POLITIK HUKUM ISLAM masa kolonial.docx

POLITIK/KEBIJAKAN PENJAJAH BELANDA
PADA PENERAPAN HUKUM ISLAM DI NUSANTARA
Tugas Mata Kuliah
Politik Hukum Islam
Dosen Pengampu;
Dr. Dahlam Tamrin, M.Ag

Oleh:
AHKAM RIZA KAFABIH
NIM: 15781025
M. ABDUL HAKIM
NIM: 15781026

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH
PASCASARJANA
UNIVERISTAS ISLAM NEGRI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai
dengan kehadiran Organisasi Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih
dikenal dengan VOC. Kedatangan Belanda di Indonesia memberikan dampak
yang kurang baik terhadap eksistensi hukum Islam yang telah dirintis dan
berkembang sejak era kesultanan di Indonesia
Hukum Islam yang berlangsung cukup lama, di hapus pada pemerintah
kolonial Belanda dan menggantinya dengan hukum Belanda. Hukum syari’at
hanya dibatasi untuk bidang-bidang yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat seperti, nikah, tala’, ruju’, dan lainnya. Namun, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
memberikan kebijakan dan peraturan tertentu terkait penerapan hukum Islam di
Nusantara
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak kedatangan VOC di Indonesia?
2. Bagaimana Perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan Belanda?
3. Bagaimana latar belakang adanya teori tentang hukum Islam pada masa
penjajahan Belanda?
4. Bagaimana pengaruh kebijakan Belanda terhadap pendidikan Islam di

Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dampak Kedatangan VOC di Indonesia
Kesultanan-kesultanan sebagaimana tercatat dalam sejarah menetapkan
hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku sepertihalnya kesultanan
Malaka, Banjar1 dan lainnya. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di
setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang
telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini
dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga
para pedagang Belanda datang ke kawasan Nusantara.
Pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596 organisasi perusahaan
dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat.
Kedatangan belanda di Indonesia memberikan suatu dampak yang kurang baik.
Hukum Islam yang bermazhab Syafi’i yang berlangsung cukup lama, di hapus
pada pemerintah kolonial Belanda dan menggantinya dengan hukum belanda.
Hukum syari’at hanya dibatasi untuk bidang-bidang keluarga seperti nikah,
tala’, ruju’, dan yang sejenisnya. Namun, penggunaan hukum Belanda itu

menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka.2
Pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan)
ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama,
namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan
penjajahan. pada akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya
1

Mufti yang terkenal pada saat itu ialah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kitab fikih karya
Arsyad yang cukup terkenal adalah Sabil al-Muhtadin li Tafaqquh fi Amr ad-Din, yang pada
dasarnya merupakan sarah dari kitab Sirathal Mustaqim karay Nuruddin Arraniri. Guna
mengefektifkan pelaksanaan hukum Islam di Kesultanan Banjar dan di masyarakat, maka
diperlukan adanya lembaga yang khusus mengurusi dan menampung permasalahan pemberlakuan
hukum Islam tersebut. Oleh karena itu Syekh Arsyad mengajukan saran untuk dibentuk
Mahkamah Syari’ah dan Jabatan Mufti. Lihat, Warkum Sumirto, Perkembangan Hukum Islam Di
Tengah Dinamika Sosial Politik Di Indonesia (Malang: Bayumedia, 2005), 29.
2
Daud Rasyid dkk, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan (Jakarta:
Globalmedia, 2004), 55.


persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi.
Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum
agama bagi masing-masing pemeluknya.3
Maksud kedatangan Belanda di Indonesia semula untuk berdagang,
namun kemudian halauannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia.
Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan
kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan
benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Nusantara.
Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi, pertama
sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Untuk memantapkan
pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang
dibawanya. Untuk daerah-daerah yang dikuasainya. VOC membentuk badanbadan peradilan untuk bangsa Indonesia kala itu .Namun, oleh karena susunan
badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan
dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam
masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. VOC terpaksa harus
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Dalam statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa
mengenai

kewarisan


warga

Indonesia

yang

beragama

Islam

harus

dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.4
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan
Belanda dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama adanya toleransi pihak
belanda melalui VOC yang memberikan ruang yang cukup luas bagi
perkembangan hukum Islam. Kedua adanya intervensi Belanda terhadap
hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.
Organisasi VOC karena mengalami kebangkrutan, pada tanggal 31

Desember 1799 dibubarkan. Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan
oleh Belanda, maka seperti yang terlihat kemudian, sikap Belanda berubah-

3

Daud Rasyid dkk, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan tantangan (Jakarta:
Globalmedia, 2004), 55.
4
Rasyid, Penerapan syariat Islam., 56.

ubah terhadap hukum Islam. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat
dilihat dari tiga sisi:
1. Menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam
yang cukup kaya.
2. Menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan
proyek Kristenisasi.
3. Keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik
hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata
dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Menurut H.J Benda,5 pada akhir abad ke-19 banyak orang Belanda

berharap untuk dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar
warga Indonesia dengan berbagai cara, dan diantaranya melalui proses
Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama
Kristen terhadap agama Islam, dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan
bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan sangat berpengaruh
terhadap lancarnya proses kristenisasi di Indonesia, jika dibandingkan dengan
mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya. Banyak orang Belanda
yang berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk indonesia akan
menguntungkan negeri Belanda, karena penduduk pribumi yang mengetahui
eratnya hubungan agama mereka dengan agama pemerintahnya, setelah mereka
masuk Kristen akan menjadi warga negara yang loyal lahir dan batin. Pendapat
ini didukung oleh teori yang berlaku pada waktu itu yang menyatakan bahwa
hukum mengikuti agama yang dipeluk seseorang. Kalau ia beragama Kristen,
maka hukum Kristenlah yang berlaku baginnya, dan seterusnya.
B. Penerapan Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Pada tanggal 25 Mei 1760, Belanda menerbitkan peraturan Resolutie
der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
Melalui peraturan ini, dalam peraturan tersebut Belanda hanya mengakui berlakunya hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan)
5


H.J Benda di dalam, Rasyid, Penerapan syariat Islam., 56.

saja dan menggantikan kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang
dibentuk oleh para raja atau sultan dengan peradilan buatan Belanda dengan
hakim-hakim Belanda dibantu oleh para penghulu qadhi Islam.
Untuk membatasi ruang gerak ulama dalam mengembangkan hukum
Islam, dikeluarkan Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 No, 78 yang
menugaskan kepada Gubernur Jendral untuk mencampuri masalah agama.
Bahkan, harus mengawasi gerak-gerik para ulama bila dipandang perlu demi
kepentingan ketertiban keamanan. Untuk melaksanakan tugas itu pemerintah
Belanda membentuk suatu komisi di bawah ketua Mr. Scholten van Dad
Haarlem.6
Pada tahun 1882 terbentuklah peradilan Agama yang menjadi sebuah
institusi yang mengurusi masalah di bidang perkawinan, kewarisan, hibah,
sedekah dan wakaf. Sebelum menjadi sebuah institusi, peradilan agama masih
berbentuk perorangan yang hakimnya dipegang oleh para penghulu atau ahli
agama. Dengan di bentuk peradilan Agama menjadi sebuah institusi, jelaslah
bahwa pemerintah Belanda mengakui bahwa hukum Islam (godsdiengtige
Wetten) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam.7
Politik hukum pemerintah kolonial Belanda membagi lima buah tatanan

peradilan pada waktu itu:8
1. Tatanan peradilan gubernemen, yang meliputi seluruh daerah Hindia
Belanda;
2. Di

bagian-bagian

Hindia

Belanda,

dimana

rakyatnya

dibiarkan

menyelenggarakan peradilannya sendiri, di samping hakim-hakim
gubernemen terdapat juga hakim-hakim peribumi, yang mengadili menurut
tatanan peradilan pribumi;

3. Di dalam kebanyakan daerah swapraja di samping tatanan peradilan
gubernemen terdapat juga tatanan peradilan swapraja itu sendiri
(Zelfbestuurrechtspraak);
6

Warkum Sumirto, Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial Politik Di Indonesia
(Malang: Bayumedia, 2005), 38.
7
Sumirto, Dinamika Sosial Politik Di Indonesia., 40.
8
R Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II ( Pradnya Paramita, 2002),
36.

4. Selanjutnya terdapat tatanan peradilan agama. Pengadilan agama terdapat,
baik di bagian-bagian Hindia Belanda di mana semata-mata ada peradilan
gubernemen maupun di daerah-daerah di mana peradilan agama
merupakan bagian dari peradilan pribumi atau di dalam daerah-daerah
swapraja sebagai bagian dari peradilan swapraja itu;
5. Akhirnya dalam kebanyakan daerah terdapat juga peradilan desa di dalam
masyarakat desa.

C. Latar Belakang Munculnya Teori
Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah
datang ke Indonesia. Waktu penjajah Belanda dating ke Indonesia, (Hindia
Belanda), bangsa Indonesia telah menyaksikan kenyataan bahwa di Hindia
Belanda telah menganut sistem hukum, yaitu agama yang dianut di Hindia
Belanda, seperti hukum Islam, Hindu Budha, dan Nasrani serta hukum adat
bangsa Indonesia. Berlakunya hukum islam bagi sebagian besar penduduk
Hindia Belanda, berkaitan dengan mnculnya kerajaan-kerajaan Islam setelah
runtuhnya Majapahit pada sekitar tahun 1581. Menurut C. Snouck Hurgonje,
pada abad ke-16 di Hindia Belanda (nusantara) sudah muncul kerajaan Islam,
seperti Mataram, Banten dan Cirebon, yang berangsur angsur mengisalamkan
seluruh penduduknya.9
Pada mulanya kedatangan Belanda yang notabene beragama Kristen
Protestan ke Indonesia tidak ada kitannya dengan masalah hukum (agama),
namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan
penjajah, akhirnya mereka tidak bisa menghindari persentuhan masalah hukum
dengan penduduk pribumi. Berhubungan dengan masalah hukum adat di
Indonesia serta hukum agama bagi masing-masing pemeluknya,munculah
beberapa teori-teori hukum diantaranya ialah teori receptio in complexu dan
teori receptie yang muncul pada masa kolonialisme Hindia Belanda.
1. Teori Receptio in Complexu
9

C. Snouck Hurgronje, De Islam In Nederlands Indi, terj. S. Gunawan, Islam di Hindia Belanda
(Jakarta: Bhratara, 1983), 10.

Teori Receptio in Complexu ini, dipelopori oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg tahun 1845-1925.10 Teori receptio in Complexu
menyatakan bahwa bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masingmasing. Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah
memeluk agama Islam. Teori Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di
zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai kumpulan
hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang
kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie. Cotohnya, Statuta Batavia
yang saat ini desebut Jakarta 1642 menyebutkan bahwa sengketa warisan
antara

pribumi

yang

beragama

Islam

harus

diselesaikan

dengan

mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipergunakan oleh rakyat
sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun buku yang memuat
hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan sebagai pegangan para
hakim dalm memutuskan perkara.11
Materi

teori

in

complexu,

dimuat

dalam

pasal

75

RR

(regeringreglement) tahun 1855. Pada pasal 75 ayat 3 RR berbunyi: “oleh
hakim indoesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama dan
kebiasaan penduduk indonesia. Jadi pada masa teori ini hukum Islam belaku
bagi orang Islam. Pada masa ini keluarlah stblt. 1882 no 152 tentang
pembentukan peradilan agama (peristerrad) di samping pengadilan Negri
(landraad), yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang berisi
himpunan hukum Islam, pegangan para hakim, seperti mogharer code pada
tahun 1747, compendium clootwijk pada tahun 1795, dan compedium frijer
tahun 1761.12
2. Teori Receptie

10

Nama aslinya Lodwijk Willem Christian Van Den Berg, seorang ahli hukum Islam, politikus,
dan penasihat pemerintah Hindia Belanda Untuk Bahasa Timur Dan hukum Islam. Sayuti Thalib,
Receptio A Contrario (Jakarta: Bina Aksara, 1982), 15.
11
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007),
1-2.
12
Bustanul Arifin, Budaya Hukum Itu Telah Mati (Jakarta: Kongres Umat Islam Indonesia, 1998),
2.

Dalam menghadapi perkembangan hukum islam di Indonesia, pada
mulanya pemeintah kolonial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah
dilaksanakan oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum islam
adalah suatu ancaman yang harus ditakuti. Atas usul Van den Berg dengan
teori receptie in complexu yang berkembang dan diyakini kebenarannya oleh
pakar-pakar hukum pemerintah colonial Belanda maka dibentuklah Peradilan
Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat
dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena pemerintah Kolonial
Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan hukum islam di
Indonesia.13
Perubahan pendirian pemerintah Kolonial Belanda ini akibat usul
Snouck Hurgronje dengan teorinya yang terkenal dengan teori receptie.
Akibat teori ini perkembangan hukum Islam menjadi terhambat karena
pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi
berlakunya kewenangan peradilan agama.14
Teori Receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan
Cornelis van Volenhoven pada tahun 1857-1936. Teori ini dijadikan alat oleh
Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang
ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan
hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi
dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini bertentangan dengan Teori
Reception in Complexu. Menurut teori recptie, hukum Islam tidak secara
otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam
jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Maka karena itu,
hukum adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum Islam.15 Penerapan
teori resepsi dimuat dalam pasal 134 ayat 2 IS (indische staatsregeling), stbl.
Tahun 1929 sebagai berikut:

13

Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia., 2.

14

Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia., 2-3.
Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia., 3.

15

Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan
diselesaikan oleh hakim agam Islam, apabila hukum adat mereka
menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonasi.
Pemikiran Snouck Hurgronje tentang teori resepsi ini, sejalan dengan
pendapatnya tentang pemisahan antara agama dan politik. Pandangannya itu
sesuai dengan sarannya kepada pemerintah Hindia Belanda tentang politik
Islam Hindia Belanda, dia menyarankan agar pemerintah Hindia Belanda
bersifar netral terhadap ibadah agama dan bertindak tegas terhadap setiap
kemungkinan perlawanan orang Islam fanatik. Islam dipandangnya sebagai
ancaman yang harus dikekang dan ditempatkan di bawah pengawasan yang
ketat.
Penerapan teori resepsi antara lain, pada tahun 1937 dengan stbl. 1937
no. 116, wewenang menyelesaikan hukum waris dicabut dari pengadilan
agama dan dialihkan menjadi wewenang pengadilan negri. Alasan pencabutan
wewenang pengadilan agama tersebut dengan alasan bahwa hukum waris
Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat (belum diresepsi).
Upaya real yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam
menghambat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari
beberapa bukti sebagai berikut:
a. Sama sekali tidak memasukkan hudud dan qishas dalam bidang
hukum pidana. Hukum pidana diberlakukan dan diambil langsul dari
Wetboek van Strafrect dari Nederland yang diberlakukan sejak
januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
b. Dalam bidang tata negara, ajaran Islam mengenai hal tersebut
dihancurkan sama sekali. Pengkajian terhadap ayat-ayat suci AlQur‘an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadits
dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan
dilarang.
c. Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut
hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus untuk kewarisan

Islam diusahakan untuk tidak berlaku. Sehubungan dengan hal itu,
diambil langkah-langkah;
1) Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris,
2) Memberi wewenang memeriksa perkara waris kepada
landraad,
3) Melarang penyelesaian dengan hukum Islam jika di tempat
adanya perkara tidak diketahuai isi Hukum Adat.
Teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa kalau
orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan
kebudayaan Eropa, penjajahan atas Indonesia dapat berjalan dengan baik dan
tidak mendapati hambatan dan goncangan terhadap kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mendekati golongangolongan yang akan menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan
kepada mereka untuk mendekatkan golongan Hukum Adat kepada
pemerintah Belanda. Dengan demikian, maka pada masa ini ( berlaku teori
Receptio ) Hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda,
dimana letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak
pada komitmennya terhadap ajaran Islam. Bila diperhatikan perjalanan
sejarah penjajahan Belanda maka sebenarnya pemerintah kolonial Belanda
memiliki agenda untuk menghapuskan hukum Islam dari Indonesia demi
melanggengkan kekuasaannya, sehingga dilakukan pengawasan yang ketat
terhadap eksistensi hukum Islam beserta pengadilannya untuk mereduksi
setiap ada kesempatan dan secara perlahan semua hal yang menguntungkan
Islam. dan Selain itu juga dapat dilihat bahwa hukum Islam yang
diberlakukan juga bukan merupakan keseluruhan dari hukum Islam, tetapi
hanya sebagian kecil yaitu yang merupakan bidang hukum perdata saja dan
itupun juga hanyalah yang diseputar persoalan hukum keluarga, perkawinan
dan kewarisan.

D. Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam
Selama tiga setengah abad Belanda menjajah wilayah Nusantara,
berbagai macam kebijakan dan pendekatan telah dilakukan oleh Belanda
dalam wilayah jajahannya, yang umumnya kebijakan mereka merugikan
masyarakat secara umum. Menjelang dan awal abad XX ada beberapa
kebijakan Belanda di Indonesia yang secara signifikan yaitu:16
a)

Politik Etis
Diberlakukan tahun 1901, politik balas budi, sehingga adanya

kebijakan politik Belanda kepada Indonesia sebagai jajahannya, dengan kata
lain politik ini adalah sistem yang diberlakukan Belanda untuk membangun
negara jajahannya
Cikal bakal politik Etis berdasarkan pidato kenegaraan yang
disampaikan oleh Ratu Belanda Wilhelmina menjelang akhir tahun 1901,
diantara pokok-pokok pikirannya; de nieuwe koers de koloniale politiek (arah
baru yang akan ditempuh oleh politik penjajahan).
Secara konsep politik Etis sangat baik karena adanya keberpihakan
kepada kaum pribumi. Namun dalam pelaksanaannya kolonial Belanda
bekerjasama dengan kaum liberal (pemegang saham), tetap mengeksplotir
daerah jajahannya untuk kepentingan ekonominya.
Dalam menjalankan politik Etis Belanda menerapkan trilogy program,
meliputi:

edukasi

(pendidikan),

irigasi

(pengairan)

dan transmigrasi (pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah
perkebunan jawa). Disamping trilogi program tersebut, penjajah Belanda
menerapkan prinsip assosiasi, asimilasi, dan unifikasi.
Tetapi betapapun kekhawatiran yang timbul, agaknya kepentingan dan
pertimbangan politik lebih mereka utamakan. karena itu pelaksanaan politik
Etis

secara

murni,

sedikit

banyaknya

memerlukan

pertimbangan-

pertimbangan yang menyangkut kelanjutan politik kolonialis mereka.
Diantara pertimbangan itu adalah pertama, memilih sistem pendidikan yang
dapat memenuhi tuntunan moral politik Etis, tapi juga dapat mendukung
16

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta, Kalam Mulia,2011), 253-256.

kepentingan politik penjajahannya. kedua, berusaha memenuhi bertanggung
jawab untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat yang mayoritas muslim dan
disamping itu juga berusaha meredam kekuatan yang mungkin timbul dari
pengaruh fanatisme keagamaan mereka.17
b) Ordonansi Guru/Sekolah Liar
Sehubungan dengan berdirinya madrasah dan sekolah agama yang
diselenggarakan oleh kalangan Islam pembaru, agaknya kekhawatiran
pemerintah

tersebut

cukup

beralasan.

Semula

memang

pemerintah

membiarkan kehidupan islam pada batas-batas tertentu, sepanjang tidak
menggangu kehadiran Belanda, sambil mengembangkan sistem persekolahan
pada pengetahuan dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum;
sebagai pencerminan dari sikap pemerintah Belanda untuk tidak mencampuri
lebih jauh masalah Islam.
Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti peningkatan
jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi pendidikan
diluar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah semakin hatihati terhadap sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam yang menjadi
sumber kekhawatiran pemerintah tersebut agaknya tidak terbatas adanya
institiusi pendidikannya saja. Lebih jauh dari itu, mereka memandang
kemungkinan infiltrasi pengaruh Islam tersebut di sekolah-sekolah swasta
lainnya.
Untuk menjaga dan melestarikan eksistensi hukum Islam di Indonesia,
maka adanya lembaga pendidikan hukum Islam di Indonesia adalah hal yang
wajib. Mengetahui hal ini, tentu Belanda menerapkan kebiakan-kebijakan
terkait pendidikan Islam di Indonesia, dengan tujuan mengatur perkembangan
hukum Islam di Indonesia.
Sebagai tindakan pencegahan, dilakukan pengawasan terhadap sekolahsekolah liar. sejak adanya perubahan

sikap

tersebut, dalam rangka

pengawasan dikeluarkan ordonansi tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara
no 136 dan 260. aslinya berupa pembatasan kebebasan mengajar bagi guru17

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam., 253-254

guru

sekolah

swasta.Sistem

ini

tidak

memberi

keuntungan

bagi

perkembangan institusi pendidikan Islam. Bahkan dalam ordonansi yang
dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semua sekolah yang tidak di
bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah,
diharuskan minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan.18

18

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam., 255-256

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kedatangan VOC di Indonesia memiliki dampak yang tidak baik
terhadap tatanan hukum Islam di Indonesia, sebab VOC turut ikut campur
dalam urusan internal Indonesia, yang menyebabkan terjadinya kemunduran
dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia pada masa Penjajahan Belanda
dikekang oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh Belanda. Taktik politik
Belanda dalam mengendalikan hukum Islam di Indonesia dengan meregulasi
pergerakannya dalam suatu lembaga menyebabkan terjadinya kemunduran
perkembangan hukum Islam di Indonesia
Dalam perjalanannya mengatur perkembangan hukum Islam, Belanda
memakai teori Receptio in Complexu, yang menyatakan bahwa hukum Islam
diterima sepenuhnya oleh orang Indonesia. Kemudian teori ini dianggap
kurang menguntungkan, lalu berkembanglah teori Receptie, yang meruakan
antitesis dari teori Receptio in Complexus.
Politik

etis

yang

dijalanan

Belanda

seakan-akan

membantu

perkembangan Indonesia dalam hal pendidikan, pengairan dan pemerataan
penduduk. Namun pada prakteknya, kepentingan Belanda yang menjadi
pokoknya, sehingga menyengsarakan rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul. Budaya Hukum Itu Telah Mati. Jakarta: Kongres Umat Islam
Indonesia, 1998.
Sumirto, Warkum. Perkembangan Hukum Islam Di Tengah Dinamika Sosial
Politik Di Indonesia. Malang: Bayumedia, 2005.
Rasyid, Daud dkk, Penerapan syariat Islam di Indonesia antara peluang dan
tantangan. Jakarta: Globalmedia, 2004.
Soepomo, R. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Pradnya
Paramita, 2002.
Hurgronje, C. Snouck. De Islam In Nederlands Indi, terj. S. Gunawan, Islam di
Hindia Belanda Jakarta: Bhratara, 1983.
Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario. Jakarta: Bina Aksara, 1982.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta, Kalam Mulia,2011.