Deskripsi Struktur Dan Fungsi Musik Taganing Pada Repertoar Si Pitu Gondang Dalam Ensambel Gondang Sabangunan Yang Disajikan Oleh Maningar Sitorus

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA 2. 1. Letak Geografis Etnis Batak Toba berasal dari daerah pinggiran danau Toba hingga

  wilayah pegunungan ke arah tenggara, selatan dan barat danau Toba serta pulau Samosir. Daerah tersebut kini merupakan beberapa wilayah administrasi (kabupaten) di provinsi Sumatera Utara, yaitu kabupaten Tapanuli Utara, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Samosir, kabupaten Humbang Hasundutan, dan Tapanuli Tengah. Danau Toba terletak di antara gugusan pegunungan Bukit

Gambar 2.1 Daerah asal Suku Batak Barisan. Di sebelah Utara terdapat etnis Simalungun, Melayu, dan Karo. Di sebelah Selatan terdapat etnis Angkola dan Mandailing. Di sebelah Barat Laut terdapat etnis Pakpak.

  Berdasarkan letak geografisnya, wilayah yang didiami oleh etnis Batak terdiri atas:

  1. Wilayah pegunungan di sebelah Timur danau Toba disebut Uluan.

  2. Wilayah pegunungan di sebelah Tenggara danau Toba disebut Habinsaran meliputi Parsoburan.

  Wilayah dataran landai di sebelah Selatan danau Toba disebut Toba Holbung meliputi Balige, Laguboti, Sigumpar, Silaen dan Posea.

  4. Wilayah pegunungan di sebelah Timur Laut danau Toba disebut Humbang meliputi Siborong-borong, Dolok Sanggul, Muara, Bakara, dan Sibandang.

  5. Wilayah lembah di sebelah Selatan Humbang disebut Silindung meliputi Tarutung, Sipoholon, Sipahutar.

  6. Samosir dan Tele.

  7. Wilayah pinggiran danau Toba di sebelah Barat Laut disebut Silalahi na Bolak.

  8. Pesisir meliputi Barus dan Sibolga.

  2. 2. Tatanan Sosial Kemasyarakatan Batak Toba

   Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba tidak lepas dari istilah marga

  yang diturunkan dari garis keturunan marga ayah (patrilineal). Kelompok marga tertentu biasanya mendiami sebuah kampung yang disebut huta dan dipimpin oleh

  

Raja Huta. Kekerabatan masyarakat Batak Toba diatur dalam suatu tatanan sosial

2 Marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan

menurut garis keturunan (dari ayah atau ibu), yang mempunyai tanah sebagai sebagai milik

bersama di daerah asal atau tanah leluhur. (Situmeang 2007:32)

  

  kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu terdiri atas

  dongan tubu / dongan sabutuha yaitu kelompok semarga, hula-hula yaitu kelompok marga asal istri, dan boru yaitu kelompok marga asal suami.

  Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan silsilah. Seorang Batak harus mengetahui asal-usul marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap dapat menempatkan diri dengan baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

  Doangsa P.L. Situmeang mengatakan konsep dalihan na tolu telah (hak), sileanon (kewajiban), pangalaho (sikap dan perilaku), patik (hukum), ruhut (aturan), parture na (urutan-urutan), tording (batasan), uhum (perbuatan baik),

  ugari (wujud perbuatan baik), partuturan (sistem kekerabatan), tarombo (silsilah),

ulaon adat (acara adat), tonggo raja, ria raja, rapot (forum musyawarah), dan

  sebagainya. Dengan demikian terciptalah keteraturan dan ketertiban bermasyarakat. (2007:205) Dalam adat istiadat Batak Toba, pernikahan sesama marga dilarang dan

  

  dianggap tabu maka pernikahan antar marga (eksogami) merupakan perilaku yang lazim. Akibatnya, secara bersamaan konsep dalihan na tolu terbentuk.

  Dalihan na tolu juga mengatur sikap dan perilaku bermasyarakat. Konsep dalihan na tolu adalah manat mardongan tubu (menjaga hubungan terhadap dongan tubu),

  somba marhula-hula (hormat terhadap hula-hula), dan elek marboru (lemah lembut terhadap boru).

3 Dalihan artinya tungku, tolu artinya tiga. Dalihan na tolu adalah tungku yang terdiri dari tiga buah batu.

  4 Doangsa P.L. Situmeang menyebutkan dalam bukunya “Dalihan na Tolu: Sistem Kemasyarakatan Batak Toba”:2007, hukum marga menetapkan hukum Bongbong yaitu larangan menikah dengan kawan semarga.

  Ketiga unsur dalihan na tolu memiliki peran masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara adat. Dongan tubu merupakan teman berdiskusi dan turut bertanggungjawab atas jalannya suatu acara. Boru memiliki tanggung jawab dalam hal teknis di lapangan. Sedangkan acara adat tidak akan berjalan tanpa kehadiran dan restu dari hula-hula. Seorang masyarakat Batak Toba dapat menyandang fungsi sebagai dongan tubu, hula-hula, dan boru sekaligus dalam kehidupan sehari-hari. Namun dalam sebuah acara adat hanya satu fungsi yang dapat disandangnya. akan membentuk Horja yang dipimpin oleh seorang Raja Parjolo (raja terdepan) dan seorang Raja Partahi (raja perencana). Tingkatan wilayah yang lebih tinggi dari horja disebut Bius yang dipimpin oleh seorang Raja Bius atau Raja Doli.

  Onan (pasar tradisional) merupakan tempat yang sangat penting bagi

  perekonomian masyarakat. Hari onan berbeda pada setiap tempat. Contohnya hari onan di Dolok Sanggul dan Balige adalah hari Jumat, sedangkan di Bakkara hari Rabu, di Laguboti hari Senin, di Muara hari Selasa, dan seterusnya. Selain tempat jual beli, onan merupakan tempat pertemuan orang dari kampung yang berbeda.

  Pada jaman dulu onan merupakan pusat interaksi antar masyarakat dan pusat informasi. Onan juga merupakan tempat dalam menyelesaikan perselisihan, pertemuan raja-raja, pesta bius, dan sebagainya.

  2. 3. Sistem Mata Pencaharian Pada umumnya masyarakat Batak Toba hidup dari bertani dan berkebun.

  Di daerah Toba Holbung dan Silindung masih terhampar luas persawahan diantara huta yang satu dengan huta yang lain. Di daerah Habinsaran, Samosir, dan

  Humbang hasil kebun dan hasil hutan adalah mata pencaharian yang utama. Hasil ikan dari danau Toba juga dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran danau.

  Hasil kerajinan seperti ulos, mandar (sarung), dan karya seni seperti ukiran juga terdapat di Samosir dan beberapa tempat lainnya di Toba Holbung dan Silindung. Selain itu, masyarakat Batak Toba juga bekerja di pemerintahan dan swasta.

   Agama Dan Kepercayaan

  Kepercayaan kuno masyarakat Batak Toba meyakini Mulajadi na Bolon sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya. Nama Mulajadi na Bolon berdasar pada konsep pemikiran orang Batak bahwa segala sesuatu ada mulanya. Mulajadi na Bolon menciptakan Debata na Tolu ( dewa tritunggal), yaitu Batara

  

Guru sebagai penguasa benua bawah, Soripada sebagai penguasa benua tengah,

  dan Mangala Bulan sebagai penguasa benua atas. Ketiga unsur ini berkaitan dengan konsep Dalihan na Tolu. Batara Guru melambangkan kelompok Hula- hula, Soripada melambangkan kelompok Dongan Sabutuha, dan Mangala Bulan melambangkan kelompok Boru. (Situmeang 2007:216)

  Menurut tulisan Hutasoit, Mulajadi Na Bolon sebagai pencipta segalanya pada awalnya memiliki tiga telur yang masing-masing menetaskan dua anak sehingga berjumlah enam, yaitu: (1) Batara Guru; (2) Raja Odap-odap; (3)

  

Debata Sori; (4) Tuan Dihurmajati; (5) Bala Bulan; (6) Raja Padoha. Oleh

  karena itu, konsep Ketuhanan (Hadebataon) dalam masyarakat Batak Toba berjumlah tujuh.

  Warna khas Batak terdiri dari tiga warna yaitu hitam, merah, dan putih. Warna hitam melambangkan segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak terjangkau oleh akal manusia.Warna hitam (birong) juga melambangkan Mulajadi na Bolon yang disebut homi (tersembunyi) karena manusia tidak dapat melihat dan tidak terjangkau oleh akal manusia.Warna putih (bottar) merujuk kepada getah tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi tumbuhannya. Warna merah (rara) merujuk kepada warna darah manusia yang menghidupkan manusia.

  Tanpa darah, manusia tidak akan dapat hidup dan darah yang kotor akan Menurut sumber-sumber yang diperoleh, agama Kristen dan Islam masuk ke Tanah Batak pada abad 19. Agama Islam dibawa oleh kaum Paderi dari

  Minangkabau ke daerah Mandailing, Angkola, dan daerah pesisir sebelum datangnya missionaris Kristen. Oleh sebab itulah missionaris Kristen mengambil lokasi penginjilannya pada daerah yang belum dimasuki oleh agama Islam, yaitu daerah pedalaman. Agama Kristen masuk ke Tanah Batak yang dibawa oleh orang Eropa dan Amerika dimulai pada tahun 1820an dari daerah Sibolga, daerah yang sudah diduduki oleh Belanda. Perkembangan agama Kristen semakin pesat setelah kedatangan I.L. Nommensen pada tahun 1862. Rencana awal dimulai dari Sipirok sampai ke Barus. Kemudian misi penginjilan berkembang ke Silindung, Toba, hingga ke Samosir. Nommensen memusatkan penginjilan dengan membuka sekolah dan pusat pengobatan di Huta Dame hingga akhirnya dipindahkan ke Pearaja. Sampai saat ini Pearaja merupakan pusat administrasi Huria Kristen

5 Batak Protestan (HKBP).

  5 mayoritas masyarakat Batak Toba saat ini adalah anggota jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan).

  2. 5. Bahasa

  Bahasa yang dipakai dalam masyarakat Batak Toba adalah hata Batak (bahasa Batak). Tradisi penulisan di dalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13. Aksara Batak Toba terdiri dari 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf. Pada jaman dahulu aksara Batak hanya dipakai oleh datu (dukun). Aksara Batak sering digunakan untuk menuliskan berbagai mantra dan ilmu perdukunan, ilmu tentang ramuan obat, astrologi atau penanggalan, dan sebagainya. dan tulang kerbau. Lak lak dibentuk menjadi buku yang disebut pustaha. Sementara naskah pada bambu dibuat dari bambu yang bekulit halus yang disebut bulu suraton .

  2. 6. Kesenian (Musik dan Tari)

2.6.1 Seni Musik

  Dalam tradisi masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik, yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan atau disebut juga dengan gondang bolon terdiri dari satu set taganing (singel-headed braced drum-chime), sebuah sarune bolon (double reeds-oboe),

  

gordang (singel-headed braced drum), empat buah ogung (suspended-gongs);

ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan ogung doal, serta satu buah

hesek (idiophone). Semua perangkat ensambel ini disebut parhohas na ualu

  (delapan perkakas). Gondang hasapi terdiri dari alat musik hasapi ende (lute),

  

hasapi doal (lute), sarune etek (single reed) , hesek (idiophone), dan dalam

perkembangannya menggunakan alat musik taganing dan sulim (side blow flute).

  Pemain musik gondang disebut dengan pargonsi (baca:pargocci). Gondang sabangunan dan gondang hasapi digunakan sebagai bagian dari suatu upacara adat. Kegiatan memainkan musik dalam suatu upacara disebut dengan

  margondang.

  Selain gondang, masyarakat Batak Toba juga mengenal andung-andung dan andung. Andung-andung dan andung sebenarnya lebih mengarah kepada karya sastra karena penggunaan bahasa dan struktur pembentuk kalimatnya. Namun, dalam pelaksanaannya, keduanya memiliki unsur musik seperti melodi

   Menurut Sibarani (1999:84-85) , andung-andung merupakan prosa liris

  yang dikumandangkan untuk mengekspresikan perasaan sedih baik karena ditinggal kekasih, teman, anak, orangtua atau karena kesedihan lainnya.

  Lumbantoruan mengatakan bahwa andung-andung adalah nyanyian sendu yang merupakan ekspresi pribadi dengan menggunakan bahasa ratapan. Biasanya menceritakan tentang kesedihan atau penderitaan hidup (Lumbantoruan 2004:95).

  Siahaan menjelaskan bahwa andung merupakan sejenis sastra lisan yang berisi curahan perasaan untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi (Siahaan 1964:70). Bahasa yang dipakai dalam andung bukanlah bahasa sehari-hari karena merupakan ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari.

2.6.2 Seni Tari

  Secara umum seni tari di dalam kebudayaan etnis Batak Toba disebut dengan tor-tor. Istilah ini berkait erat dengan gerak, gestur, ekspresi, dan makna- 6

  dalam tulisan Nelson Lumbantoruan, “Pluralitas Musik Etnik-Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak, Dairi, Ankola, Karo, Simalungun”, 2004, Ben M. Pasaribu, dkk. makna yang dikomunikasikan dalam gerak berdasarkan konsep dalam tradisi budaya Batak Toba. Tor-tor merupakan ekspresi masyarakat Batak Toba yang disalurkan melalui gerakan tubuh sebagai “reaksi” terhadap gondang. Makna dari gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan-gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba 2004:64).