Penetapan Pembagian Hak Pemajakan Berdas
MAKALAH KELOMPOK
PAJAK INTERNASIONAL
Tema
Kuliah Tanggal
Dosen
: Domisili Subjek Pajak, dan Sumber Penghasilan
: Selasa, 24 Februari 2015
: Prof. Gunadi, M.Sc., Ak., Ph.D.
Kelompok 3
Irfan Bukhari S
1206222654
Kartika Sukmatullahi
1206275622
Krisnanda Restu Fajar
1206222925
Nosi Shavira
1206275635
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI
2015
1
1. Gambaran Umum Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty
merupakan upaya dua negara untuk menghindarkan terjadinya pengenaan pajak
secara berganda. Menurut Surahmat (2005:32) pengenaan pajak mengandung dua
unsur, yaitu subjektif dan objektif, sehingga cakupan dari suatu P3B menyangkut
subjek pajak dan objek pajak.1
P3B adalah rekonsiliasi dua undang-undang pajak yang berbeda, yang
membagi hak pemajakan atas subjek dan objek pajak luar negeri. Rekonsiliasi ini
diperlukan untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda secara yuridis.
Artinya, dua negara mengadakan kesepakatan tentang saling membagi hak
pemajakan atas penghasilan penduduknya yang melakukan usaha di negara lain.
Dengan kata lain, yang diatur dalam suatu persetujuan perpajakan adalah
pemajakan yang menyangkut penduduk luar negeri (atau wajib pajak luar negeri).
Dalam hal ini kemudian muncul istilah negara domisili (resident country) dan
negara sumber (source country).2
Negara domisili adalah negara asal orang atau badan yang melakukan
usaha di negara lain sedangkan negara sumber adalah tempat timbulnya suatu
jenis penghasilan. Apabila penghasilan tersebut dikenai pajak di negara sumber
dan negara domisili, pengenaan pajak berganda akan terjadi. 3. Gunadi (2007)
menyatakan bahwa penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan
yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda
1
Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, PT Gramedia Pustaka
Utama, 2011, hal. 32.
2
Ibid.
3
Ibid, hal. 33.
Universitas Indonesia
2
internasional (PBI), baik yuridis maupun ekonomis.4
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas
global sumber daya, Manuel Pires dalam 5, 1989, menyebutkan beberapa tujuan
lain dari P3B. Beberapa tujuan tersebut antara lain: melindungi wajib pajak,
mendorong dan menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
memudahkan
ekspansi
perusahaan
maju,
membantu
mengurangi
dan
menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajakk meningkatkan kerja sama
aplikasi
ketentuan
domestik, perbaikan
pertukaran, harmonisasi
kriteria
pemajakan, mencegah diskriminasi, menumbuhsuburkan hubungan ekonomis
pencegahan, meningkatkan pencegahan penyalahgunaan perjanjian dan kerja
sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas administrasi pajak lainnya.
Lebih lanjut John Hutagaol menyatakan bahwa tujuan tax treaty banyak sekali
dua yang pertama yaitu penghindaran pajak berganda dan memerangi tax evasion
yang merupakan roh dari tax treaty sedangkan tujuan lainnya seperti cash flow
saving, dispute settlement kalau ada penerapan tax treaty yang tidak sesuai
termasuk exchange of information hanya tambahan saja. Pada intinya tax treaty
hanya mengatur hak pemajakan bagi pihak yang mengadakan perjanjian.P3B
lebih superior daripada undang-undang domestik. Dalam hal terjadi benturan
antara P3B dan undang-undang domestik, maka yang superior adalah ketentuan
dalam P3B. Misalnya dalam pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas
pembayaran dividen ke luar negeri terutang PPh pasal 26 sebesar 20% dari bruto.
Sedangkan dalam Pasal 10 P3B tarifnya adalah 10%.5
P3B tidak menciptakan pajak baru. Jika dalam pasal-pasal dalam P3B
4
5
Gunadi, Pajak Internasional, LP FEUI, 2007, hal. 183.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, Jakarta: Granit, 2005, hal. 172.
Universitas Indonesia
3
tercantum jenis pajak lain di luar yang telah mempunyai dasar hukum dalam
bentuk undang-undang di Indonesia, maka pajak tersebut tidak berlaku bagi
Indonesia. Jenis pajak itu hanya berlaku bagi negara treaty partner saja.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1)
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), (2) UN
(United Nations), atau (3) US (United States). Dengan berbagai variasi modifikasi
antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B nya pada model
OECD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN
dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara
mitra runding mendasarkan pada US Model.6
OECD Model adalah model yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa
Barat. Karena itu, prinsip yang terkandung di dalamnya mencerminkan
kepentingan negara-negara industri. Sebaliknya, UN Model adalah model yang
dikembangkan untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang,
sehingga prinsip revenue oriented yang dianut oleh kebanyakan berkembang jelas
terlihat dalam model tersebut.7
Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral yang dianut oleh
Amerika berbeda dari OECD dan UN Model. Amerika menganut ordinary credit
dengan batas kredit yang disebut general limitations. Jenis-jenis penghasilan
dimasukkan ke dalam baskets sesuai dengan klasifikasinya. Terdapat delapan
income baskets dan jika satu jenis penghasilan tidak dapat masuk dalam salah satu
baskets, penghasilan tersebut termasuk dalam kategori general limitations.8
6
Gunadi, op.cit, hal. 185.
7
Rachmanto Surahmat, op.cit, hal. 4
Ibid, hal. 267
8
Universitas Indonesia
4
Indonesia, sebagai negara berkembang ia menganut prinsip UN Model
dalam kebijakan di bidang persetujuan penghindaran pajak berganda. Namun
demikian hal itu tidak berarti bahwa Indonesia menggunakan semua ketentuan
dalam UN Model tersebut. Ia menganut kombinasi antara UN Model, OECD
Model dan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam undang- undang
perpajakan nasional.
2. Domisili Subjek Pajak
Setiap negara memiliki definisi yang berbeda tentang kriteria wajib pajak
dalam negeri (penduduk/ resident) dan wajib pajak luar negeri (bukan penduduk/
non resident). Perbedaan atau penggolongan ini tergantung dari azas perpajakan
yang dianut. Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah negara yang menganut azas
kewarganegaraan, maka setiap warga negara Amerika Serikat otomatis menjadi
wajib pajak dalam negeri (resident) Amerika Serikat. Sedangkan Indonesia, sama
sekali tidak menggunakan kriteria kewarganegaraan dalam menentukan status
wajib pajak dalam negeri (resident).
Menurut ketentuan perpajakan di Indonesia, wajib pajak adalah setiap
orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan
objektif menjadi wajib pajak. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai
dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/ pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Universitas Indonesia
5
Penghasilan. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur
yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. Orang Pribadi
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
b. Badan, yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan ,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetapk dan
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia. (Pasal 5 UU PPh)
2.1.
Domisili Subjek Pajak Orang Pribadi
Subjek pajak dibedakan menjadi 2, yaitu subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Orang pribadi yang memenuhi syarat menjadi subjek
pajak dalam negeri, akan menjadi Wajib Pajak dalam negeri, status wajib pajak
Universitas Indonesia
6
dalam negeri (istilah “dalam negeri” ini sama dengan “resident / penduduk” yang
dipakai oleh negara lain). Pasal 2 ayat 3 huruf a UU PPh menyebut tiga tes
penentu apakah seseorang merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN):
a. Tempat tinggal (domisili)
Menurut ketentuan pasal 2 ayat 6, seseorang bertempat tinggal di
Indonesia ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan tersebut,
misalnya dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau substansial
(keluarga, tempat tinggal, alamat tetap atau kepentingan ekonomis dan
sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama
lebih dari 183 hari) dapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila
keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan hal tersebut dan oleh
karenanya termasuk WPDN.
b. Keberadaan/ kehadiran (presensi)
Tillinghast (1984) menyatakan “seseorang dapat dianggap sebagai WPDN
suatu negara apabila secara substansial ia berada hadir di negara tersebut.”
Oleh karena itu, kriteria keberadaan yang bersifat objektif kuantitatif
tersebut berfungsi sebagai “de minimus rule” (kehadiran minimal
seseorang). Menurut peraturan perpajakan di Indonesia, seseorang dapat
dianggap sebagai WPDN apabila ia berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam kurun waktu 12 bulan.
c. Niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Niat seseorang untuk bertempat tinggal di Indonesia bersifat subjektif
kualitatif, sehingga tidak ada pengukuran yang pasti untuk kategori ini.
Petunjuk niat seseorang untuk bertempat tinggal di suatu wilayah tersebut
Universitas Indonesia
7
dapat dilihat dari pernikahan dengan WNI, status kekayaan, pembukaan
rekening di bank, menyewa/membeli tempat tinggal di Indonesia dan lainlain. Dapat dibuktikan juga dengan melihat dokumen visa bekerja atau
Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 hari atau kontrak/
perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha atau kegiatan yang dilakukan
di Indonesia selama selama lebih dari 183 hari.
Selain itu, untuk menentukan apakah orang pribadi bertempat tinggal atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia, dapat dilihat dalam Peraturan Dirjen
Pajak No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 sebagai berikut :
(Pasal 7) Tempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3(1) (a) adalah tempat berdiam (permanent dwelling place) yang tidak
bersifat sementara dan todak sebagai tempat transit, tempat melakukan
kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of
life), tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), sedangkan
tempat domisili (place of domicile) di Indonesia adalah tempat dilahirkan
dan yang bersangkutan masih berada di Indonesia.
Tempat tinggal dapat disewa, dimiliki, atau tersedia baik ditempati sendiri
atau bersama keluarga.
Kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat rutin, sering ataupun tidak,
antara lain melakukan aktifitas yang menjadi kegemaran atau hobi
kesenangannya.
(Pasal 8 (1)) Orang yang bertempat tinggal di Indonesia yang pergi ke luar
negeri yang berpindah – pindah, tapi berada di Indonesia lebih dari 183
Universitas Indonesia
8
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dianggap tempat bertempat tinggal di
Indonesia.
(Pasal 8 (2)) WNI yang berada diluar negeri dianggap tidak bertempat
tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang
dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih
berlaku sebagai penduduk luar negeri, yaitu seperti green card, identity
card, student card, pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh
Kantor Perwakilan RI diluar negeri, surat keterangan dari KBRI atau
KPRI di luar negeri, atau tertulis resmi di paspor oleh kantor imigrasi
setempat.
Keberadaan di Indonesia lebih dari 183 hari bisa terus menerus atau
terputus putus dan bagian dari hari diitung satu hari penuh
Dijelaskan dalam Pasal 4 OECD Model Convetion (dan UN Model)
tentang Resident:
1. For the purposes of this Convention, the term "resident of a Contracting
State"means any person who, under the laws of that State, is liable to tax
therein by reason of his domicile, residence, place of management or any
other criterion of a similar nature, and also includes that State and any
political subdivision or local authority thereof. This term, however, does
not include any person who is liable to tax in that State in respect only of
income from sources in that State or capital situated therein.
2. Where by reason of the provisions of paragraph 1 an individual is a
resident of both Contracting States, then his status shall be determined as
follows:
Universitas Indonesia
9
a) he shall be deemed to be a resident only of the State in which he has a
permanent home available to him; if he has a permanent home
available to him in both States, he shall be deemed to be a resident
only of the State with which his personal and economic relations are
closer (centre of vital interests);
b) if the State in which he has his centre of vital interests cannot be
determined, or if he has not a permanent home available to him in
either State, he shall be deemed to be a resident only of the State in
which he has an habitual abode;
c)
if he has an habitual abode in both States or in neither of them, he
shall be deemed to be a resident only of the State of which he is a
national;
d) if he is a national of both States or of neither of them, the competent
authorities of the Contracting States shall settle the question by mutual
agreement.
3. Where by reason of the provisions of paragraph 1 a person other than an
individual is a resident of both Contracting States, then it shall be deemed
to be a resident only of theState in which its place of effective management
is situated.
Dengan melihat art 4 dari OECD model tersebut, kriteria permanent home, centre
of vital interest, dan habitual abode untuk menentukan apakah seseorang dapat
dikatakan resident atau tidak.
Subjek pajak luar negeri diatur dalam Pasal 2 ayat 4 UU PPh. Yaitu, orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Universitas Indonesia
10
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia, serta badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di Indonesia
2.2.
Domisili Subjek Pajak Badan
Dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b UU PPh disebutkan dua kriteria penentu azas
domisili Indonesia atas badan:
a. Tempat Pendirian
Setiap badan termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di Indonesia,
didaftarkan di
Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan (hukum) di
Indonesia atau di dalam wilayah hukum Indonesia merupakan WPDN
Indonesia. Semua badan yang didirikan di (berdasarkan hukum) Indonesia,
tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya
(dimanapun berada ), merupakan WPDN Indonesia.
b. Tempat Kedudukan
Petunjuk tentang tempat kedudukan suatu badan dapat diperoleh dari:
1. Mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana yang
tercantum dalam akta pendirian badan.
2. Mempunyai kantor pusat atau tempat manajemen (efektif) di
Indonesia, lokasi kantor pusat ( nyata atau terdaftar),
3. Mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/ atau pusat
keuangan di Indonesia.
Universitas Indonesia
11
4. Mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang
melakukan pengendalian.
5. Pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat
keputusan strategis.
6. Pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia. Tempat
kedudukan badan tersebut ditentukan berdasarkan keadaan atau
kenyataan yang sebenarnya.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember
2011 dijelaskan tentang penentuan badan didirikan atau berkedudukan di
Indonesia.
Pendirian badan di Indonesia selain BUT, maksudnya pendiriannya
berdasarkan peraturan perundang – undangan Indonesia, didaftarkan di
Indonesia atau di dalam wilayah hukum Indonesia.
Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia maksudnya mempunyai
tempat kedudukan di Indonesia seperti tercantum dalam akta pendirian ,
berkantor pusat di Indonesia, pusat administrasi/keuangan di Indonesia,
kantor pimpinan pengendaku di Indonesia, keputusan strategis dibuat dari
pertemuan pengurus di Indonesia, atau pengurus bertempat tinggal atau
berdomisili di Indonesia
Tempat kedudukan manajemen efektif (dalam P3B) merupakan tempat
penentuan keputusan manajemen dan komersial yang signifikan, atau
tempat pengurus membuat keputusan untuk kepentingan badan.
Tempat kedudukan manajemen (untuk BUT) merupakan tempat
kedudukan manajemen yang mengadakan kegiatan perusahaan sehari –
Universitas Indonesia
12
hari tetapi tidak melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan dan
tidak membuat keputusan strategis (apabila dilakukan perusahaan
dianggap mempunyai tempat kedudukan di Indonesia dan menjadi
WPDN)
Subjek pajak luar negeri badan, adalah badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia:
a. Yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di
Indonesiak atau
b. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
yang tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 43/PJ/2011 tentang
penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri ditegaskan
bahwa pengertian “yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia” meliputi pula yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Subjek pajak luar negeri dapat menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap
tersebut merupakan tempat usaha yang bersifat permanen yang dipergunakan oleh
subjek pajak luar negeri, orang pribadi atau badan untuk menjalankan kegiatan
atau usaha di Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam
negeri. Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap dimulai sejak
Universitas Indonesia
13
menerima dan/ atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pembagian Hak Pemajakan (Tax Right)
Seperti telah dinyatakan bahwa secara umum, suatu P3B sebagai sarana
untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda menerapkan dua aturan pokok.
Pertama, hak pemajakan atas beberapa jenis penghasilan diberikan kepada negara
sumber atau negara domisili. Kedua, apabila berdasarkan treaty hak pemajakan
suatu jenis penghasilan atau kekayaan sebagian atau sepenuhnya diberikan kepada
negara sumber, negara domisili harus menerapkan metode penghindaran pajak
berganda.9
Metode yang dipergunakan dalam suatu tax treaty untuk menghindari
adanya
pemajakan
berganda
adalah
menggolongkan
suatu
penghasilan
berdasarkan suatu penggolongan tertentu (scheduler income) dan menentukan hak
pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari
penggolongan penghasilan tersebut.10 Dengan demikian, hak pemajakan suatu
negara atas suatu jenis penghasilan dengan jenis penghasilan lainnya dapat
berbeda-beda. Jadi, penentuan jenis penghasilan merupakan hal penting karena
akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki atas penghasilan
tersebut. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas
jenis-jenis penghasilan tersebut disebut sebagai “distributive rules” atau
“assignment rules”atau disebut juga dengan “allocation articles”. Pada umumnya,
penggolongan penghasilan dalam pasal-pasal yang disebut sebagai distributive
9
Rachmanto Surahmat, Opcit, hal. 34.
Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, Principles and Practice of Double
Taxation Agreements: A Questions and Answer Approach, BNA International, 2008, hal. 14.
10
Universitas Indonesia
14
rules tersebut adalah sebagai berikut:11
1. Active incomeActive income merupakan penghasilan yang berasal dari
kegiatan usaha dan pekerjaan. Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty
yang dikategorikan sebagai active income yaitu: penghasilan dari kegiatan
bisnis (business profit), penghasilan dari transportasi laut, sungai, dan
udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan oleh
individu (independent personal services), gaji pegawai (dependent
personal services), penghasilan direktur, artis dan olahragawan, gaji
Pegawai Negeri Sipil, dan penghasilan yang diterima oleh pelajar.
2. Passive incomePassive income merupakan penghasilan yang berasal dari
investasi dalam bentuk tangible maupun intangible properties (termasuk
dalam bentuk financial investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax
treaty yang dikategorikan sebagai passive income adalah: penghasilan dari
harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain,
serta pensiun.
3. Other incomePasal ini mengatur penghasilan yang tidak dapat digolongkan
berdasarkan penggolongan tersebut di atas.
Adapun pembagian hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive
rules yang diatur dalam tax treaty pada dasarnya adalah sebagai berikut:12
•
Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara. Pada
umumnya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar
sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state).
•
11
12
Hak pemajakan dibagi antara negara domisili (residence state) dan negara
Roy Rohatgi, Basic International Taxation hal. 10
Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, hal. 16.
Universitas Indonesia
15
sumber penghasilan (source state).
Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, tax treaty yang
dikembangkan oleh OECD Model cenderung untuk memberikan hak pemungutan
pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Dengan kata lain, ketentuanketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak
pemajakan negara sumber.13
Dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD, terminologi
yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu
penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada
negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri
(residence state) adalah “shall be taxable only in...”. Dengan demikian, jika hak
pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka negara lainnya
tidak boleh untuk mengenakan pajak.14Jadi, isu pemajakan berganda atas suatu
penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak
akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili
dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak
pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara
sumber adalah ”may be taxed in...”. Makna terminologi tersebut adalah negara
sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak
untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Apabila
masing-masing negara mengenakan pajak maka terdapat isu pemajakan berganda.
Untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan
13
Ned Shelton, Interpretation and Application of Tax Treaties, Tottel Publishing, 2006, hal. 128
Roy Rohatgi, Basic International Taxation Volume 1: Principle, BNA International, 2005, hal.
101.
14
Universitas Indonesia
16
untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit
method atau income exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik
negara domisili).
Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan
OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya diberikan hanya kepada negara
domisili (Shall be Taxable Only in.):
Tabel 3.1
Jenis Penghasilan Berdaarkan OECD Model Tax Treaty Yang Hak
Pemajakannya Diberikan Hanya Kepada Negara Domisili
Pasal
Pasal 7
Jenis
Makna “Shall be taxable only..” dalam Pasal yang
Penghasilan
Bersangkutan
Laba Usaha
Hanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali
jika laba usaha tersebut diperoleh dari kegiatan
bisnisnya di negara lain (negara sumber) melalui
suatu Permanent Establishment (Bentuk Usaha Tetap
dan selanjutnya disebut BUT).
Pasal 8
Transportasi
Hanya dikenakan pajak di negara domisili (atas dasar
Laut, Sungai, tempat kedudukan manajemen), kecuali laba yang
dan
Udara berasal dari kegiatan usaha transportasi laut, sungai,
dalam
lalu dan udara yang semata-mata dilakukan hanya dari
lintas
dan ke dalam suatu wilayah negara lainnya, maka
internasional
laba dari transportasi laut, sungai, dan udara tersebut
dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut
(negara sumber)
Pasal 12
Royalti
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Pasal 13
Capital Gain
Hanya dikenakan pajak di negara domisili atas
Universitas Indonesia
17
capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat (5)
Pasal 14
Penghasilan
Hanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali
Profesi
apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi
tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di
negara sumber.
Pasal 15
Gaji Pegawai
Hanya dikenakan pajak di negara domisili sepanjang:
• Pegawai tersebut tidak hadir di negara lainnya
(negara sumber) dalam periode yang tidak
melebihi 183 hari dalam periode waktu 12
bulan yang dimulai dan berakhir di tahun
fiskal yang bersangkutan, dan
• Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang
bukan subjek pajak dalam negeri dari negara
sumber penghasilan, dan
• Imbalan tersebut tidak dibiayakan di negara
sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.
Pasal 18
Pensiun
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Pasal 19
Gaji Pegawai Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Negeri Sipil
Pasal 21
Penghasilan
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Lainnya
Sumber: Diolah kembali oleh penulis
Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan
OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya juga diberikan kepada negara
sumber (source state), sehingga hak pemajakan dibagi antara negara domisili
(residence state) dan negara sumber (source state) atau yang dikenal dengan
“May be taxed in”:
Universitas Indonesia
18
Tabel 3.2
Jenis Penghasilan Berdaarkan OECD Model Tax Treaty Yang Hak
Pemajakannya Diberikan Hanya Kepada Negara Sumber
Pasal
Pasal 6
Jenis
Makna “May be taxed in..” dalam Pasal yang
Penghasilan
Bersangkutan
Penghasilan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atau negara
Harta Tidak
di mana harta tersebut terletak
Bergerak
Pasal 7
Laba Usaha
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atas laba
usaha yang diatribusikan kepada BUT yang berada di
negara sumber
Pasal 10
Dividen
Dapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 10
ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 10 ayat (2))
Pasal 11
Bunga
Dapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 11
ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 11 ayat (2))
Pasal 13
Capital
Dapat dikenakan pajak di negara sumber, kecuali
Gain
untuk capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat
(5), hanya negara domisili yang dapat mengenakan
pajak
Pasal 14
Penghasilan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber apabila
Profesi
individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut
mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara
sumber.
Pasal 15
Gaji
Pegawai
Dapat dikenakan pajak di negara sumber sepanjang:
•
Pegawai tersebut hadir di negara
sumber dalam periode yang melebihi 183
hari dalam periode waktu 12 bulan yang
Universitas Indonesia
19
dimulai dan berakhir di tahun fiskal yang
bersangkutan, atau
•
Imbalan
tersebut
dibayar
oleh
pemberi kerja yang subjek pajak dalam
negeri dari negara sumber penghasilan, atau
•
Imbalan
tersebut
dibiayakan
di
negara sumber oleh BUT dari si pemberi
kerja.
Pasal 16
Gaji
Dapat dikenakan pajak di negara sumber
Direktur
Pasal 17
Artis dan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atas
Olahragawan
penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
penghasilan dari pertunjukannya maupun penghasilan
olahragawan yang terkait dengan penghasilan dari
pertandingannya.
Sumber: Diolah kembali oleh penulis
Dalam kasus ketika negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak
(may be taxed in..) maka hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber di
negara tersebut dapat diberikan dengan:
1. Tanpa adanya pembatasan (unrestricted right of tax in the source tax),
Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan
tersebut di bawah ini sesuai dengan ketentuan domestiknya tanpa ada pembatasan
(misalnya tanpa ada pembatasn tarif). Adapun jenis-jenis penghasilan tersebut
adalah (1) penghasilan harta tidak bergerak, (2) enghasilan usaha (business profit)
yang diatribusikan kepada Bentuk Usaha Tetap (BUT), (3) capital gain, (4)
penghasilan profesi yang diterima oleh individu, (5) gaji yang diterima oleh
Universitas Indonesia
20
pegawai, (6) gaji direktur, (7) penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
hasil pertunjukannya maupun penghasilan olahragawan yang terkait dengan hasil
pertandingannya.
2. Dengan pembatasan (restricted right of tax in the source tax)
Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan
tersebut di bawah ini dengan pembatasan yang diatur dalam tax treaty (misalnya
berdasarkan ketentuan domestik Indonesia, pembayaran dividen kepada Wajib
Pajak Luar Negeri dikenakan tarif sebesar 20% maka ketika pembayaran dividen
tersebut ditujukan kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai tax treaty
dengan Indonesia maka tarifnya dibatasi maksimal sebesar 10%). Jenis-jenis
penghasilan tersebut adalah dividen.dan bunga.
3.1.
Penentuan Hak Pemajakan atas Sumber Penghasilan Usaha
Secara umum pemajakan atas laba usaha (business profits) hanya
dikenakan di negara dimana perusahaan yang menghasilkan laba tersebut
berdomisili. Jika perusahaan tersebut memperoleh laba usaha melalui suatu
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment (PE) yang terletak di
negara lain, maka negara lain tersebut dapat mengenakan pajak tetapi hanya dari
laba yang diatribusikan pada BUT. Sampai dengan hal ini, tidak ada perbedaan
atara ketentuan berdasarkan OECD Model dengan UN Model.
Perbedaan yang terjadi adalah dalam menentukan laba BUT yang dapat
dipajaki dinegara tempat BUT tersebut berada. OECD yang mewakili kepentingan
negara-negara maju sebagai capital exporting countries tidak menghendaki jika
terjadi pemajakan BUT akan meluas ke hal-hal yang secara substansi tidak
Universitas Indonesia
21
berkaitan dengan keberadaan BUT tersebut. Namun Negara-negara berkembang
sebagai capital importing countries diwakili kepentingan dalam UN Model,
menghendaki diterapkannya force of attraction principle untuk mencegah
penghindaran pajak dengan cara mengalihkan kegiatan-kegiatan yang seharusnya
ditangani BUT, namun dilakukan langsung oleh kantor pusatnya.
3.1.1. Pemajakan atas laba usaha menurut OECD Tax Convention Model.
Dalam Model OECD yang direvisi pada tahun 2010, pemajakan atas laba
usaha diatur sebagai berikut:
Article 7
Business Profits
1. Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that
Stateunless the enterprise carries on business in the other Contracting
State through apermanent establishment situated therein. If the enterprise
carries on business asaforesaid, the profits that are attributable to the
permanent establishment inaccordance with the provisions of paragraph 2
may be taxed in that other State.
2. For the purposes of this Article and Article [23 A] [23B], the profits that
areattributable in each Contracting State to the permanent establishment
referred to inparagraph 1 are the profits it might be expected to make, in
particular in its dealingswith other parts of the enterprise, if it were a
separate and independent enterpriseengaged in the same or similar
activities under the same or similar conditions, takinginto account the
functions
performed,
assets
used
and
risks
assumed
by
the
Universitas Indonesia
22
enterprisethrough the permanent establishment and through the other
parts of the enterprise.
3. Where, in accordance with paragraph 2, a Contracting State adjusts the
profitsthat are attributable to a permanent establishment of an enterprise
of one of theContracting States and taxes accordingly profits of the
enterprise that have beencharged to tax in the other State, the other State
shall, to the extent necessary toeliminate double taxation on these profits,
make an appropriate adjustment to theamount of the tax charged on those
profits. In determining such adjustment, thecompetent authorities of the
Contracting States shall if necessary consult each other.
4. Where profits include items of income which are dealt with separately in
otherArticles of this Convention, then the provisions of those Articles shall
not be affectedby the provisions of this Article.
Pasal 7 ayat (1) model P3B OECD, menyatakan bahwa laba yang
diperoleh suatu perusahaan yang berada pada suatu negara hanya akan dikenakan
pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara
lainnya melalui suatu BUT.Apabila perusahaan tersebut memperoleh laba melalui
BUT yang berada di negara lain, maka negara lain tersebut dapat mengenakan
pajak atas laba yang diatribusikan pada BUT tersebut.
Laba yang diatribusikan pada BUT, diatur pada ayat (2), dengan ketentuan
(i) untuk kepentingan atribusi laba BUT, maka BUT tersebut dianggap sebagai
perusahaan yang terpisah dan independent. (ii) penentuan laba yang ditribusikan
juga mempertimbangkan fungsi yang dilaksanakan perusahaan, aset yang
dipergunakan dan resiko yang ditanggung perusahaan melalui BUT dimaksud.
Universitas Indonesia
23
Dengan demikian dalam mengatribusikan laba BUT, Arm length principles harus
diterapkan untuk dapat menentukan laba wajar dari suatu BUT.
Suatu negara dapat menyesuaikan laba yang diatribusikan pada suatu
BUT. Negara ini dapat berarti negara ditempat BUT berada dengan melakukan
penyesuaian atas laba BUT tersebut, namun dapat juga negara tempat kantor pusat
BUT, dengan cara melakukan penyesuaian pada transaksi di kantor pusatnya.
Penyesuaian-penyesuaian ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan efek
pajak berganda yang mungkin dapat terjadi. Sehingga dalam melakukan
penyesuaian tersebut, pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan
jika perlu saling berkonsultasi.
Dalam ayat (4) memberikan landasan hukum bagi pemerlakuan pasalpasal yang lain. Hal ini diperlukan karena dalam pasal mengenai Business Profit
ini memberikan wewenang kepada otoritas suatu negara untuk melakukan
koreksi-koreksi.
Namun
koreksi
yang
dialkukan
tersebut
tidak
harus
mempengaruhi pasal-pasai yang lain yang diatur tersendiri. Misalnya dalam
menghitung menetapkan laba suatu BUT dilakukan dengan melakukan koreksi
terhadap biaya bunga yang merupakan objek yang berdasarkan pasal lainnya
merupakan objek pemajakan di negara sumber. Koreksi tersebut tidak
mempengaruhi pemajakan atas objek pajak berupa bunga yang telah dibayarkan.
3.1.2. Pemajakan atas laba usaha menurut United Nation Tax Convention
Model.
Dalam Model Perserikatan Bangsa-bangsa yang direvisi pada tahun 2011,
pemajakan atas laba usaha diatur sebagai berikut:
Universitas Indonesia
24
Article 7
Business Profits
1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable onlyin
that State unless the enterprise carries on business in the other
ContractingState through a permanent establishment situated therein. If
the enterprisecarries on business as aforesaid, the profits of the enterprise
may be taxed inthe other State but only so much of them as is attributable
to (a) that permanentestablishment; (b) sales in that other State of goods
or merchandise ofthe same or similar kind as those sold through that
permanent establishment; or (c) other business activities carried on in
that other State of the same orsimilar kind as those effected through that
permanent establishment.
2. Subject to the provisions of paragraph 3, where an enterprise of
aContracting State carries on business in the other Contracting State
througha permanent establishment situated therein, there shall in each
ContractingState be attributed to that permanent establishment the profits
whichit might be expected to make if it were a distinct and separate
enterpriseengaged in the same or similar activities under the same or
similar conditionsand dealing wholly independently with the enterprise of
which it is apermanent establishment.
3. In the determination of the profits of a permanent establishment,there
shall be allowed as deductions expenses which are incurred for
thepurposes of the business of the permanent establishment including
executiveand general administrative expenses so incurred, whether in the
Universitas Indonesia
25
Statein which the permanent establishment is situated or elsewhere.
However,no such deduction shall be allowed in respect of amounts, if any,
paid (otherwisethan towards reimbursement of actual expenses) by the
permanentestablishment to the head office of the enterprise or any of its
other offices,by way of royalties, fees or other similar payments in return
for the use ofpatents or other rights, or by way of commission, for specific
services performedor for management, or, except in the case of a banking
enterprise, byway of interest on moneys lent to the permanent
establishment. Likewise, noaccount shall be taken, in the determination of
the profits of a permanentestablishment, for amounts charged (otherwise
than towards reimbursementof actual expenses), by the permanent
establishment to the head office of theenterprise or any of its other offices,
by way of royalties, fees or other similarpayments in return for the use of
patents or other rights, or by way of commissionfor specific services
performed or for management, or, except in thecase of a banking
enterprise, by way of interest on moneys lent to the headoffice of the
enterprise or any of its other offices.
4. In so far as it has been customary in a Contracting State to determinethe
profits to be attributed to a permanent establishment on the basis of
anapportionment of the total profits of the enterprise to its various parts,
nothingin paragraph 2 shall preclude that Contracting State from
determiningthe profits to be taxed by such an apportionment as may be
customary; themethod of apportionment adopted shall, however, be such
that the resultshall be in accordance with the principles contained in this
Universitas Indonesia
26
Article.
5. For the purposes of the preceding paragraphs, the profits to be
attributedto the permanent establishment shall be determined by the same
methodyear by year unless there is good and sufficient reason to the
contrary.
6. Where profits include items of income which are dealt with separatelyin
other Articles of this Convention, then the provisions of those Articlesshall
not be affected by the provisions of this Article.
(NOTE: The question of whether profits should be attributed to a
permanentestablishment
by
reason
of
the
mere
purchase
by
that
permanentestablishment of goods and merchandise for the enterprise wasnot
resolved. It should therefore be settled in bilateral negotiations.)
Pasal 7 ayat (1) UN Model mengatur bahwa laba usaha yang diperoleh
perusahaan di suatu negara hanya dipajaki dinegara tersebut, kecuali jika
perusahaan itu menjalankan usaha atau kegiatan dinegara lainnya melalui bentuk
usaha tetap.Jika suatu perusahaan mempunyai BUT dinegara lain, laba perusahaan
itu dapat dikenakan pajak di negara lain adalah laba yang dianggap berasal dari (a)
bentuk usaha tetapk (b) penjualan atas barang-barang atau barang dagangan yang
sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual melalui BUT , atau (c) kegiatan
usaha lainnya yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau serupa jenisnya
dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap. Disini UN model menerapkan
force of attraction principle, dengan cara memajaki laba dari penjualan kantor
pusat yang sejenis dengan yang dilakukan BUT dan laba dari usaha dan kegiatan
yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT.
Universitas Indonesia
27
Dalam ayat (2) ketentuan ini sama dengan yang direkomendasikan oleh
OECD Model, bahwa dalam menentukan laba suatu BUT maka BUT tersebut
akan diperlakukan sebagai perusahaan yang terpisah dan independen. Dengan
demikian laba yang diperoleh BUT tersebut diharapkan adalah laba yang wajar.
Walaupun tidak secara detil seperti yang direkomendasikan oleh OECD model
yaitu dengan menggunakan analisa fungsi asaet dan resiko, UN model juga
merekomendasikan penerapan Arm’s Length Principle untuk penentuan laba
wajar suatu BUT.
Ayat (3) mengatur tentang biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam
penentuan laba BUT. Biaya-biaya dalam menentukan yang dapat dikurangkkan
adalah (1) biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari BUT, (2)
termasuk biaya administrasi umum dan manajemen baik yang dikeluarkan di
Negara di mana BUT berada ataupun di tempat lain. Sedangkan biaya-biaya yang
tidak diperkenankan dalam menentukan laba BUT adalah (1) biaya penggantian
(reimbursement) kecuali nyata-nyata biaya penggantian yang sebenarnya, (2)
biaya royalti kepada kantor pusatnya atau unit-unit lain dalam perusahaan, (3)
biaya atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain
(komisi, pembayaran jasa tertentu, pembayaran untuk jasa manajemen, bunga
kecuali dalam hal usaha perbankan, pembebanan biaya oleh kantor pusat kepada
BUT).
Namun disisi lain, penerimaan yang tidak diperlu diperhitungkan sebagai
laba BUT adalah:
bunga atas uang yang dipinjamkan oleh BUTk
biaya penggantian, kecuali biaya penggantian biaya yang sebenarnya dari
Universitas Indonesia
28
kator pusat atau unit lainnyak
royalti , biaya atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten
atau hak-hak lain.
komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen.
Model OECD juga tidak membatasi penggunaan pendekatan perhitungan
secara proporsional yang lazim dipergunakan dalam suatu negara. Mengingat
bahwa untuk mmenentukan laba wajar dari suatu BUT membutuhkan data-data
yang akurat misalnya dalam rangka melakukan analisa fungsi suatu BUT dalam
kedudukannya sebagai bagian perusahaan secara global, atau analisa aset dan
analisa risiko yang ditanggung perusahaan melalui BUT tersebut. Sepanjang
merupakan kebiasaan di Negara pihak pada Persetujuan untuk menentukan
besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap berdasarkan suatu
pembagian secara proporsional atas seluruh laba perusahaan terhadap berbagai
bagiannya, maka hal ini dapat diterapkan, sepanjang masih memenuhi prinsipprinsip kewajaran dan kelaziman. Lebih lanjut dalam ayat (5) direkomendasikan
untuk menerapkan metode-metode penentuan laba BUT secara konsisten dan
berkesinambungan, kecuali ada pertimbangan lain untuk melakukan perubahan.
Ayat (4) dalam UN Model mengatur hal yang sama dengan apa yang
direkomendasikan dalam OECD Model. Pada ayat ini diatur jika dalam jumlah
laba terdapat jenis-jenis penghasilan yang diatur secara tersendiri oleh pasal-pasal
yang lain, maka ketentuan dalam pasal-pasal lain tersebut tidak dipengaruhi oleh
ketentuan dalam pasal 7.
Secara umum P3B yang dibuat dengan negara-negara anggota OECD,
maka
yang
berlaku
dalam
perjanjian
tersebut
adalah
seperti
yang
Universitas Indonesia
29
direkomendasikan dalam OECD model. Walaupun tidak semua seperti P3B
dengan Australia, Austria, Belgia dan Italia. Namun P3B dengan Singapura dan
China dibuat seperti rekomendasi OECD Model.
Sebagai contoh dalam P3B antara Hongkong dengan Indonesia penentuan
mengenai laba usaha adalah sebagai berikut:
Perusahaan yang mendapatkan penghasilan berupa laba usaha hanya
dipajaki oleh dimana dari negara dimana perusahaan tersebut berdomisili, kecuali
jika memperoleh laba melalui suatu BUT di negara lain, maka negara lain dapat
melakukan pemajakan. Pajak yang dikenakan di negara sumber hanya atas bagian
laba BUT yang berasal dari:
1. bentuk usaha tetap tersebut (factual attribution). Penghasilan suatu BUT
perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari
kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing
tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di
Indonesia
adalah
penghasilan
yang
berasal
dari
kegitan
usaha
perdagangannya di Indonesia
2. penjualan yang dilakukan di Pihak lainnya itu atas barang-barang atau
barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual
melalui bentuk usaha tetap itu (force of attraction)k atau
3. kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di Pihak lainnya tersebut
yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk
usaha tetap itu.
Berdasarkan ketentuan, besarnya laba suatu BUT ditetapkan dengan
asumsi bahwa BUT tersebut adalah merupakan perusahaan lain yang terpisah dan
Universitas Indonesia
30
berdiri sendiri, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan BUT itu
termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum baik yang
dikeluarkan di Pihak di mana BUT itu berada ataupun di tempat lain dapat
dikurangkan, pembayaran-pembayaran selain dari penggantian biaya yang benarbenar dikeluarkan berupa royalti, biaya atau pembayaran serupa lainnya karena
penggunaan paten atau hak-hak lain atau berupa komisi, untuk jasa-jasa yang
khusus yang dilakukan atau untuk manajemen tidak dapat dikurangkan kecuali
dalam usaha perbankan berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada BUT,
tidak akan diperhitungkan sebagai laba BUT adalah sejumlah pembebanan yang
dikenakan BUT terhadap kantor pusat atau kantor-kantor lain milik kantor pusat
(selain penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan), berupa royalti, komisi
atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau
berupa komisi untuk pemberian jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen, kecuali
dalam hal usaha perbankan berupa, bunga atas peminjaman uang kepada kantor
pusat atau kantor-kantor lain milik kantor pusat, penetapan besarnya laba yang
dapat dianggap berasal dari BUT dapat dilakukan dengan cara menentukan bagian
laba berbagai bagian perusahaan tersebut atas keseluruhan laba perusahaan itu,
atau dengan cara lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pihak
tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip yang lazim, laba yang semata-mata berasal
dari pembelian barang-barang atau barang dagangan yang dilakukan oleh BUT
untuk perusahaan tidak akan dihitung sebagai laba dari bentuk usaha tetap,
besarnya laba yang dianggap berasal dari BUT harus ditentukan dengan konsisten
kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk menyimpang
Universitas Indonesia
31
3.1.3. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan
perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia
diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain : (1)
kewajiban perpajakan tahunan ( lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha
Badan PPh Badan Terutang, lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh
Badan dan kredit pajak), (2) kewajiban perpajakan bulanan (memotong PPh Pasal
21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI, memotong PPh Pasal 23 atas
pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa, memotong
PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA, memotong PPh
Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan).
Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu
BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering
disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah
pajak (net income after tax). Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara
treaty partner, maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty
yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering
menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara
lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan
branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia
dibidang industri hulu Minyak dan Gas Bumi. Dalam rangka menentukan
besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT perusahaan asing di
Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai
deductible expenses adalah:
Universitas Indonesia
32
•
royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta,
paten atau hak-hak laink
•
imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnyak
•
bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya
di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah
penghasilan BUT nya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya
dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.Insentif pajak yang
diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal
26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat
kumulatif yaitu:
•
Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendirik
•
Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan tersebutk dan
•
Tida
PAJAK INTERNASIONAL
Tema
Kuliah Tanggal
Dosen
: Domisili Subjek Pajak, dan Sumber Penghasilan
: Selasa, 24 Februari 2015
: Prof. Gunadi, M.Sc., Ak., Ph.D.
Kelompok 3
Irfan Bukhari S
1206222654
Kartika Sukmatullahi
1206275622
Krisnanda Restu Fajar
1206222925
Nosi Shavira
1206275635
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal
Program Sarjana Paralel Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI
2015
1
1. Gambaran Umum Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty
merupakan upaya dua negara untuk menghindarkan terjadinya pengenaan pajak
secara berganda. Menurut Surahmat (2005:32) pengenaan pajak mengandung dua
unsur, yaitu subjektif dan objektif, sehingga cakupan dari suatu P3B menyangkut
subjek pajak dan objek pajak.1
P3B adalah rekonsiliasi dua undang-undang pajak yang berbeda, yang
membagi hak pemajakan atas subjek dan objek pajak luar negeri. Rekonsiliasi ini
diperlukan untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda secara yuridis.
Artinya, dua negara mengadakan kesepakatan tentang saling membagi hak
pemajakan atas penghasilan penduduknya yang melakukan usaha di negara lain.
Dengan kata lain, yang diatur dalam suatu persetujuan perpajakan adalah
pemajakan yang menyangkut penduduk luar negeri (atau wajib pajak luar negeri).
Dalam hal ini kemudian muncul istilah negara domisili (resident country) dan
negara sumber (source country).2
Negara domisili adalah negara asal orang atau badan yang melakukan
usaha di negara lain sedangkan negara sumber adalah tempat timbulnya suatu
jenis penghasilan. Apabila penghasilan tersebut dikenai pajak di negara sumber
dan negara domisili, pengenaan pajak berganda akan terjadi. 3. Gunadi (2007)
menyatakan bahwa penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan
yang melibatkan dua atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda
1
Rachmanto Surahmat, Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, PT Gramedia Pustaka
Utama, 2011, hal. 32.
2
Ibid.
3
Ibid, hal. 33.
Universitas Indonesia
2
internasional (PBI), baik yuridis maupun ekonomis.4
Selain untuk mengeliminasi PBI dalam rangka memperlancar mobilitas
global sumber daya, Manuel Pires dalam 5, 1989, menyebutkan beberapa tujuan
lain dari P3B. Beberapa tujuan tersebut antara lain: melindungi wajib pajak,
mendorong dan menarik investasi (dengan berbagai keringanan pajak),
memudahkan
ekspansi
perusahaan
maju,
membantu
mengurangi
dan
menanggulangi penghindaran dan penyelundupan pajakk meningkatkan kerja sama
aplikasi
ketentuan
domestik, perbaikan
pertukaran, harmonisasi
kriteria
pemajakan, mencegah diskriminasi, menumbuhsuburkan hubungan ekonomis
pencegahan, meningkatkan pencegahan penyalahgunaan perjanjian dan kerja
sama dalam penetapan dan penagihan serta aktivitas administrasi pajak lainnya.
Lebih lanjut John Hutagaol menyatakan bahwa tujuan tax treaty banyak sekali
dua yang pertama yaitu penghindaran pajak berganda dan memerangi tax evasion
yang merupakan roh dari tax treaty sedangkan tujuan lainnya seperti cash flow
saving, dispute settlement kalau ada penerapan tax treaty yang tidak sesuai
termasuk exchange of information hanya tambahan saja. Pada intinya tax treaty
hanya mengatur hak pemajakan bagi pihak yang mengadakan perjanjian.P3B
lebih superior daripada undang-undang domestik. Dalam hal terjadi benturan
antara P3B dan undang-undang domestik, maka yang superior adalah ketentuan
dalam P3B. Misalnya dalam pasal 26 UU PPh disebutkan, bahwa atas
pembayaran dividen ke luar negeri terutang PPh pasal 26 sebesar 20% dari bruto.
Sedangkan dalam Pasal 10 P3B tarifnya adalah 10%.5
P3B tidak menciptakan pajak baru. Jika dalam pasal-pasal dalam P3B
4
5
Gunadi, Pajak Internasional, LP FEUI, 2007, hal. 183.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, Jakarta: Granit, 2005, hal. 172.
Universitas Indonesia
3
tercantum jenis pajak lain di luar yang telah mempunyai dasar hukum dalam
bentuk undang-undang di Indonesia, maka pajak tersebut tidak berlaku bagi
Indonesia. Jenis pajak itu hanya berlaku bagi negara treaty partner saja.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1)
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), (2) UN
(United Nations), atau (3) US (United States). Dengan berbagai variasi modifikasi
antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B nya pada model
OECD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN
dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara
mitra runding mendasarkan pada US Model.6
OECD Model adalah model yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa
Barat. Karena itu, prinsip yang terkandung di dalamnya mencerminkan
kepentingan negara-negara industri. Sebaliknya, UN Model adalah model yang
dikembangkan untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang,
sehingga prinsip revenue oriented yang dianut oleh kebanyakan berkembang jelas
terlihat dalam model tersebut.7
Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral yang dianut oleh
Amerika berbeda dari OECD dan UN Model. Amerika menganut ordinary credit
dengan batas kredit yang disebut general limitations. Jenis-jenis penghasilan
dimasukkan ke dalam baskets sesuai dengan klasifikasinya. Terdapat delapan
income baskets dan jika satu jenis penghasilan tidak dapat masuk dalam salah satu
baskets, penghasilan tersebut termasuk dalam kategori general limitations.8
6
Gunadi, op.cit, hal. 185.
7
Rachmanto Surahmat, op.cit, hal. 4
Ibid, hal. 267
8
Universitas Indonesia
4
Indonesia, sebagai negara berkembang ia menganut prinsip UN Model
dalam kebijakan di bidang persetujuan penghindaran pajak berganda. Namun
demikian hal itu tidak berarti bahwa Indonesia menggunakan semua ketentuan
dalam UN Model tersebut. Ia menganut kombinasi antara UN Model, OECD
Model dan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam undang- undang
perpajakan nasional.
2. Domisili Subjek Pajak
Setiap negara memiliki definisi yang berbeda tentang kriteria wajib pajak
dalam negeri (penduduk/ resident) dan wajib pajak luar negeri (bukan penduduk/
non resident). Perbedaan atau penggolongan ini tergantung dari azas perpajakan
yang dianut. Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah negara yang menganut azas
kewarganegaraan, maka setiap warga negara Amerika Serikat otomatis menjadi
wajib pajak dalam negeri (resident) Amerika Serikat. Sedangkan Indonesia, sama
sekali tidak menggunakan kriteria kewarganegaraan dalam menentukan status
wajib pajak dalam negeri (resident).
Menurut ketentuan perpajakan di Indonesia, wajib pajak adalah setiap
orang atau badan yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan
objektif menjadi wajib pajak. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai
dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/ pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Universitas Indonesia
5
Penghasilan. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur
yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. Orang Pribadi
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
b. Badan, yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan ,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetapk dan
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia. (Pasal 5 UU PPh)
2.1.
Domisili Subjek Pajak Orang Pribadi
Subjek pajak dibedakan menjadi 2, yaitu subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Orang pribadi yang memenuhi syarat menjadi subjek
pajak dalam negeri, akan menjadi Wajib Pajak dalam negeri, status wajib pajak
Universitas Indonesia
6
dalam negeri (istilah “dalam negeri” ini sama dengan “resident / penduduk” yang
dipakai oleh negara lain). Pasal 2 ayat 3 huruf a UU PPh menyebut tiga tes
penentu apakah seseorang merupakan wajib pajak dalam negeri (WPDN):
a. Tempat tinggal (domisili)
Menurut ketentuan pasal 2 ayat 6, seseorang bertempat tinggal di
Indonesia ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Keadaan tersebut,
misalnya dapat berupa petunjuk formal (kependudukan) atau substansial
(keluarga, tempat tinggal, alamat tetap atau kepentingan ekonomis dan
sosial). Dengan demikian orang yang tidak berada di Indonesia (selama
lebih dari 183 hari) dapat dianggap bertempat tinggal di Indonesia apabila
keadaan yang sebenarnya dapat menunjukkan hal tersebut dan oleh
karenanya termasuk WPDN.
b. Keberadaan/ kehadiran (presensi)
Tillinghast (1984) menyatakan “seseorang dapat dianggap sebagai WPDN
suatu negara apabila secara substansial ia berada hadir di negara tersebut.”
Oleh karena itu, kriteria keberadaan yang bersifat objektif kuantitatif
tersebut berfungsi sebagai “de minimus rule” (kehadiran minimal
seseorang). Menurut peraturan perpajakan di Indonesia, seseorang dapat
dianggap sebagai WPDN apabila ia berada di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam kurun waktu 12 bulan.
c. Niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Niat seseorang untuk bertempat tinggal di Indonesia bersifat subjektif
kualitatif, sehingga tidak ada pengukuran yang pasti untuk kategori ini.
Petunjuk niat seseorang untuk bertempat tinggal di suatu wilayah tersebut
Universitas Indonesia
7
dapat dilihat dari pernikahan dengan WNI, status kekayaan, pembukaan
rekening di bank, menyewa/membeli tempat tinggal di Indonesia dan lainlain. Dapat dibuktikan juga dengan melihat dokumen visa bekerja atau
Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), lebih dari 183 hari atau kontrak/
perjanjian untuk melakukan pekerjaan, usaha atau kegiatan yang dilakukan
di Indonesia selama selama lebih dari 183 hari.
Selain itu, untuk menentukan apakah orang pribadi bertempat tinggal atau
berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia, dapat dilihat dalam Peraturan Dirjen
Pajak No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 sebagai berikut :
(Pasal 7) Tempat tinggal di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3(1) (a) adalah tempat berdiam (permanent dwelling place) yang tidak
bersifat sementara dan todak sebagai tempat transit, tempat melakukan
kegiatan sehari-hari atau menjalankan kebiasaannya (ordinary course of
life), tempat menjalankan kebiasaan (place of habitual abode), sedangkan
tempat domisili (place of domicile) di Indonesia adalah tempat dilahirkan
dan yang bersangkutan masih berada di Indonesia.
Tempat tinggal dapat disewa, dimiliki, atau tersedia baik ditempati sendiri
atau bersama keluarga.
Kebiasaan atau kegiatan, baik yang bersifat rutin, sering ataupun tidak,
antara lain melakukan aktifitas yang menjadi kegemaran atau hobi
kesenangannya.
(Pasal 8 (1)) Orang yang bertempat tinggal di Indonesia yang pergi ke luar
negeri yang berpindah – pindah, tapi berada di Indonesia lebih dari 183
Universitas Indonesia
8
hari dalam jangka waktu 12 bulan, dianggap tempat bertempat tinggal di
Indonesia.
(Pasal 8 (2)) WNI yang berada diluar negeri dianggap tidak bertempat
tinggal di Indonesia apabila bertempat tinggal tetap di luar negeri yang
dibuktikan dengan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih
berlaku sebagai penduduk luar negeri, yaitu seperti green card, identity
card, student card, pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh
Kantor Perwakilan RI diluar negeri, surat keterangan dari KBRI atau
KPRI di luar negeri, atau tertulis resmi di paspor oleh kantor imigrasi
setempat.
Keberadaan di Indonesia lebih dari 183 hari bisa terus menerus atau
terputus putus dan bagian dari hari diitung satu hari penuh
Dijelaskan dalam Pasal 4 OECD Model Convetion (dan UN Model)
tentang Resident:
1. For the purposes of this Convention, the term "resident of a Contracting
State"means any person who, under the laws of that State, is liable to tax
therein by reason of his domicile, residence, place of management or any
other criterion of a similar nature, and also includes that State and any
political subdivision or local authority thereof. This term, however, does
not include any person who is liable to tax in that State in respect only of
income from sources in that State or capital situated therein.
2. Where by reason of the provisions of paragraph 1 an individual is a
resident of both Contracting States, then his status shall be determined as
follows:
Universitas Indonesia
9
a) he shall be deemed to be a resident only of the State in which he has a
permanent home available to him; if he has a permanent home
available to him in both States, he shall be deemed to be a resident
only of the State with which his personal and economic relations are
closer (centre of vital interests);
b) if the State in which he has his centre of vital interests cannot be
determined, or if he has not a permanent home available to him in
either State, he shall be deemed to be a resident only of the State in
which he has an habitual abode;
c)
if he has an habitual abode in both States or in neither of them, he
shall be deemed to be a resident only of the State of which he is a
national;
d) if he is a national of both States or of neither of them, the competent
authorities of the Contracting States shall settle the question by mutual
agreement.
3. Where by reason of the provisions of paragraph 1 a person other than an
individual is a resident of both Contracting States, then it shall be deemed
to be a resident only of theState in which its place of effective management
is situated.
Dengan melihat art 4 dari OECD model tersebut, kriteria permanent home, centre
of vital interest, dan habitual abode untuk menentukan apakah seseorang dapat
dikatakan resident atau tidak.
Subjek pajak luar negeri diatur dalam Pasal 2 ayat 4 UU PPh. Yaitu, orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Universitas Indonesia
10
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia, serta badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di Indonesia
2.2.
Domisili Subjek Pajak Badan
Dalam Pasal 2 ayat 3 huruf b UU PPh disebutkan dua kriteria penentu azas
domisili Indonesia atas badan:
a. Tempat Pendirian
Setiap badan termasuk perseroan terbatas, yang didirikan di Indonesia,
didaftarkan di
Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan (hukum) di
Indonesia atau di dalam wilayah hukum Indonesia merupakan WPDN
Indonesia. Semua badan yang didirikan di (berdasarkan hukum) Indonesia,
tanpa memperhatikan tempat manajemen, usaha atau kedudukannya
(dimanapun berada ), merupakan WPDN Indonesia.
b. Tempat Kedudukan
Petunjuk tentang tempat kedudukan suatu badan dapat diperoleh dari:
1. Mempunyai tempat kedudukan berada di Indonesia sebagaimana yang
tercantum dalam akta pendirian badan.
2. Mempunyai kantor pusat atau tempat manajemen (efektif) di
Indonesia, lokasi kantor pusat ( nyata atau terdaftar),
3. Mempunyai tempat kedudukan pusat administrasi dan/ atau pusat
keuangan di Indonesia.
Universitas Indonesia
11
4. Mempunyai tempat kantor pimpinan yang berada di Indonesia yang
melakukan pengendalian.
5. Pengurusnya melakukan pertemuan di Indonesia untuk membuat
keputusan strategis.
6. Pengurusnya bertempat tinggal atau berdomisili di Indonesia. Tempat
kedudukan badan tersebut ditentukan berdasarkan keadaan atau
kenyataan yang sebenarnya.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember
2011 dijelaskan tentang penentuan badan didirikan atau berkedudukan di
Indonesia.
Pendirian badan di Indonesia selain BUT, maksudnya pendiriannya
berdasarkan peraturan perundang – undangan Indonesia, didaftarkan di
Indonesia atau di dalam wilayah hukum Indonesia.
Badan yang bertempat kedudukan di Indonesia maksudnya mempunyai
tempat kedudukan di Indonesia seperti tercantum dalam akta pendirian ,
berkantor pusat di Indonesia, pusat administrasi/keuangan di Indonesia,
kantor pimpinan pengendaku di Indonesia, keputusan strategis dibuat dari
pertemuan pengurus di Indonesia, atau pengurus bertempat tinggal atau
berdomisili di Indonesia
Tempat kedudukan manajemen efektif (dalam P3B) merupakan tempat
penentuan keputusan manajemen dan komersial yang signifikan, atau
tempat pengurus membuat keputusan untuk kepentingan badan.
Tempat kedudukan manajemen (untuk BUT) merupakan tempat
kedudukan manajemen yang mengadakan kegiatan perusahaan sehari –
Universitas Indonesia
12
hari tetapi tidak melakukan pengendalian atas seluruh perusahaan dan
tidak membuat keputusan strategis (apabila dilakukan perusahaan
dianggap mempunyai tempat kedudukan di Indonesia dan menjadi
WPDN)
Subjek pajak luar negeri badan, adalah badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia:
a. Yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di
Indonesiak atau
b. Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
yang tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER – 43/PJ/2011 tentang
penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri ditegaskan
bahwa pengertian “yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia” meliputi pula yang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Subjek pajak luar negeri dapat menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk usaha tetap
tersebut merupakan tempat usaha yang bersifat permanen yang dipergunakan oleh
subjek pajak luar negeri, orang pribadi atau badan untuk menjalankan kegiatan
atau usaha di Indonesia. Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam
negeri. Pemenuhan kewajiban perpajakan bentuk usaha tetap dimulai sejak
Universitas Indonesia
13
menerima dan/ atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. Pembagian Hak Pemajakan (Tax Right)
Seperti telah dinyatakan bahwa secara umum, suatu P3B sebagai sarana
untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda menerapkan dua aturan pokok.
Pertama, hak pemajakan atas beberapa jenis penghasilan diberikan kepada negara
sumber atau negara domisili. Kedua, apabila berdasarkan treaty hak pemajakan
suatu jenis penghasilan atau kekayaan sebagian atau sepenuhnya diberikan kepada
negara sumber, negara domisili harus menerapkan metode penghindaran pajak
berganda.9
Metode yang dipergunakan dalam suatu tax treaty untuk menghindari
adanya
pemajakan
berganda
adalah
menggolongkan
suatu
penghasilan
berdasarkan suatu penggolongan tertentu (scheduler income) dan menentukan hak
pemajakan suatu negara atas jenis-jenis penghasilan yang dihasilkan dari
penggolongan penghasilan tersebut.10 Dengan demikian, hak pemajakan suatu
negara atas suatu jenis penghasilan dengan jenis penghasilan lainnya dapat
berbeda-beda. Jadi, penentuan jenis penghasilan merupakan hal penting karena
akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki atas penghasilan
tersebut. Pasal-pasal yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas
jenis-jenis penghasilan tersebut disebut sebagai “distributive rules” atau
“assignment rules”atau disebut juga dengan “allocation articles”. Pada umumnya,
penggolongan penghasilan dalam pasal-pasal yang disebut sebagai distributive
9
Rachmanto Surahmat, Opcit, hal. 34.
Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, Principles and Practice of Double
Taxation Agreements: A Questions and Answer Approach, BNA International, 2008, hal. 14.
10
Universitas Indonesia
14
rules tersebut adalah sebagai berikut:11
1. Active incomeActive income merupakan penghasilan yang berasal dari
kegiatan usaha dan pekerjaan. Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty
yang dikategorikan sebagai active income yaitu: penghasilan dari kegiatan
bisnis (business profit), penghasilan dari transportasi laut, sungai, dan
udara, penghasilan dari pemberian jasa profesi yang dilakukan oleh
individu (independent personal services), gaji pegawai (dependent
personal services), penghasilan direktur, artis dan olahragawan, gaji
Pegawai Negeri Sipil, dan penghasilan yang diterima oleh pelajar.
2. Passive incomePassive income merupakan penghasilan yang berasal dari
investasi dalam bentuk tangible maupun intangible properties (termasuk
dalam bentuk financial investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax
treaty yang dikategorikan sebagai passive income adalah: penghasilan dari
harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain,
serta pensiun.
3. Other incomePasal ini mengatur penghasilan yang tidak dapat digolongkan
berdasarkan penggolongan tersebut di atas.
Adapun pembagian hak pemajakan suatu negara berdasarkan distributive
rules yang diatur dalam tax treaty pada dasarnya adalah sebagai berikut:12
•
Hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada salah satu negara. Pada
umumnya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar
sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state).
•
11
12
Hak pemajakan dibagi antara negara domisili (residence state) dan negara
Roy Rohatgi, Basic International Taxation hal. 10
Robert Deutsch, Roisin M Arkwright, dan Daniela Chiew, hal. 16.
Universitas Indonesia
15
sumber penghasilan (source state).
Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, tax treaty yang
dikembangkan oleh OECD Model cenderung untuk memberikan hak pemungutan
pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Dengan kata lain, ketentuanketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak
pemajakan negara sumber.13
Dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD, terminologi
yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu
penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada
negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri
(residence state) adalah “shall be taxable only in...”. Dengan demikian, jika hak
pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka negara lainnya
tidak boleh untuk mengenakan pajak.14Jadi, isu pemajakan berganda atas suatu
penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak
akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili
dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak
pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara
sumber adalah ”may be taxed in...”. Makna terminologi tersebut adalah negara
sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak
untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Apabila
masing-masing negara mengenakan pajak maka terdapat isu pemajakan berganda.
Untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan
13
Ned Shelton, Interpretation and Application of Tax Treaties, Tottel Publishing, 2006, hal. 128
Roy Rohatgi, Basic International Taxation Volume 1: Principle, BNA International, 2005, hal.
101.
14
Universitas Indonesia
16
untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit
method atau income exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik
negara domisili).
Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan
OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya diberikan hanya kepada negara
domisili (Shall be Taxable Only in.):
Tabel 3.1
Jenis Penghasilan Berdaarkan OECD Model Tax Treaty Yang Hak
Pemajakannya Diberikan Hanya Kepada Negara Domisili
Pasal
Pasal 7
Jenis
Makna “Shall be taxable only..” dalam Pasal yang
Penghasilan
Bersangkutan
Laba Usaha
Hanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali
jika laba usaha tersebut diperoleh dari kegiatan
bisnisnya di negara lain (negara sumber) melalui
suatu Permanent Establishment (Bentuk Usaha Tetap
dan selanjutnya disebut BUT).
Pasal 8
Transportasi
Hanya dikenakan pajak di negara domisili (atas dasar
Laut, Sungai, tempat kedudukan manajemen), kecuali laba yang
dan
Udara berasal dari kegiatan usaha transportasi laut, sungai,
dalam
lalu dan udara yang semata-mata dilakukan hanya dari
lintas
dan ke dalam suatu wilayah negara lainnya, maka
internasional
laba dari transportasi laut, sungai, dan udara tersebut
dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut
(negara sumber)
Pasal 12
Royalti
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Pasal 13
Capital Gain
Hanya dikenakan pajak di negara domisili atas
Universitas Indonesia
17
capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat (5)
Pasal 14
Penghasilan
Hanya dikenakan pajak di negara domisili, kecuali
Profesi
apabila individu yang menjalankan kegiatan profesi
tersebut mempunyai tempat tetap (fixed base) di
negara sumber.
Pasal 15
Gaji Pegawai
Hanya dikenakan pajak di negara domisili sepanjang:
• Pegawai tersebut tidak hadir di negara lainnya
(negara sumber) dalam periode yang tidak
melebihi 183 hari dalam periode waktu 12
bulan yang dimulai dan berakhir di tahun
fiskal yang bersangkutan, dan
• Imbalan tersebut dibayar oleh pemberi kerja yang
bukan subjek pajak dalam negeri dari negara
sumber penghasilan, dan
• Imbalan tersebut tidak dibiayakan di negara
sumber oleh BUT dari si pemberi kerja.
Pasal 18
Pensiun
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Pasal 19
Gaji Pegawai Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Negeri Sipil
Pasal 21
Penghasilan
Hanya dikenakan pajak di negara domisili
Lainnya
Sumber: Diolah kembali oleh penulis
Berikut di bawah ini adalah jenis-jenis penghasilan yang berdasarkan
OECD Model tax treaty, yang hak pemajakannya juga diberikan kepada negara
sumber (source state), sehingga hak pemajakan dibagi antara negara domisili
(residence state) dan negara sumber (source state) atau yang dikenal dengan
“May be taxed in”:
Universitas Indonesia
18
Tabel 3.2
Jenis Penghasilan Berdaarkan OECD Model Tax Treaty Yang Hak
Pemajakannya Diberikan Hanya Kepada Negara Sumber
Pasal
Pasal 6
Jenis
Makna “May be taxed in..” dalam Pasal yang
Penghasilan
Bersangkutan
Penghasilan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atau negara
Harta Tidak
di mana harta tersebut terletak
Bergerak
Pasal 7
Laba Usaha
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atas laba
usaha yang diatribusikan kepada BUT yang berada di
negara sumber
Pasal 10
Dividen
Dapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 10
ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 10 ayat (2))
Pasal 11
Bunga
Dapat dikenakan pajak di negara domisili (Pasal 11
ayat (1)) dan negara sumber (Pasal 11 ayat (2))
Pasal 13
Capital
Dapat dikenakan pajak di negara sumber, kecuali
Gain
untuk capital gain yang tunduk dengan Pasal 13 ayat
(5), hanya negara domisili yang dapat mengenakan
pajak
Pasal 14
Penghasilan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber apabila
Profesi
individu yang menjalankan kegiatan profesi tersebut
mempunyai tempat tetap (fixed base) di negara
sumber.
Pasal 15
Gaji
Pegawai
Dapat dikenakan pajak di negara sumber sepanjang:
•
Pegawai tersebut hadir di negara
sumber dalam periode yang melebihi 183
hari dalam periode waktu 12 bulan yang
Universitas Indonesia
19
dimulai dan berakhir di tahun fiskal yang
bersangkutan, atau
•
Imbalan
tersebut
dibayar
oleh
pemberi kerja yang subjek pajak dalam
negeri dari negara sumber penghasilan, atau
•
Imbalan
tersebut
dibiayakan
di
negara sumber oleh BUT dari si pemberi
kerja.
Pasal 16
Gaji
Dapat dikenakan pajak di negara sumber
Direktur
Pasal 17
Artis dan
Dapat dikenakan pajak di negara sumber atas
Olahragawan
penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
penghasilan dari pertunjukannya maupun penghasilan
olahragawan yang terkait dengan penghasilan dari
pertandingannya.
Sumber: Diolah kembali oleh penulis
Dalam kasus ketika negara sumber penghasilan dapat mengenakan pajak
(may be taxed in..) maka hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber di
negara tersebut dapat diberikan dengan:
1. Tanpa adanya pembatasan (unrestricted right of tax in the source tax),
Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan
tersebut di bawah ini sesuai dengan ketentuan domestiknya tanpa ada pembatasan
(misalnya tanpa ada pembatasn tarif). Adapun jenis-jenis penghasilan tersebut
adalah (1) penghasilan harta tidak bergerak, (2) enghasilan usaha (business profit)
yang diatribusikan kepada Bentuk Usaha Tetap (BUT), (3) capital gain, (4)
penghasilan profesi yang diterima oleh individu, (5) gaji yang diterima oleh
Universitas Indonesia
20
pegawai, (6) gaji direktur, (7) penghasilan yang diterima oleh artis terkait dengan
hasil pertunjukannya maupun penghasilan olahragawan yang terkait dengan hasil
pertandingannya.
2. Dengan pembatasan (restricted right of tax in the source tax)
Artinya negara sumber dapat mengenakan pajak atas jenis penghasilan
tersebut di bawah ini dengan pembatasan yang diatur dalam tax treaty (misalnya
berdasarkan ketentuan domestik Indonesia, pembayaran dividen kepada Wajib
Pajak Luar Negeri dikenakan tarif sebesar 20% maka ketika pembayaran dividen
tersebut ditujukan kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai tax treaty
dengan Indonesia maka tarifnya dibatasi maksimal sebesar 10%). Jenis-jenis
penghasilan tersebut adalah dividen.dan bunga.
3.1.
Penentuan Hak Pemajakan atas Sumber Penghasilan Usaha
Secara umum pemajakan atas laba usaha (business profits) hanya
dikenakan di negara dimana perusahaan yang menghasilkan laba tersebut
berdomisili. Jika perusahaan tersebut memperoleh laba usaha melalui suatu
Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau Permanent Establishment (PE) yang terletak di
negara lain, maka negara lain tersebut dapat mengenakan pajak tetapi hanya dari
laba yang diatribusikan pada BUT. Sampai dengan hal ini, tidak ada perbedaan
atara ketentuan berdasarkan OECD Model dengan UN Model.
Perbedaan yang terjadi adalah dalam menentukan laba BUT yang dapat
dipajaki dinegara tempat BUT tersebut berada. OECD yang mewakili kepentingan
negara-negara maju sebagai capital exporting countries tidak menghendaki jika
terjadi pemajakan BUT akan meluas ke hal-hal yang secara substansi tidak
Universitas Indonesia
21
berkaitan dengan keberadaan BUT tersebut. Namun Negara-negara berkembang
sebagai capital importing countries diwakili kepentingan dalam UN Model,
menghendaki diterapkannya force of attraction principle untuk mencegah
penghindaran pajak dengan cara mengalihkan kegiatan-kegiatan yang seharusnya
ditangani BUT, namun dilakukan langsung oleh kantor pusatnya.
3.1.1. Pemajakan atas laba usaha menurut OECD Tax Convention Model.
Dalam Model OECD yang direvisi pada tahun 2010, pemajakan atas laba
usaha diatur sebagai berikut:
Article 7
Business Profits
1. Profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that
Stateunless the enterprise carries on business in the other Contracting
State through apermanent establishment situated therein. If the enterprise
carries on business asaforesaid, the profits that are attributable to the
permanent establishment inaccordance with the provisions of paragraph 2
may be taxed in that other State.
2. For the purposes of this Article and Article [23 A] [23B], the profits that
areattributable in each Contracting State to the permanent establishment
referred to inparagraph 1 are the profits it might be expected to make, in
particular in its dealingswith other parts of the enterprise, if it were a
separate and independent enterpriseengaged in the same or similar
activities under the same or similar conditions, takinginto account the
functions
performed,
assets
used
and
risks
assumed
by
the
Universitas Indonesia
22
enterprisethrough the permanent establishment and through the other
parts of the enterprise.
3. Where, in accordance with paragraph 2, a Contracting State adjusts the
profitsthat are attributable to a permanent establishment of an enterprise
of one of theContracting States and taxes accordingly profits of the
enterprise that have beencharged to tax in the other State, the other State
shall, to the extent necessary toeliminate double taxation on these profits,
make an appropriate adjustment to theamount of the tax charged on those
profits. In determining such adjustment, thecompetent authorities of the
Contracting States shall if necessary consult each other.
4. Where profits include items of income which are dealt with separately in
otherArticles of this Convention, then the provisions of those Articles shall
not be affectedby the provisions of this Article.
Pasal 7 ayat (1) model P3B OECD, menyatakan bahwa laba yang
diperoleh suatu perusahaan yang berada pada suatu negara hanya akan dikenakan
pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara
lainnya melalui suatu BUT.Apabila perusahaan tersebut memperoleh laba melalui
BUT yang berada di negara lain, maka negara lain tersebut dapat mengenakan
pajak atas laba yang diatribusikan pada BUT tersebut.
Laba yang diatribusikan pada BUT, diatur pada ayat (2), dengan ketentuan
(i) untuk kepentingan atribusi laba BUT, maka BUT tersebut dianggap sebagai
perusahaan yang terpisah dan independent. (ii) penentuan laba yang ditribusikan
juga mempertimbangkan fungsi yang dilaksanakan perusahaan, aset yang
dipergunakan dan resiko yang ditanggung perusahaan melalui BUT dimaksud.
Universitas Indonesia
23
Dengan demikian dalam mengatribusikan laba BUT, Arm length principles harus
diterapkan untuk dapat menentukan laba wajar dari suatu BUT.
Suatu negara dapat menyesuaikan laba yang diatribusikan pada suatu
BUT. Negara ini dapat berarti negara ditempat BUT berada dengan melakukan
penyesuaian atas laba BUT tersebut, namun dapat juga negara tempat kantor pusat
BUT, dengan cara melakukan penyesuaian pada transaksi di kantor pusatnya.
Penyesuaian-penyesuaian ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan efek
pajak berganda yang mungkin dapat terjadi. Sehingga dalam melakukan
penyesuaian tersebut, pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan
jika perlu saling berkonsultasi.
Dalam ayat (4) memberikan landasan hukum bagi pemerlakuan pasalpasal yang lain. Hal ini diperlukan karena dalam pasal mengenai Business Profit
ini memberikan wewenang kepada otoritas suatu negara untuk melakukan
koreksi-koreksi.
Namun
koreksi
yang
dialkukan
tersebut
tidak
harus
mempengaruhi pasal-pasai yang lain yang diatur tersendiri. Misalnya dalam
menghitung menetapkan laba suatu BUT dilakukan dengan melakukan koreksi
terhadap biaya bunga yang merupakan objek yang berdasarkan pasal lainnya
merupakan objek pemajakan di negara sumber. Koreksi tersebut tidak
mempengaruhi pemajakan atas objek pajak berupa bunga yang telah dibayarkan.
3.1.2. Pemajakan atas laba usaha menurut United Nation Tax Convention
Model.
Dalam Model Perserikatan Bangsa-bangsa yang direvisi pada tahun 2011,
pemajakan atas laba usaha diatur sebagai berikut:
Universitas Indonesia
24
Article 7
Business Profits
1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable onlyin
that State unless the enterprise carries on business in the other
ContractingState through a permanent establishment situated therein. If
the enterprisecarries on business as aforesaid, the profits of the enterprise
may be taxed inthe other State but only so much of them as is attributable
to (a) that permanentestablishment; (b) sales in that other State of goods
or merchandise ofthe same or similar kind as those sold through that
permanent establishment; or (c) other business activities carried on in
that other State of the same orsimilar kind as those effected through that
permanent establishment.
2. Subject to the provisions of paragraph 3, where an enterprise of
aContracting State carries on business in the other Contracting State
througha permanent establishment situated therein, there shall in each
ContractingState be attributed to that permanent establishment the profits
whichit might be expected to make if it were a distinct and separate
enterpriseengaged in the same or similar activities under the same or
similar conditionsand dealing wholly independently with the enterprise of
which it is apermanent establishment.
3. In the determination of the profits of a permanent establishment,there
shall be allowed as deductions expenses which are incurred for
thepurposes of the business of the permanent establishment including
executiveand general administrative expenses so incurred, whether in the
Universitas Indonesia
25
Statein which the permanent establishment is situated or elsewhere.
However,no such deduction shall be allowed in respect of amounts, if any,
paid (otherwisethan towards reimbursement of actual expenses) by the
permanentestablishment to the head office of the enterprise or any of its
other offices,by way of royalties, fees or other similar payments in return
for the use ofpatents or other rights, or by way of commission, for specific
services performedor for management, or, except in the case of a banking
enterprise, byway of interest on moneys lent to the permanent
establishment. Likewise, noaccount shall be taken, in the determination of
the profits of a permanentestablishment, for amounts charged (otherwise
than towards reimbursementof actual expenses), by the permanent
establishment to the head office of theenterprise or any of its other offices,
by way of royalties, fees or other similarpayments in return for the use of
patents or other rights, or by way of commissionfor specific services
performed or for management, or, except in thecase of a banking
enterprise, by way of interest on moneys lent to the headoffice of the
enterprise or any of its other offices.
4. In so far as it has been customary in a Contracting State to determinethe
profits to be attributed to a permanent establishment on the basis of
anapportionment of the total profits of the enterprise to its various parts,
nothingin paragraph 2 shall preclude that Contracting State from
determiningthe profits to be taxed by such an apportionment as may be
customary; themethod of apportionment adopted shall, however, be such
that the resultshall be in accordance with the principles contained in this
Universitas Indonesia
26
Article.
5. For the purposes of the preceding paragraphs, the profits to be
attributedto the permanent establishment shall be determined by the same
methodyear by year unless there is good and sufficient reason to the
contrary.
6. Where profits include items of income which are dealt with separatelyin
other Articles of this Convention, then the provisions of those Articlesshall
not be affected by the provisions of this Article.
(NOTE: The question of whether profits should be attributed to a
permanentestablishment
by
reason
of
the
mere
purchase
by
that
permanentestablishment of goods and merchandise for the enterprise wasnot
resolved. It should therefore be settled in bilateral negotiations.)
Pasal 7 ayat (1) UN Model mengatur bahwa laba usaha yang diperoleh
perusahaan di suatu negara hanya dipajaki dinegara tersebut, kecuali jika
perusahaan itu menjalankan usaha atau kegiatan dinegara lainnya melalui bentuk
usaha tetap.Jika suatu perusahaan mempunyai BUT dinegara lain, laba perusahaan
itu dapat dikenakan pajak di negara lain adalah laba yang dianggap berasal dari (a)
bentuk usaha tetapk (b) penjualan atas barang-barang atau barang dagangan yang
sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual melalui BUT , atau (c) kegiatan
usaha lainnya yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau serupa jenisnya
dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap. Disini UN model menerapkan
force of attraction principle, dengan cara memajaki laba dari penjualan kantor
pusat yang sejenis dengan yang dilakukan BUT dan laba dari usaha dan kegiatan
yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT.
Universitas Indonesia
27
Dalam ayat (2) ketentuan ini sama dengan yang direkomendasikan oleh
OECD Model, bahwa dalam menentukan laba suatu BUT maka BUT tersebut
akan diperlakukan sebagai perusahaan yang terpisah dan independen. Dengan
demikian laba yang diperoleh BUT tersebut diharapkan adalah laba yang wajar.
Walaupun tidak secara detil seperti yang direkomendasikan oleh OECD model
yaitu dengan menggunakan analisa fungsi asaet dan resiko, UN model juga
merekomendasikan penerapan Arm’s Length Principle untuk penentuan laba
wajar suatu BUT.
Ayat (3) mengatur tentang biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam
penentuan laba BUT. Biaya-biaya dalam menentukan yang dapat dikurangkkan
adalah (1) biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari BUT, (2)
termasuk biaya administrasi umum dan manajemen baik yang dikeluarkan di
Negara di mana BUT berada ataupun di tempat lain. Sedangkan biaya-biaya yang
tidak diperkenankan dalam menentukan laba BUT adalah (1) biaya penggantian
(reimbursement) kecuali nyata-nyata biaya penggantian yang sebenarnya, (2)
biaya royalti kepada kantor pusatnya atau unit-unit lain dalam perusahaan, (3)
biaya atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain
(komisi, pembayaran jasa tertentu, pembayaran untuk jasa manajemen, bunga
kecuali dalam hal usaha perbankan, pembebanan biaya oleh kantor pusat kepada
BUT).
Namun disisi lain, penerimaan yang tidak diperlu diperhitungkan sebagai
laba BUT adalah:
bunga atas uang yang dipinjamkan oleh BUTk
biaya penggantian, kecuali biaya penggantian biaya yang sebenarnya dari
Universitas Indonesia
28
kator pusat atau unit lainnyak
royalti , biaya atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten
atau hak-hak lain.
komisi untuk jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen.
Model OECD juga tidak membatasi penggunaan pendekatan perhitungan
secara proporsional yang lazim dipergunakan dalam suatu negara. Mengingat
bahwa untuk mmenentukan laba wajar dari suatu BUT membutuhkan data-data
yang akurat misalnya dalam rangka melakukan analisa fungsi suatu BUT dalam
kedudukannya sebagai bagian perusahaan secara global, atau analisa aset dan
analisa risiko yang ditanggung perusahaan melalui BUT tersebut. Sepanjang
merupakan kebiasaan di Negara pihak pada Persetujuan untuk menentukan
besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap berdasarkan suatu
pembagian secara proporsional atas seluruh laba perusahaan terhadap berbagai
bagiannya, maka hal ini dapat diterapkan, sepanjang masih memenuhi prinsipprinsip kewajaran dan kelaziman. Lebih lanjut dalam ayat (5) direkomendasikan
untuk menerapkan metode-metode penentuan laba BUT secara konsisten dan
berkesinambungan, kecuali ada pertimbangan lain untuk melakukan perubahan.
Ayat (4) dalam UN Model mengatur hal yang sama dengan apa yang
direkomendasikan dalam OECD Model. Pada ayat ini diatur jika dalam jumlah
laba terdapat jenis-jenis penghasilan yang diatur secara tersendiri oleh pasal-pasal
yang lain, maka ketentuan dalam pasal-pasal lain tersebut tidak dipengaruhi oleh
ketentuan dalam pasal 7.
Secara umum P3B yang dibuat dengan negara-negara anggota OECD,
maka
yang
berlaku
dalam
perjanjian
tersebut
adalah
seperti
yang
Universitas Indonesia
29
direkomendasikan dalam OECD model. Walaupun tidak semua seperti P3B
dengan Australia, Austria, Belgia dan Italia. Namun P3B dengan Singapura dan
China dibuat seperti rekomendasi OECD Model.
Sebagai contoh dalam P3B antara Hongkong dengan Indonesia penentuan
mengenai laba usaha adalah sebagai berikut:
Perusahaan yang mendapatkan penghasilan berupa laba usaha hanya
dipajaki oleh dimana dari negara dimana perusahaan tersebut berdomisili, kecuali
jika memperoleh laba melalui suatu BUT di negara lain, maka negara lain dapat
melakukan pemajakan. Pajak yang dikenakan di negara sumber hanya atas bagian
laba BUT yang berasal dari:
1. bentuk usaha tetap tersebut (factual attribution). Penghasilan suatu BUT
perusahaan asing di Indonesia adalah penghasilan yang berasal dari
kegiatan usahanya di Indonesia. Misalnya, apabila BUT perusahaan asing
tersebut bergerak dibidang perdagangan, maka penghasilannya di
Indonesia
adalah
penghasilan
yang
berasal
dari
kegitan
usaha
perdagangannya di Indonesia
2. penjualan yang dilakukan di Pihak lainnya itu atas barang-barang atau
barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual
melalui bentuk usaha tetap itu (force of attraction)k atau
3. kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang dijalankan di Pihak lainnya tersebut
yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk
usaha tetap itu.
Berdasarkan ketentuan, besarnya laba suatu BUT ditetapkan dengan
asumsi bahwa BUT tersebut adalah merupakan perusahaan lain yang terpisah dan
Universitas Indonesia
30
berdiri sendiri, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan BUT itu
termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum baik yang
dikeluarkan di Pihak di mana BUT itu berada ataupun di tempat lain dapat
dikurangkan, pembayaran-pembayaran selain dari penggantian biaya yang benarbenar dikeluarkan berupa royalti, biaya atau pembayaran serupa lainnya karena
penggunaan paten atau hak-hak lain atau berupa komisi, untuk jasa-jasa yang
khusus yang dilakukan atau untuk manajemen tidak dapat dikurangkan kecuali
dalam usaha perbankan berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada BUT,
tidak akan diperhitungkan sebagai laba BUT adalah sejumlah pembebanan yang
dikenakan BUT terhadap kantor pusat atau kantor-kantor lain milik kantor pusat
(selain penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan), berupa royalti, komisi
atau pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau
berupa komisi untuk pemberian jasa-jasa tertentu atau untuk manajemen, kecuali
dalam hal usaha perbankan berupa, bunga atas peminjaman uang kepada kantor
pusat atau kantor-kantor lain milik kantor pusat, penetapan besarnya laba yang
dapat dianggap berasal dari BUT dapat dilakukan dengan cara menentukan bagian
laba berbagai bagian perusahaan tersebut atas keseluruhan laba perusahaan itu,
atau dengan cara lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pihak
tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip yang lazim, laba yang semata-mata berasal
dari pembelian barang-barang atau barang dagangan yang dilakukan oleh BUT
untuk perusahaan tidak akan dihitung sebagai laba dari bentuk usaha tetap,
besarnya laba yang dianggap berasal dari BUT harus ditentukan dengan konsisten
kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk menyimpang
Universitas Indonesia
31
3.1.3. Pajak Penghasilan Badan dan Branch Profit Tax
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa untuk tujuan
perpajakan, perlakukan perpajakan suatu BUT perusahaan asing di Indonesia
diperlakukan sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya yaitu antara lain : (1)
kewajiban perpajakan tahunan ( lapor dan setor PPh Pasal 29 atas Laba Usaha
Badan PPh Badan Terutang, lapor dan setor PPh Pasal 25 atas angsuran PPh
Badan dan kredit pajak), (2) kewajiban perpajakan bulanan (memotong PPh Pasal
21 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNI, memotong PPh Pasal 23 atas
pembayaran bunga/royalti, pembayaran jasa, dan pembayaran sewa, memotong
PPh Pasal 26 atas gaji yang dibayarkan kepada karyawan WNA, memotong PPh
Pasal 4 ayat (2) Final atas pembayaran sewa tanah dan/atau bangunan).
Namun demikian atas laba bersih setelah Pajak Penghasilan Badan suatu
BUT perusahaan asing di Indonesia dikenakan tambahan pajak yang sering
disebut sebagai branch profit tax dengan tarif sebesar 20% dari laba bersih setelah
pajak (net income after tax). Apabila perusahaan asing tersebut berasal dari negara
treaty partner, maka besarnya tarif branch profit tax sesuai ketentuan tax treaty
yang berlaku (lihat tabel 1). Penentuan besarnya tarif branch profit tax sering
menjadi perdebatan dalam perundingan tax treaty Indonesia dengan negara-negara
lainnya karena beberapa hal yaitu: (i) negara treaty partner tidak menerapkan
branch profit tax di negaranya, atau (ii) untuk melindungi kepentingan Indonesia
dibidang industri hulu Minyak dan Gas Bumi. Dalam rangka menentukan
besarnya penghasilan kena pajak (taxable income) suatu BUT perusahaan asing di
Indonesia, pembayaran ke kantor pusat yang tidak boleh dikurangkan sebagai
deductible expenses adalah:
Universitas Indonesia
32
•
royalti atau imbalan lainnya yang berhubungan dengan penggunaan harta,
paten atau hak-hak laink
•
imbalan yang berhubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnyak
•
bunga kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Selain itu, biaya administrasi kantor pusat yang dialokasikan ke BUT nya
di Indonesia yang dapat dibebankan hanya sebesar rasio antara jumlah
penghasilan BUT nya di Indonesia dengan jumlah penghasilan globalnya
dikalikan dengan jumlah biaya administrasi kantor pusat.Insentif pajak yang
diperoleh suatu BUT perusahaan asing di Indonesia adalah pembebasan PPh Pasal
26 ayat (4) atas branch profit tax apabila memenuhi persyaratan yangbersifat
kumulatif yaitu:
•
Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah
dikurangi PPh dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta
pendirik
•
Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau selambatlambatnya tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau
diperolehnya penghasilan tersebutk dan
•
Tida