PT XY STUDI KELAYAKAN PENAMBAHAN 3 UNIT

PT “XY”

STUDI KELAYAKAN
PENAMBAHAN 3 UNI T KAPAL TUG & BARGE

DALAM KAJI AN ASPEK MARKETI NG

0

BAB I I
ASPEK PEMASARAN
2.1. Gambaran Makro Ekonomi I ndonesia
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian I ndonesia pada tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5 persen
dibanding tahun 2010. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga
konstan pada tahun 2011 mencapai Rp. 2.463,2 triliun, sedangkan pada
tahun 2010 dan 2009 masing-masing sebesar Rp. 2.313,8 triliun dan Rp.
2.178,9 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2011 naik
sebesar Rp. 990,8 triliun, yaitu dari Rp. 6.436,3 triliun pada tahun 2010
menjadi sebesar Rp. 7.427,1 triliun pada tahun 2011.
Selama tahun 2011, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
yang mencapai 10,7 persen, diikuti oleh Sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran 9,2 persen, Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan 6,8
persen, Sektor Jasa-Jasa dan Sektor Konstruksi masing-masing 6,7 persen,
Sektor I ndustri Pengolahan 6,2 persen, Sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih 4,8
persen, Sektor Pertanian 3,0 persen, dan Sektor Pertambangan dan
Penggalian 1,4 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2011
mencapai 6,9 persen yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara
keseluruhan yang besarnya 6,5 persen. Sektor I ndustri Pengolahan dan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran yang mengalami pertumbuhan
masing-masing sebesar 6,2 persen dan 9,2 persen memberikan sumbangan
terhadap sumber pertumbuhan terbesar terhadap total pertumbuhan PDB
yaitu masing-masing sebesar 1,6 persen. Selanjutnya diikuti oleh Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi yang memberikan peranan sebesar 1,0
persen.
Ekonomi I ndonesia pada triwulan I V-2011 yang digambarkan oleh PDB atas
dasar harga konstan 2000 turun sebesar 1,3 persen dibanding triwulan
sebelumnya (q-to-q). Penurunan tersebut mengikuti pola triwulanan yaitu
biasanya mengalami kontraksi pada triwulan I V setelah terjadi kenaikan pada
triwulan I I I . Kontraksi pada triwulan I V-2011 ini disebabkan karena Sektor

Pertanian mengalami penurunan cukup signifikan sebesar 20,5 persen karena
siklus musiman dan Sektor Pertambangan dan Penggalian menurun sebesar
0,1 persen. Sedangkan sektor-sektor lainnya selama triwulan I V-2011
mengalami pertumbuhan positif yaitu: Sektor Konstruksi tumbuh 3,9 persen,
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi tumbuh 2,7 persen, Sektor Listrik, Gas,
1

dan Air Bersih tumbuh 2,2 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
tumbuh 1,9 persen, Sektor I ndustri Pengolahan tumbuh 1,4 persen, Sektor
Jasa-Jasa tumbuh 1,2 persen, dan Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa
Perusahaan tumbuh 1,0 persen.
Distribusi PDB menurut sektor ekonomi atau lapangan usaha atas dasar harga
berlaku menunjukkan peranan dan perubahan struktur ekonomi dari tahun ke
tahun. Tiga sektor utama yaitu Sektor I ndustri Pengolahan, Sektor Pertanian,
dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran mempunyai peranan sebesar
52,8 persen tahun 2011. Sektor I ndustri Pengolahan memberi kontribusi
sebesar 24,3 persen, Sektor Pertanian dan Sektor Perdagangan, Hotel, dan
Restoran mempunyai peranan masing-masing sebesar 14,7 persen dan 13,8
persen.
Dibandingkan dengan tahun 2010, pada tahun 2011 terjadi peningkatan

peranan pada beberapa sektor kecuali: Sektor Pertanian turun dari 15,3
persen menjadi 14,7 persen, Sektor I ndustri Pengolahan turun dari 24,8
persen menjadi 24,3 persen, dan Sektor Konstruksi turun dari 10,3 persen
menjadi 10,2 persen. Peranan Sektor Pertambangan dan Penggalian naik dari
11,1 persen menjadi 11,9 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
naik dari 13,7 persen menjadi 13,8 persen, Sektor
Jasa-Jasa naik dari 10,2 menjadi 10,5 persen. Sementara, Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi memiliki peranan yang sama tahun 2010 dan
2011. Selanjutnya jika dilihat secara total, peranan PDB tanpa migas naik dari
91,7 persen pada tahun 2009 menjadi 92,2 persen pada tahun 2010 dan
turun kembali tahun 2011 menjadi 91,5 persen.
PDB atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 7.427,1 triliun,
sebagian besar digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebesar Rp. 4.053,4
triliun. Komponen penggunaan lainnya meliputi pengeluaran untuk konsumsi
pemerintah sebesar Rp. 667,4 triliun, pembentukan modal tetap bruto atau
investasi fisik sebesar Rp. 2.378,3 triliun, perubahan inventori sebesar Rp.
55,6 triliun, transaksi ekspor sebesar Rp. 1.955,4 triliun, dan impor sebesar
Rp. 1.850,5 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2010, PDB atas dasar harga
berlaku meningkat dari Rp. 6.436,3 triliun menjadi Rp. 7.427,1 triliun.


2

Grafik 2-1. Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Sumber :

BPS

2.1.2. Tingkat I nflasi
Pada Januari 2012 terjadi inflasi sebesar 0,76 persen dengan I ndeks
Harga
Konsumen
(I HK) sebesar 130,90. Dari 66 kota I HK, 62 kota
mengalami inflasi dan 4 kota mengalami deflasi. I nflasi tertinggi terjadi di
Banjarmasin 2,92 persen dengan I HK 139,35 dan terendah terjadi di Banda
Aceh 0,02 persen dengan I HK 127,15. Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di
Sorong 0,38 persen dengan I HK 145,47 dan terendah terjadi di Manado 0,13
persen dengan I HK 125,94.
I nflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan
indeks pada kelompok bahan makanan 1,85 persen; kelompok makanan

jadi, minuman, rokok dan tembakau 0,65 persen; kelompok perumahan, air,
listrik, gas dan bahan bakar 0,54 persen; kelompok kesehatan 0,51 persen;
kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,15 persen dan kelompok
transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,23 persen. Sedangkan kelompok
sandang pada bulan ini mengalami deflasi sebesar 0,08 persen.
Laju inflasi tahun kalender (Januari) 2012 sebesar 0,76 persen dan laju inflasi
year on year (Januari 2012 terhadap Januari 2011) sebesar 3,65 persen.
Komponen inti pada Januari 2012 mengalami inflasi sebesar 0,44 persen,
laju inflasi komponen inti tahun kalender (Januari) 2012 sebesar 0,44 persen
dan laju inflasi komponen inti year on year (Januari 2012 terhadap Januari
2011) sebesar 4,29 persen.

3

Grafik 2-2. Perkembangan I nflasi

Sumber :

BPS


Besarnya inflasi pada bulan Januari 2012 untuk masing-masing kelompok
tersebut adalah: kelompok bahan makanan (1,85 persen), kelompok makanan
jadi, minuman, rokok, dan tembakau (0,65 persen), kelompok perumahan,
air, listrik, gas, dan bahan bakar (0,54 persen), kelompok sandang (-0,08
persen), kelompok kesehatan (0,51 persen), kelompok pendidikan, rekreasi,
dan olahraga (0,15 persen), dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa
keuangan (0,23 persen).

2.1.3. Perkembangan Suku Bunga
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank I ndonesia pada tanggal 9 Februari 2012
memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75% .
Keputusan ini diambil sebagai langkah lanjutan untuk memberikan dorongan
bagi pertumbuhan ekonomi I ndonesia di tengah menurunnya kinerja ekonomi
global, dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi dan stabilitas
nilai tukar Rupiah. Dengan keputusan BI Rate ini, koridor bawah dan atas
suku bunga operasi moneter Bank I ndonesia masing-masing menjadi 3,75%
untuk fasilitas simpanan o/ n (deposit facility rate) dan 6,75% untuk fasilitas
pinjaman o/ n (lending facility rate). Ke depan, Bank I ndonesia akan terus
mewaspadai risiko memburuknya perekonomian global dan dampak kebijakan
Pemerintah di bidang energi, dan akan terus memperkuat bauran kebijakan

moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah.
Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam
pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi
pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5% ± 1% pada tahun 2012 dan 2013.

4

Grafik 2.3. Tingkat Suku Bunga

Sumber :

Bank I ndonesia

2.1.4. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Nilai tukar Rupiah sempat mengalami tekanan sebagai akibat dari aliran modal
keluar. Rupiah mengalami pelemahan disertai volatilitas yang sedikit
meningkat, dipicu antara lain oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap
meningkatnya tekanan inflasi. Nilai tukar Rupiah pada bulan Januari 2011
melemah rata-rata 0,1% menjadi Rp.. 9.034 per USD. Namun Bak I ndonesia

menyakini bahwa aliran modal asing yang keluar dan pelemahan Rupiah
tersebut hanya bersifat sementara dikarenakan factor fundamental ekonomi
I ndonesia yang tetap kuat.
Pada tanggal 30 Januari 2012, Rupiah diperdagangkan pada level Rp. 9.045,untuk US $1,00.
Grafik 2- 4. Kurs Rupiah Terhadap USD

5

2.1.5. Perkembangan I nvestasi
Jumlah I nvestasi PMDN pada tahun 2011 mencapai Rp. 76.000,70 miliar
dengan jumlah proyek sebanyak 1.476 yang didominasi oleh sektor sekunder
dengan andil sebesar 51% (784 proyek dengan nilai investasi Rp. 39.048,00
miliar). I nvestasi dalam sektor sekunder ini didominasi oleh investasi industri
makanan, disusul oleh industri mineral non logam kemudian industri logam,
mesin & elektronik disusul oleh industri kertas dan percetakan. Kondisi ini
tidak berubah dari tahun 2010 sebelumnya, dimana sektor ini menyumbang
sampai 42% dari total investasi PMDN dengan jumlah proyek sebanyak 429
proyek senilai Rp. 26.612,60 miliar.

Grafik 2.5. Perkembangan I nvestasi PMDN 2010-2011


Sumber :

BKPM

Konstribusi masing-masing subsektor dalam sektor sekunder tahun 2010,
tertinggi didominasi oleh industri makanan yang memberi andil sebesar 64%
disusul oleh industri kimia dan farmasi 13% , kemudian industri mineral non
logam 9% dan industri percetakan & kertas 4% . Sisanya tersebar dalam
industri lainnya dalam sektor sekunder yang memberikan andil secara merata.
Sektor yang memberikan konstribusi terbesar kedua (27% ) dalam investasi
PMDN tahun 2011 adalah sektor tersier mencakup Listrik, Gas & Air,
konstruksi, perdagangan & reparasi, hotel & restoran, transportasi, gudang &
komunikasi, perumahan, kawasan industri dan lainnya. Dalam sektor ini
subsektor LGA memberikan konstribusi cukup besar disusul sektor
transportasi, gudang & komunikasi kemudian jasa lainnya. Sedangkan pada
tahun 2010 sektor tersier memberikan konstribusi sebesar 38% . Sub sektor
industri transportasi, gudang & komunikasi memberikan andil sebesar 60%
disusul oleh LGA 22% dan jasa lainnya 15% dan sisanya menyebar secara
merata pada beberapa subsektor lainnya.

Sedikit berbeda dengan investasi PMDN, investasi PMA pada tahun 2011
banyak tertanam dalam sektor tersier yang memberi konstribusi sebesar 40%
senilai US$ 7.824,9 Juta. I ndustri yang banyak diminati oleh PMA dalam
6

sektor ini pada tahun 2011 adalah bidang transportasi, gudang & komunikasi
senilai US$ 3.865,60 juta (49% ) disusul oleh subsektor LGA US$ 1.864,7 juta
(24% ) kemudian perdagangan & reparasi US$ 821 juta (10% ) dan sisanya
tersebar pada beberapa bidang usaha alainnya.

Grafik 2.6. Perkembangan I nvestasi PMA 2010-2011

S
u
m
b
e
r
:


Sumber : BKPM
Perkembangan nilai investasi PMA pada tahun 2010 sebelumnya mencapai
US$ 16.214,8 juta (3.081 proyek) artinya pada tahun 2011 investasi PMA
mengalami peningkatan sebesar 20% . Sektor yang banyak diminati oleh
kalangan PMA pada tahun 2010 adalah sektor tersier yang memberi
konstribusi sebesar 60% dengan nilai investasi US$ 9.815,3 juta. Dalam
sektor ini yang banyak diminati oleh PMA adalah subsektor transportasi,
gudang & komunikasi disusul LGA dan perumahan & kawasan industri dan
sisanya tersebar pada beberapa bidang usaha lainnya.

2.2.

Gambaran Umum Pelayaran Nasional
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir secara bertahap telah terjadi
perubahan penggunaan armada pelayaran asing ke pelayaran domestik untuk
mengangkut berbagai komoditi di dalam negeri, tetapi industri pelayaran
didalam negeri, seperti yang disampaikan Ketua I ndonesia Ship Owners
Association (I NSA), masih sulit bersaing dengan pelayaran asing karena
keterbatasan jumlah kapal serta kondisi kapal yang ada sebagian besar
adalah kapal tua.
Penambahan jumlah kapal nasional sebagian merupakan pengalihan bendera
kapal-kapal milik pelayaran nasional yang sebelumnya berbendera asing,
sehingga penambahan kapal-kapal baru relatif sangat sedikit.
Masih sulitnya penambahan kapal baru oleh galangan kapal I ndonesia karena
pihak perbankan masih belum sepenuhnya mendukung pembiayaan

7

pembangunan kapal. Selain itu banyaknya biaya pajak yang harus
ditanggung untuk pembuatan kapal tersebut, membuat masih tingginya biaya
pembuatan kapal di I ndonesia. Kondisi ini membuat beberapa perusahaan
pelayaran nasional membangun kapalnya di luar negeri, karena dianggap
lebih murah biayanya dibanding membangun di dalam negeri.
Seiring dengan meningkatnya ekspor dan beragamnya barang yang dikirim
menyebabkan kebutuhan ruang kapal semakin besar. Dan untuk memenuhi
kebutuhan hanya bisa dilakukan oleh armada asing. Saat ini, perusahaan
pelayaran nasional hanya mampu menyerap lima sampai enam persen
pangsa angkutan laut, baik barang impor/ bongkar atau barang ekspor
angkut, dan sisanya diambil oleh perusahaan pelayaran asing yang dengan
leluasanya keluar masuk perairan nasional.
Penerapan azas cabotage telah berhasil memberikan hasil yang signifikan
dalam pemberdayaan industri pelayaran nasional sesuai dengan amanat
I npres No. 5 tahun 2005 yang diperkuat dengan UU No.17 tahun 2008
tentang Pelayaran. Hasil tersebut ditunjukkan dengan telah diselesaikannya
beberapa regulasi yang sesuai dengan pelaksanaan I npres No. 5 tahun 2005
diantaranya adalah Peraturan Presiden No.44 Tahun 2005 tanggal 8 Juli 2005
tentang pengesahan I nternational Convention on Maritime Liens and
Mortgages, 1993 (Konvensi I nternasional tentang Piutang Maritim dan
Mortgage, 1993), 7 Peraturan Menteri Perhubungan, 2 Peraturan Bersama
Menteri Perhubungan, dan Menteri Perdagangan, 1 Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral, dan 1 Peraturan Menteri Perindustrian.
Untuk jumlah armada dan kapasitas armada niaga nasional setelah
pelaksanaan I npres No. 5 Tahun 2005, telah terjadi peningkatan sebesar
110,8% yaitu dari 6.041 kapal dengan tonase 5,67 juta GT (pada 31 Maret
2005) menjadi 9.309 kapal (pada Maret 2010). Sedangkan untuk pangsa
muatan armada nasional, secara umum semua 13 komoditi telah berhasil
diangkut oleh kapal-kapal berbendera I ndonesia. Peningkatan pangsa muatan
armada niaga nasional untuk angkutan laut dalam negeri dari 55,5% (tahun
2005) menjadi 90,2% (tahun 2009) dan untuk angkutan laut luar negeri dari
5% (tahun 2005) menjadi 9% (tahun 2009).
Untuk memperbesar porsinya dalam mengangkut muatan armada nasional
mencoba menurunkan tarif angkutannya. Hal ini memungkinkan karena
pemerintah memang tidak mengatur tarif angkutan laut untuk barang.
Namun karena kapasitas angkutnya kecil, armada nasional sulit mendapat
muatan ekspor/ impor, karena dipandang tidak efisien dan biayanya lebih
mahal.

8

Akhirnya armada nasional cenderung menjadi angkutan feeder bagi muatan
ekspor/ impor, yaitu angkutan yang melayani rute dari pelabuhan-pelabuhan
di dalam negeri ke Singapura yang merupakan pelabuhan transhipment. Di
pelabuhan ini, muatan dialihkan ke kapal perusahaan pelayaran nasional
yang melayani angkutan feeder ke negara tujuan. Perusahaan pelayaran
nasional yang melayani angkutan feeder ke Singapura diantaranya adalah PT.
Djakarta Lloyd, PT. Trikora Lloyd dan PT. Samudera I ndonesia.
Upaya lainnya yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan pelayaran
nasional untuk menembus dominasi armada pelayaran asing adalah dilakukan
kerjasama antar pemerintah I ndonesia dengan negara lain di bidang
pelayaran antara lain dengan Vietnam dan Cina. Dengan kerjasama tersebut
kapal-kapal dari masing-masing negara mendapat perlakuan sama. Barang
ekspor/ impor dari kedua negara harus diangkut seimbang oleh kapal kedua
negara. Namun kerjasama ini belum banyak dilakukan.
Berkembangnya sistem kontainerisasi dalam angkutan laut di dunia beberapa
tahun belakangan ini menjadi penyebab munculnya sistem transportasi antar
moda. Sistem transportasi antar moda adalah sebuah sistem pengangkutan
barang yang menggunakan sekurang-kurangnya dua jenis sarana angkutan
berdasarkan kontrak angkutan multimoda. Barang dari suatu tempat di
negara tertentu dipindahkan ke suatu tempat penyerahan barang yang telah
ditentukan di negara lain, dimana tanggung jawab atas barang yang telah
ditentukan di negara lain, dimana tanggung jawab atas barang tersebut
diambil alih penyelenggara jasa angkutan multimoda.
Saat ini angkutan barang dari ke I ndonesia sebagian sudah menggunakan
kontainer. Hal ini menunjukkan I ndonesia sudah mengarah ke sistem
transportasi antar moda, meskipun sistem ini belum dilaksanakan secara
penuh. Perwujudan transportasi antar moda dianggap sebagai salah satu
langkah penting untuk meningkatkan daya saing dan pangsa pasar komoditi
ekspor I ndonesia.
Pengembangan pelayaran nasional memang terkait pada banyak hal sehingga
sulit dilakukan. Namun untuk bisa mengikuti perkembangan pola pelayaran
dan distribusi internasional, I ndonesia perlu segera membenahi bidangbidang yang menyangkut pelayaran seperti perizinan, pola trayek, pajak,
pelabuhan dan sebagainya.

9

2.3.

Perkembangan I ndustri Transportasi Laut
Perdagangan internasional merupakan salah satu pendorong pertumbuhan
ekonomi yang dapat mempercepat perkembangan perdagangan suatu
negara. Perkembangan perdagangan akan sangat tergantung pada
dukungan transportasi sebagai sarana distribusi barang maupun mobilitas
pelaku perdagangan. Salah satu sarana trasnportasi paling efisien dalam
perdagangan internasional saat ini adalah angkutan laut yang merupakan
sarana angkutan massal dengan kemampuan jangkauan jarak jauh.
Sehingga kemajuan dibidang angkutan laut akan berperanan besar dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Hampir dua pertiga luas wilayah I ndonesia adalah lautan, dengan
memperhatikan kondisi yang ada jelas bahwa sarana angkutan laut
merupakan sarana transportasi sangat vital di I ndonesia.
Pembangunan sarana transportasi baik darat maupun laut merupakan hal
pokok guna mendorong pembangunan ekonomi nasional secara merata.
Sarana transportasi dimanfaatkan untuk melayani berbagai kegiatan
perekonomian baik untuk perdagangan maupun untuk transportasi
penumpang. Perbandingan permintaan angkutan laut dengan sarana
angkutan laut yang ada masih sangat kurang, terutama bagi pulau-pulau
yang kegiatan perekonomiannya masih rendah.

2.3.1. Perusahaan Angkutan Laut
Secara garis besar, perusahaan angkutan laut nasional dikelompokkan
menjadi pelayaran dalam negeri dan pelayaran luar negeri untuk eksporimpor. Perusahaan pelayaran untuk angkutan dalam negeri terdiri atas
pelayaran antar pulau, pelayaran lokal, pelayaran perintis dan pelayaran
rakyat. Selain itu terdapat perusahaan non pelayaran (pelayaran khusus),
yaitu yang hanya mengangkut keperluan dan hasil industri sendiri, seperti
yang dioperasikan oleh industri-industri pupuk, tepung terigu,
pertambangan, semen dan kayu.
Sedangkan pelayaran luar negeri adalah perusahaan/ usaha yang
melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari luar negeri yang dilakukan
secara tetap dan teratur dan atau dengan pelayanan tidak tetap dan tidak
teratur dengan menggunakan semua jenis kapal. Pelayaran luar negeri
hanya melayani angkutan barang saja. Angkutan barang luar negeri
dilakukan oleh pelayaran samudera dan pelayaran khusus luar negeri.

10

Armada pelayaran nusantara adalah armada yang melayani angkutan
domestik dengan trayek panjang (seluruh I ndonesia). Armada pelayaran
lokal merupakan armada yang melayani angkutan domestik, trayeknya
terbatas pada daerah tertentu di I ndonesia. Kedua jenis pelayaran ini telah
disatukan dan digolongkan sebagai pelayaran domestik.

2.3.2. Jenis Kontrak Penyew aan Kapal
a. Time Charter
Yaitu sewa berdasarkan waktu, mencakup hal-hal sebagai berikut :



Menetapkan jangka waktu (jangka pendek selama 1 s/ d 2 tahun
dan jangka panjang selama 10 s/ d 12 tahun)



Menetapkan tarif (tetap)



Menyiapkan biaya pemeliharaan, suku cadang, dan operasional
yang termasuk dalam tarif sewa



Biaya bahan bakar dan jasa pelayanan ditanggung/ beban penyewa

b. Contracts of Affreightment ( COA)
Yaitu kontrak pengangkutan untuk rute tententu dengan jaminan
volume angkutan dan periode waktu tertentu, mencakup hal-hal
sebagai berikut :



Menyiapkan jenis dan ukuran kapal sesuai kontrak



Jangka waktu 1 sampai dengan 3 tahun



Menetapkan tempat dan tujuan barang yang diangkut



Menetapkan tarif sewa



Biaya ABK dan operasional kapal termasuk bahan bakar dan jasa
pelabuhan ditanggung/ beban pemilik kapal

c. Spot Charter
Yaitu penyewaan pengangkutan untuk sekali pelayaran, mencakup halhal sebagai berikut :



Berdasar tarif sewa di pasar spot



Membayar biaya sewa



Biaya ABK dan operasional kapal termasuk bahan bakar dan jasa
pelabuhan ditanggung/ beban pemilik kapal

11

Pada umumnya pemilik kapal lebih memilih menyewakan kapalnya dengan
kontrak tetap berdasarkan time charter dan COA, karena dalam jangka
pendek biaya dan pendapatan dapat dikelola dan diprediksi.

2.3.3. Perkembangan Perusahaan Pelayaran Angkutan Laut
Selama tahun 2005-2009, jumlah perusahaan pelayaran di I ndonesia
cenderung meningkat. Menurut catatan Ditjen Perhubungan Laut, pada
tahun 2005 terdapat 2.071 perusahaan pelayaran, dan pada tahun 2009
meningkat menjadi 2.731 perusahaan.
Dari jumlah perusahaan pelayaran yang ada tersebut, tidak semuanya
memiliki kapal sendiri melainkan sewa/ charter dari perusahaan lain. Ada
pula perusahaan pelayaran yang hanya berfungsi sebagai agen pelayaran
asing. Dengan masih banyaknya perusahaan pelayaran yang berfungsi
sebagai agen dan hanya memiliki kapal charter ini sebenarnya pemerintah
telah menyiapkan Keputusan Menteri No. 33 tahun 2001 tentang
perusahaan pelayaran yang boleh mengoperasikan kapal adalah
perusahaan yang memiliki kapal. Bagi perusahaan yang tidak memiliki
kapal dilarang menyelenggarakan angkutan laut dan kegiatan usahanya
hanya dibatasi sebagai keagenan.
Perusahaan Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran 2005 – 2009
Uraian

2005

2006

2007

2008

2009

Pelayaran Nasional

1.269

1.380

1.432

1.620

1.754

Pelayaran Rakyat

485

507

560

583

595

Non Pelayaran

317

326

334

367

382

Jumlah

2.071

2.213

2.326

2.570

2.731

Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla

Meningkatnya jumlah perusahaan pelayaran dalam negeri di I ndonesia
tidak terlepas dari peningkatan kegiatan ekspor dan juga kebijakan
Pemerintah untuk mendukung jasa angkutan laut seperti diterapkannya
azas cabotage untuk 13 jenis komoditas utama sejak tahun 2005.
Secara umum perkembangan perusahaan pelayaran pengangkut
komoditas minyak dan gas (migas) serta batubara masih prospektif,
karena I ndonesia sebagai basis produksi komoditas pertambangan dan
peraturan asas cabotage akan menguntungkan perusahaan pelayaran
dalam negeri.

2.3.4. Perusahaan Pelayaran Menurut Propinsi

12

Perusahaan pelayaran nasional tersebar di seluruh propinsi di I ndonesia,
didominasi propinsi DKI Jakarta, yang diikuti Jawa Timur, Riau, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Selatan.
Selama 2005 - 2009, jumlah perusahaan pelayaran di propinsi DKI Jakarta
meningkat dari 612 perusahaan tahun 2005 menjadi 757 perusahaan atau
43% dari total perusahaan pelayaran pada tahun 2009. Dominannya
perusahaan pelayaran di DKI Jakarta erat kaitannya dengan pusat
kegiatan bisnis yang menggunakan pelayaran baik untuk jalur domestik
maupun ekspor-impor melalui pelabuhan Tanjung Priok.
Sementara itu untuk muatan angkutan laut dipropinsi Jawa Timur
didistribusikan melalui pelabuhan Tanjung Perak. Sedangkan di propinsi
Riau, terdapat beberapa pelabuhan yang digunakan untuk transportasi
laut.
Jumlah Perusahaan Pelayaran Menurut Propinsi
Propinsi
2005
2006
2007
2008

Nangroe Aceh D.
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Ri au
Jambi
Bengkulu
Bangka/ Belitung
Sumatera Selatan
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kal. Tengah
Kal. Selatan
Kal. Timur
Sul. Utara
Gorontalo
Sul. Tengah
Sul. Tenggara
Sul. Selatan
Maluku Utara
Maluku

2009

11

9

10

13

13

43
126
12
2

43
128
14
1

45
133
14
1

55
145
19
2

63
178
19
2

2

4

4

4

4

28
5
2
612
6
10
145
9
2
37
2
35
87
18
1
7
6
20

25
5
4
662
8
11
170
9
2
41
2
41
106
20
1
7
7
20

27
5
4
688
8
11
177
9
2
42
2
41
109
22
1
7
7
21

35
9
7
712
10
17
204
16
4
47
4
54
115
33
2
9
13
38

35
9
7
757
10
17
233
16
4
51
4
54
115
35
2
9
13
45

6

9

9

12

12

17

12

14

19

22

13

18
19
19
22
Papua
1.269
1.380
1.432
1.620
Jumlah
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla

25
1.754

Sama halnya dengan perusahaan pelayaran nasional, sebagian besar
perusahaan non pelayaran berada dipropinsi DKI Jakarta. Banyaknya
perusahaan non pelayaran di propinsi DKI Jakarta karena sebagian besar
industri pemakainya berada di wilayah Jabotabek, seperti industri semen,
kimia dll.
Sedangkan perusahaan pelayaran rakyat sebagian besar berada dipropinsi
Riau dan Riau Kepulauan. Hal ini terkait dengan banyaknya jalur laut yang
digunakan untuk angkutan di propinsi tersebut karena propinsi tersebut
memiliki banyak pulau.

2.3.5. Perkembangan Kapasitas Armada Pelayaran
Sejalan dengan meningkatnya jumlah perusahaan pelayaran, jumlah
armada yang terdaftar di I ndonesia juga bertambah. Padahal sebelumnya
kapasitas armada sempat merosot akibat diberlakukannya kebijakan
pembesituaan ( scrapping) terhadap kapal tua yang berusia di atas 25
tahun dan kemudian terjadi krisis moneter yang mengakibatkan banyak
perusahaan pelayaran bangkrut. Namun semenjak tahun 2003 armada
kapal mulai meningkat kembali.
Pada tahun 2005 jumlah armada nasional sebanyak 6.012 unit kapal dan
meningkat menjadi 9.164 unit kapal pada tahun 2009. Dari jumlah armada
nasional pada tahun 2009 tersebut, sebanyak 5.054 unit kapal merupakan
armada antar pulau. Sementara jumlah kapal non pelayaran mencapai
2.759 unit, kapal pelayaran rakyat & perintis sebanyak 1.351 unit.
Perkembangan Armada Angkutan Laut Menurut Jenis Pelayaran
(Satuan

Unit

Kapal)

Uraian

2005

2006

2007

2008

2009

Pelayaran (Angkutan Laut)

3.167

3.597

3.950

4.578

5.054

Pelayaran Rakyat

1.376

1.232

1.279

1.287

1.293

Perintis
Non Pelayaran (A.L Khusus)
Jumlah

52

52

53

56

58

1.417

1.547

1.872

2.244

2.759

6.012

6.428

7.154

8.165

9.164

Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla

Adanya perkembangan pada pelayaran nasional dari implementasi
kebijakan I npres nomor 5 tahun 2005 ( asas cabotage) tentang
pemberdayaan industri pelayaran nasional merupakan suatu yang sangat

14

positif, dimana sebagian besar merupakan pengalihan bendera kapal milik
perusahaan pelayaran nasional dari bendera asing ke bendera I ndonesia
serta pembangunan kapal baru dan pengadaan kapal bekas dari luar
negeri.
Selain armada pelayaran nasional, industri angkutan laut di I ndonesia
sebagian masih tergantung kepada armada milik asing baik berupa kapal
charter maupun berupa keagenan. Dalam periode 2005 - 2009 jumlah
kapal asing yang disewa (charter) oleh perusahaan pelayaran dalam
negeri relatif menurun yaitu dari 1.955 unit tahun 2005 menjadi tinggal
865 unit tahun 2009. Sedangkan jumlah keagenan kapal asing juga dari
6.520 unit pada tahun 2005 menjadi 6.510 unit tahun 2009.
Perkembangan Armada Angkutan Laut Menurut Kepemilikan
(Satuan
Kapal)

Uraian
Nasional

Unit

2005

2006

2007

2008

2009

6.012

6.428

7.154

8.165

9.164

Charter Asing

1.955

1.448

1.154

977

865

Keagenan Asing

6.520

6.594

6.540

6.616

6.510

14.487

14.470

14.848

15.758

16.539

Jumlah

Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla

Perkembangan Kapasitas Armada Niaga Nasional
Milik Perusahaan Angkutan Laut Nasional
( Pemegang SI UPAL) per Maret 2009
Jumlah Kapal
Persentase
Jenis Kapal
Maret
Maret
Maret
Maret
2005
2009
2005
2009
General Cargo

1.388

1.584

29,79%

23,35%

Container

107

155

2,30%

2,28%

Ro Ro

60

55

1,29%

0,81%

-

30

0,00%

0,44%

22

33

0,47%

0,49%

Ferry/ Penyeberangan
Bulk Carrier
Tanker

224

379

4,81%

5,59%

Barges

1.236

2.051

26,53%

30,23%

229

309

4,92%

4,55%

1.188

1.911

25,50%

28,17%

205

278

4,40%

4,10%

4.659

6.785

100,00%

100,00%

Passenger
Tugboat
Landing Craft

Total
Sumber : Ditjen Hubla

Perkembangan Kapasitas Armada Niaga Nasional
Milik Perusahaan Angkutan Laut Khusus
( Pemegang SI OPSUS) per Maret 2009

15

Jenis Kapal

Jumlah Kapal
Maret
Maret
2005
2009

Persentase
Maret
Maret
2005
2009

Fishing Vessel

874

1.042

63,24%

65,04%

Tugboat

169

178

12,23%

11,11%

Kapal Wisata

57

66

4,12%

4,12%

Bulk Carrier

24

24

1,74%

1,50%

Tanker

9

9

0,65%

0,56%

Landing Craft

9

9

0,65%

0,56%

Barges

212

213

15,34%

13,30%

Lainnya (Kapal Keruk, motor
Boat, Cargo, supply vessel)

28

61

2,03%

3,81%

1.382

1.602

100,00%

100,00%

Total
Sumber : Ditjen Hubla

Beberapa perusahaan pelayaran I ndonesia (diperkirakan sekitar 15% -20%
dari seluruhnya) memilih mendaftarkan kapalnya di luar negeri, terutama
di negara yang dikenal sebagai pemberi "bendera kemudahan" (FOC),
seperti Panama, Honduras, Liberia, atau Singapura. Kapal berbendera
asing itu kemudian masuk lagi ke I ndonesia sebagai kapal charter.
Beberapa perusahaan pelayaran yang memakai bendera kemudahan
antara lain PT. Berlian Laju Tanker, PT. Arpeni Pratama Ocean Line, PT.
Humpuss I ntermoda Transportasi, PT. Lumintu Sinar Perkasa dan PT.
Taruna Kusan Explosive.

2.3.6. Produksi Angkutan Laut
Volume muatan angkutan laut luar negeri dari I ndonesia cenderung
meningkat dalam beberapa tahun terakhir, karena didorong pertumbuhan
ekspor non-migas I ndonesia. Selain itu, karena meningkatnya penggunaan
peti kemas dan pengapalan dengan kapal-kapal besar melalui pelabuhan
Singapura yang dapat melayani kapal-kapal besar milik perusahaan
pelayaran utama.
Selama tahun 2005-2009, volume muatan angkutan laut luar negeri
meningkat rata-rata sebesar 2,83% per tahun, dari sebesar 493 juta ton
tahun 2005 menjadi sebesar 551 juta ton pada tahun 2009. Namun pangsa
muatan kapal nasional untuk angkutan laut luar negeri masih relatif
rendah. Misalnya pada tahun 2009, dari total angkutan luar negeri sebesar
551 juta ton, porsi angkutan laut nasional (termasuk kapal charter) hanya
sebesar 49 juta ton atau sebesar 9% dari total angkutan luar negeri.
Selebihnya sebesar 91% atau sebesar 502 juta ton diangkut oleh armada
kapal asing.

16

Perkembangan Produksi Angkutan Laut di I ndonesia
tahun 2005- 2009 ( Ton)
Uraian

2005

2006

2007

2008

2009

Perusahaan Nasional
Angk. Dalam Negeri

114.459.924

135.335.338

148.740.629

192.763.874

258.359.686

24.599.718

29.363.757

31.381.870

38.196.693

49.293.953

139.059.642

164.699.095

180.122.499

230.960.567

307.653.639

91.879.206

85.444.321

79.214.358

50.126.180

28.007.688

Angk. Luar Negeri

468.370.236

485.789.846

500.514.225

498.273.709

501.661.150

Sub Jumlah

560.249.442

571.234.167

579.728.583

548.399.889

529.668.838

Angk. Dalam Negeri

206.339.130

220.779.659

227.954.987

242.890.054

286.367.374

Angk. Luar Negeri
Sub Jumlah

Perusahaan Asing
Angk. Dalam Negeri

Angk Luar Negeri

Total

492.969.954

515.153.603

531.896.095

536.470.402

550.955.103

699.309.084

735.933.262

759.851.082

779.360.456

837.322.477

Sumber : Direktorat Lalu Lintas Angkutan Laut (Dit. LALA), Ditjen Hubla

Masalah yang dihadapi armada nasional dalam memperoleh muatan
internasional adalah penerapan trade term yang menguntungkan eksportir
maupun importir luar negeri. Hampir seluruh ekspor komoditi I ndonesia
dilakukan dengan menggunakan sistem FOB ( Free on Board) sementara
untuk impor memakai sistem CI F ( Cost, I nsurance, Freigt ). Baik untuk
pengiriman barang ekspor maupun impor, urusan kapal pengangkut,
termasuk biayanya, ditentukan sendiri oleh pihak luar negeri. Dengan kata
lain, dalam penentuan ekspor/ impor pihak I ndonesia nyaris tidak
beRp.eran.
Dominasi armada asing di jalur pelayaran ekspor/ impor belakangan telah
diperkuat oleh meluasnya keagenan di dalam negeri, melalui perusahaan
pelayaran nasional. Sebaliknya, perusahaan pelayaran nasional tidak
memperoleh peluang seperti itu terutama disebabkan masih adanya
proteksi di beberapa negara.
Untuk angkutan dalam negeri armada perusahaan nasional harus bersaing
ketat dengan perusahaan pelayaran asing walaupun setiap tahun
cenderung meningkat. Pada tahun 2005 dari total angkutan dalam negeri
sebesar 206 juta ton perusahaan pelayaran nasional hanya mampu meraih
sebesar 114 juta ton atau 55% dari total muatan dalam negeri. Sedangkan
pada tahun 2009 dari jumlah angkutan sebanyak 286 ton muatan, yang
sudah diangkut oleh perusahaan pelayaran Nasional mencapai 90% dan
sisanya diangkut oleh kapal milik perusahaan asing.
Komoditas yang paling banyak diangkut kapal dari perusahaan nasional
adalah kayu, pupuk, semen, produk-produk pertanian, perikanan, dan
kehutanan. Sedangkan untuk produk pertambangan seperti minyak,

17

batubara, emas dan timah masih diangkut oleh kapal-kapal dari perusahaan
asing.
Dengan penerapan asas Cabotage pelayaran nasional akan memperoleh
tambahan penerimaan dari kegiatan ekspor impor. Kebijakan tersebut juga
dapat menyerap tenaga kerja baru disektor perkapalan, industri galangan
kapal, serta industri hulu-hilir, sehinga akan membuka bagi persahaanperusahaan nasional.
Namun demikian pemberlakuan azas cabotage mengalami beberapa
kendala antara lain sebagai berikut :
a.

Dukungan perbankan maupun lembaga keuangan atau pembiayaan
lainnya dalam memberikan pinjaman atau kredit bagi pengembangan
armada niaga nasional, meskipun telah menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan namun dibanding dengan total pendanaan yang
dibutuhkan masih relatif terbatas dengan tingkat suku bunga, own
equity dan collateral yang relatif masih tinggi;

b.

I nsentif pajak yang masih kurang bagi pemberdayaan industri
pelayaran dan industri perkapalan nasional sebagaimana diamanatkan
dalam I npres No. 5 tahun 2005, antara lain: hasil penjualan kapal
( capital gain ) yang ditujukan untuk membeli kapal baru atau
peremajaan kapal masih dikenakan pajak penghasilan;

c.

Belum terwujudnya secara efektif kontrak jangka panjang antara
pemilik barang dengan perusahaan pelayaran nasional yang akan
digunakan sebagai jaminan mendapatkan pendanaan dari perbankan
dan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya;

d.

Pengurangan volume muatan dan freight kapal yang signifikan akibat
krisis ekonomi global;

e.

Perlunya sinkronisasi atau harmonisasi pengaturan mengenai batas
umur kapal impor yang akan berganti bendera dari bendera asing
menjadi bendera I ndonesia;

f.

Pemilik muatan tertentu menerapkan kondisi atau persyaratan kontrak
pengangkutan yang beRp.otensi menyulitkan atau menghambat
penggunaan kapal berbendera , antara lain :



Adanya ketentuan vetting system ( re-Survey ) yang diterapkan
perusahaan pemilik muatan batubara tertentu;



Adanya pembatasan usia kapal tidak lebih dari 25 (dua puluh lima)
tahun untuk kapal milik berbendera I ndonesia yang mengangkut
minyak di dalam negeri yang ditetapkan oleh BP MI GAS;

g. Beberapa persyaratan kontrak angkutan yang diterapkan pemilik
muatan membuat perbankan atau kreditur bagi pengembangan armada
niaga nasional enggan memberikan pinjaman, antara lain :

18

 Short-term contract membuat perbankan atau kreditur enggan
memberikan pinjaman;

 Adanya ketentuan “ Early Termination Clause” dalam kontrak dengan
KKKS membuat perbankan/ kreditur enggan memberikan pinjaman.
h. Kapal-kapal jenis tertentu belum dimiliki oleh perusahaan pelayaran
nasional (a.l. survey vessel, heavy lift vessel, pipelay Barges, MODU,
MODPU, Drilling ship, dll);

2.4.

Produksi, Penjualan dan Ekspor Batubara I ndonesia
Produksi batubara nasional dalam 5 tahun terakhir tumbuh pesat dari 153
juta ton tahun 2005 menjadi sebesar 275 juta ton tahun 2010. Volume
ekspor pada tahun 2010 mencapai 208 juta ton naik sebesar 188%
dibanding tahun 2005 yang sebesar 111 juta ton. Sejalan dengan ekspor,
penjualan batubara dalam negeri juga mengalami peningkatan dari 41 juta
ton tahun 2005 menjadi 67 juta ton tahun 2010.
Perkembangan Produksi, Penjualan
dan Ekspor Batubara I ndonesia ( Ton)
Tahun

Produksi

Ekspor

2005

152.722.738

110.789.700

98.178

41.350.736

2006

193.761.311

143.632.865

110.682

48.995.069

2007

216.946.699

163.000.000

67.533

61.470.000

2008

240.249.968

191.430.218

106.930

48.926.681

2009

256.181.000

198.366.000

68.804

55.790.000

2010

275.164.196

208.000.000

111.310

67.000.000

222.504.319

169.203.131

93.906

53.922.081

Rata- 2

I mpor

Dalam Negeri

Sumber : Departemen ESDM

Sesuai Keputusan Menteri ESDM nomor 1991 K/ 30/ MEM/ 2011 tentang
Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Batubara untuk kepentingan
dalam negeri tahun 2012, ditargetkan kebutuhan batubara untuk
kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/ DMO) bagi pemakai
batubara tahun 2012 adalah sebesar 82,07 juta ton atau naik 3,8%
dibandingkan DMO tahun 2011. Dari jumlah tersebut paling besar
dialokasikan untuk pembangkit listrik PLN sebesar 69% . Sedangkan
pembangkit swasta diperkirakan menggunakan batubara sebesar 10,76 juta
ton atau 13,11% .
Daftar Pemakai Batubara Untuk Kepentingan Dalam Negeri
Tahun 2012
No

I ndustri

Jumlah
( juta Ton)

%

GCV ( Kkal/ Kg)
Dalam GAR

19

1

2

3

PLTU
PT. PLN & PLTGB-PLTGBB

57,20

69,70%

4.000 – 5.200

I PP
PT. Freeport I ndonesia
PT. Newmont Nusa Tenggara
PT. Pusaka Jawa Palu Power

10,76
0,83
0,54
0,19

13,11%
1,01%
0,66%
0,23%

4.000 – 5.200
5.800
5.000
5.000

69,52

84,7%

0,13
0,19

0,16%
0,23%

0,32

0,39%

8,40
1,93
1,30
0,60

10,24%
2,35%
1,58%
0,73%

Metalurgi
PT. I nco
PT. Antam Tbk
Semen, Tekstil, Pupuk & Pulp
Semen
Tekstil dan Produksi Tekstil
Pupuk
Pulp

12,23
Total
82,07
Sumber : Kepmen ESDM No. 1991 K/ 30/ MEM/ 2011

5.900
6.600

4.100
5.000
4.200
4.500






6.300
6.500
5.400
5.500

14,90%
100%

Badan usaha pertambangan batubara diwajibkan untuk memenuhi
persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri
sebesar 24,72% dari perkiraan produksi batubara pada tahun 2012 sebesar
332 juta ton, yang berasal dari 63 perusahaan pertambangan yang wajib
memenuhi DMO terdiri atas 40 perusahaan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, 22 perusahaan izin usaha pertambangan batubara
dan 1 perusahaan BUMN.
PT. Kaltim Prima Coal (KPC) akan menjadi pemasok terbesar batubara
dalam negeri sebesar 12,68 juta ton dan PT. Adaro I ndonesia di peringkat
kedua sebesar 11,74 juta ton. Sedangkan perusahaan BUMN PT. Bukit Asam
diperkirakan akan memproduksi batubara untuk kebutuhan domestik
sebesar 3,2 juta ton.
Badan Usaha Pertambangan Yang diw ajibkan untuk melakukan
penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2012.
No.
Nama Perusahaan
Jumlah ( Ton)
A

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
PT. Kaltim Prima Coal
PT. Adaro I ndonesia
PT. Kideco Jaya Agung
PT. Arutmin I ndonesia
PT. “BC”
PT. Trubaindo Coal Mining
PT. Wahana Baratama Mining
Lain-lain (dibawah 1 juta ton)

Jumlah

12.686.389
11.741.944
8.033.961
6.591.191
5.515.290
1.606.763
1.130.934
19.741.659

67.048.131

20

B

BUMN
PT. Bukit Asam (Persero) Tbk

Jumlah
C

I zin Usaha Pertambangan
PT. Jembayan Muarabara
PT. Lamindo I nter Multikon
Lain-lain (dibawah 1 juta ton)

Jumlah
TOTAL

3.213.584

3.213.584
1.197.679
1.150.710
9.459.896

11.808.285
82.070.000

Sumber : Kepmen ESDM No. 1991 K/ 30/ MEM/ 2011

2.5. Peraturan Pemerintah tentang Angkutan Kapal Laut
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 1999 tentang angkutan di
perairan dijelaskan bahwa untuk mendapatkan izin usaha angkutan di
perairan syarat yang dipenuhi adalah harus memiliki kapal yang berbendera
I ndonesia yang laik laut dengan ukuran GT 175.
Bagi usaha angkutan laut yang telah mendapat izin harus melakukan
kegiatan operasional secara nyata dan terus menerus selambat-lambatnya 6
bulan setelah izin usaha diterbitkan dan melaporkan setiap tahun kepada
pemberi izin.
Penggunaan kapal asing atas dasar sewa juga diperbolehkan berdasarkan
PP tersebut. Penggunaan kapal sewa ini dilakukan apabila terjadi
kekurangan jumlah dan ruang kapal berbendera I ndonesia. Dan
penggunaan kapal asing ini harus dilaporkan kepada Menteri sebelum
dioperasikan oleh perusahaan angkutan nasional atau perusahaan angkutan
laut khusus.
Pemantauan terhadap kekurangan jumlah dan ruang kapal berbendera
I ndonesia dilakukan oleh Menteri dengan mengikut sertakan para asosiasi
pemilik kapal dan asosiasi pemilik muatan. Pemantauan yang dilakukan ini
harus memperhatikan kebutuhan ruang kapal bagi angkutan laut dalam
negeri, kemampuan perusahaan angkutan laut nasional dan perusahaan
angkutan laut khusus, dan pengembangan armada I ndonesia.
Selain itu kerjasama dengan perusahaan angkutan laut dalam bentuk usaha
patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut
nasional juga dimungkinkan. Perusahaan joint venture yang telah dibentuk
wajib memiliki kapal berbendera I ndonesia yang laik laut sekurangkurangnya satu unit dengan ukuran GT 5000.
Sementara itu, bagi perusahaan angkutan laut asing yang kapalnya
melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan I ndonesia yang

21

terbuka untuk perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan
angkutan laut nasional yang memenuhi persyaratan yang ditentukan
sebagai agen umum.
Perusahaan angkutan laut nasional yang dapat ditunjuk sebagai agen
umum harus memiliki kapal berbendera I ndonesia yang laik laut dengan
ukuran sekurang-kurangnya GT. 5000. Agen umum tidak diperkenankan
menggunakan ruangan kapal yang diageninya baik secara sebagian
maupun keseluruhan untuk kepentingan angkutan laut dalam negeri. Agen
umum hanya melakukan kegiatan menggunakan kepentingan kapal yang
diageninya selama berada di I ndonesia. Adapun kegiatan di agen umum
antara lain :



Mengurus jasa-jasa kepelabuhan yang diperlukan oleh kapal selama
berada di I ndonesia;



Menunjuk perusahaan bongkar muat untuk kepentingan principal;



Melakukan pembukuan muatan dan canvassing;



Memungut jasa angkutan (freight) atas perintah prinsipal;



Menerbitkan konosemen (bill of lading) untuk atau atas nama principal;



Menyelesaikan tagihan (disbursement) dan klaim jika ada;



Memberikan informasi yang diperlukan oleh principal.

Sedangkan mengenai kebijakan tarif ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama dengan pengguna jasa yang bersangkutan. Seperti misalnya
kesepakatan yang belum lama ini dilakuakn antara Organda dengan lima
asosiasi pemakai jasa angkutan masing-masing Gabungan Forwarder &
Ekspedisi I ndoensia (Gafeksi), I ndonesian National Shipowners Association
(I NSA), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat I ndonesia (APBMI ), Gabungan
I mportir Nasional I ndonesia (GI NSI ) dan Gabungan Pengusaha Eksportir
I ndonesia (GPEI ).

2.6. Profile Penyew a Armada Perusahaan
Penyewa armada perusahaan adalah PT Berau Energy, sebagai anak
perusahaan (yang 90% sahamnya dimiliki oleh) PT “BC” Energy tbk. Jadi PT
Berau Energy merupakan company sister dari PT “XY”.

PT. “BC” merupakan produsen batubara terbesar ke-5 di I ndonesia dari segi
jumlah produksi pada tahun 2009, menurut Laporan Tahunan Produksi

22

Batubara per tanggal Desember 2009 oleh KESDM. Perseroan terlibat dalam
bisnis penambangan batubara di permukaan (open-cut mining) dari wilayah
konsesinya di Kalimantan Timur, I ndonesia, dimana perseroan pada saat ini
mengoperasikan 3 tambang aktif di daerah Lati, Binungan, dan Sambarata,
seluruhnya berada di Propinsi Kalimantan Timur. Cadangan batubara yang
tersedia diperkirakan sebesar 346 juta ton per 31 Desember 2009, dimana
sebesar 146 juta ton merupakan proved reserves sedangkan 200 juta ton
merupakan probable reserve, menurut laporan dari Minarco-Mine Consult.
Wilayah konsesi batubara “BC” yang lebih kurang sebesar 118.400 hektar
yang juga terdiri dari 3 lokasi pencadangan yang lain, yaitu Binungan Blok
8-9-10, Gurimbang, dan Punan.

PT. “BC” memproduksi batubara “thermal” dari 3 lokasi pertambangan dan
memadukannya untuk menyesuaikan keseluruhan kualitas batubara yang
dimiliki. Perseroan memasarkan batubaranya dengan 4 label : “Mahoni B”,
“Agathis”, dan “Sungkai”, dengan kualitas kalori berkisar antara 5000-5600
kcal/ kg dan dengan kualitas abu yang sesuai untuk pembangkit batubara di
I ndonesia dan negara Asia lainnya.

PT. “BC” menggunakan beberapa kontraktor untuk masing-masing kegiatan
usahanya, meliputi pengoperasian kapal tongkang (barging), analisa kualitas
batubara,

proses

pemindahan

dari

kapal

satu

ke

kapal

lainnya

(transhipment). Setelah batubara ditambang, ditumbuk, dan ditimbun, para
kontraktor akan mengirim muatan dengan tongkang ke area pengapalan
(transhipment) di Muara Pantai di laut Sulawesi, yang terletak sekitar 50100 km dari pelabuhan-pelabuhan di Lati, Sauran, dan Sambrata.

23