatnya cenderung memiliki orientasi yang nyata terhadap sistem secara keseluruhan, struktur dan proses politik serta administratif. Dengan kata lain, tipe budaya politik ini ditandai oleh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesadaran politik, perhatian, dan kepedulian.

2.5 Partisipasi Politik

  Partisipasi politik merupakan bagian penting dalam kehidupan suatu negara terutama bagi negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Negara baru bisa disebut sebagai negara demokrasi jika pemerintah yang berkuasa memberi kesempatan yang seluas- luasnya kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sebaliknya, warga negara yang bersangkutan juga harus memperlihatkan tingkat partispasi politik yang cukup tinggi. Jika tidak, maka kadar kedemorkatisan negara tersebut masih diragukan. Masalah partisipasi politik bukan hanya menyangkut watak atau sifat dari pemerintahan negara, melainkan lebih berkaitan dengan sifat dan karakter masyarakat suatu negara dan pengaruh yang ditimbulkannya.

  Partisipasi berasal dari bahasa Latin, yaitu “pars” yang artinya bagian dan “capere” (sipasi), yang artinya mengambil. Bila digabungkan berarti "mengambil bagian". Dalam Bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Jadi, partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara. (Komarudin, 2011)

  Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa bergerak dari ketidakterlibatan sampai dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu

  

18

    konsep-konsep mengenai apa itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidakterlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas. (Suharno, 2004: 23) Huntington dan Nelson mendefinisikan partisipasi politik sebagai "kegiatan warga negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah". Dari pengertian tersebut, Surbakti (Suryadi, 2007: 130-131) menyebutkan beberapa batasan partisipasi politik, antara lain:

  1. partisipasi politik yang menyangkut kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini komponen-komponen subjektif seperti orientasi-orientasi politik yang meliputi pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenai kompetisi dan keefektifan politik, dan persepsi-persepsi mengenai relevansi politik tidak dimasukkan. Hal-hal seperti sikap dan perasaan politik hanya dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan bentuk tindakan politik, tetapi terpisah dari tindakan politik.

  2. subjek yang dimasukkan dalam partisipasi politik itu adalah warga negara, preman

  (private citizen) atau lebih tepatnya orang per orang dalam peranannya sebagai warga negara biasa, bukan orang-orang profesional di bidang politik seperti pejabat-pejabat pemerintah, pejabat-pejabat partai, calon-calon politikus, lobi profesional. Kegiatan yang disebut partisipasi politik ini bersifat terputus-putus, hanya sebagai sambilan atau sebagai pekerjaan sewaktu-waktu (evocational dan bersfiat sekunder saja dibandingkan dengan peranan-peranan sosial lainnya.

  3. kegiatan dari apa yang disebut partisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dan ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang politik. Sasarannya adalah untuk mengubah keputusan-keputusan para pejabat yang sedang berkuasa, menggantikan atau mempertahankan pejabat-pejabat, merubah atau mempertahankan

  

19

    itulah yang menjadi batasan partisipasi politik terlepas apakah itu legal atau tidak. Karena itu aktivitas seperti misalnya protes-protes, huru-hara, demonstrasi, kekerasan, bahkan pemberontakan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.

  4. partisipasi politik mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas apakah tindakan itu mempunyai efek atau tidak, berhasil atau gagal.

  5. partisipasi politik mencakup partisipasi otonom dan partisipasi dimobilisasikan.

  Partisipasi otonom adalah kegiatan politik yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

  Menurut Almond (Damsar, 2010: 186), partisipasi politik dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu:

  1. partisipasi politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern.

  2. Partisipasi politik non-konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner.

  Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi politik dapat dilihat pada tabel berikut.

  20

 

 

  Konvensional Non-konvensional

   Pemungutan suara  Pengajuan Petisi  Diskusi politik  Demonstrasi  Kegiatan kampanye  Konfrontasi  Membentuk dan bergabung dalam  Tindak kekerasan politik terhadap kelompok kepentingan manusia (penculikan, pembunuhan)  Komunikasi individual dengan pejabat  Tindakan kekerasan politik terhadap politik dan administratif benda (perusakan, pemboman, pembakaran)

   Mogok  Perang gerilya dan revolusi

  Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews (1981)

  Selain itu, bisa dilihat sebagai suatu kegiatan partisipasi politk dapat dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi kebijakan pemerintah, membayar pajak dan ikut dalam proses pemilihan pimpinan pemerintahan. Sedangkan partisipasi pasif berupa kegiatan menaati peraturan/pemerintah, menerima melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. (Sahid, 2011: 181)

  Dalam penelitian ini, partisipasi politik yang dimaksud adalah kegiatan etnis Tionghoa untuk ikut serta secara aktif dalam memilih calon gubernur pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 di Kec. Rantau Utara Kota Rantau prapat.

  21    

   Pemilu

Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat (2) kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi modern, yang menjalankan

kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk

menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakanlah pemilihan

umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk

di lembaga perwakilan rakyat serta salah satu pelayanan hak-hak asasi warga negara

dalam bidang politik (Syarbaini, 2002:80)

  Dalam Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum dinyatakan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipil sehingga dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi menjadi suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya.

  Pemilu yang merupakan ciri atau tanda demokrasi di suatu negara yang demokratis

menurut Ali Murtopo adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya

  • dan merupakan lembaga demokrasi. Tujuan utama pemilu biasanya adalah untuk memilih w
  • wakil rakyat di parlemen. Dari wakil wakil rakyat inilah rakyat Indonesia secara keseluruhan

  

membebankan beban-beban kenegaraan di pundaknya. Wakil-wakil rakyat inilah yang punya

andil besar bersama dengan pemerintah dalam menentukan kemana arah akan berjalannya negeri

ini. Wakil-wakil rakyat ini kemudian duduk di lembaga perwakilan seperti DPR, DPRD, ataupun

DPD.

  

22

    Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 yang diadakan di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat.

2.7 Etnis Tionghoa

  Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok” untuk negara Cina dalam pers Indonesia 1950-an. Etnis Tionghoa menurut Purcell adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka dan bahasa yang mereka gunakan. (Suryadinata, 2002)

  Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sebagai “Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok. Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia. (Suryadinata, 2002)

  Penelitian ini akan fokus pada etnis Tionghoa dalam partisipasi politik mereka pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 di Kec. Rantau Utara Kota Rantau Prapat. Adapun beberapa kriteria etnis Tionghoa yang diteliti adalah sebagai berikut: 1.

  Memiliki darah keturunan Tionghoa 2. Yang sudah berumur di atas 17 tahun 3. Berdomisili di Kecamatan Rantau Utara

  

23

 

 

Dokumen yang terkait

Partisipasi politik Etnis Tionghoa Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013” (Survey di Kecamatan Rantau Utara Kota Rantau Prapat)

4 66 87

Pemenuhan Hak-Hak Kaum Disabilitas dalam Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 di Kota Medan

6 62 116

Hubungan Tingkat Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 Di Lingkungan V Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

0 31 144

Keengganan Siswa Untuk Sekolah (Kasus di Kecamatan Rantau Utara Kelurahan Rantau Prapat)

2 71 89

Kebijakan Dan Kiprah Politik Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Analisis Pada : Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2008)

4 96 75

BAB IV PEMBAHASAN A. Muhammadiyah dan Politik - Pengaruh Kebijakan Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Analisis Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Periode 2013 – 2018) - Repository UIN Sumatera Utara

0 1 14

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Kebijakan - Pengaruh Kebijakan Muhammadiyah Sumatera Utara Terhadap Pemilihan Kepala Daerah (Analisis Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Periode 2013 – 2018) - Repository UIN Sumatera Utara

1 4 9

BAB II PROFIL INSTANSI 2.1 Sejarah Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara 2.1.1 Sejarah Berdirinya Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara - Efektivitas Penggunaan Fasilitas pada Biro Umum Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 1 29

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Kantor Gubernur Sumatera Utara 2.1.1 Sejarah Berdirinya Kantor Gubernur Sumatera Utara - Hubungan Kedisiplinan dengan Kinerja Pegawai pada bagian Sekretariat Staf Ahli Gubernur di Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pengaruh Kebijakan Investasi Terhadap Perkembangan Investasi di Sumatera Utara

0 0 15