BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perkembangan perusahaan yang cukup pesat memerlukan seperangkat aturan

  hukum yang mengaturnya, sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan dengan tertib sesuai dengan harapan. Bermacam ragam perusahaan yang dibentuk dan jenis usaha yang dijalankan telah mendorong pembentukan undang-undang untuk menciptakan berbagai perangkat perundang-undangan guna menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat pengusaha dan perusahaan. Bermacam ragam peraturan perundang- undangan yang mengatur berbagai bentuk usaha dan jenis usaha dihimpun dan

  1 dibahas topik sesuai dengan perkembangan masyarakat terkini.

  Berbisnis dengan membentuk perseroan terbatas, terutama untuk bisnis yang serius dan tergolong besar, merupakan model berbisnis yang paling lazim dilakukan, sehingga dapat dipastikan bahwa jumlah dari perseroan terbatas di Indonesia jauh melebihi jumlah bentuk bisnis lain, seperti Firma, Perusahaan Komanditer, Koperasi, dan lain-lain.

  Disamping itu Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemiliknya (pemegang saham) untuk mengalihkan perusahaannya (kepada setiap orang) dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung, Citra Aditya, 1998, hal v

  1 Perseroan terbatas merupakan badan usaha yang berbadan hukum, dimana akta pendirian harus dibuat dengan akta autentik oleh notaris dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan itu serta mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menegaskan bahwa “ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tentu harus tunduk dan patuh kepada Undang-Undang yang mengatur tentang Peraturan Jabatan Notaris sebagaimana di tegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Dalam peraturan tersebut juga diatur tentang kewajiban-kewajiban notaris, yang salah satunya adalah tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a adalah bahwa Notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait, dalam perbuatan hukum.

  Dalam lalu lintas perseroan sebagai sebuah badan hukum, maka Notaris sangat di butuhkan peranannya mulai dari pendirian perseroan sampai kepada urusan perubahan-perubahan struktur perseroan, jual beli saham dan lain-lainnya yang berhubungan perbuatan hukum dalam perseroan. Perbuatan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi dan atau oleh persero melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tetapi yang sangat mendominasi dan mengendalikan perseroan adalah peranan utama direksi.

  Dalam menjalankan sebuah perusahaan, maka direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan tujuan perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar perseroan. Kata “perseroan” menunjukkan kepada modalnya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan kata “terbatas” kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan dimilikinya. Kata perseroan dalam arti umum adalah perusahaan atau organisasi usaha sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi

  2 usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia.

  Dalam setiap anggaran dasar perseroan harus disebutkan bahwa kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang - undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan, artinya kegiatan dari perseroan terbatas tersebut dapat memberikan manfaat bagi organ perseroan dan juga memberikan dampak yang baik terhadap kepentingan di lingkungan masyarakat, Bangsa dan Negara. Untuk menjalankan perseroan terbatas dimana yang memiliki peranan utama dan bertanggung jawab dalam menjalankan perusahaan adalah direksi, yang mana direksi inilah yang merupakan pemegang amanah dan atau kepercayaan dari seluruh pemegang saham, maka oleh sebab itu melalui Rapat Umum Pemegang saham (RUPS) sebagai salah satu organ perseroan 2 M.Natzir Said, Perusahaan – Perusahaan Pemerintah di Indonesia Ditinjau dari Segi Hukum Perusahaan, Bandung, Alumni.1985, hal 15. terbatas sangat menentukan siapa - siapa yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk diangkat dan ditetapkan sebagai direksi dalam perseroan terbatas.

  Adapun syarat-syarat yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya sebagai direksi melakukan suatu perbuatan sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 93 ayat (1) UUPT, yakni :

  1. Dinyatakan pailit

  2. Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit

  3. Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara

  3 dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan .

  Kepengurusan perseroan dilakukan oleh organ perseroan yakni direksi dan direksi inilah yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan dan bukan kepada perorangan pemegang saham, untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan didalam maupun diluar pengadilan apabila perseroan menghadapi persoalan hukum dalam menjalankan kegiatan perseroan.

  Peraturan tentang pembagian tugas dan tanggung jawab setiap anggota direksi ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan dilakukan oleh Komisaris atas nama Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dimuat dalam Anggaran Dasar perseroan. Dalam Pasal 97 UUPT dinyatakan bahwa : 3 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, Jakarta, Raja Grafindo Persada,2006, hal 13.

  1. Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

  2. Pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan I’tikad baik dan penuh tanggung jawab .

  3. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah dan lalai dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

  4. Dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.

  5. Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagai mana dimaksud ayat (3) apabila dapat membuktikan : a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

  6. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahannya atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

  7. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lainnya dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan. Dalam Pasal 92 ayat 1 dan 2 telah di tegaskan dan disebutkan bahwa direksi menjalankan perseroan harus untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud serta tujuan perseroan, disamping itu juga direksi dalam menjalankan perseroan harus sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan Undang – Undang dan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas.

  Ketentuan pasal tersebut diatas adalah merupakan cerminan dari kemandirian direksi dalam memberikan putusan bisnisnya merupakan perlindungan bagi direksi yang beritikad baik dalam menjalankan tugas – tugasnya selaku direksi.

  Business Judgment Rule

  Doktrin berkaitan erat dengan doktrin Fiduciary

  Duty

  , guna mengukur kepercayaan yang diberikan perseroan kepada direksi berdasarkan prinsip Fiduciary Duty, maka sebagai organ perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dengan tujuan perseroan, Direksi tentu dihadapkan dengan risiko bisnis oleh karena itu guna melindungi ketidak mampuan yang disebabkan adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi

  4 oleh doktrin putusan bisnis Business Judgment Rule. 4 Ibid , hal 37. Doktrin putusan bisnis (Business Judgment Rule) ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, meskipun putusan tersebut merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Putusan sesuai hukum yang berlaku.

  2. Dilakukan dengan itikad baik.

  3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose).

  4. Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional (rasional basis).

  5. Dilakukan dengan kehati-hatian (due care) seperti dilakukan oleh orang yang cukup hati-hati pada posisi yang serupa.

  6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayainya sebagai yang terbaik

  5 bagi perseron.

  Latar belakang dari berlakunya doktrin putusan bisnis ini adalah karena di antara semua pihak dalam perseroan, sesuai dengan kedudukannya selaku Direksi, maka direksi yang paling berwenang dan yang paling profesional untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroannya, sementara jika karena putusan bisnis dari Direksi terjadi kerugian bagi perseroan, sampai batas-batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung, Dengan perkataan lain, perseroan juga harus menanggung risiko bisnis, termasuk risiko kerugian. 5 Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas; bank dan persero, Bogor, Ghalia Indonesia, 2005, hal 468.

  Salah satu perseroan yang besar di Indonesia ini adalah perusahaan - perusahaan Perkebunan Nusantara yang biasa disebut PTPN yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, yang di kendalikan atau di arahkan dalam hal ini dibawah Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.

  Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara III (Persero) adalah salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara memiliki berbagai macam bentuk kegiatan usaha rutin, salah satunya adalah pengadaan barang dan jasa sebagimana juga terhadap instansi-instansi pemerintah yang lainnya. PTPN III dalam proses pengadaan barang dan jasa memiliki peraturan-peraturan khusus yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa sebagaimana di atur dalam Surat Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Nomor 3.11/SKPTS/03/2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa, dan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang Dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Dari semua proses dan tahapan serta pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di PTPN III (Persero) ini sangat memerlukan perhatian dan pertanggungjawaban khusus dari organ perseroan yakni Direksi.

  Oleh sebab itu Penulis tertarik melakukan penelitian di PTPN III (Persero) tentang penerapan prinsip kehati - hatian, tanggungjawab Direksi, serta penerapan doktrin Fiduciary Duty dan Bussines Jugdment Rule dalam proses pengadaan barang dan jasa di PTPN III (Persero). Penelitian ini fokus pada penjabaran prinsip kehatian- kehatian direksi, sistem pengendalian internal dalam proses pengadaaan barang, serta konsekwensi hukum dari pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Direksi.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dikemukakan permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

  1. Bagaimana penjabaran prinsip kehati-hatian dalam peraturan pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) ?

  2. Bagaimana sistem pengendalian internal dalam proses pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) agar direksi memenuhi prinsip kehati- hatian ?

  3. Bagaimana konsekwensi hukum bagi direksi atau pejabat dibawah direksi apabila tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dalam pengadaan barang dan jasa di PT.

  Perkebunan Nusantara III (Persero) ?

  C. Tujuan Penelitian

  Adapun Tujuan penelitian ini dari permasalahan ini adalah :

  1. Untuk menganalisis dan menjelaskan prinsip kehati-hatian dalam peraturan pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

  2. Untuk menganalisis dan menjelaskan sistem pengendalian internal dalam proses pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) agar direksi memenuhi prinsip kehati-hatian.

  3. Untuk menganalisis dan menjelaskan konsekwensi hukum bagi direksi atau pejabat terkait apabila tidak memenuhi prinsip kehati-hatian dalam pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat dari Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam hal sebagai berikut :

  1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai teori, konsep dan kaidah – kaidah hukum di bidang hukum perusahaan bagi para mahasiswa, kalangan akademisi/ Dosen, dan sebagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut.

  2. Secara praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah cq.

  Kementerian Negara BUMN dalam menyempurnakan ketentuan pengadaan barang dan jasa di BUMN.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Direksi dan Dewan Komisaris PTPN III (Persero) atau BUMN perkebunan lainnya dalam menerapkan prinsip kehati-hatian pada kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkungan perusahaan.

  c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan rekanan dalam memahami proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN.

  E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran perpustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian dengan judul yang sama belum pernah dilakukan. Walaupun memang terdapat penelitian yang lokasinya sama di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) dan objeknya proses pengadaan barang dan jasa namun topiknya berbeda, dimana dalam Tesis saudara MARISI tahun 2010 membahas mengenai Good Corporate Governance dan prinsip keterbukaan namun topik yang penulis teliti kali ini adalah khusus Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati - Hatian Direksi dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang dan Jasa Study di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), yang lokasi penelitiannya dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) di Medan dengan demikian bahwa penelitian ini asli dan dapat dipertanggung jawabkan.

  F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Dalam Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya UU BUMN adalah untuk mengoptimalkan peran BUMN. Pengurusan BUMN pada prinsipnya sama dengan perseroan terbatas lainnya perbedaannya hanya dari sisi permodalan. Optimalisasi peran BUMN dalam pembangunan nasional harus didukung oleh suatu hukum yang rasional.

  Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah sarana pembangunan yaitu sebagai alat pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai. Selain itu hukum harus dapat

  6 membantu proses perubahan pembangunan masyarakat tersebut.

  Sebagai pisau analisis dalam penelitian ini menggunakan teori pertanggungjawaban, ada dua istilah yang menunjukkan pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu, liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjukkan hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.

  Responsibility

  berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi

  7 juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.

  Menurut Pasal 1 ayat 1, dalam Bab I ketentuan umum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan adalah Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi syarat – syarat yang di tetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanannya. 6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep – Konsep Hukum Dan Pembangunan, Bandung, Alumni,

  2002, hal 13 7 Sonny Tobelo Manyawa, Teori Pertanggungjawaban, dalam http://sonny- tobelo.blogspot/2010/12/teoripertanggungjawaban , diakses pada tanggal 20 Juni 2012

  Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa “Organ perseroan adalah Rapat umum pemegang saham, Direksi dan Dewan komisaris”.

  Dalam Pasal 1 ayat 1 tersebut menegaskan bahwa perseroan terbatas mempunyai unsure-unsur sebagai berikut :

  1. Adanya kekayaan yang di pisahkan dari kekayaan pribadi masing-masing pendiri perseroan terbatas (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah modal sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan terbatas.

  2. Adanya pemegang saham (persero) yang tanggungjawabnya terbatas pada jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya.

  3. Adanya pengurus, yang dinamakan direksi dan pengawas , dan yang dinamakan komisaris yang juga merupakan organ perseroan terbatas, yang tugas, kewenangan dan kewajiban diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar

  8 perseroan Terbatas atau Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

  Dengan demikian bahwa perseroan terbatas adalah merupakan suatu badan usaha yang berbentuk badan hukum, yaitu suatu badan yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum sebagai subjek hukum dan memiliki kekayaan yang di pisahkan dari kekayaan pribadi pengurusnya.

  Demikian juga dalam Pasal 1 ayat 2 Undang – Undang Perseroan Terbatas tersebut sebagaimana ditegaskan diatas sungguh jelas memiliki organisasi yang 8 Ranchmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung, Alumni, 2004, hal 48. teratur, dimana perseroan dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga di wakili oleh organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi, dan Komisaris, dimana organ-organ ini dipilih dan diangkat secara teratur menurut mekanisme yang sudah di tetapkan dalam Anggaran Dasar maupun peraturan perseroan lainnya.

  Perseroan terbatas adalah merupakan badan hukum mandiri (legal entity), yang secara yuridis di tegaskan bahwa setiap badan hukum itu adalah sebagai subjek hukum yang mandiri, suatu tagihan pada perseroan terbatas tidak dapat di tuntut kepada harta kekayaan pribadi orang-orangnya, baik pengurusnya maupun pemegang sahamnya ataupun kepada perseroan-perseroan terbatas lainnya, sekalipun saham-

  9 sahamnya berada dalam satu tangan pemegang saham.

  Suatu perseroan terbatas berbeda dengan suatu persekutuan yang bukan merupakan suatu legal entity dan tidak terpisah dari suatu sekutu yang menjadi anggota persekutuan itu. Perseroan adalah legal entity yang berbeda dan terpisah dari pemegang saham perseroan terbatas itu. Sebagai suatu legal entity yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama

  10 dirinya sendiri sebagai subjek hukum mandiri.

  PT. Perkebunan Nusantara III (persero) yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang sumber keuangannya berasal dari kekayaan Negara yang di pisahkan. Dalam Pasal 1 ayat 1 Bab I ketentuan umum Undang-Undang Nomor 19 9 , hal 147. 10 Ibid Ibid , hal 148.

  Tahun 2003 tentang Badan Usaha milik Negara menyebutkan bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh dan sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang di pisahkan. Maksud kekayaan negara yang di pisahkan menurut Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut adalah kekayaan Negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk di jadikan penyertaan modal Negara pada persero dan atau perum

  11 serta perseroan terbatas lainnya.

  Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas maupun dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara di tegaskan bahwa yang memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan perusahaan atau perseroan adalah direksi baik dalam internal perusahaan maupun di luar perusahaan. Secara legal mandate pengelolaan perseroan harus dikelola oleh Direksi, disamping itu Direksi sebagai organ PT adalah mewakili kepentingan PT selaku subjek hukum mandiri. Direksi bukan wakil pemegang saham , tetapi wakil PT

  12 selaku persona stand in judicio.

  Jabatan Direksi dalam suatu perusahaan atau perseroan sangat strategis dan memiliki tanggungjawab atau amanah serta kepercayaan yang tidak dimiliki oleh organ lain selain Direksi sebagai organ perusahaan untuk pengurusan peseroan. 11 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN),

  dan sebagaimana diketahui bahwa BUMN terdiri dari perusahaan perseroan ( persero), Perusahaan Umum ( perum ).

  Direksi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus dijalankan dengan I’tikad baik dan penuh tanggungjawab, kecakapan dan kemampuan direksi dalam menjalankan kepengurusan serta keperwakilan perseroan diukur menurut standar kehati-hatian dan disertai I’tikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan atau usaha perseroan. Dimana berdasarkan doktrin atau prinsip ultra vires, perseroan tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum yang melampui batas kekuasaan

  13 atau kepentingan dan tujuan atau usaha perseroan.

  Prinsip business judgment rule adalah suatu prinsip yang berasal dari sistem

comman law dan merupakan derivative dari Hukum Korporasi di Amerika Serikat.

  Konsep ini mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi, yang diambil dengan itikad baik.

  Prinsip business judgment rule ini diatur dalam Pasal 97 ayat (5) huruf a, b, c,

  d, undang-undang no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Di Negara-Negara yang menganut common law system acuan yang dipakai adalah standart of care atau standar kehati-hatian, dimana direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standar

  of care maka direksi tersebut telah dianggap melangar duty of carenya.

  Namun terhadap Direksi yang melanggar duty of care ada beberapa pengecualian, hal ini lah yang disebut “Bussines Judgment Rule“ dimana berdasarkan Doktrin ini tidak semua perbuatan direksi dianggap melanggar prinsip Duty of care 12 Bismar Nasution, Pertanggungjawaban Direksi dalam Pengelolaan Perseroan, dalam http://bismar.wordpress.com/2009/12/23, diakses pada tanggal 9 Maret 2012. apabila keputusan dan kebijakan direksinya berdasarkan pada prinsip kejujuran, I’tikad baik, tanggungjawab, dan tidak bertentangan dengan hukum serta selaras

  14 dengan kepentingan dan tujuan atau usaha perseroan.

  Dengan adanya business judgment rule maka setiap keputusan bisnis yang dibuat oleh direksi dianggap adalah merupakan keputusan yang telah diambil dengan penuh kehati-hatian, dengan itikad baik dan kepercayaan bahwa keputusan tersebut diambil demi kepentingan perseroan semata-mata. Setiap pihak yang menyatakan bahwa direksi telah melanggar kewajibannya harus membuktikannya.

  Untuk dapat menilai apakah telah terjadi pelanggaran terhadap business

  judgment rule,

  maka harus ada standard of review yang menjadi dasar sewajarnya dan seharusnya dilakukan.

  Doktrin fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan bawahan sesaat. Maka di Negara-Negara common law seperti Amerika Serikat yang mempunyai standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan yang di ambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of care. Prinsip

  fiduciary duty

  diatur dalam pasal 97 ayat (1) dan 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 13 , hal 18. 14 Ibid Ibid , hal 185.

  Semua hal yang dapat dikatakan sebagai pelanggaran yang menyebabkan tidak berlakunya businnes judgment rule adalah pelanggaran terhadap fiduciary duty Direksi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa direksi yang melanggar fiduciary

  duty tidak dilindungi oleh business judgment rule.

  Dari pengertian PT dalam UUPT, dapat diketahui bahwa PT sebagai kumpulan modal. Artinya, dalam badan usaha PT yang utama adalah modal, Modal dibagi dalam bentuk saham. Oleh Karena itu siapa yang menguasai saham paling banyak dalam suatu PT dialah yang menentukan kebijakan PT. Kebijakan bisa ditentukan lewat keputusan Direksi, Komisaris dan ataupun lewat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham. Dalam pasal 1 butir 2 UUPT disebutkan :

  “Organ Perseroan adalah Rapat umum Pemegang saham, direksi dan komisaris”

  Dari Pasal 1 butir 4 UUPT disebutkan :

  “Rapat Umum Pemegang Saham , yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/ atau Anggaran Dasar.”

  Dari uraian tersebut dapat disimpulkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan.

  Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran

15 Dasar perseroan terbatas. Dengan demikian Direksi PT adalah : 1. Wakil PT didalam dan di luar pengadilan .

  2. Bertanggungjawab atas pelaksanaan tujuan PT.

  16 3. Wajib membuat daftar pemegang saham .

  Setiap jabatan memiliki tugas dan kewajiban serta wewenang. Sudah barang tentu tugas dan kewajiban serta wewenang itu harus dilaksanakan dengan baik dan apabila tugas dan kewajiban itu dilalaikan atau wewenang dan tangungjawab itu disalah gunakan maka akan membawa konsekuensi terhadap pejabat yang melalaikan itu. Pejabat itu harus bertanggungjawab atas kelalaiannya atau penyalahgunaan kewenangannya itu. Demikian pula halnya dengan jabatan anggota Direksi suatu perseroan. Oleh karena menjadi anggota direksi berarti menduduki suatu jabatan, maka sudah barang tentu orang yang menduduki jabatan anggota direksi itu harus memikul tanggungjawab apabila tugas dan kewajiban itu dilalaikan atau apabila wewenangnya disalah gunakan.

  Dalam pasal 92 dalam UUPT menentukan bahwa kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. Selanjutnya menurut dalam undang-undang perseroan terbatas dinyatakan bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun 15 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang edisi revisi ketiga , Bandung, Citra Aditya Bakti, 2008, hal 67. 16 Ibid , hal 55.

  diluar pengadilan. Dari ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa tugas dan kewajiban Direksi adalah mengurus perseroan dan berwenang mewakili perseroan.

  Dalam undang-undang tersebut juga diketahui bahwa Direksi dalam menjalankan jabatannya harus berorientasi kepada kepentingan dan tujuan perseroan, artinya kegiatan yang dilakukan dan keputusan yang diambil harus dilakukan demi kepentingan dan tujuan perseroan. Dengan landasan peraturan Perundang – Undangan tersebut telah memberikan pagar bagi tugas yang harus dilaksanakan oleh direksi yang menjadi tanggungjawabnya. Pagar tersebut adalah “kepentingan perseroan” dan “tujuan perseroan” dengan kata lain, Direksi tidak dibenarkan untuk melakukan hal-hal dengan mengatas namakan perseroan atau menggunakan perseroan yang bertujuan bukan untuk kepentingan perseroan atau bertentangan dengan tujuan perseroan. Direksi tidak boleh mengedepankan kepentingan pribadi atau pihak lain.

  Organ lain yang tidak kalah pentingnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas adalah Komisaris. Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan kepada direksi dalam menjalankan perseroan.

  Dalam pasal 1 butir 6 UUPT disebutkan :

  “Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melaksanakan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.”

  Dalam undang-Undang Perseroan Terbatas terdapat 2 (dua) unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direksi yaitu adalah :

1. Kepentingan dan tujuan/usaha perseroan.

  

17

2.

  Itikad baik dan penuh tanggung jawab.

  Dalam teori tentang perseroan terbatas yang mutakhir mengenal kewajiban pengurusan perseroan dianut pendapat bahwa pengurus perseroan memiliki 2 (dua) macam kewajiban, yaitu kewajiban yang secara tegas ditentukan oleh undang-undang (Statutory duties) dan fiduciary duties.

  Menurut UUPT tersebut ditegaskan bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

  Kalimat “Itikad baik dan penuh tanggung jawab” di dalam UUPT tidak memiliki jabaran lebih jauh mengenai maksud atau kandungannya oleh karena itu maka perlu dilakukan kajian mengenai konsep tersebut, kajiannya dapat dilakukan dengan menggali pustaka hukum dan putusan-putusan pengadilan mengenai prinsip yang serupa yang dianut negara - negara lain.

  Karena itu yurisprudensi Indonesia belum menampilkan doktrin mengenai apa yang dimaksudkan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab yang dimaksud dalam UUPT tersebut. Dinegara – negara yang menganut common low system acuan yang dipakai adalah “standard of care” atau “standart kehati-hatian”. Apabila direksi telah bersikap dan bertindak melanggar standard of care maka direksi tersebut dianggap telah melanggar duty of carenya.

  Hukum perseroan Amerika menganut pula azas duty of care pelanggaran terhadap duty of care sering disebut sebagai negligence dan berdasarkan itu diamerika 17 Ibid , hal 425 juga dianut doktrin lain yang disebut business judgement rule dimana keduanya bekerja sama-sama sekalipun memang dirasakan sering berbenturan satu sama lain.

  Menurut business judgement rule pertimbangan bisnis (business judgement) dari para anggota direksi tidak akan ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh para pemegang saham, dan anggota direksi tersebut tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena diambilnya suatu pertimbangan bisnis (Business judgement rule) oleh anggota direksi yang bersangkutan, sekalipun apabila pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Seperti kecurangan (Fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conlict of

  interest

  ), Melanggar hukum (Illegality), kelalaian berat (gros negligence) dari anggota direksi yang bersangkutan.

  Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, Pasal 99 ayat 1, 2 dan 3 juga menegaskan bahwa :

  1. Pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

  2. Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa sebagai mana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang di tetapkan oleh menteri.

  3. Pedoman umum dan tata cara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan transparan.

  Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif BUMN perlu menumbuhkan budaya profesionalisme melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik

  (good governance)

  agar efisiensi dan produktivitasnya dapat lebih meningkat BUMN harus melakukan langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal, Sedangkan restrukturisasi perusahaan meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan.

  Untuk pengaturan pedoman pengadaan barang dan jasa pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara telah diatur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 45 tahun 2005 Tentang pendirian, pengurusan, pengawasan, dan pembubaran BUMN pada pasal 99 dan secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-5/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa ”pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan

  barang dan jasa yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara yang pembiayaannya tidak menggunakan dana langsung dari APBN/APBD”

  . Dalam Pasal 2 juga disebutkan tentang prinsip-prinsip umum pengadaan barang dan jasa adalah efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar, serta akuntabel, dan juga disamping peraturan tersebut juga ada diatur dalam Undang-Undang Badan usaha milik Negara nomor 19 tahun 2003 serta dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.

  Dengan terbitnya Undang-Undang BUMN Tahun 2003 diharapkan agar BUMN dapat dikelola secara profesional. Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang BUMN dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan BUMN adalah :

  “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”.

  Secara normatif dapat disebutkan bahwa BUMN adalah suatu badan usaha oleh karenanya berbagai undang – undang atau peraturan yang terkait dengan badan usaha akan berlaku juga untuk BUMN. Badan Usaha Milik Negara dalam menjalankan kegiatannya juga mengacu pada ketentuan intern yang ditetapkan ketika BUMN didirikan yakni Anggaran Dasar yang pada umumnya menjelaskan tentang modal, pengelolaan dan penggunaan dana hubungan kerja antara pemerintah dan pihak swasta dalam bentuk kerjasama proses pengadaan barang dan jasa selalu menggunakan dan atau membuat sutau perjanjian kerjasama, yang di dalamnya tertuang hak dan kewajiban antara para pihak.

  Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara adalah salah satu perusahaan milik Negara yang sumber keuangannya berasal dari keuangan Negara. Maka oleh sebab itu dalam sistem pengeloaan keuangannya harus dilakukan dengan sistem terbuka dan dapat di pertanggungjawabkan secara hukum. Biasanya pemerintah dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam melakukan perjanjian kerjasama tersebut membuat berupa kontrak kerja sebagai mana diatur dalam KUHPerdata, khususnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat KUHPerdata memberikan kebebasan kepada pihak untuk:

  1. Membuat atau tidak membuat perjanjian

  2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun

  3. Dan menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya

  18 4. Serta menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

  Dalam sistem hukum kontrak dikenal 5 azas penting dalam melakukan kontrak yakni: azas kebebasan berkontrak, azas konsesulisme, azas pacta sunt

  servanda,

  azas I’tikad baik, azas kepribadian, dan sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system).

2. Konsepsi

  Dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup dan variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut :

  1. Prinsip kehati-hatian merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang di lakukan oleh Direksi dalam menjalankan tugas dan kewenangan perseroan harus lebih hati-hati, serta memiliki tanggung jawab penuh atas kepercayaan atau amanah yang diberikan melalui Rapat Umum Pemegang Saham untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingan dan tujuan perseroan, 18 artinya dengan kepercayaan tersebut apabila Direksi melakukan pelanggaran

  Salim H.S. Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan kontrak, Jakarta, Sinar Grafika,2009, hal 8. prinsip kehati-hatian tersebut maka segala kerugian yang alami oleh perusahan dapat menjadi tanggung jawab Direksi secara tanggungrenteng bahkan bertanggungjawab secara pribadi.

  2. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan.

  3. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan.

  4. Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa yang prosesnya di mulai dari perencanaan kebutuhan sampai di selesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa, meliputi barang dan jasa lainnya, pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi, termasuk pengadaan/pembelian tandar buah segar, karet yang di biayai dengan rapat kerja anggaran perusahaan (RKAP) dan dilaksanakan oleh penyedia barang dan jasa melalui prosedur dan ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku di perusahaan.

  5. Perusahaan Perseroan (Persero), adalah Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya di miliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.

  6. Fiduciary duty Direksi adalah suatu kepercayaan yang di berikan kepada Direksi untuk menjankan tuga dan kewenangan perusahaan, yang meliputi ketelitian, I’tikad baik, dan keterbukaan.

  7. Tanggungjawab Pribadi Direksi yaitu seorang anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan jika bersalah dalam menjalankan tugas dan lalai menjalankan tugasnya.

  8. Business Judgment Rule adalah suatu doktrin yang melindungi direksi atas setiap keputusan bisnis yang merupakan transaksi perseroan selama hal tersebut dilakukan dalam batas-batas kewenangan dengan penuh kehati-hatian dan itikad baik.

  9. Pedoman pengadaan barang dan jasa adalah suatu aturan secara teknis mengatur tentang proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan.

G. Metode Penelitian

  Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan itu dilandasi oleh metode

  19 keilmuan. 19 Menurut Jujun S. Suriasumantri ( 1978 ) metode keilmuan ini merupakan gabungan antara pendekatan rasional dan empiris.Metode survei adalah penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang didukung oleh data empiris. Pendekatan yuridis normative dilakukan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum dan Perundang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, sedangkan pendekatan empirisnya adalah melihat hukum dari dalam penerapannya pada pengadaan barang dan jasa di PT. Perkebunan Nusantara III (persero) termasuk pada perjanjian kerjasama antara PT. Perkebunan Nusantara III (persero) dengan rekanan.

  1. Jenis dan Sifat Penelitian

  Spesifikasi jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative, dimana fokus permasalahan penelitian adalah peraturan-peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Usaha Milik Negara serta doktrin-doktrin atau teori-teori yang mendukung argumentasi penelitian ini, khususnya prinsip kehati-hatian bagi seorang direksi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam sebuah perusahaan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan secara akurat dan sistematik gejala - gejala dan fenomena hukum terkait penerapan prinsip kehati-hatian dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara III (Persero) di Medan, tetapi juga menganalisis masalah-masalah yang sudah ditentukan.

  2. Sumber Data/Bahan Hukum

  Penelitian tesis ini mempergunakan data sekunder sebagai data utama dan didukung dengan data primer berupa wawancara kepada Kepala Bagian Manajemen Resiko, Kepala Bagian Satuan Pengawalan Internal PTPN III dan Kepala Bagian Pelelangan sebagai data pendukung analisis. Adapun bahan hukum primer, sekunder, serta tertier yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer terdiri dari : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang

  Badan Usaha milik Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, dan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Surat Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) nomor 3.11/SKPTS/03/2011 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).

  b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan dengan penelitian.

  c. Bahan hukum tertier adalah berupa kamus hukum, kamus ekonomi, kamus bahasa inggris dan artikel-artikel lainnya yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

  3. Teknik Pengumpulan Data

  Tehnik pengumpulan data sekunder (bahan hukum) yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research). Dimana tehnik ini dipergunakan untuk mendapatkan konsepsi teori dan ataupun doktrin, beberapa pendapat dan pemikiran yang memiliki landasan berfikir, sedangkan data primer sebagai data penunjang dikumpulkan dengan menggunakan tehnik wawancara dengan alat pengumpulan data berupa wawancara, dengan alat pengumpul data adalah pedoman wawancara (guide interview)

  4. Alat pengumpulan data

  Alat pengumpulan data sekunder menggunakan (bahan hukum) dengan menggunakan study dokumen di kantor direksi PTPN III sedangkan pengumpulan data primer dalam penelitian ini dipergunakan instrument pedoman wawancara (guide interview).

  Pedoman wawancara yang dilakukan adalah berhubungan tentang pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini yang dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan terhadap kantor Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara

  III (Persero) di Medan antara lain Kepala Bagian Manajemen Resiko, Kepala Bagian Satuan Pengawasan Internal, Kepala Bagian Pelelangan, dan termasuk beberapa rekanan serta perusahaan di lingkungan PTPN III (Persero) yang melakukan perjanjian kerja sama dalam proses pengadaan barang /jasa.

  5. Analisis Data

  Setelah data primer dan data sekunder terkumpul, kemudian diperiksa untuk mengetahui apakah informasi yang diperoleh benar-benar dapat dipercaya secara akurat (validitas). Data - data yang sifatnya kualitatif dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban seperti faktor yang menyebabkan adanya pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam menjalankan bisnis di perseroan terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Setelah data dipilah dan diolah, kemudian dianalisis serta ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan metode induktif dan deduktif. Analisis data secara logis berarti cara berfikir yang digunakan harus searah serta tetap dan tidak berubah dan tidak ada pertentangan didalamnya, sehingga kesimpulan yang ditarik bisa dipertanggung jawabkan secara rasional.

  Sistematis maksudnya setiap analisis saling berkaitan satu sama lain. Dengan metode induktif maksudnya dari data yang khusus ditarik kesimpulan umum setelah dihubungkan dengan study kepustakaan mengenai Prinsip kehati-hatian direksi dalam perjanjian kerja sama untuk proses pengadaan barang dan jasa selanjutnya bagaimana ketentuan UUPT dan peraturan lain yang berkaitan dengan perseroan terbatas.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Kloramfenikol - Penetapan Kadar Kloramfenikol Dalam Sediaan Kapsul Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

1 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Minyak Kayu Putih 2.1.1 Sistematika Tanaman - Penentuan Bobot Jenis Dan Indeks Bias Serta Kelarutan Dalam Etanol Dan Putaran Optik Minyak Kayu Putih (Melaleuca Leucadendron)

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krim - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 16

PENETAPAN KADAR HIDROKORTISON ASETAT DALAM SEDIAAN KRIM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) TUGAS AKHIR - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 13

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Air - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 17

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMAKAIAN KOAGULAN PAC DAN TAWAS DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR BAKU (SUNGAI BELAWAN) TUGAS AKHIR - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran NitratDan Nitrit Pada Air Sungai Deli Secara Spektrofotometri Visibel

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 16

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66