KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH X KOTA JAMBI.

(1)

DI SEKOLAH X KOTA JAMBI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagaian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Master Pendidikan

Program Studi Pendidikan Khusus

Oleh:

JOHANDRI TAUFAN 1101133

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013


(2)

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di

Sekolah X Kota Jambi

Oleh Johandri Taufan S.Pd UNP Padang, 2011

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana Pendidikan Kebutuhan Khusus

© Johandri Taufan 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,


(3)

Johandri Taufan NIM. 1101133

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI SEKOLAH X KOTA JAMBI

Diketahui

Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Dr. Djadja Rahardja, M.Ed. NIP. 19590414 198503 1 005


(4)

ABSTRAK

JOHANDRI TAUFAN, 2013 “Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi”. Penelitian ini adalah sebuah studi deskriptif kualitatif mengenai kajian kebijakan-kebijakan kepala sekolah tentang pendidikan inklusif di salah satu sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi Jambi. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan dan memperoleh gambaran tentang kebijakan-kebijakan seperti apa yang dilakukan kepala sekolah sebagai usaha kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota jambi. Fokus penelitian ini mengenai kebijakan-kebijakan kepala sekolah yang meliputi beberapa aspek yaitu, kondisi faktual peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dari hasil penelitian dan pembahasan kemudian didapatkan bahwa kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi berjalan dengan baik. Adanya sikap penerimaan dari seluruh masyarakat sekolah terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, kurikulum yang fleksibel di sesuaikan dengan kemampuan peserta didik, seting pembelajaran yang disesuaikan dengan kenyamanan kelas, dan sarana prasarana yang mendukung dan mudah diakses oleh peserta didik berkebutuhan khusus, serta masyarakat sekolah yang sangat mendukung kebijakan-kebijakan yang di buat oleh kepala sekolah sebagai sebuah usaha kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Dalam penelitian ini juga dibahas terkait pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dari proses hasil penelitian dan pembahasan ini, disusunlah sebuah desain kebijakan berdasarkan hasil penelitian di lapangan terkait pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Penilaian ahli (expert judgment) terhadap desain kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi memberikan kejelasan mengenai hal-hal yang akan dilakukan dalam upaya mencapai tujuan kebijakan yang diharapkan.


(5)

ABSTRACK

JOHANDRI TAUFAN,2013 “"The Policies of School Principal in the Implementation of Inclusive Education In School X of Jambi City". The research is a qualitative descriptive study that find out the principal policies on inclusive education in one of the inclusive schools in Jambi. The approach used in this study is descriptive qualitative. This study aimed to obtain a description of the policies done by the school principal as the effort in implementing inclusive education in School X in Jambi. This study focused on the principal policies on some aspects. Those are the factual conditions of the principal policies in the implementation of inclusive education, the role of school principal in the inclusive education policy, the factors that support the policies made by the school principal, the obstacles in the policy making, and also the design of the school principal policies in the implementation of inclusive education.The research finds that the principal policies in the implementation of inclusive education in School X in Jambi is going well. The school community accept the learners with special needs, the flexible curriculum that adjust to the ability of learners is available, the learning settings fit the class comfort, the school facilities are easily accessible to the students with special needs, and the community is very supportive to the policies made by the principal as the effort in the implementation of inclusive education in School X of Jambi City. The research also discussed about the factors that support the policies made by the school principal, as well as the obstacles in the policy making. The expert judgement on the design of the school principal policies in the implementation of inclusive education, gives a clear explanation about things that will be done to achieve the goal of the policies.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Halaman Pernyataan... ii

Kata Pengantar ... iii

Ucapan Terimakasih... iv

Abstrak ... vi

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

Daftar Lampiran ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11

A.Hakekat Kebijakan ... 11

1. Pengertian Kebijakan ... 11

2. Tahapan Kebijakan ... 12

3. Kebijakan Sekolah ... 14

4. Kebijakan yang Berhubungan dengan Pendidikan Inklusif ... 14

B.Kepala Sekolah ... 17

1. Pengertian Kepala Sekolah ... 17

2. Tugas Kepala Sekolah ... 17

3. Peran Kepala Sekolah ... 19

4. Kepemimpinan dan Kebijakan Sekolah ... 24

C.Hakekat Pendidikan Inklusif ... 25

1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ... 26


(7)

3. Karakteristik Pendidikan Inklusif ... 30

4. Tujuan Pendidikan Inklusif ... 34

5. Manfaat Pendidikan Inklusif ... 35

6. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 38

7. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 41

8. Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif ... 42

9. Indikator-indikator Keberhasilan Pendidikan Inklusif ... 43

10.Menciptakan Sekolah dan Kelas yang lebih Inklusif ... 44

11. Dukungan Kepala Sekolah ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A.Pendekatan Penelitian ... 47

B. Informan dan Lokasi Penelitian ... 48

C.Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrument ... 49

D.Desain Penelitian ... 55

E. Definisi Konsep ... 57

F. Teknik Keabsahan Data ... 60

G.Teknik Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Hasil Penelitian ... 63

B.Pembahasan ... 107

BAB V PENUTUP ... 133

A.Kesimpulan ... 133

B. Rekomendasi ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 142

RIWAYAT HIDUP ... 145


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel

4.1. Wawancara dan Observasi Kebijakan kepala sekolah dalam

penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus ... 64 4.2. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah dalam

perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan ... 67 4.3. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah terhadap

penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus ... 70 4.4. Wawancara dan Observasi guru terkait Kebijakan kepala sekolah

Terhadap penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus .... 71 4.5. Wawancara dan Observasi kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah

terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... 74 4.6. Wawancara dan Observasi guru terkait Kebijakan kepala sekolah

Terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... 75 4.7. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan

pendidikan inklusif ... 76 4.8. Wawancara dan observasi Kepala sekolah, guru dan orang tua.

Kebijakan kepala sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

3.1. Desain Kebijakan ... 56 3.2. Langkah-langkah Analisis Data Kualitiatif

(Miles dan Huberman, 1984) ... 62 4.1. Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasrakan kasijan penelti dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 124 4.2 Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan kaijan peneliti dalam Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif Hasil Expert Judgment oleh Pakar Kebijakan dan

Pendidikan Inklusif ... 132

5.1 Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasrakan kasijan penelti dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 141


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Pedoman Wawancara ... 146

Kebijakan Kepala sekolah dalam penerimaan Peserta didik berkebutuhan khusus ... 146

Kebijakan Kepala Sekolah dalam Perekrutan Tenaga Pendidik dan Kependidikan... 148

Kebijakan kepala sekolah terhadap penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus ... 150

Kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... …… 153

Kebijakan kepala sekolah terhadap pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 156

Kebijakan Kepala Sekolah dalam Pengadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Inklusif ... 158

Pemahaman masyarakat sekolah tentang pendidikan inklusif ... 160

Dukungan dari semua masyarakat sekolah terkait pengambilan kebijakan ... 163

Partisipasi dari semua masyarakat sekolah terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 165

Pedoman Observasi ... 166

Pedoman Dokumentasi ... 169

Catatan Lapangan ... 171


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah di amandemen memberikan jaminan seperti yang tercantum pada pasal 31, ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan, ayat (2) setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Yang dimaksud dengan pemerintah dalam undang-undang ini adalah Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota. Termasuk untuk anak yang berkebutuhan khusus dan yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan Internasional Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015 dan Indonesia termasuk dalam kesepakatan itu.

Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan hendaknya memberikan jaminan bahwa setiap anak akan mendapat pelayanan untuk mengembangkan potensinya secara individual. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama seperti anak lainnya (anak normal) dalam mengakses pendidikan.

Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar dari semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang disabilitas,


(12)

terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif diadopsi dari. Konfrensi Salamanca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun 2000. Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa: sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memperdulikan keadaan fisik, intelektual, social, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan serta anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).

Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang melihat bagaimana mengubah sistem pendidikan agar dapat merespon dan menerima keberagaman peserta didik, dengan tujuan guru dan siswa merasa nyaman dalam keberagaman, dan melihat keberagaman sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, karena keberagaman bukanlah suatu masalah yang harus ditakuti. Skjørten (2003; 50) menyatakan bahwa legislasi dan peraturan saja tidak cukup untuk dapat melaksanakan inklusif. Proses menuju inklusif ini panjang dan, antara lain, membutuhkan: 1) perubahan hati dan sikap, 2) reorientasi yang berkaitan dengan asesmen, metode pengajaran dasn manajemen kelas, termasuk penyesuaian lingkungan, 3) redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya manusia, 4) redefinisi peran SLB yang ada, misalnya, dapatkah sekolah-sekolah ini secara bertahap mulai berfungsi sebagai pusat sumber yang ekstensif?, 5) penyediaan bantuan professional bagi para guru dalam bentuk: (a) reorientasi pendidikan guru sehingga guru-guru baru dapat memberikan kontribusi kepada proses menuju inklusif dan bersikap fleksibel jika diperlukan, (b) reorientasi pelatihan dalam jabatan dan penataran guru, kepala sekolah dan guru kelas sehingga mereka juga akan dapat memberikan kontribusi terhadap proses menuju inklusi dan bersikap fleksibel jika diperlukan, dan (c) layanan guru kunjung menurut kebutuhan, 6) pembentukan, peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru dan orang tua, demi saling reorientasi dan melakukan peningkatan serta


(13)

pertukaran pengalaman, bantuan dan nasehat. Menurut Stubbs (2002; 10), ada tiga faktor utama penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif, yaitu: 1) kerangka kerja yang kuat, meliputi nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip utama, indikator keberhasilan; 2) implementasi dalam budaya dan konteks lokal; dan 3) monitoring partispatori berkesinambungan.

Dalam memulai menyelenggarakan pendidikan inklusif di sekolah, perlu adanya sikap penerimaan dari hati, karena tanpa adanya sikap menerima tersebut, maka pelaksanaan pendidikan inklusif tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Di sini kepala sekolahlah yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif disekolahnya. Kebijakan-kebijakan yang diambil merupakan hasil dari keputusan dan ketetapan yang di diskusikan secara bersama-sama. Majunya sebuah organisasi dan lembaga itu semua tergantung dari kemampuan manajemen pemimpinnya, termasuk juga sekolah. Kepala sekolah adalah penanggung jawab pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk didalamnya adalah penanggung jawab pelaksanaan administrasi sekolah.

Bagi sekolah, kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peranan penting dalam mewujudkan sekolah inklusif, terutama bagaimana mengembangkan budaya organisasi yang inklusif, mendorong kinerja guru lebih tinggi, memotivasi guru, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak (orang tua, para ahli, dan stakeholder lainnya). Kepala sekolah memiliki kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari pimpinan lebih tinggi sesuai dengan visi, misi dan sasaran sekolah yang mengacu kepada sumber daya di dalam dan luar sekolah. Kepala sekolah dengan otonomi yang lebih luas memiliki kewenangan utnuk membuat kebijakan pengembangan sekolah. Karena itu, kebijakan pengembangan sekolah perlu dipahami agar formulasi kebijakan dapat diarahkan untuk mencapai kualitas unggul dalam proses kegiatan dan lulusan yang sesuai harapan masyarakat.


(14)

Keberadaan sekolah sebagai lembaga formal penyelenggaraan pendidikan memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem pendidikan nasional. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah bertanggung jawab dalam menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan pemerintah (Syafaruddin, 2008). Berawal dari UUD 1945, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian diterjemahkan dan dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh langsung keperluan stakholders pendidikan, khususnya anak didik. Jadi, setiap kebijakan harus selalu berhubungan dengan kesejahteraan dan pencerdasan masyarakat.

Sebagai pemimpin, keberadaan kepala sekolah menduduki peran yang amat penting dalam melaksanakan kebijakan pimpinan puncak (top leader) untuk mengelola seluruh sumber daya yang dapat mendukung pencapaian keunggulan sekolah. Mengacu kepada hasil penelitian terhadap sekolah di British, menurut Duke dan Candy (Syafaruddin ; 2008) ada beberapa fokus kebijakan sekolah, yaitu: (1) melibatkan staf dalam pengambilan keputusan, (2) kurikulum, (3) imbalan dan hukuman, (4) keterlibatan orang tua, (5) peluang bagi pelajar, (6) iklim sekolah.

Perlu dicermati oleh kepala sekolah dalam membuat kebijakan baru adalah menciptakan keadaan baru. Suatu kebijakan baru merupakan penciptaan keadaan baru dari rutinitas yang memungkinkan mendapat penolakan dari personel sekolah. Karena itu, perlu melibatkan personel sekolah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan baru sekolah supaya ada proses pembelajaran, dan komitmen dalam keberhasilan kebijakan meningkatkan mutu sekolah.

Kebijakan merupakan salah satu dari dimensi dalam indeks inklusi. Indeks untuk Inklusi adalah satu set bahan untuk memandu sekolah melalui proses pengembangan sekolah inklusif. Ini adalah tentang membangun


(15)

masyarakat yang mendukung dan mendorong prestasi tinggi untuk semua staf dan mahasiswa. Indeks Inklusi meliputi tiga dimensi perkembangan sekolah yang saling terkait yaitu menciptakan budaya inklusif, membuat kebijakan-kebijakan inklusif, dan mengembangkaan praktik-praktik inklusif. Dimensi-dimensi tersebut mengarahkan cara berpikir kearah perubahan sekolah yang lebih inklusif, oleh karena itu semua rencana perubahan sekolah harus memperhatikan ketiga dimensi tersebut, sehingga dengan adanya budaya inklusif dalam sekolah, perubahan kebijakan dan praktik diharapkan akan dapat dijaga terus oleh semua komunitas yang ada disekolah. Indeks inklusi menawarkan sebuah proses review diri dan perkembangan yang bersifat mendukung atau suportif pada sekolah inklusif, proses tersebut mengacu pada pandangan kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua, serta anggota komunitas lingkungan sekitar yang lain. Pada sekolah Inklusif memerlukan dilakaukannya pengamatan yang detail untuk mengetahui bagaimana hal-hal yang menghambat partisipasi dan proses pembelajaran siswa dapat dikurangi.

Pada dimensi kebijakan, kebijakan-kebijakan inklusif yang

memastikan bahwa inklusi dilakukan di semua rencana sekolah, kebijakan-kebijakan yang dibuat mendorong adanya partisipasi siswa dan staf sejak pertama kali mereka menjadi bagian dari sekolah, menjangkau semua siswa di lingkungan sekolah, serta meminalisir adanya tekanan ekslusioner, semua kebijakan menggunakan strategi perubahan yang jelas, yang dimaksud dengan dukungan di sini adalah semua kegiatan yang meningkatkan kapasitas sekolah untuk menanggapi perbedaan siswa. Semua bentuk dukungan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip inklusif dan disatukan dalam sebuah kerangka tunggal.

Tahun 2004 pendidikan inklusif di Provinsi Jambi baru mulai dirintis dengan ditunjuknya tiga Sekolah Dasar Negeri, yaitu satu di Kota Jambi, satu di Kabupaten Muara Jambi dan satu lagi di Kabupaten Bungo. Di tiga sekolah ini pendidikan inklusi berjalan dengan berbagai hambatan dan


(16)

kesulitan yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Adapun dalam proses penyelenggaraan pendidikan inklusif tidaklah

mudah. Hambatan-hambatan yang sering terjadi pada sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif ini adalah kurangnya dukungan dari berbagai pihak setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran (rasa penerimaan, keterbukaan, keingintahuan) khususnya dari kepala sekolah dan sebagian guru reguler kini sekolah inklusif makin berkembang.

Pendidikan inklusi di Jambi bukan hanya berlangsung di beberapa Sekolah Dasar tetapi juga di beberapa SMP dan SMA/SMK. Daftar siswa inklusi Propinsi Jambi hingga Maret 2012 terdapat 72 orang siswa inklusi yang terdiri dari siswa SD, SMP dan SMA/SMK (Sumber dari Ketua Forum Komunikasi Inklusi Propinsi Jambi, Maret 2012)

Fenomena yang peneliti temukan dilapangan, tepatnya di salah satu Sekolah X di Kota Jambi ini adalah, peneliti menemukan bahwasanya Sekolah X telah menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak tahun 2004 lalu dan merupakan sekolah pertama yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di sekolahnya. Di tengah minimnya dukungan dari pemerintah daerah setempat terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif, menjadikan Sekolah X Kota Jambi tidak patah semangat untuk tetap konsisten dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif, bahkan Sekolah X Kota Jambi lebih berusaha sendiri untuk mensukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X ini berjalan dengan baik, diantaranya terlihat adanya sikap penerimaan dari semua masyarakat sekolah terhadap peserta didik berkebutuhan khusus, penerimaan-penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah tersebut pun sangat terbuka, di adakannya sarana dan prasarana yang mendukung peserta didik berkebutuhan khusus untuk menggunakannya, dan penyesuaian kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang di buat fleksibel.

Saat ini pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi bukanlah merupakan suatu hal baru, hampir semua masyarakat sekolah mentehaui apa


(17)

itu pendidikan inklusif. Berbagai macam dukungan dari masyarakat sekolat terkait kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, karena semua masyarakat sekolah sangat bersemangat dalam penyelenggaraannya. Semangat dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif ini terlihat dengan adanya partisipasi yang mendukung terlaksananya penyelenggaraa pendidikan inklusif ini. Suksesnya penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X kota Jambi tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah.

Adapun proses menuju sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ini tidaklah mudah. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan perjuangan dan tingkat kesabaran yang cukup tinggi, karena tidak serta merta guru, komite dan siswa maupun orang tua menerima keputusan tersebut. Terlebih Sekolah Dasar X Kota Jambi selama dari tahun 2004 telah melakukan tiga kali pergantian kepala sekolah, sehingga dalam proses pengambilan kebijakannya tidaklah mudah. Beberapa faktor mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan-kebijakan terkait pelaksanaan pendidikan inklusif ini, ada yang mendukung dan adapula yang menolak kebijakan tersebut. Kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu memberikan penjelasan yang jelas terkait kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolahnya.

Terkait kebijakan-kebijakan yang di buat kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif inilah yang mendasari peneliti tertarik atas fenomena tersebut, dan ingin mengkaji kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, karena tidak banyak kepala sekolah yang berkeinginan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif di sekolah nya. Di Provinsi Jambi sendiri belum ada yang mengatur terkait kebijakan-kebijakan penyelenggaraan sekolah inklusif, baik itu Peraturan Daerah atau pun Peraturan Gubernurnya, sehingga sosialisasi pendidikan inklusif ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.


(18)

Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka peneliti ingin

meneliti lebih dalam secara sistematis mengenai “Kebijakan –kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi”, sehingga kebijakan-kebijakan kepala sekolah ini mampu

mendorong partisipasi dari sekolah-sekolah lainnya agar bisa

menyelenggarakan sekolah inklusif secara bersama-sama, dan mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih baik lagi, khususnya di Kota Jambi. Adapun kebijakan-kebijakan yang maksud merupakan usaha-usaha yang dilakukan kepala sekolah untuk mengembangkan pendidikan inklusif agar dalam proses penyelenggaraannya dapat berjalan.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Adapun fokus dari penelitian ini adalah Bagaimana “Kebijakan – kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi?”

Berdasarkan fokus masalah tersebut, selanjutnya diuraikan dalam pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?

2. Apa peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan

penyelenggaaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?

3. Apa yang menjadi pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?

4. Bagaimana rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?


(19)

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang kebijakan-kebijakan yang diambil kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengkaji:

1. Kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

2. Peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

3. Pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

4. Rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna baik itu untuk keperluan peneliti sendiri, orang tua, guru, kepala sekolah, sekolah, dan Dinas Pendidikan.

a. Bagi peneliti, selain peneliti bisa mengetahui kebijakan-kebijakan yang di laksanakan kepala sekolah untuk mengembangkan pendidikan inklusif, peneliti juga dapat mengetahui sejauh mana pendidikan inklusif ini berjalan pada sekolah tersebut serta dapat membantu kepala sekolah dalam merancang sebuah desain kebijakan yang nantinya kebijakan yang dikeluarkan lebih terarah.

b. Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat agar orang tua dapat mengetahui dan memahami kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah


(20)

dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, serta dapat mendukung kebijakan tersebut.

c. Bagi guru, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui dan memahami serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah di tetapkan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah X.

d. Bagi kepala sekolah, manfaat dari penelitian ini agar kepala sekolah lebih mengetahui peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif, dan agar kebijakan-kebijakan yang di buat dapat diterima oleh semua pihak.

e. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan manfaat dari penelitian ini Dinas Pendidikan lebih memperhatikan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dan bisa mensosialisaikan sekolah inklusif ini ke semua sekolah baik di Kota maupun di Provinsi.


(21)

Johandri Taufan, 2013

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Mely G. Tan (Silalahi, 2009: 28) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Selanjutnya Nazir (2003: 63) mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan metode kualitatif yang bersfiat deskriptif sebagai berikut:

Metode deskriptif adalah suatu metode dengan meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun sistem peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

A. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, fokus penelitian dan tujuan penelitian maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dimana penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2008: 13) adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah. Penelitian kualitatif harus mendasarkan pada asumsi bahwa realitas merupakan dinamika. Tugas peneliti menjaring data secara luas, mendalam, sehingga dapat ditarik menjadi suatu kesimpulan yang absah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Moleong (2004), bahwa:

“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, prilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.”


(22)

Johandri Taufan, 2013

Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi

Lebih lanjut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2004) mengemukakan lima karakteristik utama dari penelitian kualitatif, sebagai berikut:

1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara langsung sumber data.

2. Menyimpulkan data yang dikumpul dalam penelitian ini lebih cenderung dalam bentuk kata-kata dari pada angka.

3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses, tidak semata-mata kepada hasil.

4. Melalui analisis induktif peneliti mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati.

5. Mengungkapkan makna sebagai hasil yang esensial dari pendekatan kualitatif.

Richie (Moleong, 2004) juga mengemukakan bahwa penelitian

Kualitatif adalah “ Upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang

manusia yang diteliti”. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji fenomena-fenomena mengenai Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi.

B. Informan dan Lokasi Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, guru, pengawas Provinsi, pengawas Kota, Koordinator pendidikan Inklusif Provinsi, orang tua, pendamping siswa, dan siswa yang berada di sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi.

Lokasi dalam penelitian ini adalah Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan Inklusif. Adapun Sekolah yang di pakai dalam penelitian ini adalah Sekolah X Kota Jambi. Sekolah Dasar ini ditunjuk langsung oleh pemerintah Provinsi sebagai sekolah yang pertama dalam menyelenggarakan pendidikan Inklusif pada tahun 2004. Adapun penetapan pemilihan lokasi tersebut atas dasar pertimbangan sebagai berikut:


(23)

Johandri Taufan, 2013

1. Sekolah X Kota Jambi merupakan sekolah pertama kali yang ditunjuk sebagai sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif.

2. Jumlah siswa berkebutuhan khusus di Sekolah X Kota Jambi adalah yang paling terbanyak.

3. Sekolah X Kota Jambi merupakan sekolah yang setiap tahunnya menerima siswa berkebutuhan khusus.

4. Merupakan rujukan dari pengawas sekolah dan koordinator pendidikan inklusif.

C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrument 1. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan data yang diambil oleh peneliti mengenai Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi, maka peneliti akan terjun langsung kelapangan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dengan menggunakan alat pengumpulan data dan berupa pedoman observasi, wawacara dan studi dokumentasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Observasi

Menurut Nasution (2009: 107) observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis artinya observasi serta pencatatannya dilakukan menurut prosedur dan aturan-aturan tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti lain. Observasi sistematis di gunakan selama penelitian berlangusung untuk mencermati fenomena-fenoma di lapangan sejak tahap studi orientasi, implementasi, sampai evaluasi. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat

Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif di sekolah X kota Jambi.


(24)

Johandri Taufan, 2013

Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi

Wawancara digunakan dalam rangka memperoleh data informasi verbal secara langsung dari sumber data. Wawancara yang digunakan untuk mewawancarai para key informant yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam penelitian yaitu, kepala sekolah, pengawas provinsi dan kota, koordinator inklusif di Kota Jambi, guru, orang tua, dan siswa. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur. Peneliti menggunakan pedoman wawancara agar tidak keluar dari fokus penelitian yang telah ditentukan.

c. Dokumentasi

Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam.Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.

2. Pengembangan Instrument

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan manusia sebagai instrument utama yaitu peneliti sendiri, karena instrument manusia dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dan teliti. Sebagai instrument

dalam menjaring data, peneliti juga menggunakan instrument

pengumpulan data berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, dan dokumentasi.


(25)

KISI-KISI INSTRUMEN PENELITIAN

Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

PERTANYAAN

PENELITIAN ASPEK INDIKATOR

TEKNIK PENGUMPULAN

DATA

INSTRUMENT INFORMAN

1 2 3 4 5 6

Kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

1. Penerimaan peserta didik 2. Perekrutan tenaga pendidik

dan kependidikan 3. Kurikulum

4. Proses Kegiatan Belajar 5. Pendanaan

6. Sarana Prasarana

1.Bagaimana kebijakan kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus?

2.Bagaimana kebijakan kepala sekolah dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan?

3.Bagaimana kebijakan kepala sekolah dalam penyesuaian kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus? 4.Bagaiamana kebijakan kepala sekolah

dalam kegiatan belajar pada seting pendidikan inklusif?

5.Bagaimana kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif? Observasi Dokumentasi 1. Pedoman observasi 2. Pedoman dokmentasi

1. Kepala sekolah 2. Guru

3. Pengawas SLB Provinsi 4. Pengawas SDLB Kota 5. Koordinator Pendidikan Inklusif 6. Orang tua


(26)

Johandri Taufan, 2013

Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi 6.Bagaimana kebijakan kepala sekolah

1 2 3 4 5 6

dalam pengadaaan sarana dan prasarana pendidikan inklusif?

Peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

1. Kepala sekolah sebagai educator

2. Kepala sekolah sebagai manajer

3. Kepala sekolah sebagai administrator

4. Kepala sekolah sebagai supervisor

5. Kepala sekolah sebagai leader

6. Kepala sekolah sebagai innovator

7. Kepala sekolah sebagai motivator

1. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai educator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif? 2. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai

manejer dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif? 3. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai

administrator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif?

4. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai supervisior dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif?

5. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai leader dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif?

wawancara Pedoman wawancara


(27)

6. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai

1 2 3 4 5 6

innovator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif?

7. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai motivator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif?

Pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Faktor Pendukung Pengambilan Kebijakan

Faktor Penghambat Pengambilan Kebijakan

1.Pemahaman kepala sekolah terhadap pendidikan inklusif.

2.Dukungan dari semua masyarakat sekolah terkait pengambilan kebijakan. 3.Partisipasi dari semua masyarakat sekolah terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Observasi Wawancara Dokumentasi

1. Pedoman observasi 2. Pedoman

dokmentasi 3. Pedoman

wawancara

1. Kepala sekolah

2. Guru

3. Siswa


(28)

Johandri Taufan, 2013

Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi

2 3 4 5 6

Rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian peneliti dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Proses Pengambilan Kebijakan 1.Formulasi kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

2.Implementasi kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

3.Evaluasi kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Observasi Wawancara

1. Pedoman observasi 2. Pedoman wawancara


(29)

D. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu (Nasution, 2009: 23). Untuk menerapkan metode ilmiah dalam praktek penelitian, maka diperlukan suatu desain penelitian yang sesuai dengan kondisi, seimbang dengan dalam dangkalnya penelitian yang akan dikerjakan.

Di mulai dengan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal 30 Juni 2012 dan studi kepustakaan, peneliti mendapatkan beberapa masukan terkait Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Dengan teknik pengumpulan data yaitu obesrvasi, wawancara dan dokumentasi, maka ditemukanlah beberapa ruang lingkup dalam penelitian ini, yang selajutnya akan dilakukan teknik keabsahan dan teknik analisis data. Dari hasil tersebut didapatkanlah hal-hal terkait mengenai kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, yang selanjutnya dibuat keseimpulan dan saran serta rekomendasi.

Untuk selanjutnya desain penelitian tersebut digambarkan pada bagan di bawah ini.


(30)

DESAIN PENELITIAN

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI SEKOLAH X KOTA JAMBI

HASIL ANALISIS

Kesimpulan Rekomendasi dan Saran

Kondisi factual kebijakan kepala

sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

di Sekolah X Kota Jambi Rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

di Sekolah X Kota Jambi Studi Pendahuluan (Empirik)

Teknik Analisis dan Keabsahan Data Studi Pustaka (Rasio)

INPUT

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI SEKOLAH X KOTA JAMBI

Teknik Pengumpulan Data Pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakanpenyelen ggaraan pendidikan inklusif

di Sekolah X Kota Jambi

Gambar 3.1. Desain Penelitian Peran kepala sekolah dalam pengembilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif

di Sekolah X Kota Jambi


(31)

E. Definisi Konsep 1. Kebijakan

Kebiajakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari

bahasa Yuani, yaitu “Policy” yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintah mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dan Hengst dalam Syafaruddin, 2008: 75).

Definisi lain dijelaskan oleh Gamage dan Pang (Syafaruddin, 2008: 75), “kebijakan adalah terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan satu atau lebih pedoman yang luas untuk mencapai sasaran tersebut sehingga di capai yang dilaksanakan bersama dan memberikan kerangka kerja bagi

pelaksanaan program”.

Ada tiga proses kebijakan, yaitu: formulasi, implementasi, dan evaluasi (Putt dan Springer, dalam Syafaruddin, 2008: 81). 1. Formulasi Kebijakan mengandung beberapa isi penting yang dijadikan sebagai pedoman tindakan sesuai yang direncanakan. Adapun isi kebijakan mencakup: a. kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, b. jenis manfaat yang akan dihasilkan, c. derajat perubahan yang diinginkan, d. kedudukan pembuat kebijakan, e. (siapa) pelaksana program, f. sumber daya yang dikerahkan. 2. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Dwijowijoto, 2003: 158). Dijelaskan pula oleh Putt dan Springer (Syafaruddin, 2008: 86) implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yag memudahkan pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi. 3. Evaluasi Kebijakan, menurut Putt dan Springer (Syafaruddin, 2008: 88) menjelaskan evaluasi adalah langkah menerima umpan balik yang utama dari proses kebijakan.


(32)

Mengacu kepada Dunn (2003) evaluasi kebijakan dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment).Dengan demikian, evaluasi berkenaan dengan produksi informan mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.

2. Kepala Sekolah

Sedangkan Kepala sekolah bersal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah” kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu

organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di mana menjadi tempat menerima dan memberi pelejaran. Jadi secara umum kepala sekolah dapat diartikan pemimpin sekolah atau suatu lembaga di mana temapat menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2002: 83)

mengartikan bahwa: “Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional

guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima

pelajaran. Sementara Rahman dkk dalam Sri Damayanti (2008)

mengungkapkan bahwa “Kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan

fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan structural (kepala

sekolah) di sekolah”.

Dari penjelesan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan kepala sekolah adalah hasil keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah untuk seseorang atau sekelompok orang untuk suatu tujuan yang diinginkan secara bersama-sama.

3. Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak


(33)

berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.Menurut Permendiknas No 70 Tahun 2009 pasal 1 menyatakan:

Pendidikan Inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. UNESCO 1994 (Alimin; 2008), memberikan gambaran bahwa:

Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaan secara fisik, intelektual, social, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa minoritas dan kelopok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan.Inilah yang dimaksud dengan one school for all.

Sementara menurut Juang Sunanto (2004: 3) mengemukakan pendidikan inklusif adalah:

Pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak, tidak terkecuali. Tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, social, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya.Semua anak belajar bersama baik dikelas/sekolah formal maupun non formal yang berada di tempat tinggalnya yang diseduaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.

Dari berbagai pendapat dan teori di atas dapat disimpulkan bahwa Sekolah Penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah formal yang mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran bersama siswa-siswa umunya, dengan mengakomodir seluruh kebutuhan anak tanpa terkecuali.


(34)

F. Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data yang berhubungan dengan masalah seberapa jauh kebenaran dan kenetralan hasil penelitian ini diperoleh melalui beberapa kegiatan. Adapun menurut Moleong (2012) mengemukakan beberapa teknik keabsahan data yang diuraikan sebagai berikut:

1. Perpanjangan keikutsertaan

Dalam penelitian kualitatif peneliti adalah instrument itu

sendiri.Keikutsertaan peneliti itu sendiri sangat menetukan dalam pengumpulan data.Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian.

2. Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci dan teliti terhadap faktor-faktor yang menonjol. Dengan demikian didapatlah informasi secara mendalam mengenai Kajian Kebijkan-Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi.

3. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu. Jadi triangulasi merupakan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan atau keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu sendiri. Teknik yang dipakai melalui sumber yaitu memandingkan derajat kepercayaan dari obeservasi dan wawancara dengan subjek sendiri serta pihak terkait lainnya.


(35)

4. Analisis Kasus Negatif

Teknik analisis kasus negative dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.

5. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Teknik ini mengandung beberapa maksud sebagai salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data.

6. Mengadakan audit dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan ketelitian yang dilakukan sehingga timbul keyakinan bahwa yang diperoleh adalah tepat mencapai kebenaran yang diharapkan.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Sugiyono (2008) adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentansi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih nama yang penting dan yang perlu dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang dikemukakan oleh Nasution (2003). Adapun analisis data yang maksud adalah

1. Reduksi Data (Penyajian Data)

Reduksi data berarti mengambil bagian pokok atau intisari dari data yang telah diperoleh yang mencakup kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, peran


(36)

kepala sekolah dalam pengembilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi dan desain kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Data tersebut kemudian marangkum dan mencari tema atau pola dari setiap data agar mudah dipahami.

2. Display Data (Pengelompokan Data)

Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan sistematis rumusan masalah kemudian disajikan dalam deskriptif sehingga data mudah dibaca dan dipahami serta mampu menggambarkan keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian.

3. Vervikasi Data (Penarikan Keseimpulan)

Penarikan keseimpulan dilakukan sejak dari aawal hingga akhir proses penelitian guna mempermudah peneliti untuk mendapatkan makna dari setiap dara yang dikumpulkan. Kesimpulan yang diambil senantiasa diverivikasi selama penelitian berlangsung untuk menjaga tingkat kepercayaan peneliti.

Adapun skema analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.

Gambar. 3.2. Langkah-langkah Analisis Data Kualitiatif (Miles dan Huberman, 1984:16)

Data Collection

Data Display

Data

Reduktion Conciusion


(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Merujuk kepada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan di lapangan, maka dapat dirumuskan kesimpulan terkait Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi sebagai berikut:

1. Kondisi Faktual Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Berdasarkan hasil penelitian terhadap kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah X kota Jambi, dimana terdapat beberapa aspek terkait kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti, kebijakan kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, kebijakan kepala sekolah dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan, kebijakan kepala sekolah terhadap penyesuaian kurikulum, kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif, kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif, kebijakan kepala sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana pada penyelenggaraan pendidikan inklusif, maka dapat disimpulkan berdasarkan aspek-aspek tersebut sebagai berikut:

a. Kebijakan kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik

berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik khususnya peserta didik berkebutuhan khusus yaitu diadakannya tes terlebih dahulu. Adapun tes yang diadakan adalah tes Intelegensi (IQ) yang dilakukan oleh psikolog


(38)

yang diundang langsung oleh kepala sekolah. Selanjutnya adalah asesmen, yang dilakukan oleh guru-guru Sekolah Luar Biasa yang mana merupakan bentuk kerjasama antara Sekolah X dan SLB.

b. Kebijakan kepala sekolah dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa di Sekolah X Kota Jambi belum ada guru berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan Khusus. Sehingga untuk guru pembimbing khusus (GPK) kepala sekolah memberikan kebijakan kepada orang tua untuk mencari sendiri pendamping anak, atau orang tua sendiri boleh untuk mendampingi anak di dalam kelas ketika pembelajaran berlangsung.

c. Kebijakan kepala sekolah dalam penyesuaian kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh kepala sekolah terkait kurikulum, yaitu memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada guru kelas untuk memberikan materi dan

membuat program pembelajaran yang disesuaikan dengan

kemampuan anak. Untuk pembuatannyapun kepala sekolah

memberikan kebijakan kepada guru untuk dapat bekerja sama menyusun program pembelajaran tersebut bersama pendamping/orang tua peserta didik.

d. Kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa untuk kegiatan pembelajaran pada seting

pendidikan inklusif, kepala sekolah memberikan kebijakan

sepenuhnya kepada guru di kelas untuk mengkondisikan kelasnya masing-masing. Meminta gutu menggunakan pendekatan-pendekatan atau metode-metode mengajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Selanjutnya dimana kepala sekolah juga meminta para guru untuk mendesain kelas senyaman mungkin, dan membuat


(39)

suasana kelas menjadi lebih inklusif. Salah satunya adalah seting tempat duduk.

e. Kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa minimnya perhatian dari pemerintah provinsi dan kota menjadikan pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi berjalan mandiri. Sehingga kepala sekolah membuat kebijakan untuk membuat proposal pengajuan dana, sehingga saat ini telah ada beberapa donatur-donatur yang memberikan perhatian kepada Sekolah X Kota Jambi, terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif.

f. Kebijakan kepala sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan kepala sekolah adalah, mendirikan beberapa bangunan dan perbaikan infrastruktur dimana hal ini untuk menciptakan suasana yang inklusif dan aksesibitas yang mudah dijangkau dan digunakan oleh peserta didik berkebutuhan khusus.

2. Peran Kepala Sekolah dalam Pengambilan Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

a. Peran kepala sekolah sebagai educator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil kepala sekolah sebagai educator adalah melakukan pembinaan kepada guru tentang pendidikan inklusif dan memberikan pemahaman kepada orang tua tentang pendidikan inklusif setiap tahunnya.

b. Peran kepala sekolah sebagai manajer dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil kepala sekolah sebagai manejer adalah pada konsistensi kepala sekolah dalam


(40)

menjalankan pendidikan inklusif di sekolah X Kota Jambi. Tentunya untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif di perlukan manajemen yang baik, disinilah peran kepala sekolah sebagai seorang manejer. c. Peran kepala sekolah sebagai administrator dalam pengambilan

kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan administrasi adalah kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

d. Peran kepala sekolah sebagai supervisor dalam pengambilan

kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan kepala sekolah sebagai supervisor dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah bekerjasama dengan coordinator pendidikan inklusif untuk menilai sejauh mana guru kelas mampu memberikan pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus. Kebijakan ini merupakan langkah yang di ambil kepala sekolah sebagai seorang yang ikut mengawasi dan menilai kinerja para guru dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Selain itu ikut terlibat dalam proses penerimaan peserta didik baru khususnya peserta didik berkebutuhan khusus.

e. Peran kepala sekolah sebagai leader dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait peran kepala sekolah sebagai leader dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat disimpulkan bahwa sebagai seorang pemimpin tentu kepala sekolah memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan, kebijakan yang diambil adalah tetap konsistensi dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Konsistensi penyelenggaraan pendidikan inklusif ini merupakan kebijakan yang diambil kepala sekolah sebagai seorang pemimpin.


(41)

f. Peran kepala sekolah sebagai innovator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan adapun peran kepala sekolah sebagai innovator dalam pengambilan kebijakan adalah dapat disimpulkan dimana kebijakan tersebut terkait seting pembelajaran dalam pendidikan inklusif. Kebijakan ini merupakan sebuah upaya dari kepala sekolah sebagai seorang innovator untuk memberikan semangat baru dan keantusiasan para peserta didik serta guru dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi ini.

g. Peran kepala sekolah sebagai motivator dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan JM sebagai kepala sekolah terkait perannya sebagai seorang motivator adalah mengadakan studi banding ke sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di daerah lain. Kebijakan ini merupakan langkah yang tepat untuk membangkitkan semangat dan pemahaman para guru terhadap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

3. Pendukung dan Penghambat Kepala Sekolah dalam Pengambilan Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi dapat disimpulkan bahwa, terdapat beberapa faktor yang mendukung kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan. Adapun faktor pendukung tersebut antara lain:

a. Kepala sekolah beserta tenaga pendidik dan kependidikan memiliki sikap penerimaan yang besar terhadap perbedaan-perbedaan.

b. Adanya donator-donatur yang memberikan bantuan beasiswa kepada peserta didik berkebutuhan khusus,


(42)

c. Kurikulum sekolah yang fleksibel,

d. Adanya sarana dan prasarana serta sumber belajar yang

mendukung,dan

e. Dekat dengan Sekolah Luar Biasa.

Adapun faktor penghambat pengambilan kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi antara lain:

a. Tidak adanya guru pembimbing khusus

b. Sikap penerimaan orang tua yang belum menerima peserta didik berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anaknya.

c. Minim dukungan dari dinas kota dan provinsi.

Selanjutnya untuk partisipasi dari semua komponen sekolah

terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat

disimpulkan bahwa seluruh masyarakat sekolah sangat berpartisipasi dalam menyukseskan semua kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah, terutama para pendidik/guru sangat bersemangat dalam menjalankan semua kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah.

4. Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan Hasil Kajian Peneliti dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Desain kebijakan yang disusun merupakan desain berdasarkan hasil kajian peneliti di lapangan. Desain kebijakan ini mengacu pada tiga aspek yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sehingga tersusunlah sebuah rancangan desain kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang di sesuaikan dengan kondisi di lapangan.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat di


(43)

1. Orang Tua.

Masih ada beberapa dari orang tua peserta didik yang masih belum bisa menerima adanya pendidikan inklusif ini, bahkan cendrung berniat untuk membubarkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi ini. Oleh kareana itu diharapkan kepada semua orang tua dari peserta didik pada umumnya (normal) dan peserta didik berkebutuhan khusus memiliki sikap penerimaan untuk dapat menerima semua perbedaan yang ada pada setiap peserta didik. Diharapkan untuk tidak adanya sikap diskriminatif kepada semua peserta didik, memahami bahwasanya setiap anak memiliki hak belajar yang sama, dan memiliki kesempatan yang sama. Diharapkan juga orang tua dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif. Serta orang tua dapat mendukung semua kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah dan sama-sama menyukseskan kebijakan tersebut.

2. Guru

Sebagai guru kelas, tentu kesulitan yang dihadapi oleh guru sangat banyak. Kesulitan itu sering terjadi ketika harus memahami karakter peserta didiknya. Pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik harus di fahami oleh setiap guru. Oleh karena itu di upayakan semua guru-guru dapat lebih memahami semua karakteristik peserta didik. Beberapa kebijakan kepala sekolah agar para guru dapat lebih memahami karakteristik individu setiap anak adalah dengan cara mengikutsertakan para guru dalam pelatihan-pelatihan, workshop dan seminar-seminar tentang anak berkebutuhan khusus dan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kegiatan ini dapat menambah pengetahuan para guru tentang bagaimana menangani peserta didik berkebutuhan khusus, sehingga nantinya di kelas guru mampu menciptakan proses belajar mengajar yang inklusif, yang nyaman, aman dan menyenangkan. Di harapkan guru-guru dapat berpartisipasi dalam mendukung kebijakan kepala sekolah tersebut.


(44)

3. Kepala Sekolah

Masih ada beberapa orang tua siswa yang belum memahami arti makna dari pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, serta masih ada beberapa dari masyarakat sekolah terutama orang tua yang masih memandang sebelah mata bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan sempat terhentinya program guru kunjung dari Sekolah Luar Biasa yang dulu pernah ada. Oleh karena itu Kepala sekolah harus lebih giat dalam mensosialisaikan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, serta dapat lebih memberikan contoh sikap terbuka dan sikap penerimaan terhadap semua perbedaan yang ada pada peserta didik. Diharapkan kepala sekolah dapat bekerjasama dengan semua komponen-komponen pelaksana pendidikan inklusif, seperti kerjasama dengan Sekolah Luar Biasa dengan mendatangi guru kunjung sebagai pengganti guru pembimbing khusus yang belum ada di Sekolah X Kota Jambi, dan berkerjasama dengan pusat-pusat terapi yang dapat membantu sekolah dalam memberikan pelatihan terkait perkembangan peserta didik. Selanjutnya kepala sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mengakomodir semua kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Serta perlu adanya penyusunan kebijakan – kebijakan terkait pendidikan inklusif yang dalam penyusunannya mengikuti semua elemen pelaksana pembuatan kebijakan tersebut.

4. Dinas Pendidikan

Minimnya dukungan yang ada terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi Jambi, menjadikan beberapa sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kesulitan dalam memperoleh dukungan dan terlebih belum adanya Peraturan daerah dan peraturan Gubernur yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif ini. Oleh karena itu di rekomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi agar dapat memberikan perhatian terhadap sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi Jambi terutama Sekolah X Kota Jambi yang memiliki banyak


(45)

peserta didik berkebutuhan khusus. Diharapkan agar segera menyusun peraturan daerah dan peraturan gubernur terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif ini. Diharapkan juga Dinas Pendidikan dapat mendukung program-program terkait pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi dan mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat kepala sekolah dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih baik serta perlu adanya dukungan berupa pendanaan dan penyediaan sarana prasarana serta sumber belajar yang dapat menjadikan Sekolah X Kota Jambi menjadi sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif yang ideal..

Adapun rancangan desain kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif ini adalah merupakan sebuah usaha peneliti untuk membantu kepala sekolah nantinya dalam merumuskan sebuah kebijakan yang lebih terarah. Oleh karena itu desain kebijakan yang di rekomendasikan adalah sebagai berikut:

Gambar 5.1.

Rancangan desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan hasil kajian penelitian dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Formulasi Kebijakan Kondisi faktual sekolah penyelengagara pendidikan

inklusif

Implementasi Kebijakan

Isi Kebijakan:

1. Kebijakan dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus

2. Kebijakan dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan

3. Kebijakan dalam penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus

4. Kebijakan dalam kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif

5. Kebijakan dalam pendanaan pendidikan inklusif 6. Kebijakan dalam pengadaan sarana dan

prasarana pendidikan inklusif

Konteks Implementasi:

1. Dukungan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif

2. Hambatan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif

3. Partisipasi masyarakat sekolah terhadap kebijakan pendidikan inklusif

Hasil Kebijakan 1. Dampak pada individu,

masyarakat dan kelompok 2. Perubahan dan penerimaan

masyarakat sekolah

Agenda Kebijakan Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam

penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Tujuan pelaksanaan

Kebijakan

Pelaksana Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Kepala Sekolah, Pengawas SDLB Kota, Pangawas SLB Provinsi, Guru, Orang Tua, Peserta didik

Evaluasi Kebijakan Berdasarkan hasil implementasi Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. Dkk. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurusan Pendidikan Khusus, FIP UPI

Aminawa, Oki. (2008). Sikap Kepala Sekolah dan Guru terhadap Pendidikan Inklusif. (Tesis). Bandung: SPs UPI

Arikunto. Suharsimi, (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Asdi Mahasatya Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and

Participation in School, London: CSIE

Damayanti, Sri. (2008). Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/18/profesionalisme-kepemimpinan-kepala-sekolah/

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2006). Manajemen Sekolah Dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dunn, W, N. (2004). Publik Policy Analysis. An Introduction, (Third Edition), Prentice Hall Inc. Englewood Clifts New Jersey.

Dwijowijoto, Rian Nugroho. (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, Evaluasi. Jakarta: Elek Comutindo.

Johsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: Unipub Forlag.

Jetje, T, L. (2012). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon (Tesis). SPs UPI.

Fattah, N. (2007). Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar. Bandung: SPs UPI.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Kholis.Cek. (2012). Menjunjung Nurani Ditengah Minimnya Perhatian

Pendidikan Inklusi. http://kholiscak.blogspot.com

Kustawan, D. (2012). Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta: PT Luxima Metro Media.


(47)

Lehmann Kay. (2010). Leamer Satisfaction ini Online Learning by Traci Skog A Research Paper Submitted in Pmiial Fulfillment of the Requirments for the Master of Science Degree in Education Approved. 2 Semester Credtis The Graduate School University of Wisconsin-Stout.

Makmun, S, A. (2003). Educational Systems For Children With Special Needs In Indonesia. UPI.

Miles, MB dan Huberman A.M. (1984). Qualitative Data Analysis. Baverly Hills: Sage Publications.

Moleong, L, J. (2005). Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Yosda Karya.

Mulyasa, E. (2011). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Cetakan Ketujuh. Bandung: Ghalia Indonesia.

Nasution (1992). Metode Research. Bandung: Jemmars. Nasution (2009). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

________(1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Paerunan, I. (2011). Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan

.Z Kota Jayapura. (Tesis) SPs UPI

Permendiknas. (2009). No 70 tahun 2009. Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Khsusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Rahardja, D. (2010). Penerapan Konsep-Konsep Bimbingan dan Konseling dalam

Pembelajaran dan Layanan Bimbingan bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Penyelenggara Perintis Pendidikan Inklusif. (Disertasi). PPs UPI

Rawita, I, S. (2010). Kebijakan Pendidikan, Teori, Implementasi, dan Monev. Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Semesta.

Salamanca. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus Konfrensi Dunia Tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Kualitas. (diterjemahkan oleh Didi Tarsidi). Spanyol, 7-10 Juni 1994

Satriaman, M (2013). Peran Pemberdayaan Kepala Madrasah dalam Pengelolaan Madrasah. http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/126-peran-pemberdayaan-kepala-madrasah-dalam-pengelolaan-madrasah Silalahi, Uber. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.


(1)

1. Orang Tua.

Masih ada beberapa dari orang tua peserta didik yang masih belum bisa menerima adanya pendidikan inklusif ini, bahkan cendrung berniat untuk membubarkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi ini. Oleh kareana itu diharapkan kepada semua orang tua dari peserta didik pada umumnya (normal) dan peserta didik berkebutuhan khusus memiliki sikap penerimaan untuk dapat menerima semua perbedaan yang ada pada setiap peserta didik. Diharapkan untuk tidak adanya sikap diskriminatif kepada semua peserta didik, memahami bahwasanya setiap anak memiliki hak belajar yang sama, dan memiliki kesempatan yang sama. Diharapkan juga orang tua dapat berpartisipasi penuh dalam semua kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif. Serta orang tua dapat mendukung semua kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah dan sama-sama menyukseskan kebijakan tersebut.

2. Guru

Sebagai guru kelas, tentu kesulitan yang dihadapi oleh guru sangat banyak. Kesulitan itu sering terjadi ketika harus memahami karakter peserta didiknya. Pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik harus di fahami oleh setiap guru. Oleh karena itu di upayakan semua guru-guru dapat lebih memahami semua karakteristik peserta didik. Beberapa kebijakan kepala sekolah agar para guru dapat lebih memahami karakteristik individu setiap anak adalah dengan cara mengikutsertakan para guru dalam pelatihan-pelatihan, workshop dan seminar-seminar tentang anak berkebutuhan khusus dan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kegiatan ini dapat menambah pengetahuan para guru tentang bagaimana menangani peserta didik berkebutuhan khusus, sehingga nantinya di kelas guru mampu menciptakan proses belajar mengajar yang inklusif, yang nyaman, aman dan menyenangkan. Di harapkan guru-guru dapat berpartisipasi dalam mendukung kebijakan kepala sekolah tersebut.


(2)

3. Kepala Sekolah

Masih ada beberapa orang tua siswa yang belum memahami arti makna dari pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, serta masih ada beberapa dari masyarakat sekolah terutama orang tua yang masih memandang sebelah mata bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dan sempat terhentinya program guru kunjung dari Sekolah Luar Biasa yang dulu pernah ada. Oleh karena itu Kepala sekolah harus lebih giat dalam mensosialisaikan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, serta dapat lebih memberikan contoh sikap terbuka dan sikap penerimaan terhadap semua perbedaan yang ada pada peserta didik. Diharapkan kepala sekolah dapat bekerjasama dengan semua komponen-komponen pelaksana pendidikan inklusif, seperti kerjasama dengan Sekolah Luar Biasa dengan mendatangi guru kunjung sebagai pengganti guru pembimbing khusus yang belum ada di Sekolah X Kota Jambi, dan berkerjasama dengan pusat-pusat terapi yang dapat membantu sekolah dalam memberikan pelatihan terkait perkembangan peserta didik. Selanjutnya kepala sekolah diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mengakomodir semua kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Serta perlu adanya penyusunan kebijakan – kebijakan terkait pendidikan inklusif yang dalam penyusunannya mengikuti semua elemen pelaksana pembuatan kebijakan tersebut.

4. Dinas Pendidikan

Minimnya dukungan yang ada terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi Jambi, menjadikan beberapa sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kesulitan dalam memperoleh dukungan dan terlebih belum adanya Peraturan daerah dan peraturan Gubernur yang terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif ini. Oleh karena itu di rekomendasikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi agar dapat memberikan perhatian terhadap sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi Jambi terutama Sekolah X Kota Jambi yang memiliki banyak


(3)

peserta didik berkebutuhan khusus. Diharapkan agar segera menyusun peraturan daerah dan peraturan gubernur terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif ini. Diharapkan juga Dinas Pendidikan dapat mendukung program-program terkait pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi dan mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat kepala sekolah dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih baik serta perlu adanya dukungan berupa pendanaan dan penyediaan sarana prasarana serta sumber belajar yang dapat menjadikan Sekolah X Kota Jambi menjadi sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif yang ideal..

Adapun rancangan desain kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif ini adalah merupakan sebuah usaha peneliti untuk membantu kepala sekolah nantinya dalam merumuskan sebuah kebijakan yang lebih terarah. Oleh karena itu desain kebijakan yang di rekomendasikan adalah sebagai berikut:

Gambar 5.1.

Rancangan desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan hasil kajian penelitian dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi

Formulasi Kebijakan

Kondisi faktual sekolah penyelengagara pendidikan

inklusif

Implementasi Kebijakan Isi Kebijakan:

1. Kebijakan dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus

2. Kebijakan dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan

3. Kebijakan dalam penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus

4. Kebijakan dalam kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif

5. Kebijakan dalam pendanaan pendidikan inklusif 6. Kebijakan dalam pengadaan sarana dan

prasarana pendidikan inklusif

Konteks Implementasi:

1. Dukungan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif

2. Hambatan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif

3. Partisipasi masyarakat sekolah terhadap kebijakan pendidikan inklusif

Hasil Kebijakan

1. Dampak pada individu, masyarakat dan kelompok 2. Perubahan dan penerimaan

masyarakat sekolah

Agenda Kebijakan

Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam

penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Tujuan pelaksanaan

Kebijakan

Pelaksana Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Kepala Sekolah, Pengawas SDLB Kota, Pangawas SLB Provinsi, Guru, Orang Tua, Peserta didik

Evaluasi Kebijakan

Berdasarkan hasil implementasi Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. Dkk. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurusan Pendidikan Khusus, FIP UPI

Aminawa, Oki. (2008). Sikap Kepala Sekolah dan Guru terhadap Pendidikan

Inklusif. (Tesis). Bandung: SPs UPI

Arikunto. Suharsimi, (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Asdi Mahasatya Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and

Participation in School, London: CSIE

Damayanti, Sri. (2008). Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah.

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/18/profesionalisme-kepemimpinan-kepala-sekolah/

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2006). Manajemen Sekolah Dalam Pendidikan

Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dunn, W, N. (2004). Publik Policy Analysis. An Introduction, (Third Edition), Prentice Hall Inc. Englewood Clifts New Jersey.

Dwijowijoto, Rian Nugroho. (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi,

Evaluasi. Jakarta: Elek Comutindo.

Johsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus

Sebuah Pengantar. Bandung: Unipub Forlag.

Jetje, T, L. (2012). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Menengah

Pertama di Kota Ambon (Tesis). SPs UPI.

Fattah, N. (2007). Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar. Bandung: SPs UPI.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif. Kholis.Cek. (2012). Menjunjung Nurani Ditengah Minimnya Perhatian

Pendidikan Inklusi. http://kholiscak.blogspot.com

Kustawan, D. (2012). Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya. Jakarta: PT Luxima Metro Media.


(5)

Lehmann Kay. (2010). Leamer Satisfaction ini Online Learning by Traci Skog A

Research Paper Submitted in Pmiial Fulfillment of the Requirments for the Master of Science Degree in Education Approved. 2 Semester Credtis

The Graduate School University of Wisconsin-Stout.

Makmun, S, A. (2003). Educational Systems For Children With Special Needs In

Indonesia. UPI.

Miles, MB dan Huberman A.M. (1984). Qualitative Data Analysis. Baverly Hills: Sage Publications.

Moleong, L, J. (2005). Metodelogi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Yosda Karya.

Mulyasa, E. (2011). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Cetakan Ketujuh. Bandung: Ghalia Indonesia.

Nasution (1992). Metode Research. Bandung: Jemmars. Nasution (2009). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

________(1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Paerunan, I. (2011). Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar X, Y, dan

.Z Kota Jayapura. (Tesis) SPs UPI

Permendiknas. (2009). No 70 tahun 2009. Tentang Pendidikan Inklusif Bagi

Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Khsusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Rahardja, D. (2010). Penerapan Konsep-Konsep Bimbingan dan Konseling dalam

Pembelajaran dan Layanan Bimbingan bagi Siswa Tunanetra di Sekolah Penyelenggara Perintis Pendidikan Inklusif. (Disertasi). PPs UPI

Rawita, I, S. (2010). Kebijakan Pendidikan, Teori, Implementasi, dan Monev. Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Semesta.

Salamanca. (1994). Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai

Pendidikan Kebutuhan Khusus Konfrensi Dunia Tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus: Akses dan Kualitas. (diterjemahkan oleh Didi

Tarsidi). Spanyol, 7-10 Juni 1994

Satriaman, M (2013). Peran Pemberdayaan Kepala Madrasah dalam

Pengelolaan Madrasah. http://bdkbandung.kemenag.go.id/jurnal/126-peran-pemberdayaan-kepala-madrasah-dalam-pengelolaan-madrasah Silalahi, Uber. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.


(6)

Singadilaga, D. (2002). Bahan Kuliah dan Diskusi Analisis Kebijakan Publik;

Kebijakan Reformasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran.

Smith, J. David (Editor ahli: M. Sugiarmin dan Mif Baihaqi). (2006). Inklusif

Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Seri Pencerdasan.

Sunanto, J.(2004). Konsep Pendidikan Untuk Semua, Bandung, Makalah tidak diterbitkan Jurusan PLB UPI Bandung.

________dkk. (2004). Pendidikan yang Terbuka Untuk Semua, Panduan

Pelaksanaan Pendidikan Inklusif di Sekolah. Dinas Pendidikan Provinsi

Jawa Barat dan UNESCO Kantor Jakarta.

_________(2012). Media Dunia Disabilitas (diffa). Nomor 14 Februari 2012. Sugiyono, (2005), Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

________(2010), Metode Penelitian Kuantitaif dan Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suparjo. Pendidikan Inklusi.

http://apsijbi2013.blogspot.com/2013/01/pendidikan-inklusi-suparjomphil_16.html

Syafaruddin. (2008). Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Ummah, U, S. (2011). Manajemen Penyelenggara Pendidikan Inklusif (Tesis).

Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus: SPs UPI.

UNESCO, (1990), The Journesy Inclusive Shools, Published By Inclussion International.

Universitas Pendidikan Indonesia, (2012). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI

Wahab, S, A. (2004). Analisa Kebijakan dan Formulasi Implementasi

kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bina Aksara.

Wahjosumidjo. (2002). Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Wasliman, I. (2007). Manajemen Sistem Pendidikan Kebutuhan Khusus.

Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Program Studi Pendidikan