Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Postpartum Blues pada Wanita Dewasa Awal Pasca-Melahirkan T1 802009209 BAB IV

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian di atas sebanyak 12 orang atau sekitar 40% dari total 30 orang
yang mengisi kuesioner dengan variasi nilai postpartum bluesnya 10 – 18. Masing – masing
memiliki perbedaan, dipicu pada tiap gejala postpartum blues yang dialami oleh ibu. Sisanya
18 orang atau sekitar 60% dari total 30 orang mendapatkan nilai berkisar antara 2 sampai
dengan 9. Ada beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi seorang ibu terkena gejala

postpartum blues. Dari fakor demografi, seperti: usia, status pernikahan, tingkat pendidikan
dan sosial ekonomi. Faktor psikososial: kegagalan dalam pernikahan dan dukungan keluarga
yang kurang. Dari 12 orang yang mendapat nilai ≥ 10, satu diantaranya ada yang status
pernikahannya sudah cerai dari suami, sehingga dalam menjawab pertanyaan ada yang
mendapat nilai 3, yaitu nomor 4,5 dan 8 yang berkaitan dengan perasaan takut, perasaan
kuatir dan merasa sedih tanpa alasan yang jelas.
Faktor demografi, faktor psikososial dan riwayat kesehatan, riwayat gangguan afektif
pada ibu dan faktor internal berpengaruh pada situasi ibu setelah melahirkan yang mendorong
adanya perasaan negatif setelah melahirkan. Ibu D.B. yang berumur 40 tahun dengan
penilaian postpartum bluesnya 13 dan kelahiran Caesar, karena faktor umur dikatakan dokter
kandungan kepadanya, sehingga mengharuskan beliau melahirkan dengan Caesar. Anak
pertama dari Ibu D. ini juga dilahirkan dengan Caesar kandungan sang bayi terlilit plasenta.

Berbeda dengan Ibu E. S. berumur 40 tahun anak ketiga yang mendapat nilai 10 pada
penilaian postpartum bluesnya. Anak ketiga dari Ibu E. ini dilahirkan secara Caesar namun
penilaiannya tidak sama dengan Ibu D. dengan selisih 3 poin, beliau hanya kawatir dengan
suaminya yang sebagai lawyer dan bertugas diluar Jawa dan beliau memikirkan anak
ketiganya, takut jika tidak dapat mengawasi dan mendidik dengan benar, karena dua anak
beliau sebelumnya prestasi sekolah tidak begitu membanggakan dengan nilai yang jelek.

Wong, Lowdermilk, dan Perry (2006) menyatakan bahwa gejal-gejala dalam
postpartum blues: reaksi depresi/sedih/disforia, mudah menangis (tearless)/weepiness atau
menangis tanpa alasan yang jelas, mudah tersinggung (irritable), cemas, nyeri kepala,
cenderung menyalahkan diri sendiri, merasa tidak mampu, gangguan tidur dan gangguan
nafsu makan (appetite), ketidaksabaran, iritabilitas, kecemasan, kelelahan, gelisah, insomnia
(ketika bayi sedang tidur), perubahan mood, kurang konsentrasi atau daya konsentrasi
menurun. Faktor internal meliputi fluktuasi hormonal, faktor psikologis dan kepribadian, ada
riwayat depresi sebelumnya, riwayat kehamilan dan persalinan dengan komplikasi, persalinan
section caesarea, kehamilan yang tidak direncanakan, berat bayi lahir yang rendah dan pada
ibu yang kesulitan dalam menyusui bayinya atau ASI (Air Susu Ibu) tidak keluar serta pada
ibu yang tidak mempunyai pengalaman merawat bayi. Seperti pada Ibu A.W.W. berumur 28
tahun yang mendapatkan skor postpartum blues 13, ASI yang keluar sedikit, merasa jengkel
kenapa tidak seperti ibu-ibu lain ASInya lancar, ini mempengaruhi kecemasannya pada sang

bayi, merasa kuatir jika ASI terus tidak lancar atau sedikit yang keluar. Merasa jengkel
permasalahan yang timbul tidak kunjung terpecahkan mengenai ASInya yang keluar sedikit,
merasa sangat memerlukan dukungan keluar dan terutama dari suami. Saat menyusui merasa
putus asa karena sang bayi menangis tidak tercukupi ASI.
Ada pun faktor internal lain yang mendukung terjadi postpartum blues adalah kondisi
kesehatan ibu selama masa periode perinatal, penyakit yang menyertai ibu sebelum dan
sesudah kehamilan yang dapat membuat ibu takut, cemas dan penuh dengan ketegangan serta
kekhawatiran. Kondisi lain yang mendukung terjadinya postpartum blues adalah respon dari
ketergantungan karena kelemahan fisik, harga diri rendah karena kelelahan, jauh dari
keluarga, ketidaknyamanan fisik dan ketegangan dengan peran baru terutama pada
perempuan yang tidak mendapat dukungan dari pasangan atau orangtuanya (Lowdermilk,
Jansen, & Bobak, 2005).