PENGEMBANGAN PROGRAM LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH X BANDUNG.

(1)

INKLUSIF DI SEKOLAH X BANDUNG

TESIS

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Khusus

oleh

Vika Restu Pebriani NIM 13030288

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KHUSUS SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015


(2)

Oleh

Vika Restu Pebriani

Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Khusus

© Vika Restu Pebriani 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis. VIKA RESTU PEBRIANI


(3)

VIKA RESTU PEBRIANI (1303288)

PENGEMBANGAN PROGRAM LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH X BANDUNG

disetujui dan disahkan oleh pembimbing: Pembimbing

Dr. Didi Tarsidi,M.Pd NIP. 195106011979031003

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Khusus

Dr. Djadja Rahardja,M.Ed. NIP.195904141985031005


(4)

Vika Restu (1303288) Pendidikan Khusus SPS UPI

Abstrak

Dewasa ini banyak bermunculan sekolah yang memberikan layanan pendidikan inklusif atau dikenal dengan Sekolah Inklusif. Pada sekolah inklusif kebutuhan anak terhadap pendidikan diakomodasi tanpa menghiraukan kondisi fisik, sosial, emosional, linguistik, dan kondisi lain termasuk anak berkebutuhan pendidikan khusus. Sekolah X yang berlokasi di Bandung merupakan sekolah yang sudah cukup lama menyelenggarakan praktik layanan pendidikan inklusif namun pada perjalanannya sekolah sering kali menemui kendala dan sulit mengidentifikasi kesulitan tersebut. Untuk itu penulis melakukan eksplorasi dan evaluasi terhadap pemahaman dan penerimaan terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta evaluasi pada layanan pendidikan inklusif yang sedang berlangsung untuk kemudian merumuskan program pengembangan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan pendidikan inklusif. Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif terhadap kepala sekolah dan 16 orang guru. Penelitian ini menemukan temuan-temuan, antara lain (1) pemahaman guru terhadap pendidikan inklusif yang tidak merata, (2) penerimaan terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus sudah baik (3) pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus yang masih terkotak-kotakan, (4) kompetensi teacher aid atau disekolah ini dikenal dengan sebutan guru pendamping yang tidak memenuhi kriteria, dan (5) kolaborasi yang belum terjalin antara guru dan Tim IEP. Berdasarkan temuan-temuan tersebut peneliti merumuskan program pengembangan yang diharapkan dapat meningkatkan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X.


(5)

Vika Restu (1303288) School of Postgraduate UPI

Abstract

Nowadays there are numbers of school which offer inclusive education services or simply known as Inclusive School. Students’ education needs of inclusive school are totally accommodated with no regard to students’ physical, social, emotional, linguistic conditions or even other else conditions including children with special education needs. School X, located in Bandung, has already been carrying up inclusive education services for a quite long time, 9 years; however, during journey the school stands, the school often faces constraints and finds them difficult to identify. Thus, the author conducted exploration and evaluation towards understanding and acceptance of inclusive education and children with special education needs, as well as carried out evaluation to the ongoing inclusive education services in order to formulate the appropriate development programs which are expected to improve the quality of inclusive education services. The qualitative method was applied to conduct this research to the school principal and 16 teachers of that school. The research resulted that (1) not all teachers have good understanding of inclusive education; (2) good acceptance of inclusive education and child with special needs (3) the learning for students with special education needs is not implemented comprehensively, (4) teacher aid competence in this school does not meet the standard, and (5) there was not yet established collaboration between teachers and IEP team. According to the findings of the research, the researcher formulates development programs that are expected to be able to improve inclusive education services in School X.


(6)

DAFTAR ISI

Hal.

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Definisi Konsep ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 9

II.KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Inklusif 1. Definisi dan Konsep Pendidikan Inklusif ... 11

2. Landasan Pendidikan Inklusif a. Landasan Historis ... 13

b. Landasan Filosofis ... 15

c. Landasan Yuridis ... 15

d. Landasan Pedagogis ... 18

e. Landasan Empiris ... 19

B. Sekolah Inklusif 1. Karakteristik Sekolah Inklusif ... 21

2. Layanan Pendidikan Inklusif a. Proses Pembelajaran ... 23


(7)

b. Model Kurikulum ... 25

c. Model Kelas Inklusif ... 26

d. Layanan dan Bantuan Tambahan ... 27

C. Pengembangan Program Layanan Pendidikan Inklusif ... 28

III . METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 31

B. Desain Penelitian ... 32

C. Teknik Pengumpulan Data ... 34

D. Instrumen Penelitian ... 35

E. Teknik Analisis Data ... 39

IV . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pemaparan Hasil Penelitian 1. Pemahaman Kepala Sekolah dan Guru Mengenai Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus ... 44

2. Penerimaan Kepala Sekolah dan Guru Mengenai Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus ... 48

3. Layanan Pendidikan Inklusif di Sekolah X a. Perencanaan Pembelajaran ... 52

b. Pelaksanaan Pembelajaran ... 54

c. Evaluasi Pembelajaran ... 55

d. Keunggulan dan Kekurangan Layanan, Sistem, dan Program Sekolah ... 57

e. Sistem Dukungan ... 62

B. Pembahasan dan Analisis Hasil Penelitian 1. Pemahaman Terhadap Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus ... 67

2. Penerimaan Terhadap Pendidikan Inklusif dan Anak Berkebutuhan Khusus ... 71


(8)

3. Layanan Pendidikan Inklusif di Sekolah X

a. Perencanaan Pembelajaran ... 73

b. PelaksanaanPembelajaran ... 75

c. Evaluasi Pembelajaran ... 76

d. Keunggulan dan Kekurangan Layanan, Sistem, dan Program Sekolah ... 79

e. Sistem Dukungan ... 83

4. PengembanganProgram Layanan Pendidikan Inklusif di Sekolah X a. Dasar Penyusunan Program Pengembangan Layanan Pendidikan Inklusif di Sekolah X ... 84

b. Rumusan Program Pengembangan Layanan Pendidikan Inklusif di Sekolah X ... 88

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 99

B. Rekomendasi ... 103

DAFTAR PUSTAKA... 105


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Memberikan pendidikan yang berkualitas untuk semua anak merupakan tantangan yang berat dan merupakan isu yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Menyadari hal ini masyarakat dunia menyelenggarakan Konferensi Internasional di Jomtien, Thailand tahun 1990 yang mengangkat isu pendidikan dasar bagi semua anak. Puncak dari konferensi ini adalah lahirnya deklarasi tentang Pendidikan untuk semua (Education For All), yang antara lain sebagai berikut:

1. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan masih terbatas atau masih banyak orang yang belum mendapat akses pendidikan.

2. Kelompok tertentu yang terpinggirkan seperti penyandang disabilitas, etnis minoritas, suku terasing dan sebagainya masih terdiskriminasikan dari pendidikan bersama.

Meskipun demikian implementasi hasil dari konferensi ini belum memuaskan, khususnya yang terkait dengan para penyandang cacat. Kemudian sebagai tindak lanjut, para praktisi pendidikan luar biasa menyelenggarakan konferensi pendidikan luar biasa (Special Needs Education) di Salamanca, Spanyol tahun 1994 yang menghasilkan Pernyataan Salamanca (SalamancaStatement). Dalam pernyataan Salamanca inilah pendidikan inklusif (Inclusive Education) mulai diperkenalkan secara meluas ke berbagai negara.

Sejak saat itu beberapa negara mulai melakukan inisiatif untuk mensosialisasikan gagasan pendidikan inklusif, dan kemudian pada tahun 2000 Forum Pendidikan Dunia di Dakkar Senegal menegaskan kembali bahwa setiap anak, remaja, dan semua orang dewasa mempunyai hak untuk memperoleh keuntungan dan manfaat dari proses pendidikan yang diarahkan pada pemenuhan semua kebutuhan dasar pembelajaran (basic learning needs) setiap individu. Kerangka aksi yang diselenggarakan di Dakkar, Senegal tersebut mengandung implikasi bahwa setiap negara memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa tujuan dan target pendidikan untuk semua (Education For All) dapat tercapai dan


(10)

terjamin keberlangsungannya. Kata semua anak secara literal dan jelas ditunjukkan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan kebutuhan khusus. Sementara implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa diharapkan pembelajaran dan proses pengajaran bernuansa ramah dan menyenangkan bagi siswa maupun terhadap gurunya dengan motto Well Coming School and Well Coming Teacher.

Pendidikan inklusif merupakan salah satu jawaban bagi pendidikan yang ditujukan untuk semua. Pendidikan inklusif adalah sebuah ideologi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar dari semua anak, remaja, dan orang dewasa tanpa terkecuali. Menurut Alimin (2005) Hakikat dari pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Pendidikan inklusif juga dapat dipandang sebagai bentuk kepedulian dalam merespon spektrum kebutuhan belajar peserta didik yang lebih luas, dengan maksud agar baik guru maupun siswa, keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah. Pendidikan inklusif juga akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.

Di Indonesia sendiri, pendidikan inklusif secara resmi didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik (Direktorat PSLB, 2004).


(11)

Hal mengenai pendidikan inklusif juga tercantum pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, disebutkan bahwa: Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Sedangkan dalam pasal 2 peraturan tersebut dijelaskan bahwa Pendidikan inklusif bertujuan:

a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya;

b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud pada huruf a. Dengan demikian pemerintah menjamin bahwa pendidikan untuk para peserta didik yang memerlukan layanan pendidikan khusus dapat diselenggarakan secara inklusif di sekolah umum yang memberikan layanan pendidikan inklusif.

Sejalan dengan hal tersebut, dewasa ini banyak bermunculan sekolah yang memberikan layanan pendidikan inklusif. Sekolah dengan layanan inklusif adalah sekolah yang mengakomodasi semua anak tanpa menghiraukan kondisi fisik, sosial, emosional, linguistik, dan kondisi lain termasuk anak berkebutuhan pendidikan khusus. Di dalam sekolah dengan layanan inklusif, anak berkebutuhan pendidikan khusus seyogyanya menerima segala dukungan tambahan yang mereka perlukan untuk menjamin efektifnya pendidikan mereka.

Sekolah dengan layanan inklusif sebagai sarana yang ditujukan untuk menanggapi berbagai kebutuhan dari semua peserta didik melalu peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya, dan masyarakat, serta mengurangi eksklusifitas


(12)

dalam pendidikan. Dengan demikian diperlukan perubahan dan modifikasi dari isi, pendekatan, struktur, strategi, dengan pandangan wajar yang melindungi semua anak; merupakan tanggung jawab dari sistem pendidikan reguler untuk mendidik semua anak.

Sekolah X Bandung merupakan sekolah yang memberikan layanan pendidikan inklusif bagi siswa yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan. Sejak awal berdiri, Sekolah X Bandung menerapkan pendekatan individual dalam setiap proses pembelajarannya. Setiap siswa diberikan pelayanan sesuai kemampuan dan kebutuhannya, meskipun tidak ada kurikulum yang dibuat secara khusus bagi setiap siswanya (RPP dan Silabus umum). Dengan penerapan model pendekatan individual ini, guru lebih mengenal apa saja yang menjadi kekurangan siswa dalam proses belajar untuk kemudian diberikan treatment yang sesuai dengan kebutuhan anak. Penggagasan pendidikan inklusif sendiri berawal dari jumlah siswa berkebutuhan khusus yang kian hari bertambah jumlahnya, kemudian psikolog menyarankan untuk membuat tim khusus yang bertanggung jawab secara penuh terhadap kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Sejak saat itu lah Sekolah X Bandung mengawali pelaksanaan praktik pendidikan inklusif.

Terhitung sudah 9 tahun sekolah ini menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif bagi peserta didiknya. Dari hasil studi pendahulan mengenai keterlaksanaan layanan inklusif di Sekolah X, peneliti mendapatkan data bahwa dari segi kebijakan, budaya, dan teknis pelaksanaan mengindikasikan bahwa pelaksanaan layanan pendidikan inklusif berjalan dengan baik. Namun pada kenyataannya, implementasi penyelenggaraan pendidikan inkusif di Sekolah X Bandung menemukan berbagai hambatan dan kendala yang hingga saat ini belum terurai. Baik itu dari segi sikap, komitmen, ketersediaan layanan, sistem dukungan, dan berbagai hal lain.Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan eksplorasidan evaluasi terhadap layanan inklusif serta merumuskan program yang dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di sekolah ini .

Sunaryo (2009) mengemukakan bahwa, dalam suatu sekolah pelaksanaan pendidikan inklusif akan berhasil dengan baik apabila didukung dengan: (1) sikap, komitmen, dan keyakinan yang positif dari seluruh guru, staf sekolah dan orang


(13)

tua, (2) ketersediaan layanan khusus dan adaptasi lingkungan fisik dan peralatan, (3) sistem dukungan, seperti ketersediaan guru khusus, terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang disabilitas, termasuk untuk asesmen dan evaluasi, (4) adanya kolaborasi harmonis antara guru khusus dan guru kelas dalam merancang dan menerapkan Program Pengajaran yang diindividualisasikan (individualized educational program - IEP), (5) kurikulum fleksibel dan metode pembelajaran yang tepat, serta (6) kesadaran, partisipasi, dan dukungan masyarakat.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Tarsidi (2005) bahwa terdapat delapan faktor yang mempengaruhi implementasi pendidikan inklusif yang antara lain adalah: (1) sikap dan layanan yang positif; (2) tersedia program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa disabilitas; (3) tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif untuk megakses program kulikuler; (4) lingkungan fisik diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi siswa disabilitas; (5) dukungan sistem; (6) kolaborasi; (7) metode pengajaran, dan (8) dukungan masyarakat

Berdasarkan hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa eksplorasi dan evaluasi terhadap faktor pendukung dalam pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, dapat dijadikan dasar untuk merumuskan pengembangan program layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian, maka dapat diketahui bahwa Sekolah X Bandung telah mengimplementasikan praktik pendidikan inklusif sebagai layanannya dalam jangka waktu yang cukup lama, yakni 9 tahun. Namun, belum ada penelitian mengenai sejauh manalayanan pendidikan inklusif disekolah ini serta pengembangan program layanan pendidikan inklusif. Pencapaian yang dimaksud adalah pencapaian pendidikan inklusif yang ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhi praktik pendidikan inklusif.

Oleh karena itu maka penelitian ini difokuskan pada rumusan program pengembangan layanan pendidikan inklusif diSekolah X Bandung. Dengan pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana program yang dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung?.


(14)

Adapun rincian pertanyaan tentang rumusan program pengembangan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman kepala sekolah dan guru di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus?

2. Bagaimana penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus?

3. Bagaimana layanan pendidikan inklusif di sekolah X?

4. Bagaimana program yang dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian, maka secara umum bertujuan untuk merumuskan program yang diharapkan dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung. Secara spesifik tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemahaman Kepala Sekolah dan Guru di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus.

2. Untuk mengetahui penerimaan Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus. 3. Untuk mengetahui bagaimana layanan pendidikan inklusif di sekolah

X.

4. Merumuskan program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung.

D. Definisi Konsep 1. Program

Program diasumsikan sebagai rancangan kegiatan selama satu periode atau periode tertentu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia program adalah rancangan mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan dijalankan untuk mencapai tujuan tertentu.Pengembangan


(15)

Pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara atau perbuatan mengembangkan. Pengembangan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan agar lebih sempurna dari pada sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pengembangan adalah suatu kegiatan yang menghasilkan sesuatu alat atau cara merevisi sesuatu yang telah ada menjadi baik. Selama kegiatan itu dilaksanakan dengan maksud mengadakan penyempurnaan yang akhirnya alat atau cara tersebut dipandang cukup bagus untuk digunakan seterusnya maka berakhirlah kegiatan pengembangan.

2. Layanan Pendidikan Inklusif

McLeskey dan Waldron (2000) menyampaikan dalam bukunya

inclusive school in action making differences ordinary, dua point penting

dalam memenuhi kebutuhan akademik siswa di kelas inklusif adalah dengan mengakomodasi kebutuhan yang beranekaragam dan mengakomodasi perbedaan di dalam kelas umum. Terdapat perbedaan dalam layanan pendidikan yang diberikan sekolah reguler kepada siswa berkebutuhan khusus. Sekolah harus melakukan perubahan yang mendasar untuk mengakomodasi kebutuhan siswa yang beragam, dalam mengakomodasi kebutuhan siswa yang beragam dapat dilakukan penyesuaian kurikulum pendidikan umum dan atau mentransformasi kurikulum pendidikan umum.

Dalam pelaksanaannya, praktik layanan pendidikan inklusif banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung. Tarsidi (2005) mengemukakan bahwa terdapat delapan faktor yang mempengaruhi implementasi pendidikan inklusif yang antara lain adalah:

a. Sikap dan layanan yang positif:

1) Guru reguler yakin bahwa siswa penyandang disabilitas akan berhasil.

2) Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar siswa penyandang disabilitas

3) Seluruh staff dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk menerima kehadiran siswa penyandang disabiltas


(16)

4) Orang tua anak penyandnag disabilitas terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program sekolah.guru

5) Guru pembimbing khusus memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan guru reguler di kelas.

b. Tersedia program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa disabilitas. Untuk siswa tunanetra program mencakup braille, orientasi dan mobilitas, keterampilan kehidupan sehari-hari (ADL), dan keterampilan sosial.

c. Tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif untuk megakses program kulikuler. Bagi siswa tunanetra mencakup alat tulis dan buku braille, peta timbul, komputer bicara, dan sebagainya.

d. Lingkungan fisik diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi siswa disabilitas. Bagi siswa tuna netra, adaptasi mencakup penyediaa tanda-tanda taktual atau auditer untuk memudahkan mereka mengorientasikan lingkungan.

e. Dukungan sistem:

1) Kepala sekolah memahami kebutuhan khusus siswa disabilitas. 2) Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasuk guru

pembimbing khsuus dan tenaga pendukung lainnya.

3) Terdapat upaya pengembangan staff dan pemberian bantuan teknis yang didasarkan pada kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kecacatan, metode pengajaran, kegiatan kampanye kesadaran dan penerimaan bagi para siswa, dan latihan keterampilan kerja tim).

4) Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa penyandang disabilitas, termasuk untuk asesmen dan evaluasi hasil belajar.

f. Kolaborasi:

1) Guru pembimbing khusus menyeiapkan program pengajaran individualisasi (Individualized Educational Program) bagi siswa


(17)

penyandang disabilitas, dan merupakan bagian dari tim pengajar di kelas reguler.

2) Pendekatan tim dipergunakan untuk pemecahan masalah dan implementasi program.

3) Guru reguler, guru pembimbing khsuus dan spesialis lainnya berkolaborasi (misalnya dalam co-teaching, team teaching, teacher asssistance teams)

g. Metode pengajaran:

1) Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih dan emngadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khsuus setiap siswa.

2) Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (misalnya team teaching, cross-grape grouping, peer tutoring, teacher assistance teams).

3) Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua siswanya.

h. Dukungan masyarakat

1) Masyarakat menyadari bahwa anak penyandang disabilitas merupakan bagian integral dari masyarakat tersebut.

2) Terdapat organisasi penyandang disabilitas yang aktif melakukan advokasi dan kampanye kesadaran masyarakat, dan berfungsi sebagai wahana untuk mempertemukan anak dengan orang dewasa penyandang

E. Manfaat Penelitian

Secara teori hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan atau sumbangan berupa pengembangan programlayanan pendidikan inklusif dengan harapan dapat memperkaya dan mempertajam kajian tentang pengembangan pendidikan inklusif di Indonesia.

Secara praktis, diharapkan dapat memberikan penyajian empiris tentang berbagai hal yang berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusif. Hasil


(18)

penelitian ini secara praktis juga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan dan mengembangkan implementasi pendidikan inklusif.

Pihak-pihak yang kiranya dapat memanfaatkan hasil penelitian antara lain: a. Guru kelas dan guru pendidikan khusus (Special Needs Teacher) yang

langsung berhubungan dengan peserta didik dalam upaya meningkatkan motovasi belajar dan memacu untuk terus belajar. b. Kepala sekolah yang berfungsi sebagai manager, administrator,

educator, leader, innovator, motivator, dan supervisor di sekolah

inklusif.

c. Tim IEP yang berfungsi sebagai tim khusus yang merumuskan program pembelajaran individual bagi siswa yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan.

d. Sekolah-sekolah lain yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif.


(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa metode penelitian secara umum dapat diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah, data, tujuan, dan kegunaan. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan. Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah yang bersifat logis.

Pendekatan biasanya dimaksud dengan arah atau cara yang diambil untuk menuju sesuatu sasaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif, data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, dan catatan lapangan, tidak dituangkan dalam angka dan grafik. Penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah. Karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study. Seperti yang dikemukakan Sugiyono (2011) Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, adapun masalah dalam penelitian kualitatif bersifat sementara, tentatif, dan akan berkembang atau berganti setelah berada di lapangan.

Sehubungan dengan masalah, tujuan, subjek penelitian, dan karakteristik data, maka pendekatan penelitian yang dianggap tepat dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dimana pada penelitian ini data yang dikumpulkan berupa


(20)

pendapat, tanggapan, informasi, konsep-konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah.

Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya.Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif berbagai masukan dari segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan wawancara, pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian tentang pengembangan program layanan pendidikan inklusif di Sekolah X ini dilakukan untuk merumuskan program yang diharapkan dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di sekolah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, metode ini bertujuan membuat deskripsi dan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang terungkap dilapangan. Seperti yang dipaparkan Sugiyono (2011) bahwa metode penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variable mandiri atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menggabungkan antara variable satu dengan yang lain.

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah swasta yang memiliki komitmen untuk memberikan layanan pendidikan inklusif. Sekolah yang terletak di Jalan Ligar Taqwa No.2 ini, secara administratif terdaftar di Dinas Pendidikan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Meskipun secara administratif terletak di Kabupaten Bandung, namun secara geografis letak sekolah yang terdiri dari jenjang TK hingga SMP ini tidak jauh dari pusat Kota Bandung.

Peneliti memilih Sekolah ini dikarenakan sekolah ini sudah memberikan layanan pendidikan inklusif untuk jangka waktu yang cukup lama yakni 9 tahun. Saat ini Sekolah X tercatat memiliki siswa sebanyak 178 siswa, dan 22


(21)

diantaranya teridentifikasi memerlukan layanan pendidikan khusus, sebagian besar dari anak-anak ini mengalami hambatan pada aspek kognitif dan aspek motorik. Meskipun sudah memberikan layanan pendidikan inklusif selama kurang lebih 9 tahun, pada praktiknya masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang bersifat rumit dan kompleks serta belum teruraikan. Padahal berdasarkan observasi awal, sekolah ini memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkan agar dapat memberikan layanan pendidikan inklusif secara ideal.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah pedoman dalam melakukan proses penelitian dengan menentukan instrumen pengambilan data, penentuan sample, pengumpulan data, serta analisis data. Agar dapat menerapkan metode ilmiah dalam praktik penelitian, maka diperlukan suatu desain penelitian yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk deskripsi mengenai kondisi objektif di lapangan dengan berdasarkan pada konsep-konsep dari teori yang diperoleh dari studi pustaka. Peneliti akan melakukan analisis yang meliputi

Strength, Weakness, Opportunities, dan Threats atau dikenal dengan analisis

SWOT. SWOT sendiri merupakan singkatan dari Strength (S), Weakness (W),

Opportunities (O), dan Threats (T) yang artinya kekuatan, kelemahan, peluang,

dan ancaman, dimana yang secara sistematis dapat membantu dalam mengidentifikasi faktor-faktor luar (O dan T) dan faktor dalam (S dan W).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwaanalisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu organisasi agar terus meningkatkan layanannya. Analisis ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antara unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-unsur eksternal yaitu peluang dan ancaman. Kekuatan dan potensi yang dimiliki suatu organisasi dapat dijadikan dasar dalam merencanakan program jangka panjang, sedangkan kelemahan dan ancaman dapat dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan rencana jangka pendek. Peneliti sendiri hanya akan merekomendasikan program jangka pendek dan jangka panjang yang sifatnya hanya berhubungan dengan pemberdayaan layanan inklusif.


(22)

Secara umum penelitian ini didesain dalam dua tahap. Pada tahap pertama peneliti melakukan studi literatur dan studi lapangan untuk mengetahui bagaimana kondisi faktual sekolah sebagai bekal untuk merumuskan pengembangan program layanan pendidikan inklusif pada tahap dua. Selanjutnya pada tahap kedua, peneliti merumuskan program pengembangan layanan pendidikan inklusif yang didasarkan atas analisis hasil studi lapangan. Kemudian, setelah melewati tahap validasi kepada para ahli, diharapkan pengembangan program layanan pendidikan inklusif di Sekolah X dapat dihasilkan. Untuk lebih jelas, desain penelitian secara rinci dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

Gambar 3.1 Desain Penelitian


(23)

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi data. Fokus utama dari penelitian ini adalah program yang diharapkan dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X Bandung, oleh karena itu dirumuskan pertanyaan penelitian yang antara lain adalah: (1) Bagaimana pemahaman kepala sekolah dan guru di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus? (2)Bagaimana penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa di Sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus?; dan (3) Bagaimana layanan pendidikan inklusif di sekolah X?. Untuk itu peneliti hanya akan melakukan eksplorasi seputar pemahaman, penerimaan, dan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Untuk menghimpun data-data yang diperlukan sesuai dengan paparan di atas, berikut uraian dari teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Observasi

Nasution dalam Sugiyono (2011) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Masih dalam Sugiyono (2011) Marshall menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut. Dalam penelitian ini observasi digunakan selama penelitian berlangsung untuk mencermati suasana lingkungan penelitian. observasi pada penelitian ini bertujuan untuk melihat fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penerimaan kepala sekolah, guru dan siswa terahadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, selain itu observasi seputar layanan pendidikan inklusif yang diterapkan disekolah, dimulai dari tahap perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.

Melalui observasi, peneliti berharap dapat mengetahui mengenai penerimaan warga sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, guru, dan siswa.


(24)

2. Wawancara

Untuk melengkapi data yang didapatkan dari hasil observasi, wawancara juga dilakukan dalam penelitian ini. Wawancara pada penelitian ini bertujuan untuk mendalami permasalahan yang dihadapi sekolah selama menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif. Seperti yang dikemukakan oleh Stainback dalam Sugiyono (2011) dengan adanya wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Dalam penelitian ini wawancara ditujukan terhadap kepala sekolah dan

3. Dokumentasi

Selain observasi dan wawancara, pengumpulan data juga dilakukan melalui pengumpulan dokumen. Dokumen dapat berupa tulisan seperti catatan harian, peraturan, kebijakan. Dapat pula berupa gambar, misalnya foto, gambar sketsa, dan lain-lain. Atau bahkan mungkin dokumen yang berupa karya seni. Dalam penelitian dokumentasi meliputi Profil Sekolah, Identitas Kepala Sekolah, Sarana Prasarana, Tenaga Pendidikan dan Kependidikan, Kesiswaan, dan Pemberkasan IEP.

D. Instrumen Penelitian

Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian, dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya.

Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Sebagai instrumen utama dalam menjaring data, peneliti juga


(25)

menggunakan instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, dan pedoman dokumentasi.

Landasan penyusunan kisi-kisi penelitian ini berdasarkan teori-teori yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya. kisi-kisi penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Tabel 3.1

Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Pertanyaan Penelitian Teknik Pengumpulan Data Informan 1. Bagaimana pemahaman warga

sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus?

Wawancara Kepala

Sekolah dan Guru

2. Bagaimana penerimaan warga sekolah X terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus? Wawancara, observasi, dan dokumentasi Kepala Sekolah, Guru, dan Siswa 3. Bagaimana layanan

pendidikan inklusif di sekolah X? Wawancara, observasi, dan dokumentasi Kepala Sekolah dan Guru

Sehubungan dengan pertanyaan penelitian yang pertama, yakni mengenai pemahaman kepala sekolah dan guru mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, Pemahaman yang dimaksud disini adalah sejauh mana pemahaman terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya (1) pengertian; pengetahuan yang banyak, (2) pendapat, pikiran, (3) aliran; pandangan, (4) mengerti benar (akan); tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Menurut Nana Sudjana (1992) pemahaman dapat dibedakan dalam tiga kategori antara lain : (1) tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari menerjemahkan dalam arti


(26)

yang sebenarnya, mengartikan prinsip-prinsip, (2) tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran, yaitu menghubungkan bagian-bagian terendah dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok, dan (3) tingkat ketiga merupakan tingkat tertinggi yaitu pemahaman ektrapolasi, kemampuan untuk mengutarakan konsekuensi dan implikasi yang sejalan dengan kondisi yang digambarkan. Dengan demikian, bukan saja berarti mengetahui yang sifatnya mengingat saja, tetapi mampu mengungkapkan kembalike dalam bentuk lainnya yang mudah dimengerti, memberi interpretasi, serta mampu mengaplikasikannya. Data yang diharapkan seputar penggalian data mengenai pemahaman mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus antara lain:

1. Kepala sekolah dan guru mampu menjelaskan konsep dari pendidikan inklusif: menjelaskan definisi pendidikan inklusif, menjelaskan perbedaan pendidikan inklusif dengan model segregasi, menjelaskan bentuk layanan pendidikan (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran), serta menjelaskan layanan dan bantuan tambahan dalam setting inklusif.

2. Kepala sekolah dan guru mampu menjelaskan konsep dari anak berkebutuhan khusus dan keberagaman siswa: menjelaskan definisi anak berkebutuhan khusus, menjelaskan cara mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus, menjelaskan layanan pendidikan yang sebaiknya diberikan, dan menjelaskan cara menciptakan lingkungan yang ramah bagi semua anak.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti memutuskan bahwa untuk mengumpulkan data dari pertanyaan penelitian pertama, maka data akan dikumpulkan melalui wawancara kepada kepala sekolah dan guru.

Pertanyaan penelitian yang kedua, akan menggali data mengenai penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus melalui wawancara dan observasi. Sikap penerimaan terhadap pendidikan inklusif dapat terlihat dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah. Sedangkan penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus dapat diinterpretasikan dengan berbagai cara. Dalam hal ini kepala sekolah dan guru berperan sebagai orang tua siswa selama di sekolah.


(27)

Menurut Hurlock (1995) terdapat beberapa aspek dalam penerimaan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus, antara lain:

1. Terlibat dengan anak: Sikap menerima ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif dari orang yang menerima terhadap aktifitas-aktifitas yangg dapat memberikan kebahagiaan bagiorang yang menerimanya.

2. Memperhatikan rencana dan cita-cita anak: turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak semakin maju serta menjadi lebih baik.

3. Menunjukan kasih sayang: adanya upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan siswa akan pendidikan

4. Berdialog secara baik dengan anak: bertutur kata dengan baik dan bijak adalah cermin bahwa ia ingin menerima dan menghargai orang lain.

5. Menerima anak sebagai seorang individu: tidak ada satu individu yang sama untuk karena itu, harus menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain.

6. Memberikan bimbingan dan semangat motivasi: memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik tidk cukup dari dalam diri, dibutuhkan motivasi eksternal untuk memompa motivasi orang yang bisa menerima orang lain secara ikhlas akan dapat memotivasi, membimbing dan memberi semangat sebab kemajuan orang yang di bimbing adalah bagian dari kebahagiaannya.

7. Memberi teladan: Memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak.

8. Tidak menuntut berlebihan : dapat menerima keadaan anak dan tidak memaksakan keinginannya atau tuntutan sekolah.

Masih menurut Hurlock (1995) sikap tidak menerima/sikap menolak pada beberapa perilaku, yaitu:

1. Tidak memperhatikan anak

2. Mengabaikan anak dan tidak banyak memiliki waktu untuk anak

3. Menghukum secara verbal dan non verbal

4. Tidak berbicara secara baik dengan anak


(28)

6. Gagal dalam memberikan dukungan

7. Banyak memberikan pengawasan

8. Mengabaikan kebutuhan anak

9. Membanding-bandingkan dengan anak lain.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti memutuskan bahwa untuk mengumpulkan data dari pertanyaan penelitian kedua, maka data akan dikumpulkan melalui wawancara kepada kepala sekolah dan guru, serta observasi dalam proses pembelajaran yang berlangsung.

Pertanyaan penelitian selanjutnya yaitu seputar layanan pendidikan inklusif di Sekolah X, dimana peneliti akan mengumpulkan data melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi IEP. Proses pembelajaran yang akan dipotret meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran, serta layanan–layanan tambahan dalam proses pembelajaran yang berlangsung.

Untuk menghimpun data-data yang diperlukan sesuai dengan paparan di atas, berikut pedoman observasi dan pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini:

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan dara yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut menghasilkan data yang sangat bervariasi.

Miles dam Huberman dalam Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangusng secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas


(29)

dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion

drawing/verification.

1. Reduksi data (menyusun, merinci, traknskrip data, dan validasi)

Proses yang dilakukan segera setelah data diperoleh yaitu proses menyeleksi, memfokuskan, menyederhanakan, dan mengabstraksikan. Mentransformasikan data dalam catatan lapangan, lalu dipilah dan diseleksi yang ada relevansi dengan fokus pertanyaan yang diajukan. Transkrip data dengan menuliskan kembali hasil wawancara setelah dipilah/diseleksi. Menulis kembali hasil wawancara yang diperoleh dari informan merupakan bagian dari proses hasil wawancara.

2. Display data

Display data adalah penyusunan secara sistematis hasil reduksi agar

diketahui tema dan polanya dengan menentukan bagaimana data disajikan, antara lain dengan mengklasifikasikan data sesuai pokok masalah. Hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk catatan lengkap sebagai deskripsi data atau temuan penelitian, selanjutnya hasil display data dibahas. Pembahasan senantiasa dilakukan dengan bertitik tolak pada hasil wawancara, observasi dan studi dokumenter secara objektif dengan ditunjang oleh landasan teori yang ada.

3. Penarikan konklusi dan verifikasi

Penarikan konklusi dari display data agar data dan informasi yang diperoleh menjadi lebih bermakna. Verifikasi untuk menjamin tingkat kepercayaan hasil penelitian, dengan melihat kembali data dan menimbang makna dari data-data yang dikumpulkan untuk dianalisis. Melakukan cross

checkuntuk menguji kebenaran dari konklusi yang dibuat, sedangkan untuk

memvalidasi program peneliti meminta penilaian dari dua orang praktisi layanan pendidikan inklusif yang telah lama mengimplementasikan layanan pendidikan inklusif di instansinya masing-masing. Kemudian program hasil validasi melalui expert judgement menjadi produk dari hasil penelitian ini.


(30)

Untuk lebih jelas, berikut langkah-langkah dalam menganalisis data kualitatif menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011):

Gambar 3.2

Langkah-langkah analisis data kualitatif Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011)

Selain melakukan analisis data, dalam penelitian ini juga dilakukan verifikasi data penelitian. Untuk memverifikasi data penelitian ini, peneliti menggunakan strategi sebagai berikut:

1. Triangulasi (triangulate)

Triangulasi merupakan proses pengumpulan data yang bersifat menggabungkan berbagai sumber dan teknik pengumpulan data yang sudah ada. Triangulasi menurut Creswell (2010) adalah teknik mengumpulkan sumber-sumber data yang berbeda dengan memeriksa bukti-bukti yang berasal dari sumber-sumber tersebut dan menggunakannya untuk membangun justifikasi tema-tema secara koheren. Proses pengumpulan data dengan pendekatan triangulasi, peneliti selain mengumpulkan data tetapi sekaligus juga menguji kredibilitas data yang ada dari berbagai sumberdimaksud. Dalam penelitian ini sumber data berupa data-data yang dihimpun melalui teknik wawancara, teknik observasi, dan teknik dokumentasi.


(31)

2. Member Checking

Member checkingpada validasi data dalam penelitian kualitatif bertujuan

untuk mengetahui akurasi hasil penelitian. Proses ini dapat dilakukan dengan membawa kembali laporan akhir atau deskripsi-deskripsi kehadapan partisipan untuk mengecek apakah laporan/deskripsi/tema tersebut sudah akurat. Sejalan dengan itu member checkdiungkapkan oleh Wiliam Wiersma dalam Sugiyono(2007) adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Proses ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.

Dengan demikian,sesungguhnya proses member checkdalam validasi data penelitian ini ditujukan untuk mengungkapkan kesesuaian informasi atau data yang diperoleh peneliti dari para informan selama proses penelitian berlangsung. Apakah sesuai dengan pendapat mereka sehingga data dimaksud dapat dirampungkan sebagai hasil akhir dari penelitian.Proses dimaksud dalam penelitian ini ditempuh dengan cara peneliti melakukankunjungan secara pribadi dan melakukan diskusi lepas dengan informan khususnya tokoh masyarakat dan guru mata pelajaran terkait dengan berbagai pikiran, pendapat yang telah diungkapkan oleh informan saat observasi dan wawancara berlangsung.

3. Expert Judgement

Dalam tahap ini adalah tahap pemantapan hasil akhir dengan cara peneliti harus mengkonsultasikan hasil temuan dilapangan atau data lapangan kepada para ahli di bidangnya termasuk pembimbing. Tahapan ini merupakan tahapan dari memvalidasi programdalam hal keseuaian program pengembangan dengan kondisi objektif serta kendala-kendala yang ditemui dalam praktik pelaksanaan layanan pendidikan inklusif dan kebermanfaatan program. Proses ini dimaksudkan untuk peneliti mendapatkan arahan, masukan sehingga kevalidan data yang kemudian dirampungkan dalam bentuk program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya.


(32)

Dalam penelitian ini terdapat dua orang praktisi pendidikan inklusif yang memberikan opini dan pennilaiannya terhadap rumusan program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X. Kedua praktisi ini sudah berkecimpung dalam praktik pendidikan inklusif selama lebih dari 10 tahun dan selama melaksanakan praktik layanan pendidikan inklusif aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan layanan inklusif.


(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Keberhasilan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan inklusif dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Tarsidi (2005) terdapat delapan faktor pendukung dalam implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah. Kedelapan faktor tersebut antara lain: (1) Sikap dan layanan yang positif, (2) Ketersediaan program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa disabilitas, (3) Ketersediaan peralatan khusus dan teknologi asistif untuk mengakses program kulikuler, (4) Lingkungan fisik yang aksesibel bagi siswa disabilitas, (5) Dukungan sistem, (6) Kolaborasi, (7) Metode pengajaran, dan (8) Dukungan masyarakat. Kedelapan faktor tersebut menjadi dasar teori penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemahaman dan penerimaan kepala sekolah beserta guru mengenai pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, bagaimana layanan pendidikan inklusif berlangsung, sehingga dapat ditemukan hal-hal apa saja yang secara tidak disadari menjadi kendala dalam melaksanakan praktik pendidikan inklusif, sehingga pada akhirnya merumuskan program yang diharapkan dapat mengembangkan layanan pendidikan inklusif di sekolah X.

Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif terhadap kepala sekolah dan 16 orang guru. Subyek penelitian datang dari latar belakang pendidikan, dan lama kerja yang berbeda pula. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi.

Penelitian ini menghasilkan temuan-temuan utama yang sifatnya saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Berikut ini penjelasan temuan-temuan yang berhasil dihimpun:

Pertama, pemahaman kepala sekolah dan guru terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus secara umum dinilai cukup baik. Namun meskipun demikian, tingkat pemahaman antara guru satu dengan guru lainnya belum merata, sebagian guru sudah memahami pendidikan inklusif dan anak


(34)

berkebutuhan khusus. Kepala sekolah dan guru mampu menjelaskan konsep dari pendidikan inklusif: menjelaskan definisi pendidikan inklusif, menjelaskan perbedaan pendidikan inklusif dengan model segregasi, menjelaskan bentuk layanan pendidikan (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran), serta menjelaskan layanan dan bantuan tambahan dalam setting inklusif. Sedangkan lainnya belum mampu menjelaskan dengan baik. Tingkat pemahaman terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus ini akan berimplikasi pada cara guru memperlakukan siswa serta pemberian layanan yang diberikan.

Kedua, penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa terhadap anak berkebutuhan khusus dinilai sudah baik. Penerimaan yang positif dari semua elemen di sekolah melahirkan lingkungan belajar yang nyaman dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi semua siswa. Seluruh warga sekolah menghargai dan dapat menerima keberagaman sebagai salah satu bentuk nilai pluralitas. Seluruh warga sekolah sudah menunjukan sikap-sikap penerimaannya melalui (1) Sikap menerima ditunjukkan dengan keterlibatan secara aktif dari orang yang menerima terhadap aktifitas-aktifitas yangg dapat memberikan kebahagiaan bagi orang yang menerimanya. (2) Turut serta memikirkan hal yang dapat mengembangkan dan membuat anak semakin maju serta menjadi lebih baik. (3) Menunjukan kasih sayang yaitu adanya upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan baik fisik maupun psikis. (4) Berdialog secara baik dengan anak, bertutur kata dengan baik dan bijak adalah cermin bahwa ia ingin menerima dan menghargai orang lain. (5) Menerima anak sebagai seorang individu, tidak ada satu individu yang sama untuk karena itu, harus menerima kekurangan dan kelebihan secara lapang dada sehingga tidak membandingkan satu anak dengan anak lain. (6) Memberikan bimbingan dan semangat motivasi: memberikan bimbingan dan semangat motivasi untuk maju dan lebih baik tidak cukup dari dalam diri, dibutuhkan motivasi eksternal untuk memompa motivasi orang yang bisa menerima orang lain secara ikhlas akan dapat memotivasi, membimbing dan memberi semangat sebab kemajuan orang yang di bimbing adalah bagian dari kebahagiaannya. (7) Memberi teladan: Memberikan contoh perilaku-perilaku yang baik pada anak. (8) Tidak menuntut berlebihan: dapat menerima keadaan


(35)

anak dan tidak memaksakan keinginannya agar anak menjadi seperti keinginan orangtua.

Ketiga, layanan pendidikan inklusif termasuk didalamnya proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dilaksanakan secara inklusif dengan adanya penyesuaian kurikulum berdasarkan kebutuhan dan potensi setiap siswa. Namun terdapat perbedaan kualitas pembelajaran bagi siswa pada umumnya dengan siswa yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan meskipun secara fisik mereka belajar bersama-sama dalam kelas yang sama. Perbedaan kualitas proses pembelajaran secara keseluruhan, antara siswa pada umumnya dan siswa berkebutuhan khusus terletak pada perbedaan kompetensi yang dimiliki oleh guru yang merancang program pembelajaran tersebut. Proses pembelajaran bagi siswa pada umumnya, dimulai dari proses perencanaan hingga evaluasi, dilaksanakan oleh guru yang memiliki berkompeten dan berpengalaman pada bidangnya. Sedangkan pada siswa yang berkebutuhan khusus proses perencanaan pembelajaran hingga evaluasi banyak ditagani oleh guru pendamping (shadow

teacher) yang secara kompetensi dan pengalaman belum memenuhi kriteria.

Kompetensi guru pendamping yang belum memenuhi kriteria ini, kurang lebih disebabkan oleh proses rekrutmen yang mudah untuk dilalui. Syarat utama untuk menjadi seorang guru pendamping (shadow teacher) di sekolah ini adalah sudah selesai menempuh pendidikan minimal diploma 3. Selain itu tidak terdapat syarat khusus, baik dalam latar belakang pendidikan, pengalaman, maupun keterampilan khusus. Setelah itu, tidak ada tidak ada pelatihan khusus atau training yang difasilitasi oleh Tim IEP sebelum menangani siswa berkebutuhan khusus. Jika dilihat dari prosesnya, guru pendamping disini lebih mengarah kepada shadow

teacher. Mengingat tidak adanya tuntutan khusus dari segi disiplin ilmu dan

keterampilan.

Namun, ketika menelusuri tugas apa saja yang menjadi tanggung jawab guru pendamping, peran guru pendamping (shadow teacher) di sekolah ini, lebih tepat disebut sebagai guru pendidikan khusus atau special education teacher dimana tugas-tugas yang dibebankan diantaranya (1) bertugas menyiapkan lesson

plan, work sheet, dan berkoordinasi dengan guru kelas serta guru bidang studi, (2)


(36)

sesuai saran dari tim IEP, (3) Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang menunjang penanganan anak berkebutuhan khusus selama pendampingan. Pada praktik ideal, tugas-tugas tersebut bukan merupakan tugas dari seorang guru pendamping (shadow teacher). Menurut Direktorat PLB (2004) Guru pendidikan khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa.

Hal yang membedakan tugas antara guru pendidikan khusus dengan guru pada umumnya terletak pada perencanaan, pelaksanaan dan penilaian tugas yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan. Selain itu tugas pokok guru pendidikan khusus selain mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik yang memilki kebutuhan khusus, juga dalam hal program pelayanan pendidikan khusus, atau program khusus, perencana, pelaksana, dan penilaian program.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah melakukan proses rekrutmen untuk guru pendamping (shadow teacher), namun pada praktiknya tugas-tugas guru pendidikan khusus dibebankan kepada guru-guru ini. Ketiadaan guru pendidikan khusus dalam formasi Tim IEP merupakan penyebab terjadinya pemberian tanggung jawab sebagai guru pendidikan khusus kepada guru pendamping (shadow teacher).

Selain hal tersebut, sekolah sering kali mengalami kekurangan tenaga

shadow teacher, karena para guru mudah untuk diterima dan berhenti.

Dikarenakan hal tersebut, pada beberapa kasus siswa berkebutuhan khusus sering mengalami pergantian guru pendamping yang berimbas pada terganggungnya proses pembelajaran. Selain hal tersebut, dalam layanan pendidikan inklusif di sekolah ini, belum ditemukan adanya kolaborasi antara Tim IEP dengan guru reguler dalam hal ini wali kelas dan guru mata pelajaran. Guru reguler sering kali kebingungan memberikan metode yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer atau sementara, seperti anak-anak yang mengalami kesulitan belajar namun dapat ditangani secara klasikal. Guru reguler tidak mendapatkan bimbingan secara khusus dari Tim IEP.


(37)

Keempat, rancangan program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X disusun berdasarkan data dan kondisi faktual sekolah seputar pemahaman kepala sekolah dan guru terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta praktik layanan pendidikan inklusif di sekolah X. Berdasarkan analisis terhadap kendala yang dihadapi berdasarkan kondisi di lapangan kemudian dirancang program pengembangan layanan inklusf. Selanjutnya rancangan program pengembangan layanan inklusif divalidasi melalui expert judgement kepada dua orang praktisi pendidikan inklusif dari dua sekolah berbeda. Berdasarkan hasil validasi, program yang telah dirancang disarankan untuk diperbaiki dalam format penulisan program agar lebih rinci dan mudah dipahami. Sedangkan, dari segi konten sudah sesuai dengan kondisi faktual sekolah, baik itu dari aspek pemahaman dan penerimaan terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta praktik layanan pendidikan inklusif di Sekolah X.

B. Rekomendasi

Program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X diharapkan dapat diterapkan demi peningkatan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X. Program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini direkomendasikan kepada pihak-pihak yang secara langsung berperan dalam pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, antara lain:

a. Bagi Kepala sekolah yang berperan sebagai manager, administrator,

educator, leader, innovator, motivator, dan supervisor di sekolah,

menjadikan program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini sebagai pedoman dalam mengupayakan pengembangan praktik layanan pendidikan inklusif di sekolah.

b. Bagi Guru kelas dan guru pendidikan khusus (Special Needs Teacher) yang langsung berhubungan dengan peserta didik, menjadikan program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini menjadi pedoman dalam upaya untuk meningkatkan layanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.


(38)

c. Bagi tim IEP yang berfungsi sebagai tim khusus yang merumuskan program pembelajaran individual bagi siswa yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan, menjadikan program ini sebagai pedoman dalam memetakan tugas kerja dan memperbaiki alur koordinasi dengan guru kelas dan guru mata pelajaran.

d. Bagi sekolah-sekolah lain yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif dan dalam perjalanannya menghadapi kendala serupa Sekolah X dalam praktik pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, menjadikan program ini sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan layanan pendidikan inklusif disekolah dan memberikan layanan terbaik untuk semua peserta didiknya


(39)

Alimin, Z. (2008). Anak Berkebutuhan Khusus, PKKH UPI: Bandung.

Alimin, Z. (2005). Penilaian Hasil Belajar Dalam Setting Pendidikan Inklusif. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Alimin, Z. (2008). Tantangan Dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Dan Solusinya. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Allan, J. (1999). Actively Seeking Inclusion: Pupils with Special Needs in Mainstream Schools. Taylor & Francis e-Library.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Creswell, John. W. (2009). Research Design Qualitative Quantitative and mixed

methods approaches.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Lokakarya Menuju Inklusi. Bandung: Depdikbud.

Fitria, R. (2012). Proses Pembelajaran Dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar: E-JUPEKhu, vol. 1 no. 1. Hlm. 90-101.

Garnida, D. (2009). Sistem Dukungan (Supporting System) Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Jurnal Inklusi PPPP TK dan

PLB 1(1), 1- 10.

Ilahi, M. Takdir. (2013). Pendidikan Inklusif: Konsep & Aplikasi. Malang: Ar-Ruzz Media.

Leskey, J & Waldron, N (2000). Inclusive Schools in Action : Making Differences Ordinary.

Sapon-Shevin, M. (1999). Because we can change the world: A practical guide to building cooperative, inclusive classroom communities: Kata, vol. 2 no.1. hlm. 44-46

Sidiq, Z (2007). Pendidikan inklusif suatu strategi menuju Pendidikan untuk semua. Jurnal PLB FIP-UPI.

Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion, Education-Special Needs Education An

Introduction. Oslo: Unipub forlag.

Smith, J. D. (2012). Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung: Nuansa.


(40)

Suryana. (2007). Tahapan-tahapan penelitian kualitatif. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI

Sugiarmin,M. (2007). Mengelola Kelas Inklusif Dengan Pembelajaran yang Ramah. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inkusif (Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa), Jurnal

PLB FIP-UPI, 1-15.

Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There Are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.

Sudjana, N. (2009). Penilain Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sugiarmin, M. (2011). Pengembangan Model Pembelajaran dalam Kelas Inklusif untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Peserta Didik, Jurnal

Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua : Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 41-49.

Sukinah. (2009). Manajemen Strategik Implementasi Pedidikan Inklusif, Jurnal

Pendidikan Khusus 7(2), 40-51.

Sumariah, S. (2012). Manajemen Pendidikan Suatu Tinjauan enyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak yang Kreatif. Jurnal Inklusi PPPP TK dan

PLB 1(1), 73-77.

Sunanto, D. (2011). Profil Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar di Kota Bandung, Jurnal Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk

Semua: Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 16-22.

Stainback,W. & Stainback,S. (1990) Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks.

Tahar, et al. (2011). Kesediaan Guru Melaksanakan Proses Pengajaran dan Pembelajaran Dalam Kelas Dengan Kepelbagaian Pelajar. Jurnal

Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua : Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 8-15.


(41)

Tarsidi, D.(2007). Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI

Trimo. (2012). JMP Volume 1 Nomor 2 agustus 2012. Manajemen Sekolah Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Kajian Aplikatif Pentingnya Menghargai Keberagaman Bagi Anak-Anak Berkebutuhan Khusus: JMP, Vol.1 No.2, 224-239.

Ummah, U. (2011). Manajemen Penyelenggara Pendidikan Inklusif (Studi Kasus Terhadap Sebuah SD Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Kota Bandung dan Sidoarjo). (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Yasin et al. (2011). Kemudahan Infrastruktur Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia. Jurnal Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua :


(1)

102

sesuai saran dari tim IEP, (3) Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang menunjang penanganan anak berkebutuhan khusus selama pendampingan. Pada praktik ideal, tugas-tugas tersebut bukan merupakan tugas dari seorang guru pendamping (shadow teacher). Menurut Direktorat PLB (2004) Guru pendidikan khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa.

Hal yang membedakan tugas antara guru pendidikan khusus dengan guru pada umumnya terletak pada perencanaan, pelaksanaan dan penilaian tugas yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam pendidikan. Selain itu tugas pokok guru pendidikan khusus selain mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik yang memilki kebutuhan khusus, juga dalam hal program pelayanan pendidikan khusus, atau program khusus, perencana, pelaksana, dan penilaian program.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah melakukan proses rekrutmen untuk guru pendamping (shadow teacher), namun pada praktiknya tugas-tugas guru pendidikan khusus dibebankan kepada guru-guru ini. Ketiadaan guru pendidikan khusus dalam formasi Tim IEP merupakan penyebab terjadinya pemberian tanggung jawab sebagai guru pendidikan khusus kepada guru pendamping (shadow teacher).

Selain hal tersebut, sekolah sering kali mengalami kekurangan tenaga

shadow teacher, karena para guru mudah untuk diterima dan berhenti.

Dikarenakan hal tersebut, pada beberapa kasus siswa berkebutuhan khusus sering mengalami pergantian guru pendamping yang berimbas pada terganggungnya proses pembelajaran. Selain hal tersebut, dalam layanan pendidikan inklusif di sekolah ini, belum ditemukan adanya kolaborasi antara Tim IEP dengan guru reguler dalam hal ini wali kelas dan guru mata pelajaran. Guru reguler sering kali kebingungan memberikan metode yang sesuai bagi siswa berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer atau sementara, seperti anak-anak yang mengalami kesulitan belajar namun dapat ditangani secara klasikal. Guru reguler tidak mendapatkan bimbingan secara khusus dari Tim IEP.


(2)

Keempat, rancangan program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X disusun berdasarkan data dan kondisi faktual sekolah seputar pemahaman kepala sekolah dan guru terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, penerimaan kepala sekolah, guru, dan siswa terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta praktik layanan pendidikan inklusif di sekolah X. Berdasarkan analisis terhadap kendala yang dihadapi berdasarkan kondisi di lapangan kemudian dirancang program pengembangan layanan inklusf. Selanjutnya rancangan program pengembangan layanan inklusif divalidasi melalui expert judgement kepada dua orang praktisi pendidikan inklusif dari dua sekolah berbeda. Berdasarkan hasil validasi, program yang telah dirancang disarankan untuk diperbaiki dalam format penulisan program agar lebih rinci dan mudah dipahami. Sedangkan, dari segi konten sudah sesuai dengan kondisi faktual sekolah, baik itu dari aspek pemahaman dan penerimaan terhadap pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan khusus, serta praktik layanan pendidikan inklusif di Sekolah X.

B. Rekomendasi

Program pengembangan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X diharapkan dapat diterapkan demi peningkatan layanan pendidikan inklusif di Sekolah X. Program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini direkomendasikan kepada pihak-pihak yang secara langsung berperan dalam pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, antara lain:

a. Bagi Kepala sekolah yang berperan sebagai manager, administrator,

educator, leader, innovator, motivator, dan supervisor di sekolah,

menjadikan program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini sebagai pedoman dalam mengupayakan pengembangan praktik layanan pendidikan inklusif di sekolah.

b. Bagi Guru kelas dan guru pendidikan khusus (Special Needs Teacher) yang langsung berhubungan dengan peserta didik, menjadikan program pengembangan layanan pendidikan inklusif ini menjadi


(3)

104

c. Bagi tim IEP yang berfungsi sebagai tim khusus yang merumuskan program pembelajaran individual bagi siswa yang memerlukan layanan khusus dalam pendidikan, menjadikan program ini sebagai pedoman dalam memetakan tugas kerja dan memperbaiki alur koordinasi dengan guru kelas dan guru mata pelajaran.

d. Bagi sekolah-sekolah lain yang menyelenggarakan layanan pendidikan inklusif dan dalam perjalanannya menghadapi kendala serupa Sekolah X dalam praktik pelaksanaan layanan pendidikan inklusif, menjadikan program ini sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan layanan pendidikan inklusif disekolah dan memberikan layanan terbaik untuk semua peserta didiknya


(4)

Alimin, Z. (2008). Anak Berkebutuhan Khusus, PKKH UPI: Bandung.

Alimin, Z. (2005). Penilaian Hasil Belajar Dalam Setting Pendidikan Inklusif. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Alimin, Z. (2008). Tantangan Dalam Mengimplementasikan Pendidikan Inklusif Dan Solusinya. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.

Allan, J. (1999). Actively Seeking Inclusion: Pupils with Special Needs in Mainstream Schools. Taylor & Francis e-Library.

Arikunto, S. (2007). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Creswell, John. W. (2009). Research Design Qualitative Quantitative and mixed

methods approaches.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Lokakarya Menuju Inklusi. Bandung: Depdikbud.

Fitria, R. (2012). Proses Pembelajaran Dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar: E-JUPEKhu, vol. 1 no. 1. Hlm. 90-101.

Garnida, D. (2009). Sistem Dukungan (Supporting System) Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Jurnal Inklusi PPPP TK dan

PLB 1(1), 1- 10.

Ilahi, M. Takdir. (2013). Pendidikan Inklusif: Konsep & Aplikasi. Malang: Ar-Ruzz Media.

Leskey, J & Waldron, N (2000). Inclusive Schools in Action : Making Differences Ordinary.

Sapon-Shevin, M. (1999). Because we can change the world: A practical guide to building cooperative, inclusive classroom communities: Kata, vol. 2 no.1. hlm. 44-46

Sidiq, Z (2007). Pendidikan inklusif suatu strategi menuju Pendidikan untuk semua. Jurnal PLB FIP-UPI.

Skjorten, MD. (2001). Towards Inclusion, Education-Special Needs Education An


(5)

106

Suryana. (2007). Tahapan-tahapan penelitian kualitatif. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI

Sugiarmin,M. (2007). Mengelola Kelas Inklusif Dengan Pembelajaran yang Ramah. Bandung : Sekolah Pascasarjana UPI.

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inkusif (Konsep, Kebijakan, dan Implementasinya dalam Perspektif Pendidikan Luar Biasa), Jurnal

PLB FIP-UPI, 1-15.

Stubbs, S. (2002). Inclusive Education Where There Are Few Resources. Oslo: The Atlas Alliance.

Sudjana, N. (2009). Penilain Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sugiarmin, M. (2011). Pengembangan Model Pembelajaran dalam Kelas Inklusif untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Peserta Didik, Jurnal

Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua : Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 41-49.

Sukinah. (2009). Manajemen Strategik Implementasi Pedidikan Inklusif, Jurnal

Pendidikan Khusus 7(2), 40-51.

Sumariah, S. (2012). Manajemen Pendidikan Suatu Tinjauan enyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak yang Kreatif. Jurnal Inklusi PPPP TK dan

PLB 1(1), 73-77.

Sunanto, D. (2011). Profil Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar di Kota Bandung, Jurnal Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk

Semua: Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 16-22.

Stainback,W. & Stainback,S. (1990) Support Networks for Inclusive Schooling: Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks.

Tahar, et al. (2011). Kesediaan Guru Melaksanakan Proses Pengajaran dan Pembelajaran Dalam Kelas Dengan Kepelbagaian Pelajar. Jurnal

Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua : Isu-isu Pendidikan Khusus di Indonesia dan Malaysia. 8-15.


(6)

Tarsidi, D.(2007). Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan Untuk Semua. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI

Trimo. (2012). JMP Volume 1 Nomor 2 agustus 2012. Manajemen Sekolah Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif: Kajian Aplikatif Pentingnya Menghargai Keberagaman Bagi Anak-Anak Berkebutuhan Khusus: JMP, Vol.1 No.2, 224-239.

Ummah, U. (2011). Manajemen Penyelenggara Pendidikan Inklusif (Studi Kasus Terhadap Sebuah SD Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Kota Bandung dan Sidoarjo). (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Yasin et al. (2011). Kemudahan Infrastruktur Program Integrasi Pendidikan Khas di Malaysia. Jurnal Praktik-praktik Terbaik Pendidikan Untuk Semua :