Stereotip Perempuan sebagai Bentuk Keung

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN...............................................................2
LATAR BELAKANG.......................................................................2
LANDASAN TEORI........................................................................2
METODE PENULISAN.....................................................................4
RUMUSAN MASALAH.....................................................................4
TUJUAN PENULISAN......................................................................4
BAB II: STEREOTIP PEREMPUAN SEBAGAI BENTUK KEUNGGULAN......5
SINOPSIS..................................................................................5
BENTUK STEREOTIP PEREMPUAN DALAM PENOKOHAN BARABAH.....................7
STEREOTIP PEREMPUAN SEBAGAI KEUNGGULAN BARABAH..........................10
BAB III: PENUTUP...................................................................11
SIMPULAN...............................................................................11

1

BAB I
Pendahuluan

Latar Belakang

Menurut Warren (dalam Kramarae dan Treichler, 1985: 173-174) gender
berhubungan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi
sosial yang diwujudkan dalam perbedaan peran dan sifat anatara laki-laki dan
perempuan. Kemudian, perbedaan peran dan sifat ini membentuk suatu budaya
yang dianggap bersifat “alamiah” oleh tatanan masyarakat. Selain itu,
dalam Analisis Sosial (Fakih, 1996), gender juga dijelaskan sebagai perbedaan
tingkah laku antarjenis kelamin yang merupakan hasil konstruksi masyarakat.
Sifatnya bukan biologi dan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat
melalui sebuah proses sosial budaya yang panjang. Oleh karena itu, gender
berubah dari waktu ke waktu dari satu tempat ke tempat lain, bahkan antara kelas
yang satu dengan kelas yang lainnya.
Masalah gender kemudian muncul ke dalam bentuk karya-karya sastra,
salah satunya drama. Dari sekian banyak naskah drama, saya tertarik untuk
menganalisis salah satu karya drama Motinggo Busye yang berjudul Barabah.
Naskah drama ini diadaptasi dari novel berjudul sama yang menceritakan likaliku kehidupan rumah tangga seorang perempuan bernama Barabah. Seorang
perempuan muda yang dipersunting Banio, seorang pria tua yang sudah belasan
kali menikah. Dalam tulisan ini penulis akan membahas konsep gender dan
bentuk ketidakadilan gender berupa subordinasi yang terdapat dalam naskah
Barabah.


Landasan Teori
Karya sastra sebagai bentuk konstruksi kenyataan yang diciptakan
pengarang merupakan perpaduan dunia nyata di luar diri pengarang dan dunia
dalam diri pengarang. Karya sastra dapat dilihat sebagai bentuk otonom atau
terpisah dari pengarang, namun juga dapat menjadi medium sosial dengan

2

mempertimbangkan nilai sosial yang erat dengan pengarangnya. Nilai sosial
dalam karya sastra dapat terlihat jelas melalui unsur tokoh dan penokohan.
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
di dalam berbagai cerita dan pada umumnya tokoh berwujud manusia, tetapi
dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Sudjiman, 1991:16).
Tokoh memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan
dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2005:165). Sedangkan, penokohan adalah penyajian watak tokoh
dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman, 1991:58).
Konstruksi nilai sosial dalam beberapa karya sastra dapat memperlihatkan
kenyataan mengenai konsep gender melalui tokoh dan penokohannya. Secara
terminologis, gender digunakan untuk menandai segala sesuatu yang ada di dalam

masyarakat “vernacular” mencakup bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan,
ruang, waktu, harta milik, tabu, alat-alat produksi dan sebagainya. Secara
konseptual gender berguna untuk mengadakan kajian terhadap pola hubungan
sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih,
1996).
Istilah gender berbeda dengan istilah sex atau jenis kelamin menunjuk pada
perbedaan secara biologis (kodrat), gender lebih mendekati arti jenis kelamin dari
sudut pandang sosial (interpensi sosial kultural), seperangkat peran seperti apa
yang seharusnya dan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan
(Fakih, 1996).
Akibat dari bentukan gender tersebut, muncul beberapa bentuk ketidakadilan
gender salah satunya berupa stereotip gender. Stereotip gender adalah kategori
luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat
untuk pria

dan wanita.

Semua

stereotip,


entah

itu

berhubungan

dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota
kategori tersebut (Santrock, 2010:197).

3

Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam menyusun tulisan ini adalah metode
deskriptif analitis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta
yang kemudian disusul dengan analisis. Analisis yang dilakukan tidak
semata-mata menguraikan, melainkan juga memberi pemahaman dan
penjelasan mengenai unsur-unsur yang dianalisis.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana stereotip terhadap perempuan yang digambarkan dalam naskah
Barabah karya Motinggo Busye?
2. Apakah stereotip tersebut mempengaruhi kedudukan Barabah di mata
Banio?

Tujuan Penulisan
Analisis bertujuan untuk menunjukkan stereotipe terhadap perempuan
yang digambarkan dalam naskah Barabah karya Motinggo Busye dan
menjelaskan ada atau tidaknya pengaruh stereotip terhadap kedudukan Barabah di
mata suaminya, Banio.

4

BAB II
Stereotip Perempuan sebagai Bentuk Keunggulan Perempuan

Sinopsis
Banio adalah seorang lelaki tua bertubuh bongkok tapi kekar, berumur 70
tahun, suaranya lantang dan sukar untuk menunjukkan emosinya. Ia telah menikah
sebanyak dua belas kali, namun dari kedua belas istrinya yang masih setia

mendampinginya adalah Barabah, istri kedua belasnya. Barabah seorang istri yang
sangat setia, dia berumur 28 tahun, cantik, menarik dan mencintai suaminya.
Pada suatu siang, di ruang tengah rumahnya , Barabah sedang menenun
dan duduk di sebuah peti yang panjang dan dia melihat suaminya, Banio, yang
masuk rumah dengan tangan terluka dan penuh dengan tanah. Saat Barabah
menanyakan tangannya, Banio mengalihkan pembicaraan dengan memuji kopi
buatan Barabah. Kemudian Banio mempertanyakan panggilan Barabah, atau Ibah
panggilannya, kepadanya yaitu “bapak”. Ia merasa bahwa dirinya sudah sangat
tua, dia berpikir bahwa usianya pun tidak lama lagi. Ibah berusaha meyakinkan
suaminya bahwa ia tidak menganggap suaminya itu tua dan ia juga akan tetap
mencintainya, tapi apapun alasan Ibah, Banio tetap berpikir saat dirinya
meninggal akan banyak laki-laki yang ingin menjadi suami Ibah.
Banio lalu mulai menceritakan istri-istrinya dan Ibah akan merasa
cemburu apabila Banio bercerita tentang perempuan lain, ia sangat takut Banio
akan menikah lagi dengan perempuan lain. Namun ternyata Banio hanya menguji
kesetiaan Ibah, Banio juga merasa bahwa dirinya sudah tua dan tidak mungkin
akan menikah lagi, pernikahan yang kedua belas kali merupakan akhir dari
pernikahannya. Banio berjanji tidak akan menikah lagi karena dari sekian banyak
istrinya hanya Ibah yang sangat perhatian, setia dan mencintai dirinya.
Setelah makan siang Banio kembali pergi ke ladang untuk mencabuti

alang-alang yang dianggap berbahaya di ladangnya. Ketika Banio pergi, Ibah
bermaksud menuju ke tempat ia biasanya merenda, tetapi mendadak dia

5

mendengar suara ketukan pintu depan. Saat Ibah membuka pintu, nampak seorang
perempuan muda bernama Zaitun, Zaitun adalah seorang wanita berbadan montok
yang berusia 25 tahun, sikapnya ramah dan hangat. Zaitun terpesona melihat dan
memandangi isi rumahnya, sedangkan Barabah curiga tetapi dia berusaha
menutupinya. Barabah heran melihat kelakuan Zaitun, Zaitun berkata kepada Ibah
bahwa dia melihat cicak. Di saat Zaitun melangkah masuk dia melihat sepasang
cicak yang saling memburu, kata Ibunya menafsirkan itu adalah pertanda jodoh.
Barabah merasa kaget dengan tafsiran yang diucapkan Zaitun, kemudian Zaitun
mengatakan bahwa Ibunya ahli sekali dalam hal bertenung kartu.
Cicak-cicak itu pertanda baik juga dalam takhayul, kecuali jika kucing
berkelahi. Barabah mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran Zaitun. Ia takut
kalau perempuan itu datang untuk menggoda suaminya. Apalagi tujuannya datang
adalah untuk bertemu dengan Pak Banio. Awalnya ia terus menerus menyindir
Zaitun dengan analogi kebun ilalang dan lainnya, tetapi melihat Zaitun tidak
mengerti ia mulai mengomel dan membentak Zaitun. Sementara Zaitun merasa

kaget dengan sikap Barabah itu, Zaitun beranjak ke pintu dan kemudian pergi dari
rumah Barabah.
Barabah pergi ke jendela, dia tidak menyadari kalau diakhir ocehannya,
Banio sudah masuk lewat pintu belakang. Banio bertanya tentang kejadian tadi
dan Ibah mengaku bahwa tadi ada tamu perempuan yang mencari Banio namun
telah ia usir. Banio yang penasaran dengan tamu itu akhirnya berniat untuk
menyusulnya ke stasiun. Setelah Banio pergi, datanglah Adibul yang tubuhnya
kekar tetapi agak sedikit bongkok, berusia 30 tahun dan bekerja sebagai kusir
sado. Ia mengaku ingin bertemu dengan Pak Banio, karena takut menjadi fitnah
Ibah menyuruhnya menunggu di depan rumah sampai Banio pulang. Saat Banio
pulang dari stasiun, Banio melihat ada tamu di rumahnya yaitu seorang laki-laki
yang datang ke rumahnya disaat istrinya di rumah sendirian. Sebelumnya Banio
merasa marah namun akhirnya dia tidak jadi marah melihat gelagat baik dari
Adibul. Mereka pun asyik mengobrol sampai tiba-tiba Zaitun muncul kembali di
depan pintu.

6

Adibul mendekati Zaitun, dan mereka berdua menyampaikan maksud
kedatangan mereka yang sebenarmya. Saat itulah Banio menyadari bahwa Zaitun

adalah anaknya dari istri yang ke enamnya yaitu dari Ibu Rabiah. Tujuan Zaitun
datang dengan Adibul adalah untuk meminta restu sebelum menikah kepada
bapaknya yaitu Pak Banio.

Bentuk Stereotip Perempuan dalam Penokohan Barabah
Ideologi gender menghasilkan pandangan manusia tentang peran jenis
dalam masyarakat. Peran jenis (sex role) adalah satu kelompok perilaku,
kesenangan, dan sifat serta sikap yang dipunyai oleh satu jenis tertentu, dan tidak
dimiliki oleh jenis lain dengan adanya peran jenis maka muncul stereotip jenis.
Stereotip jenis adalah pembakuan suatu pandangan terhadap kelompok manusia
dengan memberi ciri-ciri tertentu, tanpa memperhatikan variasi perseorangan.
Stereotip terhadap jenis, telah membakukan pandangan tentang bagaimana
perempuan “seharusnya”, dan bagaimana laki-laki “seharusnya”. Kedua, tanpa
memberi kesempatan untuk “keluar” dari ciri yang telah ditetapkan oleh
masyarakat. Pandangan stereotip ini, membuat seorang pribadi laki-laki merasa
bersalah apabila ia melakukan tindakan dengan ciri keperempuanan, atau
sebaliknya. (Murniati, 2004: 62).
Adapun stereotip yang terbangun dalam naskah Barabah karya Motinggo
Busye adalah sebuah konstruksi “istri ideal” menurut lelaki yang diutarakan
dalam paradigma berpikir tokoh suami, Banio. Hal ini terlihat dari salah satu

cuplikan dialog Banio.
BANIO
Itu tandanya dia istri yang baik. Kalau kau kawin, carilah perempuan
yang sebaik Barabah. Dia bukan hanya bisa masak di dapur, dia juga
pemberani dan suka memberi semangat. Dia juga tidak mau kehilangan
suami. Sebab itu aku senang padanya.
(Bosye, hal. 34)
Stereotip “istri ideal” yang dikonstruksikan di cerita ini jelas-jelas disebutkan
sebagai sebuah konsep umum yang terbentuk dalam kepala laki-laki. Barabah
7

sebagai tokoh utama dalam cerita ini termasuk dalam konstruksi tersebut. Ada
pula sifat-sifat Barabah yang dapat dikategorikan sebagai stereotip “istri ideal”
terlihat dalam cuplikan dialog-dialog berikut.
 Halus perasaannya
BANIO
...
Ya, aku sudah tua dan sebentar lagi aku akan mati. Barangkali lima atau
enam tahun lagi. Kalau aku mati, apa kau akan menangis Barabah?
BARABAH

Ibah akan menangis di kuburan bapak selama seminggu
BANIO
Sesudah kau menangis selama seminggu dan air matamu kering, kau akan
menangis lagi? Barabah?
BARABAH
Ibah akan nangis lagi kalau punya air mata lagi
(Bosye, hal.6)
 Setia
BARABAH
Ibah tidak pernah main gila
BANIO
Bukan kau Barabah. Kau baik. Namamu juga bagus; Barabah! Burung
pemakan padi. Tapi kau bukan burung pemakan padi, kau burung yang
membenih padi.
(Barabah senang mendengarnya, ia menutup matanya dan tersenyum)
(Bosye, hal. 9)
 Cemburu
BARABAH
Ibah cemburu!
BANIO
Cemburu? Kau juga ada rasa cemburu seperti kebanyakan perempuan?
BARABAH
Ibah cemburu bapak akan kawin lagi. Kaum perempuan cemburu kalau
suaminya cerita tentang perempuan lain.

8

(Bosye, hal. 10)
 Melayani suami dengan baik
BANIO (SENYUM MAHAL)
Iya, tapi tolonglah korekkan sedikit
(Barabah menyalakan korek api, tapi banio meniupnya. Terjadi beberapa
kali. Setelahnya barulah api korek itu membakar rokoknya)
Dari
sebanyak
itu
biniku,
cuma
kaulah...hmmmm....saya
menyebutnya....cuma kaulah yang bisa memasangkan korek api dengan
benar. Aku janji aku tidak akan kawin lagi!
(Bosye, hal. 12)
 Pandai memasak
BARABAH
SOAL PERKAWINAN MEMANG PENTING, HARUS DIPIKIRKAN MASAK-MASAK.
SAMA SEPERTI PARA PEREMPUAN MENANAK NASI, KALAU KURANG MASAK,
AKAN TERASA KERASNYA. KALAU TERLALU MASAK MALAH MUTUNG DAN LAKILAKI AKAN MENCELA KITA. KATA MEREKA KITA SEMBRONO. LAKI-LAKI
MEMANG CUMA TAHU MAKAN DAN MENGOCEH SAJA PADA PEREMPUAN, BIAR
PUN (MENDADAK BERURAI AIR MATA) BIARPUN KITA PEREMPUAN SUDAH
SUSAH PAYAH
KESUKAANNYA.

MEMASAKKAN

NASI

DAN

MEMBIKINKAN

SAMBEL

PETE

(Bosye, hal. 16)
 Berterus terang
BANIO (TERSENYUM)
Ini baru bini namanya. Semua biniku selama ini tidak ada yang berterus
terang padaku, kecuali kau Barabah.
(Membelai rambut Barabah)
(Bosye, hal. 19)
 Menghormati suami
BARABAH
BUNG, KITA INI ORANG TIMUR. SAYA BISA MENGHORMATI TAMU-TAMU SAYA.
TAPI SUAMI SAYA MEMESANKAN, JANGANLAH MENERIMA TAMU LELAKI KETIKA
SUAMI TIDAK ADA DI RUMAH. SAUDARA SEPUPU SAYA YANG LELAKI SAJA
TERPAKSA SAYA SURUH BERKELILING DULU SEBELUM SUAMI SAYA DATANG.
(Bosye, hal. 24)

9

Jelas bahwa dalam setiap lingkungan budaya ada pembagian peran gender
(gender specific roles) yang dapat diamati, ditiru, dan diperkenalkan secara
khusus pada anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan demikian, dalam setiap
budaya juga ada stereotip tertentu tentang apa yang “pantas” bagi perempuan atau
laki-laki (Sadli, 2010: 8). Kenyataan tersebut menunjukkan betapa dunia
perempuan amat dibatasi oleh stereotip yang berkembang dalam masyarakat.
Stereotip Perempuan sebagai Keunggulan Barabah
Motinggo Busye dalam naskah Barabah ini berusaha menunjukkan bahwa
pelabelan pada perempuan dilihat sebagai kriteria ideal untuk perempuan. Kaum
perempuan sendiri justru menikmati stereotip yang berkembang dalam masyarakat
dengan berusaha memenuhi stereotip tersebut dengan berbagai cara. Ketika
perempuan sudah merasa tidak sanggup memenuhi upaya untuk mencapai
stereotip yang berkembang, perempuan akan cenderung merasa terasing dan kalah
dengan keadaan.
BANIO (SENYUM MAHAL)
...
Dari
sebanyak
itu
biniku,
cuma
kaulah...hmmmm....saya
menyebutnya....cuma kaulah yang bisa memasangkan korek api dengan
benar. Aku janji aku tidak akan kawin lagi!
(Bosye, hal. 12)
Tokoh Barabah daalam cerita ini termasuk perempuan yang memiliki ciri
stereotip itu, sehingga dianggap sebagai perempuan yang ideal. Keunggulan
Barabah dibandingkan dengan istri-istri Banio sebelumnya membuat Banio lebih
menyayanginya, bahkan menjanjikan untuk tidak menikah lagi karena Barabah
sudah cukup baginya. Pesan yang dapat diambil dari drama ini adalah perempuan
memiliki kebebasan untuk berkehendak. Jika seorang perempuan hendak
menentang stereotip yang ada pada masyarakat itu mungkin baik untuknya,
namun jika seorang perempuan menuruti stereotip yang sudah ada belum tentu

10

karena pikirannya tidak terbuka, tapi ia menemukan keunggulan di dalam
pilihannya tersebut. Hak perempuan adalah untuk menjalani pilihannya sendiri.

BAB III
Penutup

Simpulan
Stereotip jenis adalah pembakuan suatu pandangan terhadap kelompok
manusia dengan memberi ciri-ciri tertentu, tanpa memperhatikan variasi
perseorangan. Stereotip terhadap jenis, telah membakukan pandangan tentang
bagaimana perempuan “seharusnya”, dan bagaimana laki-laki “seharusnya”.
Dalam masyarakat saat ini kaum perempuan cenderung menikmati stereotip yang
berkembang dalam masyarakat dengan berusaha memenuhi stereotip tersebut
dengan berbagai cara.
Perempuan yang dalam upaya pemenuhannya mengalami banyak
kegagalan dan hambatan merasa terbebani atas stereotip ini. Itulah penyebab
munculnya stigma bahwa perempuan adalah korban dalam stereotip. Pesan yang
dapat diambil dari drama Barabah karya Motinggo Busye ini adalah perempuan
memiliki kebebasan untuk berkehendak. Bukan hanya kehendak untuk lepas dari
kurungan stereotip tapi juga bebas menjalani kehidupannya meskipun dianggap
persis stereotip.

11